TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Salmonella Genus Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae, Gram negatif, berbentuk batang, tidak berspora, motil (kecuali Salmonella Pullorum dan S. Gallinarum), memiliki flagela peritrikus, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh pada suhu antara 5-45 °C, dengan suhu optimum 35-37 °C. Salmonella mampu tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada kadar garam yang meningkat. Salmonella membentuk rantai filamen yang panjang jika dibiakkan/ditumbuhkan pada suhu ekstrim 4-8 °C atau 44 °C, serta pada pH 4.4 atau 9.4.
Semua
Salmonella merupakan patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Bhunia 2008). Untuk lebih lengkap, karakteristik pertumbuhan Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik pertumbuhan Salmonella (Norhana et al. 2010) Parameter Suhu (°C)
Minimum
Optimum
Maksimum
5.2 (sebagian serotipe tidak berkembang pada suhu <7.0)
35-37
45-47
3.8
5.5-5.7
9.5
-
-
4-5
0.94
-
>0.99
pH Daya tahan terhadap garam (%) Kelembaban
Salmonella dikelompokkan berdasarkan antigen somatik (O), flagela (H), dan kapsular (Vi) (Mølbak et al. 2006; Bhunia 2008). Saat ini, terdapat 2463 serotipe Salmonella yang ditempatkan di bawah dua spesies, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terdiri atas 2443 serotipe dan Salmonella bongori terdiri atas 20 serotipe. Sekarang Salmonella enterica terdiri atas enam subspesies yang ditulis dengan angka romawi, yaitu I (enterica), II (salamae), IIIa (arizonae), IIIb (diarizonae), IV (houtenae), dan VI (indica). Misalnya, nama isolat Salmonella ditulis sebagai Salmonella enterica subspesies I serovar Enteritidis (Bhunia 2008).
Serovar-serovar S. enterica dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, bergantung pada perilaku kolonisasi dan kecenderungannya menyebabkan penyakit sistemik pada induk semang yang sehat dan dewasa. Kelompok pertama adalah serovar yang beradaptasi pada induk semang (host-adapted), terutama Salmonella yang menginfeksi induk semang melalui jalur fekal-oral dan multiplikasi bakteri terutama terjadi secara intraselular di dalam makrofag. Serovar dalam kelompok ini seperti S. enterica serovar Typhi di manusia, serovar Dublin di sapi, dan serovar Gallinarum di unggas, yang dicirikan dengan dosis infektif yang rendah, masa inkubasi yang panjang, dan menyebabkan infeksi yang sistemik. Kelompok kedua terdiri atas hampir semua serovar Salmonella enterica. Serovar ini umumnya tidak mampu menyebabkan penyakit sistemik pada induk semang yang sehat, tidak stres dan dewasa, serta berkoloni di saluran pencernaan hewan tanpa menyebabkan gejala klinik. Karena berada di saluran pencernaan hewan, maka serovar ini sering masuk dalam rantai pangan dan menyebabkan kasus penyakit yang ditularkan melalui makanan atau foodborne salmonelosis (Humphrey 2006). Sejarahnya, nomenklatur Salmonella didasarkan pada tempat asal, seperti S. miami, S. london, S. richmond, S. dublin, S. indiana, S. kentucky, dan S. tennessee. Sistem klasifikasi ini sekarang tidak dilanjutkan dan Salmonella diklasifikasikan berdasarkan kepekaannya (susceptibility) terhadap bakteriofage yang berbeda, yang disebut phage typing. Lebih dari 200 definitive phage types (DT) telah dilaporkan, seperti phase type (PT) 1, 4, 8, 13, 13a, 23, DT104, DT108, DT204, dan lain-lain.
Resistensi terhadap antibiotik juga digunakan sebagai
pengklasifikasian Salmonella. Sebagai contoh, DT104 resisten terhadap berbagai antibiotik seperti ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, spectinomycin, sulfonamides, florfenicol, tetracycline, nalidixic acid dan ciprofloxacin. Sekarang dilaporkan bahwa DT204 menjadi emerging strain yang resisten terhadap 8-9 antibiotik dan menjadi masalah penting bagi kesehatan manusia (Bhunia 2008). Dalam sistem nomenklatur modern, informasi mengenai subspesies diabaikan. Sebagai contoh, isolat dengan nama Salmonella enterica subspesies I serovar Enteritidis pada kalimat ditulis sebagai Salmonella Enteritidis (Mølbak et al. 2006; Bhunia 2008). Para ilmuwan saat ini diharapkan mengikuti sistem
klasifikasi dan nomenklatur Salmonella agar terjadi keseragaman dalam laporan dan menghindari kebingungan yang berlanjut (Bhunia 2008). Salmonella terdapat di saluran intestinal burung/unggas, reptil, kura-kura, insekta, ternak, dan manusia (Hanes 2003; Bhunia 2008), namun paling banyak ditemukan pada unggas (Nørrung et al. 2009).
