5
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia.Manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan agar dapat bertahan hidup.Menurut Suryana (2004) negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan ketahanan pangan yang baik, terdapat suatu jaminan bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pangan dan gizi yang cukup untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas. Definisi ketahanan pangan menurut UU no.7 tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam World Food Summit 1996 definisi lain dari ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi tiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat (Hardinsyah 2000) Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan
sub
sistem konsumsi
memungkinkan
setiap
rumah
tangga
memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu terhadap pangan yang cukup (Suryana 2004). Pembangunan
ketahanan
pangan
memerlukan
harmonisasi
dari
pembangunan ketiga sub sistem tersebut di atas. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan
6
menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan
dan
desentralistis,
dan
melalui
pendekatan
koordinasi
(Simatupang 1999 diacu dalam Riadi 2007).
Sumber: Riley,et al. 1999
Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan Pada Gambar 1 (Riley,et al. 1999) dapat dilihat hubungan antara ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Sebagaimana gambaran keterkaitan ketiga sub sistem ketahanan pangan yang telah dijelaskan di atas, pada Gambar 1 digambarkan hubungan dari ketiga sub sistem (ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan) beserta indikator-indikatornya. Ketersediaan dan akses memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Sub sistem ketersediaan ditentukan dari produksi pangan, cadangan, impor dan bantuan pangan). Pada sub sistem
7
akses, pembelian pangan di pasar ditentukan oleh harga pangan dan pendapatan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, adanya bantuan atau subsidi dari pemerintah ataupun pihak luar juga merupakan penentu kemudahan akses masyarakat terhadap pangan. Pencapaian ketahanan pangan juga dilihat dari pemanfaatan pangan. Pada sub sistem pemanfaatan pangan dapat dilihat pencapaiannya dari konsumsinya (tingkat kecukupan) yang dipengaruhi oleh kualitas pengasuhan (pengetahuan, praktek budaya setempat dan alokasi waktu) dan akan berdampak pada status gizi. Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan. Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan terhadap muncul/tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli. Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi. Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang dimiliki untuk mendapatkan pangan. Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan pangan, yaitu (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) Jaminan keamanan pangan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik (produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau sosial (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi tentang jumlah, mutu dan harga pangan; (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah, et al.1999 diacu dalam Amadona 2003). Konsumsi Pangan Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah tersebut merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai faktor dalam ekologi masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan budaya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula
8
berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Menurut Jelliffe& Jelliffe (1989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel ekologi II dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian hingga konsumsi pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Hasil Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa 40,6% penduduk Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70% kecukupan AKG 2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya rawan pangan di Indonesia. Berdasarkan hasil olahan BKP (2010) dari data konsumsi Susenas tahun 2002 sampai tahun 2009 ditunjukkan adanya perkembangan konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun) Tahun
Beras
Jagung
2002 115.5 3.4 2003 109.7 2.8 2004 107.0 3.2 2005 105.2 3.3 2006 104.0 3.0 2007 100.0 4.2 2008 104.9 2.9 2009 102,2 2,2 Sumber: Susenas, BPS, diolah (BKP 2010)
Ubi kayu 12.8 12.0 15.1 15.0 12.6 13.5 12.9 9,6
Ubi jalar 2.8 3.3 5.4 4.0 3.2 2.5 2.8 2,4
Menurut Baliwati dan Roosita (2004) konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologi maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan. Konsumsi pangan dan gizi cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat kecukupan gizi seseorang dapat mempengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani yang bersangkutan.
9
Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi (Hardinsyah, et al. 2002) Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang terpenting adalah: 1) Ketersediaan pangan, jenis,dan jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan; 2) Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana
cara
pengolahanya,
penyalurannya,
penyiapannya,
dan
penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang. Terdapat hubungan sebab akibat antara konsumsi, akses (exchange), dan produksi pangan seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Swift 1989 diacu dalam Maxwell dan Frankerberger 1992). Analisis Swift difokuskan pada peranan investasi, simpanan, dan kepemilikan harta yang pada penentuan rumah tangga yang rentan kelaparan. Swift mengasumsikan jika suatu rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan dasarnya secara berlebih, maka kelebihannya akan dialihkan kedalam tiga modal tersebut (investasi, simpanan, dan kepemilikan harta) yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga pada masa krisis.
