23
HASIL Karakteristik Pertumbuhan Mikrob Pertumbuhan P. aeruginosa C32a dan C32b lebih cepat dibandingkan P. fluorescens Pf. Biakan C32a dan C32b mampu tumbuh dalam waktu 24 jam dan mengubah warna media King’S B menjadi hijau kekuningan (Gambar 1).
C32a
C32a
C32b
Gambar 1 Isolat Pseudomonas aeruginosa. Isolat P. fluorescens tumbuh berpendar dalam waktu 48 jam pada medium agar King’S B. Serratia marcescens E31, Bacillus sp. I.5, Bacillus cereus I.21 dan II.14, dan B. firmus E65 ditumbuhkan pada media agar-agar miring NA, pertumbuhannya cepat dalam waktu 24 jam pada suhu ruang. Koloni isolat B. firmus memiliki bentuk tidak beraturan dan menyebar dengan tepian berombak serta elevasi timbul. Koloni isolat Bacillus sp., S. marcescens, P. aeruginosa, dan B. cereus dicirikan dengan bentuk bundar, tepian licin, serta elevasi cembung. Isolat patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae Xoo menunjukkan pertumbuhan koloni berwarna kekuningan berlendir dengan bentuk koloni bulat, halus, mengkilap.
24
Reaksi Hipersensitif Isolat Uji serta Isolat Patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae terhadap Tanaman Tembakau Pengujian reaksi hipersensitif pada daun tanaman tembakau setelah 48 jam diinjeksi inokulum C32a dan C32b menunjukkan ciri-ciri daun agak menguning tetapi tidak menyebabkan nekrosis (Gambar 2a). Hasil injeksi dengan inokulum dari isolat yang lainnya tidak menunjukkan perubahan pada daun tembakau dan tidak terjadi nekrosis (Gambar 2a, 2b, dan 2c), artinya bakteri biokontrol tidak patogenik terhadap tanaman tembakau sehingga tidak menyebabkan jaringan kolaps dan mati. Injeksi dengan menggunakan inokulum Xoo menunjukkan nekrosis munculnya bercak abu-abu gelap dan berubah menjadi kecoklatan pada daun tembakau (Gambar 2d). Injeksi perlakuan kontrol dengan akuades steril tidak terjadi nekrosis (Gambar 2a). Semua bakteri biokontrol tidak menimbulkan reaksi hipersensitif terhadap tanaman tembakau sehingga dapat dilanjutkan dengan pengujian daya hambat isolat-isolat tersebut terhadap Xoo, dan aplikasi pada tanaman padi secara in vivo di rumah kaca. Pf
Xoo
k
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 Pengujian reaksi hipersensitif pada daun tembakau setelah 48 jam inokulasi bakteri. Keterangan: (a) dan (b) menggunakan semua isolat uji termasuk kontrol (k), (c) Pf, dan (d) Xoo. Potensi Isolat Uji dalam Menghambat Pertumbuhan Xanthomonas oryzae pv. oryzae Isolat yang berpotensi menghambat pertumbuhan Xoo ditunjukkan dengan pembentukan zona hambat. Pertumbuhan Xoo dapat dihambat oleh isolat C32a,
25
C32b, Pf, I.21, dan I.5 (Gambar 3). Perlakuan kontrol negatif menggunakan akuades steril, Xoo tumbuh hingga memenuhi
permukaan cawan berisi
media WA (Gambar 3). Sedangkan pada perlakuan kontrol pembanding kimia dengan tembaga sulfat menunjukkan zona hambat terhadap pertumbuhan Xoo (Gambar 3).
1 cm
1 cm
I.21
1.5 cm
I.5
2 cm
C32a
1 cm
2 cm
C32b
Pf
1 cm
Kontrol positif (Tembaga sulfat) Kontrol negatif (Akuades steril) Gambar 3 Pengujian antagonis isolat uji terhadap Xoo dibandingkan dengan kontrol. Hasil pengujian efektivitas antagonisme bakteri terhadap bakteri patogen Xoo secara in vitro memperlihatkan adanya penghambatan pertumbuhan Xoo dengan terbentuknya zona hambat (Tabel 1). Isolat C32a dan C32b dapat
26
menghambat pertumbuhan Xoo secara in vitro yang berbeda nyata terhadap perlakuan kontrol pembanding kimia dengan tembaga sulfat. Tabel 1 Zona hambat dan indeks aktivitas antimikrob isolat uji terhadap Xoo. Perlakuan Isolat Nilai rata-rata Indeks zona hambat aktivitas (cm) mikrob (%) C32a 1,30 a 325 Pseudomonas aeruginosa C32b 1,00 ab 250 Pseudomonas aeruginosa Pf 0,80 bc 200 Pseudomonas fluorescens E.31 0,00 e 0 Serratia marcescens E.65 0,00 e 0 Bacillus firmus I.21 0,50 bc 125 Bacillus cereus II.14 0,00 e 0 Bacillus cereus I.5 0,30 c 75 Bacillus sp. Tembaga 0,40 c 100 sulfat (+) Akuades (-) 0,00 e 0 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% (DMRT)
Aplikasi Isolat Uji terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Tanaman Padi di Rumah Kaca Panjang Lesio Hawar Daun Bakteri. Hasil uji in vivo gejala nekrosis pada daun padi yang telah diinokulasi Xoo mulai terlihat 2 hari setelah inokulasi (hsi) dengan gejala berupa daun layu seperti tersiram air panas (water soaking) dan berkembang menjadi gejala hawar sehingga daun berwarna kekuningan mulai 3 hsi (Gambar 4). Gejala penyakit tersebut memanjang di sepanjang tepi daun atau di seluruh helaian daun. Panjang lesio bertambah sepanjang waktu pengamatan hingga 18 hsi (Gambar 5).
Gambar 4 Gejala HDB pada ujung daun menguning 3 hari setelah inokulasi Xoo.
