BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antioksidan Antioksidan adalah substansi
yang dalam konsentrasi
rendah jika
dibandingkan dengan substrat yang akan teroksidasi dapat memperlambat atau menghambat oksidasi substrat (Sen et al., 2010), berperan penting dalam melindungi sel dari kerusakan dengan kemampuan memblok proses kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas (Hartanto, 2012). Beberapa senyawa metabolit sekunder pada tanaman memiliki aktivitas antioksidan yang berfungsi menangkap radikal bebas sehingga mampu menghambat arteroskeloris, hipertensi, proses oksidasi pada LDL, dan beberapa penyakit kanker tertentu (Akagawa, 2001). Beberapa senyawa metabolit sekunder tersebut diantaranya golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid atau triterpenoid (Gordon, 1994). Senyawa antioksidan memiliki beberapa mekanisme kerja antara lain penambahan elektron (oksidasi), reduksi, dan chelating (Barbusinski, 2009). Chelating logam oleh senyawa tertentu dapat menurunkan efek pro-oksidan suatu senyawa dengan mengurangi potensial redoks dan menstabilkan bentuk teroksidasi dari logam (Koncic et al., 2011). Kemampuan antioksidan umumnya diukur berdasarkan nilai IC50, dimana IC50 ini menggambarkan besarnya konsentrasi suatu senyawa yang mampu menghambat radikal bebas sebanyak 50%. Jika nilai IC50 semakin kecil maka
5
kemampuan antioksidan semakin besar (Seneviratnhe et al, 2006). Penggolongan tingkat aktivitas antioksidan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1 Penggolongan tingkat aktivitas antioksidan No.
Nilai IC50 (µg/mL)
Tingkat Aktivitas Antioksidan
1.
151-200
Lemah
2.
100-150
Sedang
3.
50-100
Kuat
4.
<50
Sangat kuat (Blois, 1958).
2.2 Ubi Jalar Ungu 2.2.1 Klasifikasi Tanaman Ubi Jalar Ungu Kingdom : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Convolvulales
Famili
: Convulvulaceae
Genus
: Ipomea
Spesies
: Ipomea batatas L. (Rukmana, 1997).
2.2.2 Deskripsi Tanaman Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu tumbuh baik di daerah berikilim panas dan lembab, dengan suhu optimum 27o C dan lama penyinaran sekitar 11 – 12 jam per
hari. Tanaman ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut. Ubi jalar ungu juga tidak membutuhkan tanah yang subur sebagai media pertumbuhannya. Bentuk ubi jalar ungu biasanya bulat sampai lonjong dengan permukaan rata hingga tidak rata. Kulit ubi jalar ungu berwarna ungu kemerahan, dan daging umbinya berwarna keunguan (Rukmana, 1997).
Gambar 2.1. Ubi jalar ungu (Jusuf dkk., 2008). 2.2.3 Kandungan Kimia Tanaman Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu merupakan sumber energi karena mengandung karbohidrat yang tinggi. Ubi jalar ungu juga mengandung beberapa vitamin seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin B6. Kandungan mineral dari ubi jalar ungu diantaranya yaitu fosfor, kalsium, mangan, dan zat besi. Selain itu ubi jalar ungu juga mengandung antosianin tinggi yang menyebabkannya berwarna ungu. Kandungan antosianin dari ubi jalar ungu berkisar ± 519 mg/100 g berat basahnya (Apriliyanti, 2010).
2.2.4 Penelitian Terkait Aktivitas Farmakologi Ubi Jalar Ungu Pada penelitian yang dilakukan Jawi et al (2006) menyatakan bahwa pemberian ekstrak air daging ubi jalar ungu pada mencit dengan dosis 0,5 mL/ekor selama 7 hari terbukti memiliki aktivitas antioksidan pada darah, hati, jantung, dan usus mencit yang mengalami stres oksidatif setelah diberikan beban aktivitas fisik maksimal. Pemberian ekstrak air daging ubi jalar ungu juga mampu menurunkan tekanan darah sistolik pada tikus putih hipertensi yang diinduksi NaCl dosis tinggi (Jawi dan Sutira, 2012). Pengujian dengan metode DPPH, ekstrak etanol daging ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai EC50 36,5µg/mL (Prasanth et al., 2010). Ubi jalar ungu juga memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti antitumor, antimutagenik dan hepatoprotektif (Kong et al., 2003), serta antidiabetik (Jayaprakasm et al., 2005). Selain dagingnya, kulit ubi jalar ungu juga memiliki aktivitas antioksidan yang diuji dengan metode FIC menghasilkan nilai IC50 sebesar 322,08 µg/mL (Dewi, 2014). 2.2.5 Senyawa Antosianin dalam Ubi Jalar Ungu Senyawa antosianin utama dalam ubi jalar ungu merupakan golongan cyanidin dan peonidin (Montilla et al., 2011). Berdasarkan struktur kimianya, antosianin
merupakan
turunan
dari
kation
flavilium
(3,5,7,4’
tetrahidroksiflavilium) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin (Timberlake and Bridle, 1997).
