6
TINJAUAN PUSTAKA Preferensi Pangan Setiap masyarakat memberikan definisi tertentu tentang arti makanan, dan dalam setiap definisi setiap jenis makanan memiliki arti yang luas. Misalnya: ada jenis makanan untuk orang kaya dan ada yang diperuntukkan bagi orang miskin, ada pula makanan yang diperuntukkan bagi wanita, anak-anak, orang yang sedang sakit atau golongan lanjut usia. Selain itu, ada pula jenis makanan yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh orang-orang tertentu. Setiap masyarakat mempunyai aturan-aturan, pembatasan-pembatasan, rasa suka dan tidak suka, kepercayaan terhadap jenis makanan-makanan yang ada, sehingga membatasi pilihannya terhadap jenis-jenis makanan (Khumaidi 1989). Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, dan memakan makanan. Adat istiadat menentukan preferensi seseorang terhadap makanan. Latar belakang sosial budaya mempengaruhi pemilihan jenis pangan melalui dua cara yaitu informasi mengenai gizi dan preferensi (Suhardjo 1989). Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Bass Wakelfield dan Kolasa (1980) diacu dalam Pradnyawati (1997) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan yaitu; 1) ketersediaan makanan di suatu tempat, 2) pembelian makanan untuk anggota keluarga yang lain, khususnya orang tua, 3) pembelian makanan dan penyediaannya yang mencerminkan hubungan kekeluargaan dan budaya, 4) rasa makanan, tekstur, dan tempat. Dalam memilih makanan tertentu yang disukai pengalaman seseorang dapat menjadi landasan yang kuat. Beberapa faktor antara lain enak, menyenangkan, tidak membosankan, berharga murah, mudah didapat dan diolah. Penampakan merupakan hal yang banyak mempengaruhi preferensi dan kesukaan konsumen. Kesukaan terhadap makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ini termasuk waktu dan konteks dimana makanan itu disajikan sama halnya dengan kondisi pribadi kita pada saat itu, seperti seberapa kita lapar, mood pada saat itu, dan waktu terakhir sejak kita terakhir makan makanan tersebut (Lyman 1989).
7
Menurut Sanjur (1982), preferensi terbentuk dari persepsi suatu produk. Preferensi adalah derajat kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih disukai konsumen. Menurut Suhardjo (1989), jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat, juga dipengaruhi oleh preferensi terhadap makanan tersebut. Makanan dianggap memenuhi selera atau tidak tergantung tidak hanya pada pengaruh sosial budaya sebagai sifat fisiknya. Reaksi indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi dipengaruhi oleh pendekatan melalui media massa, radio, TV, pamflet, dan iklan. Setiap konsumen pasti memiliki preferensi pangan. Preferensi ini dapat diubah dan dipelajari sejak kecil. Fisiologi, perasaan, dan sikap terintegrasi membentuk preferensi teradap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan. Preferensi mempunyai struktur, serta struktur ini dapat berubah dan dipelajari sejak kecil dan bersifat plastis. Birch (1999) juga menyatakan
bahwa
preferensi
pangan
yang
terjadi
seiring
dengan
perkembangan diet sehat menunjukkan bahwa faktor lingkungan makan juga mempengaruhi preferensi walaupun genetik merupakan manifestasi. Lingkungan makan ini termasuk tersedianya makanan dan praktik pemberian makan saat kecil oleh orang tua. Pengukuran terhadap preferensi pangan dilakukan dengan menggunakan skala, dimana responden ditanya untuk dapat mengindikasikan seberapa besar dia menyukai pangan berdasarkan kriteria. Skala pengukuran dapat dibedakan menjadi sangat tidak suka, tidak suka, netral, suka, dan sangat suka. Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka maupun tidak suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya terhadap makanan, yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka preferensinya (Sanjur 1982). Menurut Nurliawati (2003) pengumpulan data primer diperoleh dari pengamatan dan wawancara langsung dengan contoh menggunakan kuesioner. Firna (2008) juga menyatakan bahwa pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan cara simple random sampling dimana contoh diacak dengan menggunakan undian. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Preferensi Pangan Masyarakat Preferensi pangan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti pengalaman seseorang, pengaruh budaya, dan manfaat kesehatan yang dirasakan. Rasa dan
8
