HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Gambaran umum mengenai karakteristik dari 427 responden yang diwawancarai bertujuan untuk mengenal dan mengetahui latar belakang kehidupan dan penghidupan para petani ternak di lokasi penelitian tentang umur, tingkat pendidikan, mata pencaharian, pengalaman dan kemampuan memelihara ternak, status lahan dan luas lahan yang dimiliki. Informasi tersebut disajikan dalam Tabel 18. Rata-rata umur petani/peternak untuk lingkup provinsi adalah 43.62 ± 11.01 dengan sebaran 16 sampai 80 tahun, frekuensi tertinggi adalah umur 45 tahun (35%). Rata-rata umur petani/peternak di kabupaten/kota berkisar antara 41 – 46 tahun. Kelompok umur ini menurut Bakir dan Manning (1984) yang dikutip Tawaf (1993) masih tergolong usia produktif yaitu antara 15-55 tahun. Tingkat pendidikan petani/peternak di provinsi Maluku Utara yang terbanyak adalah lulusan sekolah dasar (SD) dengan persentasi yang tidak tamat SD (2.6%) dan tamatan SD (49.4%). Petani/peternak yang berada di kabupaten kepulauan Sula memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dibandingkan tujuh kabupaten/kota lainnya yaitu lulusan SMA (35%) kemudian kota Ternate (26.3%) dan berturut-turut untuk kota Tidore (25%), Halmahera Timur (23.5%), Halmahera Selatan (22.2%), Halmahera Tengah (19.6%), Halmahera Utara (15.6%) dan Halmahera Barat (15%). Pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan petani dalam hal mengadopsi suatu informasi dan inovasi baru. Pendidikan merupakan faktor pelancar yang dapat mempercepat pembangunan pertanian. Seorang petani/peternak dengan pendidikan akan mudah mengadopsi teknologi baru, mengembangkan ketrampilan, dan memecahkan masalah. Hal yang sama juga dikatakan Wiriatmadja (1977) bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan formal akan mempengaruhi laju penyerapan inovasi, perubahan pola pikir dan kepekaan dan terhadap perubahan keadaan lainnya.
71
Tabel 18 Karakteristik petani/peternak di lokasi penelitian Karakteristik Rataan umur petani/peternak(thn) Tingkat pendidikan a. Tdk tamat SD (%) b. Tamat SD (%) c. SLTP (%) d. SLTA(%) e. Sarjana(%) Rataan pengalaman beternak(th) Status lahan a. sendiri(%) b. pakai(%) c. tdk ada(%) Luas lahan yang dimiliki (%) a. < 0,5 ha b. 0,5 – 1ha c. 1- 1,5 ha d. 1,5 – 2,5 e. > 3 ha Rataan kepemilikan ternak (ekor) a. Sapi b. Kambing c. ayam buras d. itik
Ternate
Tidore
Halsel
Kabupaten/Kota Halut Halbar
Sula
Halteng
Haltim
Provinsi
43.66
45.22
46.33
41.44
43.73
43.88
41.70
42.57
43.62
61.3 11.3 26.3 1.3
51.7 23.3 25 -
4.4 40 28.9 22.2 4.4
15.5 31.1 35.6 15.6 2.2
1.7 58.3 23.3 15.0 1.7
37.5 27.5 35.0 -
2.2 54.3 21.7 19.6 2.2
47.1 29.4 23.5 -
2.6 49.4 23.9 22.7 1.4
10.23
10.50
10.02
10.35
11.18
9.95
9.58
10.01
10.32
70.0 1.3 28.8
63.3 0 36.7
77.8 0 22.2
71.1 6.7 22.2
60.0 1.7 38.3
72.5 0 27.5
80.4 19.6 0
76.5 9.8 13.7
70.7 4.4 24.8
28.8 38.8 1.3 30 1.3
36.7 40.0 1.7 20 1.7
24.4 55.6 2.2 15.6 2.2
22.2 60 2.2 11.1 2.2
38.3 46.7 10 5.1
32.5 60 5 2.5
2.2 58.7 4.4 28.3 6.5
13.7 64.7 2.0 11.8 3.9
37.4 40.2 2.1 17.1 3.0
2.3 10.43 6.8 4.5
2 9.5 6.4 4.5
2 8.6 17 3
4.7 7.9 11.7 4.8
5.9 10.3 12.3 16
2.5 5.3 6.0 1.0
2.4 8.4 8.5 5
3.0 8.1 13.8 6.8
3.1 8.5 10.3 5.7
Keterangan : Halsel=Halmahera Selatan; Halut=Halmahera Utara;Halbar=Halmahera Barat; Halteng=Halmahera Tengah dan Haltim = Halmahera Timur
72
Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia khususnya masyarakat peternak kambing di provinsi Maluku Utara saat ini dilakukan melalui trainingtraining pendek atau mengikutsertakan peternak dalam studi banding (magang) di tempat usaha di luar daerah, namun persoalnnya sampai saat ini pencapainnya belum optimal disebabkan karena tidak ada upaya tindak lanjut tentang kegiatan magang tersebut baik oleh pemerintah daerah maupun di dalam kelompok tani/ternak tersebut. Disamping itu, rekrutment aparatur teknis di bidang peternakan harus betul-betul profesional sebagai syarat penting di dalam upaya meningkatkan sumberdaya manusia. Seleksi aparatur yang berpendidikan dan profesioanl mengurangi beban pemerintah daerah dan memberikan produktivitas yang lebih baik Semua responden bermata pencaharian sebagai petani penggarap/pemilik dan memiliki ternak sapi, kambing, ayam buras, maupun itik ada juga yang berprofesi ganda sebagai buruh bangunan (7.7%), guru (1.2%), supir (2.6%) dan nelayan tradisional (3.4%) dan berprofesi murni sebagai petani sebesar 70%. Sebanyak 427 responden (30.4%) memiliki minat besar terhadap usaha ternak disamping, nelayan, dagang, dan swasta lainnya dan umumnya mereka belum dibekali ketrampilan karena 86.2% menyatakan belum pernah mengikuti pelatihan maupun kursus lainnya tentang pertanian dan peternakan. Pengalaman beternak dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan peternak. Semakin lama pengalaman beternak akan semakin memudahkan peternak dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan proses produksi. Hasil survei menunjukkan bahwa pengalaman yang dimiliki bervariasi dari 3 sampai lebih dari 20 tahun. Pengalaman beternak yang paling tinggi terdapat di kabupaten Halmahera Barat yaitu rata-rata 11,18 tahun, sedangkan yang terendah di kabupaten Halmahera Tengah 9,58 tahun, namun secara umum rata-rata pengalaman peternak di provinsi Maluku Utara adalah di atas 10 tahun. Hal ini dimungkinkan karena usaha beternak ini merupakan usaha turun temurun dari orang tua mereka, sehingga biasanya beternak sudah dimulai sejak usia sekolah. Lahan yang diusahakan umumnya milik sendiri (70.7%), sewa atau pakai milik orang lain (4.4%) dan yang tidak memiliki lahan (24.8%). Jumlah tertinggi
73
petani/peternak yang tidak memiliki lahan, ditemukan di kabupaten Halmahera Barat, sedangkan dari responden yang semuanya memiliki lahan hanya ditemukan di kabupaten Halmahera Tengah. Rata-rata luasan lahan yang dimiliki oleh petani/peternak adalah 0.97 ha dan luasan yang terkecil dimiliki oleh petani/peternak di kota kepulauan Tidore (0.81 ha). Aktivitas usahatani seperti mengolah tanah, menyiangi, menanam, pemupukan, pengeluaran ternak dari kandang, penggembalaan ternak, pemasukan ternak ke kandang pada sore hari, memandikan ternak umumnya dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja tetap adalah suami dan istri dengan frekuensi kerja suami lebih besar (2-4 jam sehari).
Skala Kepemilikan Ternak Kambing Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah peternak yang memiliki kambing jantan dengan umur lebih dari 3 tahun adalah 103 peternak (24.1%) sedangkan 324 peternak (75.9%) yang tidak mempunyai ternak jantan yang siap dijadikan pemacek. Kabupaten yang peternaknya paling banyak tidak memiliki ternak jantan adalah kabupaten Halmahera Barat (98.3%), kemudian Halmahera Tengah (97.8%) diikuti oleh Kota Ternate (88.8%). Kekurangan kambing jantan secara umum menjadi persoalan di provinsi Maluku Utara, hal ini disebabkan karena tingkat pemotongan yang tinggi terhadap ternak jantan muda untuk keperluan aqiqah, juga setiap tahun pada Idul Adha masyarakat cenderung memilih ternak jantan dengan kualitas yang baik untuk dikurbankan. Daerah yang memiliki peternak dengan ternak jantan terbanyak adalah kota Tidore (63.3%). Peternak di daerah ini sangat kuat dalam mempertahankan ternak kambing jantan, setiap peternak mempunyai gengsi tersendiri jika memiliki ternak kambing jantan, sehingga frekuensi pemotongan kambing jantan di daerah ini lebih kecil dibandingkan di daerah lainnya. Persentasi jumlah peternak dengan skala pemilikan ternak jantan dapat dilihat pada Tabel 19. Dari hasil penelitian dan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa para petani peternak di wilayah Maluku Utara sangat memerlukan pejantan yang sewaktu-
74
waktu dapat dijadikan pemacek untuk peningkatan produktivitas ternak kambing di Maluku Utara. Tabel 19 Persentasi jumlah peternak dengan skala pemilikan kambing jantan Kota/Kabupaten
Ternate Tidore Halmahera Barat Halmahera Utara Halmahera Tengah Halmahera Timur Halmahera Selatan Sula
Jumlah dan proporsi peternak yang memiliki kambing jantan Jumlah 0 1 2 3 4 5 71 88.8 22 36.7 59 98.3 28 62.2 45 97.8 40 78.4 24 53.3 35 87.5
9 11.3 33 55 1 1.7 16 35.6 1 2.2 10 19.6 18 40 4 10
0 0 5 8.3 0 0 1 2.2 0 0 1 2 3 6.7 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2.5
80 100 60 100 60 100 45 100 46 100 51 100 45 100 40 100
Sumber: Data olahan 2007
Sumber Bibit Pengalaman yang cukup lama para petani peternak kambing di daerah ini memiliki pengetahuan dalam cara memilih calon bibit kambing yang baik. Namun cara pemilihan hanya didasarkan atas selera penglihatan yang tampak pada ciri-ciri luarnya saja dan tidak didasarkan pada catatan silsilahnya. Karena ketersediaan sumber bibit yang minim, maka para peternak umumnya memperoleh bibit kambing dengan cara membeli dari peternak lain 37,70% seperti tersaji pada Tabel 20. Peternak yang sudah cukup berpengalaman dan secara kontinyu berusaha ternak kambing memperoleh bibit dari hasil keturunan yang sudah ada (30.45%). Para peternak baru umumnya mendapatkan bibit kambing yang berasal dari pasar (22.95%). Sisanya adalah bantuan pemerintah (8.90%).
75
Tabel 20 Sumber bibit kambing yang dipelihara di provinsi Maluku Utara Sumber bibit kambing
Total Peternak
Persentasi peternak kambing (%)
Beli dari peternak lain
161
37.7
Dari Keturunan yang sudah ada
130
30.45
Beli di pasar
98
22.95
Bantuan dari pemerintah
38
8.9
Total Sumber: Data Olahan 2007
427
100
Mereka yang memperoleh bibitnya hasil keturunan yang sudah ada, tidak jarang ditemukan perkawinan sedarah atau silang dalam. Keadaan ini mungkin ada kaitannya dengan rendahnya pendidikan mereka. Mengatasi dampak negatif akibat buruk dari silang dalam usaha-usaha pengadaan bandot pemacek (jantan unggul) dilakukan yang penempatannya diatur bergilir merata secara bersamaan, upaya seleksi dan penyisihan juga dilakukan untuk peningkatan/perbaikan mutu genetiknya. Pengembangan sumber-sumber bibit melalui pembibitan rakyat hanya dilakukan secara alamiah, sedangkan pembibitan oleh pemerintah dan swasta secara umum belum dilaksanakan sehingga kualitas dan kuantitas bibit unggul belum nampak , hanya saja pengadaan bibit ternak kambing selama ini didatangkan dari luar daerah seperti Maluku, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Penyediaan dan pengadaan bibit saat ini sangat tergantung pada kemampuan seluruh stakeholder peternakan baik masyarakat peternak, koperasi, swasta maupun pemerintah daerah melalui kegiatan pembibitan yang lebih terarah. Program pembibitan ternak di provinsi Maluku Utara pada tahun 2007 telah dibangun taman ternak di kawasan Oba Utara, kota Tidore Kepulauan seluas 50 ha dan pendirian Balai Benih ternak di kecamatan Bacan kabupaten Halmahera Selatan, dan saat ini sedang dikembangkan wilayah Agribisnis Model di kecamatan Makian kebupaten Halmahera Selatan sebagai model agribisnis kambing provinsi Maluku Utara. Pengadaan dan penyebaran bibit kambing oleh pemerintah sebesar 8.9% diarahkan untuk pemberdayaan kelompok ternak sebagai upaya restocking
76
(pemulihan) ternak akibat konflik horizontal yang dapat memberikan kombinasi bagi penanganan gizi buruk dan wilayah potensial pengembangan peternakan serta masyarakat
miskin
pedesaan.
Pemberdayaan
pola
ini
dilakukan
dengan
mengupayakan penggunaan sumberdaya lokal terutama peternak sedangkan bibit ternak unggul masih didatangkan dari luar daerah dalam rangka mempercepat pengembangan peternakan namun tetap mengutamakan intensifikasi bibit unggul lokal, untuk mencapai hal ini dilakukan langkah-langkah sinergi pada aspek hulu.
Motivasi Beternak Kambing Macam-macam alasan yang dikemukakan responden yang menggambarkan motivasi peternak dalam usahanya beternak kambing seperti tercantum pada Tabel 21. Motivasi sebagian besar (40.28%) beternak kambing adalah sebagai usaha sampingan untuk menambah pendapatan. Pada umumnya peternak di wilayah ini mempunyai usaha utama adalah berkebun. Jadi disamping menunggu hasil panen perkebunan seperti kelapa, coklat, cengkih dan pala, petani memelihara beberapa ekor ternak. Ada 112 petani peternak (26.23%) yang menyatakan bahwa beternak kambing adalah sebagai tabungan hidup bagi keluarga. Tabungan hidup ini terasa sangat penting untuk biaya anak sekolah, dan untuk simpanan modal simpanan modal, yang lama kelamaan menjadi lebih besar.
77
Tabel 21 Motivasi pemeliharaan kambing di Maluku Utara.
Motivasi Sebagai tabungan Sebagai usaha sampingan Pemeliharaannya mudah Karena sumber makanan banyak Karena kesenangan (hoby)
Jumlah peternak
Persentasi masingmasing alasan dari jumlah peternak (%)
112 172 90 35 15
26.23 40.28 21.08 8.2 3.5
Untuk penyediaan pupuk
3
0.7
Total Sumber: Data olahan 2007.
427
100
Sebagian besar petani sawah yang berada di kecamatan Wasilei dan Wasilei Timur kabupaten Halmahera Tengah beralasan karena sumber limbah pertanian yang melimpah (8.2%) dan hanya 3 peternak (0.70%) yang memanfaatkan kotoran ternak kambing sebagai pupuk bagi tanaman sayur dan hortikultura lainnya yang dimiliki. Dari 427 responden, selain memelihara kambing mereka juga memelihara ternak lain yaitu sapi, ayam dan itik. Umumnya bagian besar menyukai ternak kambing (44.5%), sapi (18.7%), ayam (16.6%), itik (0.9%). Ada juga dari responden yang menyukai semua ternak (1.2%). Sebagian kecil responden menyukai lebih dari satu jenis ternak seperti kambing dan ayam (8.9%), kambing dan sapi (4.4%), sementara yang menyukai kambing dan itik (1.4%). Beberapa alasan yang disampaikan atas kesukaan mereka terhadap ternak kambing adalah pemeliharaannya yang mudah dan cepat berkembangbiak. Tabel 22 menunjukkan jumlah peternak dan persentase kesukaan terhadap ternak tertentu.
78
Tabel 22 Komoditas ternak yang disukai peternak Ternak yang disukai
Jumlah peternak
Jumlah peternak dan persentasi yang menyukai ternak tertentu (%)
Kambing
190
44.5
Sapi
80
18.7
Ayam
76
17.8
Itik
4
0.9
Kambing dan Ayam
38
8.9
Kambing dan Sapi
19
4.4
Kambing dan Itik
6
1.4
Sapi dan Ayam
1
0.2
Semua Ternak
2
0.5
Tidak Menjawab
11
2.6
Total
427
100
Sumber : Data Olahan, 2007
Alokasi Waktu Memelihara Kambing Sistem pemeliharaan kambing masih berpola tradisional, umumnya peternak melepaskan kambing pada pagi hari dan memasukannya ke kandang pada malam hari. Tidak seorang peternakpun yang mengkandangkan ternak kambing seharian. Umumnya mereka melepaskan kambing pada jam 9 pagi dan mencari/menggiring ternak ke kandang pada jam 6 sore. Lama waktu pelepasan kambing bervariasi, namun 244 peternak (57.1%) mengembalakan ternaknya selama 9 jam. Ada satu orang peternak yang menggembalakan ternak kambingnya selama 5 jam yaitu dari jam 12.00 siang sampai jam 5.00. Sementara ada satu orang peternak yang melepaskan kambingnya pada jam 6 pagi sampai 5 sore, yang artinya menggembalakan ternaknya selama 11 jam. Lama waktu penggembalaan ini dapat dilihat pada Tabel 23.
79
Tabel 23. Lama waktu penggembalaan ternak kambing. Lama waktu pengembalaan(Jam) Jumlah 0 5 6 7 8 9 10 11 12 24 Total Sumber : Data Olahan,2007
peternak 20 1 39 17 39 244 1 9 30 27 427
Persentasi (%) 4.7 0.2 9.1 4 9.1 57.1 0.2 2.1 7 6.3 100
Dari Tabel 24 terlihat juga bahwa ada (27 peternak) yang melepaskan kambing siang dan malam tanpa kandang pada malam hari. Ternak dibiarkan tidur di emperan rumah. Mereka mengontrol ternaknya pada pagi dan sore hari, dengan cara memberikan makanan sisa rumah tangga ataupun limbah pertanian.
Sikap Peternak dalam Kegiatan Pemuliaan Kegiatan pemuliaan ternak pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan mutu genetiknya. Peningkatan performan yang disebabkan perubahan genetik pada umumnya bersifat permanen. Peningkatan mutu genetik yang terjadi pada generasi tertentu bersifat aditif terhadap total peningkatan mutu genetik yang diperoleh dari generasi sebelumnya. Dengan demikian peningkatan mutu genetik yang diperoleh bersifat kumulatif. Apabila pada program seleksi yang menghasilkan peningkatan mutu genetik tidak diteruskan, peningkatan mutu genetik yang diperoleh pada generasi tersebut pada umumnya tidak hilang tapi performanya bertahan pada generasi tersebut. Pengetahuan serta pemahaman ini perlu mendapat perhatian dari peternak sehingga mereka memiliki sikap positif terhadap kegiatan pemuliaan, selanjutnya mereka termotivasi untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemuliaan tersebut.
