TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pertumbuhan Remaja Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan dewasa, dengan rentang umur antara 12 sampai 21 tahun. Masa remaja dibagi tiga kelompok yaitu masa remaja awal antara umur 12-15 tahun, masa remaja menengah antara umur 15-18 tahun dan masa remaja akhir antara umur 18-21 tahun (Wardlaw et al. 1992). Menurut WHO (1995), remaja dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur berdasarkan perubahan fisik, psikologis dan sosial yaitu remaja awal berumur antara 10-14 tahun, remaja menengah berumur 15-19 tahun dan remaja akhir atau dewasa muda berumur 19-24 tahun. Pada masa remaja terjadi pertumbuhan cepat kedua, dimana pertumbuhan cepat pertama terjadi pada masa anak bawah lima tahun (balita). Pertumbuhan cepat (growth spurt) pada remaja merupakan masa pertumbuhan cepat dan unik. Hal ini terjadi karena perbedaan pertumbuhan fisik dan perubahan komposisi tubuh antara remaja laki-laki dan perempuan. Karakteristik Pertumbuhan Fisik dan Perubahan Komposisi Tubuh Pada remaja putri pertumbuhan terjadi lebih cepat daripada laki-laki yang terlihat dari cepatnya pertambahan tinggi badan dan berat badan, ukuran lingkar badan dan pertumbuhan tulang (Adiningsih 2002). Anak perempuan biasanya memulai adolescent growth spurt tinggi badan pada usia 10,5 tahun dan anak lakilaki pada usia 12,5 tahun. Rata-rata laju pertumbuhan tinggi badan anak perempuan 9 cm per tahun dan anak laki-laki 10,3 cm per tahun. Pertambahan tinggi badan berakhir dengan perbedaan laki-laki dan perempuan lebih tinggi 12,5 cm atau lebih (Spear 1996). Pertambahan berat badan dimulai pada remaja awal (pre-adolescent growth spurt) dengan rata-rata kenaikan berat badan adalah 3-3,5 kg/tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan adolescent growth spurt (Spear 1996). Dibanding anak laki-laki, growth spurt anak perempuan dimulai lebih cepat yaitu sekitar umur 9,7-13,3 tahun sedangkan anak laki-laki baru pada umur 11,7 dan 15,3 tahun (Haddad 1996). Pertumbuhan anak perempuan lebih cepat berhenti daripada anak
laki-laki. Anak perempuan berumur 18 tahun sudah tidak tumbuh lagi, sedangkan anak laki-laki baru berhenti pada umur 20 tahun (Soetjiningsih 1998). Pada perempuan, puncak kecepatan pertambahan berat badan terjadi 6-9 bulan sebelum perubahan rata-rata tinggi badan. Pertambahan berat badan selama periode ini kira-kira 50% dari berat badan ideal (Spear 1996). Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan remaja. Margen (1984)
menjelaskan
bahwa
faktor-faktor
dominan
yang
mempengaruhi
pertumbuhan remaja yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses pertumbuhan yang optimal. Faktor genetik merupakan komponen yang sangat menentukan tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh, ukuran payudara, kecepatan pertumbuhan dan pubertas (Spear 1996). Faktor lingkungan seperti status sosial ekonomi keluarga dan angka kesakitan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi usia menarche (Simon & Andrews 1996). Konsumsi yang tidak seimbang pada masa remaja menyebabkan tidak terpenuhinya zat-zat gizi untuk pertumbuhan cepat sehingga terhambatnya pertumbuhan
seperti
usia
menarche
yang
terlambat.
Riyadi
(1996)
mengungkapkan bahwa peningkatan kebutuhan zat besi (sampai 15 persen) selama remaja digunakan untuk pengembangan massa sel darah merah dan mioglobin, pertambahan jaringan otot baru, mengkompensasi kehilangan darah akibat menstruasi yang menyebabkan remaja putri membutuhkan lebih banyak Fe. Remaja yang tinggal pada keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi mempunyai tinggi badan lebih tinggi dibanding remaja yang tinggal pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah (Rickert & Jay 1996). Remaja yang pernah pada waktu bayi menderita penyakit kronis, 10%-20% beresiko memiliki keterbelakangan mental, keterlambatan kematangan seksual dan mempengaruhi perkembangan psikososial pada saat dewasa (Haddad 1996). Gangguan pertumbuhan remaja dinegara maju pada umumnya lebih sering disebabkan oleh faktor genetik, sedangkan dinegara berkembang gangguan pertumbuhan selain disebabkan oleh faktor genetik juga faktor lingkungan yang kurang mendukung untuk pertumbuhan yang optimal.
Perubahan Hormonal Selain perubahan komposisi tubuh, pada masa remaja terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan terjadinya perbedaan karakteristik remaja laki-laki dan perempuan. Pada masa remaja, perubahan hormon terjadi rata-rata pada usia 10-16 tahun (Soetjiningsih 1998). Hormon yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan remaja adalah hormon pertumbuhan, hormon tiroid, hormon seks, insulin, IGFs (Insulin-like Growth Factors) dan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal (Spear 1996). Hormon pertumbuhan atau Somatotropin merupakan hormon yang berfungsi sebagai pengatur utama pada pertumbuhan somatis terutama kerangka. Pertumbuhan tinggi badan sangat dipengaruhi oleh hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan akan merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian mempengaruhi pertumbuhan tulang rawan anak usia 10-14 tahun (Fox 1993). Hormon pertumbuhan mempunyai circadian variation yang aktivitasnya meningkat pada malam hari sewaktu anak tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik dan pada saat terjadinya perubahan gula darah. Pertumbuhan hormon estrogen dan androgen dimulai saat pubertas. Hormon tersebut sangat berperan dalam perilaku seksual. Hormon androgen memproduksi testoteron pada pria 6-8 mg/hari, sedangkan wanita 0,5 mg/hari. Hormon estrogen dihasilkan oleh rahim wanita untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi, karakteristik seksual sekunder wanita (payudara dan rambut pada pubis) dan mengatur siklus menstruasi (Spear 1996; Simon & Andrews 1996). Perubahan hormonal di masa puber terjadi secara teratur yang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat dan kelenjar endokrin. Kelenjar pituitari yang terletak di dasar otak berperan penting dalam produksi dan sekresi hormon (Fox 1993). Kelenjar ini disebut master gland karena mensekresi hormon ke sistim aliran darah yang menstimulasi kelenjar lain untuk menghasilkan berbagai macam hormon. Pada masa puber, kelenjar pituitari meningkatkan hormon pertumbuhan, Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Rickert & Jay 1996). Pada perempuan, FSH dan LH menstimulasi ovari untuk memproduksi dan mensekresi hormon estrogen dan progesteron.
Pada remaja putri, pubertas ditandai dengan permulaan menstruasi (menarche). Menstruasi atau haid adalah pengeluaran secara periodik darah dan sel-sel tubuh dari vagina yang berasal dari dinding rahim wanita. Menstruasi dimulai saat pubertas dan menandai kemampuan seorang wanita untuk hamil. Menurut Spear (1996), menstruasi adalah pengeluaran darah secara periodik (biasanya setiap bulan) dari uterus yang merupakan campuran darah, cairan jaringan dan bagian kecil dari rahim (endometrium). Menstruasi biasanya dimulai antara umur 10-16 tahun, tergantung pada berbagai faktor termasuk kesehatan wanita, konsumsi gizi dan status gizi. Simon dan Andrews (1993) mengatakan bahwa penurunan usia awal menstruasi sebagian besar disebabkan karena peningkatan standar kehidupan ekonomi yang menyebabkan peningkatan pemenuhan gizi pada masa remaja dan kemudahan akses perawatan kesehatan. Hal ini terlihat bahwa seratus tahun yang lalu, umur menarche adalah 15,5 tahun. Sekarang rata-rata seorang remaja putri mendapatkan menarche pada umur 13 tahun, bahkan ada yang mendapatkan menarche umur sembilan tahun (Spear 1996). Pengaruh gizi pada saat puber sangat ditentukan keadaan status gizi pada usia dini. Dari 78 anak laki-laki yang diikuti dari usia 6 bulan sampai 14 tahun, berat badan selama balita berhubungan dengan kematangan dan tinggi badan saat remaja (Jhonston & Haddad 1996). Perubahan komposisi tubuh pada masa remaja menyebabkan kebutuhan gizi meningkat terutama energi, besi dan protein. Dari data beberapa negara ditemukan bahwa remaja akan mengalami pertambahan tinggi badan dan usia puber yang lebih awal (Rickert & Jay 1996). Hal ini terjadi karena konsumsi makanan yang lebih baik dan kesehatan pada saat anak-anak yang baik. Namun apabila konsumsi makanan tidak dibekali dengan pengetahuan, sikap dan praktek gizi yang cukup akan mengakibatkan terjadinya berbagai masalah gizi yaitu kekurangan atau kelebihan gizi. Kekurangan gizi pada remaja menyebabkan pertumbuhan tubuh menjadi terganggu dan tidak maksimal.
Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi Pada Remaja Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh (Camire & Dougherty 2005). Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan. Pengetahuan gizi akan mempengaruhi kebiasaan makan suatu masyarakat. Menurut Susanto (1997), tumbuhnya kebiasaan makan dalam masyarakat dipengaruhi oleh unsur-unsur pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan sehari-hari. Pengetahuan gizi seseorang juga dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan bisa menggambarkan kemampuan kognitif dan pengetahuan yang dipunyai seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka semakin luas tingkat pengetahuan seseorang. Hasil penelitian Yusra (1998) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan Pasangan Usia Subur (PUS), semakin tinggi skor pengetahuan tentang pesan PUGS. Pada masa remaja seharusnya diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan tentang manfaat gizi secara optimal, yang dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit dikemudian hari. Remaja merupakan kelompok yang beresiko memiliki kesehatan yang rendah karena perhatian pemerintah maupun penelitian terhadap kesehatan remaja sangat sedikit (Mila 2004). Hal ini sangat merugikan remaja karena beberapa masalah gizi dan kesehatan pada saat dewasa sebenarnya bisa diperbaiki pada saat remaja melalui pemberian pengetahuan dan kesadaran tentang kebiasaan makan dan gaya hidup yang sehat. Pemberian pengetahuan gizi pada remaja dapat dilakukan secara formal dan informal. Peningkatan pengetahuan gizi remaja secara formal dapat dilakukan melalui pendidikan gizi di sekolah-sekolah. Hasil penelitian Syarief et al. (2001) menemukan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan sebagian besar siswa setelah mendapatkan materi Pengetahuan Pangan dan Gizi yang diintegrasikan kedalam kurikulum Sekolah Menengah. Sztainer et al. (1995) juga menemukan
bahwa program pendidikan gizi “The Weight to Eat” pada remaja SMU dapat meningkatkan pengetahuan gizi remaja dan pola makan serta pencegahan perilaku makan yang tidak sehat. Sikap tentang Gizi Sikap diartikan sebagai kecendrungan individu untuk menanggapi dengan cara tertentu terhadap situasi, benda, ide, orang dan isu. Kecenderungan tersebut ditanggapi secara suka atau tidak suka terhadap obyek tertentu. Oppenheim (1966) mengatakan bahwa sikap merupakan kecendrungan untuk mengevaluasi seseorang, kejadian atau situasi dengan cara tertentu dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan hasil evaluasi tersebut. Sikap adalah kecendrungan seseorang untuk bertingkah laku dalam menghadapi suatu rangsangan. Misalnya seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap makanan yang pedas, akan selalu memilih atau membeli makanan yang pedas setiap kali menemui makanan pedas. Sebaliknya orang bersikap negatif terhadap makanan pedas selalu akan menghindar kalau menjumpai makanan pedas. Sikap ini bisa terjadi terhadap benda, situasi, orang, kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat disekitar manusia (Muljono 2000). Sikap merupakan suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku, begitu juga halnya dengan sikap terhadap makanan (Engel 1994). Sikap telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Azwar (1988) mengelompokkan kedalam tiga kerangka pemikiran yaitu (1) menurut ahli Psikologi, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut; (2) menurut ahli Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon dan (3) kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic scheme), sikap merupakan kumpulan dari komponen-komponen kognitif, afektif
dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berprilaku terhadap suatu objek. Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognitif, afektif dan perilaku (Azwar 1988). Komponen kognitif menunjukkan bagaimana seseorang mengetahui tentang suatu obyek, kejadian, situasi, pemikiran, keyakinan dan ide mengenai sesuatu. Komponen afektif adalah perasaan dan emosi terhadap obyek aktual, kejadian atau situasi tertentu. Perasaan dan emosi dapat dalam bentuk positif atau negatif tentang sesuatu (bagaimana kita merasakan tentang sesuatu). Komponen ini banyak ditentukan oleh kepercayaan, kesukaan dan keyakinan terhadap sesuatu. Komponen perilaku menunjukkan kecendrungan untuk bertindak berkaitan dengan obyek, kejadian atau situasi yang dihadapi. Sikap yang mengandung komponen perilaku merupakan kecendrungan atau maksud untuk melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Sarwono (1995), bahwa sikap manusia terdiri atas tiga komponen yaitu (1) komponen kognitif merupakan keyakinan dan nilai yang menggambarkan informasi dan observasi tentang obyek yang diperhatikan seseorang. Keadaan ini merupakan sikap aktual itu sendiri; (2) komponen afektif berupa perasaan positif atau negatif tentang sesuatu kondisi sebelumnya dan (3) komponen aksi atau konasi berkaitan dengan tindakan seseorang dalam menunjukkan reaksi (perilaku) untuk merespon perasaan yang ada. Komponen ini merupakan suatu kecenderungan berbuat melalui cara-cara tertentu. Setiap sikap memiliki tiga komponen yang saling berkaitan meskipun cukup beragam pendapat yang mengatakan unsur mana yang dominan. Sikap mempunyai ciri-ciri antara lain : (1) sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari selama seseorang berhubungan dengan suatu objek, (2) sikap itu dapat berubah-ubah bila terdapat keadaan dan syarat tertentu, karena itu sikap dapat dipelajari, (3) sikap tidak berdiri sendiri, tetapi mengandung hubungan dengan objek sikap yang lain, (4) objek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi bisa juga kumpulan dari beberapa hal, dan (5) sikap mempunyai segi motivasi dan segi perasaan, sehingga hal ini yang membedakan sikap dengan ketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Sikap terbentuk setelah manusia lahir. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan serta faktor emosi dalam diri individu yang dapat diketahui dari pengetahuan, pengalaman, perasaan emosi, cara berpikir, kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai (Azwar 2006). Pengetahuan akan menimbulkan respon yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat ditafsir dalam bentuk sikap. Wong et al. (1999) mengungkapkan bahwa pengetahuan mempunyai korelasi positif dengan sikap, artinya semakin tinggi pengetahuan gizi, maka semakin baik sikap terhadap gizi. Sikap merupakan suatu respon evaluatif berupa respon positif atau respon negatif (Azwar 1988). Respon evaluatif merupakan bentuk respon yang dinyatakan dalam sikap berdasarkan proses evaluasi dalam diri individu yang diungkapkan dalam bentuk baik atau buruk, suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan, positif atau negatif yang menjadi potensi reaksi terhadap objek sikap. Engel (1994) menyatakan sikap adalah suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu hal, sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku. Pengetahuan akan menimbulkan respon yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat ditafsir dalam bentuk sikap. Wong et al. (1999) mengungkapkan bahwa pengetahuan mempunyai korelasi positif dengan sikap, artinya semakin tinggi pengetahuan gizi, maka semakin baik sikap terhadap gizi. Beech et al. (1999) menjelaskan bahwa meskipun pengetahuan gizi remaja rendah sebelum intervensi, namun sikap dan kesadaran remaja untuk belajar tentang praktek makan yang sehat sangat tinggi. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu yang dipelajari dan dilihat, misalnya melalui berbagai iklan dan media massa. Sikap bersifat dinamis dan terbuka terhadap kemungkinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Sikap dapat dilihat dalam bentuk perilaku, baik perilaku lisan maupun perilaku tulisan. Pengalaman yang diperoleh seseorang ada yang dirasa menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan, sehingga timbul rasa suka atau tidak suka terhadap makanan dan
selanjutnya dapat mempengaruhi pemilihan makanan. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu yang dipelajari dan dilihat, misalnya melalui berbagai iklan dan media massa. Dalam hal ini pendidikan gizi sangat diperlukan karena dapat membentuk sikap mental dan perilaku positif terhadap gizi. Sanjur (1982) mengemukakan bahwa sikap terhadap makanan juga dipengaruhi oleh pengalaman dan respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak ia masih anak-anak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Hal ini menyebabkan setiap individu dapat mempunyai sikap suka dan tidak suka terhadap suatu makanan. Sikap dapat dipelajari, baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat. Anak-anak belajar tentang sikap terhadap gizi terutama dari keluarga mereka. Namun lingkungan juga mempengaruhi sikap seseorang. Seseorang berinteraksi sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Melalui proses belajar, sikap seseorang dapat berubah walaupun dalam waktu yang cukup lama. Praktek Gizi Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu ransangan (stimulus) (Notoatmodjo 1997). Respon atau reaksi ada yang bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, sikap) dan bersifat aktif (tindakan nyata atau praktek). Segala sesuatu yang diperoleh dalam bentuk pengetahuan (knowledge), yang direspon dalam diri seseorang dalam bentuk sikap (attitude), dicerminkan dalam bentuk praktek (action) merupakan komponen perilaku. Menurut Winkel (1996), praktek adalah segala sesuatu yang dilakukan seseorang. Praktek kesehatan adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungan, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Mantra 1994). Perilaku seseorang terhadap gizi terdiri dari pengetahuan tentang gizi, keyakinan atau sikap tentang manfaat gizi, serta tindakan-tindakan yang dilakukan dalam memilih dan mengkonsumsi makanan yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya setempat.
Winkel (1996) menjelaskan bahwa sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sikap yang negatif menumbuhkan perilaku yang negatif. Melalui proses belajar akan diperoleh pengalaman yang nantinya dapat membentuk sikap. Kemudian sikap akan dicerminkan dalam bentuk praktek yang sesuai dengan yang diharapkan. Praktek konsumsi pangan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan makan (Sanjur 1982). Interaksi antara pengetahuan gizi dan sikap terhadap gizi tercermin dari praktek konsumsi pangan. Kebiasaan makan merupakan cara-cara individu atau kelompok masyarakat dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada latar belakang sosio budaya (Soehardjo 1989). Keluarga berperan penting dalam membentuk perilaku makan remaja. Birch dan Fisher (1998) mengatakan bahwa orang tua terutama ibu merupakan orang yang pertama membentuk perilaku makan seorang anak. Hal ini diperlihatkan dengan pemilihan makanan yang disukai atau tidak suka. Perhatian orang tua terhadap makanan yang dipilih dan dikonsumsi oleh remaja sangat berperan dalam membentuk pola makan remaja (Birch & Fisher 1998). Penelitian Sztainer et al. (2003) menemukan bahwa kebiasaan makan dalam keluarga berperan penting dalam promosi praktek makan yang sehat pada remaja. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa frekuensi makan dalam keluarga berhubungan positif dengan konsumsi buah, sayur dan makanan yang mengandung kalsium serta berhubungan negatif dengan konsumsi minuman ringan. Dengan
makan bersama keluarga, ketersediaan makanan yang
beranekaragam lebih mudah diperoleh remaja. Penelitian tentang pengetahuan, sikap dan praktek konsumsi buah dan sayur pada remaja SMU yang dilakukan Beech et al. (1999) menemukan bahwa intervensi 5 A Day for Better Health Program dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran remaja tentang manfaat buah dan sayur dengan meningkatnya frekuensi konsumsi buah dan sayur. Wong et al. (1999) mengemukakan bahwa pengetahuan dan sikap yang positif terhadap gizi berkorelasi positif dengan praktek makan yang sehat. Remaja putri mempunyai skor pengetahuan gizi dan
skor sikap yang lebih tinggi daripada remaja putra (Wong et al. 1999; Beech et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya remaja putri lebih memperhatikan gizi dan kesehatan mereka daripada remaja putra. Alat ukur yang tepat diperlukan untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan praktek gizi pada remaja. Pengembangan Alat Ukur Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi Remaja Psikologi manusia merupakan suatu konsep yang abstrak sehingga untuk mengukurnya dilakukan pendekatan-pendekatan. Studi tentang teori dan teknik pengukuran psikologis termasuk pengetahuan, sikap, perilaku, kemampuan dan ciri-ciri kepribadian lainnya disebut psikometrik (Nunnaly 1978). Parmenter dan Wardle (1999); Azwar (1999) menjelaskan bahwa psikometrik adalah ilmu yang mengukur sifat psikologis dari manusia. Dengan demikian untuk mengetahui sifat-sifat psikologi manusia yang abstrak, dilakukan pengukuran dengan pendekatan-pendekatan yang tepat. Pengukuran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memberikan angka terhadap aspek, obyek atau kejadian yang akan diukur menurut suatu kriteria atau aturan tertentu (Singarimbun & Effendi, 1985; Azwar, 1999). Wiersma et al. (1990) menjelaskan bahwa pengukuran adalah penilaian numerik terhadap fakta-fakta dari obyek yang hendak diukur menurut kriteria atau satuansatuan tertentu seperti skor 100 untuk jawaban yang betul semua. Hasil pengukuran akan bermakna apabila dilakukan penilaian dan evaluasi. Penilaian adalah suatu tindakan atau proses menentukan nilai sesuatu obyek menggunakan kriteria tertentu seperti nilai A untuk skor lebih dari 85. Evaluasi adalah pengambilan keputusan tentang sesuatu yang telah dinilai, seperti nilai A dinyatakan lulus. Hasil pengukuran bersifat kuantitatif dan hasil penilaian dan evaluasi bersifat kualitatif (Azwar 2006). Pengembangan Alat Ukur (Kuesioner) yang Standar Kuesioner (alat ukur/instrumen) secara umum adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun fenomena sosial yang diamati (Azwar
2006).