Spesies ini juga tersebar di
lingkungan alami seperti tanah dan air, yang mana Salmonella dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama, namun tidak dapat memperbanyak diri secara signifikan seperti saat berada pada inangnya (Bell & Kyriakides 2002).
Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dari pada foodborne pathogen lainnya.
Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan dapat
menggunakan teknik biakan konvensional. Terdapat lima tahapan prosedur yang sudah ditetapkan dan dapat diterima secara luas untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan, yaitu tahap pre-enrichment (pra-pengayaan), selective enrichment (pengayaan selektif), selective plating media (media pemupukan selektif), uji biokimia, dan uji serologik. Tahap pre-enrichment pada media non-selektif merupakan tahapan yang bertujuan
untuk
meningkatkan
perbaikan
sel
Salmonella
memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan subletal.
dengan
cara
Kerusakan subletal
dapat diakibatkan dari kondisi yang merugikan selama proses pengolahan makanan, seperti pendinginan, pembekuan atau pengeringan (Adams & Moss 2008). Pada tahap pre-enrichment berdasarkan ISO 6579 (Horizontal method for the detection of Salmonella spp.), sampel karkas ayam dibilas selama 2 menit dengan 225 ml buffered peptone water (BPW) dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam (Yildirim et al. 2011). Kegagalan dalam resusitasi sel bakteri dalam tahap pre-enrichment dapat menyebabkan tidak terdeteksinya bakteri dalam pengujian, yang mungkin sebenarnya terdapat pada makanan dan bisa menyebabkan infeksi makanan (Adams & Moss 2008). Tahap selective enrichment dilakukan untuk meningkatkan perbandingan jumlah Salmonella dalam jumlah total mikroorganisme yang diinokulasi melalui
peningkatan proliferasi Salmonella dan menekan pertumbuhan bakteri lain. Media selective enrichment mengandung bahan selektif yang tidak memengaruhi pertumbuhan Salmonella tetapi menekan pertumbuhan bakteri lain.
Bahan
selektif tersebut, yaitu empedu, brilliant green, tetrathionate, dan selenite. Media yang sering digunakan adalah selenite-cystine (SC) broth yang berisikan cystine untuk menstimulasi pertumbuhan Salmonella; Müller-Kauffman tetrathionate (TT) broth yang mengandung tetrathionate, brilliant green, empedu, dan Rappaport-Vassiliadis (RV) broth yang berisikan malachite green, magnesium chloride (MgCl2), dan pH agak rendah (Adams & Moss 2008). Medium Rappaport-Vassiliadis (RV) secara umum telah diterima sebagai media yang digunakan selain selenite cystine (SC) dan tetrathionate (TT) broth. RV dan SC broth digunakan secara paralel pada tahap selective enrichment (Adams & Moss 2008).
Dalam praktiknya, hanya satu media yang biasa
digunakan pada tahap selective enrichment yaitu RV broth.
SC broth tidak
banyak memperlihatkan hasil positif. Hal ini disebabkan oleh tingginya toksisitas dari selenite pada penggunaan SC broth yang mencapai level kritis. Beberapa studi juga memperlihatkan bahwa RV broth dapat mendeteksi Salmonella Enteritidis (Boer 1998). Müller et al. (1997) yang dikutip oleh Boer (1998) menyatakan bahwa tetrathionate brilliant green bile (TTBG) broth menunjukkan produktivitas yang lebih baik dalam mendeteksi Salmonella pada daging ayam. komparatif,
media
modified
semisolid
Rappaport-Vassiliadis
Pada studi (MSRV)
menunjukkan efektifitas yang lebih tinggi dalam pengisolasian Salmonella pada makanan. Deteksi Salmonella dengan menggunakan media MSRV cukup mudah dan tidak membutuhkan banyak biaya, serta dapat mendeteksi hasil positif dan negatif dalam waktu 24 jam sesuai dengan standar metode ISO. Penambahan buffered peptone water (BPW) dengan ferrioxamine E memperlihatkan peningkatan motilitas Salmonella dan zona diameter di atas media semi solid enrichment. Tabel 4 menunjukkan hasil positif Salmonella pada beberapa media selektif dan dapat dilihat bahwa media Rappaport-Vassiliadis (RV) baik untuk recovery Salmonella.