27
Panjang lesio HDB yang terbentuk 3 hsi dengan aplikasi bakteri tidak menunjukkan perbedaan dengan aplikasi menggunakan bakterisida yang mengandung tembaga sulfat dan Xoo. Penyemprotan dengan suspensi bakteri E31 menunjukkan panjang lesio yang sama dengan perlakuan kontrol sakit yang hanya diinokulasi dengan Xoo tanpa aplikasi biokontrol (Lampiran 3). 1
5 2
6 9
7 11
8
10 4
3
Gambar 5 Gejala HDB pada ujung daun menguning 18 hari setelah inokulasi Xoo. Keterangan perlakuan: (1) Akuades steril, (2) C32a, (3) Pf, (4) C32b, (5) I.21, (6) Tembaga sulfat, (7) I.5, (8) E65, (9) II.14, (10) E31, dan (11) Xoo. Panjang lesio HDB yang terbentuk 6 hsi dengan aplikasi bakteri C32a mulai menunjukkan perbedaan dibandingkan aplikasi menggunakan bakterisida yang mengandung tembaga sulfat dan Xoo (Gambar 6). Aplikasi bakteri C32a merupakan perlakuan terbaik dengan panjang lesio terendah, sedangkan isolat E31 menunjukkan panjang lesio yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan Xoo. Demikian juga pada 9 hsi dan 12 hsi menunjukkan hal yang sama. Namun pada 15 hsi aplikasi bakteri C32a, Pf, dan C32b menunjukkan tidak berbeda dengan perlakuan menggunakan tembaga sulfat (Gambar 6). Pengamatan pada 18 hsi dengan penyemprotan suspensi bakteri C32a merupakan perlakuan terbaik yang mampu menekan intensitas perkembangan penyakit HDB dengan panjang lesio terendah (Lampiran 3). Perlakuan penyemprotan isolat C32a berbeda nyata terhadap perlakuan bakterisida dengan menggunakan tembaga sulfat. Sedangkan perlakuan dengan isolat E31 menunjukkan panjang lesio tertinggi dibandingkan perlakuan menggunakan Xoo.
28 Panjang lesio 3 hsi
Panjang lesio 6 hsi 1.00
0.12
abc
a
0.10
bcd abcd
bcd
b
0.70
fg
0.40
0.04
cd
def
0.50
d
bc
cde
0.60
cd bcd
0.06
a
a
0.80
ab bcd
0.08
0.90
efg g
0.30 0.20
0.02
0.10
e
h
0.00
0.00
Panjang lesio 12 hsi
Panjang lesio 9 hsi 3.50
1.80 1.60
a
ab bc
1.40
3.00
cd
d
d
1.20
a
2.50
b
2.00
1.00 0.80
1.50
f
0.60
b
c
e
e
e
b
c
d
e
e
f
1.00
0.40 0.20
0.50
g
g 0.00
0.00
Panjang lesio 18 hsi
Panjang lesio 15 hsi 4.50
a
6.00
a b
4.00 5.00
3.50
4.00
b bc
3.00 2.00
ef
1.00 g 0.00
c
c
bc
cd ef
de f
b
c c
3.00 2.50
e
2.00
d e f
1.50 1.00 0.50
g
0.00
Gambar 6 Panjang lesio HDB pada daun padi setelah inokulasi Xoo. Keterangan: Sumbu X ialah perlakuan kontrol dan perlakuan isolat bakteri. Sumbu Y ialah panjang lesio HDB (cm).
29
Pengukuran intensitas perkembangan penyakit HDB ini secara kumulatif dilakukan dengan penghitungan AUDPC. Penyemprotan dengan suspensi bakteri C32a menunjukkan nilai AUDPC terendah hingga 49.10 cm.hari (Gambar 7). Berdasarkan hasil pengukuran intensitas serangan penyakit, perlakuan dengan isolat C32a membentuk grafik linear serangan HDB dengan nilai terendah (Gambar 7). Perlakuan dengan isolat Pf dan tembaga sulfat menunjukkan garis linear yang hampir berhimpit karena memiliki nilai yang hampir sama yang menunjukkan kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Sedangkan isolat E31 menunjukkan garis yang tidak linear dan memiliki nilai serangan penyakit yang lebih tinggi dari pada kontrol sakit dengan Xoo. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi isolat E31 kurang efektif untuk menekan perkembangan gejala penyakit HDB. Intensitas serangan HDB
14 12 10 8 6 4 2 0 6
9
12
Waktu Pengamatan (Hari)
15
18
AUDPC 69.19 101.80 91.34 92.42 64.71 49.10 70.63 80.92 110.88 97.65
Tembaga sulfat Xoo II.14 I.5 Pf C32a C32b I.21 E.31 E.65
Gambar 7 Intensitas serangan HDB pada tanaman padi dan nilai AUDPC (cm.hari). Tinggi Tanaman. Tinggi tanaman padi 1 minggu setelah tanam (mst) menunjukkan perlakuan penyemprotan dengan suspensi tembaga sulfat, E65, C32a, dan E31 tidak berbeda dengan perlakuan akuades steril (Gambar 8). Namun perlakuan dengan penyemprotan suspensi I.5, C32b, Pf, I.21 dan II.14 menunjukkan perbedaan dengan perlakuan akuades steril (Lampiran 4). Pengamatan tinggi tanaman pada 2 dan 3 mst menunjukkan perlakuan penyemprotan dengan suspensi E65, E31, I.21, C32b, C32a, dan Pf tidak berbeda dengan perlakuan akuades steril. Perlakuan E65, E31, C32a, I.21, Pf, C32b, dan I.5 menunjukkan tinggi tanaman yang cenderung sama dengan perlakuan yang disemprot akuades steril
30
