7
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Suryana (2001a) dengan pengertian tersebut mewujudkan ketahanan pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai berikut: a. Terpenuhinya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas bukan hanya beras tetapi mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan meneral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda/zat lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama. c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata diseluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga terjangkau. Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu terhadap pangan yang cukup (Suryana, 2004a). Pembangunan
ketahanan
pangan
memerlukan
pembangunan ketiga sub sistem tersebut diatas.
harmonisasi
dari
Pembangunan sub sistem
ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan
8
penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis.
Pembangunan sub sistem
konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan desentralistis, dan melalui pendekatan koordinasi (Simatupang, 1999). Suryana (2001b) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga sub sistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku (stakeholder) seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai institusi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah.
Output yang
diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak azazi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Akses penduduk terhadap pangan terkait dengan kemampuan produksi pangan tingkat rumah tangga, kesempatan kerja dan pendapatan keluarga. Dalam kaitan ini, pangan bukan hanya beras atau komoditas tanaman pangan, tetapi mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik produk primer maupun turunannya. Dengan demikian pangan tidak hanya dihasilkan oleh pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan, tetapi juga industri pengolahan pangan.
Selanjutnya pangan yang
cukup tidak hanya dalam jumlah tetapi juga keragamannya, sebagai sumber asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral); untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik, kecerdasan dan produktivitas manusia (Suryana, 2004a).
9
Untuk mewujudkan suatu kondisi ketahanan pangan nasional yang mantap, ketiga sub sistem dalam sistem ketahanan pangan diharapkan dapat berfungsi secara sinergis, melalui kerjasama antar komponen-komponannya yang digerakkan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam komunitas masyarakat yang dinamis ini, sistem tersebut dituntut untuk terus berevolusi mengikuti aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Dalam kondisi demikian, upaya pemantapan dan peningkatan ketahanan pangan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang kompleks. Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan, mulai dari sub sistem penunjang yang meliputi prasarana, sarana dan kelembagaan, kebijakan, pelayanan dan fasilitasi pemerintah; sub sistem ketersediaan pangan yang meliputi produksi, impor dan cadangan pangan; sub sistem distribusi yang menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan; hingga sub sistem konsumsi yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi masyarakat; merupakan bidang kerja berbagai sektor.
Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam
memantapkan ketahanan pangan dalam situasi dan kondisi perdagangan domestik dan global, bekerjasama dengan sektor-sektor mitranya, khususnya industri dan perdagangan, prasarana fisik, serta perhubungan. Dengan memahami hal tersebut, program peningkatan ketahanan pangan ini harus memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan. Konsep Ketahanan Pangan Istilah ketahanan pangan (food security) mulai populer sejak krisis pangan dan kelaparan pada awal dekade 70-an (Maxwell and Frankerberger, 1997). Dalam kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan oleh PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen internasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afrika dan Asia. Menurut Setiawan (2004) definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi pangan agar hidup produktif dan sehat. Ketahanan pangan diindikasikan oleh terpenuhinya pangan bagi rumah tangga secara kualitas maupun
10
kuantitas, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan rumah tangga
(household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari (Rumusan International Congress of Nutrition di Roma 1992).
Kecukupan pangan mencakup segi kuantitas dan
kualitas, agar rumah tangga dapat memenuhi kecukupan pangan tersebut berarti rumah tangga harus memiliki akses memperoleh pangan baik dari produksi sendiri maupun membeli dari pasar. Ini berarti bahwa tiap rumah tangga harus ditingkatkan daya belinya. Pada tahun 1980-an terjadi konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Berkaitan dengan pergeseran konsep maka kerangka ketahanan pangan berada dalam suatu jenjang, yaitu ketahanan pangan wilayah, rumah tangga dan individu. Ketahanan pangan rumah tangga tidak akan menjamin ketahanan pangan individu sedangkan ketahanan pangan individu akan menjamin ketahanan pangan di semua jenjang (Setiawan, 2004). Pada mulanya pengertian ketahanan pangan terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Konsep swasembada berbeda dengan konsep ketahanan pangan, meskipun dalam beberpa hal mungkin berkaitan. United Nation (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi flukuasi produksi dan harga. World Bank (1994) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Kemudian pada tahun 1986 World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat. Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif
11
serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Hardinsyah dan Martianto, 2001). Ketersediaan Pangan Wilayah Ketersediaan pangan di suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
jumlah
dan
jenis
pangan
yang
dikomsumsi
penduduk.
Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar dari pada kebutuhan penduduk. Jika keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan (food security) akan berada tingkat yang aman. Ketersediaan pangan (food availability) di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena penangan yang kurang tepat, dan tingkat impor/ekspor pangan. Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai nasional, propinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga.
Ketersediaan
pangan dapat diukur baik pada tingkat makro (nasional, propinsi, kabupaten/kota) maupun mikro (rumah tangga) (Baliwati dan Roosita, 2004). Dalam mendukung pembangunan pangan, informasi tentang situasi ketersediaan pangan merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan evaluasi dan perencaaan pangan, instrumen utama dalam penilaian terhadap situasi ketersediaan pangan diantaranya Neraca Bahan Makanan (NBM). Neraca Bahan Makanan memberikan informasi tentang situasi pengadaan/penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri, impor/ekspor dan stok serta penggunaan pangan untuk kebutuhan pakan, bibit, penggunaan untuk industri, serta informasi ketersediaan pangan untuk dikonsumsi penduduk suatu negara/wilayah dalam kurun waktu tertentu (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Untuk dapat menilai dan memahami situasi sumberdaya pangan di suatu daerah terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk, diperlukan suatu metode Neraca Bahan Makanan (NBM). NBM adalah suatu cara yang dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan pangan yang cukup lengkap. Dengan
12
NBM dapat dilihat secara makro gambaran susunan bahan makanan, jumlah dan jenis bahan makanan yang tersedia untuk dikonsumsi, sehingga dapat diketahui persediaan dan penggunaan pangan di suatu daerah, serta tingkat ketersediaan dan penggunaan pangan di suatu daerah. NBM menyajikan angka rata-rata banyaknya jenis bahan makanan yang tersedia untuk dikonsumsi penduduk per kapita per tahun (dalam kilogram), dan per kapita per hari (dalam gram) dalam kurun waktu tertentu. Untuk mengetahui nilai gizi masing-masing jenis bahan makanan yang tersedia diperhitungkan dengan mengalikan kandungan kalori, protein dan lemak per satuan berat masing-masing jenis bahan makanan (BPS, 1968 dalam Dulmansyah, 2002). Penyediaan Pangan dengan Pendekatan PPH Sasaran pembangunan pangan selama PJP II adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang tercermin pada ketersediaan dan konsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu.
Ketahanan pangan
dikembangkan antara lain dengan bertumpu pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan potensi lokal. Sejak diperkenalkannya konsep PPH dan skor PPH pada awal dekade 90-an di Indonesia Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro.
Skor PPH juga telah dijadikan dasar dalam kebijakan pembangunan
pangan sebagai satu indikator output pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan, konsumsi pangan dan diversifikasi pangan. Menurut FAO-RAPA (1989) PPH sangat berguna untuk merumuskan kebijaksanaan pangan dan perencanaan pertanian disuatu wilayah. Dengan PPH, perencanaan pertanian dan pangan akan mengetahui berapa kecukupan gizi penduduk. PPH juga dapat memberikan patokan bagi perencana di bidang pangan dan pertanian untuk mengetahui kelompok pangan yang harus ditingkatkan produksinya dan atau keragaman tanaman pangan sesuai dengan keadaan ekologi dan ekonomi suatu wilayah. Selanjutnya Suhardjo (1992) menyatakan dengan adanya PPH maka perencanaan produksi dan penyediaan pangan dapat didasarkan pada patokan imbangan komoditas seperti yang telah dirumuskan dalam PPH
13
untuk mencapai sasaran kecukupan pangan dan gizi penduduk.
