7
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Ketahanan Pangan dan Distribusi Pangan Menurut Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Kementan 2013), ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kondisi ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui pemanfaatan sumberdaya pangan, kelembagaan dan budaya lokal. Hal ini berarti kebutuhan pangan penduduk dapat dipenuhi dari kemampuan produksi atau perdagangan antar wilayah, melalui hasil kerja suatu sistem ekonomi. Pangan yang terdiri atas subsistem ketersediaan (availability); subsistem keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi serta subsistem stabilitas ketersediaan dan keterjangkauan. Aspek penting dalam perwujudan ketahanan pangan adalah pengembangan agribisnis pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang dapat menjamin keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk. Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada keberhasilan meningkatkan produksi, tetapi perlu ditakar secara komprehensif berdasarkan tiga pilar utama, yakni produksi yang cukup, distribusi yang lancar dan merata, serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi bagi seluruh individu masyarakat. Distribusi memegang peranan penting dalam membawa suatu produk dari produsen hingga dapat diterima oleh konsumen akhir sebagai pengguna produk tersebut (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Distribusi pangan berkaitan erat dengan situasi kecukupan pangan, yaitu stabilitas kecukupan pangan dari waktu ke waktu (distribusi temporal) dan tingkat pemerataan pangan di setiap wilayah (distribusi spasial). Keberadaan subsistem distribusi pangan yang berfungsi untuk mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien akan memungkinkan masyarakat di seluruh pelosok mampu mengakses pangan secara fisik dan ekonomi sehingga seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu. Kinerja subsistem distribusi dipengaruhi oleh kondisi prasarana dan sarana, kelembagaan dan peraturan perundangan yang berlaku di masing-masing wilayah. Berdasarkan hasil studi kasus di Bangladesh, Khan dan Jamal (1998) menyimpulkan bahwa di beberapa negara berkembang sistem distribusi pangannya sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi, selain itu sistem tersebut tidak dapat melindungi petani dari fluktuasi harga musiman, di sisi lain sistem gagal untuk melindungi penduduk miskin dari kerawanan pangan. Kegiatan distribusi pangan dapat dikatakan sebagai suatu proses akan mengalirkan pangan dari produsen yang disertai dengan perpindahan hak milik dan penciptaan guna, waktu, tempat dan bentuk yang dilakukan oleh lembaga distribusi atau pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih dari fungsi pemasaran. Distribusi juga mengandung pengertian suatu proses yang membawa produk dari tempat dimana produk tersebut diproduksi ke suatu tempat yang
8
terdekat dengan konsumen akhir. Sistem distribusi yang efisien menjadi prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau.
Kondisi Ketahanan Pangan DKI Jakarta Data Susenas Tahun 2002 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi penduduk perkotaan (1 954.25 kkal/kap/hari atau sekitar 89.7 kg beras/kap/tahun) relatif lebih rendah dibandingkan penduduk pedesaan (2 013.43 kkal/kap/hari atau setara 109.6 kg beras/kap/tahun), Jakarta diasumsikan sebagai wilayah perkotaan dengan konsumsi beras per kapita per tahun rata-rata sekitar 92 kg (Kementan 2010b). Berdasarkan perhitungan asumsi tersebut, maka kebutuhan pangan wilayah DKI Jakarta dalam kurun waktu 5 tahun ke belakang berdasarkan data produksi dan perhitungan ketersediaan padi (BPS 2011) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Tabel 1 Data produksi dan kebutuhan beras di DKI Jakarta Produksi Ketersediaan Jumlah Kebutuhan Defisit GKG (ton) Beras (ton) Penduduk Beras (ton) (Jiwa) 6 197 3 888 8 961 680 824 475 (820 587) 8 002 5 020 7 554 461 695 010 (689 990) 8 352 5 240 7 616 838 700 749 (695 509) 11 013 6 910 8 523 157 784 130 (777 221) 11 164 7 004 9 607 787 883 916 (876 912)
Sumber: diolah dari BPS Provinsi DKI Jakarta (2011)
DKI Jakarta memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil produksi daerah sekitarnya seperti Bogor, Serang, Karawang, Cianjur, Subang, dan sentra padi di Pulau Jawa lainnya serta dari luar pulau dan bahkan luar negeri melalui PIBC. Berdasarkan data di PIBC sebagai pasar utama dalam pendistribusian beras di Jakarta, jumlah beras yang masuk dan disalurkan ke wilayah DKI Jakarta dari PIBC adalah sekitar 462 950 ton beras. Tingkat kebergantungan pasokan beras yang sangat tinggi pada wilayah lain tersebut sangat beresiko terhadap kondisi ketahanan pangan DKI Jakarta, walaupun secara daya beli masyarakatnya mampu membeli beras, namun secara ketersediaan harus juga diperhatikan aksesibilitasnya. Kondisi ini diperbesar lagi dengan semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian di wilayah sentra produksi yang menjadi andalan dalam pemasukan beras ke DKI Jakarta (Surjasa 2011). Berdasarkan hasil analisis peta kerawanan pangan di DKI Jakarta tahun 2011 menunjukkan bahwa secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap kerawanan pangan di provinsi DKI Jakarta adalah masih besarnya rumah tangga miskin, angka perempuan buta huruf, ibu rumah tangga yang tidak tamat lulusan SD, kebakaran yang sering terjadi, angka pengangguran dan masih besarnya pekerja di sektor informal. Indikator yang dipilih dalam analisis peta kerawanan pangan DKI Jakarta ini berkaitan dengan tiga pilar
9
ketahanan pangan, yaitu: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan (Tabel 2). Tabel 2 Indikator peta ketahanan dan kerentanan pangan Provinsi DKI Jakarta tahun 2011 No
Aspek
Indikator
1
Ketersediaan pangan
1.