aroma tidak dapat dibantah menjadi penentu utama apakah makanan disukai atau tidak disukai. Perbedaan individu pada persepsi pahit, manis, asin, atau asam dapat mempengaruhi kebiasaan makan, dimana dapat berpengaruh pada status gizi dan resiko penyakit kronis. Aroma juga penentu penting persepsi bermacam-macam
aroma,
dan
keanekaragaman
penciuman
dapat
mempengaruhi preferensi pangan (El-Sohemy 2009). Drewnowski 1997 menyatakan bahwa sensoris merespon pada rasa, aroma, dan tekstur makanan membantu untuk menentukan preferensi pangan dan kebiasaan makan. Bagaimanapun, respon sensoris tidak memprediksikan konsumsi pangan. Pada kenyataannya, terdapat beberapa hubungan antara persepsi rasa, preferensi rasa, preferensi pangan, dan pilihan pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Respon rasa dipengaruhi genetik, psikologi, dan metabolis. Pengaruh faktor rasa pada intik pangan tergantung pada umur dan jenis kelamin dan diatur oleh obesitas, gangguan makan, dan patologi kebiasaan makan lainnya. Preferensi dan pilihan pangan populasi lebih jauh dihubungkan dengan perilaku, sosial dan lebih penting adalah variabel ekonomi seperti pendapatan. Pendidikan gizi dan strategi intervensi dimaksudkan untuk peningkatan diet populasi untuk memperhatikan respon kesukaan terhadap makanan, pada perluasan bahasan mengenai variabel demografis dan sosio budaya. Faktor penentu preferensi pangan berhubungan dengan aroma, rasa, dan penampilan
cara
memasak,
ketidaknyaman
terjadi
ketika
seseorang
mengkonsumsi makanan, dan ini menyebabkan seseorang menjadi tidak suka terhadap makanan tersebut. Kesukaan makan meningkatkan preferensi pangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kesukaan ditentukan oleh hati (Sachiko 2002). Penelitian serupa juga dilakukan Christensen dan Brooks (2006), dengan hasil laki-laki dan wanita percaya bahwa mereka lebih suka mengkonsumsi makanan pada saat senang dibandingkan dengan sedih, dan laki-laki lebih suka makan dibandingkan dengan wanita. Makanan cemilan vegetarian lebih disukai untuk dikonsumsi pada saat senang dibandingkan dengan sedih, dengan laki-laki lebih suka makan cemilan. Secara umum, mood seseorang mempengaruhi kesukaan terhadap pemilihan makanan. Penelitian Drewnowski & Hann (1999) menyatakan bahwa variabel demografi memiliki pengaruh terhadap preferensi pangan termasuk umur, jenis kelamin, status kesehatan, suku, pendidikan, dan pendapatan.
9
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi preferensi terhadap makanan, yaitu karakteristik individu, makanan, dan lingkungan. Harga juga berpengaruh dalam pemilihan pangan, namun harga sering dikesampingkan oleh pertimbangan prestice, rasa, dan kemudahan dalam penyiapannya sehingga harga bukanlah faktor utama dalam hal pemilihan pangan. Selain itu, faktor lingkungan yang mempengaruhi preferensi pangan termasuk musim, lokasi geografis, suku, mobilitas, dan tingkat urbanisasi. Besar keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi pangan. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu. Ketidakcukupan ini dapat menimbulkan terjadinya stres (Martianto & Ariani 2004). Pada skala keluarga, tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang cukup, yang dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan pangan yang diperlukan. Selain itu, Den Hartog, van Staveren, dan Brouwer (1995) juga menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya, jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut. Menurut Sanjur (1982) pendapatan per kapita seringkali menurun seiring dengan penambahan jumlah keluarga. Semakin besar ukuran keluarga maka pendapatan per kapita yang diterima akan semakin kecil. Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh atau membantu penghasilan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh seorang anggota keluarga. Beberapa profesi seperti dokter, pengacara, akuntan, peneliti memerlukan syarat pendidikan formal agar bisa bekerja sebagai profesi tersebut. Beberapa jenis pekerjaan lain akan mensyaratkan
pendidikan
minimal,
misalnya
banyak
pabrik
sekarang
10