10
Sumber: Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992)
Gambar 2.Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi Kesimpulan dari analisis Swift adalah kerentanan rumah tangga terhadap kelaparan dapat terjadi dengan adanya ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan, bukan hanya pemenuhan saat ini tapi juga kurangnya modal yang dimiliki oleh rumah tangga. Rumah tangga yang miskin cenderung memiliki modal yang paling sedikit dan mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap kelaparan. Menurut Sukandar, et al. (2007)diacu dalam Fitria (2003), tingkat kecukupan energi dan protein keluarga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Apabila seseorang atau kelompok orang (rumah tangga/keluarga) mengkonsumsi energi dan protein kurang dari 70% angka kecukupan (recommended dietary allowance), maka seseorang atau kelompok
orang
(rumah
tangga/keluarga)
tersebut
dikatakan
konsumsi
pangannya kurang/tidak cukup dan tergolong rawan pangan (tidak tahan pangan). Depkes (1996) diacu dalam Fitria (2003) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%) dan lebih (>120%). Kecukupan konsumsi tidak hanya dilihat secara kuantitas. Secara kualitasnya, konsumsi pangan dinilai dari keragaman susunan pangan yang dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kecukupan gizi yang seimbang dari beraneka ragam pangan yang dikonsumsi. Proporsi setiap jenis pangan
11
pangan dalam konsumsi pangan sesuai konsep gizi seimbang dapat dilihat pada Gambar3.
Sumber: Hardinsyah,et al. (2002)
Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah Karakteristik Wilayah Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989) indikator demografi wilayah merupakan salah satu faktor ekologi yang berpengaruh pada status gizi. Demografi wilayah antara lain jumlah penduduk menurut usia maupun jenis kelamin serta penyebarannya di suatu wilayah, kondisi geografi, serta perubahan jumlah penduduk dengan adanya kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk. Pembagian karakteristik wilayah yang umum digunakan adalah perdesaan dan perkotaan (BPS 2007). Berdasarkan beberapa penelitian di dunia, konsumsi pangan per kapita penduduk
di
perdesaan
lebih
tinggi
daripada
di
perkotaan
tanpa
memperhitungkan pendapatan maupun alokasi pengeluarannya. Hal ini tidak berarti pemenuhan zat gizi masyarakat perkotaan tidak sebaik masyarakat perdesaan karena terdapat perbedaan pada kebutuhan energi, harga kalori, dan komposisi makanannya (Braun, et al. 1993). Dapat diasumsikan bahwa pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi
12
yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis 1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993). Menurut BPS (2007), untuk menentukan suatu wilayah termasuk perdesaan dan perkotaan digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses fasilitas umum. Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 2. Kolom (1) menunjukkan variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2) menunjukkan nilai skor dari setiap variabel. Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007) Variabel/ Kllasifikasi Total Skor Skor Minimum Skor Maksimum 1. Kepadatan Penduduk/ km2 < 500 500-1249 1250-2499 2500-3999 4000-5999 6000-7499 7500-8499 >=8500 2. Persentase Rumah Tangga Pertanian >= 70,00 50,00-69,99 30,00-49,99 20,00-29,99 15,00-19,99 10,00-14,99 5,00-9,99 <5,00 3. Akses Fasilitas Umum A) Sekolah Taman KanakKanak (TK) Ada atau <=2,5 km > 2,5 km
Skor 2 26
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8 0,1,2,…10
1 0
Variabel/ Kllasifikasi B) Sekolah Dasar Ada atau <=2,5 km > 2,5 km C) Sekolah Menengah Pertama Ada atau <=2,5 km > 2,5 km D) Sekolah Menengah Umum Ada atau <=2,5 km > 2,5 km E) Bioskop Ada atau <=5 km > 5 km F) Pasar/Pertokoan Ada atau <=2 km > 2 km G) Rumah Sakit Ada atau <=5 km > 5 km H) Hotel/ Billiar/ Diskotek/ Panti pijat/ Salon Ada Tidak ada I) Persentase Pumah Tangga Telepon > =8,00 < 8,00 J) Persentase Rumah Tangga Listrik >= 90,00 < 90,00
Skor 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
1 0
1 0
1 0
Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut: a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi daerah dengan kepadatan 500-1249 orang per km2 dan seterusnya
13
sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama dengan 8500 orang per km2. b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99 persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah tangga tani kurang dari 5. c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan. d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Daerah yang tidak memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasilitas perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka daerah tersebut dianggap setara dengan daerah yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1, dengan pertimbangan mudahnya akses kepada perkotaan tersebut serupa dengan memiliki. e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan. Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai 10 atau lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan. Ketersediaan Pangan Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun 1997 tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana 2001). Menurut Soetrisno (1995) diacu dalam Marwati (2001) bahwa dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan.