Prasarana penyedia pangan
2
Akses pangan
2. 3. 4. 5. 6.
Persentase penduduk miskin Angka pengangguran Jumlah rumah tangga miskin – penduduk miskin (RTM-PM) Jumlah beras yang disalurkan (kg) Persentase pekerja sektor informal Berat badan balita di bawah standar (underweight): Persentase perempuan buta huruf Tingkat kepadatan penduduk IRT tidak tamat SD
3
Pemanfaatan pangan
7. 8. 9. 10.
4
Transien
11. Data kejadian kebakaran 12. Data kejadian kriminalitas
Sumber: Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Provinsi DKI Jakarta (DKP dan WFP 2012)
Peta ketahanan dan kerentanan pangan DKI Jakarta tahun 2011 menunjukkan dari total 44 kecamatan, terdapat 7 (15.90%) kecamatan Prioritas 1, 5 (11.36%) kecamatan Prioritas 2, 15 (34.09%) kecamatan Prioritas 3, 6 (13.64%) kecamatan Prioritas 4, 9 (20.45%) kecamatan Prioritas 5 dan 2 (4.55%) kecamatan Prioritas 6 (Gambar 2). Peta komposit menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu kecamatan yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Berdasarkan hasil PCA dan Cluster Analysis, kecamatankecamatan dikelompokkan ke dalam 6 prioritas: Prioritas 1 ( ), Prioritas 2 ( ), Prioritas 3 ( ), Prioritas 4 ( ), Prioritas 5 ( ), dan Prioritas 6 ( ). Prioritas 1 merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan yang paling tinggi, sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas yang relatif lebih tahan pangan. Hal ini berarti kecamatan prioritas 1 memiliki tingkat resiko kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan wilayah kecamatan prioritas lainnya sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian, kecamatan yang berada pada prioritas 1 tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan, juga sebaliknya kecamatan pada prioritas 6 tidak berarti bahwa semua penduduknya tahan pangan. Prioritas 1 terdiri atas 7 kecamatan, yaitu 2 kecamatan di Jakarta Barat dan 5 kecamatan di Jakarta Utara. Kecamatan yang rentan terhadap kerawanan pangan di Jakarta Barat adalah Kecamatan Cengkareng dan Kalideres, sedangkan di Jakarta Utara yaitu Kecamatan Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Penjaringan, dan Pademangan (DKP dan WFP 2012).