mensyaratkan minimal lulus SMP atau SMA untuk diterima menjadi buruh. Profesi dan pekerjaan seseorang akan mempengaruhi pendapatan yang diterima (Sumarwan 2004) Menurut Sajogjo 1994 diacu dalam Marud (2008) pendapatan keluarga merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing pendapatan anggota keluarga yang bekerja. Faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan makan keluarga. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pilihan pangan yang baik. Suhardjo (1986) menyatakan bahwa pada umumnya jika pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis pangan akan membaik. Apabila penghasilan keluarga meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk meningkat mutunya. Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan itu mahal. Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan padi-padian akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan meningkat jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayur dan jenis pangan lain (Berg 1986). Menurut penelitian Ginting (2006) pendapatan keluarga di desa dan di kota berbeda. Hal ini dipengaruhi juga oleh jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan. Pendapatan yang tinggi berarti memiliki pekerjaan yang lebih baik dan membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi pula. Menurut BPS 1998 dalam pengeluaran rata-rata per kapita sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan suatu keluarga selama sebulan untuk konsumsi semua anggota keluarga. Soekirman (2000) menyatakan bahwa pengeluaran keluarga untuk pangan dan non pangan selanjutnya dikonversikan
11
ke dalam pengeluaran rata-rata sebulan. Pengeluaran untuk pangan rumah tangga miskin berkisar antara 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara 20-50%. Tingkat pengetahuan individu akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam pendidikan formal dan informal (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pengalokasian pendapatan untuk kebutuhan pangan. Menurut Suprijanto (2007), pendidikan dibedakan menjadi 9 jenis antara lain: 1) pendidikan massal; 2) pendidikan masyarakat; 3) pendidikan dasar; 4) penyuluhan; 5) pengembangan masyarakat; 6) pendidikan orang dewasa; 7) masyarakat seumur hidup; 8) masyarakat belajar; 9) pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dapat mempengaruhi konsumen dalam pemilihan produk atau merk. Perbedaan pendidikan akan menyebabkan perbedaan selera konsumen (Sumarwan 2004). Menurut mempengaruhi
Pranadji
(1988)
pengetahuan
pendidikan
gizinya.
formal
Seseorang
yang
seseorang
dapat
memiliki
tingkat
pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 dalam Mawaddah 2008). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya tetap terpenuhi. Atmarita & Fallah (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan yang rendah mempunyai konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Selain itu, juga mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan
12
kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Hartoyo et al. 2000 dalam Nurmiati 2006). Pada suatu keluarga, biasanya ibu yang bertanggungjawab terhadap makanan keluarga, sehingga dengan meningkatnya pengetahuan gizi yang dimiliki ibu, diharapkan semakin pula kemampuan ibu dalam memilih dan merencanakan makanan dengan ragam dan kombinasi yang tepat sesuai dengan syarat-syarat gizi. Pengetahuan ibu rumah tangga tentang bahan makanan akan mempengaruhi perilaku pemilihan makanan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan pemilihan dan pengolahan makanan. Selain itu, faktor kepercayaan dan tingkat pengetahuan ibu sebagai pengelola rumah tangga akan berpengaruh juga pada macam bahan makanan dalam konsumsi keluarga sehari-hari. Sebagai konsumen diperlukan ketrampilan untuk memilih bahan yang murah dan sesuai dengan kebutuhan keluarga, meskipun selera masih menjadi masalah utama. Menurut penelitian Suherman (2004) menunjukkan bahwa dari ketiga faktor yang paling kuat hubungannya dengan konsumsi susu adalah tingkat pengeluaran rumah tangga (r = 0.751), diikuti tingkat pendidikan (r = 0.704), dan paling rendah adalah tingkat kekayaan (r = 0.684). Jumlah masyarakat yang memilih susu yang diawetkan lebih banyak (79.59%) dan berbeda sangat nyata dengan yang memilih susu segar (20.41%). Penelitian Rita (2002) mengenai Preferensi Konsumen terhadap Pangan Sumber Karbohidrat non-beras menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan, status pekerjaan, serta besar keluarga dengan preferensi konsumen terhadap beberapa pangan sumber karbohidrat non-beras. Menurut penelitian Martini (1992), hasil uji korelasi Spearman dapat dilihat hubungan antara
preferensi
responden
dengan
variabel
pendapatan.