Tabel 4
Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam beku (Busse 1995)
Sampel yang diuji
178
Sampel positif
118
100%
Pre-enrichment
48
41%
Selenite cystine 37 °C
41
35%
Tetrathionate bile 37 °C
35
30%
Rappaport modified 43 °C
72
61%
Ringer solution 37 °C
68
58%
Hasil positif pada:
Setelah 24 jam pada selective enrichment, biakan dari kedua SCB dan TTB digoreskan pada media selektif seperti brilliant green agar (BGA), hektoen enteric agar (HEA), dan xylose lysine deoxycholate (XLD) agar dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Koloni Salmonella pada media selektif BGA, HEA, dan XLD didapatkan setelah 24-48 jam inkubasi (Suresh et al. 2011). Hasil yang diharapkan pada media ini adalah ketidakmampuan Salmonella untuk memfermentasi laktosa dan atau memproduksi hidrogen sulfida. Dalam pemilihan media yang akan digunakan, dianjurkan memilih dua jenis media berdasarkan pada reaksi diagnostik yang berbeda untuk meyakinkan bahwa kekhasan galur (seperti galur yang memfermentasi laktosa) tidak terlewatkan (Adams & Moss 2008). Keberhasilan tahap enrichment merupakan tahapan yang menentukan dalam deteksi Salmonella. Saat ini, telah dilakukan usaha-usaha yang bertujuan untuk mengembangkan media dan prosedur untuk tahapan enrichment (Busse 1995). Selective plating agar yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi terhadap perbaikan Salmonella (Boer 1998). Plating media untuk isolasi Salmonella dapat dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan agen selektif yang digunakan yaitu bile salt agar, brilliant green agar, dan bismuth sulphite agar (Busse 1995). Saat ini, banyak tersedia agar yang mengandung garam empedu, seperti deoxycholate citrate agars (ditemukan oleh Leifson 1935), Salmonella Shigella (SS) agar (ditemukan oleh Pollock dan Dahlgren 1974), Hektoen Enteric agar (ditemukan oleh King dan Metzger 1968) and XLD agar (ditemukan oleh Taylor
1965). Deoxycholate agar dan XLD agar berisikan garam empedu dan sitrat dalam jumlah 1-2 g/l (Busse 1995). Terdapat dua modifikasi dari brilliant green agar. Berdasarkan pada ISO, agar berisikan 4.7 mg/l brilliant green, sedangkan formulasi USP berisikan hampir tiga kali zat warna.
Pada brilliant green agar, Salmonella dideteksi
dengan ketidakmampuan Salmonella memfermentasi laktosa atau laktosa dan sukrosa dengan memberikan warna pink pada koloni (Busse 1995). Selanjutnya, Van Schothorst et al. (1987) yang dikutip oleh Busse (1995) menyarankan menggunakan mannitol-lysine-crystal violet-brilliant green agar (MLCB) yang dikombinasikan dengan Rappaport-Vassiliadis Soya (RVS) broth karena memiliki daya selektif yang tinggi. Tabel 5 memperlihatkan karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi.
Tabel 5 Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi (Boer 1998) Media Rambach
XLT4
SM-ID
NBGL
Selektif/karakteristik diagnostic
Reaksi +/- terhadap Salmonella
Asam dari propilen glikol
+
β-Galaktosidase dengan kromogenik BCIG
-
Tergitol 4 (pertumbuhan)
+
Produksi H2S
+
Fermentasi laktosa
-
β-Galaktosidase dengan
+
Substrat kromogenik
-
Novobiosin (pertumbuhan)
+
Produksi H2S
+
Fermentasi gliserol
-
Fermentasi laktosa
-
Rambach: Rambach agar (Merck); XLT4: xylose lysine tergitol 4 agar; SM-ID: Salmonella medium SM-ID (BioMe´rieux); NBGL: novobiocin brilliant green glycerol lactose agar.
Beberapa studi memperlihatkan bahwa selective plating agar yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi terhadap perbaikan Salmonella dari sampel makanan dengan aktivitas air tinggi adalah Rambach dan xylose lysine tergitol 4 (XLT4).
Salmonella medium SM-ID (SM-ID) memiliki spesifisitas dan
sensitifitas yang tinggi sebagai media isolasi Salmonella dari sampel makanan asal hewan. Rambach memilki daya sensitifitas yang sangat tinggi sebagai media isolasi Salmonella. Rambach dan modified solid Rappaport Vassiliadis (MSRV) merupakan media yang memiliki spesifisitas yang tinggi sebagai media isolasi Salmonella (Boer 1998). Presumtif Salmonella dari media selektif harus dikonfirmasi dengan uji biokimia dan uji serologi yang menggunakan antisera polivalen O.
Lama
pelaksanaan keseluruhan prosedur minimum empat hari. Selain itu, terdapat pula teknik biakan pre-enrichment konvensional yang merupakan teknik inokulasi ke dalam media diagnostik selektif. Media diagnostik selektif tersebut memberikan perubahan warna dan mampu menggumpalkan partikel latex yang diberikan coating antibodi terhadap Salmonella.
Hasil positif menghasilkan presumtif
Salmonella, yang harus dikonfirmasi dengan uji serologi konvensional dan uji biokimia. Dengan teknik ini, identifikasi presumtif Salmonella dilakukan selama 42 jam. Pada metode lain, deteksi Salmonella membentuk imunopresipitasi, yang mana antibodi terhadap Salmonella berdifusi ke bawah melalui media dan berkontak dengan bakteri Salmonella yang bergerak ke atas pada media selektif (Busse 1995). Menurut Food and Drug Administration (FDA) (2011), konfirmasi Salmonella dengan uji serologi dapat menggunakan media triple sugar iron agar (TSIA) dan lysine iron agar (LIA).