10
PETA KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2011
Sumber: Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Provinsi DKI Jakarta (DKP dan WFP 2012)
Gambar 2 Kondisi ketahanan pangan di DKI Jakarta
Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan Keterkaitan Antar Wilayah DKI Jakarta dengan Daerah Sentra Produksi Padi di sekitarnya PIBC didirikan sebagai upaya realisasi dari Pola Induk Pengadaan dan Penyaluran Bahan Pangan untuk DKI Jakarta tahun 1965 – 1985 yang merupakan bagian dari Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965 – 1985. Perusahaan yang ditunjuk sebagai pengelola dan pembina PIBC adalah PT. Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) yang didirikan dengan Akte Notaris Soeleman Ardjasasmita SH, Nomor 46 tanggal 28 April 1972, TBNRI Nomor 39 tanggal 16 Mei 1975 dan diperbarui dengan Akte Notaris Rachmad Umar, SH Nomor 25 tanggal 30 Maret 2000 serta terakhir diperbaharui dengan Akte Notaris Rachmad Umar SH, Nomor 3 tanggal 22 November 2007 tentang pendirian PT. Food Station Tjipinang Jaya. Secara operasional PT. Food Station Tjipinang Jaya didukung juga oleh beberapa surat keputusan lainnya seperti Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Eb. 12/2/8/72 tanggal 23 Juni 1972 tentang penunjukan PT. Food Station Tjipinang Jaya sebagai badan usaha yang diberi wewenang mengurus, membina dan mengembangkan PIBC. PIBC merupakan satu area pergudangan dan transaksi perberasan yang merupakan pusat pemasaran beras terbesar di Indonesia dibandingkan dengan pasar induk beras yang berada di daerah lainnya. Selain FSTJ, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga memiliki dua badan usaha lainnya untuk menangani masalah pangan, yaitu PD. Pasar Jaya yang mengelola sayuran dan palawija yang jumlahnya sebanyak 152 pasar di DKI Jakarta serta PD. Dharma Jaya yang mengelola rumah pemotongan hewan (RPH) Cakung yang menangani pemotongan sapi dan unggas. PIBC yang menampung sekitar 700 pengusaha
11
beras, telah bekerja sama dengan para pemasok beras dari berbagai daerah sentra produksi beras dari berbagai provinsi di Indonesia. PIBC merupakan pusat perdagangan beras terbesar di Indonesia yang memperdagangkan komoditas beras mencapai 900 000 ton per tahun, oleh karena itu PIBC melakukan monitoring data pasokan, distribusi dan harga beras sehingga berguna sebagai pedoman para pengusaha dan pedagang beras serta para pembuat kebijakan di instansi pemerintah, baik pemerintah pusat/departemen, pemerintah daerah maupun lembaga riset serta bahan berita di media masa nasional dan internet. Menurut Sukidi dalam Surjasa (2011), PIBC adalah pasar beras di Provinsi DKI Jakarta yang dapat menyerap semua jenis beras untuk diperdagangkan sehingga peluang perdagangan komoditas beras masih terbuka luas. Konsumen atau ritel dari FSTJ terdiri atas pasar tradisional (Pasar Jaya) yang jumlahnya 152 pasar di wilayah DKI Jakarta, pasar modern seperti carrefour atau giant, restoran, rumah sakit, instansi negeri maupun swasta, katering dan industri (pabrik). Saham FSTJ merupakan saham gabungan antara pihak Pemda DKI Jakarta, pihak swasta, perorangan dan koperasi. Jumlah permintaan beras umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perbedaan pendapatan masyarakat, jumlah penduduk dan konsumsi per kapita di suatu wilayah. Perbedaan pendapatan masyarakat akan berpengaruh pada kualitas beras yang diminta, pada akhirnya hal ini akan berpengaruh pada sistem penyaluran beras. Penyaluran beras bagi konsumen di Jakarta dilakukan oleh Dolog DKI Jakarta dan PIBC seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Penyaluran beras di DKI Jakarta oleh Dolog dan PIBC Dolog DKI PIBC % penyaluran Total (ton) Tahun Penyaluran Penyaluran Pemasukan Penyaluran (ton) Dolog PIBC (ton) (ton) (ton) 2005 26 267 771 863 750 091 776 358 3 97 2006 22 922 719 403 723 622 746 544 3 97 2007 65 593 594 742 596 197 661 790 10 90 2008 337 137 691 732 697 825 1 034 962 33 67 2009 58 862 789 230 784 067 842 929 7 93 2010 159 359 820 600 817 662 977 021 16 84 Sumber: Perum Bulog Divisi Regional Provinsi DKI Jakarta dan PT. Food Station Cipinang Jaya dalam BPS (2011)
