TINJAUAN PUSTAKA
Keamanan Pangan Keamanan pangan didefinisikan dalam Undang-Undang Pangan RI Nomor 7 tahun 1996 sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim 1997). Menurut Codex Alimentarius Commission (1997), keamanan pangan adalah semua kondisi dan ukuran kebutuhan untuk menjamin keamanan dan kesesuaian pangan dalam semua tingkat rantai pangan. Keamanan pangan pada dasarnya merupakan proses yang komplek, yang berkaitan erat dengan aspek kebijakan, toksisitas,
kimiawi,
(Indraningsih 2006).
status
gizi,
kesehatan,
dan
ketentraman
batin
Masalah keamanan pangan perlu pengawasan yang
komprehensif di sepanjang rantai pangan dari sejak pangan diproduksi sampai dikonsumsi oleh masyarakat (from farm to table). Keamanan pangan menjadi perhatian dunia karena dampak terhadap kesehatan masyarakat sangat besar. Keamanan pangan dan masalah gizi berpengaruh terhadap perkembangan kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang (Gartini et al. 2009). Kedudukan masyarakat dalam keamanan pangan berperan sebagai konsumen dan penghubung terakhir dalam rantai pangan setelah melewati proses produksi, pengolahan, dan distribusi ke penjual pangan.
Faktor yang
mempengaruhi keamanan pangan pada konsumen antara lain: umur, gaya hidup, kesehatan, pengetahuan, kebudayaan, jenis kelamin, pandangan politik, kebutuhan nutrisi, daya beli, status ekonomi, status keluarga, pekerjaan, dan pendidikan (Seward 2003b). Terjaminnya keamanan pangan di masyarakat perlu pengawasan yang ketat dan secara terpadu dari pemerintah maupun departemen yang bergerak di bidang pangan.
Pengawasan terhadap produk pangan bertujuan untuk
mencegah munculnya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Bahaya dalam Keamanan Pangan Menurut National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Food (1997), yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya dalam keamanan pangan terdiri dari bahaya biologis, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Bahaya biologis dapat
menyebabkan
infeksi
(pertumbuhan
mikroorganisme
yang
dapat
menyebabkan penyakit) dan intoksikasi (penyakit yang disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh mikroorganisme). Contoh dari agen biologis pangan asal hewan
yang
Campylobacter,
ditransmisikan Escherichia
kepada coli,
manusia
Listeria
antara
lain:
monocytogenes,
Salmonella, Toxoplasma,
Leptospira, Coxiella burnetii (Q fever), Brucella, Mycobacterium, Yersinia enterolitica, prion (bovine spongiform encephalopathy agent), dan parasit (Taenia solium, Taenia saginata, dan Trichinella spiralis), agen tersebut dapat menyebabkan foodborne disease (OIE 2006). Bahaya kimia berasal dari: (1) bahan pertanian seperti pestisida, antibiotik, dan hormon pertumbuhan, (2) industri kimia seperti cleaning agent, sanitizers, dan peralatan industri yang berhubungan dengan minyak, bensin, dan pelumas. Bahaya kimia yang lainnya seperti toksikan alami (mikotoksin) dan kontaminasi dari lingkungan antara lain: dioxins, polychlorinated biphenyls (PCBs), polyaromatic hydrocarbons (PAHs), logam berat (arsenik, merkuri, timbal, dan cadmium merupakan toksik logam berat pada hewan domestik), dan isotop radioaktif (Seward 2003a; OIE 2006; Andree et al. 2010).
Menurut Corleet
(1998) yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya fisik terdiri dari gelas, kayu, plastik, batu, logam, dan tulang. Bahaya fisik merupakan kontaminasi yang tidak disengaja berasal dari penanaman, pemanenan, proses industri, distribusi, dan penyimpanan.