PPH yang
disajikan dalam bentuk kelompok pangan memberi keleluasaan untuk menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi dan potensi setempat. Hardinsyah (1996) dalam Hardinsyah et al. (2004) dengan menggunakan data Susenas 1990 telah melakukan validasi dan adaptasi PPH dan scoring system PPH bagi Indonesia yang sejalan dengan konsep Pedoman Umum Gizi seimbang. Pada tahun 2000 Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan, telah melakukan diskusi pakar dan lintas subsektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut menjadi PPH 2020. Penyempurnaan PPH dan skor PPH dengan mempertimbangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2200 kkal/kap/hari; 2) Persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2200 kkal sebagai penyebut); 3) Rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating; 4) Skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) Peran pangan hewani, gula serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) Peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal; 7) Peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya tidak nihil. (Hardinsyah et al., 2004). Untuk lebih jelasnya seperti Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN 2001 No 1
Kelompok Pangan Padi-padian
%
FAO-RAPA Min-Max
40.0
40.0 - 60.0
Meneg Pangan (1994) % Bobot Skor 50.0
0.5
25.0
%
Deptan (2001) Bobot Skor
50.0
0.5
Gr/kap /hr
25.0
300.0
2
Umbi-umbian
5.0
0.0 – 8.0
5.0
0.5
2.5
6.0
0.5
2.5
100.0
3
Pangan hewani
20.0
5.0 – 20.0
15.3
2.0
30.6
12.0
2.0
24.0
150.0
4
Minyak dan lemak
10.0
5.0 – 20.0
10.0
1.0
10.0
10.0
0.5
5.0
25.0
5
Buah/Biji berminyak
3.0
0.0 – 3.0
3.0
0.5
1.5
3.0
0.5
1.0
10.0
6
Kacang-kacangan
6.0
2.0 – 10.0
5.0
2.0
10.0
5.0
2.0
10.0
35.0
7
Gula
8.0
2.0 – 15.0
6.7
0.5
3.4
5.0
0.5
2.5
30.0
8
Sayur dan buah
5.0
3.0 – 8.0
5.0
2.0
10.0
6.0
5.0
30.0
250.0
9
Lain-lain
3.0
0.0 – 5.0
0.0
0.0
0.0
3.0
0.0
0.0
(25)
Jumlah
100
93.0
100
Sumber : Hardinsyah et al, (2004)
100
100
14
Pemantapan Ketahanan Pangan di Era Otonomi Daerah Peranan dan Kewenangan Pemerintah dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Dalam rangka melaksanakan strategi/pendekatan kebijakan dan pencapaian sarana pembangunan ketahanan pangan, pemerintah berperan dalam memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berkiprah dalam pembangunan ketahanan pangan.