Gugus hidroksil pada posisi 3 dari cincin C dan posisi 3’ serta 4’ dari cincin B berperan dalam aktivitas antioksidan antosianin. Selain itu, gugus hidroksil pada cincin C menyebabkan senyawa antosianin memiliki aktivitas chelating ion logam seperti besi dan tembaga (Kowalczyk et al., 2003). Dari gambar 2.2 antosianin dari ubi jalar ungu terasetilasi pada gugus gula terletak pada posisi R2 dan R3, dimana salah satu posisi R2 diisi oleh cafferic acid dan R3 diisi oleh ferulic acid dan antosianin ini termasuk dalam kelompok cyanidin (Kano et al., 2005). Alkilasi dari gugus gula oleh senyawa asam hidroksi aromatik mampu meningkatkan aktivitas antioksidan dari senyawa antosianin tersebut (Kowalczyk et al., 2003). Dilihat dari strukturnya, cafferic acid dan ferulic acid merupakan asam hidroksi aromatik sehingga hal ini menyebabkan antosianin terutama kelompok cyanidin dalam ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Kano et al., 2005).
Gambar 2.2 Struktur kimia senyawa antosianin dalam ekstrak ubi jalar ungu (Kano et al., 2005).
Tabel 2.2 Delapan komponen utama antosianin dalam ekstrak ubi jalar ungu No.
R1
R2
R3
1.
H
Caferric acid
H
2.
H
Caferric acid
Caferric acid
3.
H
Caferric acid
p-hydroxybenzoic acid
4.
Methyl
Caferric acid
H
5.
H
Caferric acid
Ferulic acid
6.
Methyl
Caferric acid
Caferric acid
7.
Methyl
Caferric acid
p-hydroxybenzoic acid
8.
Methyl
Caferric acid
Ferulic acid (Kano et al., 2005).
Antosianin secara umum bersifat larut dalam
pelarut polar seperti
metanol dan etanol, namun karena etanol memiliki toksisitas yang lebih rendah dibandingkan metanol maka lebih aman dengan menggunakan etanol (Leimena, 2008; Vanini et al., 2009). Senyawa antosianin terasilasi dalam ubi jalar ungu memiliki beberapa kelebihan seperti lebih stabil selama penyimpanan, lebih stabil terhadap suhu tinggi dan juga cahaya (Montilla et al., 2011; Leimena, 2008). Ekstraksi masih aman dilakukan sampai pada suhu 80°C (Bridgers et al., 2010). Selain itu antosianin juga stabil pada kondisi asam dengan pH 1-3 sehingga umumnya digunakan etanol asam untuk mengekstraksi antosianin (Bondre et al., 2012).
2.3 Identifikasi Antosianin Antosianin termasuk dalam kelompok senyawa flavonoid. Untuk dapat mengenali adanya flavonoid pada suatu sampel dapat dilakukan menggunakan KLT-pereaksi semprot atau analisis spektroskopi UV. Pereaksi semprot yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.3 Pereaksi semprot flavonoid No. 1.
2.
3.
Pereaksi
Hasil reaksi
Uap Amonia Bercak jingga hingga (NH3) lembayung menjadi biru Sinar UV : bercak merah jingga redup atau merah menjadi biru Sinar UV : bercak merah jambu atau fluoresensi kuning menjadi biru Pereaksi Sinar UV 366 nm : semprot bercak berfluoresensi AlCl3 5% kuning Terjadi pergeseran batokromik pada spektrum Pereaksi Bercak berwarna ungu semprot FeCl3 2%
Flavonoid yang mungkin Antosianin
Pustaka Markham, 1988.
Antosianidin 3-glikosida Sebagian besar antosianidin 3,5-diglikosida 5-hidroksiflavonoid
Markham, 1988.
Antosianin
Fenol
Yagi et al., 2012.
Antosianin memiliki spektrum khas yang bila diukur dengan spektrofotometri UV-Vis berada pada rentang 270-280 nm (pita II) dan 465-560 nm (pita I) (Markham, 1988). Jika terdapat tambahan puncak pada spektrum di rentang panjang gelombang 326-329 nm, maka terdapat gugus asil pada antosianin tersebut (Escribano et al., 2004). Sedangkan menurut Harborne (1996) spektrum tampak dari antosianin berada pada rentang 475-550 nm. Spektrum serapan UVVis antosianin juga dapat diperoleh dengan menggunakan metode KLT-
spektrofotodensitometri. Pada pengukuran spektrum dengan rentang 190-600 nm, spot yang merupakan antosianin adalah spot yang memiliki panjang gelombang maksimum 520-540 nm.