Data yang Terkait Keamanan Pangan Daging Keamanan pangan pada daging dapat ditinjau dari aspek kimia, biologi, dan fisika. Aspek paling penting berada di rumah potong hewan dan proses industri yang menerapkan program hazard analysis and critical control point (HACCP). Implementasi program HACCP pada semua bahaya dapat mempengaruhi
keselamatan manusia, maka dari itu setiap bahaya harus diidentifikasi, dipantau, dikurangi, dan dihilangkan ketika dianggap kritis (Dwinger et al. 2009). Menurut Schreuder (1994) dan Bernard et al. (1999) yang diacu dalam Dwinger et al. (2009), sekitar tahun 1990 kepercayaan konsumen di Eropa terancam karena sejumlah makanan terkontaminasi terutama daging sapi. Sapi di Inggris terjangkit bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan di Belgia ditemukannya polychlorinated biphenyls dan dioxins pada pakan ternak. Penelitian mengenai penanganan daging sapi di Turki dilakukan pada bulan September sampai Desember 2004. Wawancara dilakukan pada konsumen yang berjumlah 1090 orang yang terdiri dari konsumen yang diet daging sapi, pembeli daging sapi, dan konsumen yang menangani daging sapi di rumah.
Hasil
wawancara dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak dapat menyimpan dan mencairkan daging sapi pada suhu yang baik dan benar. Praktik penanganan pangan dipengaruhi oleh pendidikan, sosial ekonomi, dan pengetahuan keamanan pangan. Konsumen daging sapi di Turki harus diberitahu mengenai penanganan daging sapi yang baik dan benar untuk mencegah foodborne disease (Karabudak et al. 2008). American Meat Institute (AMI) melakukan survei untuk mengetahui opini konsumen mengenai pengemasan dan proses pengolahan daging ayam dan sapi pada awal tahun 2007. Survei ini dilakukan di kota Illinois (Chicago) yang terdiri dari dua kelompok yaitu fokus grup dan survei internet. Beberapa kesimpulan utama dari survei ini adalah (1) sekitar 90% konsumen setuju, bahwa produk daging yang diproduksi di Amerika Serikat merupakan produk yang paling aman di dunia, (2) sekitar 74% konsumen setuju, bahwa daging sapi yang diproduksi di Amerika Serikat paling terjangkau di dunia, (3) hampir 60% konsumen setuju, bahwa daging ayam dan sapi yang dipotong di Amerika Serikat diperlakukan secara manusiawi, (4) sekitar 50% konsumen mendengar mengenai kejadian khusus masalah keamanan pangan daging pada tahun lalu, (5) sekitar 33% konsumen mengatakan, bahwa isu keamanan pangan daging pada tahun lalu mencegah konsumen untuk membeli daging ayam dan sapi (Seward 2009). Keamanan pangan daging berada pada barisan terdepan yang menjadi perhatian masyarakat dalam beberapa tahun terakhir dan tantangan ini akan
berlanjut di masa yang akan datang. Isu terbesar dalam keamanan pangan daging yaitu tantangan yang terkait kebutuhan maupun pencegahan terhadap munculnya dan berkembangnya mikroorganisme patogen. Salah satu bahaya kimia yang terdapat dalam daging yaitu ditemukannya residu antibiotik (Sofos 2008).
Residu Antibiotik Residu antibiotik adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari antibiotik tersebut, sehingga residu dalam bahan makanan (terutama jaringan ternak untuk konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah (non-altered parent drug), metabolit dan/atau konjugat lainnya.
Beberapa metabolit obat
diketahui bersifat kurang/tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik (Haagsma 1988). Sesuai dengan petunjuk teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan, residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau bahan kimia untuk tujuan pencegahan atau pengobatan atau sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan. Antibiotik yang diberikan pada hewan ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan berinteraksi dengan reseptor di dalam tubuh.
Interaksi tersebut
dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) aksi antibiotik terhadap tubuh yang diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2) reaksi tubuh terhadap antibiotik atau cara tubuh menangani senyawa eksogen. Secara simultan antibiotik didistribusikan ke dalam tubuh setelah diabsorbsi. Umumnya antibiotik bersifat mudah larut dalam lemak dan dapat dengan mudah melewati membran-membran sel atau jaringan sehingga dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk ke hati dan ginjal (Murtidjo 2007).
Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses
biotransformasi dan eliminasi yang berlangsung lama sehingga pada waktu pemotongan jika antibiotik yang telah diberikan masih tersisa dalam bentuk metabolit atau bahan aktifnya terdapat di dalam produk hewan ternak yaitu
daging, hati, ginjal, dan paru-paru. Timbunan dari senyawa atau metabolit dari antibiotik dalam tubuh dapat menyebabkan residu (Siregar 1990). Keberadaan residu antibiotik dalam produk hewani diakibatkan oleh beberapa faktor (1) tidak diperhatikannya waktu henti obat, (2) penggunaan antibiotik melebihi dosis yang dianjurkan dan tidak di bawah pengawasan dokter hewan, (3) pengetahuan yang kurang akan dampak pada kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik, (4) tidak ada penyuluhan dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar di peternakan, dan (5) tipe dari peternakan ada yang intensif atau ekstensif (Lukman 1994; Donkor et al. 2011).
Jenis Antibiotik yang Digunakan Menurut Ganiswarna et al. (1995) dan Kennedy et al. (1998), antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi baik secara alami maupun buatan (sintetik) yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Berdasarkan sifat toksisitas selektif ada antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakterisidal (Ganiswara et al. 1995). Menurut Reig dan Toldra (2009), antibiotik dibagi menjadi sembilan golongan tetapi yang sering digunakan dalam bidang peternakan ada lima golongan yaitu: 1.
Sulfonamida Antibiotik ini merupakan turunan dari sulfanilamid.
Sulfonamida
merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan aktif dalam melawan bakteri Gram positif dan negatif. Mekanisme kerja dari antibiotik ini adalah menghambat sintesis DNA bakteri.
Antibiotik ini digunakan untuk
pengobatan penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri. Jenis antibiotik yang banyak digunakan dari golongan sulfonamida adalah sulfametazin. Menurut Dixon (2001) yang diacu dalam Reig dan Toldra (2009), sulfametazin digunakan untuk hewan karena harganya murah, cara memperolehnya mudah, dan tingkat efisiensi tinggi.
Golongan sulfonamida yang terdiri dari sulfametazin, aquinoksalin, dan sulfamethoksazol memiliki peranan penting di bidang kedokteran hewan yaitu dalam pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan protozoa (Mamani et al. 2009). 2.
β-Laktam Antibiotik ini mempunyai struktur β-laktam melingkar, yang termasuk golongan ini adalah penisilin, β-laktamase inhibitor, sephalosporin, ampisilin, dan amoksilin.
Antibiotik ini digunakan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif dengan cara merusak dinding sel bakteri. Golongan β-laktam terutama penisilin merupakan antibiotik yang bersifat non-toksik.
Antibiotik tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan
efisiensi pakan dan pertumbuhan pada hewan ternak (Verdon et al. 2000). 3.
Tetrasiklin Derivat antibiotik ini berasal dari Streptomyces sp. Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas dengan aktivitas yang tinggi dalam melawan bakteri Gram positif dan negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri.
Dalam bidang peternakan antibiotik ini digunakan untuk
pengobatan penyakit pernafasan dan jika dosisnya rendah dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan. Golongan tetrasiklin yang banyak digunakan di bidang kedokteran hewan adalah oksitetrasiklin dan klortetrasiklin. 4.
Aminoglikosida Antibiotik ini mempunyai struktur gugus gula amino yang berikatan dengan glikosida yang termasuk golongan ini adalah gentamisin, neomisin, streptomisin, kanamisin, dan spektomisin.
Aminoglikosida merupakan
antibiotik yang berspektrum luas dan aktif dalam melawan bakteri Gram negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri. Neomisin merupakan golongan aminoglikosida yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas yang diaplikasikan secara per oral. Antibiotik ini dapat digunakan untuk pengobatan
mastitis
(Wang et al. 2009).
yang
diaplikasikan
secara
intramamari
5.
Makrolida Antibiotik ini mempunyai gugus makrosiklik lakton yang mengikat gugus gula.