pada 4 mst hingga 6 mst. Tinggi tanaman padi 7 mst menunjukkan perlakuan penyemprotan dengan suspensi isolat E65, E31, C32a, I.5, C32b, Pf, dan I.21 tidak berbeda dengan perlakuan akuades steril. Pengamatan tinggi tanaman padi pada 8 dan 9 mst menunjukkan perlakuan penyemprotan dengan suspensi E65, E31, C32a, C32b, I.21, Pf, dan I.5 juga tidak berbeda dengan perlakuan akuades steril. Namun secara keseluruhan pengamatan dari 1 mst hingga 9 mst menunjukkan bahwa perlakuan dengan E65 memiliki kecenderungan meningkatkan tinggi tanaman padi hampir sama dengan tinggi tanaman padi pada perlakuan menggunakan akuades steril. Sedangkan dari pengamatan 3 mst hingga 9 mst menunjukkan bahwa perlakuan dengan penyemprotan tembaga sulfat (kontrol pembanding kimia) dan suspensi II.14 memiliki kecenderungan tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol akuades steril. Jumlah Anakan. Saat 1 mst jumlah anakan padi seluruh perlakuan dengan isolat bakteri menunjukkan tidak berbeda dibandingkan perlakuan akuades steril (Gambar 9). Jumlah anakan yang muncul dengan perlakuan II.14 cenderung lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan isolat-isolat lainnya (Lampiran 5). Jumlah anakan padi 2 mst pada perlakuan isolat E31, C32a, dan I.21 menunjukkan jumlah anakan cenderung lebih banyak dari pada perlakuan akuades steril. Penyemprotan dengan suspensi E31 menunjukkan jumlah anakan cenderung lebih banyak dari pada perlakuan dengan akuades steril. Suspensi isolat I.21, E31, C32a, C32b, Pf, E65, II.14, I.5 dan tembaga sulfat yang disemprotkan pada tanaman padi pada 3 mst menunjukkan jumlah anakan tidak berbeda dengan perlakuan akuades steril. Namun penyemprotan dengan suspensi I.21 menunjukkan jumlah anakan sebanyak 10,11 lebih banyak dari pada jumlah anakan dengan perlakuan akuades steril yaitu 7,89 (Lampiran 5). Jumlah anakan padi 4, 5, dan 6 mst pada perlakuan isolat I.21, E31, C32a, Pf, C32b, E65, II.14, I.5 dan tembaga sulfat tidak berbeda dengan perlakuan akuades steril. Sedangkan pada pengamatan 7,8, dan 9 mst perlakuan I.21, E.31, C32a, Pf, C32b, E65, II.14, tembaga sulfat, dan I.5 tidak beda dengan perlakuan akuades steril. Namun dari 7 mst hingga 8 mst hanya perlakuan isolat I.21 yang menunjukkan jumlah anakan cenderung lebih banyak dari pada perlakuan akuades steril. Berbeda halnya pada 9 mst, perlakuan menggunakan isolat E31
31
menunjukkan jumlah anakan lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan isolatisolat lainnya. Tinggi tanaman padi 0 mst 35 30 25 20 15 10 5 0
20 15 10 5 0
60 50
d
40
cd
abcd abcd abc bcd abcd
ab
ab
30 20 10 0
Tinggi tanaman padi 4 mst 80
a bcd d
60
cd
abc abc abc abc abc
ab d
ab ab
40 20 0
70 60 50 40 30 20 10 0
80 70 60 50 40 30 20 10 0
a bcd d
a
bc
80
a
60
bc
c
b
ab ab ab ab ab
a
a
100 80
40
20
20
0
0
100
80 60
a
Tinggi tanaman padi 8 mst ab abc abc ab abc abc cd bc d
cd
d
ab ab
a
a
Tinggi tanaman padi 7 mst a abc ab abc abc bc abc
a
60
40
100
a
cd
abc abc abc abc abc
Tinggi tanaman padi 5 mst ab ab ab ab ab bc c
Tinggi tanaman padi 6 mst 100
Tinggi tanaman padi 1 mst abc ab bcd bcd bcd ab cd d
Tinggi tanaman padi 3 mst
Tinggi tanaman padi 2 mst a bcd
a
a
80
a
cd d
Tinggi tanaman padi 9 mst a ab ab ab bc abc abc
a
60 40
40 20 0
20 0
Gambar 8 Tinggi tanaman padi yang diberi perlakuan dengan isolat biokontrol. Keterangan: Sumbu X ialah perlakuan kontrol dan perlakuan isolat. Sumbu Y ialah tinggi tanaman padi (cm).
32 Jumlah anakan padi 0 mst 5.0
7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
c
Jumlah anakan padi 2 mst ab a abc bc bc abc bc abc
ab
Jumlah anakan padi 4 mst a ab ab ab b ab b
ab
b
b
Jumlah anakan padi 6 mst a ab b ab ab ab b
a
abc
14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
Jumlah anakan padi 1 mst a ab ab ab ab ab ab ab ab b b
abc c
Jumlah anakan padi 3 mst a abc abc bc abc c c
ab abc
Jumlah anakan padi 5 mst
a ab
a ab
Jumlah anakan padi 8 mst a ab abc c abc abc abc abc abc bc c
16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
ab
b
abc bc
abc
bc
b
b
b
ab ab ab
a
a ab
Jumlah anakan padi 7 mst a a abc ab abc abc abc c bc
c
Jumlah anakan padi 9 mst a ab abc abc abc abc abc c
Gambar 9 Jumlah anakan padi yang diberi perlakuan dengan isolat biokontrol. Keterangan: Sumbu X ialah perlakuan kontrol dan perlakuan isolat. Sumbu Y ialah jumlah anakan padi.