Kuesioner
merupakan
alat
bantu
bagi
peneliti
dalam
mengumpulkan data. Apapun yang digunakan untuk melakukan pengukuran disebut kuesioner/instrumen/alat ukur yang harus terlebih dahulu divalidasi sebelum digunakan. Djaali dan Muljono (2004) mengatakan bahwa kuesioner memegang peranan yang penting dalam menentukan mutu suatu penelitian, karena kesahihan data diperoleh akan sangat ditentukan oleh kualitas kuesioner yang digunakan. Data merupakan penggambaran variabel yang diteliti dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis, oleh karena itu benar tidaknya data tergantung dari baik tidaknya kuesioner pengumpul data. Kuesioner penelitian merupakan komponen kunci dalam penelitian yang berfungsi mengungkap fakta menjadi data. Apabila kuesioner yang digunakan mempunyai kualitas yang baik yaitu memenuhi validitas dan reliabilitas maka data yang diperoleh akan sesuai dengan fakta atau keadaan yang sesungguhnya dilapangan. Kualitas kuesioner ditentukan oleh dua kriteria utama, yaitu validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan). Kuesioner merupakan alat ukur yang harus memiliki kualitas validitas dan reliabilitas yang baik dan digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Banyak masalah penelitian memerlukan pengembangan kuesioner yang dapat dipercaya serta mampu mengukur hal-hal yang abstrak seperti kecerdasan, motivasi, pengetahuan, sikap, praktek dan sebagainya. Untuk mengukur hal yang berbeda-beda diperlukan pula alat ukur atau kuesioner yang berbeda-beda pula. Ciri-ciri suatu alat ukur yang baik adalah (1) memiliki aspekaspek praktis tentang kesulitan item, penskoran, penafsiran, validitas dan mudah mengerjakannya; dan (2) memiliki reliabilitas sehingga memberikan hasil yang sama ketika alat ukur digunakan pada orang yang sama di waktu yang berbeda (Djaali & Muljono 2004). Thorndike dan Robert (1982) menjelaskan beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menyusun sebuah alat ukur atau kuesioner sehingga alat tersebut layak untuk digunakan. Langkah-langkah tersebut terdiri atas : (1) variabel yang akan diukur harus didefinisikan dengan jelas; (2) harus ditentukan sasaran yang akan menggunakan alat ukur tersebut; (3) menentukan format-format item, jenis respon yang diharapkan dan prosedur pemberian skor; (4) membuat rencana uji
coba sehingga diperoleh data yang dapat dianalisis untuk menyeleksi item-item yang akan digunakan; (5) membuat rancangan petunjuk pelaksanaan pengisian alat ukur. Suryabrata (2004) menerangkan bahwa langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam menyusun dan mengembangkan sebuah alat ukur adalah : (1) adanya kejelasan konsep atau teori yang dijadikan landasan kerja pengukuran; (2) identifikasi secara jelas atribut-atribut yang akan diukur; (3) definisi operasional atribut-atribut yang telah ditentukan; (4) pemilihan bentuk tes dan penskoran sesuai dengan sasaran. Djaali dan Muljono (2004) mengemukakan langkahlangkah yang harus dilakukan dalam mengembangkan alat ukur atau kuesioner : (1) merumuskan konstruk atau konsep berdasarkan teori-teori yang ada; (2) mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel yag hendak diukur; (3) membuat kisi-kisi dari alat ukur dalam bentuk tabel spesifikasi yang memuat dimensi, indikator, nomor dan jumlah item; (4) membuat item-item instrumen dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan; (5) melakukan proses validasi teoritik; (6) merevisi sesuai hasil pakar; (7) melakukan uji coba yang merupakan validasi empirik; (8) pengujian validitas empiris dengan menggunakan kriteria internal atau eksternal; (9) menarik kesimpulan mengenai valid atau tidaknya sebuah item; (10) berdasarkan hasil analisis item, item-item yang tidak valid dikeluarkan atau diperbaiki; (11) menghitung koefisien reliabilitas dan (12) evaluasi akhir itemitem yang valid untuk dijadikan alat ukur atau kuesioner. Kuesioner baku (standar) adalah kuesioner yang dibuat melalui proses tertentu sehingga memiliki tingkat kesahihan (validitas) dan keterandalan (reliabilitas) yang baik. Kuesioner yang baku akan melibatkan
pakar untuk
memberikan penilaian terhadap kuesioner yang dibuat, selalu diujicobakan pada sejumlah orang, dianalisis dan diperbaiki serta terdapat petunjuk pengisian dan penskorannya (Ebel et al. 1991). Menurut Brown dan Frederick (1983), proses pembakuan kuesioner atau standarisasi kuesioner mengacu pada upaya untuk mencapai tingkat keakuratan kuesioner yang menyangkut tiga aspek yaitu isi kuesioner, pengadministrasian kuesioner dan penskoran. Dari segi isi, kuesioner mudah dimengerti dan menginterpretasikan sehingga dapat dikerjakan oleh sasaran dengan baik.
Pengadministrasian meliputi pedoman pengisian dan waktu pengisian. Penskoran merupakan petunjukan pemberian skor dan pedoman penilaian pada kuesioner. Blood dan Budd (1972) menyatakan bahwa prosedur pembakuan kuesioner terdiri atas beberapa langkah, yaitu menentukan tujuan pengukuran, membuat tabel spesifikasi, menulis item-item yang tepat, melakukan uji coba item dan membuat pedoman yang spesifik tentang alat ukur tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, proses pembakuan kuesioner atau standarisasi kuesioner dilakukan dalam beberapa langkah, yaitu (1) konsep dibuat berdasarkan kajian teori, dikalibrasi, analisis dan direvisi; (2) diujicobakan kepada sejumlah orang sebagai sampel dari populasi; (3) memiliki validitas dan reliabilitas yang baik, dan (4) memiliki petunjuk mengenai pelaksanaan pengisi dan penskoran kuesioner. Tabel 1 Penelitian pengembangan alat ukur pengetahuan, sikap dan perilaku gizi menggunakan ukuran psikometrik Peneliti (tahun) Anderson et al. (1988)
Populasi
Materi
Ukuran Psikometrik
Pengetahuan gizi umum Pengetahuan kafein
Validitas isi
Bergman et al. (1992)
Pasien medis Wanita
McDougnall (1998)
Remaja
Resnicow et al. (1997)
Dewasa
Validitas isi Test-retest Validitas konstrak
Sapp dan Jensen (1997)
Dewasa
Shepherd dan Towler (1992) Stafleu et al. (1996)
Dewasa Dewasa
Pengetahuan gizi umum Sikap terhadap lemak,serat,kolesterol Pengetahuan diet dan kesehatan Pengetahuan gizi umum Pengetahuan gizi umum
Steenhuis et al. (1996)
Dewasa
Parmenter dan Wardle (1999)
Dewasa
Anderson et al. (2001)
Remaja
Pengetahuan aplikasi gizi
Johnson et al. (2002)
Remaja
Perilaku memilih makanan sehat
Whati et al. (2005)
Remaja
Pengetahuan gizi umum
Pengetahuan tentang lemak Pengetahuan gizi
Reliabilitas (KR=0,6)
Validitas konstrak Validitas konstrak Validitas isi Validitas konstrak Test-retest Test-retest r = 0,85 Validitas konstrak Konsisten internal Test-retest r = 0,7 Validitas isi Konsisten internal Test-retest Validitas konvergen Konsisten Internal 0,8 Test-retest Validitas isi Validitas konstrak Konsisten internal>0,7
Pengembangan alat ukur atau kuesioner pengetahuan, sikap dan praktek gizi telah banyak dilakukan dengan menggunakan kriteria validitas dan reliabilitas sebagai ukuran psikometriknya. Beberapa hasil penelitian pengembangan alat ukur pengetahuan, sikap dan perilaku pada orang dewasa dan remaja. Ukuran psikometrik yang dipakai adalah validitas isi, validitas konstrak, validitas konvergen, reliabilitas internal dan test retest (Tabel 1). Kesahihan (Validitas) dan Keterandalan (Reliabilitas) Validitas (Kesahihan) Menurut Murti (2003), validitas adalah sejauhmana suatu alat ukur dapat mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai dengan maksud peneliti. Artinya suatu ukuran dikatakan sahih atau valid jika mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kesahihan tidak sekedar mengukur apa yang seharusnya diukur, tetapi mengandung makna sejauhmana informasi yang diperoleh dari pengukuran dapat diinterpretasikan sebagai karakteristik yang diukur. Dalam tes psikometrik, validitas dan reliabilitas suatu alat ukur sangat menentukan kualitas dari hasil pengukuran. Alat ukur yang digunakan dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya diukur serta konsisten dalam mengukur gejala yang sama, dengan subjek yang sama, cara yang sama dan dalam kondisi yang sama (Murti, 2003). Selain itu, jumlah item dalam kuesioner harus mampu menggambarkan tingkat pengetahuan gizi yang sesungguhnya (Khomsan, 2000). (1)Validitas konstrak (Construct validity) Validitas konstrak adalah sejauhmana metode pengukuran berkorelasi dengan teori yang berlaku (Murti 2003). Konstrak adalah kerangka dari suatu konsep, sedangkan konsep merupakan abstraksi atau generalisasi dari hal-hal yang bersifat khusus atau pengamatan-pengamatan lepas (Singarimbun & Effendi 1989; Azwar 2006). Konstrak diberi definisi sehingga dapat diamati dan diukur. Metode pengukuran memiliki validitas konstrak jika mempunyai korelasi kuat dengan teori yang berlaku. Menurut Singarimbun & Effendi (1989), kerangka konsep dapat dirumuskan dengan cara sebagai berikut : (1) mencari definisi-definisi konsep