Gambar 2.3 Spektrum UV-Vis Antosianin (Jiao et al., 2012). Identifikasi antosianin menggunakan sistem Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan fase diam silika gel 60 F254 dan fase gerak n-butanol:asam asetat glasial:air (4:1:2) v/v, hasil positif antosianin menghasilkan bercak berwarna merah sampai biru violet secara visual dengan nilai Rf 0,2-0,4 (Wagner dan Bladt, 1996). Selain itu, berdasarkan penelitian dari Sugosha (2010) identifikasi antosianin dengan fase gerak n-butanol:asam asetat glasial:air (4:1:2) v/v menghasilkan pemisahan yang paling. Untuk memisahkan senyawa antosianin kelompok
cyanidin
dari
senyawa
antosianin
kelompok
lainnya
dapat
menggunakan fase gerak etil asetat: toluena: air: asam formiat (12:3:0,8:1,2) v/v dan fase diam silika gel 60 F254. (Cretu et al., 2013).
2.4 Metode Ferrous Ion Chelating (FIC) FIC (Ferrous Ion Chelating) adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidan suatu senyawa dalam chelating logam. Dimana nilai aktivitas chelating ion logam berbanding lurus dengan nilai aktivitas antioksidan suatu senyawa (Koncic et al., 2011).
Prinsip dari metode FIC
(Ferrous Ion Chelating) adalah membandingkan kemampuan sampel uji untuk bersaing dengan ferrozine dalam membentuk kompleks dengan ion besi (Fe2+/ion fero) (Elmastas et al., 2006). Penentuan kadar kompleks Fe2+- ferrozine dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri sinar tampak yang absorbansinya diukur pada panjang gelombang maksimumnya. Hasil penelitian Stookey (1970) menunjukkan kompleks Fe2+- ferrozine memiliki panjang gelombang maksimum 562 nm dengan absorptivitas molar 27.9000 serta berdasarkan penelitian tersebut dinyatakan hukum Lambert-Beer terpenuhi pada konsentrasi Fe sekitar 4 mg/L.
Gambar 2.4 Spektrum kompleks Fe2+- ferrozine (Stookey, 1970). Sampel uji dinyatakan memiliki aktivitas chelating logam ion besi apabila mampu memecah komplek Fe2+- ferrozine kemudian bereaksi membentuk kompleks dengan ion besi (Fe2+/ion fero) yang lepas. Reaksi ini ditandai dengan
adanya penurunan absorbansi kompleks Fe2+- ferrozine dan intensitas warna merah dari larutan (Aboul-enein et al., 2013). Dengan mengamati penurunan absorbansi kompleks Fe2+- ferrozine pada penambahan fraksi antosianin ubi jalar ungu dapat ditentukan besarnya aktivitas chelating logam ion besi dari fraksi antosianin ubi jalar ungu yang dinyatakan dalam % chelating ability. Chelating ability (%)
=
{(A0-A1)/A0} x 100%
Keterangan: A0 = Absorbansi dari kontrol (Kompleks antara ferrozine dan Fe) A1 = Absorbansi dari sampel uji (Sing dan Rajini, 2004). 2.4.1 Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) adalah salah satu ligan pengkelat yang memiliki afinitas kuat untuk membentuk kompleks dengan logam (Champbell, 2001). EDTA dapat membentuk kompleks 1:1 yang stabil dengan semua logam kecuali logam alkali tanah seperti natrium dan kalium (Gandjar dan Rohman, 2007).
Gambar 2.5 Struktur EDTA (Gandjar dan Rohman, 2007). EDTA memiliki kecenderungan dalam mengikat kation logam divalent dan membentuk kompleks logam yang sama dengan anion. Kompleks yang terjadi antara logam dan EDTA tergantung dari jenis logam yang diikat.