33
Jumlah Malai. Pengamatan jumlah malai padi dilakukan saat 9 mst. Perlakuan penyemprotan dengan isolat I.21, C32a, Pf, C32b, dan E31 pada tanaman padi yang terserang Xoo menunjukkan jumlah malai tidak berbeda dengan jumlah malai pada perlakuan dengan akuades steril (Gambar 10). Sedangkan perlakuan dengan isolat II.14, tembaga sulfat, E65, dan I.5 menunjukkan jumlah malai yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan akuades steril. Jumlah Malai
12 10
a
8
bc bc
6
bc
a
a
a
a
ab c
bc
4 2 0 Akuades Tembaga Steril sulfat
Xoo
II.14
I.5
Pf
C32a
C32b
I.21
E.31
E.65
Perlakuan
Gambar 10 Jumlah malai padi yang terserang Xoo dan diberi perlakuan dengan isolat biokontrol dan panen 9 minggu setelah tanam. Produksi Gabah. Produksi padi yang terserang Xoo cenderung lebih tinggi pada perlakuan dengan penyemprotan bakteri biokontrol C32a, Pf, C32b, dan I.21 dari pada dengan akuades steril. Penyemprotan dengan isolat C32a menghasilkan produksi gabah paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain yaitu sebesar 16,44 g untuk bobot basah dan 14,86 g untuk bobot kering gabah (Lampiran 6). Sedangkan perlakuan dengan isolat I.5, II.14, E31, E65, dan tembaga sulfat menunjukkan hasil gabah yang lebih rendah dari pada perlakuan dengan akuades steril. Bobot gabah (g)
20 b 15 10 5
d de
de
de
e
de e
de
d
a
a
b
bc
bc
c
c de d
d
dede
0 Akuades Tembaga Xoo Steril sulfat
II.14
I.5
Pf
C32a
C32b
I.21
E.31
E.65
Perlakuan
Gambar 11 Bobot gabah padi yang terserang Xoo dan diberi perlakuan dengan isolat biokontrol panen panen 9 minggu setelah tanam. Keterangan: (■) Bobot Basah, ( ■) Bobot Kering.
34
Aplikasi dengan isolat-isolat biokontrol tidak mengganggu pertumbuhan tanaman padi ditinjau dari tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai, serta bobot gabah hingga 9 mst, walaupun tanaman padi sudah terserang Xoo. Namun demikian untuk mengetahui apakah panjang lesio yang diakibatkan oleh Xoo berkorelasi terhadap produksi padi pada saat panen maka dilakukan analisis regresi (Gambar 12).
Jumlah Malai
a) 10 8 6 4 2 0
y = ‐0,9503x + 13,666 R² = 0,4957
0
2
4
6
8
10
Panjang lesio HDB (cm)
Bobot gabah basah (g)
b) y = ‐3,109x + 32,848 R² = 0,8721
20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
8
10
Panjang lesio HDB (cm)
Bobot gabah kering (g)
c) 20
y = ‐2,9171x + 30,05 R² = 0,8955
15 10 5 0 0
2
4
6
Panjang lesio HDB (cm)
Gambar 12 Regresi panjang lesio HDB terhadap produksi padi pada saat panen. Keterangan grafik: (a) panjang lesio HDB terhadap jumlah malai padi, (b) panjang lesio HDB terhadap bobot gabah basah, dan (c) panjang lesio HDB terhadap bobot gabah kering.
35
Hasil analisis regresi dengan korelasi sedang memiliki kisaran nilai 0,40 ≤ 0,59, korelasi kuat dengan nilai 0,6 ≤ 0,79, dan korelasi sangat kuat dengan nilai 0,80 ≤ 1 (Sugiyono 2006). Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa panjang lesio HDB pada tanaman padi terhadap jumlah malai berkorelasi sedang dengan nilai sebesar 0,4957 (Gambar 12a). Namun panjang lesio HDB menunjukkan korelasi yang kuat terhadap bobot gabah basah yang dihasilkan, hal ini terlihat pada nilai korelasi yang mencapai 0,8721 (Gambar 12b). Dan panjang lesio HDB juga menunjukkan korelasi yang kuat terhadap bobot gabah kering yang dihasilkan (Gambar 12c).
37
PEMBAHASAN Biakan P. aeruginosa C32a dan C32b mampu tumbuh dalam waktu 24 jam dan mengubah warna media King’s B menjadi hijau kekuningan karena isolat tersebut mampu mengeluarkan berbagai pigmen piosianin (biru-hijau), pioverdin (kuning-hijau), dan piorubin (merah-coklat) (King et al.1998). Bakteri ini termasuk Gram negatif, aerob, berbentuk batang, dengan motalitas unipolar. Sedangkan P. fluorescens ialah bakteri Gram negatif dan berbentuk batang. Media King’s B ialah media yang memiliki kandungan Fe sangat rendah sehingga sesuai untuk pembentukan siderofor oleh P. fluorescens. Serratia marcescens termasuk bakteri Gram negatif dan bersifat anaerob fakultatif. Isolat B. cereus II.14 merupakan bakteri Gram positif penghasil endospora, berbentuk sel batang, penataan berantai dan bersifat aerobik (Tay et al. 2008). Endospora dari jenis bakteri ini tahan terhadap panas dan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan serta mampu membentuk kecambah dalam larutan yang mengandung NaOH dan HCl (Vecchi & Dargo 2006). Koloni bakteri patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) berbentuk bulat, berwarna kuning, berlendir, permukaan timbul, dengan tepian rata, bersifat Gram negatif. Bakteri ini tumbuh baik pada media WA menghasilkan koloni yang lebih besar dan lendir lebih banyak, dibandingkan ketika bakteri ditumbuhkan pada media NA. Menurut Yamasaki et al. (2006) isolat Xoo berukuran 0,50-0,80 µm x 1,30-2,30 µm, berbentuk batang pendek dengan kedua ujungnya membulat, menghasilkan pigmen yang tidak larut dalam air. Xoo memiliki kapsul, tidak berspora, dan bergerak dengan satu bulu cambuk (flagellum monotris). Uji reaksi hipersensitif biasanya menggunakan tanaman tembakau karena merupakan tanaman model yang telah diketahui secara lengkap sekuen gennya termasuk gen yang menyandikan resistensi tanaman, serta ruang di antara pembuluh daun lebar, dan permukaan daun tidak mengandung lignin sehingga mudah untuk menginfiltrasikan suspensi isolat. Selain itu tanaman tembakau mudah dibudidayakan dan dipelihara (Widyawati 2008). Pengujian hipersensitif pada daun tembakau ditandai dengan terjadi nekrosis atau tidak pada daun tembakau yang diinjeksi isolat uji dan isolat patogen.