yang dikemukakan oleh para ahli yang tertulis dalam literatur. Biasanya konsep dalam bentuk kerangka konsep dan definisi operasional secara jelas dapat langsung dijadikan dasar penyusunan alat ukur dan mengembangkan pertanyaan dalam kuesioner (2) apabila peneliti tidak menemukan definisi dan konsep yang diukur maka peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Untuk penyusunan definisi dan mewujudkan definisi kedalam bentuk yang operasional, peneliti mendiskusikan konsep tersebut dengan para ahli dibidang konsep yang diukur. Persamaan pendapat dari beberapa ahli dirumuskan dalam bentuk kerangka konsep dan dikembangkan dalam bentuk item-item pertanyaan yang akan dimasukkan ke dalam alat pengukur (3) menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden. Pendekatan ini dianggap baik karena kerangka suatu konsep dikembangkan berdasarkan pendapat calon responden sendiri. Hal ini dapat menghindari bias terutama bila definisi operasional suatu konsep dibuat oleh ahli dari latar belakang budaya yang berbeda. (2)Validitas isi (Content validity) Validitas isi suatu alat ukur ditentukan oleh sejauhmana isi alat ukur tersebut mewakili semua aspek kerangka konsep (Murti 2003). Validitas ini merupakan penetapan pertanyaan yang representatif mengenai apa yang seharusnya diukur atau seberapa baik suatu ukuran mewakili konsep dari hal yang diukur (Singarimbun dan Effendi 1989). Validitas ini mengandung dua aspek: (1) berisikan unsur-unsur yang termasuk dalam domain, dan (2) tidak mengandung unsur-unsur diluar domain. Suatu ukuran disebut sahih apabila isi dari suatu ukuran dianggap mewakili isi dari yang diukur. (3)Validitas muka (Face validity) Validitas muka adalah kesahihan yang mempersoalkan kemampuan model pertanyaan dalam suatu alat ukur (kuesioner) untuk merefleksikan variabel yang hendak diukur dan untuk dapat ditafsirkan oleh responden dengan benar (Murti 2003). Alat ukur dikatakan memiliki validitas muka yang baik apabila
dapat dipahami oleh populasi sasaran (responden), tidak mendua (ambiguous) dan mengukur hanya sebuah konsep. (4) Validitas empiris atau validitas kriteria Validitas empiris adalah validitas yang ditentukan berdasarkan kriteria, baik kriteria internal maupun kriteria eksternal (Djaali & Muljono 2004). Kriteria internal adalah tes atau kuesioner itu sendiri yang menjadi kriteria, sedangkan kriteria eksternal adalah hasil ukur kuesioner atau tes lain di luar kuesioner itu yang menjadi kriteria seperti ukuran lain yang sudah dianggap baku atau dapat dipercaya. Validitas yang ditentukan berdasarkan kriteria internal disebut validitas internal, sedangkan validitas yang ditentukan berdasarkan kriteria eksternal disebutkan validitas eksternal. Validitas eksternal terdiri dari dua macam yaitu validitas kongkuren dan validitas prediktif. Validitas Internal adalah hasil ukur kuesioner atau tes sebagai suatu kesatuan yang tercermin pada total skor. Hasil ini diperlihatkan oleh seberapa jauh hasil ukur item tersebut konsisten dengan hasil ukur kuesioner sebagai suatu kesatuan. Validitas item tercermin pada besaran koefisien korelasi antara skor item dengan skor total kuesioner. Jika koefisien korelasi antara skor item dengan skor total kuesioner positif dan signifikan, maka item tersebut dapat dianggap valid berdasarkan ukuran validitas internal. Koefisien korelasi yang tinggi antara skor item dengan skor total mencerminkan tingginya konsistensi antara hasil ukur keseluruhan kuesioner dengan hasil ukur item. Artinya item-item dalam kuesioner tersebut konvergen dengan item-item lain dalam mengukur suatu konsep atau konstruk yang hendak diukur. Reliabilitas (Keterandalan) Keterandalan suatu alat ukur merupakan indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan dan hasilnya dapat diramalkan aspek ketepatannya (Isaac & Michael 1990), dan aspek homogenitas (Kerlinger 1981; Singarimbun & Effendi 1989). Keterandalan menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur didalam mengukur gejala yang sama, dengan subjek yang sama, cara yang sama dan dalam kondisi yang sama.
Tinggi rendahnya keterandalan suatu alat ukur ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Makin tinggi koefisien reliabilitas suatu alat ukur, maka kemungkinan terjadi kesalahan semakin kecil. Menurut Kline (2000), koefisien pada taraf 0,7 atau lebih dapat diterima sebagai reliabilitas yang baik. Pengukuran reliabilitas ditentukan oleh konsistensi pengukuran ketika diterapkan diberbagai situasi dan pada dua kesempatan berbeda. Oleh karena itu penilaian reliabilitas harus meliputi dua aspek yaitu: (1) Reliabilitas konsistensi gabungan item (Internal Consistency Reliability) Reliabilitas konsistensi gabungan item (Internal Consistency Reliability) merupakan homogenitas item-item dalam mencerminkan satu dimensi yang sama dari suatu alat ukur (Murti 2003). Jika suatu alat ukur mengajukan sejumlah item (pertanyaan) untuk mengukur satu dimensi yang sama maka masing-masing item perlu konsisten dalam mengukur dimensi tersebut. Tes konsisten internal menilai sejauhmana item-item saling berkorelasi satu dengan yang lainnya, dan sejauhmana berkorelasi dengan skor total pengukuran. Konsisten internal mencerminkan konsisten item-item dalam alat ukur sehingga pengukur hanya dilakukan satu pengukuran tunggal. Penilaian konsisten internal terdiri dari: (a) Korelasi item total Korelasi item total merupakan tes homogenitas alat ukur dengan cara mengkorelasikan
item-item
secara
individual
dengan
alat
ukur
keseluruhan. Suatu item dapat digunakan jika korelasi item total diatas 0,30 (Kline 2000). Item-item yang berkorelasi lebih rendah sebaiknya dibuang. Untuk mengukur korelasi item total menggunakan koefisien korelasi Product Moment Pearson dan korelasi Biserial (untuk item dikotomi). (b) Reliabilitas Belah Paroh Reliabilitas belah paroh merupakan homogenitas alat ukur dengan cara membagi item-item ke dalam dua paroh kelompok, misalnya separoh berasal dari nomor ganjil dan separoh dari nomor genap. Jika kedua kelompok berkorelasi tinggi, maka alat ukur tersebut memiliki
konsisten internal. Salah satu metode pengukuran reliabilitas belah paroh menggunakan Alpha Cronbach. (2) Stabilitas Stabilitas dari alat ukur menunjukkan seberapa kuat korelasi dari pengukuran satu dengan pengukuran lainnya pada individu-individu yang sama tetapi pengamat berbeda, waktu berbeda tetapi pengamat sama atau dengan berbagai alat ukur. Salah satu cara menentukan stabilitas adalah dengan test retest reliability. Reliabilitas test-retest merupakan pengukuran pada dua kesempatan berbeda yang dipisahkan oleh jarak waktu yang cukup pendek sehingga tidak terdapat perubahan proses kestabilan (Murti 2003). Jarak waktu antara pengukuran pertama dan pengukuran kedua sebaiknya tidak terlalui dekat dan tidak terlalu jauh. Jarak yang dianggap ideal untuk penelitian sosial adalah 15-30 hari (Singarimbun & Effendi 1989). Test-retest reliability mencerminkan stabilitas antar waktu atau antar pengamat dan penilaian dilakukan pada beberapa pengamatan. Penskoran Untuk membuat suatu penilaian terhadap pengetahuan, sikap dan praktek gizi pada remaja diperlukan suatu sistem skor. Penskoran adalah suatu proses pengubahan jawaban menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item-item dalam sebuah kuesioner (Purwanto 1992; Djaali & Muljono 2004). Penentuan skor harus tepat agar hasil penskoran dapat mengungkap dengan tepat ciri-ciri atau keadaan yang sesungguhnya dari obyek ukur. Sistem skor adalah suatu cara kuantifikasi untuk mengukur sesuatu berdasarkan kaedah tertentu (Guthrie 1998). Misalnya sistem skor mutu gizi makanan adalah suatu cara kuantifikasi untuk mengukur mutu gizi makanan berdasarkan skor Guthrie. Guthrie (1998) mengemukakan sistem skor yang sederhana berguna untuk evaluasi cepat pengetahuan, sikap dan praktek gizi serta sebagai dasar pendidikan dan penyuluhan untuk peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek gizi. Berdasarkan bentuk soal dari suatu kuesioner, penskoran dibedakan atas (Djaali & Muljono 2004):
(1) Pemberian skor untuk soal objektif Soal obyektif mempunyai pilihan jawaban berganda. Setiap item hanya dapat dijawab benar atau salah oleh responden. Oleh karena itu setiap item mempunyai skor 1 atau 0. (2) Pemberian skor untuk skala sikap Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan dinilai oleh responden. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat dalam bentuk pernyataan positif maupun pernyataan negatif. Skala Likert menggunakan lima pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat (netral), tidak setuju dan sangat tidak setuju. Namun skor yang diberikan terhadap pilihan tersebut tergantung peneliti asal penggunaannya konsisten (Djaali dan Muljono 2004). (3) Pemberian skor untuk soal praktek Penskoran untuk mengukur praktek atau perilaku seseorang digunakan skala penilaian. Skala penilaian adalah alat untuk mengukur praktek atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui pernyataan praktek atau perilaku individu pada suatu kategori yang bermakna nilai (Djaali & Muljono 2004). Penjumlahan skor akan menghasilkan skor gabungan atau skor total yang terdiri dari skor maksimal dan skor minimal (Singarimbun & Effendi 1990). Salah satu prinsip utama dalam sistem skor adalah mempunyai nilai minimal dan maksimal. Agar skor tersebut memiliki makna, dilakukan pengkategorian terhadap skor. Penilaian atau pengkategorian merupakan proses memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu (Purwanto 1922; Djaali & Muljono 2004). Dengan kata lain penilaian adalah interpretasi dari skor berdasarkan suatu acuan atau patokan. Penilaian berdasarkan acuan atau patokan dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria tertentu, misalnya 75%. Artinya, skor yang dinyatakan baik adalah skor diatas 75% dari skor maksimum dan dibawahnya dinyatakan kurang.