Pembentukan kompleks dengan logam divalent lebih kuat dibandingkan dengan logam trivalen (Champbell, 2001). Bentuk lain dari EDTA adalah Na2EDTA atau Natrium Etilen Diamin Tetra Asetat. Na2EDTA merupakan bentuk garam dari EDTA yang memiliki kelarutan dalam air lebih tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.5
Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu metode pengukuran yang
didasarkan atas adanya interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan suatu molekul atau atom melalui suatu larutan senyawa. Elektron-elektron pada molekul akan tereksitasi menempati suatu keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses tersebut akan terjadi penyerapan energi yang melewati larutan. Semakin lemah elektron yang tertahan dalam ikatan molekul, maka panjang gelombang penyerapan akan semakin panjang sehingga energi yang diserap semakin rendah. Sinar ultraviolet memiliki rentang panjang gelombang antara 200-400 nm, sedangkan sinar visible memiliki rentang panjang gelombang antara 400-750 nm (Gandjar dan Rohman, 2007). Adanya pembuatan spektrum serapan bertujuan untuk memperoleh panjang gelombang maksimum dari suatu senyawa. Faktor-faktor yang mempengaruhi spektrum serapan antara lain pH larutan, tebal larutan dan lebar celah serta jenis pelarut (polar atau non polar) (Harmita, 2006). Penetapan kadar suatau senyawa dilakukan pada panjang gelombang (λ) maksimum dengan alasan sebagai berikut (Harmita, 2006): a.
Pada λ maksimum menghasilkan kepekaan dan keakuratan yang lebih
tinggi karena serapan yang dihasilkan akibat perubahan konsentrasi juga maksimum. b.
Pada pita panjang gelombang maksimum daya serap yang dihasilkan
relatif konstan, sehingga diperoleh kurva kalibrasi yang linier. c.
Pada λ maksimum bentuk serapan umumnya landai, sehingga kesalahan
penempatan atau pembacaan λ dapat diabaikan.
2.6
KLT-Spektrofotodensitometri 2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Prinsip umum KLT yaitu pemisahan campuran karena adanya pergerakan solven melewati permukaan datar, komponen-komponen tersebut akan bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari kelarutannya, adsorpsi, ukuran molekul, muatan, dan elusi. Fase diam pada KLT dapat berupa plat gelas, logam atau plastik yang dilapisi oleh suatu adsorben. Adsorben ini dapat berupa silika gel, alumina, kieselgur (tanah diatom), selulosa, poliamida dan sepadhex. Adsorben yang sering digunakan adalah silika gel yang dicampur CaSO4 dengan kandungan air 1112% dari berat silika yang digunakan. Kadar air yang dibiarkan tinggi dalam plat akan dapat mengurangi daya serap dari silika, sehingga perlu dilakukan pemanasan untuk mengaktivasi silika dan mengurangi jumlah air yang tersedia. Pemanasan plat tidak boleh dilakukan pada suhu lebih dari 130°C. Hal ini dapat mengakibatkan CaSO4 mengalami hidrasi sehingga kekuatan
ikatannya terhadap silika gel berkurang dan plat menjadi rapuh (Sherma dan Fried, 1994). Pemilihan fase gerak baik untuk KLT didasarkan pada keterpisahan senyawa-senyawa dalam analit yang didasarkan pada nilai Rf atau hRf (100Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dengan jarak tempuh pelarut. Pola komponen kimia yang terlihat dari spot dapat menyediakan data yang konsisten dan stabilitas pada komponen tersebut. Reprodusibilitas Rf puncak-puncak kromatogram dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti plat KLT yang digunakan, kadar analit yang ditotolkan, jarak pengembangan, derajat kejenuhan chamber, suhu lingkungan, dan senyawa ikutan pada ekstraksi (coextracting substancei). Metode KLT merupakan metode analisis yang praktis, sederhana, efektif, cepat, tervalidasi dan sensitif (Flanagan et al., 2007). 2.6.2 Spektrofotodensitometri Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan fosforesensi (Sherma dan Fried, 1994). Detektor akan memberikan respon terhadap konsentrasi analit dalam spot-spot dari plat setelah pemisahan. Sinyal yang didapat kemudian diplotkan sebagai sebuah fungsi dari jarak yang ditempuh analit dan
konsentrasi analit dalam spot, sehingga didapatkan suatu rangkaian puncakpuncak yang disebut kromatogram (Skoog dan West, 2004).
2.7
Solid Phase Extraction (SPE) Solid Phase Extraction (SPE) memiliki empat tahap prosedur pengerjaan,
yaitu sebagai berikut: 1.
Pengkondisian Kolom dialiri dengan pelarut sampel untuk membasahi permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH yang sama sehingga perubahan-perubahan kimia yang tidak diharapkan ketika sampel dimasukkan dapat dihindari.
2.
Retensi sampel Larutan sampel dilewatkan ke kolom baik untuk menahan analit yang diharapkan sementara komponen lain terelusi atau untuk menahan komponen yang tidak diharapkan sementara analit yang dikehendaki terelusi.
3.
Pembilasan Tahap ini penting untuk menghilangkan seluruh komponen yang tidak tertahan oleh penjerap selama retensi.
4.
Elusi Tahap ini merupakan tahap akhir untuk mengambil analit yang dikehendaki jika analit tersebut tertahan pada penjerap. (Gandjar dan Rohman, 2007).