Menurut Suryana (2001b) upaya
penciptaan tersebut dapat dilaksanakan melalui : a. Penerapan kebijakan makro ekonomi yang kondusif, menyangkut: suku bunga, nilai tukar, perpajakan, investasi prasarana publik, peraturan perundangan, dan intervensi kegagalan pasar. b. Peningkatan kapasitas produksi nasional melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berbasis pada komoditas pertanian bahan pangan, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam nasional, efisiensi teknologi spesifik lokasi, dan mengembangkan manajemen serta prasarana ekonomi untuk menghasilkan produk-produk pangan yang berdaya saing. c. Penanganan simpul-simpul kritis dalam pelayanan publik, seperti: sistem mutu, dan informasi pasar agribisnis, ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan, transportasi, pendidikan dan pelatihan manajemen, kemitraan usaha agribisnis, pemupukan cadangan pangan masyarakat dan pemerintah, pendidikan gizi dan pengelolaan konsumsi, penerapan sistem mutu dan perlindungan konsumen dari bahaya akibat mengkonsumsi pangan. d. Peningkatan kemandirian dan pemberdayaan masyarakat agar mampu dan mandiri untuk mengenali potensi dan kemampuan, alternatif peluangnya, dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk mengembangkan usahanya secara berkelanjutan dalam suatu perekonomian yang mengikuti azas mekanisme pasar yang berkeadilan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menetapkan kewenangan daerah yang luas dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat
15
dan kemampuan wilayah. Dalam rangka pembangunan ketahanan pangan, hal ini diartikan sebagai adanya kebebasan daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya, namun tetap dalam kerangka ketahanan pangan nasional secara keseluruhan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menyatakan bahwa pemerintah propinsi, kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa melaksanakan kebijakan dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
ketahanan
pangan
wilayahnya
masing-masing
dengan
memperhatikan pedoman, norma, standar, kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam kerangka mematuhi azas-azas desentralisasi, pemerintah pusat dan propinsi membagi perannya sesuai peraturan yang berlaku, khususnya pada urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, serta membantu pemerintah daerah sesuai permintaan.
Pemerintah kabupaten melaksanakan perannya sesuai
kewenangan otonominya, namun tetap dalam kerangka sistem yang lebih luas. Setiap kebijakan perlu dipertimbangkan keterkaitan timbal baliknya dengan kehidupan di tingkat lokal, regional, hingga nasional, dan bahkan di tingkat global. Menurut Suryana (2001b), berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di pusat dan darah yang dijabarkan dalam program pembangunan sistem ketahanan pangan, diletakan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah, yang lebih memberikan peluang pada parsitipasi aktif masyarakat.
Adapun kewenangan pemerintah
kabupaten/kota dalam rangka operasional bidang ketahanan pangan dilakukan melalui : 1) Pemantauan produksi dan ketersediaan/cadangan pangan strategis nabati dan hewani; 2) pemantauan, pengkajian, dan pengembangan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat; 3) kordinasi lintas wilayah dalam rangka kecukupan pangan dan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat; 4) fasilitasi pelaksanaan, norma, dan standar pengembangan distribusi pangan; 5) pemantauan, pengkajian, dan pengawasan penerapan standar teknis distribusi pangan; 6) pemantauan dan pengawasan distribusi pangan di wilayah kabupaten/kota; 7) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan sistem pangan;
8) kebijakan
pelaksanaan kewaspadaan pangan; 9) pelaksanaan pengawasan mutu dan
16