Pendapatan
responden memiliki hubungan positif yang tidak nyata (α = 0.05) dengan preferensi responden. Hal ini berarti terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan semakin tinggi preferensi, baik untuk rumah tangga desa maupun rumahtangga kota, tetapi tidak untuk semua responden. Penelitian Balintfy et al (2009) menunjukkan bahwa pembeli makanan yang tergabung dalam suatu kelompok lingkungan dengan pendidikan dan pendapatan yang tinggi lebih memilih untuk membeli pangan dengan harga tinggi untuk produk lokal. Selain itu, pilihan konsumen sangat dipengaruhi oleh harga.
13
Peningkatan pengeluaran konsumen mengindikasikan keinginan konsumen untuk membeli sejumlah penambahan atribut pada pangan. Brown (2003) menyatakan bahwa rumah tangga dimana seseorang pernah tumbuh di pertanian atau mempunyai keluarga yang tinggal di pertanian, mempunyai preferensi untuk pangan lokal dan lebih memilih untuk membelinya. Lingkungan menentukan preferensi terhadap makanan atau pilihan terhadap makanan. Suhardjo (1986) menyatakan bahwa radio, televisi, pamflet, iklan, dan bentuk media massa lain yang beberapa diantaranya kini telah mencapai daerah desa yang terpencil, efektif dalam merubah kebiasaan makan. Beberapa di antara perubahan ini berpengaruh positif terhadap status gizi, dan sebaliknya. Media massa merupakan media yang secara khusus di desain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Media massa terdiri dari media elektronik dan media cetak. Masing-masing media ini terdiri atas beberapa bentuk media yang masing-masing mempunyai ciri khas dan menimbulkan implikasi khusus, akibatnya untuk memahami media massa perlu lebih mengetahui aneka ragam bentuk dan ragam variasinya. Media massa elektronik meliputi radio, televisi, dan film (film video, disk video, dan kaset/disc). Media massa cetak meliputi koran (harian, mingguan, tabloid), majalah (berita, khusus, hiburan), dan poster termasuk selebaran dan buku. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, sosial dan budaya maka jenis media massa bertambah dengan adanya internet dan telepon seluler (Depdikbud RI 1998 ). Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. Pengaruh media massa terhadap seseorang tersebut antara lain : Media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, kemudian pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah telah memenuhi satndar tersebut. Penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media dapat mempengaruhi keinginan pemirsanya Media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsa akan kepribadian yang lebih baik.
14
Bagi remaja atau kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi “penentu” dalam menentukan arah media populer saat berekspresi dan mengemukakan pendapat. Media massa elektronik cenderung menjadi hiburan, berita, dan layanan. Khalayak bervariasi, sehingga media ini dapat disebut media massa keluarga. Media massa yang paling banyak dimiliki masyarakat adalah televisi dan radio. Sedangkan media massa cetak, terutama koran harian cenderung menjadi media berita, setengah hiburan, dan layanan. Khalayak berdasarkan tingkat tertentu pria atau wanita, tua atau muda atau anak, serta awam atau ilmuwan. Berita pada koran bersifat ringkas dan analitik. Berita pada majalah berbeda dengan berita pada koran, kelemahan faktor kekinian dalam berita pada majalah, dikompensasikan dengan pandangan yang analitik dan interpretatif (Depdikbud RI 1996). Televisi merupakan media gambar yang dianggap sebagai media dengan keterlibatan yang rendah. Pembelajaran pasif terjadi melalui penampilan iklan TV yang berulang kali. Televisi sangat