Pengujian terhadap koloni yang diduga
Salmonella berdasarkan pada koloni yang menunjukkan tipe morfologi Salmonella dan koloni yang tidak menunjukkan tipe morfologi Salmonella. Yildirim et al. (2011) menambahkan bahwa pengujian konfirmasi Salmonella berhubungan dengan faktor virulensi Salmonella, yaitu aglutinasi antisera O dan H. Pengujian terhadap koloni yang menunjukkan tipe morfologi Salmonella adalah dengan mengambil dua atau lebih koloni, kemudian diinokulasikan pada media TSIA dan LIA. Inokulan diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Sumbat tabung dilepas untuk menjaga kondisi aerobik selama inkubasi untuk mencegah berlebihnya produksi H2S.
Pada media TSIA biakan Salmonella
dicirikan dengan terlihatnya reaksi basa pada slant (merah) dan asam pada butt
(kuning), dengan atau tanpa diproduksinya H2 S (hitam).
Pada media LIA,
Salmonella ditandai dengan timbulnya reaksi basa pada butt (ungu) yang menunjukkan hasil positif, sedangkan reaksi asam (kuning terang) menunjukkan hasil negatif. Salmonella pada media LIA memproduksi H2S. Beberapa biakan non-Salmonella memproduksi warna merah bata pada media LIA (FDA 2011). Semua biakan yang memberikan reaksi basa pada bagian butt media LIA, tanpa memerhatikan reaksi pada media TSIA, disimpan sebagai isolat yang berpotensi sebagai Salmonella dan dilanjutkan ke uji biokimia dan uji serologi. Biakan yang memberikan reaksi asam pada bagian butt media LIA dan biakan yang menimbulkan reaksi basa pada bagian slant dan reaksi asam pada bagian butt media TSIA juga dapat dianggap sebagai biakan yang berpotensi sebagai Salmonella dan dilanjutkan ke tahap pengujian biokimia dan uji serologi. Biakan pada LIA yang memproduksi reaksi asam butt dan biakan pada TSIA yang memproduksi reaksi asam slant dan reaksi asam butt dapat dibuang dan dianggap negatif Salmonella. Jika biakan TSIA gagal untuk memberikan reaksi khas untuk Salmonella (basa slant dan asam butt), ambil koloni yang mencurigakan dari media selektif yang tidak menunjukkan biakan pesumtifpositif, kemudian diinokulasikan ke media TSIA dan LIA (FDA 2011). Tahap identifikasi Salmonella terhadap biakan murni dari media TSIA dan LIA dilanjutkan dengan uji urea.
Biakan presumtif-positif TSIA dan LIA
diinokulasikan ke media urea broth, kemudian diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu 35 °C. Hasil positif uji urea ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah bata pada daerah tusukan (FDA 2011). Biakan yang tumbuh dari setiap urease-negative TSIA slant diinokulasikan ke dalam brain heart infusion (BHI) broth dan diinkubasi selama 4-6 jam pada suhu 35 °C atau diinokulasikan ke dalam trypticase soy-tryptose broth dan diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu 35 °C. Kemudian ke dalam 5 ml kedua biakan ditambahkan 2.5 ml larutan NaCl fisiologi yang diberi formalin. Selanjutnya dipilih 2 biakan dari formalinized broth dan diuji dengan antiserum polivalent flagellar (H). Sebanyak 0.5 ml antiserum polyvalent H ditempatkan dalam tabung uji serologis berukuran diameter dan tinggi 10 x 75 mm atau 13 x 100 mm. Kemudian 0.5 ml antigen yang akan diuji ditambahkan ke dalam tabung
uji serologi yang berisikan 0.5 ml antiserum polyvalent H.
Larutan NaCl
fisiologis disiapkan sebagai kontrol dengan mencampur 0.5 ml larutan NaCl fisiologis yang diformalin dengan 0.5 ml antigen formalin. Campuran diinkubasi dalam penangas air (waterbath) yang bersuhu 48-50 °C. Kemudian diobservasi setiap 15 menit dan hasil akhir dibaca setelah satu jam. Hasil positif ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan tidak pada kontrol. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol. Hasil nonspesifik ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol. Uji biakan juga dapat dilakukan dengan menggunakan antiserum Spicer-Edwards (FDA 2011). Uji serologis Spicer-Edwards digunakan sebagai alternatif untuk uji polyvalent H. Hal ini juga dapat digunakan dengan biakan yang memberikan aglutinasi non-spesifik dalam uji polyvalent H. Uji antiserum Spicer-Edwards flagellar (H) dilakukan sebagaimana telah dijelaskan pada saat pengujian formalinized broth dengan uji antiserum polyvalent H di atas.