Tingkat ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat
bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976. Rantai pangan WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Diantara rantai pangan tersebut terdapat variabel ketersediaan pangan. Menurut
14
DKP (2006) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1) produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan. Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai peluang besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga dipasar internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak mencukupi dan 4) adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor pangan harus dilakukan selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi nasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketergantungan impor, maka harus meningkatkan produksi pangan nasional sehingga dapat mencapai swasembada pangan artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi (Husodo&Muchtadi 2004 diacu dalam Amadona 2003). Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan pangan yang salah satu komponennya adalah produksi pangan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan yang cukup paling tidak menjadi jaminan untuk tercapai pula kecukupan konsumsinya, meskipun ada variabel antara yaitu akses sampai pada titik pangan dikonsumsi oleh mayarakat. Berkaitan dengan konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, pengaruh wilayah pada ketersediaan pangan dan asupannya tidak sepenuhnya berubah. Pada masyarakat miskin yang bekerja pada bidang pertanian, masyarakat miskin perkotaan mungkin lebih rentan tidak tahan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan. Akan tetapi, berkurangnya area penduduk dan lahan di perdesaan karena adanya pembangunan wilayah dapat berpengaruh pada ketidaktahanan pangan (Braun & Kennedy 1986 diacu dalam Braun,et al.1993). Dampak dari perubahan musim juga harus dipertimbangkan, masyarakat miskin perkotaan lebih kecil terkena dampak perubahan musim terhadap ketersediaan pangan dan asupan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan. Daya Dukung Pangan Wilayah Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia. Namun manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan
15
menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard 2002 diacu dalam Absari 2007). Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich (1971) dan Holdren (1974) diacu dalam Kurnia (2005) menyebutkan bahwa akibat yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya yang mampu diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah populasi penduduk yang dapat didukung secara berkelanjutan oleh sebuah wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mendukung populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu yang tidak terbatas. a. Daya Dukung Lahan Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena naiknya kebutuhan akan pangan akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola, et al. 2007). Selanjutnya, Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari,et al. 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007).
16
Rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al. 2007):
Dimana: K
= daya dukung lahan (orang/ha)
ASi
= luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha)
Ysi
= produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun)
Csi
= tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan dalam menu penduduk (%kkal/tahun)
R
= kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun)
Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan sosial carrying capacity. Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang dapat didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa penggunaan teknologi. Sedangkan sosial carrying capacity adalah biophysical carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard
2002 diacu
dalam Absari 2007). Untuk
memperkiraan
besarnya
regional
carrying
capacity
dapat
menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.Energi matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obatobatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar minyak (Richard 2002 diacu dalam Absari 2007).
