4
TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan
seseorang
atau
kelompok
dengan
tujuan
tertentu.
Tujuan
mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu (Hardinsyah dan Martianto 1992). Konsumsi makanan bagi seseorang yang rawan terhadap kekurangan gizi (balita, ibu hamil) dipengaruhi oleh pola konsumsi keluarga dan pola distribusi makanan antar anggota keluarga keluarga (ayah, ibu, anak, balita). Selanjutnya pola distribusi makanan antar anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang penting yang diduga ada kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi makro adalah: tingkat upah kerja, alokasi waktu untuk keluarga terutama bagi wanita, kepala rumah tangga wanita, siapa pengambil keputusan di rumah tangga untuk pembelanjaan makanan dan sebagainya. Dalam hal ini faktor peranan wanita atau ibu rumah tangga sangat penting. Misalnya, meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk tugastugas pemeliharaan anak, kurang pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan sebagainya, meskipun belum tentu hal itu berpengaruh negatif pada keadaan gizi bayi (Soekirman 2001). Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang. Bagi individu bahan makanan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi biologis, psikologis dan sosial. Fungsi biologi makanan adalah menyediakan zat-zat gizi bagi tubuh agar manusia dapat bekerja atau mempertahankan hidup. Fungsi psikologis memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan kepuasan, emosi dan perilaku. Misalnya keluarga tertentu sudah terpuaskan hanya dengan makanan sederhana, tetapi keluarga lainnya hanya puas kalau makanannya adalah makanan yang mewah. Sedangkan fungsi sosial adalah memenuhi kebutuhan interaksi sosial di dalam kelompok atau masyarakat. (Nasoetion dan Hadi 1995). Menurut Nasoetion dan Hadi (1995) tahap pertama kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan cara menilai konsumsi makanannya. Selama tahap ini, intake (kebutuhan yang masuk tubuh) satu atau lebih zat gizi makanan
5
biasanya tidak cukup, apakah karena defisiensi (kekurangan) primer, yaitu taraf zat gizi dalam menu yang rendah atau karena defisiensi sekunder. Pada defisiensi sekunder ini, intake zat gizi makanan mungkin tampaknya memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh, tetapi karena berbagai faktor seperti obat-obatan tertentu,
komponen-komponen
makanan,
atau
penyakit,
mengganggu
penyerapan, transport, penggunaan, atau ekskresi zat-zat gizi, sehingga terjadilah defisiensi sekunder tersebut. Konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup dan sebagainya. Walaupun selera dan pilihan masyarakat didasari pada
nilai-nilai
sosial,
ekonomi,
budaya,
agama,
pengetahuan,
serta
aksesibilitas, namun kadang-kadang unsur prestise menjadi sangat menonjol. Disisi lain masyarakat perkotaan pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan formal dan pendapatan yang lebih baik daripada masyarakat desa. Variasi makanan dan minuman jadi di kota juga lebih banyak dan lebih mudah diperoleh baik di pasaran tradisional maupun di supermarket. Faktor-faktor ini yang mengakibatkan tingkat konsumsi pangan terutama pangan “luxury” di kota lebih tinggi daripada di wilayah desa. Misal, konsumsi daging sapi dan daging ayam tahun 1996 di kota, masing-masing mencapai 4 kali dan dua kali lebih besar daripada desa. Hanya konsumsi beras dan ubikayu di kota yang lebih kecil dibandingkan di desa (Martianto dan Ariani 2004). Peran Beras dalam Sumbangan Energi Rumah Tangga dan Pola Pengeluaran Pangan Beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi, maka sumbangan energi dari beras akan besar. Hasil rumusan Semiloka Penyusunan
Kebijakan
Perberasan
(2000)
menyebutkan
bahwa
beras
menyumbang sekitar 60-65 persen dari total konsumsi energi. Dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap pangan nabati adalah kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial pada pangan nabati. Padahal asam amino tersebut terutama berasal dari pangan hewani yang sangat berperanan dalam proses pertumbuhan dan kecerdasan manusia, yang berdampak pada kualitas sumberdaya manusia (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Sejak Orde Baru, beras menjadi komoditas strategis secara politis, sehingga peranan pemerintah terhadap perkembangan produksi dan konsumsi
6
beras sangat intensif. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pebesaran, mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Kebijakan tersebut dilakukan secara terus menerus, termasuk diantaranya kebijakan beras untuk orang miskin yang dikenal dengan “raskin” yang diberlakuakn untuk semua propinsi. Dampak dari kebijakan yang bias pada komoditas beras adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi pangan pokok masyarakat (Purwantini dan Ariani 2008) Penentuan pola konsumsi pangan pokok rumah tangga didasarkan pada sumbangan energi dari setiap komoditas pangan pokok terhadap total energi pangan pokok (pangan sumber karbohidrat). Kriteria yang digunakan seperti berikut : pola pangan pokok beras apabila sumbangan energi dari beras lebih besar dari 90 persen, sedangkan pola pangan pokok beras + komoditas lain bila masing-masing komoditas lain menyumbang lebih dari 5 persen (Puslit Agro Ekonomi,1989).