Indikator Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi Remaja Gizi untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Gizi dan zat gizi adalah zat makanan yang diperlukan dalam tubuh manusia dalam jumlah tertentu untuk hidup sehat. Bila zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dapat dipenuhi, maka seseorang akan mempunyai peluang hidup sehat yang tinggi, dan sebaliknya. Setiap orang memerlukan enam kelompok zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air) dalam jumlah yang cukup untuk dapat hidup sehat (Depkes, 2006). Selain itu, manusia memerlukan serat untuk memperlancar berbagai proses dalam tubuh. Terdapat lebih dari 45 jenis zat gizi dalam makanan dan tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan ke 45 zat gizi tersebut. Untuk memenuhi semua zat gizi tersebut, seseorang perlu makan beranekaragam makanan dalam jumlah yang cukup. Selain pertumbuhan, remaja juga mengalami perkembangan. Cepatnya perkembangan pada masa remaja yang berkaitan dengan kematangan fisik dan seksual memberikan perubahan dalam perkembangan sosial remaja. Mays (1996) menyatakan ada dua macam gerak dalam perkembangan sosial remaja, yaitu gerak memisahkan diri dari orang tua dan gerak mendekati teman-teman sebaya. Remaja berusaha diterima oleh teman-teman sebaya (peer group) sehingga perilaku, sikap dan minat teman-teman sebaya terutama terhadap pemilihan makanan memberikan pengaruh yang lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock 1997). Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja menyebabkan mereka memberikan perhatian besar terhadap penampilan dirinya. Keinginan untuk tampil dengan postur tubuh yang menarik menyebabkan remaja membatasi makan. Perubahan kebiasaan makan yang tidak tepat memungkinkan remaja mengalam gangguan makan dan masalah gizi. Bentuk perubahan perkembangan sosial remaja lain adalah terjadinya hubungan heteroseksual. Remaja cenderung lebih menyukai teman dari lawan jenis. Perasaan suka terhadap lawan jenis, tekanan-tekanan terhadap keinginan
seks dan keingintahuan remaja tentang seks meningkatkan resiko remaja melakukan hubungan seksual diluar nikah (Hurlock 1997). Angka Kecukupan Gizi Untuk mengetahui banyaknya zat gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh
diperlukan angka kecukupan gizi. Menurut Muhilal dkk (1998), Angka Kecukupan Gizi diartikan sebagai rata-rata jumlah zat gizi yang diperlukan setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi. Kecukupan gizi bagi remaja putra dan putri umur 16-18 tahun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Angka kecukupan gizi remaja usia 16-18 tahun No
Zat Gizi
1 Enegi (kkal) 2 Lemak (gr) 3 Protein (gr) 4 Vitamin A (μg RE) 5 Vitamin D (μg/hari) 6 Vitamin E (mg/hari) 7 Vitamin K (μg/hari) 8 Tiamin (mg/hari) 9 Riboflavin (mg/hari) 10 Niasin (mg/hari) 11 Asam Folat (μg/hari) 12 Piridoksin (mg/hari) 13 Vitamin 12 (μg/hari) 14 Vitamin C ( mg/hari) 15 Kalsium (mg/hari) 16 Fosfor (mg/hari) 17 Magnesium (mg/hari) 18 Fluor (mg/hari) 19 Besi (mg/hari) 20 Iodium (μg/hari) 21 Seng (mg/hari) 22 Mangan (mg/hari) 23 Selenium (mg/hari) Sumber : WNPG VIII 2004
Angka Kecukupan Putri Putra 2200 2600 55 65 55 65 500 600 5 5 15 15 55 65 1,1 1,3 1,0 1,3 14 16 400 400 1,2 1,3 2,4 2,4 75 90 1000 1000 1000 1000 240 270 2,5 2,7 26 13 150 150 14,0 17,0 1,6 2,3 30 30
Pada masa remaja, kebutuhan energi dan protein meningkat untuk memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan cepat. Meningkatnya masa otot dan lemak dimana remaja putri lebih banyak mendapatkan lemak dan remaja putra lebih berotot. Terpenuhinya kebutuhan energi dan protein ditandai dengan berat badan dan tinggi badan yang normal. Oleh karena itu monitoring berat badan dan tinggi badan pada remaja sangat esensial untuk menetukan kecukupan energi setiap individu. Jika asupan energi tidak terpenuhi, protein digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi namun tidak ada persediaan untuk sintesis jaringan baru atau untuk perbaikan jaringan yang rusak. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan tingkat pertumbuhan dan masa otot meskipun konsumsi protein cukup. Selama puncak pertumbuhan cepat pada remaja menyebabkan peningkatan masa tubuh, volume darah dan jumlah sel darah merah. Dengan demikian kebutuhan zat besi meningkat yang digunakan untuk myoglobin pada otot dan haemoglobin pada darah (Spear 1996). Pada remaja putra, kebutuhan besi selama growth spurt kira-kira 10-15 mg/hari (WNPG VIII 2004). Setelah growth spurt dan maturasi seksual terjadi penurunan kebutuhan untuk zat besi (Spear 1996). Pada remaja putri, selain zat besi dibutuhkan untuk pertumbuhan cepat, zat besi juga dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan zat besi pada saat menstruasi. Rata-rata kebutuhan maksimum zat besi pada remaja putri 26 mg/hari (WNPG VIII 2004) Kebutuhan kalsium sangat besar pada remaja karena terjadinya peningkatan masa tulang yaitu kurang lebih 37%. Tingginya kehilangan tulang selama monopouse dihubungkan dengan rendahnya intik kalsium pada usia dini dan remaja (Delisle 1999). Konsumsi kalsium sangat dibutuhkan selama remaja karena
mempengaruhi
kesehatan
tulang
sepanjang
hidupnya.
Karena
perkembangan otot, kerangka dan endokrin yang cepat, kebutuhan kalsium sangat besar selama masa remaja dibanding kelompok usia lain kecuali ibu hamil dan 45% masa tulang bertambah selama remaja. (Spear 1996). Pada akhir masa remaja, 90-95% dari total masa tulang pada tubuh telah terpenuhi. Kandungan mineral dalam tulang harus maksimal selama remaja untuk mencegah osteoporosis. Makanan yang kaya kalsium juga mengandung zat gizi lain seperti pospor, magnesium dan vitamin D yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang.
Iodium sangat penting bagi remaja untuk kecepatan pertumbuhan yang tinggi dan meningkatkan kebutuhan iodium selama hamil. Kekurangan iodium pada masa remaja ditandai IQ yang rendah dan tingginya
angka
absensi
sekolah. Beberapa studi menunjukkan bahwa IQ dapat dipakai dalam penentuan kekurangan iodium. Konsentrasi T3
yang rendah dalam otak menunjukkan
kekurangan iodium, bersama-sama dengan berkurangnya tingkat serum T4 (Soekirman 2000). Seng dikenal sebagai zat gizi yang esensial untuk pertumbuhan dan kematangan seksual selama masa puber. Seng berfungsi meningkatkan pembentukan tulang. Konsumsi yang terbatas pada makanan yang mengandung seng mempunyai dampak terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan seksual (Spear 1996). Kebutuhan vitamin juga meningkat selama remaja. Karena tingginya kebutuhan energi, thiamin, riboflavin dan niacin penting untuk pelepasan energi dari
karbohidrat.
Meningkatnya
pertumbuhan
dan
kematangan
seksual
menyebabkan meningkatnya kebutuhan asam folat dan vitamin B 12 (Spear 1996). Asam folat berperan dalam mencegah cacat pada bayi yang nanti akan dilahirkan oleh remaja. Asam folat dapat diperoleh dari makanan yang beranekaragam atau dari suplemen. Vitamin A, C da E dibutuhkan dalam jumlah yang lebih banyak untuk pembentukan sel yang baru. Status Gizi Remaja Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang akibat dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik (Riyadi 2001). Remaja putri yang telah mengalami haid lebih rentan terhadap anemia dibanding yang belum mendapat haid. Asupan makanan yang tidak cukup pada remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kekurangan zat gizi mikro pada remaja dapat berdampak negatif pada proses pertumbuhan dan kematangan organ-organ reproduksi. Kegagalan
mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal akan berdampak pada status gizi dan kesehatan saat ini dan juga berdampak pada status gizi generasi penerus. Perubahan fisik karena pertumbuhan yang cepat akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan remaja. Remaja yang mengalami gizi kurang, tumbuh lebih lambat dan umur menarche (umur pertama kali haid) juga tertunda (Spear 1996). Massa tubuh yang rendah pada remaja putri berhubungan dengan menurunnya massa tulang pada masa dewasa awal dan dapat menyebabkan risiko osteoporosis yang lebih besar pada pasca menopause (Riyadi 2001) Masalah pertumbuhan erat kaitannya dengan masalah konsumsi energi dan protein. Antropometri sebagai refleksi keadaan pertumbuhan dapat memberikan gambaran tentang status energi dan protein seseorang pada kelompok usia tertentu (Soehardjo 1989). Salah satu yang digunakan dalam pengukuran antropometri pada remaja adalah indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Indeks massa Tubuh (IMT) merupakan indikator yang teliti untuk mengetahui simpanan kelebihan energi dalam bentuk lemak tubuh (body fat) dalam suatu populasi (Berkey 2000). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut diketahui besaran masalah gizi kurang (underweight) dan gizi lebih atau obesitas (overweight) yang terjadi pada remaja. Penentuan batasan berat badan normal pada orang dewasa berdasarkan nilai indeks massa tubh dihitung menurut rumus berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter. Data perhitungan IMT yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan data referensi IMT/U menurut WHO (1995). Seorang remaja dianggap kurus atau gizi kurang apabila IMT/U dibawah persentil ke-5, normal apabila IMT/U berada pada persentil ke-5 dan ke-85, dianggap gemuk apabila IMT/U berada diatas persentil ke-85 (Riyadi 2001). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi status gizi remaja berdasarkan IMT menurut umur No. Nilai IMT 1. IMT < P ke-5 2. IMT ( P ke-5 - P ke-85) 3. IMT > P ke-85 Sumber : WHO (1995)
Status Gizi Kurus Normal Gemuk
Hubungan Gizi dan Penyakit Masalah gizi adalah gangguan kesejahteraan perorangan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan zat-zat gizi yang diperoleh dari makanan (Soekirman 2000). Masalah gizi makro dapat berbentuk gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi kurang atau masalah gizi lebih yang dialami dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit. Pada remaja, masalah gizi kurang biasanya timbul karena keinginan remaja untuk tampil menarik dengan melakukan pembatasan makan. Remaja yang tidak cukup makan (seperti anorexia nervosa) akan kehilangan berat badan, pertumbuhan terganggu, menurunnya daya tahan tubuh, kerusakan mucosa usus dan meningkatnya resiko penyakit infeksi (Gambar 1). Sebaliknya, penyakit menyebabkan selera makan menurun, kekurangan zat-zat gizi, gangguan penyerapan yang dapat menyebakan kehilangan berat badan. Makanan yang tidak cukup -Hilangnya selera makan -Kehilangan zat-zat gizi -Gangguan penyerapan -Perubahan metabolisme
-Kehilangan Berat Badan -Gagal tumbuh -Rendahnya daya tahan tubuh -Kerusakan mucosa usus
Penyakit - kejadian - beratnya sakit - lamanya Gambar 1 Interaksi antara makan yang tidak cukup dengan penyakit (Tomkins & Watson 1989) Masalah Gizi pada Remaja Masalah Gizi Kurang Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran makanan yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada masa remaja, kebutuhan zat gizi yang tinggi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan
tubuh yang cepat. Jika kebutuhan zat gizi tersebut tidak terpenuhi maka akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tubuh, bahkan dapat menyebabkan tubuh kekurangan gizi dan mudah terkena penyakit dan sebaliknya (Supariasa et al. 2001). Masalah gizi kurang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari. Terjadinya gizi kurang karena konsumsi energi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan yang mengakibatkan sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan. Survei Nasional yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1996/1997 di Ibukota seluruh propinsi Indonesia (Depkes 2003a) menunjukkan bahwa 5,9% penduduk laki-laki (umur diatas 18 tahun) mengalami gizi kurang dan pada perempuan 5,7%. Lebih dari 36,1% anak sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya keadaan kurang gizi kronik pada waktu kecilnya (Hadi 2005). Dalam profil Kesehatan Indonesia tahun 2001 dapat dilihat bahwa prevalensi anak yang bertubuh pendek hanya mengalami sedikit perubahan yaitu 39,8% tahun 1994 menjadi 36,1 pada tahun 1999. Anemia diakui sebagai masalah gizi terbesar selama remaja dan makanan merupakan faktor penyebab utama. Berdasarkan Survey Konsumsi Rumah Tangga 2001, prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri 26,5%. Penelitian Saraswati dan Sumarno (1997) pada enam Dati II propinsi Jawa Barat menemukan prevalensi anemia pada anak SMU sebesar 42,6%. Masalah Gizi Lebih Kelebihan berat badan terjadi apabila makanan yang dikonsumsi mengandung energi melebihi kebutuhan tubuh. Kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk lemak sehingga menyebabkan seseorang menjadi lebih gemuk. Obesitas adalah kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adiposa sehingga mengganggu kesehatan (Baranowski et al. 2003). Gizi lebih dapat menyebabkan munculnya penyakitpenyakit non infeksi yang sekarang banyak terjadi di negara-negara maju maupun negara sedang berkembang.