fleksibel dalam menyampaikan pesan sponsor, mulai dari pemilihan waktu sampai adanya jaminan penyampaian ulasan berita secara khusus untuk pemirsa tertentu (Schiffman & Kanuk 2004). Sumarwan (2004) menyatakan bahwa televisi telah menjadi media yang sangat banyak menciptakan budaya popular. Televisi adalah media iklan yang banyak digunakan oleh para produsen, karena jangkauannya yang luas dan kemampuan audio dan visualnya dalam menyampaikan iklan. Televisi adalah media untuk menyampaikan banyak hal kepada masyarakat: sosial, politik, hiburan, olahraga, beragam berita, dan iklan komersial. Salah
satu
keunggulan
televisi
adalah
kemampuannya
untuk
menyampaikan pesan-pesan baik audio maupun visual secara bersamaan. Adanya kemampuan ini menyebabkan televisi berhasil memikat lebih banyak khalayak daripada media massa lainnya (Jahi 1988). Radio merupakan media untuk menyampaikan berbagai hal kepada masyarakat termasuk media untuk beriklan. Radio telah menjadi forum komunikasi antar pendengarnya. Pendengar bisa saling melakukan transaksi barang dan jasa yang dibutuhkannya. Iklan juga telah mewarnai semua program radio pada semua stasiun radio. Peran radio tidak bisa digantikan atau hilang dengan kehadiran televisi dan internet. Radio memiliki fungsi yang sama dengan televisi. Radio merupakan media untuk menyampaikan berbagai hal kepada
15
masyarakat termasuk media untuk beriklan. Radio saat ini telah menjadi forum komunikasi antar pendengarnya. Iklan pun telah mewarnai hampir semua program radio pada semua stasiun radio (Sumarwan 2004). Menurut Schiffman dan Kanuk (2004) koran merupakan sebuah media yang fleksibel. Pesan dapat dirancang dan dipublikasikan secara cepat. Beberapa pesan berkompetisi untuk mendapatkan perhatian. Akses koran dipersiapkan untuk pembaca dalam skala yang luas. Majalah sejak pertama diluncurkan telah menyediakan berbagai materi untuk para pembaca. Semua majalah, khusus untuk beberapa hal. Majalah memiliki spesialisasi unit atau spesialisasi internal. Majalah yang mengirimkan iklan kepada pembaca, telah mengubah penyelenggara makanan berubah menjadi bermacam-macam ketertarikan tertentu dan menyebabkan menjadi media massa pertama yang membawa pada perubahan (Wilson 1992). Menurut Hiebert et al (1979) dalam hal waktu, majalah memiliki keuntungan lebih intensif dibandingkan dengan koran, radio, atau televisi dalam pengaturan. Majalah memiliki kekuatan untuk bertahan pada topik sepanjang periode waktu pada suatu
isu,
penerimaan
pengaruh
kumulatif
dimana
buku
harus
tetap
mengesankan. Internet menyebabkan munculnya begitu banyak media alternatif online seperti buletin, majalah cyber dan berbagai program berita. Hampir seluruh media cetak dan elektronik mempunyai dan mempromosikan situs web dengan berbagai edisi online mereka. Para pemasar membeli ruang iklan dan berusaha untuk mengarahkan para pemakai pada situs web tertentu (Schiffman & Kanuk 2004). Kehadiran teknologi internet menyebabkan pengguna computer bisa berhubungan dengan dunia luar yang melewati batas-batas geografi, negara, budaya dan batas sosial. Melalui internet, konsumen bisa berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan email. Internet juga memungkinkan konsumen bisa berkomunikasi dua arah dengan sesamanya dengan menggunakan fasilitas chatting. Setiap lembaga apapun dari berbagai negara atau perorangan bisa membuat situs tentang lembaga atau informasi pribadi, yang kemudian situs tersebut bisa diakses oleh siapapun melalui internet. Kehadiran World Wide Web di internet memungkinkan setiap konsumen bisa mencari atau memperoleh dan mengakses informasi mengenai apapun di internet.