Berdasarkan
kriteria
tersebut,
hasil
analisis
dengan
menggunakan data SUSENAS 1979 diperoleh 11 jenis pola pangan pokok, dimana beras menjadi pola pangan pokok tunggal atau utama di setiap propinsi. Sedangkan jenis pangan yang menjadi pola pangan pokok kedua adalah umbiumbian, jagung, pisang dan sagu. Kelompok padi-padian terdiri dari tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung dan tepung terigu. Karena beras sebagai pangan pokok, proporsi pengeluaran untuk beras dalam kelompok padi-padian akan dominan. Pada tahun 1996 secara agregat, pola konsumsi pangan pokok di Indonesia didominasi oleh beras, bahkan di pedesaan beras telah menjadi pola pokok tunggal. Namun setelah enam tahun kemudian, peranan umbi-umbian dan jagung telah tergeser dan diganti dengan mie instant. Sehingga pola pangan pokok pada tahun 2002 pada umumnya adalah beras+mie instant, bukan beras+umbi/jagung. Peran mie sebagai pangan pokok kedua terjadi di semua elemen masyarakat, tidak hanya pada rumah tangga menurut wilayah ( kota dan desa) tetapi juga menurut kelompok pendapatan. Mie instant tidak hanya dikonsumsi oleh kelompok pendapatan sedang dan tinggi tetapi juga kelompok pendapatan rendah (Ariani dan Purwantini 2008). Ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketitakstabilan harga beras antar musim: perbedaaan harga antara musim panen dan musim paceklik; (ii) ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklimseperti kekeringan atau kebanjiran, fluktuasi harga beras di pasar
7
internasional yang keduanya sulit diramalkan. Jadi stabilisasi harga melewati batas musim dan tahun, sehingga diperlukan kebijakan pemerintah untuk menstabilakannya. Ketidakstabilan harga musim terkait erat dengan panen raya berlangsung pada bulan Februari-Mei yang mencapai 60-65% dari total produksi padi nasional, dan produksi musim gadu pertama berlangsung antara JuniSeptember mencapai 25-30%, sisanya dihasilkan antara bulan Oktober-Januari. Bila harga padi/beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga beras/padi akan turun pada musim panen raya dan, sebaliknya, akan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober-Januari). Artinya, ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan menghantam konsumen pada musim paceklik, di samping akan berakibat luas pada ekonomi makro tidak terkecuali inflasi (Amang dan Sawit 1999). Defisit Energi terhadap Kebutuhan Sumber energi utama manusia 52 persen diperoleh dari padi-padian, sedangkan makanan lain seperti daging, susu, telur, dan sebagainya tergantung dari tingkat pendapatan (Suhardjo 2008). Energi yang digunakan oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan di dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi (Arisman 2007). Konsumsi sesuatu zat gizi yang rendah atau yang kurang dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan konsekuensi berupa penyakit defisiensi, ataupun bila kekurangan hanya marginal dapat menimbulkan gangguan yang sifatnya lebih ringan atau menurunnya kemampuan fungsi. Karena itu untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, mutlak diperlukan sejumlah zat gizi yang harus didapatkan dari makanan dalam jumlah sesuai dengan yang dianjurkan setiap harinya (Nasoetion dan Hadi 1995). Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi. Kebutuhan energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka-
8
panjang, dan yang memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi total orang dewasa diperlukan untuk: (1) metabolism basal; (2) aktivitas fisik, dan (3) efek makanan atau pengaruh dinamik khusus (Energy Spesific Dynamic Actional/ SDA) (Almatsier 2006). Kebutuhan energi orang yang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan
energi
yang
dapat
dimetabolisasi
dari
makanan
yang
akan