Wang et al. (2002) melakukan penelitian prevalensi gizi pada empat negara yaitu Amerika, Brazil, Cina dan Rusia. Hasil studi menemukan prevalensi gizi meningkat di Brazil (dari 4,1% menjadi 13,9%), Cina (dari 6,4% menjadi 7,7%) dan Amerika dari (15,4% menjadi 25,6%). Di Rusia mengalami penurunan prevalensi gizi lebih tetapi terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang dari 6,9% menjadi 8,1%. Menurut Badan Kesehatan Nasional (WHO) kira-kira 1,2 milyar penduduk dunia mempunyai berat badan yang berlebihan atau obesitas. Jumlah ini tentu saja sangat mengkhawatirkan mengingat pertambahannya sangat cepat. Pada tahun 1995 atau delapan tahun yang lalu, penderita obesitas hanya sebanyak 200 juta orang. Hal ini berarti bahwa hanya dalam waktu delapan tahun jumlah penderita obesitas meningkat hingga 600%. Seperti halnya orang dewasa, gizi lebih dan obesitas pada anak-anak dan remaja mengalami peningkatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi obesitas pada anak-anak dan remaja di Malaysia menurut kelompok umur meningkat dari 6,6% pada umur 7 tahun menjadi 13,8% pada kelompok umur 10 tahun (Ismail et al. 1998). Di Cina, 10% anak sekolah mengalami obesitas sedangkan di Jepang prevalensi obesitas pada umur 6-14 tahun berkisar antara 5%-11% (Ito dan Murata, 1999). Hasil studi Wang et al. (2002) menemukan prevalensi gizi lebih meningkat di Brazil (dari 4,1% menjadi 13,9%), Cina (dari 6,4% menjadi 7,7%) dan Amerika dari (15,4% menjadi 25,6%). Survei Nasional yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1996/1997 di Ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki (umur diatas 18 tahun) mengalami gizi lebih dan 6,8% mengalami obesitas. Pada perempuan 10,5% mengalami gizi lebih dan 13,5% mengalami obesitas (Depkes 2003). Prevalensi obesitas pada remaja cukup tinggi di Yogyakarta. Survei obesitas pada remaja siswa/siswi SMP di Yogyakarta menunjukkan bahwa 7,8% dari 4.747 remaja di perkotaan dan 2% dari 4.602 remaja perdesaan mengalami obesitas (Hadi 2005). Dari studi ini ditemukan bahwa asupan energi remaja yang obesitas lebih tinggi (607,9 kkal/hari) dibanding remaja yang tidak obesitas. Dilihat dari kebiasaan makannya, ternyata remaja yang obesitas 2-3 kali lebih sering
mengkonsumsi makanan fast food daripada remaja yang normal. Dalam kesehariannya, remaja yang mengalami obesitas mempunyai waktu untuk nonton televisi lebih lama dibanding remaja yang tidak obesitas (3,14±1,56 jam perhari dibanding 2,62±1,67 jam perhari). Kesehatan Reproduksi pada Remaja Reproduksi merupakan peristiwa atau proses yang berkaitan dengan fungsi kembang biak atau meneruskan keturunan (Media 1995). Proses reproduksi manusia bermula dari pertemuan sperma dengan sel telur melalui hubungan seksual kemudian berlanjut dengan kehamilan dan persalinan (Chalik 1998). Menurut Affandi (1996), kesehatan reproduksi mencakup tiga komponen yaitu kemampuan (ability), keberhasilan (succes) dan keamanan (safety). Kemampuan berarti wanita tersebut dapat bereproduksi. Keberhasilan berarti wanita tersebut dapat melahirkan anak yang sehat, tumbuh dan berkembang dengan baik. Keamanan berarti semua proses reproduksi diantaranya hubungan seksual, kehamilan, persalinan, penggunaan kontrasepsi dan aborsi menjadi suatu aktivitas yang aman dilakukan. Kesiapan reproduksi merupakan kesiapan fisik dan mental remaja sebagai calon ibu dalam menghadapi proses reproduksi. Kesiapan fisik remaja diukur dari status gizi remaja. Sedangkan kesiapan mental remaja terhadap reproduksi diukur dari pengetahuan reproduksi dan persepsi remaja mengenai kesehatan reproduksi. Status gizi pada waktu remaja mempengaruhi ukuran tubuh terutama ukuran rongga pinggul seorang wanita. Ukuran tubuh, usia serta status gizi dan kesehatan merupakan faktor penting yang mempengaruhi status bayi yang akan dilahirkannya (Senderowitz 1995). Oleh karena itu kesempurnaan dan kematangan fisik terutama pada remaja putri merupakan salah satu penentu kesiapan remaja menghadapi masa reproduksi. Masalah Makan Masalah makan yang dihadapi remaja dapat diketahui dari masalah atau gangguan yang dihadapi pada waktu makan. Masalah makan merupakan gangguan makan yang berasal dari dalam diri atau diluar diri remaja (Rees 2000).
Keinginan untuk tampil cantik, tidak puas dengan bentuk tubuh memicu terjadinya masalah makan. Gangguan ini dapat berupa hilangnya nafsu makan atau nafsu makan yang tidak terkontrol sehingga makan berlebihan (Wardlaw et al. 1992). Pola makan yang tidak normal biasanya terjadi pada remaja dan dewasa muda. Diet pada remaja dilakukan untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal atau normal. Namun banyak remaja tidak menyadari dan tidak memahami bentuk tubuh yang ideal. Ketidak puasan terhadap tubuh menyebabkan remaja melakukan penurunan berat badan. Survei yang dilakukan Johnston dan Haddad (1996) pada remaja putra dan putri ditemukan 45% dari mereka ingin kurus dan 37% telah melakukan penurunan berat badan. Pada remaja putri keinginan untuk kurus telah dimulai sejak kelas 3 SMP (40%) dan 79% pada kelas 3 SMU. Remaja putri yang telah melakukan penurunan berat badan sebesar 28% pada kelas 3 SMP dan 59,9% pada kelas 3 SMU. Hal yang sama terjadi pada remaja putra, keinginan untuk kurus 31-41% dan 31% telah mencoba untuk menurunkan berat badan. Dari survei ini terlihat bahwa semakin bertambah umur remaja, semakin besar keinginan untuk tampil menarik dengan melakukan berbagai cara untuk mengurangi berat badan. Diet ketat selama remaja biasanya disebabkan perilaku makan yang tidak sehat seperti makan berlebihan, memuntahkan makanan, menggunakan obat pencahar dan sebagainya. Diet ketat yang dilakukan tanpa pengawasan dokter atau pengetahuan yang tidak cukup akan membahayakan kesehatan remaja. Diet dengan intik kalori yang rendah atau puasa menyebabkan penurunan berat badan dengan cepat (Rickert & Jay 1996). Penurunan berat badan yang cepat pada remaja berdampak pada pertumbuhan, defisiensi zat gizi, menstruasi tidak teratur, letih, lemah, depresi, kekurangan cairan, sembelit, konsentrasi berkurang dan susah tidur (Johnston & Haddad 1996). Sesak nafas, rambut rontok dan kulit kering adalah efek samping dari diet rendah kalori. Perhatian yang besar terhadap berat badan dan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh atau penampilan menyebabkan banyak remaja melakukan usaha mengubah penampilan mereka dengan membatasi konsumsi makan. Selain itu
tekanan dari budaya dan lingkungan untuk memiliki bentuk tubuh yang ideal atau kurus mendorong remaja membatasi konsumsi atau melakukan diet. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku diet meningkat pada usia remaja. Diet yang berlangsung lama merupakan faktor resiko timbulnya masalah makan seperti anorexia nervosa dan Bulimia nervosa. Anorexia Nervosa Menurut Kreipe dan Higgins (1996), anorexia nervosa adalah suatu kelainan yang ditandai dengan perubahan tentang gambaran tubuh, ketakutan yang luar biasa akan kegemukan, penolakan untuk mempertahankan berat badan normal dan hilangnya siklus menstruasi (pada wanita). Wardlaw et al. (1992) mengemukakan bahwa anorexia nervosa adalah aktivitas untuk menguruskan badan dengan melakukan pembatasan makan secara sengaja dan melakukan kontrol yang ketat karena ketakutan yang luar biasa akan kegemukan dan pertambahan berat badan. Kelainan ini biasanya mulai timbul pada masa remaja dan berlanjut sampai dewasa. Sekitar 95% penderita adalah wanita (Rees 2000). Pada penderita anorexia nervosa menyadari perasaan lapar, namun takut untuk makan karena menganggap dapat berakibat pada penambahan berat badan. Persepsi terhadap rasa kenyang terganggu sehingga pada saat mengkonsumsi makanan akan merasa mual (Kreipe & Higgins 1996). Diperkirakan satu dari seratus remaja putri (1%) antara usia 12-18 tahun mengalami anorexia nervosa. Pada remaja putri Amerika umur 15-19 tahun diperkirakan 1% meengalami anorexia nervosa (Rees 2000). Gambaran tubuh remaja putra berbeda dengan remaja putri. Remaja putri cenderung menginginkan bentuk tubuh yang langsing dan sebaliknya, remaja putra menginginkan gambaran tubuh yang besar dan berotot. Oleh karena itu remaja laki-laki memilih berolahraga untuk mengontrol berat badan sehingga sedikit yang mengalami gangguan makan (Wardlaw et al. 1992). Bulimia Nervosa Menurut Rock (1996), bulimia nervosa merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan diet yang sangat ketat, makan terlalu banyak dan memuntahkan
kembali (baik dirangsang sendiri oleh penderita maupun dengan obat pencahar, diuretik atau peluruh kemih). Kebiasan memuntahkan kembali makanan merupakan usaha yang dilakukan oleh penderita bulimia untuk menjaga agar tidak mengalami
penambahan
berat
badan.