17
b. Daya Dukung Gizi Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, et al. 1993 diacu dalam Absari 2007). Untuk itu diperlukan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu wilayah agar produksi pangan bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat terwujud secara berkesinambungan. Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989), salah satu indikator yang berkaitan dengan jumlah dan variasi makanan yang dikonsumsi oleh penduduk adalah banyaknya populasi yang termasuk dalam karakteristik demografi wilayah. Gambaran banyaknya populasi pada suatu wilayah dapat dilihat dengan sebuah rasio jumlah penduduk dengan luas wilayahnya yang disebut kepadatan penduduk (jiwa/km2). BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2). Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi pangan seperti deret hitung sedangkan pertumbuhan manusia seperti deret ukur. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan akan pangan lebih cepat meningkat dibandingkan ketersediaannya. Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas. Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju karena kemiskinan dan ketiadaan lahan sementara itu di saat yang sama terjadi
18
peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya. Jumlah penduduk berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan daerah yaitu pendapatan per kapita daerah. Pendapatan per kapita akan berpengaruh pada pengeluaran per kapita-nya. Menurunnya pengeluaran perkapita akan mempengaruhi pemilihan jenis bahan pangan untuk konsumsi keluarga (Immink 1998 diacu dalam Sulistiyowati 2005). Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga besar tersebut (Suhardjo 1989). Menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan Bentaya (2005) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan. Seperti yang dijelaskan pada Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa banyaknya populasi merupakan salah satu indikator yang berhubungan dengan pangan yang diperoleh oleh penduduk. Faktor Ekonomi a. Tingkat Kemiskinan Bappenas (2004) diacu dalam Harniati (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan
maupun laki-laki. Salah satu indikator ekonomi menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan Bentaya (2005) yang digunakan untuk menentukan ketahanan pangan dan gizi
19
pada tingkat nasional dan wilayah adalah persentase penduduk dibawah garis kemiskinan (tingkat kemiskinan wilayah). Tingkat kemiskinan menunjukkan pemerataan distribusi hasil pembangunan di suatu wilayah. Kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menyebabkan antara lain tingginya beban sosial ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono diacu dalam Harniati 2008). Hal itu terjadi karena kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan public, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan (Scott 1981; Sahdan 2007 diacu dalam Ulfani 2010). Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam Ulfani 2010). Parameter yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan biasanya adalah pendapatan dan tingkat konsumsi. Penentuan garis kemiskinan bervariasi tergantung pada waktu dan kondisi masyarakat. Pada masyarakat miskin, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pertama dalam pengalokasian pendapatannya (Gerster dan Bentaya 2005). b. Pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan suatu gambaran kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output pada suatu waktu tertentu. PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan (BPS 2005). PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Suatu daerah yang laju pertumbuhan ekonominya baik, tentu memiliki PDRB yang besar. PDRB berasal dari Sembilan sektor usaha yang terdiri atas: 1) pertanian, 2) pertambangan dan penggalian, 3) industri pengolahan, 4) listrik, gas dan air
20
bersih, 5) bangunan (konstruksi), 6) perdagangan, hotel dan restoran, 7) pengangkutan dan komunikasi, 8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, 9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005). Menurut UNICEF, PDRB/kapita merupakan salah satu indikator pada penentuan ketahanan pangan dan gizi wilayah maupun nasional pada sektor ekonomi. Yaitu dengan membagi PDRB wilayah dengan jumlah penduduk tengah tahun pada kurun waktu yang sama. PDRB/kapita menggambarkan ratarata pendapatan per kapita penduduk di suatu wilayah dalam waktu satu tahun (BPS 2008). Pendapatan sebagai faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap konsumsi pangan. Zulfianto (1990) diacu dalam Ratna (2005) menyatakan bahwa kelompok miskin yang pengeluaran absolutnya untuk makanan sudah sangat rendah, jika terjadi peningkatan pendapatan, maka proporsi untuk makan pun meningkat. Menurut Soehardjo (1998) kenaikan tingkat pendapatan akan menyebabkan perubahan dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak menyebabkan jenis pangan yang dikonsumsi menjadi beragam, tetapi justru yang sering terjadi adalah pangan yang dibeli harganya lebih mahal (Hardinsyah, et al. 2002). Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan rendah sumber energi utama diperoleh dari serealia, umbi-umbian dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewan, gula, lemak, minyak, dan makanan kaleng (Soehardjo 1998). Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan serealia akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya. (Berg 1986) Pendidikan Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (1986)
21
menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan lebih baik. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Di Indonesia, Pemerintah mencetuskan gerakan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP) sehingga penduduk yang tidak dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dapat digolongkan dalam penduduk dengan tingkat pencapaian pendidikan rendah. Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Sedangkan menurut Syarief (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.