menyeimbangkan keluaran energi, ditambah dengan kebutuhan tambahan untuk pertumbuhan, kehamilan dan penyusunan yaitu energi makanan yang diperlukan untuk memelihara keadaan yang telah baik (Arisman 2007). Berdasarkan Depkes 1996, klasifikasi defisit energi terbagi menjadi lima yaitu: 1) TKE <70 % termasuk defisit tingkat berat, 2) 70%-79% termasuk defisit energi tingkat sedang, 3) 80%89% termasuk defisit energi tingkat ringan, 4) 90%-119% termasuk normal, dan 5) TKE ≥ 120% termasuk energi berlebihan. Ketersediaan Pangan Beberapa masalah yang terkait dengan ketersediaan pangan, di antaranya adalah kebutuhan pangan masyarakat lebih tinggi dari kapasitas produksi dalam negeri, pengurangan luas lahan pertanian produktif akibat konversi penggunaan untuk kepentingan non-pertanian, pola konsumsi yang masih sangat didominasi oleh beras, upaya diversifikasi pangan masih menghadapi keterbatasan pengetahuan dan keterjangkauan, pasokan pangan hingga tingkat rumah tangga sering terhambat sebagai akibat dari keterbatasan jaringan transportasi, beberapa produk pangan tidak tersedia sepanjang tahun karena siklus produksi alam jenis komoditas pangan yang dibudidayakan, faktor agroklimat,
dan
belum
berkembangnya
agroindustri
untuk
pengolahan
/pengawetannya, masih sering dijumpai produk pangan yang tidak memenuhi standar kesehatan pangan dan/atau sesuai dengan syarat kehalalannya, belum semua rumah tangga secara ekonomi mampu memenuhi kebutuhan pangan pokoknya, dan marjin keuntungan usahatani tanaman pangan sangat kecil, sehingga sangat menghambat motivasi petani untuk meningkatkan produksinya (Kadiman 2006).
9
Inflasi Inflasi adalah proses kenaikan harga barang jasa secara umum dan terus menerus. Kenaikan haga yang sifatnya sementara seperti momen hari raya (tidak terus menerus) dan kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya (Mankiw 2006). Jenis inflasi menurut ukuran parah tidaknya dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu: Inflasi ringan (di bawah 10% setahun) Inflasi sedang (antara 10%-30% setahun) Inflasi berat (antara 30%-100% setahun), dan Inflasi tak terkendali (di atas 100% setahun) Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti: Indeks Harga Konsumen (IHK) : menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survey bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas. Indeks Perdagangan Besar : merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah. GDP Deflator : mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalam perhitungan GNP diperoleh dengan membagi GDP nominal (atas dasar harga berlaku) dengan GDP Riil (atas dasar harga konstan/tahun dasar). Penggunaan Indeks yang bervariasi tersebut dikarenakan oleh adanya arti penting masing-masing barang yang tidak sama pada setiap kelompok masyarakat (Mankiw 2006). Berdasarkan BPS (2005) perkembangan inflasi selama periode 19952004, menunjukkan bahwa inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 77,6 persen, dan inflasi terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,0 persen. Tingginya inflasi tahun 1998 disebabkan oleh adanya krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi yang menerpa Indonesia. Fundamental ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk saat itu menyebabkan pemerintah tidak mampu mengendalikan harga-harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Pemerintahan
Orde
Baru
beranggapan
bahwa
pembangunan
ekonomi
dimungkinkan apabila stabilitas ekonomi telah dicapai. Oleh karena itu sejak pertengahan tahun 1968, segala potensi dan usaha dikonsentrasikan kepada
10
stabilitas dan rehabilitasi ekonomi. Salah satu usaha yang ditempuh adalah pengendalian harga kebutuhan masyarakat banyak. Usaha ini membuahkan hasil yang spektakuler, inflasi turun drastis menjadi hanya 9,9 persen di awal Pelita I, yaitu pada tahun 1969. Sejak tahun 1969 padaa umumnya perkembangan harga-harga cukup terkendali hingga tahun 1994. Selama 26 tahun, hanya 9 tahun terjadi inflasi yang lebih dari 10 persen (2 digit) yaitu di tahun 1972 sampai 1977, tahun 1979, 1980, dan 1983. Inflasi terendah terjadi pada
tahun
1971
yaitu
2,5
persen.