Uji biokimia
tambahan dilakukan dengan larutan lysine decarboxylase broth, fenol red dulcitol broth atau purple broth dengan dulcitol 0.5% pada biakan yang menunjukkan positif flagela pada hasil uji (FDA 2011). Uji polyvalent somatik (O) dilakukan dengan mengemulsikan biakan dari media slant TSIA yang telah diinkubasi selama 24-48 jam atau lebih dianjurkan dari tryptose blood agar dengan 2 ml 0.85% NaCl. Satu uji suspensi biakan dan antiserum somatik (O) dicampurkan pada gelas objek yang telah ditandai. Untuk kontrol digunakan satu uji larutan NaCl yang diuji pada gelas objek. Hasil positif ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada pencampuran dan tidak terjadi aglutinasi pada larutan garam. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terjadinya aglutinasi pada pengujian campuran dan kontrol (FDA 2011).
Cemaran Salmonella pada Daging Berdasarkan aspek global dan aspek kesehatan masyarakat veteriner, Salmonella merupakan bakteri patogen zoonotik yang dapat mencemari makanan (Nesbakken 2009). Salmonella dapat menetap di saluran intestinal sebagai bagian dari flora normal makhluk hidup. Lingkungan yang juga menjadi tempat menetap
Salmonella adalah tanah, air, dan serangga. Tanah dan air dapat tercemar melalui feses atau melalui serangga yang sebelumnya berkontak dengan feses yang kemudian dengan mudah berkontak dengan makanan (Brands 2006). Pada dasarnya tubuh manusia memiliki ketahanan untuk mereduksi bakteri Salmonella dalam kurun waktu lima sampai tujuh hari. Sehingga manusia atau hewan yang tidak sakit dapat menularkan penyakit ke individu lain melalui feses (Brands 2006).
Infeksi Salmonella spp. pada ternak seringkali tidak
memperlihatkan gejala klinis dan pada akhirnya menghasilkan daging yang tercemar (Newell et al. 2010). Lawrie dan Ledward (2006) mengemukakan pencemaran pada daging terjadi melalui infeksi endogenus dan infeksi eksogenus.
Infeksi endogenus
merupakan infeksi terjadi secara in vivo, sedangkan infeksi eksogenus dapat terjadi sejak pengeluaran darah saat pemotongan sampai daging dikonsumsi. Kedua aspek tersebut sebaiknya diperhatikan, walaupun konsumen akan lebih banyak menjumpai kontaminasi daging pascamati (infeksi eksogenus). Jalur infeksi atau cemaran terpenting Salmonella enterica adalah di pembibitan, yang mana infeksi diturunkan secara vertikal ke dalam telur tetas. Sumber lain infeksi Salmonella pada unggas adalah pakan yang tercemar, rodensia, cacing, dan hewan liar (Humphrey 2006). Saat hewan dipersiapkan untuk dipotong dan diproses, biasanya hewan ditangani oleh banyak pekerja. Salmonella atau agen patogen lain yang berada pada peralatan, tangan atau pakaian pekerja, memungkinkan terjadinya kontaminasi pada daging (Brands 2006). Pencemaran Salmonella pada daging sapi biasanya terjadi pada proses pemotongan, khususnya saat eviserasi. Tingkat cemaran Salmonella di rumah potong bergantung pada higiene pemotongan (Lawrie & Ledward 2006; Humphrey 2006).
Bhunia (2008) menambahkan,
kolonisasi Salmonella di usus akan meningkatkan risiko pencemaran selama proses pemotongan. Manusia dapat terinfeksi Salmonella melalui kontak dengan manusia, hewan, dan makanan yang terkontaminasi (Bell & Kyriakides 2002). Hewan yang terinfeksi Salmonella sering menunjukkan gejala subklinis sehingga bakteri ini cenderung menyebar dengan mudah di antara flok atau kumpulan ternak. Selain itu, hewan dapat menjadi pembawa penyakit (carrier)
yang persisten, sehingga prevalensi kejadian Salmonella tidak mudah dideteksi, kecuali melalui pengambilan dan pemeriksaan sampel yang rutin (Namata et al. 2005). Menurut Vindigni et al. (2007) yang dikutip Dallal et al. (2010), daging unggas dan daging merah (red meat) yang mentah atau tidak dimasak sempurna merupakan media utama yang penting dalam penularan penyakit. Secara umum, Salmonella dapat ditemukan pada karkas, baik pada permukaan atau di dalam ruang abdominal. S. enterica dapat berada di bagian-bagian karkas, seperti dalam kulit antara kaki dan dada (Humphrey 2006). Selanjutnya, Nógrády et al. (2008) mendapatkan dari penelitiannya bahwa cemaran Salmonella infantis di rumah potong unggas di Hungaria barasal dari air yang telah tercemar Salmonella dan pencemaran silang selama pencabutan bulu, pendinginan, serta penanganan selama pemotongan (cutting) dan pengemasan (packaging).