80
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa skor identifikasi sikap peternak dalam kegiatan pemuliaan seperti tercantum pada Tabel 24. Tabel 24. Skor sikap peternak dalam kegiatan pemuliaan Kelompok Peternak Ternate
Uraian Pengetahuan 29.03c
Motivasi
±4.62
31.50c
±3.87
b
±2.33
Partisiapasi 25.16d
±3.30
26.72
b
Halteng
26.37
b
±3.74
30.50
±2.33
23.23
±3.46
Haltim
24.44a
±4.15
28.87a
±2.16
21.51a
±2.64
Tidore
Halsel
25.31
ab
Halbar
25.05ab
Halut Sula
25.67
ab
25.80
ab
30.25
bc
±3.78
bc
30.69
±3.53
30.48bc
±3.33
bc
±3.56
30.92
a
28.07
±2.42
cd
±3.28
bc
24.23
±2.53
ab
22.60
±2.98
±2.43
22.50ab
±3.00
±2.36 ±2.44
d
±2.67
ab
±3.18
25.28 22.46
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) Duncan test (Halteng=Halmahera Tengah; Haltim=Halmahera Timur; Halsel= Halmahera Selatan; Halbar= Halmahera Barat; Halut=Halmahera Utara)
Tabel 24 menunjukkan bahwa pengetahuan peternak pada masing-masing wilayah sebagian besar berada pada kisaran angka 25 dan 29 dari skor minimum 10 dan maksimum 50 yang artinya mendekati klasifikasi cukup baik. Skor tertinggi adalah kelompok peternak yang berada di kota Ternate (29.03) dan yang terendah di Halmahera Timur (24.44) yang mendekati klasifikasi jelek. Hasil uji Duncan (Lampiran 4.1) menunjukkan bahwa ada tiga kelompok perbedaan pengetahuan peternak. Kelompok peternak yang berada di Halmahera Selatan, Halmahera Barat, Halmahera Utara, dan Kepulauan Sula secara statistik tidak berbeda nyata (p>0,05). Pengetahuan kelompok peternak di kota Tidore dan Halmahera Tengah juga tidak berbeda nyata (p>0,05). Perbedaan secara statistik dalam hal pengetahuan kelompok peternak ditemukan antara kelompok peternak yang berada di wilayah kota Ternate dengan kelompok peternak yang berada di Halmahera Timur (p<0,05). Umumnya peternak telah memiliki pengetahuan tentang gejala-gejala birahi pada seekor ternak dan mereka juga mengetahui terjadinya perkawinan inbreeding
81
yang berdampak jelek pada keturunan kambing mereka, tujuan pemuliaan, kriteria seleksi untuk pejantan dan bahkan manfaat pencatatanpun pada umumnya diketahui oleh peternak. Namun pencatatan/recording tidak pernah dilakukan oleh hampir semua responden karena tidak tahu cara memulainya dan sebagian besar menjawab lupa. Motivasi peternak termasuk katagori cukup baik karena memiliki skor dalam kisaran 28 sampai 31 dari skor minimum 10 dan maksimum 50. Hasil uji Duncan (Lampiran 4.2) menunjukkan bahwa motivasi peternak yang berada di wilayah kota Ternate berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan wilayah lainnya dan memiliki skor motivasi tertinggi (31,50), begitu juga dengan motivasi yang dimiliki peternak di kota Tidore berbeda nyata (p<0,05) dengan motivasi peternak di wilayah lainnya dengan skor (30,25) urutan ke dua tertinggi setelah Ternate. Motivasi peternak di wilayah Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Halmahera Barat dan Halmahera Utara secara statistik tidak berbeda nyata (p>0,05) dan berada pada katagori cukup baik. Skor terendah dimiliki oleh peternak di Halmahera Timur dan Kepulauan Sula yang masing-masing 28,87 dan 28,07. Rendahnya motivasi peternak di Maluku Utara karena mereka belum memahami secara baik tujuan dari peningkatan mutu genetik ternak kambing. Sebagian besar peternak belum memiliki motivasi yang kuat untuk ikut dalam kelompok. Kalau mereka tergabung dalam suatu kelompok bukan karena keinginan sendiri sehingga terkesan ada keterpaksaan dengan iming-iming ada bantuan dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, dalam hal mencari sumber informasi, pengetahuan dan teknologi, tidak ada upaya sendiri dari peternak untuk mendapatkannya. Mereka hanya bersifat pasif dan menunggu. Pemerintah setempat juga tidak memiliki upaya untuk mendorong dan memotivasi peternak dalam bentuk program/kegiatan yang menarik peternak dalam hal prilaku pemuliaan di daerahnya. Philipsson dan Rege (2002) mengemukakan bahwa partisipasi petani memegang peranan penting dalam pengembangan program pemuliaan yang berkelanjutan. Keberhasilan program pemuliaan tidak hanya ditentukan oleh model pola pemuliaan, tetapi kesesuainnya dengan sistem usaha ternak dan keterlibatan
82
peternak. Program pemuliaan yang gagal biasanya direncanakan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan kebutuhan peternak serta akibat jangka panjang dari kegiatan tersebut. Program yang berhasil harus sederhana, pragmatis dan biayanya murah (Kosgey 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi peternak dalam kegiatan pemuliaan di Maluku Utara masuk dalam katagori rendah dengan kisaran skor 21 sampai 25 dari skor minimum 10 dan maksimum 50. Skor tertinggi untuk peternak di Halmahera Utara (25,28) dan Ternate (25,16) yang berdasarkan uji Duncan (Lampiran 4.3) tidak berbeda nyata (p>0,05). Kemudian berturut-turut diikuti oleh kota Tidore (24,23), Halteng (23,23), Halsel (22,60), Halbar (22,50), Sula (22,46) dan skor terendah adalah Haltim (21,51) yang secara statistik berbeda nyata (p<0,05) dari wilayah lainnya. Rendahnya partisipasi peternak dalam hal pemuliaan di Maluku Utara disebabkan karena peternak tidak ikut dalam merencanakan kegiatan kelompok, tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi secara kontinyu dan penyebaran informasi secara menyeluruh ke setiap kelompok peternak sehingga berdampak pada partisipasi mereka yang rendah.
83
Karakterisasi Genetik Ternak Kambing DNA Total Tujuhpuluh dua DNA yang diisolasi dari sampel darah kambing dikoleksi dari enam pulau di provinsi Maluku Utara masing-masing pulau Ternate, Jailolo, Bacan, Sofifi, Morotai dan Sanana mulai Januari - April 2007.
Peta lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 11. Setiap sampel darah dilengkapi dengan informasi: spesies, sex, tanggal sampling, lokasi sampling, GPS (geografi position system) dapat dilihat pada Lampiran 5.
Hasil koleksi darah dibawa ke laboratorium genetika bidang
Zoologi Puslit Biologi-LIPI untuk dilakukan analisis DNA. Jumlah koleksi sampel darah kambing disajikan pada Tabel 25.
Lokasi Penelitian
Gambar 11 Peta lokasi pengambilan sampel darah kambing.
84
Tabel 25 Jumlah koleksi sampel darah kambing No
Lokasi/pulau
Nama ID
1 2 3 4 5 6
Bacan Jailolo Morotai Sanana Sofifi Ternate
Pbn Pjo Pmi Psn Psf Pte
Jumlah Sampel 11 12 11 13 14 12
Semua DNA total hasil isolasi dielektroforesis pada gel agarose 1% kemudian diuji kualitas dan kuantitas DNA total sebelum dilakukan amplifikasi PCR. DNA total hasil isolasi tersebut digunakan sebagai DNA cetakan untuk amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil isolasi dan pengukuran kualitas DNA total disajikan pada Gambar 12 dan 13.
.
Gambar 12 DNA Total yang diekstraksi dari darah kambing yang diambil dari Kota Ternate.
Gambar 13
DNA Total yang diekstraksi dari darah kambing yang diambil dari Halbar.
85
Hasil visualisasi di atas menunjukkan bahwa material DNA yang diperoleh berhasil diekstraksi DNAnya dengan sempurna, dimana DNA tersebut mengandung DNA mitokondria yang ditujukan oleh pita bagian bawah sedangkan DNA inti ditujukan pada pita bagian atas (di dalam sumur). Hasil visualisasi DNA berupa pita ada yang tajam dan sebagian kurang tajam, oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran konsentrasi molekul DNA.
Pengukuran Tingkat Kemurnian Molekul DNA Hasil pengukuran tingkat kemurnian DNA hasil ekstraksi dan purifikasi dengan cara spektrofotometri (Beckman DU 650) dari masing-masing kabupaten/kota dapat di lihat pada Tabel 26. Tabel 26 Rata-rata pengukuran tingkat kemurnian molekul DNA. Pulau
Rasio OD260/ OD280
Bacan
1.894
± 0.13
Jailolo
1.753
± 0.09
Morotai
1.751
± 0.11
Sanana
1.825
± 0.19
Sofifi
1.838
± 0.27
Ternate
1.828
±0.11
Sumber: Data Olahan 2007.
Dengan rata-rata rasio OD260/ OD280 sebesar 1.815, DNA tersebut dapat dikatakan murni untuk analisis lebih lanjut.
Amplifikasi Daerah D-loop
Amplifikasi daerah D-loop pada kambing dilakukan dengan menggunakan sepasang primer 15388F dan CD-774R. Amplifikasi dengan PCR tersebut menghasilkan fragmen DNA kambing berukuran 839 bp, terdiri atas 48 bp tRNApro pada posisi basa ke-18 sampai dengan 66 (15294-15794) dan 24 bp fragmen tRNAphe pada posisi ke-1 sampai dengan 54. Ilustrasi letak penempelan pasangan primer 15388F dan CD-774R pada daerah D-loop kambing disajikan dalam Gambar 14.
86
15388F 24bp
CD-774R 24bp
tRNAPro 48 bp 48 bp
tRNAPhe
Teramplifikasi 839 bp 54 bp
Gambar 14 Sketsa letak penempelan primer 15388F dan CD-774R untuk mengamplifikasi fragmen daerah D-loop kambing (48 bp dari sekuen tRNApro dan 54 bp dari tRNAphe ikut teramplifikasi). Keberhasilan amplifikasi pada daerah D-loop sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA selain faktor-faktor bahan pereaksi PCR dan mesin PCR yang digunakan. Dari hasil analisis PCR terhadap seluruh sampel yang dikoleksi menunjukkan bahwa sampel-sampel tersebut dapat diamplifikasi dengan jelas seperti disajikan pada gambar 15 dan 16.
839 bp
Gambar 15 Amplifikasi hasil PCR DNA mitokondria dari koleksi darah kambing Kota Ternate dan pulau Jailolo.
839 bp
Gambar 16 Amplifikasi Hasil PCR DNA mt dari darah kambing yang di koleksi dari daerah pulau Bacan dan Sofifi.
87
Penentuan Daerah D-loop Parsial dan Keragaman Runutan Nukleotida
Hasil PCR produk dengan pita yang sangat jelas dipilih sebanyak 73 sampel dari enam pulau masing-masing pulau Jailolo, Pjo (n=12), pulau Bacan, Pbn (n= 11), pulau Sanana, Psn (n=13), pulau Ternate, Pte (n=12), pulau Morotai, Pmi (n=10), dan pulau Sofifi, Psf (n=14) untuk disekuen. Hasil sekuen disejajarkan dengan runutan mt DNA Capra hircus dari GenBank (Nomor Akses AY853301) ; Zhang H.P et al. 2004 sebagai acuan, diperoleh ukuran parsial 780 bp daerah D-loop yang dapat dianalisis dari arah forward. Sebelum 780 bp dari arah 15388F ada sepanjang 10 bp yang tidak jelas hasilnya sehingga tidak digunakan. Begitu juga dengan ukuran sepanjang 103 bp arah primer CD-774R juga tidak dapat digunakan karena tidak jelas hasilnya (Gambar 17). 15388F 24bp
D-loop utuh 1212 bp (Genbank
CD-774R 24bp
Teramplifikasi 839 bp 10 bp
780 bp
103 bp
Gambar 17 Sketsa daerah D-loop parsial hasil perunutan dengan menggunakan program Clustalx sehingga hanya berukuran 780 bp yang dipakai untuk analisis keragaman genetik pada ternak kambing kacang di Maluku Utara. Berdasarkan ukuran runutan nukleotida parsial sepanjang 780 bp yang dapat dianalisis, hasil pensejajaran runutan nukleotida kambing kacang dari masing-masing pulau dengan komposisi nukleotida daerah D-loop masing-masing pulau disajikan pada Tabel 27 dan diagram batangnya pada Gambar 18.
88
Tabel 27 Rataan frekuensi nukleotida daerah D-loop parsial di lokasi penelitian (%). Pulau
N
T(U)
C
A
G
A+T
C+G
Bacan
11
27.25
25.95
33.24
13.58
60.49
39.54
Jailolo
12
27.2
25.96
33.53
13.33
60.73
39.29
Morotai
10
27.07
26.03
33.1
13.82
60.17
39.85
Sanana
13
27.17
25.93
33.48
13.43
60.65
39.36
Sofifi
14
27.21
25.92
33.04
13.86
60.24
39.79
Ternate
12
27.23
25.82
33.38
13.6
60.61
39.42
Sumber: Data olahan 2007
Gambar 18 Diagram batang komposisi nukleotida dari lokasi penelitian.
Perbedaan frekuensi nukleotida tertinggi untuk basa T yaitu antara pulau Bacan dan Morotai sebesar 0.18% sedangkan yang terendah adalah Jailolo dan Sofifi sebesar 0.01%. Untuk frekuensi nukleotida C tertinggi antara Morotai dan Jailolo sebesar 0.21% dan terendah Jailolo dan Bacan sebesar 0.01%. Nukleotida A tertinggi antara pulau Sofifi dengan Jailolo sebesar 0.49% dan terendah antara pulau Morotai dan Sofifi (0.06%). Frekuensi nukleotida G tertinggi antara pulau Sofifi dan Jailolo (0.63%) dan terendah antara pulau Ternate dan Bacan (0.02%) Lampiran 8.
89
BN-1-15388_forward.ab1 Run Ended: 2008/2/21 13:19:4 Signal G:486 A:706 C:881 T:895ample: PBN-1_15388_forward Lane: 80 Base spacing: 14.63 847 bases in 10202 scans Page 1 of 2
Gambar 19 Hasil Sekuensing daerah D-loop mitokondra DNA Kambing Kacang untuk pulau Bacan produk PCR dengan primer 15388F
90
Polymorfisme DNA Mitokondria Tujuh puluh dua produk PCR berhasil disekuen dengan menggunakan primer 15388F. Sekuen fragmen DNA sepanjang 780 basa di daerah D-loop dianalisis. Hasil analisis (Gambar 20) menunjukkan bahwa pada ternak kambing dari enam pulau ditemukan 41 haplotipe (tipe sekuen) yang teridentifikasi pada 53 tempat terjadinya polimorfik (variable site).
Gambar 20 Komposisi haplotipe dari lokasi penelitian
91
Keragaman banyak terjadi mulai di daerah pertengahan dari sekuen basa nukleotida D-loop. Frekuensi keragaman tertinggi (sangat polymorfik) terjadi pada basa ke 100-199 (18.86%) dan basa ke 600-699 (18.86%) dan yang terendah pada panjang sekuen 0-99 (3.77%). Jumlah haplotipe pada masing-masing pulau disajikan pada Tabel 28 dan distribusi variasi sekuennya pada Gambar 21.
Gambar 21 Distribusi variasi sekuen
Tabel 28 Jumlah haplotipe yang ditemukan pada enam pulau di Maluku Utara Populasi Pbn Pjo pmi psf
N Sampel 11 12 10 14
N Haplotype 9 8 8 11
Haplotype 1 1 2 4
2 2 3 9
10 4 17 11
11 9 24 15
13 13 31 16
14 18 32 20
19 29 36 23
34 35 41 37 27 30 39 40
psn 13 8 2 5 6 8 12 25 33 38 5 6 7 21 22 26 30 pte 12 9 1 2 Keterangan: pbn=pulau bacan ;Pjo=pulau jailolo; pmi=pulau morotai ; psf=pulau sofifi; psn=pulau sanana; pte=pulau ternate
Indeks keragaman haplotipe dan nukleotida dari masing-masing pulau dapat di lihat pada Tabel 29.
92
Tabel 29 Indeks keragaman haplotipe Lokasi/Populasi Pbn Pjo Pmi
Keragaman Haplotype 0.141 0.139 0.140
Keragaman Nukleotida 0.014 0.015 0.013
Psf 0.089 0.017 Psn 0.160 0.017 Pte 0.125 0.015 Keterangan: pbn=pulau bacan ;Pjo=pulau jailolo; pmi=pulau morotai ; psf=pulau sofifi; psn=pulau sanana; pte=pulau ternate
Tabel 29 di atas menunjukkan bahwa indeks keragaman haplotipe dan nukleotida tertinggi terdapat di pulau Sanana, sedangkan keragaman haplotipe terendah di pulau Sofifi dan keragaman nukleotida terendah di pulau Morotai, kemudian berturut-turut pulau Bacan, pulau Jailolo dan pulau Ternate. Parameter yang umum digunakan untuk menggambarkan variasi genetik adalah keragaman nukleotida. Keuntungan menggunakan parameter ini adalah tidak tergantung pada besarnya sampel dan panjang DNA (Hart and Clark 1989). Menurut Nei (1987) besarnya keragaman nukleotida berdasarkan publikasi yang ada umumnya antara 0.002 sampai 0.019. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keragaman nukleotida masuk dalam kategori tinggi. Informasi ini sangat penting untuk memprediksi keadaaan populasi ternak kambing di wilayah Maluku Utara. Aplikasi penanda DNA ini akan memberikan kesempatan lebih jelas untuk mengamati struktur populasi. Hal ini disebabkan analisis DNA merupakan indikator yang akurat untuk melihat dinamika dan struktur populasi (Avise et al., 1987; Hishe et al., 1998).
Jarak Genetik Ternak Kambing di Maluku Utara
Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik ternak yang dipelihara di pulau yang berbeda. Melalui penggunaan analisis perhitungan Pairwise Distance Calculation dengan model 2 Parameter Kimura, dapat ditunjukkan matriks perbedaan genetik kambing antar pulau. Jarak genetik model ini
93
mengukur banyaknya perbedaan nukleotida per pasangan yang mempertimbangkan tingkat subtitusi transisi dan transverse (Tabel 30). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai jarak genetik berkisar antara 0.0113 sampai 0.0217 dengan rataan nilai jarak secara keseluruhan 0.018. Jarak genetik tertinggi 0.0217 pada ternak kambing dari pulau Morotai dan pulau Sofifi, kemudian masing-masing dari yang tertingi ke rendah adalah Pulau Morotai dengan pulau Sanan, pulau Morotai dan pulau Bacan yang sama dengan Ternate (0.207). Kedekatan hubungan beberapa populasi kambing lokal kemungkinan karena ada aliran gen yang terjadi akibat letak geografis pulau-pulau yang saling berdekatan seperti pulau Ternate dan Jailolo maupun antara pulau Sofifi dengan Jailolo. Sedangkan hubungan yang sangat jauh karena posisi pulau yang berjauhan antara Morotai dan Sanana maupun Morotai dan Bacan. Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada rekonstruksi pohon filogeni dengan menggunakan metode Neighbor joining (NJ) yang merupakan suatu metode yang didasari pada prinsip pengelompokkan taksa berdasarkan nilai jarak evolusioner pasangan-pasangan operational taxonomy unit.
Tabel 30. Matriks jarak genetik AY85330 PJO PBN PSN PTE PMI PSF AY85330 0 Pjo 0.0113 0 Pbn 0.0145 0.0151 0 Psn 0.0156 0.0156 0.0184 0 Pte 0.0152 0.0147 0.0178 0.0173 0 Pmi 0.0184 0.0194 0.0207 0.0215 0.0207 0 Psf 0.0184 0.0166 0.0183 0.0190 0.0181 0.0217 0 Keterangan: Pjo=pulau jailolo; pbn=pulau bacan; psn=pulau sanana; pte=pulau ternate; pmi=pulau morotai; psf=pulau sofifi
94
Hubungan Kekerabatan Ternak Kambing Proses domestikasi kambing sangat terdokumentasi dengan baik. Bukti arkeologis pertama berkisar tahun 8 500 – 7 900 SM pada pegunungan Zagaros (Zeder 2005) dan nenek moyang liarnya adalah Bezoar, Capra aegragus (Fernendez et al., 2005; Luikart et al., 2006). Karakteristik utama dari polimorfis mitokondria DNA kambing adalah variasi tipe haplotipe yang besar dan struktur filogeografis yang sangat lemah diantara dataran, hanya dengan 10% terletak diantara dataran, dengan asumsi aliran gen historis yang tinggi diantara dataran (Luikart et al., 2001). Studi DNA terkini memperkirakan bahwa aliran gen yang tinggi telah terjadi selama ekspansi Neolitik di Eropa sampai Asia Tenggara (Fernendez et al., 2006). Hingga kini ada lima kelompok haplotipe yang berbeda telah ditemukan untuk jenis kambing salah satunya adalah Capra hircus (Gambar 22).