keamanan pangan; 10) pengawasan sistem jaringan mutu pangan; 11) pembinaan perbaikan mutu pangan masyarakat; 12) koordinasi penanggulangan kerawanan pangan masyarakat di pedesaan dan perkotaan; 13) perumusan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan gejala kekurangan pangan serta keadaan darurat pangan; 14) pengembangan peran sera koperasi dan swasta dalam menanggulangi kerawanan pangan; 15) pengembangan sumberdaya manusia (SDM) di bidang kewaspadaan dan pengembangan mutu pangan siap konsumsi; 16) pengkajian, perekayasaan, dan pengembangan kelembagaan ketahanan pangan di pedesaan; 17) penggalangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan cadangan pangan; 18) peningkatan motivasi masyarakat/aparat dalam rangka pemantapan ketahanan pangan; 19) pelaksanaan promosi bahan pangan lokal; 20) gerakan pengembangan lumbung pangan masyarakat dan stabilias terhadap pangan masyarakat; 21) pemberdayaan kelembagaan petani (kelompok tani/koperasi) dalam rangka ketahanan pangan masyarakat; 22) penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat tentang ketahanan pangan; 23) pengembangan kemitraan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Pembangunan Pangan di Era Otonomi Daerah Salah satu hal penting dari sasaran pembangunan pangan, adalah bahwa orientasi penyediaan pangan tidak lagi semata berorientasi pada peningkatan kuantitas, tetapi juga berorientasi pada kualitas khususnya dinilai dari aspek komposisi/keragaman penyediaan pangan serta mutu gizi konsumsi pangan dengan menitikberatkan pada potensi sumberdaya setempat. Pada masa lalu pertimbangan perencanaan pangan lebih mengacu pada upaya meningkatkan kemampuan produksi dan permintaan pangan. Pada masa datang, selain memperhatikan kedua hal itu, pertimbangan yang juga penting adalah bahwa pangan yang disediakan dan dikonsumsi harus memenuhi kecukupan gizi dan kualitas tertentu, serta sedapat mungkin penyediaannya dilakukan dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal (Hardinsyah, et al., 2001). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 disebutkan bahwa revitalisasi pertanian ditempuh dengan empat langkah pokok yaitu : 1) peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya;
17
2) pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan; 3)serta pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan. sedangkan Kebijakan
dalam
pengamanan
ketahanan
pangan
diarahkan
untuk:
1) Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, agar kemandirian pangan nasional dapat diamankan; 2) Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam
negeri.
Kebijakan
pengembangan
peternakan
diarahkan
untuk
meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM; 3) Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif. Sesuai dengan Inmendagri Nomor 4 Tahun 1994 tentang pelaksanaan otonomi daerah mengariskan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu strategi pembangunan pertanian daerah diarahkan pada ”upaya menjamin tersedianya pangan yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat baik melalui diversifikasi pangan, pertanian berbasis kearipan lokal, dan kinerja lain yang dapat meningkatkan produksi pangan di daerah, serta mengurangi ketergantungan pangan rakyat pada beras”. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kotabaru tahun 2006-2010 (Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 01 Tahun 2006), agenda program pembangunan ketahanan pangan sebagai berikut : Revitalisasi pertanian daerah. Sektor pertanian yang mencakup tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan berperan besar dalam rangka penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan daerah. Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk tujuan antara lain meningkatkan produksi dan produktivitas, meningkatkan penghasilan dalam upaya meningkatkan taraf hidup petani.
Dalam upaya pembangunan sektor
18
pertanian di Kabupaten Kotabaru, kebijakan yang dilakukan pada dasarnya juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, disertai dengan penataan dan pengembangan kelembagaan. Melalui upaya tersebut diharapkan adanya partisipasi aktif dan kesejahteraan secara efisien dan dinamis serta diikuti dengan pembagian surplus ekonomi antar berbagai antar berbagai pelaku ekonomi secara lebih adil melalui pengembangan sistem agribisnis yang efisien. Untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan peran sektor pertanian menghadapi berbagai perubahan sebagai akibat dari globalisasi yaitu: 1) semakin terbukanya pasar dan meningkatnya persaingan; 2) meningkatnya tuntutan kebijakan pertanian yang berlandaskan mekanisme pasar (market oriented policy); 3) semakin berperannya selera konsumen (demand driven). Oleh karena itu fokus pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Kotabaru adalah berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan daerah dan kelembagaan petani di pedesaan melalui sistem usaha tani agribisnis sesuai dengan visi dan misi Kabupaten Kotabaru dalam upaya mensejahterakan masyarakat terutama pengembangan ekonomi di pedesaan. Sektor