Prevalensi Salmonella di Beberapa Tempat Salmonelosis merupakan foodborne disease yang paling sering terjadi di negara-negara
berkembang
dan
negara-negara
industri,
walaupun
laju
insidensinya bervariasi di setiap negara (Stevens et al. 2006). Wabah foodborne disease secara rutin diobservasi dan sering dilaporkan (Newell et al. 2010). Di Inggris, antara tahun 1968-1973, S. enterica serovar Typhimurium diperoleh lebih dari 40% dari Salmonella yang diisolasi dari unggas, diikuti oleh S. enterica serovar Enteritidis (6%), serovar Pullorum (4%), dan serovar Gallinarum (3%). Namum sejak tahun 1980-an, S. enterica serovar Enteritidis phage type 4 (PT4) muncul sebagai serovar yang dominan melebihi serovar Typhimurium. Selain serovar Enteritidis dan Typhimurium, serovar yang sering diisolasi pada unggas adalah Livingstone, Senftenberg, Kedougou, dan Montevideo. Seringnya serovar tersebut diisolasi sebenarnya merupakan refleksi aktivitas surveilans yang lebih baik dibandingkan dengan peningkatan nyata gejala klinis (Walis 2006). Tingkat pencemaran Salmonella pada daging sapi dan ayam di beberapa negara diringkas pada Tabel 6.
Tabel 6
Prevalensi Salmonella pada karkas/daging sapi dan ayam di beberapa negara
Jenis Daging
Lokasi
Prevalensi
Pustaka
Karkas sapi
Rumah Potong, Irlandia Utara
1.5%
Madden et al. (2001)
Daging Sapi
Ritel daging, Dakar, Senegal
87% (174/199)
Stevens et al. (2006)
Daging Sapi
Rumah potong, Dakar, Senegal
43% (101/236)
Stevens et al. (2006)
Daging/karkas sapi
Rumah potong di Vietnam Selatan
27.4% (107/390)
Vo et al. (2006)
Daging sapi
Supermarket, Thailand
24% (6/25)
Minami et al. (2010)
Daging sapi
Pasar tradisional, Thailand
0% (0/4)
Minami et al. (2010)
Daging sapi
Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina
17% (13/78)
Yang et al. (2010)
Daging sapi
Ritel daging, Teheran, Iran
20% (38/379)
Dallal et al. (2010)
Daging sapi
Supermarket dan pasar provinsi Hebei, Cina
33.3% (15/45)
Yan et al. (2010)
Daging sapi
Pasar borongan, ritel daging, dan pasar tradisional di Seoul, Korea Selatan
2.0% (tahun 2009)
Hyeon et al (2011)
Karkas ayam
Supermarket dan toko daging, Barat Daya Spanyol
55% (22/40)
Capita et al. (2003)
Daging ayam
Toko daging, supermarket dan penjual di jalan, Provinsi Gauteng, Afrika Selatan
19.2% (19/99)
Nierop et al. (2005)
Daging ayam
Pasar Kota Metropolitan Kathmandu, Nepal
14.5% (4/55)
Maharjan et al. (2006)
Karkas/daging ayam
Rumah potong di Vietnam Selatan
38.5% (99/257)
Vo et al. (2006)
Daging ayam
Pasar di 5 district, Hanoi, Vietnam
48.9% (128/262)
Huong et al. (2006)
Karkas ayam
Rumah potong, Barat Daya Spanyol
17.9% (60/336)
Capita et al. (2007)
Supermarket, Bursa, Turki
0.60% (1/168); Salmonella infantis
Cetinkaya et al. (2008)
Daging ayam (paha atas)
toko
terbuka
daging
di
Provinsi
Daging ayam
Ritel daging, Eastern County Hungaria
72.7% (40/55) Salmonella infantis
Nógrády et al. (2008)
Daging ayam
Ritel daging ayam, Kota Namakkal, India Selatan
15.91% (92/578); S. Enteritidis
Maripandi dan Salamah (2010)
Daging ayam
Supermarket, Thailand
57% (4/7)
Minami et al. (2010)
Daging ayam
Pasar tradisional, Thailand
48% (13/27)
Minami et al. (2010)
Daging ayam
Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina
54% (276/515)
Yang et al. (2010)
Daging ayam
Ritel daging, Teheran, Iran
45% (86/379)
Dallal et al. (2010)
Pasar Al-Ahsa, Arab Saudi
10%; arizona
Al-Dughaym Altabari (2010)
Daging ayam (paha atas) Daging ayam
Supermarket dan pasar provinsi Hebei, Cina
Ayam (flock) Ayam (flock)
15.8% (19/120)
Yan et al. (2010)
Peternakan ayam pedaging di Perancis
8.6% (32/370)
Bouquin et al. (2010)
Peternakan komersial ayam broiler di Valencia (Spanyol Timur)
13.6%.(277/2036)
Marina et al. (2011)
Daging ayam
Pasar borongan, ritel daging, dan pasar tradisional di Seoul, Korea Selatan
42.3% (tahun 2009)
Hyeon et al. (2011)
Daging ayam
Daging ayam mentah yang dijual di beberapa pasar di central Anatolia
34% (68/200)
Yildirim et al. (2011)
Daging ayam
Rumah potong unggas di Perancis
7.52% (32/425)
Hue et al. (2011)
Daging ayam
Pasar tradisional di Taipe, Taiwan
41.4% (173/417) (tahun 2000-2005)
Chen et al. (2011)
Daging ayam
Ritel daging di Australia Selatan
38.8% (138/356)
Fearnley et al. (2011)
33% (66/200)
Thong (2011)
Daging ayam dan sapi
terbuka
di
Salmonella
Hypermart dan Ritel di Kuala Lumpur
&
Al-
dan
Modarressi
Dampak Salmonella terhadap Kesehatan Masyarakat Salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia (Nógrády et al. 2008).