Gambar 22 Philogeni dengan menggunakan Neighbour-joining versi MEGA 3.1 dari 1813 sekuen nukleoitda daerah D-loop mitokondria DNA menunjukkan ada 5 kelompok haplotipe (A,B,C,D,F). A adalah sekuen dari Capra hircus (Luikart et al., 2001; Sultana et al. 2003; Joshi et al., 2004; Azor et al. 2005;Li et al., 2006; Liu et al., 2007)
Hubungan kekerabatan antara ternak-ternak kambing di beberapa pulau di Maluku Utara telah dilakukan berdasarkan perbandingan sekuens sepanjang 780 nt
95
yang menyusun D-loop parsial. Pengelompokan ternak kambing berdasarkan jarak genetik
dengan Metode Neighbor-Joining (Nei 1987) dalam program Mega 4.0
(Tamura et al. 2007). Persentasi pengulangan pohon phylogeny di mana kelompok ternak kambing yang berhubungan diklasterkan bersama-sama dalam uji boostrap (1000 kali pengulangan), diperlihatkan di dekat cabang filogeni (Felenstein 1985). Jarak genetik dihitung dengan metode 2 parameter Kimura (Kimura 1980) dan di dalam unit-unit dari banyaknya subtitusi basa per lokasi. Semua posisi yang mengandung data senjang (gap) dieliminasi. Hasilnya menunjukkan bahwa populasi ternak kambing yang diteliti tidak terbagi dalam posisi yang berbeda, semuanya menyebar merata dalam kluster namun ada beberapa populasi dalam pulau yang berbeda berkumpul dalam satu kluster. Dari hasil analisis filogeni kelompok haplotipe pada Gambar 23 menunjukkan bahwa kambing kacang (Capra hircus) di Maluku Utara terbagi dalam dua kelompok (cabang besar) yaitu bagian atas dari cabang filogeni terdapat haplotipe (2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29) dan kelompok haplotipe yang ke dua terdapat pada bagian bawah cabang filogeni yaitu haplotipe ( 1, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41). Untuk analisis sekuen
secara
keseluruhan
ditunjukan
pada
Gambar
24.
Hasil
analisis
mengindikasikan bahwa aliran gen terjadi di semua wilayah penelitian sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan kekerabatan jenis kambing di Maluku Utara, namun demikian ada beberapa sampel kambing yang berada di pulau Ternate dan pulau Sanana selalu berada dalam kluster yang sama, begitu juga dengan ternak kambing di pulau Sofifi dan Jailolo. Sementara Pulau Morotai memiliki kelompok yang sangat berbeda, namun ada juga beberapa individu ternak kambing dari pulau Morotai yang berada dalam kelompok kambing Ternate, Sofifi dan Jailolo. Secara umum dapat dikatakan bahwa telah terjadi aliran gen pada ternak kambing yang dipelihara di pulau berbeda sehingga ada indikasi bahwa secara geografis perbedaan pulau bukan merupakan pembatas di Maluku Utara. Menurut Avise (1997) bahwa analisis filogeografi dapat membuktikan hubungan dekat antara populasi demografi dan genetik.
96
Gambar 23 Neighbour-joining dari mtDNA haplotipe jenis kambing kacang di Maluku Utara.
97
Gambar 24 Phylogeni (Neighbor Joining tree) dari 72 sampel kambing kacang pada 6 pulau di Maluku Utara.
98
Karakterisasi Fenotipe Kuantitatif
Pengelompokan ternak kambing berdasarkan ukuran tubuh dimaksudkan untuk melihat hubungan kekerabatan dan faktor peubah pembeda antar populasi berdasarkan penyebaran antar pulau yang dianalisis dengan fungsi diskriminan dan analisis korelasi kanonik ukuran-ukuran morfometrik tubuh. Sepuluh karakter morfometrik yang diukur (tinggi pundak, panjang badan, lebar dada, lingkar dada, dalam dada, panjang pinggul, lebar pinggul, panjang tengkorak, lebar tengkorak dan lingkar kanon) pada masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Tabel 31. Berdasarkan analisis keragaman (Lampiran 9), sepuluh karakter morfometrik yang diukur berbeda nyata (p < 0,05) untuk setiap lokasi penelitian. Untuk ukuran tinggi pundak (TP), pulau Ternate (PTE) memiliki rataan tertinggi (56,46 cm) dibandingkan dengan pulau lainnya, dan terendah adalah kambing yang berada di pulau Sofifi (PSF). Pulau Bacan (PBN) memiliki ukuran tertinggi (61,74 cm) untuk ukuran panjang badan (PB) dan yang terendah berada di pulau Ternate (56,88 cm). Ukuran lebar dada tertinggi (16,34 cm) di pulau Morotai (PMI) dan terendah (15,40 cm) kambing di pulau Sofifi. Untuk ukuran Lingkar dada (LKRD) tertinggi dimiliki kambing yang berada di pulau Morotai (62,13 cm) dan terendah di pulau Sofifi (58,88 cm). Ukuran tertinggi dalam dada (DD) dimiliki ternak kambing yang berada di pulau Morotai (31,08) dan terendah di pulau Sofifi (29,14 cm). Panjang pinggul (PP) dan lebar pinggul (LP) tertinggi (16,57 cm dan 13,88 cm) di pulau Sanana (PSN) dan terendah di pulau Ternate (15,70 cm dan 13,15 cm). Ukuran panjang tengkorak (PT) dan lebar tengkorak (LBRT) tertinggi terdapat di pulau Morotai (18,92 cm) dan di pulau Sanana (13,55 cm) sedangkan terendah di pulau Ternate (16,40 cm) dan pulau Jailolo (9,69 cm). Dan untuk ukuran lingkar kanon (LK) tertinggi berada di pulau Jailolo (8,08 cm) dan terendah dimiliki ternak kambing di pulau Ternate (7,13 cm). Hasil uji lanjut dengan menggunakan test Duncan disajikan pada Tabel 31.
99
Tabel 31. Rataan ± simpangan baku beberapa ukuran tubuh ternak kambing di lokasi penelitian. Ukuran Tubuh (cm) TP PB LBRD LKRD DD PP
PTE
PSF
56.46c a
56.88 15.63
b
ab
59.58
b
29.67
15.70
a
±2.16
55.56a
±2.65
bc
±0.73 ±3.04 ±1.22 ±0.55
LP
a
13.15
±0.45
PT
16.40a
LBRT LK
cd
13.04
a
7.13
PJO
59.83
a
15.40
a
58.88
a
29.14
a
15.88
ab
±1.90
17.78c
±1.93
de
±0.80
13.36
13.48
c
7.74
PMI
±1.99
56.01abc
±2.45
c
±0.79 ±2.90 ±1.35 ±0.58
60.25
c
16.00
c
60.95
c
30.47
a
15.93
±0.48
ab
13.35
±1.71
17.31b
±2.02
a
±0.48
9.69
c
8.08
PBN
±3.27
55.85ab
±2.21
b
±0.81 ±3.03 ±1.52 ±0.62
59.17
c
16.34
d
62.13
d
31.08
a
15.99
±0.52
b
13.44
±1.22
18.92d
±1.77
b
±0.57
10.34
c
7.83
PSN
±1.58
56.19bc
±1.92
e
±0.64 ±2.41 ±1.20 ±1.43
61.74
c
16.19
b
60.16
c
30.19
a
15.96
±1.88
55.82ab
±1.56
±3.67
d
±3.01
b
±0.69
a
±2.56
ab
±1.28
b
±1.80
c
±0.86 ±2.18 ±2.38 ±1.01
61.00 15.72
59.00 29.52
16.57
±1.19
ab
13.35
±0.85
13.88
±1.50
±1.40
17.57bc
±1.73
17.28b
±1.95
±1.60
c
±1.49
e
±2.09
c
±0.64
±0.45
12.83
b
7.48
±0.59
13.55
7.68
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (p<0,05) (PTE=pulau ternate; PSF=pulau sofifi; PJO=pulau jailolo; PMI=pulau morotai; PBN=pulau bacan; PSN=pulau sanana); SB= simpangan baku; TP=tinggi pundak; PB=panjang badan; LBRD=lebar dada; LKRD=lingkar dada; DD= dalam dada; PP= panjang pinggul; LP= lebar pinggul; PT= panjang tengkorak; LBRT= lebar tengkorak; LK= lingkar kanon.
100
Jarak Genetik Matriks jarak genetik ternak kambing antar pulau di Maluku Utara disajikan pada Tabel 32 (Lampiran 10), yang selanjutnya digunakan untuk membuat konstruksi pohon fenogram (Gambar 25). Pohon fenogram tersebut menggambarkan jarak genetik keseluruhan ternak kambing yang berada di enam pulau sebagai lokasi penelitian. Berdasarkan jarak genetiknya ternak kambing yang berada di pulau Bacan dan Sanana memiliki jarak genetik yang terkecil (1.3), kemudian diikuti ternak Sanana dan Sofifi (2.07), dan berturut-turut dari yang terkecil ke yang terbesar; Jailolo-Morotai (2.22) Bacan dan Sofifi (4.1), Sofifi-Ternate (4.14), Sanan-Ternate (4.9), Bacan–Ternate (5.52), Morotai-Sofifi (5.71), Jailolo-Sofifi (6.02), BacanJailolo (6.54), Jailolo-Sanana (6.74), Morotai-Ternate (7.26), Jailolo-Ternate (7.36), Bacan-Morotai (7.57) dan jarak genetik yang terbesar adalah Morotai-Sanana (8.2)
Tabe 32 Matriks jarak genetik Pulau Bacan
Bacan
Jailolo 0
Morotai
Sanana
Sofifi
Ternate
6.54
7.57
1.3
4.1
5.52
0
2.22
6.74
6.02
7.36
0
8.2
5.71
7.26
0
2.07
4.9
0
4.14
Jailolo Morotai Sanana Sofifi Ternate
0
0.5700 0.5700
0.2200 0.3083 0.7900
0.2135 1.0983
0.7450 0.7450 0.5669 Gambar 25 Phylogeny berdasarkan morphometrik ternak kambing.
Sanana Sofifi Bacan Ternate Jailolo Morotai
101
Hasil analisis kanonik (Lampiran 11), menunjukkan adanya proporsi keragaman total ukuran-ukuran tubuh untuk komponen utama pertama sebesar 52.08% dengan canonical correlation sebesar 0.73, komponen utama kedua 24.13% dengan canonical correlation sebesar 0.59, dan komponen utama ketiga sebesar 13.93% dengan canonical correlation sebesar 0.49 dengan struktur total kanonik disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33 Struktur total canonic ukuran tubuh ternak kambing Ukuran Morfometrik
CAN1
CAN2
CAN3
CAN4
Tinggi pundak
-0.018
-0.101
-0.238
0.012
Panjang Badan
-0.128
0.820
0.017
-0.016
Lebar dada
0.312
0.279
-0.399
0.516
Lingkar dada
0.473
0.077
-0.218
0.372
Dalam Dada
0.431
0.140
-0.311
0.384
Panjang Pinggul
-0.094
0.246
0.066
-0.038
Lebar Pinggul
-0.078
0.236
0.108
-0.026
0.307
0.286
0.370
0.628
-0.847
-0.171
0.291
0.157
0.381
0.456
0.316
-0.354
52,08%
24,13%
13,93%
8,06%
0.720
0.582
0.478
0.385
Panjang Tengkorak Lebar Tengkorak Lingkar Kanon Keragaman Total Canonical Correlation
Dari Tabel 33 terlihat bahwa pada kanonik 1 diperoleh korelasi yang cukup tinggi pada peubah lebar tengkorak (LT) yaitu (-0.847) dan pada kanonik 2 peubah panjang badan (PB) sebesar 0.820. Namun terlihat bahwa pada kanonik 1 mempunyai kergaman total yang lebih kuat dibandingkan dengan kanonik 2. OLeh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Lebar Tegkorak dapat digunakan sebagai peubah pembeda antara ternak kambing di enam pulau yang dijadikan lokasi penelitian ini. Hal ini menjelaskan bahwa secara spesifik ternak kambing di enam pulau dapat dibedakan secara langsung dengan mengukur lebar tengkoraknya. Dengan demikian, suatu tindakan program pembibitan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan peubah-
102
peubah (ukuran morphometrik ternak) yang unggul dari masing-masing pulau di Maluku Utara.
Estimasi Kekerabatan Berdasarkan Morfometrik Hasil analisis Mahalanobis seperti terlihat pada Gambar 26, menunjukkan bahwa secara morfologis terlihat adanya garis pemisah yang bersinggungan antara ternak-ternak kambing dengan rata-rata nilai skor fungsi diskriminan untuk masingmasing kelompok tertentu. Berdasarkan keragaman total dan korelasi kanonikal pada Tabel 33, maka fungsi canonic1 dapat dijadikan sebagai garis pemisah untuk membedakan ukuran-ukuran tubuh di lokasi penelitian.
Fungsi Diskriminan Kanonik Pulau
4
1 Ternate 2 Sofifi 3 Jailolo 4 Morotai 5 Bacan 6 Sanana Group Centroid
2 5 3
6
2
0
Can 2
4 1
-2
-4
-6 -4
-2
0
2
4
Can 1
Gambar 26
Peta penyebaran kanonik di lokasi penelitian berdasarkan ukuran tubuh.
Hasil analisis kanonikal yang disajikan pada Gambar 26 menunjukkan bahwa populasi kambing berdasarkan wilayah penelitian dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar dari ukuran morfometrik. Kedua kelompok ini dipisahkan
103
berdasarkan fungsi kanonik 1 (Can1) yaitu kelompok di sebelah kanan adalah populasi kambing di pulau Ternate (group centroid 1), pulau Sofifi (group centroid 2), pulau Bacan (group centroid 5) dan pulau Sanana (group centroid 6) sedangkan kelompok yang lain berada di sebelah kiri garis canonical 1 yaitu populasi kambing di pulau Jailolo (group centroid 3) dan pulau Morotai (group centroid 4). Menduga hasil klasifikasi kelompok kekerabatan jenis kambing di masingmasing pulau, data disajikan pada Tabel 34. Hasil ini menunjukkan bahwa ternak kambing yang ada di pulau Bacan mempunyai kedekatan hubungan sebesar 18,9% dengan ternak kambing yang ada di pulau Sanana yang artinya bahwa ada 21 ekor anggota ternak kambing di pulau Bacan yang mempunyai ukuran tubuh sama dengan ternak kambing di pulau Sanana dan 17,5% kedekatan antara Sanana dan Bacan. Ukuran-ukuran tubuh yang memberikan kontribusi kesamaan karena tidak berbeda nyata seperti yang ditunjukkan pada Tabel 33 adalah panjang badan (PB) dan lebar tengkorak (LBRT).
Tabel 34. Klasifikasi hasil pengelompokan populasi kambing berdasarkan ukuran tubuh. Pulau 1 Jumlah
%
Prediksi anggota kelompok 2 3 4
Total 5
6
1 2 3 4
90 8 6 8
8 63 8 4
5 13 94 13
5 15 10 97
6 5 1 1
5 15 1 1
119 119 120 124
5 6
12 9
13 18
3 7
2 6
60 21
21 59
111 120
1 2 3
75.6 6.7 5
6.7 52.9 6.7
4.2 10.9 78.3
4.2 12.6 8.3
5 4.2 0.8
4.2 12.6 0.8
100 100 100
4 6.5 3.2 10.5 78.2 0.8 0.8 100 5 10.8 11.7 2.7 1.8 54.1 18.9 100 6 7.5 15 5.8 5 17.5 49.2 100 Keterangan : 1 = pulau Ternate; 2= pulau Sofifi; 3= pulau Jailolo; 4= pulau Morotai; 5 = pulau Bacan; 6. = pulau Sanana.
104
Hubungan kekerabatan yang besar juga ditunjukkan oleh jenis kambing yang berada di pulau Morotai dan Jailolo (18,8%) yaitu ada 10 ekor (8,3%) ternak kambing di Jailolo yang mempunyai ukuran tubuh yang sama dengan di pulau Morotai dan 13 ekor (10,5%) yang ada di pulau Morotai sama dengan di pulau Jailolo. Ukuran tubuh yang memberikan kontribusi kedekatan di dua lokasi ini adalah tinggi pundak (TP), lebar dada (LBRD), panjang pinggul (PP) dan lingkar kanon (LK). Hubungan kekerabatan terjauh adalah populasi ternak kambing yang berada di pulau Jailolo–Bacan dan Jailolo-Sanana kemudian antara Morotai-Bacan dan Morotai Sanana dengan prediksi anggota kelompok sebesar 0,8%. Ukuran tubuh yang yang memberikan kontribusi perbedaan nyata (p<0,05) antara ternak kambing di pulau Jailolo dan Bacan adalah panjang badan (PB), lingkar dada (LKRD), lebar dada (LBRD) dan lingkar kanon (LK). Untuk Jailolo-Sanana adalah PB, LBRD, DD, PP, LP, dan LBRT. Morotai-Bacan adalah PB, LBRD, DD, PT, LBRT, dan LK. MorotaiSanana memiliki ukuran tubuh yang paling banyak berbeda ( 8 karakter) yaitu, PB, LBRD, LKRD, DD, PP, LP, PT dan LBRT. Perbedaan antara pulau Jailolo-MorotaiBacan-Sanana sangat jelas ditunjukkan pada Gambar 27, 28 dan 29.
Canonical Discriminant Functions Pulau
6
3 Jailolo Morotai 4 5 Bacan Group Centroid
4
Can 2
2 4 5 0 3
-2
-4 -4
-2
0
2
4
6
Can 1
Gambar 27 Peta penyebaran kanonik di pulau Jailolo, Morotai dan Bacan.
105
Canonical Discriminant Functions PULAU
6
1 Jailolo 2 Morotai 3 Sanana Group Centroid
4
Can 2
2 2 3 0 1
-2
-4 -8
-6
-4
-2
0
2
4
Can 1
Gambar 28 Peta penyebaran kanonik di pulau Jailolo, Morotai dan Sanana.
Canonical Discriminant Functions PULAU
6
1 Morotai 2 Sanana 3 Bacan Group Centroid
4
Can 2
2 2 1 0
3
-2
-4 -5.0
-2.5
0.0
2.5
5.0
Can 1
Gambar 29 Peta penyebaran kanonik di pulau Morotai, Sanana dan Bacan.
106
Produktivitas Ternak Kambing
Musim Birahi dan Penyebaran Kelahiran Tabel 35 dan Gambar 30 tercantum banyak anak kambing yang lahir sepanjang penelitian yaitu mulai Januari sampai dengan Oktober 2007. Angka kelahiran tertinggi adalah pada bulan Juni sementara yang terendah pada bulan Mei dan Oktober. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kambing di Maluku Utara tidak memperlihatkan birahi atau beranak musiman. Setiap bulan selalu saja terjadi perkawinan atau kelahiran. Hal yang sama terjadi juga untuk kambing-kambing yang ada di Malaysia (Devandra 1962), kambing Barbari di India (Dutt 1968) yang tidak memperlihatkan berahi atau beranak musiman. Keadaan ini umumnya tidak terjadi pada kambing-kambing luar negeri baik di daerah sub tropik maupun di negaranegara beriklim sedang seperti Israel, Prancis, Ingris dan Belanda (McKenzie 1970). Mengenai menurunnya tingkat kelahiran anak kambing pada bulan Mei dan Oktober dapat diperkirakan karena pada bulan Desember dan Mei terlalu banyak turun hujan di wilayah ini sehingga frekuensi perkawinan menurun dengan akibat menurunnya kelahiran anak kambing. Menurunnya frekuensi perkawinan di waktu banyaknya turun hujan merupakan salah satu penyebab karena petani peternak enggan melepaskan kambingnya dari kandang pada siang hari, sehingga aktivitas pejantannyapun berkurang, apalagi bagi peternak yang tidak mempunyai pejantan.