38
Menurut Zhu et al. (2000) isolat yang menghasilkan reaksi hipersensitif (HR) positif akan muncul gejala nekrotik, berarti bersifat patogenik sehingga tidak dapat dijadikan sebagai biokontrol. Nekrosis ialah munculnya bercak gelap dan berubah menjadi kuning kecoklatan yang menandakan terjadi kematian jaringan tanaman akibat terinfeksi patogen setelah inokulasi selama 48 jam. Tingkat keparahan penyakit bertambah seiring pemanjangan waktu pengamatan. Injeksi dengan menggunakan inokulum Xoo menyebabkan nekrosis. Sedangkan injeksi dengan isolat uji tidak menunjukkan nekrosis, demikian juga dengan akuades steril sebagai kontrol negatif menunjukkan reaksi yang sama. Reaksi hipersensitif merupakan proses kematian sel yang cepat dan terlokalisasi. Proses kematian sel karena terjadinya agregasi sitoplasma, penghentian
aliran
sitoplasma,
hilangnya
permeabilitas
membran
sel,
meningkatnya respirasi, akumulasi dan oksidasi senyawa fenol dan pembentukan fitoaleksin. Reaksi ini muncul pada tanaman yang terinfeksi saat pengenalan patogen yang merupakan usaha untuk menghambat pertumbuhan patogen (Widyawati 2008). Respon hipersensitif dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap terinduksi, periode laten, dan kematian sel atau jaringan. Tahap induksi terjadi 1,5-3 jam setelah daun diinjeksi dengan suspensi bakteri. Pada tahap ini bakteri mengalami multiplikasi yang dilanjutkan dengan kontak sel dan pengenalan sel bakteri dengan sel tanaman. Tahap laten 7-10 jam setelah injeksi, pada tahap ini terjadi peningkatan laju respirasi, peningkatan permeabilitas membran sel tanaman dan kerusakan organel-organel sel. Pada tahap ini daun belum menunjukkan gejala nekrotik. Kematian sel merupakan tahap akhir yang terjadi 12-24 jam setelah injeksi. Pada tahap ini terjadi reaksi antara senyawa fenol yang terdapat dalam vakuola dengan subtansi yang ada di dalam sitoplasma dan terbentuk senyawa sitolitik. Pada akhirnya akan menimbulkan gejala nekrosis. Induksi hipersensitif dan patogenitas dipengaruhi oleh gen hrp yang umumnya ditemukan pada bakteri Gram negatif patogen tanaman, termasuk kelompok Xanthomonas sp. (Zhu et al. 2000). Hasil pengujian in vitro menunjukkan pertumbuhan Xoo dapat dihambat oleh isolat C32a, C32b, Pf, I.21, dan I.5 sehingga membentuk zona hambat. Zona
39
hambat yang terbentuk karena setiap mikrob menghasilkan antimikrob pada media tumbuh. Pembentukan senyawa antimikrob disebabkan berkurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel (Zou et al. 2006). Pada pengujian in vitro isolat I.21 dan I.5 menghasilkan zona hambat terkecil dibandingkan tiga isolat lainnya, hal ini dimungkinkan bahwa antimikrob kedua isolat ini kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan
Xoo. Sedangkan
zona
hambat
terbesar
terhadap Xoo terdapat pada isolat C32a, C32b, dan Pf. Menurut Arwiyanto et al. (2007) biakan P. aeruginosa mampu memproduksi endotoksin dan produk ekstraseluler yang mendukung invasi lokal dan penyebaran mikroorganisme. Toksin dan produk ekstraseluler ini mencakup protease ekstraseluler, sitotoksin, hemolisin, dan piosianin. Berdasarkan hasil penelitian Hassanein et al. (2009) Pseudomonas sp. memiliki kemampuan untuk memproduksi metabolit sekunder yang berbeda-beda seperti siderofor pengkelat besi (Fe), amonia, dan sianida. Menurut Verschuere et al. (2000) penghambatan pertumbuhan tidak selalu berkaitan dengan produksi senyawa antimikrob seperti antibiotik, tetapi juga karena dihasilkan senyawa metabolit sekunder atau terjadi perubahan pH. Mekanisme kerja antimikrob dalam menghambat pertumbuhan bakteri antara lain menghambat pembentukan dinding sel target, menghambat pembentukan asam nukleat atau protein, serta membentuk pori-pori pada membran sel target sehingga permeabilitas sel terganggu (Tay et al. 2008). Pada awal penanaman padi digunakan pupuk NPK (1:1:1) sebanyak 1,5 g dalam 5 Kg tanah, sebagai pemberian awal untuk memenuhi kebutuhan unsur N sebelum akar mencapai pertumbuhan dan perkembangan maksimum. Unsur N berfungsi sebagai sumber tenaga untuk pertumbuhan tanaman, pembentukan anakan, bahan klorofil untuk proses asimilasi yang akhirnya memproduksi pati untuk pertumbuhan dan pembentukan gabah. Unsur P bagi tanaman untuk merangsang pertumbuhan akar, khususnya akar benih, membantu asimilasi dan pernafasan, dan mempercepat pembungaan, pemasakan biji dan buah, serta merupakan unsur untuk menyusun inti sel tumbuhan diperlukan ketika tanaman membentuk jaringan baru. Sedangkan unsur K sebagai komponen yang berperan dalam reaksi enzim dalam tanaman, untuk memperbaiki rendemen gabah (Padmini 1997).