Salmonelosis pada manusia umumnya dikategorikan
foodborne disease yang disebabkan oleh konsumsi makanan asal hewan yang tercemar (daging, susu, unggas, telur). Produk susu, termasuk keju dan es krim, juga pernah berkaitan dengan wabah salmonelosis (Bhunia 2008; Hugas et al. 2009).
Wabah salmonelosis akibat pangan asal hewan yang tercemar terus
mendapat perhatian khusus dari masyarakat dan pemerintah (Cao et al. 2009). Foodborne disease
yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et al. 2010). Gejala salmonelosis pada manusia paling sering ditunjukkan sebagai non-typhoid syndrome, yang meliputi onset demam yang akut, nyeri abdomen, nausea, dan kadang-kadang muntah. Gejala ini berjalan dalam waktu tertentu (self-limiting).
Menurut Namata et al. (2009), manusia umumnya terinfeksi
Salmonella karena mengonsumsi telur, daging unggas, daging babi, dan daging sapi (jarang). Salmonella menyebabkan tiga bentuk penyakit, yaitu demam tifoid (typhoid fever), gastroenteritis, dan bakterimia.
Salmonella enterica serovar Typhi
merupakan tipe paling invasif dan menyebabkan demam tifoid, yang merupakan penyakit sistemik pada manusia.
S. enterica serovar Paratyphi menyebabkan
infeksi seperti tifoid (typhoid-like infection) pada manusia. S. enterica serovar Typhimurium
dan
serovar
Enteritidis
menyebabkan
gastroenteritis
atau
enterokolitis yang bersifat terbatas, yang umumnya terlokalisasi di saluran gastrointestinal. Kedua serovar tersebut merupakan serovar yang paling sering menyebabkan infeksi pada manusia.
S. enterica serovar Typhimurium
menyebabkan infeksi seperti tifoid pada mencit. S. enterica serovar Choleraesuis, patogen yang beradaptasi pada babi, menyebabkan septisemia (paratifoid) pada babi.
S. enterica serovar Dublin, patogen yang beradaptasi pada sapi,
menyebabkan bakterimia, peradangan di saluran pencernaan dan aborsi pada sapi. Serotipe Arizonae menginfeksi reptil.
Ketiga serovar tersebut (Choleraesuis,
Dublin, dan Arizonae) kadang menyebabkan infeksi pada manusia. S. enterica serovar Pullorum dan Gallinarum menginfeksi unggas (Bhunia 2008). Penyakitpenyakit yang disebabkan oleh Salmonella disarikan pada Tabel 7.
Tabel 7
Penyakit yang dapat disebabkan oleh Salmonella (Bell & Kyriakides 2002)
Penyakit
Serotipe yang terlibat Terutama anggota subgrup/subgenus I, tetapi dapat pula subgrup III
Dosis Infektif
Karakteristik Penyakit
Gastroenteritis
Umumnya dibutuhkan jumlah yang tinggi (>10 000 sel) untuk menyebabkan sakit, tetapi jika bakteri ini terlindung, misalnya adanya kandungan lemak tinggi dalam makanan, maka jumlah kecilpun (<100 sel) dapat menyebabkan sakit
Masa inkubasi 12-72 jam, biasanya 12-36 jam, berakhir 2-7 hari Gejala: diare (jika parah akan menyebabkan dehidrasi), nyeri abdomen, muntah, dmeam, kadang fatal. Ekskresi bakteri dapat berlangsung lama
Demam enterik
Dosis infektif dapat <1000 sel
Masa inkubasi 7-28 hari, ratarata 14 hari Tifoid; demam tinggi, malaise, nausea, nyeri abdomen, tidak nafsu makan, delirium, konstipasi di tahap awal dan diare pada tahap akhir Masa convalescent hingga 8 minggu Dapat bersifat carrier hingga beberapa bulan sampai tahunan
S. Typhi dan S. Paratyphi (subgrup/subgenus I)
Salmonella berada di dalam aliran darah. Demam tinggi, malaise, nyeri di daerah toraks dan abdomen, menggigil dan tidak nafsu makan
Anggota subgrup/subgenus I
Septisemia atau bakterimia
Infeksi pada beberapa jaringan dapat terjadi
Komplikasi
Jarang terjadi. Dapat meliputi artritis, osteoartritis, apendisitis, endokarditis, perikarditis, meningitis, peritonitis, dan infeksi saluran kemih
Anggota subgrup/subgenus I, khususnya S. Typhimurium, S. Dublin, dan S. Choleraesuis Anggota subgrup/subgenus I
Hampir semua serovar Salmonella enterica dapat menyebabkan penyakit (sakit) pada manusia.