Golongan makrolida adalah eritromisin, tilosin, spiramisin, dan
linkomisin. Makrolida dapat digunakan untuk pengobatan penyakit saluran respirasi khususnya eritromisin dapat melawan bakteri Gram positif. Tilosin, spiramisin, dan linkomisin dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan.
Tujuan Penggunaan Antibiotik Penggunaan obat-obatan terutama antibiotik, belakangan ini tidak dapat dihindari lagi karena usaha peternakan telah dioperasikan secara intensif dan dalam skala industri (Lukman 1994). Pemakaian obat-obatan tersebut memiliki alasan atau tujuan yang berbeda-beda yaitu (1) mencegah dan mengobati penyakit pada hewan ternak dan manusia, (2) menyelamatkan ternak dari kematian, (3) meningkatkan
efisiensi
pakan,
memacu
pertumbuhan,
dan
mengurangi
penderitaan hewan (misalnya obat-obat sedasi), (4) menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, (5) pengawet makanan, (6) mengembalikan kondisi ternak untuk berproduksi penuh kembali dalam waktu yang relatif singkat, (7) mengurangi atau menghilangkan penderitaan ternak dan mencegah penyebaran mikroorganisme patogen ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan ternak dan manusia (Haagsma 1988; Wiryosoehanto 1990; Lukman 1994; Drosinos et al. 2009; Mamani et al. 2009; Pikkemaat et al. 2009; Pericas et al. 2010). Antibiotik yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) biasanya diberikan sebagai imbuhan pakan (feed additive) yang bermanfaat untuk meningkatkan produksi (terutama unggas dan babi) dan mengurangi biaya pakan (Wiryosoehanto 1990; Martinez 2009). Manfaat penggunaan antibiotik dalam pakan adalah sebagai berikut (1) antibiotik secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino, (2) antibiotik dapat membunuh atau menghambat mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan, (3) meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor, dan magnesium dari pakan ternak
yang dikonsumsi, (4) mengurangi kebutuhan zat-zat gizi seperti vitamin B12, mineral, dan asam amino (Siregar 1990).
Prevalensi Residu Antibiotik Menurut Kruse et al. (1994), Klein dan Teuber (1999), dan Mayrhofer (2004) yang diacu dalam Pesavento et al. (2007), daging merupakan vektor utama untuk transfer resistensi bakteri dari hewan ke manusia. Resistensi bakteri selalu menjadi masalah besar untuk infeksi nasokhomial di lingkungan rumah sakit. Mekanisme transfer antibiotik melalui tiga cara yaitu: (1) ditemukan residu antibiotik dalam makanan, (2) penyebaran melalui transfer resistensi dari foodborne pathogens, (3) penyebaran ingesti dari bagian resistensi mikroflora makanan alami dan transfer resistensi ke mikroorganisme patogen. Menurut Hernandez et al. (2002) yang diacu dalam White et al. (2004), salah satu penelitian di Spanyol untuk menentukan tingkat resistensi antibiotik menggunakan 112 isolat Salmonella sp dari 691 sampel daging ayam beku dan segar. Hampir setengah dari isolat yang diuji (46%) sensitif terhadap semua antibiotik yang diuji. Resistensi yang diamati terhadap kloramphenikol (45%), ampisilin (35%), dan tetrasiklin (34%). Resistensi terhadap beberapa antibiotik diamati pada 44% dari isolat S. Typhimurium, isolat ini cenderung lebih tahan dari serotipe lain yang diuji. Bulan Januari 2007 sampai November 2008, dilakukan pengujian residu antibiotik pada daging dan telur di Ghana.