Tingkat Kesuburan Semakin sering dan teratur seekor induk kambing beranak, dan setiap kali beranak, menghasilkan kembar dan hidup, dan cepat kawin lagi setelah beranak, maka induk kambing tersebut tingkat kesuburannya tinggi, sehingga dapat digolongkan induk kambing yang baik. Salah satu kriteria untuk mengukur tingkat produktivitas pada ternak kambing betina adalah mampu menghasilkan anak yang
107
mempunyai pertambahan berat badan yang tinggi dimana biasanya sangat dipengaruhi oleh umur induk dan berat lahir (Campbell and Lasley 1985). Tabel 35 Jumlah anak kambing yang lahir selama periode penelitian (ekor) Bulan Tte Januari 11 Februari 11 Maret 19 April 11 Mei 14 Juni 17 Juli 12 Agustus 12 September 17 Oktober 8 Sumber : Data olahan 2007
Banyak Anak Kambing yang Lahir Tdre Halbar Halut Halteng Haltim 17 10 8 7 12 25 21 15 13 12 21 17 7 15 21 7 23 17 14 17 12 0 9 15 12 31 12 11 9 13 24 11 13 20 17 11 13 8 14 17 9 7 19 11 10 15 19 12 13 11
Halsel 14 7 15 12 12 12 8 17 23 12
Sula 21 8 0 12 15 17 3 12 11 6
Jumlah 100 112 115 113 89 122 108 104 107 96
Gambar 30 Diagram batang untuk jumlah anak yang lahir dari Januari – Oktober 2007. Tingkat kesuburan dapat dicerminkan melalui (1) persentasi induk yang beranak kembar, (2) rata-rata banyaknya anak per kelahiran dalam hubungannya dengan telah berapa kali beranak, atau umur induk kambing bersangkutan, dan (3)
108
interval kelahirannya. Hasil penelitian mengenai tingkat kesuburan untuk ternak kambing di Provinsi Maluku Utara dapat diuraikan sebagai berikut: Persentasi Induk beranak kembar Sebanyak 123 kejadian kelahiran selama periode penelitian ditemukan induk yang melahirkan tunggal sebesar 39,84 %, kembar dua 40,65%, kembar tiga 18,70% dan hanya 0,81% atau 1 ekor induk di Kabupaten Halmahera Selatan melahirkan kembar 4. Disini terlihat bahwa tipe kelahiran kembar dua paling sering terjadi dibandingkan dengan tipe tunggal, kembar tiga maupun kembar empat. Tingginya persentasi tipe kelahiran kembar dua dan tiga
menunjukkan bahwa kesuburan
maupun reproduktsi induk kambing di daerah ini cukup baik dan dapat dijadikan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Tipe kelahiran dapat di lihat pada Tabel 36. Tabel 36 Tipe kelahiran kambing kacang di provinsi Maluku Utara (%) Kelompok Umur I2
Tunggal 19,51 (24)
Tipe Kelahiran Kembar Dua Kembar Tiga 21,95 (27) 0 (0)
I4
9,76 (12)
0 (0)
I6
3,25 (4)
I8 Jumlah
Jumlah Kembar Empat 0 (0)
41,46 (51)
3,25 (4)
0,81 (1)
13,82 (17)
13,82 (17)
9,76 (12)
0 (0)
26,83 (33)
7,32 (9)
4,88 (6)
5,69 (7)
0 (0)
17,89 (22)
39,84(49)
40,65 (50)
18,70 (23)
0,81 (1)
100 (123)
Sumber : Data olahan 2007 Angka dalam kurung menunjukkan jumlah induk (ekor)
Hasil penelitian yang telah dilakukan Abdulgani terhadap kambing kacang di desa Ciburuy dan Cigombong menunjukkan bahwa persentasi induk yang beranak atau menghasilkan keturunan tunggal, kembardua, kembartiga dan kembar empat masing-masing adalah 44.92%, 47.91%, 6.62% dan 0.81%. Jika dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian di luar negeri seperti kambing lokal Uzbekistan atau persilangannya dengan kambing Angora (Kijaktin, 1943), kambing Moxota di Brazil (Rosa, 1949), kambing Fiji atau persilangannya dengan kambing Angora (Payne dan Miles, 1954), kambing Mubende di Afrika Timur (Sacker dan Trail, 1966) ataupun
109
dengan kambing Barbari di India (Dut, 1968), maka kambing-kambing kacang di Maluku Utara tampaknya lebih subur dilihat dari persentasi kelahiran kembarnya (lihat Tabel 37). Hasil penelitian di Maluku Utara dari persentasi anak kembar dua dan tiga lebih rendah jika dibandingkan dengan kambing etawah di Jawa Timur (Raabe 1972), kambing kacang di Jawa Tengah (Budihardi 1972), kambing Malabar di India (Shanmugasundaran 1957), kambing lokal Malaysai ( Devendra 1962) yang mempunyai persentasi kembar dua lebih tinggi, dan kambing Boer di Afrika Selatan (Joubert 1969).
Selang Beranak (Kidding Interval) Hasil wawancara di tiap lokasi penelitian hanya 90 orang peternak yang mempunyai data kelahiran induk antara kelahiran pertama dan kedua (Tabel 38). Hasil penelitian menunjukkan bahwa selang beranak antara kelahiran pertama dan kelahiran kedua kambing kacang di Maluku Utara berkisar antara 315 hari sampai 355 hari. Jarak beranak yang paling lama terjadi di Kabupaten Kepulauan Sula yaitu rata-rata 354,8 hari dan yang paling cepat adalah kota Tidore 315,1 hari. Jadi dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perkiraan kidding interval untuk induk kambing di provinsi Maluku Utara adalah 330,1 hari. Panjang pendeknya selang beranak disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain akibat manajemen pemberian bahan makanan yang tidak teratur dan tidak sama dalam kuantitas maupun kualitasnya.
110
Tabel 37 Kelahiran kembar menurut beberapa hasil penelitian. Jenis Kambing
Persentase Kelahiran Kembar Tunggal Dua
Kembar Tiga
Kembar empat
Referensi
Etawah,Jatim Indonesia Kacang, Jateng
36.71
45.57
17.72
0.00
Raabe (1972)
Indonesia Angora di
35.72
56.12
7.14
1.02
Budihardi (1972)
Uzbekistan Lokal Uzbekistan
0.00
5.00
0.00
0.00
Kijatkin (1943)
0.00
22.40
0.60
0.00
idem
Uzbek X Angora (F1)
0.00
25.40
0.60
0.00
idem
Bavaria Jerman
29.00
52.00
18.00
1.00
Rosenberger (1944)
Lokal Moxota, Brazil
58.49
40.29
1.22
0.00
(Rosa 1949)
0.00
40.50
0.00
0.00
Payne dan Miles (1954)
Kambing Malabar India
41.00
49.50
8.70
0.00
idem
Lokal Malaysia
24.20
66.10
9.70
0.00
Devendra (1962)
Anglo, Nubia di Malysia
40.00
60.00
0.00
0.00
Mubende di Afrika Timur Barbari, India
68.30
30.00
1.70
0.00
idem Sacker dan Trail (1966)
67.00
33.00
0.00
0.00
Dut (1968)
28.90
64.40
2.70
0.00
Joubert (1968)
Lokal Fiji
Boer, Afrika Selatan Sumber : Abdulgani (1981)
111
Tabel 38 Rata-rata selang beranak induk kambing di provinsi Maluku Utara (hari) Kab/Kota
Rataan Jarak Kelahiran dan Simpangan Baku
Kota Ternate
327,9 ± 8,88 (10)
Kota Tidore
315,1 ± 7,81 (15)
Halmahera Barat
327,2 ± 7,97 (12)
Halmahera Utara
326,4 ± 7,15 (10)
Halmahera Tengah
332,4 ± 9,53 (11)
Halmahera Timur
346,2 ± 7,47 (10)
Halmahera Selatan
320,7 ± 9,81 (12)
Kepulauan Sula
354,8 ± 6,99 (10)
Rata-rata
330,1 ± 14,69 (90)
Keterangan: angaka dalam kurung ( ) adalah banyak sampel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval kelahiran kambing kacang di Maluku Utara cukup panjang dibandingkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti kambing kacang di desa Ciburuy dan Cigombong bahwa rata-rata jarak kelahiran pertama dan kedua adalah 291.73 hari. Begitu juga dengan kambing Etawah di Jawa Timur yang diolah dari data Raabe ( 1927) adalah 258.47 hari, dan interval kelahiran pada kambing Mubende di Afrika Timur adalah 281,1 hari (Sacker dan Trail 1966).
Jumlah Anak yang Lahir per Tahun Pada periode Januari – Oktober 2007 ada 123 induk yang melahirkan sesuai data pada Tabel 36 dengan total anak 222 ekor, sehingga rata-rata jumlah anak sekelahiran (litter size) adalah 1,8. Kidding Interval 330,1 hari maka diperoleh Laju Reproduksi Induk (LRI) yaitu jumlah anak/induk/tahun adalah sebesar 1,99 ekor. Jika angka ini kita bandingkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti kambing kacang di Imogiri, Yogyakarta yang memperlihatkan bahwa rata-rata banyaknya cempe per kelahiran adalah 1,73 ekor (Budihardi, 1982), ternyata Maluku
112
Utara masih memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik. Namun tingkat produktivitas seekor induk dapat ditingkatkan menjadi 3 ekor dalam 2 tahun dengan cara mengatur pola produksi yang baik. Dalam pola ini yang terpenting adalah mengatur interval kelahiran. Keadaan organ reproduksi siap untuk gestasi lagi setelah dua bulan melahirkan. Apabila peternak menyapih bakalan pada umur 3 bulan maka induk tersebut dapat dikawinkan pada saat birahi sebelum penyapihan. Dengan demikian Kidding Interval dapat diperpendek, sehingga induk yang melahirkan sekali setahun dapat diintensifkan menjadi tiga kali melahirkan dalam dua tahun. Jumlah anak lahir per kelahiran pada ternak kambing bervariasi baik dalam satu bangsa maupun antar bangsa kambing. Dari 3 914 ekor anak kambing Beetal di India, 24 persen lahir tunggal, 63 persen kembar dua, 11.5 persen kembar tiga dan 1.5 persen kembar empat dan dilain pihak pada kambing Beetal di Zambia, lahir kembar dua jarang terjadi dan hanya kelahiran tunggal yang sering terjadi (Mc Dowell dan Bove 1977).
Indeks Produktivitas Induk Menghitung indeks produktivitas induk kambing yang ada di Maluku Utara, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu jumlah anak sekelahiran (litter size) laju mortalitas anak, selang beranak dan rataan bobot sapih anak per induk pertahun. Sehingga secara matematis dapat dinyatakan bahwa Indeks produktivitas induk adalah hasil kali antara laju reproduksi induk dengan rataan bobot sapih anak, maka produktivitas induk dapat dinyatakan sebagai rataan bobot sapih anak/induk/tahun. Upaya untuk meningkatkan produktivitas seekor induk kambing dapat dilakukan dengan manajemen reproduksi yang baik, seperti memperpendek jarak beranak, menekan tingkat kematian anak serta pemilihan bibit induk dengan sifatsifat genetik yang baik seperti induk yang prolifik, kemampuan memproduksi susu yang banyak (Malung et al. 2005).
113
Hasil perhitungan nilai indeks produktivitas dari masing-masing induk berdasarkan umur tertentu disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 Rataan nilai produktivitas induk kambing kacang di Maluku Utara Umur Induk I-2
Nilai indeks produktivitas induk (rataan bobot sapih anak/induk/tahun) 9.86 ±0.44
I-4
10.05
±0.34
I-6
11.29
±0.61
I-8
8.43
±0.21
Keterangan I-2 = umur 1-1.5 tahun; I-4 = umur 1.5-2 tahun; I-6= 2.5-3 tahun dan I-8 = lebih dari 3 tahun.
Tabel 39 menunjukkan bahwa nilai indeks produktivitas induk kambing kacang di Maluku Utara berkisar antara 8.43 sampai 11.29 bobot sapih anak/induk/tahun. Induk pada kelompok umur I-6 memiliki nilai produktivitas yang tinggi dan kelihatannya semakin tua induk kecendrungan memiliki nilai produktivitas yang tinggi kemudian menurun pada kelompok umur induk I-8. Menurut Bradford (1972) dalam Setiadi (1987) bahwa umur induk berpengaruh terhadap berat lahir dan produksi susu serta pertumbuhan selanjutnya sampai ternak disapih.
Kajian terhadap Sifat Pertumbuhan Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear, bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu: proses dasar pertumbuhan sel, diferensiasi sel-sel induk menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi. Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma. Pertumbuhan dimulai sejak terjadinya pembuahan, dan berakhir pada saat dicapainya kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) .
114
Membandingkan beberapa sifat pertumbuhan kambing kacang yang dipelihara pada kondisi pedesaan dengan kondisi stasiun percobaan, maka telah dilakukan pengamatan bobot badan pada masing-masing umur ternak. Pengamatan pada stasiun pengamatan dipilih 3 lokasi yang semuanya berada di Kota Ternate dengan jumlah ternak jantan 69 ekor dan betina 103 ekor. Untuk kondisi pedesaan, pengamatan dilakukan pada semua lokasi penelitian dengan jumlah ternak jantan 171 ekor dan betina 317 ekor. Total keseluruhan ternak kambing yang diukur bobot badan pada semua kelompok umur untuk jantan sebanyak 240 ekor dan betina 420 ekor. Bobot badan dan kelompok umur pada stasiun percobaan disajikan pada Tabel 40, sedangkan untuk kondisi pedesaan disajikan pada Tabel 41. Tabel 40 menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan bobot badan semakin bertambah umur dari I2 sampai I8 baik pada jantan maupun pada betina. Bobot badan betina lebih tinggi dari pada bobotjantan pada umur I-0 sampai I-6 namun untuk kelompok I-8 ternak jantan lebih tinggi. Ini disebabkan karena banyak ternak kambing jantan dengan bobot badan yang baik dipotong atau di jual pada umur-umur muda, sedangkan ternak betina banyak dijual ketika mencapai umur dewasa. Keadaan yang sama juga terlihat pada kambing kacang di lokasi pedesaan. Tabel 40 Bobot rataan kambing (kg) berdasarkan umur pada lokasi stasiun percobaan Kelompok Umur
Jantan N
Rataan
I-0
7
I-2
Betina
SB
N
Rataan
5.80
±2.61
8
6.27
±2.96
16
15.75
±1.01
21
16.37
±1.46
I-4
18
17.42
±1.25
27
18.49
±1.48
I-6
13
23.03
±2.53
20
22.34
±1.29
I-8
15
29.14
±4.94
27
24.74
±4.12
Jumlah
69
103
SB
115
Tabel 41 Rataan bobot kambing (kg) berdasarkan umur pada lokasi pedesaan Kelompok Umur
Jantan N
Rataan
I-0
47
I-2
Betina SB
N
Rataan
SB
5.20
±1.94
47
6.01
±2.32
32
16.28
±0.99
40
16.36
±1.20
I-4
31
18.61
±1.65
34
19.23
±1.30
I-6
35
23.23
±5.24
103
25.28
±4.51
I-8
26
27.58
±3.34
92
25.37
±3.66
Jumlah
171
317
Keterangan: N = jumlah kambing ;SB = simpangan baku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bobot badan tidak nyata (p>0.05) antara ternak kambing yang di pelihara secara tradisional di pedesaan dengan pemeliharaan di stasiun percobaan (Lampiran 11) dengan perbedaan rata-rata nilai tengahnya adalah sebesar 0,36. Artinya kondisi bobot badan ternak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan 0,36 kali lebih baik dibandingkan dengan bobot badan ternak kambing yang dipelihara di stasiun percobaan. Begitu juga dengan jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) karena perbedaan nilai tengahnya sangat kecil yaitu 0,02,
sedangkan umur ternak
memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0.01) pada bobot badan ternak kambing di Maluku Utara dengan koefisien determinasinya sebesar 82,6%. Untuk kurva pertumbuhan berdasarkan kelompok umur kambing di stasiun percobaan dan dipelihara di lokasi pedesaan disajikan pada Gambar 31.
116
Gambar 31
Kurva pertumbuhan untuk ternak kambing yang dipelihara di stasiun percobaan dan pemeliharaan tradisional di pedesaan.
Estimasi kurva pertumbuhan ternak kambing jantan dan betina yang dipelihara di stasiun percobaan dan secara tradisional di pedesaan disajikan pada Tabel 42 dan 43 dan kurva estimasinya tercantum pada Gambar 32 dan 33. Estimasi kurva pertumbuhan ini didekati dengan tiga macam fungsi yaitu fungsi linier dengan persamaannya Y = a + bX, fungsi eksponensial dengan persamaan Y = a (b)X, sedangakan untuk fungsi kuadratik dengan persamaanya Y = a + bX + cX2
117
Hasil estimasi kurva pertumbuhan baik pada kambing jantan maupun betina yang dipelihara di stasiun percobaan dengan menggunakan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik dapat di lihat pada Lampiran 12 dan 13. Setelah ditelaah lebih lanjut ternyata bahwa penggunaan fungsi kuadratik dapat dikesampingkan, karena berdasarkan hasil analisis statistik koefisien regresi parsial “c” dari fungsi kuadrat Y = a + bX + cX2 tidak signifikan (p >0,05). Selain itu hasil analisis varian menunjukkan bahwa estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi kuadratik tidak signifikan (p >0,05) dengan nilai probabilitasnya 0,070 walaupun koefisien determinasi (R2) pada fungsi kuadrat lebih besar bila dibandingkan dengan fungsi linier yaitu 0,93 untuk fungsi kuadrat dan 0,92 untuk fungsi linier dengan perbedaan 0,01 sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Hal seperti ini juga terjadi pada pola pertumbuhan kambing betina di stasiun percobaan, kurva pertumbuhannya ditampilkan pada Gambar 34. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ternak kambing sebelum lepas sapih adalah genotipe, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak perkelahiran, umur induk, jenis kelamin anak dan umur sapih. Adapun laju pertumbuhan setelah disapih dipengaruhi oleh potensi pertumbuhan dari masingmasing individu ternak kambing dan pakan yang tersedia. Penggunaan fungsi linier untuk mengestimasi kurva pertumbuhan ternak kambing merupakan pilihan yang terbaik dibandingkan dengan fungsi eksponensial karena koefisien determinasi fungsi linier lebih besar, nilai signifikasi probabilitas dari anovanya lebih nyata walaupun koefisien partial kedua fungsi dapat digunakan. Namun demikian fungsi linier dan eksponensial dapat diterima untuk menduga pola pertumbuhan ternak kambing di stasiun percobaan karena memiliki koefisien regresi yang nyata (p<0,05), dan kedua fungsi ini memiliki koefisien partial yang nyata dapat diterima untuk menduga pola pertumbuhan ternak kambing jantan di stasiun percobaan. Fungsi linier dan eksponensial untuk ternak kambing jantan di stasiun percobaan berturut-turut adalah Y = 7,91 + 2.308X dan Y = 7,93( 0,17)X.
118
Ternak kambing betina di stasiun percobaan berdasarkan Tabel 43 terlihat bahwa hanya fungsi linier yang dapat digunakan untuk menduga kurva pertumbuhan, karena selain memiliki koefisien regresi yang sangat kecil (0,012), juga koefisien partialnya masih dapat diterima. Fungsi linier yang digunakan adalah Y = 8,898 + 2,12X Tabel 42
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik ternak kambing jantan di stasiun percobaan R
Sig.Prob
Square
anova
Jenis Fungsi
Koefisien partial a
Sig.
b
Sig.
Linier
0,921
0,010
7,910
0,026
2,308
0,010
Eksponensial
0,801
0,038
7,937
0,021
0,165
0,038
Kuadratik
0,930
0,070
7,136
0,117
3,082
0,191
c
sig.
-0,097
0,661
BBJ 30.00 Observed Linear Quadratic Exponential 25.00
20.00
15.00
10.00
5.00 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
UMUR
Gambar 32 Estimasi kurva pertumbuhan kambing jantan di stasiun percobaan yang didekati dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik (BBJ = bobot badan jantan).
119
Tabel 43
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik ternak kambing betina di stasiun percobaan R Square
Sig.Prob anova
Jenis Fungsi
Koefisien partial a
Sig.
b
Sig.
Linier
0,907
0,012
8,898
0,019
2,123
0,012
Eksponensial
0,784
0,046
8,612
0,021
0,152
0,046
Kuadratik
0,952
0,048
7,304
0,071
3,717
0,093
c
sig.
-0,199
0,306
Keterangan: Sig = significan
BBB Observed Linear Quadratic Exponential
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
UMUR
Gambar 33 Estimasi kurva pertumbuhan kambing betina di stasiun percobaan yang didekati dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik. (BBB = bobot badan betina).