16
Media massa sebagai media komunikasi memiliki beberapa kemampuan untuk ikut mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Schram (1969) menjelaskan bahwa kemampuan media massa tersebut adalah: Media massa dapat memperluas cakrawala pemikiran. Media massa dapat memusatkan perhatian Media massa dapat menumbuhkan aspirasi Media massa dapat menciptakan suasana membangun Media massa mampu berbuat sebagai pendidik Durasi menonton televisi dan preferensi terhadap iklan merupakan faktor yang yang berpengaruh terhadap konsumsi coklat meskipun secara tidak langsung, dimana semakin lama menonton televisi maka preferensi suka terhadap iklan akan semakin meningkat. Semakin suka terhadap iklan akan dapat meningkatkan rasa suka terhadap komponen produk yang pada akhirnya berdampak kepada meningkatnya rasa suka terhadap komponen produk yang akhirnya berdampak pada meningkatnya konsumsi coklat (Pranowo 2001). Berdasarkan hasil penelitian Firna (2008) contoh paling banyak (68.1% putra dan 66.7% putri) memperoleh informasi mengenai pangan sumber kafein yang mereka konsumsi dari TV, kemudian diikuti koran/majalah (65.0% putra dan 66.7% putri). Televisi dan koran/majalah termasuk ke dalam media massa, dimana menurut Holmes (1978) dalam Sanjur (1982) media massa memegang peranan yang penting agar produk dan pesan tetap diingat dan menjadi bagian dari masyarakat. Menurut Sanjur (1985)
pendekatan alternatif
untuk menganalisis
preferensi pangan akan terlalu memperhatikan determinasi sosiobudaya dari pola pangan karena akan berakibat pada pencegahan efek suplai pangan aktual pada kebiasaan makan. Faktor teknologi dan politik dikombinasikan dengan isu sosio budaya untuk membagi pangan dan praktek konsumsi. Hal yang penting untuk memperhatikan perubahan lingkungan yang terjadi sejak studi awal preferensi pangan. Fungsi beberapa produk pangan yang siap dikurangi dengan variabel musim pada suplai pangan dan diperkuat dengan pangan yang jarang. Efek musim pada pilihan pangan tidak terlalu jelas dimengerti saat ini. Bahkan jika teknologi digunakan sepanjang tahun untuk mengakses pangan musiman, orang akan memiliki perbedaan pengubahan bentuk pada pangan yang sama, dan respon psikologis tetap dapat berefek langsung pada pangan. Karakteristik
17
lingkungan yang merupakan faktor yang penting pada penentuan preferensi pangan, memerlukan penelitian empiris pada masa depan. Daya Dukung Gizi Sasaran keberagaman (biosocial diversity) ini tidak hanya berarti upaya menghargai budaya lokal dan fungsi-fungsi yang diembannya (indigenous institutions), tetapi juga mencerminkan buffering capasity dari adanya gejolak yang senantiasa mempengaruhi program pengembangan pangan dan pertanian akibat perubahan musim, dan perubahan keadaan perekonomian domestik atau internasional (seperti krisis ekonomi saat sekarang). Dalam keadaan sekarang ini, di mana makanan pokok menggantungkan beras, sementara bahan pangan impor didominasi terigu, maka Indonesia senantiasa dalam bahaya ketahanan pangan (food insecurity). Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan menyangkut beberapa aspek 1) Ketersediaan Pangan, 2) Distribusi Pangan 3) Konsumsi pangan, 4) Pemberdayaan masyarakat dan 5) Manajemen. Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial ekonomi. Berdasarkan aspek konsumsi pangan, masalah teknis yang dihadapi adalah Belum berkembangnya teknologi, industri pangan serta produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan lokal (Suryana 2001). Aplikasi daya dukung lingkungan yaitu daya dukung gizi (nutritional carrying capacity). Daya dukung gizi (nutritional carrying capacity) adalah daya dukung sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pangan. Berdasarkan pendekatan perilaku konsumen, daya dukung gizi berkaitan dengan cara agar kebutuhan atau kecukupan pangan dan gizi penduduk dapat dipenuhi dari SDA atau pangan setempat. Berdasarkan pendekatan potensi atau ketersediaan SDA, daya dukung gizi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan atau kecukupan pangan dan gizi penduduk dengan SDA atau pangan setempat. Daya dukung gizi (nutritional carrying capacity) adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung penduduk di masa yang akan datang (Baliwati 2007). Hasil analisis daya dukung dapat dipergunakan sebagai salah satu alat atau metode bagi perencana dalam membantu menentukan kebijakan yang akan
18
ditetapkan terhadap suatu wilayah. Kebijakan yang akan ditetapkan tersebut akan sangat erat dengan berbagai implikasi yang melekat di dalamnya. Suatu wilayah yang akan dikembangkan potensinya harus dilihat kondisi empiris faktual yang ada di wilayah tersebut. Diversifikasi Pangan Kebijakan dan strategi serta rencana program aksi diversifikasi pangan dilaksanakan dengan tujuan (1) menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan atas dasar kemampuannya sendiri melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan pengetahuannya, dan (2) mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor dengan meningkatkan konsumsi pangan, baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal dan produk olahannya (Suryana 2005). Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan
pangan.