Pada
periode
tahun
1984-1994
perkembangan harga-harga sangat terkendali dengan tingkat inflasi 1 digit (di bawah 10 persen). Inflasi terendah dalam periode ini dicapai pada tahun 1985 sebesar 4,3 persen dan tahun 1992 sebesar 4,9 persen (BPS 2005). Secara umum, inflasi memiliki dampak positif dan negatif, tergantung parah tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, akan memberikan pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan menarik orang untuk menabung, bekerja dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi) keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian menjadi lesu, orang tidak bersemangat bekerja, melakukan investasi dan menabung, karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh akan kesulitan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu (Mankiw 2006). Kaitan Inflasi Dengan Konsumsi Pangan Inflasi adalah suatu keadaan dimana terdapat kenaikan harga umum secara terus menerus. Kenaikan harga bukan harga satu atau dua macan barang saja, melainkan kenaikan harga dari sebagian besar barang dan jasa. Di samping itu konsumsi makanan keluarga juga dipengaruhi oleh harga pangan dan harga bukan pangan. Harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan riil rumah tangga. Sedangkan pendapatan riil rumah tangga selain ditentukan oleh tingkat harga juga oleh jumlah pendapatan nominal. Tingkat harga dipengaruhi oleh tingkat inflasi dan harga relatif antar berbagai barang dan jasa. Krisis ekonomi dan kebijaksanaan penyesuaianpenyesuaian yang diambil dapat mempengaruhi tingkat harga, melalui permintaan dan penawaran barang dan jasa, jumlah uang beredar, dan nilai
11
tukar uang. Seperti telah disebutkan sebelumnya, dampak negatif dari kenaikan harga makanan akan dirasakan terutama oleh rumah tangga miskin daripada keluarga mampu oleh karena keluarga miskin membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan. Dengan menurunnya konsumsi makanan, resiko akan menurunnya keadaan gizi anggota rumah tangga, terutama yang rawan gizi, akan meningkat (Soekirman 1991). Guritno (1998) dalam Siregar (2009) mengatakan inflasi sebagai fenomena ekonomi yang terutama terjadi di Negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat mempengaruhi kegiatan perekonomian. Tingkat inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum yang menyebabkan terjadinya efek subsitusi. Konsumen akan mengurangi pembelian terhadap barang-barang yang harganya relatif mahal dan menambah pengeluaran konsumsi terhadap barangbarang yang relatif murah. Kenaikan tingkat harga umum tidak berarti bahwa kenaikan harga barang terjadi secara proporsional. Hal ini mendorong konsumen untuk mengalihkan konsumsinya dari barang yang satu ke barang yang lain. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat terutama terhadap produksi dalam negeri yang selanjutnya akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang nasional. Menurut penelitian Ariani (2005) konsumsi pangan termasuk konsumsi energi dan protein sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat terhadap pangan dan gizi. Tingkat konsumsi energi dan protein masyarakat berbeda antarkelompok pendapatan dan terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya. Dengan mengacu pada patokan anjuran dalam WNPG VI tahun 1998, seseorang akan terpenuhi konsumsi energi dan proteinnya apabila pendapatan per kapita perbulannya di atas Rp. 200.000. Sejalan dengan peningkatan pendapat, masyarakat akan dihadapkan pada banyak pilihan makanan yang sesuai selera tanpa kendala keuangan. Kemiskinan Dalam arti luas kemiskinan adalah suatu konsep terintegrasi yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan, 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
12
a. Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja. b. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. c. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. d. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan. Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: a. Kemiskinan alamiah, berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. b. Kemiskinan buatan, lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata (Suryawati 2005). Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam
kondisi miskin.