Estimasi kurva pertumbuhan ternak kambing baik jantan maupun betina yang dipelihara secara tradisional di pedesaan dapat didekati juga dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik yang disajikan pada Tabel 44 (Lampiran 14 dan 15).
120
Tabel 44
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik ternak kambing jantan di pedesaan. R Square 0,958 0,827 0,972
Jenis Fungsi Linier Eksponensial Kuadratik
Sig.Prob anova 0,004 0,032 0,028
Koefisien partial a Sig. b Sig. c 7,368 0,025 2,971 0,004 7,500 0,030 0,198 0,032 6,169 0,102 4,168 0,081 0,150
sig. 0,428
BBJ Observed Linear Quadratic Exponential
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
UMUR
Gambar 34 Estimasi kurva pertumbuhan kambing jantan di pedesaan yang didekati dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik (BBJ = bobot badan jantan). Hasil analisis koefisien regresi yang ditunjukkan pada Tabel 44, fungsi linier yang paling signifikan dibandingkan dari fungsi eksponensial dan kuadratik. Koefisien parsialnya lebih kecil dibandingkan yang lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi linier yang paling tepat untuk menduga kurva pertumbuhan ternak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan. Hal yang sama juga untuk kambing betina seperti pada Tabel 45 dan Gambar 35. Namun untuk ternak kambing betina setelah fungsi linier juga dapat didekati dengan fungsi eksponensial sedangkan fungsi kuadratik tidak dapat digunakan karena koefisien parsial “c” tidak nyata.
121
Fungsi linier untuk mengkaji sifat pertumbuhan ternak kambing jantan dan betina yang dipelihara secara tradisional di pedesaan masing-masing adalah Y = 7,366 + 2,971 X dan untuk ternak kambing betina bisa didekati dengan dua fungsi yaitu linier adalah Y = 8, 898 + 2,123X dan fungsi eksponensial adalah Y = 8,468(0,167)X. Tabel 45
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik ternak kambing betina di pedesaan
Jenis Fungsi Linier Eksponensial Kuadratik
R Square 0,914 0,792 0,980
Sig.Prob anova 0,011 0,043 0,020
a 8,796 8,468 6,596
Sig. 0,025 0,026 0,048
Koefisien partial b Sig. c 2,243 0,011 0,167 0,043 4,623 0,035 ‐0,275
sig. 0,124
BBB 30.00
Observed Linear Quadratic Exponential
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
UMUR
Gambar 35 Estimasi kurva pertumbuhan kambing betina di pedesaan yang didekati dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik (BBB= bobot badan betina).
122
Kajian Sifat Pertumbuhan Anak Kambing Rataan bobot badan kambing kacang dewasa setelah dikelompokkan menurut anak kelompok A(di atas bobot badan rata-rata) dan B ( di bawah bobot badan ratarata) dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46
Rataan bobot badan kambing jantan dan betina berdasarkan pengelompokan rataan bobot badan Bobot badan Jantan (kg) n Rataan SB 13 17.32 ±0.38 19 15.55 ±0.48
Bobot badan betina (kg) Anak Kelompok K n Rataan SB K J-2-A 0.14 J-2-B 0.23 B-2-A 19 17.45 ±0.67 0.44 B-2-B 21 15.37 ±0.53 0.28 J-4-A 15 19.97 ±1.07 1.15 J-4-B 16 17.33 ±0.89 0.79 B-4-A 14 20.37 ±1.07 1.15 B-4-B 20 18.42 ±0.71 0.5 J-6-A 14 30.96 ±4.43 19.6 J-6-B 21 22 ±3.48 12.11 B-6-A 48 28.35 ±3.69 13.64 B-6-B 55 21.67 ±2.77 7.67 J-8-A 10 36.66 ±4.02 16.19 J-8-B 16 26.69 ±2.43 5.91 B-8-A 41 29.26 ±2.67 7.15 B-8-B 52 23.49 ±1.9 3.62 Keterangan : J-2-A = jantan -kelompok umur I-2- kelompok A. B-2-B = betina-kelompok umur I-2 – kelompok B. SB = simpangan baku; K = keragaman; n = jumlah ternak
Kelompok Tetua I2
Hasil uji statistik (Uji F) menunjukkan bahwa jenis kelamin berpengaruh nyata (p <0.05)
pada bobot lahir, bobot badan 30 hari dan 120 hari namun tidak
signifikan pada bobot 60, 90 hari. Sedangkan tipe kelahiran berpengaruh nyata (p <0.05) hanya pada bobot lahir dan bobot badan badan 30 hari (Lampiran 16) Hasil analisis statistik untuk menggambarkan sifat pertumbuhan kelompok anak jantan dan betina A-2 (anak kambing dari tetua I2 dengan bobot di atas ratarata), B-2 (anak kambing dari tetua I2 dengan bobot di bawah rata-rata) dengan
123
kelompok anak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan sebagai kontrol disajiakan pada Gambar 36. Sifat pertumbuhan kelompok anak jantan dan betina A-2, B-2 dan Kelompok Pedesaan tidak berbeda nyata secara statistik namun jika dilihat pada kurva pertumbuhan kelompok A-2 memiliki sifat pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan kelompok B-2 dan kelompok pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa pola perkawinan berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan anak jantan dan betina. Bentuk kurvanya (ploted) dapat diestimasikan bahwa sifat pertumbuhan pada setiap kelompok dapat didekati dengan menggunakan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik karena ketiga fungsi ini mempunyai koefisien regresinya sangat nyata (p<0,01), namun jika dicermati lebih jauh fungsi kuadratik dapat diabaikan karena memiliki koefisien partial
“b” dan “c” tidak nyata walaupun fungsi kuadratik
memiliki koefisien determinasi lebih tinggi dibandingkan dua fungsi lainnya. Namun perbedaan ini sangat kecil yaitu 96,1% - 95% = 1,1% ( lihat Tabel 47). Tabel 47 Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-2, B-2 R Square Kelompok
Sig.Prob anova
Jenis Fungsi
Koefisien partial a
Sig.
b
Sig.
c
sig.
0,000
0,358
0,000
0,070
-0,275
0,414
Pedesaan Linier
0,950
0,000
1,040
0,003
0,031
0,000
Eksponensial
0,935
0,000
1,258
0,000
0,012
0,000
Quadratik
0,961
0,002
1,223
0,010
0,018
0,208
Linier
0,986
0,000
1,107
0,001
0,046
0,000
A-2 Eksponensial
0,974
0,000
1,499
0,000
0,013
0,000
Quadratik
0,995
0,000
1,348
0,001
0,030
0,011
Linier
0,942
0,000
1,281
0,001
0,024
0,000
Eksponensial
0,858
0,003
1,359
0,000
0,010
0,003
Quadratik
0,952
0,002
1,143
0,007
0,033
0,035
B-2
124
Gambar 36 Kurva pertumbuhan anak kambing kacang (ploted) jantan dari tetua I2.
125
Gambar 37 Kurva pertumbuhan anak kambing kacang (ploted) betina dari tetua I2.
126
Tabel 48 dapat disimpulkan bahwa untuk pola pertumbuhan anak kambing jantan kelompok pedesaan, A-2 dan B-2 dapat didekati dengan dua fungsi yaitu linier dan eksponensial. Untuk mengestimasi pola pertumbuhan anak kambing betina disajikan pada Tabel 48 juga. Hasil ini menunjukkan bahwa koefisien regresinya berpengaruh sangat nyata (p<0,01) untuk semua kelompok, tetapi pada kelompok pedesaan fungsi eksponensial yang paling tepat untuk mengestimasi pola pertumbuhan anak kambing yang sama halnya dengan kelompok A-2 dapat didekati dengan fungsi eksponensial sedangkan untuk kelompok B-2 fungsi linierlah yang paling tepat hal ini di dasarkan pada koefisien partial yang dimiliki masing-masing fungsi. Tabel 48. Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing betina pada kelompok pedesaan, A-2 dan B-2. R Square Kelompok
Jenis Fungsi
Pedesaan
Linier Eksponensial
0,790 0,887
Kuadratik
Sig.Prob anova
Koefisien partial b Sig. c
a
Sig.
sig.
0,007 0,002
0,787 1,091
0,124 0,000
0,029 0,012
0,007 0,002
0,881
0,014
1,353
0,048
0,009
0,720
0,000
0,154
Linier Eksponensial Kuadratik
0,962 0,973 0,983
0,000 0,000 0,000
0,658 1,152 1,062
0,061 0,000 0,019
0,049 0,016 0,022
0,000 0,000 0,165
0,000
0,097
Linier Eksponensial
0,963 0,858
0,000 0,003
0,758 1,359
0,011 0,000
0,035 0,010
0,000 0,003
Kuadratik
0,984
0,000
1,051
0,006
0,015
0,162
0,000
0,086
A-2
B-2
Fungsi linier untuk mengestimasi pola pertumbuhan anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-2 dan B-2 berturut-turut adalah Y = 1,040 + 0,031X, Y = 1,107 + 0,046X dan Y=1,281 + 0,024X. Sedangkan untuk pola pertumbuhan anak kambing betina pada kelompok pedesaan dan A-2 dapat diestimasikan dengan fungsi eksponensial berturut-turut Y=
1,091(0,012)X dan Y= 1,152(0,016)X dan untuk
127
kelompok B-2 dapat diestimasikan dengan dua fungsi yaitu fungsi linier Y = 0,758 + 0,035X dan fungsi eksponensial Y = 1,359 ( 0,010)X
Membandingkan pola pertumbuhan masing-masing kelompok baik anak jantan maupun betina disajikan pada Tabel 49. Hasil analisis uji F yang dilanjutkan dengan test Duncan menunjukkan bahwa Kelompok A-2 baik pada bobot lahir, bobot badan 30, 60, 90 dan 120 hari pengaruh sangat signifikan (p<0,01) dan berdasarkan uji duncan menunjukkan bahwa kelompok A-2 lebih tinggi dari kelompok pedesaan dan kelompok B-2. Sedangkan untuk kelompok pedesaan dengan kelompok B-2 tidak berbeda nyata (p > 0,05). Demikian juga dengan anak kambing betina. Ini berarti bahwa penerapan metode perkawinan setara positif yaitu perkawinan antara pejantan dan induk dari kelompok I-2 yang telah mengalami seleksi masa ke arah atas (di atas bobot rata-rata) dapat meningkatkan bobot anak kambing pada umur strategis yaitu bobot lahir, umur 30, 90 dan 120 hari.
Tabel 49 Rataan bobot badan anak kambing kacang dari kelompok pedesaan, A-2 dan B-2. Kelompok Umur (hari)
Jantan
Pedesaan Rataan BB SB
A-2 Rataan BB
SB
B-2 Rataan BB
SB
0
1.02
±0.16
1.49
±0.26
1.05
±0.18
30 60 90 120
2.07 2.78 3.82 4.92
±0.15 ±0.15 ±0.24 ±0.24
2.04 3.4 5.9 6.8
±0.25 ±0.44 ±0.44 ±0.49
2.08 2.78 3.62 4.22
±0.17 ±0.18 ±0.18 ±0.18
0 30 60
1.02 1.58 2.23
±0.23 ±0.23 ±0.33
1.11 2.12 3.12
±0.27 ±0.35 ±0.31
1.03 1.68 3.09
±0.24 ±0.19 ±0.15
90 120
3.64 4.83
±0.29 ±0.30
5.56 6.12
±0.36 ±0.36
4.39 5.58
±0.74 ±0.75
Betina
Penambahan bobot badan per hari tertinggi dari kelompok anak A-2 jantan dan betina masing-masing 48,62 ± 0,01 dan 44,50 ± 0,18 yang terjadi pada periode 60 – 90 hari, sedangkan terendah pada kelompok anak pedesaan baik jantan maupun
128
betina yang masing-masing 23,33 ± 0,15 dan 21,67 ± 0,01 yang terjadi pada periode 30 – 60 hari (Tabel 50). Untuk kelompok pedesaan, pertumbuhan tertinggi baik pada jantan maupun betina berturut-turut adalah 36,67 ± 0,24 dan39,67 ± 0,01 pada periode umur 90-120 hari dan yang terendah adalah 23,33 ± 0,15 dan 21,67 ± 0,01 pada periode umur 30 - 60 hari. Untuk kelompok B-2 penambahan bobot badan tertinggi adalah pada periode umur 90-120 hari yaitu masing-masing untuk jantan dan betina adalah 38,18 ± 0,013 dan 39,67 ± 0,005 dan yang terendah pada periode umur 60-90 hari yaitu untuk ternak jantan 27,76 ± 0,014 dan untuk betina 25,96 ± 0,016 . Tabel 50 Rataan penambahan bobot badan harian (PBBH) anak kambing kacang yang berasal dari Tetua I-2. Kelompok
PBBH (g) Betina
Periode
Jantan
Pedesaan
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
35,87 ± 0,16 23,33 ± 0,15 35,03 ± 0,15 36,67 ± 0,24
23,15 ± 0,05 21,67 ± 0,01 38,83 ± 0,08 39,67 ± 0,01
A-2
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
33,26 ± 0,04 38,78 ± 0,07 48,62 ± 0,01 42,48 ± 0,01
38,33 ± 0,014 34,37 ± 0,006 44,50 ± 0,18 41,27 ± 0,012
B-2
0 - 30 30 - 60
33.96 ± 0,002 32,21± 0,011
28,22 ± 0,017 32,52 ± 0,012
60 - 90 90 - 120
27,76 ± 0,014 38,18 ± 0,013
25,96 ± 0,016 39,67 ± 0,005
Masing-masing periode pertumbuhan per hari berbeda nyata (p < 0,05)
sedangkan pertumbuhan kambing pada masing-masing kelompok berbeda sangat nyata (p<0,01) dan berdasarkan hasil uji Tukey antara kelompok A-2 dan pedesaan begitu juga dengan A-2 dan B-2 berbeda nyata (p<0,05), sementara B-2 dan pedesaan tidak berbeda nyata. Hasil ini membuktikan bahwa seleksi masa ke arah atas dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak kambing per hari pada periode 0-30 hari, 30-60 hari, 60-90 hari dan 90-120 hari berturut-turut sebesar 20,39%, 23,77%
129
29,80% dan 26,03% untuk jantan dan 24,19%, 21,68% 28,08% dan 26,04% untuk anak kambing betina. Kecenderungan peningkatan bobot badan harian terjadi pada periode 60-90 hari dan 90-120 hari (Lampiran 16.b dan c)
Tetua I-4 Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa anak kambing jantan hasil perkawinan tetua kelompok I-4 yang berada pada kelompok A-4 dan B-4 maupun dengan kontrol di pedesaan memberikan pengaruh sangat nyata (p<0,01). Begitu juga dengan bobot lahir, bobot 30 hari, 60 hari, 90 hari dan 120 hari berbeda sangat signifikan dari kelompok A-4, B-4 dan kelompok pedesaan. Hal yang sama juga untuk anak kambing betina. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kelompok A-4 memiliki bobot badan tertinggi dibandingkan dengan kelompok B-4 dan pedesaan, kemudian kelompok B-4 lebih baik dari kelompok pedesaan (Lampiran 17a dan b) Menggambarkan pola pertumbuhan anak kambing dari tiga kelompok ini baik untuk jantan maupun betina disajikan dalam bentuk kurva pertumbuhan seperti terlihat pada Gambar 38 untuk anak kambing jantan dan Gambar 39 untuk anak kambing betina. Dari kurva ini tergambar bahwa anak kambing pada kelompok A-4 baik jantan maupun betina memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok B-4 dan pedesaan Bentuk kurvanya (ploted) pada Gambar 36, dapat diestimasikan bahwa sifat pertumbuhan pada setiap kelompok dapat didekati dengan menggunakan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik karena ketiga fungsi ini mempunyai koefisien regresinya sangat nyata (p<0,01) disajikan pada Tabel 51. Namun jika dicermati lebih jauh fungsi kuadratik dapat diabaikan karena memiliki koefisien partial “b” dan “c” tidak nyata walaupun fungsi kuadratik memiliki koefisien determinasi lebih tinggi dibandingkan dua fungsi lainnya. Perbedaan ini sangat kecil dan dapat diabaikan. Untuk pola pertumbuhan anak kambing di pedesaan selain fungsi linier juga digunakan fungsi eksponensial namun untuk fungsi linier nilai t hitung dari koefisien b lebih tinggi dari fungsi eksponensial, jadi walaupun keduanya dapat digunakan
130
untuk menduga pola pertumbuhan anak kambing jantan di pedesaan, A-4, dan B-4, maka fungsi linier adalah yang terbaik dibandingkan dengan fungsi eksponensial untuk digunakan sebagai penduga pola pertumbuhan anak kambing jantan dari tetua I-4. Sama seperti anak kambing jantan, untuk betinapun fungsi kuadratik dapat diabaikan walaupun koefisien regresinya tingkat signifikannya 0,000 (p<0,01) sehingga model regresinya dapat digunakan untuk menduga pola pertumbuhan namun koefisien partial “c” tidak nyata sehingga fungsi ini dapat diabaikan. Untuk pola pertumbuhan anak kambing betina di pedesaan fungsi eksponensial yang lebih baik karena memiliki t hitung lebih tinggi dibandingakan t hitung dari fungsi linier (Tabel 52) Fungsi linier untuk mengestimasi pola pertumbuhan anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-4 dan B-4 berturut-turut adalah Y = 1,097 + 0,037X, Y = 1,558 + 0,043X dan Y=1,083 + 0,038X. Untuk pola pertumbuhan anak kambing betina pada kelompok pedesaan, A-4 dan B-4 dapat diestimasikan dengan fungsi eksponensial berturut-turut Y= 1,118(0,013)X dan Y = 1,341(0,014)X dan Y = 1,138 (0,013)X
131
Gambar 38 Kurva pertumbuhan anak kambing jantan dari tetua I-4.
132
Gambar 39 Kurva pertumbuhan anak kambing betina dari tetua I-4.
133
Tabel 51
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-4, B-4. R Square
Kelompok
Sig.Prob anova
Jenis fungsi
a
Sig.
Koefisien partial b Sig. c
sig.
Pedesaan Linier Eksponensial
0,97 0,96
0,000 0,000
1,097 1,383
0,001 0,000
0,037 0,012
0,000 0,000
Kuadratik
0,98
0,000
1,290
0,003
0,024
0,069
0,000
0,235
Linier Eksponensial Kuadratik
0,98 0,95 0,98
0,000 0,000 0,000
1,558 1,858 1,683
0,000 0,000 0,003
0,043 0,012 0,035
0,000 0,000 0,049
0,000
0,530
Linier Eksponensial Kuadratik
0,97 0,96 0,98
0,000 0,000 0,000
1,083 1,390 1,304
0,003 0,000 0,006
0,038 0,012 0,023
0,000 0,000 0,111
0,000
0,247
A-4
B-4
Tabel 52
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing betina pada kelompok pedesaan, A-4, B-4. R Square
Kelompok
Sig.Prob anova
Jenis fungsi
a
Sig.
Koefisien partial b Sig.
c
sig.
0,029 0,000 0,005
0,035 0,013 0,006
0,000
0,039
Pedesaan Linier Eksponensial Kuadratik
0,94 0,97 0,98
0,000 0,000 0,000
0,769 1,118 1,196
0,000 0,000 0,568
Linier
0,95
0,000
0,838
0,047
0,050
0,000
Eksponensial Kuadratik
0,97 0,98
0,000 0,000
1,341 1,364
0,000 0,008
0,014 0,015
0,000 0,315
0,000
0,046
Linier Eksponensial Kuadratik
0,94 0,97 0,98
0,000 0,000 0,000
0,792 1,138 1,214
0,026 0,000 0,005
0,035 0,013 0,007
0,000 0,000 0,543
0,000
0,041
A-4
B-4
134
Pola pertumbuhan masing-masing kelompok baik anak jantan maupun betina disajikan pada Tabel 53. Hasil analisis uji F (lihat Lampiran 17 c) menunjukkan bahwa anak kambing jantan yang dipelihara di pedesaan dan di stasiun percobaan A4 dan B-4 berbeda sangat nyata (p<0,01) pada bobot lahir, bobot badan 30 hari, 60, 90 dan 120 hari dan berdasarkan uji duncan menunjukkan bahwa kelompok A-4 lebih tinggi dari kelompok pedesaan dan kelompok B-4.