pertanian
di
Kabupaten
Kotabaru
memiliki
potensi
untuk
dikembangkan apabila dapat dikembangkan apabila dapat mengatasi kondisi yang dihadapi sekarang ini, seperti rendahnya produktivitas, rendahnya efesiensi usaha, banyaknya konversi lahan pertanian, keterbatasan prasarana dan sarana pertanian, serta terbatasnya kredit. Kondisi ini disebabkan antara lain: 1) berkurangnya lahan pertanian fungsional akibat berpisahnya Tanah Bumbu dari Kabupaten Kotabaru; 2) keterbatasan akses petani kesumber pembiayaan, keterbatasan modal kurang mendorong petani untuk menerapkan teknologi baru dalam rangka peningkatan produktivitas,
membatasi
peningkatan nilai
tambah
dan
pada
akhirnya
mengakibatkan ketergantungan pada penyediaan modal informal (pengijon); 3) penguasaan teknologi masih rendah, kondisi ini tidak dapat dihindari karena ratarata tingkat pendidikannya masih rendah bahkan tidak tamat SD sehingga berakibat rendahnya produktivitas dan nilai tambah produk pertanian. Pengembangan sistem ketahanan pangan. Program ini berbasis pada kemampuan produksi, keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan
19
budaya lokal yang bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan ketahanan pangan ke tingkat rumah tangga sebagai bagian dari ketahanan pangan daerah. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi: 1. Peningkatan produksi bahan pangan dan aksesibilitas keluar masuknya bahan pangan; 2. Pembentukan kawasan sentra baru produksi padi; 3. Peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil; 4. Perencanaan kawasan sentra produksi Kabupaten Kotabaru; 5. Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan; 6. Pembangunan dan pendayagunaan kawasan sentra produksi pertanian dan peternakan; 7. Melakukan pemberdayaan dan pengembangan sistem pola kerjasama kemitraan. Pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis yang mencakup usaha di bidang agribisnis hulu, on farm, hilir dan usaha jasa pendukungnya. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini meliputi: 1. Pengembangan diversifikasi usaha tani; 2. Peningkatan mutu intensifikasi dan perluasan areal tanam (PAT), serta penerapan sistem agribisnis; 3. Pembangunan dan pengembangan kawasan sentra produksi padi, palawija dan hortikultura; 4. Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif, terutama permodalan; 5. Peningkatan sarana dan prasarana alat mesin pertanian (alsintan); 6. Pengembangan teknologi budidaya pertanian; 7. Penyebaran sapi bibit, dan inseminasi buatan. Pengembangan usaha tani secara partisipatif.
Program ini bertujuan
untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing masyarakat pertanian, terutama petani yang tidak dapat menjangkau akses terhadap sumberdaya usaha pertanian. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini adalah:
20
1. Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perkebunan dan kehutanan, peternakan dan perikanan; 2. Penumbuhan dan penguatan kelembagaan masyarakat tani guna meningkatkan posisi tawar petani; 3. Pengurangan hambatan usaha pertanian; dan 4. Pengembangan upaya pengentasan kemiskinan. Pencapaian swasembada pangan berbasis lokal. Program ini bertujuan untuk memantapkan ketahanan pangan dan penyediaan bahan makanan yang berbasis potensi lokal untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, lemak, dan protein bagi seluruh penduduk Kabupaten Kotabaru. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi: 1. Pengembangan sistem prasarana dan sarana pertanian; 2. Pengembangan perencanaan produksi; 3. Penataan sistem distribusi dan pengolahan hasil pertanian; 4. Pengembangan dan pendayagunaan iptek pertanian; dan 5. Peningkatan kualitas SDM dan penyuluh pertanian. Optimalisasi lahan dan penambahan baku lahan. Program ini bertujuan untuk lebih memanfaatkan potensi sumberdaya pertanian (dalam arti luas) secara efisien, optimal, adil dan bekelanjutan. Kegiatan pokok yang dilakukan melalui program ini meliputi: 1. Optimalisasi lahan melalui pengembangan produk bernilai tinggi dari usahausaha pertanian, perkebunan dan kehutanan, perikanan, dan peternakan; 2. Pemberian hak pengelolaan untuk periode tertentu kepada masyarakat untuk pengembangan usaha-usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan, perikanan, dan peternakan; 3. Memberikan kemudahan perizinan usaha, dan kemudahan permodalan/ pinjaman; 4. Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup dalam pengembangan hutan (peladang berpindah, pionir hutan, khususnya transmigrasi, dan sebagainya), dalam pengembangan hutan tanaman yang lestari;
21
5. Kegiatan perluasan areal tanam (PAT) dengan strategi meliputi kegiatan a) optimalisasi pemanfaatan lahan; b) rehabilitasi dan konservasi lahan (RKL); c) penambahan baku lahan (PBL). Prioritas pendukung revitalisasi pertanian. Dalam perekonomian tidak ada satupun sektor yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya saling ketergantungan dan keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian. Demikian pula halnya dengan sektor pertanian, sektor ini juga memerlukan dukungan dari sektor lain baik untuk penyediaan input produksinya maupun untuk penyaluran autput produksinya. Karena itu untuk mendukung revitalisasi pertanian diperlukan pula dukungan program-program dan kegiatan sebagai berikut: 1. Program pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan. Program ini bertujuan untuk mengelola, mengembangkan, dan memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal, adil, dan berkelanjutan dalam rangka nilai tambah hasil perikanan serta pendapatan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi: a) pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil; b) pengembangan kawasan budidaya laut, air payau, dan air tawar; c) penataan kembali usaha budidaya tambak dan air tawar; d) penyempurnaan sistem perbenihan; e) pembangunan sarana dan prasarana perikanan; f) peningkatan usaha perikanan skala kecil; g) peningkatan kualitas SDM dan penyuluh perikanan; dan h) penguatan kelembagaan. 2. Program terkait pengembangan pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan dengan kegiatan pokok: a) pembukaan lahan baru; b) pengembangan dan perbaikan irigasi; c) fasilitasi penyediaan saprodi dan sapronak; d) pengembangan jasa alsintan; e) pengembangan jasa permodalan. 3. Program peningkatan produktivitas, dengan kegiatan pokok: a) pemupukan berimbang; b) penggunaan benih bermutu, ternak, bibit, dan inseminasi buatan (IB); c) persiapan rekayasa teknologi; d) pengembangan pola tanam; e) pengembangan produksi pangan dan ternak lokal (alternatif); f) perwilayahan komoditas tanaman pangan dan ternak.
22
4. Program perluasan areal tanam (PAT), dengan kegiatan pokok: a) optimalisasi pemanfaatan lahan (OPL); b) rehabilitasi dan konservasi lahan(RKL); c) penambahan bahan baku (PBL); d) pengembangan daerah penyangga lahan pasang surut. 5. Program pengembangan komoditas alternatif/subtitusi, dengan kegiatan pokok: a) pengembangan komoditas unggulan lokal; b) pengolahan hasil tanaman pangan dan peternakan; c) optimalisasi pemanfaatan lahan pasang surut melalui upaya pengelolaan sistem surjan, dan tanpa olah tanah (TOT). 6. Program pengembangan perbenihan dan bibit ternak, dengan kegiatan pokok: a). pengembangan varietas padi dan bibit ternak baru; b) pengawasan mutu dan sertifikasi benih dan bibit ternak; c) penangkaran benih dan bibit ternak 7. Program pengembangan sistem perlindungan tanaman dan ternak, dengan kegiatan pokok: a) pemasyarakatan PHT dan penyakit ternak; b) pengadaan sarana pengendalian hama/penyakit tanaman dan ternak. 8. Program pengolahan dan pemasaran hasil, dengan kegiatan pokok: a) pasca panen tanaman pangan dan ternak; b) informasi harga pasar komoditas pangan dan ternak; c) pengaturan tata niaga dan standarisasi produk pertanian dan peternakan. 9. Program pengembangan kelembagaan, dengan kegiatan pokok: a) revitalisasi penyuluhan;
b)
penguatan
kelembagaan
kelompok
tani/ternak;
c)
pengembangan pola kemitraan; d) pengembangan asosiasi dan perlindungan usaha tani dan ternak.