Memuntahkan
makanan
tersebut
berhubungan dengan gangguan emosi dan persepsi yang tertanam dalam pikiran penderita bulimia nervosa. Penderita bulimia nervosa cenderung mengkonsumsi makanan yang disukai secara berlebihan untuk memuaskan keinginannya, kemudian akan memuntahkan kembali sampai tidak ada makanan yang tersisa (Wardlaw et al.1992). Penelitian pada mahasiswa di Amerika, diperkirakan prevalensi mahasiswa yang mengalami bulimia nervosa adalah 2-4%. Bulimia nervosa kadang-kadang disebabkan remaja merasa kelebihan berat badan atau lanjutan dari anorexia nervosa. Remaja yang mengalami anorexia nervosa dan bulimia nervosa mempunyai gangguan dalam body image sehingga sering diikuti dengan masalah makan. Body Image Body image adalah persepsi terhadap penampilan fisik yang dihubungkan dengan aspek gambaran tubuh (Heinberg & Thompson 1996). Body image berhubungan dengan perasaan, gambaran dan perilaku individu yang berhubungan dengan tubuh mereka. Body image dapat diidentifikasi melalui persepsi dari ukuran tubuh (ketepatan dari persepsi tentang satu ukuran tubuh misalnya percaya bahwa badan seseorang lebih besar dari ukuran tubuh yang diinginkan), subjektif (kepuasaan, perhatian dan keinginan dengan ukuran tubuh tertentu) dan aspek perilaku (ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh). Dorongan-dorongan ingin memiliki bentuk tubuh yang dianggap ideal menyebabkan seorang remaja berusaha membatasi makan. Secara alami, gangguan body image pada remaja berhubungan dengan masalah makan, pola makan yang tidak sehat dan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh. Penelitian pada remaja putri di Inggris mengungkapkan bahwa meskipun kurang dari 4% dari sampel gemuk, namun lebih dari 40% menyatakan tubuh mereka tergolong gemuk dan ingin menurunkan berat badannya (Heinberg &
Thompson 1996). Pada kelompok remaja putra, persepsi tentang bentuk tubuh berbeda dengan remaja putri. Perhatian terhadap bentuk tubuh lebih mengarah pada bentuk tubuh yang besar, berotot dan berisi. Remaja putri akan mencoba menurunkan berat badan empat kali lebih banyak daripada remaja putra dan sebaliknya, remaja putra mempunyai keinginan tiga kali lebih besar untuk menaikkan berat badan daripada remaja putri. Heinberg dan Thompson (1996) mengemukakan tiga komponen dasar untuk mencegah timbulnya body image terutama pada remaja putri melalui pendidikan tentang dampak membahayakan pengaturan berat badan yang tidak sehat, membantu mengatur penambahan berat badan yang sehat menggunakan prinsip gizi, diet dan aktivitas fisik serta mengembangkan ketrampilan untuk melawan tekanan sosial dan budaya supaya kurus. Kebiasaan Makan Kebiasaan makan
seringkali merupakan suatu pola yang berulang atau
bagian dari rangkaian panjang kebiasaan hidup secara keseluruhan yang dapat diukur dengan pola konsumsi pangan. Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi, tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Pola konsumsi pangan adalah frekwensi beragam jenis pangan yang biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam ditempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Belajar dan sosialisasi makan yang baik terjadi pertama kali dalam keluarga. Anak-anak belajar tentang apa yang mereka makan, bagaimana cara makan, porsi makan, menu makanan dan waktu untuk makan (Crockett & Laura 1995). Interaksi sosial pada saat makan sangat penting dalam mengajarkan ritual makan, makan bersama, budaya makan dan psikososial pada anak yang akan membentuk suatu kebiasaan yang akan dilakukan sepanjang hidup. Pengalaman makan yang baik sangat penting dilakukan semenjak anak-anak sampai remaja karena akan membantu mereka membentuk pola makan dan gaya hidup yang sehat.
Sanjur (1982) berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan pada remaja yaitu (1) karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan, (2) karakter makanan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk dan kombinasi makanan dan (3) karakter lingkungan seperti musim, sekolah, mobilitas dan tingkat sosial masyarakat. Pengetahuan gizi dan kesehatan yang terbatas pada remaja, menyebabkan mereka melakukan kebiasaan makan yang dapat merugikan kesehatan mereka sendiri. Rickert dan Jay (1996) menyebutkan ada empat kebiasaan makan yang dilakukan remaja yaitu : (1) Mengurangi frekuensi makan (skipping meal) Mengurangi frekuensi makan seperti tidak makan pagi merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan remaja. Penelitian tentang kebiasaan makan pagi ditemukan 50%
remaja putri tidak makan pagi yang dihubungkan
dengan tidak ada selera makan dan ketersediaan menu yang kurang memuaskan (Rickert & Jay 1996) (2) Suka mengkonsumsi makanan ringan (snacking) Makan makanan ringan (cemilan) merupakan perilaku makan yang menyenangkan bagi remaja terutama remaja putri. Hurlock (1997) menyatakan bahwa remaja suka jajan jenis makanan ringan seperti kue-kue, permen dan lain-lain, sedangkan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi sehingga dalam diet mereka rendah serat, zat besi dan vitamin C. Makanan cemilan dapat menurunkan selera makan sehingga remaja yang terlalu banyak mengkonsumsi makanan ringan biasanya akan makan dengan porsi yang lebih sedikit, bahkan sering tidak makan. Beberapa studi mengungkapkan bahwa cemilan yang dikonsumsi remaja pada umumnya rendah serat, kosong kalori, rendah vitamin A, kalsium dan besi (Spear 1996). Kebiasaan remaja mengkonsumsi makanan ringan diikuti dengan gaya hidup sedentary (aktivitas kurang). Mengkonsumsi makanan ringan sambil menonton televisi dapat memicu terjadinya kelebihan berat badan. Penelitian pada remaja Amerika ternyata waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi 22 jam perminggu, sedangkan mengerjakan pekerjaan rumah dan
membaca berturut-turut 22 jam perminggu dan 5 jam perminggu (Meredith 1996). (3) Makanan siap saji (fast food) Fast food atau makanan siap saji merupakan salah satu makanan yang sangat disukai remaja. Selain rasanya yang dapat diterima, pelayanan dan sarana yang memuaskan membuat remaja menyukai fast food. Namun kandungan gizi fast food rendah besi, kalsium, riboflavin dan vitamin A tetap tinggi kalori, lemak jenuh dan garam (Spear 1996). Penelitian Mujianto (1994) pada enam kota besar di Indonesia menunjukkan terjadinya peningkatan konsumsi makanan "fast food" pada remaja dan anak sekolah. Sebagian besar remaja mengkonsumsi junk food satu kali seminggu dengan makanan yang paling sering dikonsumsi fried chicken. (4) Kebiasaan merokok Perilaku merokok pada remaja merupakan wujud sikap memberontak, keingintahuan, tekanan dalam kelompok (peer presurre), dan anggapan merokok sebagai simbol kedewasaan (Bruess, 1989). Dari hasil penelitian kebiasaan merokok pada pelajar SLTA di Bandung menunjukkan 16,2% pelajar merokok sebelum usia 13 tahun. Aditama (1997) menyatakan merokok dapat menurunkan fertilitas atau kesuburan. Diperkirakan kesuburan wanita perokok hanya 72% dari kesuburan wanita yang tidak merokok. Menopause datang 2-3 tahun lebih cepat pada wanita perokok. Gangguan kesehatan lain seperti kanker paru, kanker leher rahim, abortus, menurunkan fertilitas, kelahiran bayi cacat dan BBLR pada ibu hamil merupakan resiko buruk akibat merokok pada wanita. Pedoman Gizi untuk Remaja Di Indonesia pedoman gizi seimbang sudah ada sejak tahun 1950-an. Doktor Poorwo Soedarmo yang menjabat Kepala Lembaga Makanan Rakyat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia merupakan pencetus pedoman gizi seimbang yang dikenal dengan Empat Sehat Lima Sempurna (ESLS). Pada pedoman gizi Empat Sehat Lima Sempurna, makanan dikelompokkan kedalam empat kelompok yaitu : (1) makanan pokok (sumber karbohidrat), (2) lauk pauk
(sumber protein dan lemak), (3) sayur, dan (4) buah-buahan (sumber zat gizi mikro : vitamin dan mineral). Ke empat kelompok ini dalam suatu hidangan disebut kelompok empat sehat, apabila ditambah dengan segelas susudisebut Empat Sehat Lima Sempurna. Setelah 25 tahun, ESLS menjadi media pendidikan gizi yang sangat populer di Indonesia terutama dikalangan murid sekolah dasar. Bahkan sampai sekarang orang lebih mengenal ESLS. Namun dengan semakin kompleksnya permasalahan gizi di Indonesia, ESLS tidak memadai lagi sebagai media komunikasi (Soekirman 2000). Masalah gizi kurang maupun masalah gizi lebih tidak lagi dapat didekati dengan hanya memperhatikan aspek pangan atau makanan. Aspek lainnya seperti air bersih, kebersihan lingkungan, aktivitas olah raga, kebiasaan merokok dan sebagainya juga memerlukan perhatian. Konsep Dasar Gizi Seimbang Manusia sebagai makhluk hidup memerlukan makanan untuk dapat melakukan segala aktivitas. Ilmu gizi adalah ilmu yang mempelajari cara memberikan makanan yang sebaik-baiknya agar tubuh selalu dalam kesehatan yang optimal. Pemberian makanan yang sebaik-baiknya harus memperhatikan kemampuan tubuh seseorang untuk mencerna makanan, umur, jenis kelamin, jenis aktivitas dan kondisi tertentu seperti sakit, hamil dan menyusui. Untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang memerlukan lima kelompok zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin dalam jumlah yang cukup, tidak berlebih dan tidak kekurangan. Selain itu, manusia memerlukan air dan serat untuk memperlancar proses metabolisme dalam tubuh (Depkes 2006). Komposisi zat gizi setiap makanan memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa makanan mengandung karbohidrat tinggi tetapi kurang vitamin dan mineral. Sedangkan makanan lain kaya vitamin C tetapi kurang vitamin A dan sebagainya. Agar mendapatkan makanan dengan zat gizi yang lebih lengkap, maka sebaiknya kita mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beranekaragam. Dengan mengkonsumsi makanan yang beranekaragam, kekurangan zat gizi pada
jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis makanan yang lain sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang. Pedoman Umum Gizi Seimbang untuk Remaja Pada tahun 1995, Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan menerbitkan buku panduan “ 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang” untuk dewasa dan remaja. Pedoman Umum Gizi Seimbang untuk remaja adalah suatu panduan bagi remaja yang berisi informasi tentang “13 Pesan Dasar Gizi Seimbang” khusus untuk remaja. Buku panduan tersebut merupakan pegangan bagi petugas kesehatan dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan kepada remaja (Depkes 1997). Ke 13 pesan Pedoman Umum Gisi Seimbang tersebut adalah: (1) Makanlah Aneka Ragam Makanan Yang dimaksud dengan aneka ragam makanan adalah hidangan yang minimal terdiri dari empat kelompok makanan yaitu makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah-buahan. Dengan mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh zat gizi dari makanan yang lainnya. Makin beragam makanan yang dikonsumsi, makin baik mutu makanannya. Pada remaja terjadi pertumbuhan fisik dan pematangan organ tubuh yang cepat sehingga untuk memenuhinya diperlukan zat-zat gizi yang cukup, baik jumlah maupun macamnya. Oleh karena tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung lengkap semua zat gizi, maka remaja harus makan makanan yang beraneka ragam. (2) Makanlah Makanan untuk Memenuhi Kecukupan Energi Untuk belajar, beroleh raga, rekreasi dan aktivitas lainnya yang biasa dilakukan, remaja memerlukan energi. Energi diperoleh dari makanan. Kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, lemak dan protein. Konsumsi energi yang terlalu banyak akan menyebabkan remaja terlalu gemuk dan sebaliknya, konsumsi energi yang kurang akan menyebabkan remaja menjadi kurus. Cara mengetahui berat badan yang normal bagi remaja dapat digunakan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk anak sekolah bagi yang berumur kurang
dari 17 tahun. Untuk remaja yang berumur 18 tahun dapat diketahui dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang melihat Tinggi Badan dan Berat Badan remaja. (3) Makanlah Makanan Sumber Karbohidrat, setengah dari Kebutuhan Energi Bagi remaja, karbohidrat yang diperoleh dari makanan pokok lebih baik daripada karbohidrat yang berasal dari gula. Oleh karena itu agar kebutuhan zat gizi lain dapat dipenuhi, dianjurkan remaja makan makanan pokok jangan terlalu banyak, cukup 50% sampai 60% dari kebutuhan energi. (4) Batasi Konsumsi Lemak dan Minyak sampai Seperempat dari Kecukupan Energi Disamping sebagai sumber energi, lemak dan minyak berguna untuk membantu penyerapan vitamin tertentu, misalnya A, D, E, dan K. Konsumsi lemak yang berlebih, kurang menguntungkan kesehatan remaja karena dapat mengakibatkan timbunan lemak, terjadinya pengerasan lemak pada saluran pembuluh darah jantung. Kondisi ini sangat mengganggu kesehatan jantung remaja yang berdampak pada masa dewasa. (5) Gunakan Garam Beryodium Garam beryodium adalah garam konsumsi yang telah ditambahkan dengan Kalium Yodat (KIO3) sebanyak 30-80 ppm. Yodium adalah salah satu mineral yang sangat penting perannya bagi tubuh manusia. Pada remaja kekurangan yodium dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti gondok, menurunnya kecerdasan sehingga konsentrasi belajar terganggu dan berpengaruh terhadap prestasi belajar. Untuk menghindari terjadinya bahaya kekurangan yodium, remaja perlu mengkonsumsi garam beryodium dengan cara mengingatkan ibu atau yang memasak makanan untuk remaja, agar menggunakan garam beryodium. (6) Makanlah Makanan Sumber Zat Besi Kekurangan zat besi dalam makanan sehari-hari dapat menimbulkan kekurangan darah atau lebih dikenal dengan anemia gizi besi (AGB). Anemia gizi ditandai dengan letih, lesu, pucat dan mudah mengantuk serta kurang konsentrasi belajar. Remaja putri sangat rawan terhadap anemia gizi karena remaja putri mengalami menstruasi berkala yang mengeluarkan sejumlah zat
besi setiap bulan, oleh sebab itu remaja putri membutuhkan zat besi lebih banyak dari remaja putra. Karena itu dianjurkan remaja putri untuk mengkonsumsi makanan sumber zat besi setiap hari yaitu semua sayuran bewarna hijau, kacang-kacangan, hati, telur dan daging. Dan lebih baik makanan tersebut dikonsumsi bersama dengan buah-buahan setiap hari. (7) Berikan ASI Saja Kepada Bayi sampai Berumur 4 Bulan Remaja merupakan calon orang tua nantinya sehingga remaja perlu mengetahui dan mengerti pentingnya ASI eksklusif. Disamping itu remaja hendaknya dapat menyebarluaskan penggunaan ASI Eksklusif kepada keluarganya maupun lingkungannya. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan. ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. ASI saja cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh dan kembang serta menjadi sehat sampai bayi berumur 6 bulan. ASI tetap diberikan setelah bayi diberi makanan tambahan setelah berumur 6 bulan. Pemberian ASI tetap dilanjukan sampai anak berumur 2 tahun. (8) Biasakan Makan Pagi Makan pagi secara teratur dan setiap hari dalam jumlah yang cukup amat penting untuk menjaga kondisi tubuh agar dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari serta dapat meningkatkan konsentarsi belajar disekolah, sehingga prestasi belajar dapat dipertahankan. (9) Minumlah Air Bersih, Aman dan Cukup Jumlahnya Air minum harus bersih dan bebas kuman. Oleh karena itu iar minum harus dimasak sampai mendidih sebelum diminum. Kaum remaja yang aktivitas fisiknya lebih tinggi dibanding kelompok umur lain dianjurkan untuk mengkonsumsi air lebih dari 8 gelas setiap harinya. (10) Lakukan Kegiatan Fisik dan Olahraga Secara Teratur Kegiatan fisik adalah kegiatan kerja sehari-hari yang dilakukan setiap orang yang merupakan bagian dari kegiatan kehidupan sehari-hari. Seorang remaja disamping belajar, melakukan olahraga secara teratur setiap hari atau minimal 4 kali seminggu masing-masing selama 45 menit.
(11) Hindari Minum Minuman Beralkohol Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung alkohol baik yang berkadar rendah maupun yang berkadar tinggi. Kebiasaan minum minuman beralkohol dapat merusak kesehatan, ketagihan alkohol, mabuk, hilangnya pengendalian diri yang akhirnya dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu remaja dianjurkan menghindari minum minuman beralkohol dan minum sari buah atau jus. (12) Makanlah Makanan yang Aman bagi Kesehatan Makanan yang aman adalah makanan yang diolah dari bahan makanan alami yang masih segar dan melalui proses yag benar sehingga terhindar dari kerusakan pada kandungan gizinya maupun rupa, rasa, warna dan baunya. Kecendrungan remaja untuk jajan atau makan diluar rumah memungkinkan remaja mengkonsumsi makanan yang tidak aman bagi kesehatan. (13) Bacalah Label pada Makanan yang Dikemas Label pangan adalah keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan atau bentuk lain yang dilakukan dalam berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan Berbagai Temuan Indikator Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi pada Remaja Beberapa hasil penelitian pengukuran pengetahuan, sikap dan praktek gizi yang dilakukan pada remaja menemukan bahwa terdapat beberapa perbedaan dan persamaan indikator pengetahuan, sikap dan praktek gizi pada remaja. Hasil-hasil penelitian pengukuran pengetahuan, sikap dan praktek gizi remaja dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil penelitian Wong et al. (1999) pada remaja Taiwan, komponen pengetahuan gizi pada remaja adalah konsep dasar gizi, sumber zat-zat gizi, hubungan zat gizi dengan penyakit dan pedoman makan. Dari hasil penelitian ini ditemukan 87 pertanyaan yang terdiri dari 34 pertanyaan pengetahuan, 25 pernyataan sikap dan 28 pertanyaan tentang gizi yang dihubungkan dengan praktek. Parmenter dan Wardle (1999) mengembangkan kuesioner pengetahuan dan perilaku gizi pada orang dewasa dengan kriteria psikometrik. Indikator pengetahuan gizi adalah anjuran makan, sumber zat gizi, memilih makanan setiap
hari dan hubungan makanan dengan penyakit. Namun pada penelitian ini, kumpulan pertanyaan lebih banyak yaitu 1201 item. Setelah dilakukan analisis validitas dan reliabilitas jumlah pertanyaan berkurang menjadi 35 item. Steven (1999) mengembangkan ukuran pengetahuan dan perilaku gizi untuk memperbaiki pengetahuan, sikap dan perilaku remaja Amerika Indian terhadap aktivitas fisik dan diet mereka. Hasil uji validitas dan reliabilitas ditemukan bahwa komponen pengetahuan gizi adalah aktivitas fisik, pola makan, sikap terhadap berat badan dan identitas budaya. Anderson et al. (2001) melakukan penelitian pada remaja SLTP yang menemukan komponen yang digunakan adalah pengetahuan tentang aplikasi gizi (KN), pengetahuan tentang persiapan dan pengolahan makanan (KP) serta keterampilan memasak makanan (PC). Hasil penelitian menemukan 36 pertanyaan yang terdiri dari KN 18 item, KP 9 item dan PC 9 item. Dari 36 pertanyaan tersebut, komponen KP menggunakan pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup serta multiple choice untuk indikator KN dan PC. Pengembangan kuesioner tentang kebiasaan makan remaja dengan mengukur perilaku makan sehat pada remaja dilakukan oleh Johnson et al. (2002). Penelitian dilakukan pada 1822 remaja usia 13-16 tahun dengan jumlah pertanyaan awal 70 item. Hasil penelitian menemukan 23 item pertanyaan dengan pilihan jawaban benar, salah dan pernyataan tidak pernah melakukan kebiasaan makan tertentu. Whati et al. (2005) mengembangkan kuesioner pengetahuan dan perilaku gizi yang valid dan reliabel untuk remaja perkotaan Afrika Selatan. Kuesioner dikembangkan berdasarkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) Afrika Selatan. Hasil penelitian menemukan konsep pengetahuan gizi menjadi anjuran hidup sehat berdasarkan PGS Afrika Selatan, gaya hidup sehat dengan menjaga kesehatan dan kontrol berat badan, konsumsi makanan yang mengandung zat gizi (karbohidrat, protein, serat, vitamin A, besi, yodium dan kalsium) untuk mencegah kekurangan gizi, memilih makanan yang aman untuk dikonsumsi dan gizi selama hamil. Setelah melalui pengembangan item dan uji validitas dan reliabilitas, item pertanyaan tentang pengetahuan gizi pada remaja menghasilkan 60 pertanyaaan.
Nelia (2005) melakukan penelitian tentang pengetahuan sampel tentang manfaat suplemen terhadap kesehatan tubuh. Sampel awal 520 orang yang terdiri dari perawat, ahli diet dan pegawai rumah sakit. Kuesioner awal terdiri dari 355 item dan kuesioner akhir menjadi 50 item. Untuk menentukan
tingkat
pengetahuan sampel dilakukan dengan mengirimkan kuesioner kepada 1450 orang. Dari beberapa penelitian ini diperoleh gambaran bahwa kuesioner yang valid dan reliabel sangat diperlukan sebagai alat untuk mengukur pengetahuan, sikap dan perilaku gizi remaja.