Untuk kelompok pedesaan
dengan kelompok B-4 tidak berbeda nyata (p > 0.05). Perbedaan nilai tengah dari masing-masing kelompok antara A-4 dengan kelompok pedesaan sebesar 0,874 dan antara kelompok A-4 dan kelompok B-4 adalah 0,795 kemudian antara kelompok B-4 dengan pedesaan sebesar 0.079. Untuk anak kambing betina semua kelompok berbeda sangat signifikan (p<0.01) baik kelompok A-4 dengan pedesaan maupun pedesaan dengan B-4 dan yang memiliki bobot tertinggi adalah kelompok A-4. Ini berarti bahwa penerapan metode perkawinan setara positif yaitu perkawinan antara pejantan dan induk dari kelompok I-4 yang telah mengalami seleksi masa ke arah atas (di atas bobot rata-rata) dapat meningkatkan bobot anak kambing pada umur strategis yaitu bobot lahir, umur 30, 90 dan 120 hari.
Tabel 53 Rataan bobot badan anak kambing kacang dari tetua I-4. Kelompok umur (hari) Pedesaan Jantan
SB
Rataan Bobot Badan (kg) A-4 SB
B-4
SB
0 30 60 90 120
1.21 2.092 2.939 4.639 5.635
±0.172 ±0.195 ±0.233 ±0.285 ±0.195
1.58 2.913 3.713 5.67 6.813
±0.365 ±0.305 ±0.305 ±0.344 ±0.301
1.25 2.261 3.025 4.07 5.269
±0.201 ±0.139 ±0.293 ±0.545 ±0.368
0 30
1.11 2.014
±0.152 ±0.353
1.26 2.255
±0.217 ±0.194
1.12 2.525
±0.162 ±0.387
60 90 120
2.927 4.587 5.86
±0.391 ±0.501 ±0.378
3.418 4.959 6.279
±0.210 ±0.349 ±0.420
3.235 4.809 5.779
±0.204 ±0.410 ±0.421
Betina
135
Penambahan bobot badan per hari untuk anak kambing jantan di tiga lokasi pengamatan berkisar anatara 25,47 g – 50,16 g. Untuk anak jantan kelompok tertinggi adalah pedesaan yaitu 50.16±0.008 g yang terjadi pada periode 60-90 hari karena selain tetua yang mempunyai faktor genetik baik juga karena ketersediaan hijaun di lokasi pedesaan pada waktu itu memungkinkan untuk anak kambing tumbuh dengan baik. Namun jika di lihat pada Tabel 54, kelompok A-4 secara keseluruhan memiliki penambahan bobot harian yang lebih baik untuk periode 0-30, 30-60, 90-120 hari untuk anak kambing jantan dan semua periode umur untuk ternak kambing betina. Untuk penambahan bobot badan harian tertinggi kelompok anak A-4 jantan dan betina masing-masing
44.43±0.014 yang terjadi pada periode 0-30 hari dan
53.36±0.011 yang terjadi pada periode 60 – 90 hari, sedangkan terendah pada kelompok anak betina di pedesaan 23.30±0.007 yang terjadi pada periode umur 0-30 hari dan jantan terendah 25.47±0.009 pada kelompok B-4 pada periode umur 30-60 hari. Kelompok pedesaan pertumbuhan tertinggi baik pada jantan maupun betina berturut-turut adalah 50.16±0.008 dan 45.16±0.011 pada periode umur 60-90 hari dan yang terendah pada ternak jantan 28.23±0.009 dan untuk betina 23.30±0.007 pada periode 0-30 hari. Untuk kelompok B-2 penambahan bobot badan tertinggi adalah pada periode umur 60-90 hari yaitu masing-masing untuk jantan dan betina adalah 48.17±0.013 dan 46.76±0.016 dan yang terendah pada periode umur 30-60 hari yaitu untuk ternak jantan 25.47±0.009 dan untuk betina 33.26±0.012 pada periode 0-30 hari.
Masing-masing periode umur pertumbuhan per hari berbeda sangat nyata (p <
0,01) dimana periode 0-30 hari dan 30-60 hari berpengaruh tidak nyata sedangkan dengan periode umur 60-90 dan 90-120 hari berpengaruh nyata pada pertumbuhan harian anak kambing. Pertumbuhan kambing pada masing-masing kelompok berbeda nyata (p<0,05). Jenis kelamin tidak berbeda nyata (p>0,05). Berdasarkan hasil uji duncan antara kelompok A-4 dengan pedesaan maupun dengan B-4 berbeda nyata, sementara antara pedesaan dan B-4 tidak berbeda nyata. Hasil ini membuktikan bahwa seleksi masa ke arah atas yang dapat meningkatkan pertambahan bobot badan
136
anak kambing per hari pada periode 0-30 hari, 30-60 hari, 60-90 hari dan 90-120 hari yang besarnya berturut-turut adalah 26.53%, 22.96%, 24.97% dan 25.53% untuk anak kambing jantan dan 19.57%, 22.81%, 32.81% dan 24.80% untuk anak kambing betina. Kecenderungan peningkatan pertambahan bobot badan harian terjadi pada periode 60-90 hari dan 90-120 hari.
Tabel 54 Rataan penambahan bobot badan harian (PBBH) anak kambing kacang yang berasal dari Tetua I-4
Kelompok
Periode
PBBH (g) Jantan
Betina
Pedesaan
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
29.40±0.003 28.23±0.009 50.16±0.008 39.70±0.007
23.30±0.007 27.13±0.012 45.16±0.011 39.33±0.010
A-4
0 - 30 30 - 60 60 - 90
44.43±0.014 38.45±0.005 41.83±0.008
31.83±0.005 37.10±0.006 53.36±0.011
90 - 120
42.76±0.004
40.33±0.008
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
33.70±0.007 25.47±0.009 48.17±0.013 41.30±0.017
33.26±0.012 33.30±0.014 46.76±0.016 31.33±0.011
B-4
Tetua I-6
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa anak kambing jantan dan betina hasil perkawinan tetua kelompok I-6 yang berada pada kelompok A-6 dan B-6 maupun dengan kontrol di pedesaan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01). Begitu juga dengan bobot lahir, bobot 30 hari, 60 hari, 90 hari dan 120 hari berbeda sangat signifikan (p<0,01) dari kelompok A-6, B-6 dan kelompok pedesaan. Hal yang sama juga untuk anak kambing betina (Lampiran 18.a.b).
137
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kelompok A-6 memiliki bobot badan tertinggi (3.91 kg ± 1.924) dibandingkan dengan kelompok B-6 (3.57 kg ± 1.678) dan pedesaan (3.43 kg ± 1.600), kemudian kelompok B-6 lebih baik dari kelompok pedesaan. Pola pertumbuhan anak kambing dari tiga kelompok ini baik untuk jantan maupun betina disajikan dalam bentuk kurva pertumbuhan seperti terlihat pada Gambar 40 untuk anak kambing jantan dan Gambar 41 untuk anak kambing betina. Dari kurva ini tergambar bahwa anak kambing pada kelompok A-6 baik jantan maupun betina memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok B-6 dan kelompok pedesaan
Gambar 40 Kurva pertumbuhan anak kambing jantan dari tetua I-6.
138
Gambar 41 Kurva pertumbuhan anak kambing betina dari tetua I-6.
Bentuk kurvanya dapat diestimasikan bahwa sifat pertumbuhan pada setiap kelompok dapat didekati dengan menggunakan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik karena ketiga fungsi ini mempunyai koefisien regresinya sangat nyata (p<0,01) seperti disajikan pada Tabel 55 dan 56. Namun jika dicermati lebih jauh fungsi kuadratik dapat diabaikan karena memiliki koefisien partial “b” dan “c” tidak
139
nyata walaupun fungsi kuadratik memiliki koefisien determinasi lebih tinggi dibandingkan dua fungsi lainnya namun perbedaan ini sangat kecil dan dapat diabaikan. Untuk pola pertumbuhan anak kambing di pedesaan selain fungsi linier juga fungsi eksponensial namun untuk fungsi linier nilai t hitung dari koefisien b lebih tinggi (thit = 15,639) dari fungsi eksponensial (thit = 10,047) sehingga walaupun keduanya dapat digunakan untuk menduga pola pertumbuhan anak kambing jantan di pedesaan, A-6 dan B-6 maka fungsi linier yang terbaik dibandingkan dengan fungsi eksponensial untuk digunakan sebagai penduga pola pertumbuhan anak kambing jantan dan betina dari tetua I-6. Sama seperti anak kambing jantan, untuk betinapun fungsi kuadratik dapat diabaikan walaupun koefisien regresinya tingkat signifikannya (p<0.01) sehingga model regresinya dapat digunakan untuk menduga pola pertumbuhan namun koefisien partial “c” tidak nyata sehingga fungsi ini dapat diabaikan.
Tabel 55 Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-6, B-6. R Square Kelompok
Sig.Prob anova
Jenis Fungsi
a
Sig.
Koefisien partial b Sig. c
sig.
Pedesaan Linier Eksponensial Kuadratik
0.980 0.953 0.982
0.000 0.000 0.000
1.331 1.593 1.437
0.000 0.000 0.003
0.038 0.012 0.031
0.000 0.000 0.037
Linier
0.965
0.000
1.207
0.004
0.045
0.000
Eksponensial Kuadratik
0.961 0.975
0.000 0.001
1.580 1.460
0.000 0.009
0.014 0.028
Linier Eksponensial Kuadratik
0.975 0.942 0.977
0.000 0.000 0.001
1.347 1.601 1.426
0.001 0.000 0.004
0.038 0.012 0.033
0.000
0.502
0.000 0.120
0.000
0.288
0.000 0.000 0.047
0.000
0.658
A-6
B-6
Fungsi linier untuk mengestimasi pola pertumbuhan anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-6 dan B-6 berturut-turut adalah Y = 1.331 + 0.038X, Y = 1.207 + 0.045X dan Y=1.347 + 0.038X. Sedangkan fungsi linier untuk menduga pola
140
pertumbuhan anak kambing betina adalah Y = 1.424 + 0.041X, Y = 2.127 + 0.046X dan Y = 1.438 +0.041X. Tabel 56 Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing betina pada kelompok pedesaan, A-6, B-6. R Square Kelompok
Sig.Prob anova
Jenis Fungsi
a
Sig.
Koefisien partial b Sig.
c
sig.
Pedesaan Linier Eksponensial
0.946 0.860
0.000 0.003
1.424 1.635
0.004 0.001
0.041 0.012
0.000 0.003
Kuadratik
0.946
0.003
1.437
0.026
0.040
0.106
0.000
0.965
Linier Eksponensial Kuadratik
0.926 0.805 0.941
0.001 0.006 0.004
2.127 2.238 1.801
0.002 0.001 0.022
0.046 0.011 0.068
0.001 0.006 0.041
0.000
0.380
Linier Eksponensial
0.949 0.871
0.000 0.002
1.438 1.659
0.003 0.001
0.041 0.012
0.000 0.002
Kuadratik
0.949
0.003
1.471
0.021
0.039
0.107
0.000
0.907
A-6
B-6
Membandingkan pola pertumbuhan masing-masing kelompok baik anak jantan maupun betina disajikan pada Tabel 57. Dari hasil analisis uji F menunjukkan bahwa anak kambing jantan yang dipelihara di pedesaan dan di stasiun percobaan A6 dan B-6 berbeda sangat nyata (p<0,01) pada bobot lahir, bobot badan 30 hari, 60, 90 dan 120 hari dan berdasarkan uji duncan menunjukkan bahwa kelompok A-6 lebih tinggi dari kelompok pedesaan dan kelompok B-6. Sedangkan untuk kelompok pedesaan dengan kelompok B-6 tidak berbeda nyata (p > 0.05). Perbedaan nilai tengah dari masing-masing kelompok antara A-6 dengan kelompok pedesaan sebesar 0.482 dan antara kelompok A-6 dan kerlompok B-6 adalah 0,340 kemudian antara kelompok B-6 dengan pedesaan sebesar 0.142. Anak kambing betina semua kelompok berbeda sangat signifikan (p<0,01) baik kelompok A-6 dengan pedesaan maupun pedesaan dengan B-6 dan yang memiliki bobot tertinggi adalah kelompok A-6. Perbedaan nilai tengah antara kelompok A-6 dengan pedesaan sebesar 0,138, kemudian antara A-6 dan B-6 adalah
141
0,290 sedangkan untuk kelompok B-6 dan pedesaan adalah 0,027. Ini berarti bahwa penerapan metode perkawinan setara positif yaitu perkawinan antara pejantan dan induk dari kelompok I-6 yang telah mengalami seleksi masa ke arah atas (di atas bobot rata-rata) dapat meningkatkan bobot anak kambing pada umur strategis yaitu bobot lahir, umur 30, 90 dan 120 hari.
Tabel 57 Rataan bobot badan anak kambing kacang dari tetua I-6. Kelompok Umur (hari) Pedesaan Jantan
SB
Rataan Bobot Badan (kg) A-6 SB
B-6
SB
0 30 60 90
1.34 2.41 3.14 4.944
±0.184 ±0.201 ±0.130 ±0.266
1.37 2.57 3.76 6.761
±0.216 ±0.430 ±0.240 ±0.607
1.33 2.41 3.40 5.014
±0.182 ±0.200 ±0.250 ±0.231
120
5.77
±0.560
7.96
±0.710
6.12
±0.230
0 30 60 90 120
1.27 2.84 3.29 4.957 5.86
±0.164 ±0.280 ±0.309 ±0.283 ±0.270
1.621 2.74 3.44 5.038 6.19
±0.367 ±0.320 ±0.350 ±0.252 ±0.340
1.33 2.38 3.28 4.817 5.93
±0.183 ±0.160 ±0.401 ±0.443 ±0.350
Betina
Penambahan bobot per hari untuk anak kambing jantan di tiga lokasi pengamatan berkisar anatara 25,57 g – 49,63 g untuk anak kambing jantan dan untuk betina 25,67 g – 43,63 g untuk semua kelompok (Tabel 58) . Untuk anak jantan kelompok tertinggi adalah A-6 yaitu 49.63±0.018 gr yang terjadi pada periode 60-90. Secara keseluruhan anak kambing jantan dan betina pada kelompok A-6 memiliki bobot badan yang lebih baik untuk periode 0-30, 30-60, 90-120. Untuk penambahan bobot badan harian tertinggi kelompok anak A-6 jantan dan betina masing-masing 49.63±0.018 dan 43.63±0.014 yang keduanya terjadi pada periode 60-90, sedangkan terendah pada kelompok pedesaan baik jantan maupun betina yang berturut-turut adalah 24.57±0.005 untuk jantan dan 25.67±0.014 yang keduanya terjadi pada periode 30-60 hari.
142
Tabel 58 menunjukkan bahwa penambahan bobot per hari untuk anak kambing jantan di tiga lokasi pengamatan berkisar anatara 24,57 g – 49,63 g untuk anak kambing jantan dan untuk betina 25,67 g – 43,63 g untuk semua kelompok. Anak jantan kelompok tertinggi adalah A-6 yaitu 49.63±0.018 gr yang terjadi pada periode 60-90. Secara keseluruhan anak kambing jantan dan betina pada kelompok A-6 memiliki bobot badan yang lebih baik untuk periode 0-30, 30-60, 90-120. Untuk penambahan bobot badan harian tertinggi kelompok anak A-6 jantan dan betina masing-masing 49.63±0.018 dan 43.63±0.014 yang keduanya terjadi pada periode 60-90, sedangkan terendah pada kelompok pedesaan baik jantan maupun betina yang berturut-turut adalah 24.57±0.005 untuk jantan dan 25.67±0.014 yang keduanya terjadi pada periode 30-60 hari. Kelompok B-6 penambahan bobot badan tertinggi adalah pada periode umur 60-90 hari yaitu masing-masing untuk jantan dan betina adalah 46.90±0.012 dan 42.68±0.011 dan yang terendah pada periode umur 30-60 hari yaitu untuk ternak jantan 33.00±0.011 dan untuk betina 29.76±0.012.
Tabel 58 Rataan penambahan bobot badan harian (PBBH) anak kambing kacang yang berasal dari Tetua I-6.
Kelompok
PBBH (g) Betina
Periode
Jantan
Pedesaan
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
35.56±0.004 24.57±0.005 44.37±0.006 43.30±0.016
40.53±0.009 25.67±0.014 41.33±0.014 36.33±0.009
A-6
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
40.83±0.017 38.87±0.013 49.63±0.018 44.17±0.008
37.40±0.015 26.23±0.009 43.63±0.014 37.03±0.006
B-6
0 - 30 30 - 60
35.90±0.004 33.00±0.011
35.06±0.009 29.76±0.012
60 - 90 90 - 120
46.90±0.012 36.93±0.006
42.68±0.011 36.25±0.010
143
Masing-masing periode umur pertumbuhan per hari berbeda sangat nyata (p < 0,01) dimana periode 0-30 hari dan 30-60 hari berpengaruh nyata begitu juga periode umur 60-90 dan 90-120 hari berpengaruh nyata, sedangkan untuk periode umur 0-3 dengan 90-120 hari memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) pada pertumbuhan harian anak kambing. Pertumbuhan kambing pada masing-masing kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan untuk jenis kelamin berbeda nyata (p<0,05). Hasil ini membuktikan bahwa seleksi masa ke arah atas
dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan anak kambing per hari pada periode 0-30 hari, 30-60 hari, 60-90 hari dan 90-120 hari berturut-turut sebesar 23,53%, 22,40%, 28,61% dan 25,46% untuk jantan dan betina sebesar 25,92%, 18,17%, 30,24%, 25,66%. Sama seperti anak kambing dari tetua I-4,
kecendrungan peningkatan
pertambahan bobot badan harian juga terjadi pada periode 60-90 hari dan 90-120 hari.