Selain
itu,
diversifikasi
pangan
dilakukan
dengan
meningkatkan keanekaragaman pangan, mengembangkan teknologi pengolahan dan
produk
pangan
serta
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
untuk
mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (Ariani 2008). Menurut Suryana (2001) Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan kredit menjadi penting pada saat transformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan efisien. Diversifikasi pangan pada dasarnya memiliki dua dimensi pokok yaitu: (1) keragaman pola konsumsi dimana terdapat keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang (kandungan karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin), dan (2) keanekaragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi, sumber protein dapat diperoleh dari hewan, ikan maupun nabati dan ini bersifat spesifik lokasi (Adnyana 2005). Diversifikasi pangan mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi (Hanani 2008). Suhardjo 1998 yang diacu dalam Hanani (2008) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup
19
pengertian yang saling berkaitan, yaitu (1) diversifikasi konsumsi pangan, (2) diversifikasi ketersediaan pangan, dan (3) diversifikasi produksi pangan. Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing dalam percaturan globalisasi. Dari segi fisiologis, manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan. Tidak ada satupun jenis pangan yang lengkap gizinya kecuali ASI (Ariani 2008). Sementara, Hanafi mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit
(dalam
konteks
konsumsi
menganekaragamkan jenis pangan
pangan)
yang
yaitu
dikonsumsi,
sebagai mencakup
upaya pangan
sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Secara lebih tegas, Pakpahan dan Suhartini (1989) menyatakan dalam konteks Indonesia diversifikasi/keanekaragaman konsumsi pangan sering
diartikan
sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Menurut Suhardjo dan Martianto (1992) semakin beragam konsumsi pangan maka kualitas pangan yang dikonsumsi. Menurut Antara (2001) diversifikasi produksi pangan diartikan sebagai usaha penganekaragaman usahatani, baik secara horizontal maupun vertikal. Diversifikasi secara horizontal yang merupakan imbangan pengembangan antar berbagai komoditi dan wilayah, sedangkan diversifikasi secara vertikal diartikan pengembangan produksi setelah panen termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan pengolahan hasil dan limbah pertanian sebagai inti dari industrialisasi pertanian. Keuntungan dari diversifikasi horizontal yaitu: (1) Mengurangi resiko dengan menyebarkan resiko tersebut kepada beberapa jenis tanaman. Kegagalan panen satu jenis tanaman, dapat dikompensasi oleh keberhasilan panen jenis tanaman lainnya, sehingga ketersediaan pangan masih dalam keadaan aman. (2) Menyediakan beranekaragam gizi yang dihasilkan oleh berbagai jenis tanaman, ternak atau ikan yang memang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sedangkan keuntungan diversifikasi vertikal, yakni tersedianya keanekaragaman berbagai jenis pangan yang dapat meningkatkan nilai dari bahan pangan tersebut dan merubah selera konsumen. Menurut
Antara
(2001)
Diversifikasi
konsumsi
sebagai
derivasi
diversifikasi vertikal sangat penting peranannya dalam mengurangi beban
20
sumberdaya untuk memproduksi satu atau dua komoditas pangan. Penyebaran beban ini akan erat kaitannya, baik dengan kapasitas produksi sumberdaya alam dan kelestariannya, maupun dengan tingkat gizi masyarakat. Menurut Pakpahan dan Effendi 1990 yang diacu dalam Antara (2001), hal yang harus diperhatikan dalam diversiifikasi konsumsi
adalah: (1) Keanekaragaman pangan adalah
barang mewah, karena itu, diversifikasi konsumsi
hanya terjadi apabila
pendapatan masyarakat meningkat; (2) Penyempurnaan teknologi pangan dapat menghasilkan pangan non beras yang dapat merubah status komoditas pangan non beras ini dari pangan yang sebelumnya tidak disukai (inferior) menjadi bagian dari pola makanan sehari-hari (superior), khususnya oleh kalangan menengah ke atas; (3) Merubah pola makan atau kebiasaan makan masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui distribusi pengeluaran yang berlaku. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Dalam hubungannya dengan diversifikasi pangan, Soekartawi 1993 diacu dalam Antara (2001) menganjurkan untuk menggali potensi tanaman tradisional (lokal) yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Komoditi uji jalar, ketela pohon, bentul, uwi, gembili, dan masih banyak ragam makanan lokal seolah-olah tertinggalkan. Selain itu, dianjurkan untuk menggali potensi diversifikasi