40
Daun padi IR64 yang diinokulasi dengan bakteri Xoo menunjukkan gejala HDB pada 3 hsi, timbulnya gejala seperti tersiram air panas pada luka daun padi. Pada bagian ujung daun yang digunting berubah menjadi hijau kusam kemudian muncul garis kuning sampai kecoklatan yang memanjang sepanjang berkas pembuluh. Menurut Yamasaki et al. (2006) keberhasilan infeksi bakteri patogen pada tanaman tergantung pada kontak antara bakteri dengan inang, pergerakan bakteri, dan perbanyakan bakteri di dalam jaringan tanaman inang. Bakteri menginfeksi masuk melalui sistem vaskular tanaman padi pada saat pindah tanam atau pada saat dicabut dari tempat pembibitan sehingga akarnya rusak, atau sewaktu terjadi
kerusakan
daun. Apabila
sel
bakteri
masuk
menginfeksi tanaman padi melalui akar dan pangkal batang, tanaman akan menunjukkan gejala kresek. Kresek ialah gejala yang terjadi pada tanaman berumur kurang dari 30 hari, terjadi pada saat persemaian atau baru pindah tanam. Sedangkan hawar merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada tanaman padi yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Gejala diawali dengan timbulnya bercak abu-abu kekuningan pada tepi daun. Gejala akan meluas sampai seluruh daun menjadi kering (Goto 1998). Sumber infeksi HDB dapat berasal dari jerami yang telah terinfeksi, tunggul jerami, sisa tanaman yang terinfeksi, benih, dan gulma inang. Secara alami penyakit HDB dapat ditularkan dengan bantuan angin, gesekan antara daun yang terinfeksi HDB dengan daun yang sehat, percikan air hujan, dan aliran irigasi dari satu lahan ke lahan yang lainnya. Bakteri Xoo dapat menginfeksi melalui luka yang diakibatkan oleh serangga, atau pada saat bibit padi akan ditanam biasanya bagian ujung daun digunting (Velusamy et al. 2006). Bakteri Xoo mampu menginfeksi tanaman padi melalui luka akibat pengguntingan kemudian bergerak dan bermultiplikasi menuju xilem. Akumulasi di dalam jaringan pembuluh menyebabkan terhambatnya pengangkutan air dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, sehingga tanaman menjadi kering dan mati (Roos & Hattingh 1987). Lubang-lubang alami pada daun seperti hidatoda juga dapat menjadi jalan masuknya Xoo ke dalam tanaman padi (Mew et al. 1984). Namun infeksi patogen melalui luka lebih mudah dibandingkan melalui hidatoda (Gnanamanickam et al. 1999). Zhu et al. (2000) melaporkan bahwa pada
41
padi varietas IR36, bakteri mampu berakumulasi pada bagian pangkal trikoma yang patah, bakteri masuk melalui luka sehingga jaringan disekitarnya menjadi kecoklatan dan mati kemungkinan karena nekrosis. Gejala lesio terbentuk oleh tekanan fisik yang diakibatkan oleh infeksi massa bakteri patogen pada ruang antar sel. Pada 3 hsi Xoo belum memperlihatkan pengaruh dari aplikasi bakteri biokontrol terhadap gejala HDB. Setelah 3 hsi Xoo, menunjukkan bahwa isolat Pseudomonas aeruginosa C32a memiliki potensi lebih baik dibandingkan tembaga sulfat sebagai pembanding kimia dalam menghambat pertumbuhan Xoo. Hal ini dimungkinkan karena efisiensi dan konsistensi pengendalian hayati sangat tergantung pada aktivitas, densitas dan lokalisasi agen biokontrol pada bagian tanaman (Duijff et al. 1997). Kolonisasi tanaman secara internal oleh bakteri merupakan aspek penting bagi efeksi agen biokontrol, kemampuan sel-sel bakteri memasuki jaringan tanaman sekaligus
berkompetisi
dengan
bakteri
lain
yang berasosiasi dengan tanaman (Quadt-Hallman et al. 1977). Lama kolonisasi daun padi oleh bakteri diduga merupakan salah satu aspek yang berperan dalam menentukan aktivitas antagonis melindungi daerah stomata pada daun padi. Selain itu bakteri P. aeruginosa mampu memproduksi piosianin, fenazin, dan asam salisilat derivat piohelin yang dapat menginduksi ketahanan sistemik induced systemic resistance (ISR) pada tanaman padi. Aplikasi piosianin pada bibit padi hidroponik dapat meningkatkan H2O2 pada permukaan akar dan pada permukaan daun (Vleesschauwer et al. 2006). Hidrogen peroksida dapat menghambat patogen secara langsung atau membentuk radikal bebas yang memiliki efek antimikrob (Silva et al. 2004). Piosianin dapat menghambat penyakit blas dan hawar pelepah pada tanaman padi (Vleesschauwer et al. 2006). Yuan dan Wang (2011) melaporkan bahwa tembaga merupakan mikroeleman penting bagi tanaman dan pestisida. Bordeaux berupa campuran CuSO4 dan kapur terhidrasi mampu mengendalikan penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh Xoo. Gen Xa13 yang dimiliki oleh Xoo dan kerja sinergis dengan dua protein yang dikodekan oleh gen COPT1 dan gen COPT5 ternyata dapat menghilangkan tembaga di dalam pembuluh xilem sehingga Xoo dapat bermultiplikasi, menyebar di sekitar sel dan menyebabkan penyakit.
42
Berdasarkan hasil pengukuran panjang lesio dari 3 hsi sampai 18 hsi, mengindikasikan bahwa perlakuan preventif pada saat tanaman padi berumur 7, 14, 28 dan 42 hari setelah tanam lebih efektif, karena aplikasi bakteri biokontrol yang bersifat antagonis akan lebih
efektif menekan
pertumbuhan Xoo.
Menurut Utkhede (2005) agen biokontrol umumnya lebih efektif bila diaplikasikan sebagai perlakuan preventif sebelum penyakit berkembang. Intensitas serangan HDB pada tanaman padi berdasarkan nilai AUDPC (kumulatif nilai panjang lesio HDB) menunjukkan bahwa isolat Serratia marcescens E31 kurang efektif menekan perkembangan gejala penyakit HDB. Dengan kata lain terjadi perbedaan perkembangan gejala penyakit lebih banyak disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan tanaman yang semakin meningkat memasuki periode generatif yang cenderung lebih rentan terhadap infeksi patogen. Someya et al. (2005) melaporkan bahwa perlakuan preventif lebih efektif, namun aplikasi lanjutan juga perlu dilakukan untuk memperoleh penekanan penyakit yang dapat bertahan lama, namun keefektifan agen biokontrol di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Selain itu, Suryadi et al. (2011) melaporkan bahwa isolat E31 berpotensi menghambat pertumbuhan cendawan patogen Pyricularia grisea karena diduga menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang bersifat antifungi. Didukung oleh penelitian Jaiganesh et al. (2007) bahwa S. marcescens mampu memproduksi enzim kitinolitik yang dapat mendegradasi dinding sel cendawan dan menginduksi reaksi pertahanan tanaman dari antifungi tertentu. Namun pada penelitian ini E31 kurang efektif menekan penyakit HDB yang disebabkan oleh X. oryzae pv. oryzae yang merupakan bakteri patogen tanaman. Jadi isolat E31 sangat efektif menghambat penyakit yang disebabkan oleh fungi tertentu tetapi kurang efektif menghambat penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen. Gejala lesio berkembang lebih cepat pada suhu tinggi dibandingkan pada suhu rendah. Devadath (1988) melaporkan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan Xoo berkisar antara 24,3-34 0C. Sedangkan suhu pada waktu siang hari mencapai 310C, dan suhu malam hari sekitar 26 0C sehingga dapat meningkatkan panjang lesio HDB. Penularan HDB melalui percikan air, hujan, angin dan gesekan antar daun dapat memperparah tingkat penyakit bila terjadi peningkatan suhu rata-rata.