Epidemiologi salmonelosis pada manusia saat ini
didominasi oleh beberapa serovar, terutama serovar Enteritidis dan serovar
Typhimurium. Di England dan Wales pada tahun 2002, dilaporkan bahwa laju infeksi (infection rate) serovar Enteritidis adalah 18.8 kasus per 100 000 orang, sedangkan serovar Typhimurium 3.7 kasus per 100 000 orang dan serovar Virchow 0.5 kasus per 100 000 orang (Nørrung et al. 2009). Serovar-serovar S. enterica memiliki dampak ekonomis besar dan merupakan agen patogen yang ditularkan melalui makanan yang paling penting terkait dengan penyebab kematian konsumen (Humphrey 2006). Salmonella enterica dapat menyebabkan penyakit yang serius yang tidak tertolong. Penyakit ini lebih parah terjadi pada orang tua, anak-anak dan orang yang menderita gangguan imunitas. Gejala klinis umum yang tampak adalah diare (87% kasus), nyeri abdominal (84%), demam (75%), nausea dan nyeri otot (65%). Sekitar seperempat kasus menunjukkan muntah dan sakit kepala. Masa inkubasi salmonelosis ini antara 12 sampai 72 jam, namun pernah dilaporkan lebih dari masa tersebut. Pada beberapa wabah salmonelosis dilaporkan masa inkubasinya lebih singkat, yaitu 2.5 jam (Humphrey 2006). Orang yang terkena salmonelosis biasanya ditandai dengan panas, diare, nyeri abdominal, dan mual. Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak terlihat, akan tetapi infeksi tersebut dapat menimbulkan dehidrasi yang sangat hebat sampai dengan kematian (Nørrung et al. 2009).
Pencegahan Pencemaran Salmonella Melihat bahaya yang ditimbulkan oleh Salmonella, maka masalah cemaran Salmonella harus harus mendapat perhatian dari berbagai pihak. Agar infeksi Salmonella terhadap hewan hidup tidak menyebar perlu dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti: menjaga kebersihan dan desinfeksi kandang, menerapkan biosafety, memakai sepatu yang khusus untuk masuk ke dalam kandang (Adeline et al. 2009). Powell et al. (2011) mengatakan bahwa salah satu media yang dapat mendukung penerapan penanganan makanan yang baik adalah penyebaran lembar informasi keamanan pangan (food safety infosheet).
Food safety infosheet
berisikan berita tentang wabah foodborne illness, uraian dan petunjuk keamanan pangan.
Untuk mengendalikan risiko pada kesehatan manusia, maka sangat penting melaksanakan pengendalian di tingkat peternakan untuk mengurangi pencemaran silang yang dapat terjadi sepanjang rantai makanan (Namata et al. 2009). Nesbakken (2009) menambahkan untuk mencegah terjadinya penyebaran perlu didirikannya suatu unit populasi yang bebas dari bakteri patogen dan pastikan bakteri patogen tersebut belum pernah ada di area tersebut. Pencemaran karkas dari Salmonella tidak dapat dihindari jika unggas yang masuk rumah potong membawa Salmonella, namun dapat diminimalisasi melalui perbaikan sistem pemotongan (ICMSF 1998).
Nesbakken (2009) juga
berpendapat, kontaminasi banyak terjadi di tempat-tempat pemotongan hewan. Kemampuan operator dalam melakukan pengulitan sampai pengeluaran organ visera merupakan kunci dari penyembelihan yang higienis. Hewan yang bersih, pengerjaan yang baik dan higienis, serta didukung oleh kesehatan dan keahlian operator dalam penyembelihan secara higienis dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada karkas oleh bakteri patogen. Pencegahan terhadap Salmonella meliputi penanganan makanan yang benar, pencegahan pencemaran silang (cross contamination), penerapan higiene personal, dan pendidikan masyarakat tentang sumber Salmonella dan penanganan makanan yang aman serta sanitasi yang memadai. Pemasakan yang memadai dengan suhu pasteurisasi minimum 71.7 °C selama 15 detik diikuti dengan pendinginan segera pada suhu 3-4 °C atau pembekuan dalam waktu 2 jam dapat mengeliminasi Salmonella dari makanan (Bhunia 2008).
Brands (2006)
menambahkan salah satu bentuk pencegahan yang dapat dilakukan dengan selalu mencuci tangan dengan sabun.