Menurut
Sayogyo,
tingkat
kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan (Suryawati 2005).
13
Daerah pedesaan: a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun. Daerah perkotaan: a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b. Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun. Kaitan Kemiskinan dengan Konsumsi Pangan Garis kemiskinan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup mininumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan (perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sebagainya). Berdasarkan hasil Widyakarya pangan dan Gizi tahun 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2100 kilokalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum energinya sebesar 2100 kilokalori perhari. Kemiskinan ekonomi sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluargakeluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya (Suhardjo 2008). Kebutuhan energi ini dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis komoditi makanan, seperti beras, umbi-umbian, ikan, daging, dan sebagainya. Dalam perhitungan kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2100 kilokalori didasarkan pada konsumsi makanan
14
dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan (di-inflate) dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelas tersebut disebut penduduk referensi (reference population) (BPS 2005). Pengeluaran Konsumsi Pangan Penduduk Salah satu indikator peningkatan kesejahteraan adalah perubahan pola konsumsi penduduk. Menurut hukum ekonomi bila selera tidak berbeda maka presentase pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan. Dengan demikian secara umum semakin meningkat pendapatan (kesejahteraan), semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan. Sasaran pembangunan di bidang pangan adalah penyediaan pangan yang cukup dengan mutu gizi yang baik. Salah satu barometer yang dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah meningkatnya pendapatan yang berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan dengan gizi yang lebih baik. Pada tahun 1980 hampir 70 persen pengeluaran pendudukan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Persentasenya dari tahun ke tahun menunjukan kecenderungan menurun, dan menjadi 54,6 persen pada tahun 2004. Selapa periode tersebut juga terjadi perubahan pola konsumsi makanan penduduk dengan meningkatnya presentase pengeluaran untuk makanan pokok. Pengeluaran untuk makanan pokok mengalami penurunan yang berarti yaitu dari 36,9 persen tahun 1980 menjadi 18,7 persen tahun 2004, sebaliknya pengeluaran untuk makanan menjadi meningkat dari 6,6 persen tahun 1980 menjadi 18,8 persen pada tahun 2004. Demikian pula pengeluaran untuk makanan berprotein tinggi (susu dan telur) mengalami peningkatan dari 17,6 persen tahun 1980 menjadi 20,1 persen pada tahun 2004. Gambaran ini memperlihatkan pergeseran pola konsumsi makanan penduduk sebagai cerminan modernisasi, sekaligus perubahan tingkat kesejahteraan (BPS 2005). Di Indonesia, yang menjadi pangan pokok adalah beras, jagung, ubikayu, ubi jalar, tales, sagu, pisang (khususnya di provinsi Papua) bahkan sekarang ditambah dengan makanan berupa mi instan, mi basah dan lain-lain yang bahan bakunya dari gandum. Pangan tersebut kecuali mi dikelompokkan dalam kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Dengan demikian, pengeluaran untuk kedua kelompok pangan ini dapat digunakan sebagai cerminan sejauhmana situasi konsumsi pangan pokok. Secara rata-rata pangsa pengeluaran padipadian adalah terbesar dibandingakan dengan kelompok pangan lain. Namun
15
untuk di kota pengeluaran padi-padian terkalahkan dengan pengeluaran makanan/minuman jadi. Secara kualitatif memang terlihat perubahan konsumsi pada masyarakat kota. Masyarakat di perkotaan berubah perilaku makannya dari terbiasa makan di rumah menyukai
makan di luar rumah dengan membeli
makanan jadi. Kecendrungan tersebut sebagai dampak bermunculannya industri makanan olahan seperti rumah makan/restoran yang tersedia di mana-mana yang memberikan unsur kenyamanan, keindahan dan mampu membangkitkan selera konsumen (Ariani 2005)