43
Aplikasi dengan bakteri biokontrol terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa setiap perlakuan tidak terdapat perbedaan tinggi tanaman bila dibandingkan dengan
perlakuan menggunakan akuades steril. Namun dari
pengamatan 1 sampai 9 minggu setelah tanam, perlakuan menggunakan isolat Bacillus firmus E65 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan isolat lainnya, tetapi berada di bawah nilai akuades steril. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perlakuan isolat ternyata masih mampu bertahan dengan menghasilkan tinggi tanaman yang hampir sama dengan perlakuan kontrol yaitu penyemprotan dengan akuades steril walaupun setiap perlakuan sudah diinokulasi dengan Xoo. Hasil penelitian Syachroni (2011) ternyata isolat E65 mampu menghasilkan indole acetic acid (IAA). Menurut Watanabe et al. (1987) IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang berguna untuk merangsang meningkatkan pertumbuhan tanaman. Auksin berguna untuk meningkatkan pertumbuhan sel batang, menghambat proses pengguguran daun, dan merangsang pembentukan buah. Sedangkan jumlah anakan padi dari pengamatan 1 hingga 9 minggu setelah tanam menunjukkan hasil bahwa setiap perlakuan isolat tidak ada perbedaan jumlah anakan dengan perlakuan akuades steril. Perlakuan akuades steril lebih banyak menghasilkan jumlah anakan padi, diduga akibat pasokan oksigen untuk respirasi akar meningkat sehingga perkembangan perakaran ke lapisan tanah lebih dalam dan akibatnya tanaman lebih kokoh serta pembentukan anakan lebih banyak. Akan tetapi dari pengamatan 2 sampai 9 minggu setelah tanam perlakuan isolat S. marcescens E31 dan B. cereus I.21 memiliki jumlah anakan cenderung lebih banyak dibandingkan perlakuan isolat lainnya. Hal ini diduga bahwa isolat E31 dapat menghasilkan IAA yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Syachroni 2011). Jumlah malai yang terbentuk menunjukkan isolat Bacillus cereus I.21, Pseudomonas aeruginosa C32a, P. fluorescens Pf, P. aeruginosa C32b, dan S. marcescens E31 tidak terdapat perbedaan dengan perlakuan akuades steril. Namun jumlah malai pada perlakuan isolat I.21 cenderung lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan akuades steril. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun tanaman padi sudah diinokulasi dengan Xoo namun aplikasi
44
menggunakan isolat biokontrol ternyata menghasilkan jumlah malai yang hampir sama dengan perlakuan kontrol sehat pada akuades steril tanpa diinokulasi Xoo. Interaksi bakteri Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan Serratia sp., dengan tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan melindungi tanaman dari berbagai fitopatogen dan hama. Efek langsung dari bakteri terhadap peningkatan
pertumbuhan
tanaman
yaitu
dengan
pemberian nutrisi,
mikroelemen, hormon untuk tanaman. Bakteri melakukan kolonisasi pada permukaan jaringan tanaman dan menyediakan senyawa yang menguntungkan untuk tanaman. Pseudomonas fluorescens menghasilkan pigmen kuning hijau dan aktivitas siderofor berupa pioverdin atau pseudobaktin yang dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman inang (Blanco & Bakker 2007). Menurut Reddy et al. (1979) serangan bakteri patogen akan menyebabkan peningkatan jumlah gabah hampa dan terjadi penurunan bobot gabah. Kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit HDB secara kuantitatif menyebabkan turunnya hasil panen dan rendahnya bobot 1000 biji, sedangkan kerusakan kualitatif ditunjukkan oleh tidak sempurnanya pengisian gabah dan gabah mudah pecah pada saat digiling. Namun produksi padi menunjukkan bobot gabah basah dan bobot gabah kering pada perlakuan C32a, Pf, C32b, dan I.21 berbeda nyata terhadap perlakuan akuades steril. Hal ini menunjukkan bahwa penyemprotan dengan bakteri-bakteri tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap bobot gabah. Bakteri-bakteri yang digunakan sebagai biokontrol ini merupakan bakteri potensial yang dapat memacu pertumbuhan tanaman padi. Bacillus sp. menghasilkan IAA yang tinggi dan pelarut fosfat yang baik sehingga dapat meningkatkan ketersediaan fosfat dalam tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai sumber nutrisi (Nishijima et al. 2005). Pseudomonas sp. juga merupakan bakteri penghasil IAA dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Shanthini et al. 2005). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa panjang lesio HDB pada tanaman padi terhadap jumlah malai, bobot gabah basah, dan bobot gabah kering padi menunjukkan korelasi positif. Panjang lesio HDB pada tanaman padi terhadap jumlah malai padi menunjukkan korelasi sedang dengan nilai sebesar 0,4957. Hal ini menjelaskan bahwa hanya 49,50% keterlibatan panjang lesio HDB yang
45