Tetua-I8
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa anak kambing jantan dan betina hasil perkawinan tetua kelompok I-8 yang berada pada kelompok A-8 dan B-8 maupun dengan kontrol di pedesaan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0.01). Begitu juga dengan bobot lahir, bobot 30 hari, 60 hari, 90 hari dan 120 hari berbeda sangat signifikan (p<0.01) dari kelompok A-8, B-8 dan kelompok pedesaan. Namun untuk anak kambing betina perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) hanya pada kelompok umur, sementara untuk bobot badan masing-masing kelompok (pedesaan, A-8 dan B-8) tidak berpengaruh nyata (p>0.05). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kelompok A-8 memiliki total rata-rata bobot badan tertinggi (3.82 kg ± 1,85) dibandingkan dengan kelompok B-8 (3.46 kg ± 1.771) dan pedesaan (3,18 kg ± 1,670), kemudian kelompok B-8 lebih baik dari kelompok pedesaan (Lampiran 18.a.b.) Pola pertumbuhan anak kambing dari tiga kelompok ini baik untuk jantan maupun betina disajikan dalam bentuk kurva pertumbuhan seperti terlihat pada
144
Gambar 42 untuk anak kambing jantan dan 43 untuk anak kambing betina. Kurva ini tergambar bahwa anak kambing pada kelompok A-8 untuk anak kambing jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok B-6 dan kelompok pedesaan. Sedangkan untuk kambing betina walaupun secara statistic tidak memberikan pengaruh yang nyata namun kelihatan dari kurvanya terlihat bahawa kecendrungan kurva pertumbuhan untuk anak kambing betina pada kelompok B-8 lebih baik pada umur 120 hari. Bentuk kurvanya dapat diestimasikan bahwa sifat pertumbuhan pada setiap kelompok dapat di dekati dengan menggunakan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik karena ketiga fungsi ini mempunyai koefisien regresinya sangat nyata (p<0.01) disajikan pada Tabel 59 dan 60. Jika dicermati lebih jauh ke tiga fungsi ini mempunyai koefisien determinasi di atas 95%, hanya pada kelompok B-8 yang fungsi eksponensial yang memiliki koefisien deteminasi 88.3%. Perbedaan koefisien determinasi antara fungsi linier dengan fungsi kuadratik sangat kecil yaitu masingmasing untuk kelompok pedesaan 99.6 -99.5 = 0,1 sehingga perbedaan ini dapat diabaikan, tetapi koefisien partial dari fungsi kuadratik mempunyai nilai signifikan yang besar (p>0.05) maka fungsi kuadratik sangat lemah untuk digunakan sebagai penduga kurva pertumbuhan baik pada kelompok pedesaan (0.427), kelompok A-8 (0.068) dan kelompok B-8 (0.720) oleh karena itu fungsi kuadratik dapat diabaikan. Anak kambing jantan pada kelompok A-8 dapat didekati dengan fungsi eksponensial dan linier, namun ketepatan lebih akurat jika dideklati dengan fungsi linier selain koefisien determinasinya lebih besar, nilai thit juga lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi linier yaitu 15,25 untuk fungsi eksponensial, dan 14,05 untuk fungsi linier untuk menduga koefisien partial “b” dan untuk koefisien partial “a” 20,51 untuk fungsi eksponensial dan 7,12 untuk fungsi linier. Untuk kelompok pedesaan dan B-8 fungsi yang paling akurat untuk digunakan adalah fungsi linier jika dicermati baik pada koefisien determinasi, koefisien partial maupun nilai thit. Pertumbuhan anak kambing betina di lokasi pedesaan, A-8 dan B-8 dengan memperhatikan koefisien determinasi, koefisien partial sangat akurat jika estimasi kurva pertumbuhannya dengan fungsi eksponensial. Hal ini disebabkan karena fungsi
145
linier selain memiliki koefisien determinasinya lebih kecil juga koefisien partial “a” tidak nyata pengaruhnya baik pada kelompok pedesaan juga pada kelompok B-8, sedangkan untuk kelompok A-8 fungsi linier masih dapat digunakan, namun prioritas pertama adalah fungsi eksponensial karena koefisien determinasi dan partial maupun nilai t-hit sedikit lebih baik. Fungsi linier untuk mengestimasi pola pertumbuhan anak kambing jantan pada kelompok pedesaan dan B-8 berturut-turut adalah Y = 1,053 + 0,034X, Y = 1,221 + 0,033X dan untuk kelompok A-8 dengan fungsi eksponensial adalah Y=1,501 (0,012)X Sedangkan untuk menduga pola pertumbuhan anak kambing betina baik pada kelompok pedesaan, A-8 dan B-8 adalah dengan fungsi eksponensial yang berturut-turut adalah adalah Y = 1,06(0,013)X , Y = 1,431(0,014)X dan Y = 1,058 (0,013)X.
146
Gambar 42 Kurva pertumbuhan anak kambing jantan dari tetua I-8.
147
Gambar 43 Kurva pertumbuhan anak kambing betina dari tetua I-8.
148
Tabel 59
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-8, B-8. R Square
Kelompok
Sig.Prob anova
Jenis Fungsi
a
Sig.
Koefisien partial b Sig. c
sig.
Pedesaan Linier Eksponensial Kuadratik
0,995 0,969 0,996
0,000 0,000 0,000
1,053 1,297 1,108
0,000 0,000 0,000
0,034 0,012 0,030
0,000 0,000 0,002
0,000
0,427
Linier Eksponensial Kuadratik
0,975 0,979 0,990
0,000 0,000 0,000
1,201 1,501 1,466
0,001 0,000 0,001
0,038 0,012 0,020
0,000 0,000 0,054
0,000
0,068
Linier Eksponensial Kuadratik
0,950 0,883 0,952
0,000 0,002 0,002
1,221 1,385 1,140
0,002 0,000 0,022
0,033 0,012 0,038
0,000 0,002 0,058
0,000
0,720
A-8
B-8
Tabel 60
Estimasi kurva pertumbuhan dengan fungsi linier, eksponensial dan kuadratik anak kambing jantan pada kelompok pedesaan, A-8, B-8. R Square
Kelompok
Sig.Prob anova
Jenis Fungsi
a
Sig.
Koefisien partial b Sig. c
sig.
Pedesaan Linier Eksponensial
0,894 0,961
0,001 0,000
0,694 1,060
0,087 0,000
0,034 0,013
0,001 0,000
Kuadratik
0,978
0,000
1,280
0,004
-0,006
0,606
0,000
0,017
Linier Eksponensial Kuadratik
0,956 0,986 0,990
0,000 0,000 0,000
0,980 1,431 1,414
0,019 0,000 0,008
0,048 0,014 0,019
0,000 0,000 0,239
0,000
0,089
Linier Eksponensial
0,896 0,967
0,001 0,000
0,685 1,058
0,088 0,000
0,034 0,013
0,001 0,000
Kuadratik
0,983
0,000
1,280
0,003
-0,006
0,548
0,000
0,011
A-8
B-8
Membandingkan pola pertumbuhan masing-masing kelompok baik anak jantan maupun betina disajikan pada Tabel 61. Dari hasil analisis uji F menunjukkan
149
bahwa anak kambing jantan yang dipelihara di pedesaan dan di stasiun percobaan A8 dan B-8 berbeda sangat nyata (p<0,01) pada bobot lahir, bobot badan 30 hari, 60, 90 dan 120 hari dan berdasarkan uji duncan menunjukkan bahwa kelompok A-8 lebih tinggi dari kelompok pedesaan dan kelompok B-8. Sedangkan untuk kelompok pedesaan dengan kelompok B-8 tidak berbeda nyata (p > 0,05). Perbedaan nilai tengah dari masing-masing kelompok antara A-8 dengan kelompok pedesaan sebesar 0,634 dan antara kelompok A-8 dan kerlompok B-8 adalah 0,360 kemudian antara kelompok B-8 dengan pedesaan sebesar 0.274. Anak kambing betina dari tetua I-8, semua kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) baik kelompok A-8 dengan pedesaan maupun pedesaan dengan B-8 dan yang memiliki bobot tertinggi adalah kelompok A-8. Perbedaan nilai tengah antara kelompok A-8 dengan pedesaan sebesar 0,173, kemudian antara A-8 dan B-8 adalah 0,016 sedangkan untuk kelompok B-8 dan pedesaan adalah 0,190. Ini berarti bahwa penerapan metode perkawinan setara positif yaitu perkawinan antara pejantan dan induk dari kelompok I-8 yang telah mengalami seleksi masa ke arah atas (di atas bobot rata-rata) dapat meningkatkan bobot anak kambing pada umur strategis yaitu bobot lahir, umur 30, 60, 90 hari.
Tabel 61 Rataan bobot badan kambing kacang dari kelompok tetua I-8. Kelompok Umur (hari) Pedesaan Jantan
SB
Rataan Bobot Badan (kg) A-8 SB B-8
SB
0 30 60 90 120
1.17 1.99 2.85 4.35 5.38
±0.278 ±0.410 ±0.250 ±0.507 ±0.660
1.46 2.51 3.33 5.23 6.63
±0.292 ±0.230 ±0.150 ±0.334 ±0.370
1.17 2.27 3.15 4.72 5.98
±0.278 ±0.260 ±0.090 ±0.559 ±0.500
0 30 60 90 120
1.04 2.42 3.04 4.66 5.86
±0.283 ±0.380 ±0.410 ±0.478 ±0.450
1.33 2.37 3.28 4.75 5.95
±0.350 ±0.390 ±0.370 ±0.366 ±0.350
1.04 2.20 3.28 4.72 5.45
±0.283 ±0.300 ±0.570 ±0.542 ±0.630
Betina
150
Penambahan bobot badan per hari untuk anak kambing jantan di tiga lokasi pengamatan berkisar anatara 27,59 g – 58,00 g untuk anak kambing jantan dan untuk betina 26,23 g – 50,83 g untuk semua kelompok. Untuk anak kambing jantan kelompok tertinggi adalah A-8 yaitu 58,00 ± 0.006 g yang terjadi pada periode 60-90. Secara keseluruhan anak kambing jantan dan betina pada kelompok A-8 memiliki bobot badan yang lebih baik untuk periode umur 0-30, 30-60, 90-120 hari. Untuk penambahan bobot badan harian tertinggi kelompok anak jantan dan betina masingmasing 58,00 ± 0,006 pada kelompok A-8 dan 50,83 ±0.011 pada kelompok B-8 yang keduanya terjadi pada periode 60-90 hari, sedangkan terendah pada kelompok pedesaan untuk anak kambing jantan yaitu 28,37 ± 0,015 dan A-8 untuk anak kambing betina 26,23± 0,009 yang keduanya terjadi pada periode umur 30-60 hari Penambahan bobot badan kelompok B-8 tertinggi adalah pada periode umur 60-90 hari yaitu masing-masing untuk jantan dan betina adalah 55,92±0.005 dan 50,83 ± 0.011 dan yang terendah pada periode umur 30-60 hari yaitu untuk ternak jantan 31,48 ± 0.011 dan untuk betina 31,83 ± 0.012. Penambahan bobot badan tertinggi pada kelompok pedesaan untuk jantan adalah 50,00 ± 0,007 dan betina adalah 48,74 ± 0,008 yang keduanya berada pada periode umur 60-90 hari, sementara terendah anak kambing jantan adalah 27,59 ± 0,010 berada pada periode umur 0-30 hari dan betina 34,85 ± 0,013 berada pada periode 30-60 hari.
Masing-masing periode umur pertumbuhan per hari berbeda sangat nyata (p <
0,01) hanya pada periode umur antara 0-30 dengan 30-60 hari yang berbeda tidak nyata (p>0,05) dimana perbedaan rata-rata nilai tengahnya sangat kecil yaitu sebesar 0,003 berdasarkan uji perbedaan rata-rata nilai tengah Duncan. Rata-rata pertumbuhan bobot badan anak kambing kacang jantan dan betina dari perkawinan tetua I-8 disajikan pada Tabel 62. Pertumbuhan kambing pada masing-masing kelompok dan jenis kelamin tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil ini membuktikan bahwa seleksi masa kearah atas dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak kambing per hari pada periode 0-30 hari, 30-60 hari, 60-90 hari dan 90-120 hari pada anak kambing jantan berturut turut adalah 20,36%, 18,24%, 33,61% dan 27,79% dan untuk anak kambing betina
151
sebesar 25,92% 18,18%, 30,23% dan 25,66%. Sama seperti anak kambing dari tetua I-6, kecendrungan peningkatan pertambahan bobot badan harian juga terjadi pada periode 60-90 hari dan 90-120 hari. Tabel 62 Rataan pertambahan bobot badan anak kambing kacang dari tetua I-8. PBBH (g) Kelompok
Periode
Jantan
Betina
Pedesaan
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
27.59±0.010 28.37±0.015 50.00±0.007 40.48±0.017
36.85±0.008 34.85±0.013 48.74±0.008 36.44±0.006
A-8
0 - 30 30 - 60 60 - 90 90 - 120
35.15±0.011 31.48±0.009 58.00±0.006 47.96±0.016
37.40±0.015 26.23±0.009 43.63±0.014 37.03±0.006
B-8
0 - 30 30 - 60
35.14±0.011 31.48±0.009
33.95±0.050 31.83±0.011
60 - 90 90 - 120
55.92±0.005 46.63±0.007
50.83±0.011 41.45±0.060
152
Dinamika Populasi Kambing Kacang di Maluku Utara
Sifat dasar populasi Telah diamati 883 ekor karakter fenotipik kambing kacang berkelamin jantan dan betina di provinsi Maluku Utara yang hasilnya disajikan pada Tabel 63. Pengamatan ini dilakukan di enam lokasi penelitian yaitu pulau Ternate, sofifi, Jailolo, Morotai, Bacan dan Sanana dengan proporsi masing-masing 16.5, 16.3, 17, 18.2, 15.1 dan 16.9 persen. Tabel 63 Proporsi warna dominan kambing kacang di Maluku Utara. Warna bulu Dominan Lokasi penelitian Ternate Sofifi Jailolo Morotai Bacan Sanana Sumber: data olahan 2008.
Jumlah kambing
%
Coklat
%
Hitam
%
Putih
%
146 144 150 161 133
16.5 16.3 17 18.2 15.1
86 82 76 69 66
58.9 56.9 50.7 42.9 49.6
53 53 69 88 67
36.3 36.8 46 54.7 50.4
7 9 5 4 0
4.8 6.3 3.3 2.5 0
149
16.9
85
57
60
40.3
4
2.7
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna bulu dominan yang terdapat pada kambing kacang di lokasi penelitian adalah hitam (H), coklat (C) dan putih (P). Warna bulu hitam yang ditemui di lokasi terdiri dari warna bulu hitam tanpa belang dan bulu hitam dengan belang. Warna belang pada kambing kacang adalah biasanya belang besar putih atau belang kecil, selain itu ada juga kambing (H) dengan bintikbintik putih. Sebaliknya kambing Kacang dengan warna (P) juga terdiri dari warna putih tanpa belang dan bulu putih dengan belang. Umumnya belang pada kambing kacang putih adalah belang hitam. Ada juga yang ditemui bulu putih dengan bintikbintik hitam. Kambing kacang dengan warna bulu dominan coklat kelihatan lebih beragam dibandingkan dengan kelompok (H) dan (P) yaitu, coklat polos, coklat dengan belang besar, belang kecil hitam maupun putih, coklat dengan garis punggung hitam serta mempunyai belang, juga di temui kambing kacang (C) dengan bintik-bintik hitam ataupun putih. Pola warna pada kambing kacang coklat ada tiga macam yaitu coklat
153
sendiri atau coklat dengan hitam, coklat dengan putih ataupun kombinasi tiga warna tersebut. Tabel 64 menunjukkan penyebaran dari beberapa sifat dasar fenotip kualitatif pada kambing kacang jantan dan betina di lokasi penelitian. Dari ketiga kelompok warna bulu dominan, kelompok (C) menempati urutan pertama dalam proporsinya baik pada jantan maupun betina yaitu masing-masing 52.6 dan 52.2 persen. Kelompok (H) menempati urutan ke dua yaitu 43.6 dan 44.5 persen dan kelompok putih dengan frekuensi terkecil dengan proporsi 3.8 dan 3.0 persen. Berdasarkan pembagian lokasi penelitian, hanya pulau Morotai dan Bacan yang memiliki proporsi warna hitam tertinggi 54.7 persen dan 50.4 persen kemudian diikuti warna (C) dengan porposi 42.9 persen untuk Morotai dan 49.6 persen dan seterusnya putih 2.5 persen untuk Morotai. Di Bacan tidak ditemukan kambing kacang dengan warna putih dominan. Sementara empat lokasi lainnya warna (C) mendominasi warna dominan ternak kambing kacang. Secara keseluruhan tanpa menghiraukan jenis kelamin dan lokasi penelitian proporsi kelompok (C), (H) dan (P) dari total 883 ekor kambing kacang berturut-turut yaitu 52.5, 44.2 dan 3.3 persen. Frekuensi kelompok warna bulu dominan di lokasi penelitian dapat dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian di lokasi atau negara lainnya disajikan pada Gambar 44. Sifat dasar fenotipik lainnya yang diamati dalam penelitian ini adalah garis muka kambing kacang yang dikategorikan sebagai garis muka lurus, cembung, dan cekung. Hasil pengamatan dari 883 ekor kambing Kacang, garis muka lurus mendominasi kambing kacang di lokasi penelitian dengan porporsi 86.9 persen kemudian urutan kedua garis muka cekung 12.7 persen dan ketiga garis muka cembung 0.5 persen. Berdasarkan jenis kelamin jantan dan betina proporsi garis muka lurus, cembung dan cekung berturut-turut adalah 87.2, 12.8 dan tidak terdapat garis muka cekung pada jantan, dan 86.7, 12.6 dan 0.7 persen untuk kambing kacang betina.
154
Tabel 64 Proporsi sifat dasar fenotip kualitatif kambing kacang di Maluku Utara.
Sifat Kualitatif
Jantan Frek
Betina Frek
%
Total Frek
%
%
Warna Bulu Coklat ( C ) Hitam (H) Putih (P)
164 136 12
52.6 43.6 3.8
300 254 17
52.5 44.5 3
464 390 29
52.5 44.2 3.3
Lurus
272
87.2
495
86.7
767
86.9
40 0
12.8 0
72 4
12.6 0.7
112 4
12.7 0.5
25 273 14
8 87.5 4.5
63 491 17
11 86 3
88 764 31
10 86.5 3.5
312
100
568
99.5
880
99.7
0
0
3
0.5
3
0.3
Garis Muka Cembung Cekung Garis Punggung Lurus Cekung Cembung Tanduk (+) (-)
Pertandukan pada kambing Kacang juga diamati pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kambing jantan di lokasi penelitian mempunyai tanduk, sedangkan betina 99.5 persen. Sebanyak 3 ekor atau 0.5 persen yang ditemukan tidak bertanduk, termasuk anak kambing yang baru lahir. Hal ini didasarkan bahwa semua kambing dewasa mempunyai genotipe homosigot resesif. Frekuensi kambing yang bertanduk pada lokasi lain di Indonesia seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Madura berkisar antara 80 – 100% (Katsumata, et al., 1981) Pengamatan juga dilakukan terhadap garis punggung yang diklasifikasikan atas tiga kategori, yaitu lurus, cekung dan cembung. Dari hasil pengamatan secara keseluruhan, kambing Kacang baik jantan maupun betina memiliki garis punggung cekung dengan proporsi tertinggi yaitu 87.5 persen untuk jantan dan 86.0 persen untuk betina. Sementara garis punggung lurus menempati urutan ke dua yaitu 8 persen untuk jantan dan 11 persen untuk betina, dan garis punggung cembung dengan proporsi yang sangat kecil yaitu untuk jantan 4.5 persen dan betina 3 persen. Hasil
155
penelitian ini sesuai dengan laporan yang disampaikan oleh Devendra dan Burns (1970), bahwa kambing kacang Malysia umumnya bertelinga pendek tegak, lehernya pendek, punggung melengkung lebih tinggi daripada bahu dengan warna yang beragam dari coklat dan hitam. Sementara menurut Katsumata et al. (1981), ternak kambing di Bali dan Madura memiliki proporsi bentuk punggung melengkung berkisar 80 sampai 99 persen.
156
Keterangan : I =Darussalam, II = Malaysia Barat, III = Malaysia Timur, IV = Philipina, V = Tahiland, VI = Taiwan, VII = Sumatera Barat, VIII = Sulawesi Selatan, IX = Jawa Barat.
Gambar 44 Histogram frekuensi warna bulu kambing kacang di Sembilan lokasi. Untuk lokasi II dan III diolah dari Shotake et al. 1976, IV dari Nozawa et al. 1978, V dari Nozawa (1974), VI dari Nozawa dan Watanabe (1969), sedangkan VII, VIII dan IX dari Katsumata et al. 1981.
157
Struktur Populasi Pada Tabel 65 disajikan populasi ternak kambing di tiap lokasi selama penelitian dari Januari – Oktober 2007 sebanyak 3.928 ekor dari 427 responden peternak. Dari jumlah ini terdapat kambing jantan dewasa 360 ekor (9,16%), 1743 ekor betina dewasa (44,37%), 889 ekor kambing jantan muda dan anak (22,63%), dan kambing betina muda dan anak 936 ekor (23,83%). Ketersediaan jantan pemacek hanya 9,16%. Ini dirasakan sangat minim. Rasio jantan betina sebesar 1 : 4,84 untuk ukuran provinsi, sedangkan kabupaten kepulauan Sula dan Halmahera Barat memiliki rasio tertinggi, yang masingmasing mempunyai rasio 1 : 11,27 dan 1 : 7,61 artinya satu ekor pemacek melayani 7 sampai dengan 11 ekor. Ukuran ini tidak ideal. Namun secara teoritis jantan yang tersedia masih mencukupi untuk mengawini betina yang ada, walaupun nilai rasio ini bukan merupakan jaminan bahwa induk-induk tersebut efektif terlayani oleh pejantan yang ada karena sebaran jantan menjadi faktor penentu. Hasil ini dapat dijadikan patokan umum untuk penyebaran kambing di daerah pengembangan ternak ruminansia kecil (kambing) yang dilakukan instansi teknis di bidang peternakan. Hasil penelitian menunjukkan juga bahwa rasio jantan betina adalah 48,71 : 51,29. Keadaan ini sesuai yang dilaporkan oleh Raabe dari hasil pengolahan catatan kelahiran kambing Etawah di Slumpang (Jawa Timur), bahwa kelahiran Cempe betina lebih banyak daripada cempe jantan dengan nisbah kelamin 42,86 : 57,14. Nisbah kelamin pada cempe yang dilahirkan di Provinsi Maluku Utara pada periode Januari-Oktober 2007 ini tidak berbeda nyata dari perbandingan genetik yang diharapkan yaitu 50 : 50 (Uji X2 ), yang menunjukkan bahwa tidak ada faktor genetik penting yang mengganggu keseimbangan nisbah kelamin cempe yang dilahirkan.