pangan
yang
dikonsumsi
golongan
miskin,
dengan
tetap
memperhatikan kandungan gizi. Penerapan konsep PPH sebagai pendekatan perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan sejalan dengan tujuan ketahanan pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan, karena tujuan ketahanan pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk baik jumlah maupun mutu yang terjangkau secara merata agar hidup sehat, aktif, dan produktif. Pada dasarnya, tingkat keanekaragaman pangan mencerminkan perimbangan komposisi antar jenis dan keanekaragaman
21
pangan. Oleh karena itu, salah satu parameter yang dapat dipakai untuk menilai keanekaragaman pangan adalah PPH (Angga et al 2004). Karakteristik Pedesaan dan Perkotaan Penentuan suatu desa atau kelurahan digolongkan perkotaan atau pedesaan dilakukan pada Sensus penduduk tahun 2000. Untuk menentukan apakah suatu desa tertentu termasuk daerah perkotaan atau pedesaan digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai-nilai tiga buah variabel: kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum (BPS 2006). Cara perhitungan skor ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Variabel/klasifikasi, skor dan kriteria desa 2000 Variabel/klasifikasi (1) Total Skor Skor Minimum Skor Maksimum 2 1. Kepadatan Penduduk/km < 500 500 – 1249 1250 – 2499 2500 – 3999 4000 – 5999 6000 – 7499 7500 – 8499 > 8500 2. Persentase Rumah Tangga Pertanian ≥ 70.00 50.00 – 69.99 30.00 – 49.99 20.00 – 29.99 15.00 – 19.99 10.00 – 14.99 5.00 – 9.00 < 5.00 3. Akses Fasilitas Umum A. Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km B. Sekolah Menengah Pertama Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km C. Sekolah Menengah Umum Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km D. Pasar Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km E. Bioskop Ada atau ≤ 5 Km > 5 Km
Skor (2) 2 26 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 0, 1, 2, 3, ..., 10 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
22
Lanjutan Variabel/klasifikasi (1)
Skor (2)
E. Bioskop Ada atau ≤ 5 Km > 5 Km F. Pertokoan Ada atau ≤ 2 Km > 2 Km G. Rumah Sakit Ada atau ≤ 5 Km > 5 Km H. Hotel/Bilyard/Diskotek/Panti pijat/Salon Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km I. Persentase Rumah Tangga yang mempunyai Telepon ≥ 8.00 Km < 8.00 Km J. Persentase Rumah Tangga yang mempunyai Listrik ≥ 90.00 < 90.00
1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut: variabel kapadatan penduduk mempunyai skor antara 1 – 8, satu bagi desa dengan kepadatan kurang dari 500 orang/km2, dua bagi desa dengan kepadatan antara 500 – 1.249 orang/km2 dan seterusnya sampai dengan 8 bagi desa dengan kepadatan lebih besar atau sama dengan 8.500 orang/km2. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar antara 1 – 8, satu bila desa memiliki 70% atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50 – 69.99%, dan seterusnya sampai dengan delapan, bila desa mempunyai rumah tangga tani 5 persen atau kurang (BPS 2005b). Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Desa-desa yang tidak memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasiitas perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka desa tersebut dianggap setara dengan desa yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1, dengan pertimbangan mudahnya akses kepada fasilitas perkotaan tersebut serupa dengan memiliki. Jumlah skor dari ketiga variabel tersebut kemudian digunakan untuk menentukan apakah suatu desa termasuk daerah perkotaan atau pedesaan. Desa dengan skor gabungan ketiga variabel 9 atau kurang digolongkan sebagai desa pedesaan, sedangkan desa dengan skor gabungan mencapai 10 atau lebih digolongkan sebagai desa perkotaan (BPS 2005b). Kemudian, desa-pedesaan disebut dengan desa, sedangkan desaperkotaan disebut kota.