memiliki kecenderungan mempengaruhi jumlah malai, kemungkinan ada variabel bebas lainnya yang mampu mempengaruhi jumlah malai bukan hanya panjang lesio HDB (Sugiyono 2006). Sedangkan panjang lesio HDB terhadap bobot gabah basah menunjukkan korelasi sangat kuat dengan nilai sebesar 0,8721. Hal ini menjelaskan bahwa 87,21% panjang lesio HDB memiliki kecenderungan sangat kuat mempengaruhi bobot gabah basah, sehingga semakin panjang lesio HDB yang terbentuk maka semakin rendah bobot gabah basah, dan akan mempengaruhi jumlah panen yang dihasilkan. Sama halnya juga terjadi pada bobot gabah kering dengan nilai korelasi sangat kuat sebesar 0,8955, sehingga menjelaskan bahwa 89,55% keterlibatan panjang lesio HDB terhadap bobot gabah kering. Maka semakin tinggi panjang lesio yang terbentuk karena HDB sehingga memiliki kecenderungan bobot gabah kering yang dihasilkan semakin rendah. Ternyata dari hasil analisis regresi panjang lesio kurang mempengaruhi jumlah malai yang terbentuk, namun memiliki kecenderungan dapat mempengaruhi bobot gabah basah dan bobot gabah kering pada saat panen. Agen biokontrol dapat menghambat perkembangan penyakit maupun populasi patogen melalui beberapa cara, yaitu produksi senyawa antibiosis, persaingan ruang atau nutrisi, kompetisi pemanfaatan unsur Fe melalui produksi siderofor, induksi mekanisme resistensi, inaktivasi faktor perkecambahan patogen, degradasi faktor patogenitas misalnya toksin, parasitisme yang melibatkan produksi enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel misalnya β-1,3 glukanase (Keel & Defago 1997). Kemampuan bakteri biokontrol dalam menekan penyakit yang disebabkan oleh fungsi 2,4-diasetilfloroglusinol yang diproduksi oleh Pseudomonas sp. dapat menghambat pertumbuhan Xoo yang menyebabkan penyakit HDB (Velusamy et al. 2006). P. aeruginosa menghasilkan antibiotik fenazin memiliki spektrum luas terhadap bakteri dan cendawan. Senyawa fenazin terlibat dalam transformasi oksidasi-reduksi sehingga terjadinya akumulasi radikal superoksida yang bersifat racun pada sel target, senyawa ini juga dapat menginduksi resistensi sistemik (Price et al. 2006). Menurut Neilands dan Nakamura (1991) siderofor pioverdin atau pseudobaktin yang diproduksi oleh Pseudomonas fluorescens WCS347, P. fluorescens ATCC13525, dan P. fluorescens 17400 termasuk
46
senyawa kromoforpeptida. Kromoforpeptida siderofor ialah struktur seperti membran yang mengandung pigmen dan mengikat mineral besi. Kromoforpeptida siderofor yang dihasilkan oleh Pseudomonas spp. merupakan gabungan katekolat dan hidroksamat yaitu Tris N-metiltioformohidroksamat yang dapat mengikat dua molekul Fe3+. Sedangkan senyawa Tris N-metiltioformohidroksamat dapat membunuh bakteri dan cendawan (Weisbeek & Gerrits 2000). Biakan B. cereus menghasilkan asam salisilat, asam jasmonat, dan etilen. Senyawa tersebut juga dapat menginduksi resistensi sistemik (Niu et al. 2011). Namun mekanisme tersebut bukan menjadi satu-satunya mekanisme penghambatan yang dilakukan oleh bakteri dalam menekan penyakit yang disebabkan oleh patogen. Diperlukan mekanisme terpadu yang diduga dapat menekan kejadian penyakit sehingga agen biokontrol mampu bertindak secara langsung terhadap patogen dengan cara mensekresikan enzim ektraseluler kitinase, protease, dan selulase yang dapat melisis atau mendegradasi dinding sel patogen sehingga perkembangan patogen terhambat (Pal & Gardener 2006). Mekanisme lain seperti dihasilkannya senyawa siderofor oleh Pseudomonas sp. ikut berperan dalam menghambat pertumbuhan patogen (Fernando et al. 2006). Siderofor ialah senyawa dengan berat molekul rendah yang memiliki kemampuan mengkelat unsur besi dan memiliki afinitas tinggi terhadap Fe3+. Sehingga terjadi kompetisi antara bakteri dengan bakteri patogen dalam mengkelat besi yang keberadaannya di tanah sangat terbatas. Kondisi tersebut membuat bakteri patogen tidak tumbuh optimal karena tidak mendapatkan zat besi yang dibutuhkan. Pengambilan Fe3+ oleh bakteri tidak mempengaruhi kebutuhan tanaman akan besi yang sangat sedikit dibandingkan dengan mikroorganisme. Menurut Weisbeek dan Gerrits (2000) pengikatan ion besi dijembatani oleh senyawa katekolat, hidroksamat, atau gabungan antara hidroksamat dan asam hidroksi aspartik. Kekurangan ion besi mengurangi pertumbuhan bakteri sedangkan kelebihan zat besi akan meracuni sel bakteri. Sistem pengkelatan ion besi diatur oleh kosentrasi ion besi. Pembentukan senyawa zat besi meningkat jika bakteri ditumbuhkan pada medium dengan kandungan ion Fe3+ terbatas. Pengaturan ion besi yang dibutuhkan bakteri dikendalikan oleh gen Fur yang terdapat dalam sitoplasma.
47
Mekanisme tidak langsung juga kemungkinan dapat terjadi dalam menekan kejadian penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. yang menghasilkan IAA dapat memacu pertumbuhan tanaman. Mekanisme tidak langsung lainnya melalui induce systemic resistance (ISR). Mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologis tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang dapat menguatkan sistem pertahanan tanaman terhadap serangan patogen. Sistem pertahanan yang terjadi dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya induksi ketahanan sistemik oleh bakteri yaitu adanya sumbangan lipopolisakarida oleh bakteri, produksi siderofor oleh bakteri, dan produksi asam salisilat (Rammamoorthy et al. 2001). Penelitian yang dilakukan ini menunjukkan sebuah potensi pengembangan aplikasi isolat-isolat bakteri yang berfungsi sebagai agen biokontrol dapat menghambat pertumbuhan Xanthomonas oryzae pv. oryzae serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan produksi padi.