Sampel tersebut berasal dari
peternakan, konsumen dari Kota Accra dan Kota Kumasi yang diambil secara acak untuk diuji residu antibiotik golongan β-laktam, tetrasiklin, kloramphenikol, makrolida, aminoglikosida, sulfonamida, dan quinolon. Total sampel yang diuji berjumlah 634 sampel yang terdiri dari 156 sampel daging sapi, 99 sampel daging kambing, 84 sampel daging babi, 75 sampel daging domba, dan 220 sampel telur. Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di kota Accra dan Kota Kumasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di Kota Accra dan Kumasi tahun 2007-2008 (Karabudak et al. 2008) Accra
Jenis Sampel
Kumasi
Total
JS
SP
%P
JS
SP
%P
JS
SP
%P
Daging Sapi
60
9
15
96
39
41
156
48
30.8
Daging Kambing
41
7
17.1
58
22
38
99
29
29.3
Daging Domba
19
4
21.1
56
14
25
75
18
24
Daging Babi
20
2
10
64
22
34
84
24
28.6
Telur
120
12
10
100
3
3
220
15
6.8
Keterangan:
JS: Jumlah Sampel
SP: Sampel Positif
%P: Prevalensi
Pengujian residu antibiotik yang dilakukan di Italia dengan pengambilan sampel yang berasal dari pedagang daging dan supermarket di sekitar wilayah Florence (Italia). Jumlah sampel daging sebanyak 176 sampel yang terdiri dari 42 daging ayam, 68 daging sapi, dan 66 daging babi. Pengujian ini menggunakan isolat Staphylococcus aureus dan 12 jenis antibiotik.
Hasil pengujian residu
antibiotik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Prevalensi residu antibiotik pada daging ayam, daging babi, dan daging sapi di wilayah Florence , Italia (Pesavento et al. 2007)
Antibiotik
Daging ayam (12/42) N (%)
Resistensi Daging babi Daging sapi (10/66) (20/68) N (%) N (%)
Sefalotin Oksasilin Ampisilin Tetrasiklin Trimetoprim Eritromisin Klindamisin Gentamisin Methisilin Teikoplanin Penisillin G Vankomisin
0 8 7 1 1 1 1 2 0 0 3 0
1 1 2 2 1 2 3 1 0 0 2 0
0 66.66 58.33 8.33 8.33 8.33 8.33 16.66 0 0 25 0
10 10 20 20 10 20 30 10 0 0 20 0
0 6 9 5 0 5 5 1 0 0 2 0
0 30 45 25 0 25 25 5 0 0 10 0
Total (42/176) N (%) 1 15 18 8 2 8 9 4 0 0 7 0
2.38 35.17 42.86 19.04 4.76 19.04 21.43 9.52 0 0 16.66 0
Dampak Residu Antibiotik bagi Kesehatan Masyarakat Residu antibiotik di dalam daging serta produk hewan lainnya, dapat menimbulkan ancaman potensial terhadap kesehatan masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama (Lukman 1994), ancaman tersebut dapat berupa (1) aspek toksikologis, yaitu residu antibiotik dapat bersifat racun terhadap hati, ginjal, dan pusat hemopoitika, (2) aspek mikrobiologis, yaitu residu antibiotik akan menggangu keseimbangan mikroflora di dalam saluran pencernaan sehingga dapat menggangu metabolisme tubuh, (3) aspek imunopatologis, yaitu residu antibiotik dapat menjadi faktor pemicu timbulnya reaksi alergi dari yang bersifat ringan sampai berat dan bersifat fatal, (4) menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan (Haagsma 1988; Donkor et al. 2011). Haagsma (1988) memandang masalah residu obat dalam bahan makanan dan penggunaan obat dalam bidang veteriner berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat, aspek teknologi, dan aspek lingkungan.
Ditinjau dari aspek
teknologi, keberadaan residu antibiotik dalam bahan makanan dapat mengganggu atau menggagalkan proses fermentasi.
Ditinjau dari aspek lingkungan,
penggunaan obat pada ternak akan mencemari lingkungan karena senyawa asal obat atau metabolit akan diekskresikan melalui urin dan feses. Ekskreta obat atau metabolit tersebut akan terlibat pada proses mikrobiologik dalam manur dan tanah, serta dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme, yaitu dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan untuk terapi (Martaleni 2007).
Kemungkinan ancaman residu obat
dalam bahan makanan terhadap kesehatan masyarakat adalah mutagenik, karsinogenik, dan imunosupresif.