Persediaan beras di PIBC pada dasarnya berasal dari pembelian dalam negeri dan pembelian dari luar negeri (impor). Pengadaan dalam negeri dilakukan pada saat panen raya, sedangkan impor dilakukan jika persediaan di PIBC tidak mencukupi. Ini menunjukkan permintaan lebih besar dari penawaran beras di pasaran. Pengadaan dimaksudkan untuk menahan naiknya harga eceran beras di PIBC yang akan berakibat naiknya harga beras di pasar-pasar wilayah DKI Jakarta (Andrida 1993). Berdasarkan hasil penelitian Andrida (1993) tentang keterpaduan pasar, PIBC berfungsi sebagai pusat penyebaran beras ke pasar-pasar di wilayah DKI Jakarta, juga berfungsi sebagai indikator pengendalian harga bagi Bulog/Dolog Jaya. Daerah sentra produksi yang menjadi sumber pengadaan beras di PIBC adalah Karawang, Cirebon, Bandung, Cianjur, Subang, Serang, Jawa Tengah, dan Jawa Timur seperti terlihat pada Tabel 4. Penyaluran beras dari PIBC sebagian
12
besar dipasarkan untuk wilayah DKI Jakarta (di atas 70 persen), sisanya untuk disalurkan ke luar Jakarta. Tangerang merupakan kota terbesar yang menyerap beras dari PIBC untuk penyerapan di luar wilayah Jakarta, disusul oleh Bogor, Bekasi, dan kota-kota di Irian. Penyaluran ini menunjukkan adanya keterkaitan antara Jakarta dengan wilayah sekitarnya dalam hal pendistribusian beras. Tabel 4 Rekapitulasi pemasukan beras dari daerah sentra produksi tahun 1983 – 1992 di PIBC (ton) Asal Karawang Cirebon Bandung Cianjur Jateng Jatim Ex-Dolog Subang Bekasi Serang Pamanukan Lain-lain Jumlah
1983 130 606 101 714 56 137 33 721 22 076 5 521 9 102 132 359 039
1984 132 854 96 494 64 141 38 699 17 919 4 932 6 402 63 361 144
1985 190 854 111 202 81 341 13 195 16 061 121 1 562 811 415 147
1986 208 932 98 678 73 385 29 712 14 466 11 062 2 441 566 439 242
Tahun 1987 1988 228 256 256 656 138 490 136 931 67 467 85 487 25 982 23 301 17 056 78 847 6 139 18 507 6 345 17 832 794 998 2 014 490 748 571 369
1989 202 849 135 835 86 543 21 982 46 319 24 326 3 841 1 065 1 484 524 235
1990 187 638 121 801 57 196 22 599 37 853 11 846 6 871 5 040 3 823 454 672
1991 154 653 136 778 64 113 23 601 46 835 14 843 5 736 20 079 5 324 1 392 473 471
1992 192 735 146 992 94 299 34 206 84 524 19 469 12 170 7 270 591 664
Sumber: PT. Food Station Tjipinang Jaya dalam Andrida (1993)
Hasil penelitian Mansyur (2006) juga menunjukkan bahwa PIBC merupakan pusat perdagangan beras di Jakarta. Lebih dari 60 persen kebutuhan beras penduduk DKI Jakarta masuk ke Jakarta melalui PIBC. Pemasok beras ke pasar ini berasal dari berbagai daerah produsen beras di Pulau Jawa seperti Karawang, Cianjur, Cirebon, Bandung, Solo, dan sentra produksi beras lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tabel 5). Tabel 5 Pemasukan beras ke PIBC berdasarkan daerah asal (2002-2006) Ex dolog
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Ton 1 390 -
% 0.22 -
Karawang, Cirebon, Pantura, dsk Ton 341 586 353 794 465 839 464 465 220 593
% 53.07 52.19 63.06 58.26 66.36
Bandung, Cianjur, dsk Ton 877 732 84 430 103 299 108 503 40 023
% 13.63 12.22 13.98 13.61 12.04
Surabaya, Lumajang, Kediri, dsk Ton % 5 685 0.88 6 035 0.87 10 538 1.43 64 815 8.13 7 081 2.13
Tabel 5 (Lanjutan) Solo, Demak, Pati, dsk Antar Pulau Ton % Ton % 2002 105 272 16.36 713 0.70 2003 112 428 16.27 4 237 3.25 2004 135 227 18.31 12 824 0.02 2005 143 103 17.95 16 343 2.05 2006 60 301 18.14 4 421 1.33 Sumber: PT. Food Station Tjipinang Jaya dalam Mansyur (2006) Tahun
Ex-Impor Ton % 101 224 15.73 130 205 18.84 11 002 1.49 -
Jumlah Ton 643 602 691 129 738 729 797 229 332 419
13
Penelitian Sebelumnya Aspek pasokan/ketersediaan beras dan aspek harga merupakan 2 aspek penting dalam pendistribusian beras di DKI Jakarta. Terkait dengan aspek pasokan beras, Provinsi DKI Jakarta memiliki Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) yang dikelola oleh PT. Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ). FSTJ/PIBC sebagai pasar utama pemasaran beras diharapkan dapat menjadi pihak yang dapat mengatur dan mengendalikan ketahanan pangan, khususnya untuk komoditas beras di wilayah DKI Jakarta (Surjasa et al. 2011). Menurut Andrida dalam penelitiannya tentang keterpaduan pasar (1993), wilayah sekitar DKI Jakarta yang menjadi pemasok utama ke PIBC adalah Karawang, Subang, Cianjur, dan Serang. Wilayah penerima utamanya selain wilayah Jakarta sendiri adalah wilayah hinterland-nya yaitu Tangerang, Bogor, Serang, dan Bekasi. Berdasarkan alasan tersebut PIBC perlu mengelola pasokan beras baik yang masuk ke PIBC maupun pasokan beras yang ke luar dari PIBC guna menjaga ketersediaan beras. Gandhi (2008) dalam penelitiannya di Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa pola tataniaga beras dari tingkat petani hingga konsumen akhir melibatkan berbagai lembaga tataniaga dalam satu saluran tataniaga. Akibatnya, terjadi perbedaan harga produk yang cukup besar/signifikan antara harga produk yang diterima oleh petani dan harga produk yang dibayarkan oleh konsumen akhir, atau dengan kata lain nilai marjin pemasaran komoditas beras masih tinggi. PIBC sebagai sentra/indikator pemasaran beras perlu mengantisipasi harga beras yang berfluktuasi guna menjaga harga yang dapat terjangkau warga DKI Jakarta. Selain itu, Pemerintah baik Pusat ataupun Daerah juga perlu memastikan kesejahteraan petani dengan memperhatikan harga jual yang diterima oleh petani. Menurut Amadou dan Sanogo (2010), kebijakan stabilisasi harga di Nepal terkait dengan defisit pangan dan ketergantungan negara tersebut terhadap impor, tidak akan berdampak apapun terhadap harga pangan kecuali ada usaha lebih lanjut meningkatkan stok pangan nasional untuk intervensi ketahanan pangan jangka pendek. Dalam jangka panjang, peningkatan infrastruktur transportasi antarnegara akan mengurangi biaya transport dan memberi insentif lebih baik bagi petani dan pelaku usaha perdagangan pangan di negara tersebut. Herdy (2005), menyimpulkan bahwa aliran barang ke Jakarta lebih besar peluangnya berasal dari daerah periphery (pinggirannya) dibanding wilayah lain yang jaraknya lebih jauh. Interaksi cukup kuat terjadi antara Jakarta dengan Kabupaten Tangerang, Bekasi, dan Bogor disusul kemudian dengan Karawang, Serang, Sukabumi, dan Cianjur untuk pergerakan kendaraan. Seperti halnya yang terjadi di Bangkok – Thailand, menurut Vagneron (2007) kota tersebut sangat bergantung pada daerah peri-urban untuk pemenuhan kebutuhan pangannya. Bangkok sejak tahun 1990an menjadi pusat konsentrasi penduduk dengan laju urbanisasi yang cukup tinggi sehingga banyak terjadi konversi lahan pertanian untuk kegiatan usaha yang lebih menguntungkan di kota tersebut, namun hal ini berakibat usaha pertanian bergeser ke wilayah hinterlandnya, sehingga di wilayah tersebut terjadi persaingan penggunaan lahan non pertanian dan lahan pertanian dengan sistem pertanian intensif yang seringkali berefek negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Hadi (2009) menyebutkan tentang berbagai faktor ikut mempengaruhi aliran perdagangan komoditi di suatu wilayah, diantaranya pendapatan per kapita
14
wilayah tujuan, populasi, jarak antar negara, nilai tukar, harga ekspor komoditi di wilayah tujuan, dan ekspor komoditi ke wilayah tujuan satu tahun sebelumnya. Faktor-faktor pada berbagai negara tujuan tersebut berlaku sebagai faktor gravity atau faktor penarik terjadinya aliran perdagangan komoditi dari suatu wilayah pemasok ke titik konsumsi (wilayah tujuan/pengimpor). Faktor penentu besarnya interaksi antara dua wilayah atau lebih ditentukan berdasarkan: (1) jarak antar wilayah yang berinteraksi, dan (2) jumlah penduduk pada wilayah tersebut. Terkait dengan komoditi beras, tidak semua wilayah dapat menghasilkan beras karena faktor geografis dan keadaan alam. Ada satu wilayah yang cocok untuk ditanami padi sehingga ketersediaan beras di wilayah tersebut melimpah (surplus), sedangkan ada wilayah lain yang sebaliknya (defisit). Oleh karena itu terdapat interaksi antara kedua wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan beras dalam bentuk hubungan perdagangan antar wilayah yang menjadi sentra produksi beras dengan wilayah konsumen beras. Gravity model dapat digunakan untuk menganalisis hubungan perdagangan antar wilayah tersebut. Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aliran perdagangan beras ke suatu wilayah adalah PDRB wilayah tujuan, produksi beras di wilayah asal, populasi wilayah tujuan, harga beras di wilayah tujuan, dan biaya transportasi (Winniasri 2007).