158
Tabel 65 Struktur populasi kambing selama periode penelitian Januari- Oktober 2007. Kabupaten/Kota
Januari - Oktober2007 Peternak
Dewasa
Anak
Jumlah
jantan
betina
jantan
Betina
Kota Ternate Kec.Ternate Utara
30
13
95
65
72
245
Kec Ternate Selatan
30
18
78
50
55
201
Kec.P.Moti
20
9
70
66
70
215
Jumlah
80
40
243
181
197
661
Tidore Kepulauan Tidore Utara
20
26
97
44
57
224
Sofifi
20
35
85
52
54
226
Oba
20
32
109
36
51
228
Jumlah
60
93
291
132
162
678
20
12
32
30
27
101
Jailolo Selatan
20
12
134
74
39
259
Sahu/Ibu
20
9
85
66
33
193
Jumlah
60
33
251
170
99
553
Morotai Selatan
20
11
72
32
32
147
Tobelo
15
17
70
10
10
107
Malifut
10
22
71
6
8
107
Jumlah
45
50
213
48
50
361
Weda Selatan
30
18
63
88
89
258
Weda Tengah
16
9
55
40
45
149
Jumlah
46
27
118
128
134
407
Wasiley
30
31
129
81
93
334
Wasiley Timur
21
17
77
48
66
208
Jumlah
51
48
206
129
159
542
Halmahera Barat Jailolo
Halmahera Utara
Halmahera Tengah
Halmahera Timur
Halmahera Selatan Bacan
15
8
85
11
13
117
Bacan Timur
15
22
87
16
10
135
Makian
15
28
125
39
48
240
Jumlah
45
58
297
66
71
492
P.Sanana
40
11
124
35
64
234
Total
427
360
1743
889
936
3928
Kepulauan Sula
159
Tingkat Kematian (Mortalitas) Informasi tentang kematian berasal dari pernyataan peternak, dengan beberapa penyebab seperti anak kambing yang lemah pada saat dilahirkan sehingga tidak dapat menyusu dengan baik, anak kambing yang terinjak induknya, dan karena penyakit. Penyakit yang paling sering dialami sehingga menyebabkan kematian pada anak kambing adalah infeksi parasit kulit, penyakit mata, dan mencret. Menurut Sihombing (1977), bahan makanan yang diberikan dan manajemen terhadap ternak yang dipelihara serta penyakit merupakan faktor-faktor penyebab tinggi rendahnya angka kematian. Persentasi kematian cempe dan kambing dewasa di tampilkan pada Tabel 66. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari total kelahiran sebanyak 1 825 ekor kematian cempe sebesar 272 ekor dengan persentasi 14.90 % dan dewasa 9.92%, proporsi kematian anak tertinggi berada di kabupaten Halmahera Selatan (24.09%) dan Kepulauan Sul ( 20.20%) sedangkan yang terendah adalah kota Tidore Kepulauan (11.22%). Untuk kematian dewasa tertinggi adalah Halmahera Utara (24.49%), sedangkan terendah adalah Halmahera Tengah (6.11%). Tingginya angka kematian anak kambing (cempe) di Halmahera Selatan diperkirakan karena penyakit mata dan scabies. Secara keseluruhan rata-rata tingkat kematian ternak kambing di provinsi Maluku Utara 24.82% ± 2,07. Tabel 66. Angka mortalitas ternak kambing kacang di Maluku Utara. Kab/Kota
Banyak Kelahiran
Kematian Cempe
Kematian Dewasa
Persentasi Kematian (%) Cempe
Ternate Tidore Halut Halut Halteng Haltim Halsel Sula
378 294 269 98 262 288 137 99
55 33 44 15 34 38 33 20
Jumlah 1825 272 Sumber: Subdin Peternakan (2006) yang diolah.
Dewasa
per Total Jumlah kambing Jumlah mati %Total
31 23 35 24 16 18 20 14
14.55 11.22 16.36 15.31 12.98 13.19 24.09 20.20
8.20 7.82 13.01 24.49 6.11 6.25 14.60 14.14
86 56 79 39 50 56 53 34
22.75 19.05 29.37 39.80 19.08 19.44 38.69 34.34
181
14.90
9.92
453
24.82
160
Besaran Populasi Menggambarkan dinamika populasi dari ternak kambing di Maluku Utara disajikan trend pertumbuhan populasi dari ternak kambing dari tahun 1999 sampai 2005 yang ditampilkan dalam Gambar 45. Jumlah populasi ternak kambing terendah terjadi pada tahun 1999, hal ini disebabkan karena konflik (pertikaian yang bernuansa sara) yang terjadi di masyarakat, disamping terjadi pemotongan ternak yang tidak terkontrol, sebagian dari ternak ini masuk kehutan dan sebagian besar dibawa ke Provinsi Sulawesi Utara. Kurva pertumbuhan populasi ini terlihat jelas bahwa terdapat pertumbuhan meningkat dari tahun 2000 ke 2001 secara linier. Periode 2001 ke 2005 terdapat gejolak turun naik (osilasi) yang cukup signifikan dari tahun 2001 ke tahun 2003, kemudian dari 2003 ke 2004 terjadi pertumbuhan meningkat yang besarnya tidak begitu berarti. Adanya gejolak ini menunjukan bahwa terjadi suatu dinamika yang tidak stabil. Naiknya populasi yang sangat tajam pada tahun 2000 ke 2001 disebabkan karena adanya program pemerintah Peningkatan Kesejahteraan Petani/peternak (PKP) pada tahun 2000.
Trend Populasi Ternak kambing Linear Trend Model Yt = 28416.7 + 13511.1*t 160000
Variable Actual Fits
140000
Accuracy Measures MAPE 208 MAD 32554 MSD 1571238569
pop kamb
120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1999
2000
2001
2002 Year
2003
2004
2005
Gambar 45 Trend populasi ternak kambing dari tahun 1999 – 2005 (Sumber ; Subdin Peternakan 2006).
161
Tingkat pertumbuhan populasi kambing dari tahun 1999 hingga 2005 di Maluku Utara sebesar 33,2 persen pertahun. Berdasarkan data jumlah populasi kambing dari tahun 2006 terdapat sekitar 159 981 ekor yang tersebar di 8 kabupaten /kota di Maluku Utara. Sebaran tertinggi (36.87%) berada di Kota Tidore, kemudian 21.33 persen berada di Halmahera Selatan dengan sentra pengembangan berada di kecamatan Makian dan Kayoa, 15.07 persen berada di Halmahera Tengah dengan sentra pengembangan berada di Weda, kemudian 11.73 persen berada di kawasan Kepulauan Sula dengan sentra pengembangan berada di Sanana dan Sula Barat. Penyebaran populasi yang tidak merata dengan skala pemilikan ternak yang rendah menyebabkan tidak adanya jaminan kontinyuitas produksi. Selain itu juga pengembangan sumber-sumber bibit melalui pembibitan rakyat masih dilakukan secara alamiah sehingga kualitas dan kuantitas bibit unggul ternak kambing belum nampak. Selama ini pengadaan bibit unggul ternak kambing masih didatangkan dari luar daerah seperti Maluku, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Upaya peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan peningkatan efisiensi reproduksi induk dan meningkatkan produksi anak. Efisiensi reproduksi ternak kambing yang dinyatakan dengan laju reproduksi induk (LRI) sangat dipengaruhi oleh rataan jumlah anak sekelahiran atau litter size (LS), laju mortalitas anak pra sapih (M) dan Kidding Interval (CI). Berdasarkan keragaan produktivitas ternak kambing di Maluku Utara dapat dinyatakan bahwa rataan jumlah anak sekelahiran sebesar 1,8 ekor dengan laju mortalitas pra sapih 15 persen dan kidding interval sebesar 330,1 hari (11 bulan). Laju reproduksi induk berdasarkan besaran komponen reproduksi tersebut di atas dapat di perkirakan sebesar 1,67 ekor anak sapih/induk/tahun. Laju reproduksi induk (LRI) ini di bawah standard LRI kambing nasional sebesar 2.02 ekor anak sapih/induk/tahun. Melihat potensi wilayah dan tujuan pengembangan ternak kambing di Maluku Utara, maka skala usaha menjadi persoalan yang perlu dipertimbangkan berdasarkan sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skala usaha rata-rata peternak kambing di Maluku Utara adalah 8 ekor dalam satu keluarga usaha tani sedangkan yang tertinggi berada di kota Tidore dan Ternate yang rata-rata peternak
162
memiliki 10 ekor. Skala usaha ini tergolong baik karena berada di atas rata-rata nasional yaitu 3-4 ekor. Namun jika dihubungkan dengan potensi wilayah provinsi Maluku Utara maka sakala usaha ini perlu mendapat perhatian. Kelemahan yang dimiliki peternak di lokasi penelitian ini adalah belum memaksimalkan kemampuan ternak kambingnya untuk berproduksi dan belum mengoptimalkan alokasi waktu dari tenaga kerja keluarga yang terlibat sehingga pendapatan yang diperoleh relatif sedikit dan hanya merupakan usaha sambilan. Keragaan dinamika populasi dengan skala 8 dan 10 ekor disajikan pada Gambar 46 dan 47.
7 ekor induk dan 1 pejantan LRI = 1,67 12 ekor anak hidup sampai sapih/thn Mortalitas 9,92%
11 ekor kambing dewasa/th
Nisbah kelamin (43:57) Jantan 5 ekor
Gambar 46
Betina 6 ekor
Skematis dinamika populasi ternak kambing dengan skala 8 ekor selama satu periode produksi.
163
Gambar 47 Dinamika populasi ternak kambing pola tradisional dengan skala 8 ekor per peternak.
Gambar 47 memberikan gambaran bahwa selama 24 bulan (2 tahun) dengan kondisi keragaan reproduksi yang dimiliki, induk kambing hanya mampu melahirkan 2 kali yaitu pada bulan ke-6 dan bulan ke-17. Kondisi ini peternak hanya mampu menjual kambing pada bulan ke-18 yaitu ternak yang berumur lebih dari 1 tahun sebanyak 10 ekor. Bulan ke 24 peternak hanya memiliki 11 ekor kambing (5 ekor jantan dan 6 ekor betina) muda yang berumur 7 bulan. Untuk menerapkan pendekatan peternakan yang berbasis agribisnis, skala usaha ini perlu diubah sebab kondisi ini tidak menjamin kontinyuitas penawaran dalam memenuhi permintaan, disamping tuntutan kualitas produk yang baik. Untuk itu perlu upaya yang optimal untuk meningkatkan kemampuan ternak kambing dengan penerapan teknologi seperti mengeksploitasi kemampuan reproduksi ternak kambing yang dapat memperpendek kidding interval menjadi 7-8 bulan, meningkatkan rataan jumlah anak sekelahiran dengan cara menyeleksi induk yang prolifik, management pemeliharaan anak kambing yang baik sehingga dapat menekan angka mortalitas 10 persen pra sapih dan 5 persen lepas sapih. Skenario dinamika populasi dengan keragaan reproduksi ini dapat di tunjukan pada Gambar 48 dan 49.
164
7 ekor induk dan 1 pejantan LRI = 2,02 14 ekor anak hidup sampai sapih/thn Mortalitas 5 %
13 ekor kambing dewasa/th Nisbah kelamin (43:57)
Jantan 6 ekor
Betina 7 ekor
Gambar 48. Skematis dinamika populasi ternak kambing dengan skala 8 ekor selama satu periode produksi.
Gambar 49
Skenario dinamika populasi ternak kambing dengan skala 8 ekor ternak kambing.
165
Gambar 49 menunjukkan bahwa dengan upaya optimal, pengaturan management yang baik berdampak pada perbaikan keragaan reproduksi seperti rataan jumlah anak sekelahiran, laju mortalitas pra sapih sekitar 10 persen dan selang beranak sebesar 8 bulan, dengan demikian LRI dapat diperkirakan sebesar 2,02 ekor anak sapih/induk/tahun. Skenario ini maka kita akan memperoleh anak 3 ekor anak/induk selama 2 tahun (kalau setiap induk melahirkan anak tunggal). Penjualan kambing juga dapat dilakukan 2 kali pada ternak yang berumur 8 bulan sebanyak 26 ekor masing-masing 13 ekor pada bulan ke 14 dan 13 ekor pada bulan ke 22. Pada akhir tahun ke dua peternak masih memiliki 8 ekor induk dengan 13 ekor anak yang berumur 3 bulan. Kondisi riil populasi ternak kambing kacang di Maluku Utara pada tahun 2006 sebesar 159 981 ekor. Berpedoman pada struktur populasi seperti pada Tabel 65 maka diperoleh kambing jantan dewasa sebanyak 14 662 ekor (9,16%), 70 990 ekor betina dewasa (44,37%), 36 208 ekor jantan muda dan anak (22,63%), dan kambing betina muda dan anak 38 122 ekor (23,83%). Dengan laju reproduksi induk sebesar 1,67 ekor anak sapih/induk/tahun. Angka mortalitas kambing dewasa sebesar 9,92% dan periode lepas sapih 5%. Ternak pengganti sebesar 25%, dan kambing afkir sebesar 20%, maka keragaan dinamika populasi seperti pada Gambar 50. Gambar 50 terlihat bahwa jumlah induk produktif sebanyak 51 567 ekor dengan jumlah jantan 10 651 ekor maka satu ekor jantan dapat melayani 5 ekor betina. Idealnya pada kondisi wilayah Maluku Utara dengan penyebaran jantan pemacek dan juga skala kepemilikan ternak jantan yang tidak merata akan berdampak pada keragaan seperti yang digambarkan, oleh karena itu perlu pengaturan kepemilikan jantan pemacek sehingga induk dapat mencapai laju reproduksi seperti yang diinginkan. Peningkatan jumlah ternak yang dipelihara diharapkan secara nyata akan meningkatkan pendapatan. Di samping itu, dengan skala usaha yang optimum sesuai dengan daya dukung wilayah di Maluku Uatara serta kemampuan peternak mengadopsi teknologi reproduksi, akan meningkatkan pendapatan peternak kambing di Maluku Utara.
166
68 919 ekor/tahun
12 892 ekor betina
33 740 ekor betina
35 179 ekor jantan Nisbah kelamin 57 :43
81 811 ekor (8 bulan)
Replacement 25 persen
Mortalitas 5 persen
86 117 ekor sapihan
14 192 betina dewasa 2 932 jantan dewasa
LRI = 1,67
51 567 ekor induk 10 651 ekor jantan
Mortalitas 9.92 persen
Afkir 20 persen
70 990 ekor induk 14 662 ekor jantan
Gambar 50 Keragaan dinamika populasi ternak kambing di Maluku Utara.
167
Dengan mengetahui kemampuan induk menghasilkan anak hidup sampai disapih dalam satuan waktu tertentu, angka mortalitas, maka dapat diperkirakan target populasi yang akan di capai dalam jangka waktu tertentu seperti pada Tabel 67, yaitu estimasi dinamika populasi kambing kacang di Maluku Utara sampai tahun 2010. Tabel 67. Keragaan estimasi dinamika populasi kambing kacang di Maluku Utara tahun 2006-2010 Struktur populasi Populasi awal tahun
2006
Pejantan Induk Jantan muda betina muda jantan anak betina anak Jumlah populasi Koefisien teknis LRI (ekor/induk/thn) Mortalitas dewasa prasapih pascasapih Kidding Interval (hr) Nisbah kelamin Afkir Pemotongan Populasi akhir tahun Pejantan Induk Jantan muda betina muda jantan anak betina anak Jumlah populasi
Keragaan populasi 2007 2008
2009
2010
14.662 70.990 36.208
9.799 47.442 36.208
28.984 53.905 33.420
39.315 61.870 32.365
45.159 66.007 42.208
38.122 0 0 159.981
38.122 35.179 46.632 213.382
44.300 34.068 45.159 239.836
42.901 44.429 58.894 279.774
55.949 44.429 58.894 312.646
1,67 0,099 0,15
1,67 0,099 0,15
1,67 0,099 0,15
1,67 0,099 0,15
1,67 0,099 0,15
0,05
0,05
0,05
0,05
0,05
330,1 0,43:0,57 0,20 0,08
330,1 0,43:0,57 0,20 0,08
330,1 0,43:0,57 0,20 0,08
330,1 0,43:0,57 0,20 0,08
330,1 0,43:0,57 0,20 0,08
9.799 47.442 36.208 38.122 35.179 46.632
28.984 53.905 33.420 44.300 34.068 45.159
39.315 61.870 32.365 42.901 38.709 51.312
45.159 66.007 36.774 48.746 44.429 58.894
55.042 76.832 42.208 55.949 47.400 62.832
213.382
239.836
266.472
300.009
340.263
168
Pola Pemuliaan Ternak Kambing di Maluku Utara
Pengembangan pola pemuliaan merupakan proses yang berawal dari perencanaan awal, penentuan tujuan pemuliaan, kegiatan recording, optimalisasi struktur pemuliaan, dan evaluasi untuk mengetahui hasil yang dicapai. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan berikutnya. Keberhasilan program pemuliaan sangat ditentukan oleh kejelasan tujuan serta peran peternak yang terlibat dalam kegiatan pemuliaan. Aspek yang harus dipertimbangkan untuk membuat program pemuliaan diantaranya adalah kebijakan pembangunan pertanian, sistem produksi, pasar, bibit ternak, infrastruktur serta peran peternak. Berdasarkan kerangka di atas komponen yang
harus
diperhatikan
dalam
pengembangan
program
pemuliaan
dapat
dikelompokan menjadi dua faktor yaitu faktor internal, yang langsung terlibat dalam pola pemuliaan dan faktor eksternal, yaitu bersifat pendukung dalam pola pemuliaan. Faktor internal antara lain sumberdaya manusia, sumberdaya ternak, tujuan pemuliaan, parameter genetik, seleksi dan perkawinan, sedangkan faktor eksternal antara lain adalah sarana dan prasarana, kebijakan pemerintah, pasar dan sosial budaya. Menyusun rencana pola pemuliaan dan pengembangan ternak kambing di Maluku Utara, diskusi terfokus pada masing-masing wilayah penelitian
dengan
melibatkan responden terpilih,- yang mempunyai kemampuan dan pengalaman di bidang peternakan,- telah dilakukan. Diskusi ini terfokus pada pola pengembangan yang sesuai untuk dilaksanakan atau dikembangkan berdasarkan pola baku yang telah dikembangkan, kemudian ditentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara, selanjutnya rumusan ini dianalisis dengan alat bantu software Expert Choice untuk menentukan skala prioritas pengembangan pola pemulian kambing di Maluku Utara. Model pemuliaan yang dilaksanakan saat ini sangat sederhana dan sangat tidak jelas tujuan pemuliaan yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan karena minimnya pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak. Hasil pengukuran tiga faktor
169
sebagaimana diringkas pada Tabel 24 pada halaman 80 menunjukan bahwa bobot nilai rata-rata untuk pengetahuan peternak (26.05±3.82), motivasi (30.16±2.38) sehingga berdampak pada partisipasi (23.37±3.06). Hal ini berdampak pada tidak optimalnya kegiatan pemuliaan di Maluku Utara. Pencatatan (recording) yang tidak dilaksanakan dengan baik sehingga seleksi hanya didasarkan pada performans individu ternak (baik jantan maupun betina). Ternak jantan yang baik performansnya dipertukarkan sesama peternak yang masih berada dalam satu kawasan, tanpa memperhatikan silsilah dari jantan tersebut sehingga peluang penggunaan jantan yang masih berkerabat dekat dengan ternak yang dimiliki peternak lain memberikan peluang besar terjadinya inbreeding. Keterbatasn geografis yang dimiliki membuat potensi sumberdaya genetik yang dimiliki ternak kambing di daerah ini masih bertahan pada tingkat genotipenya. Gambaran pola pemuliaan yang dilaksanakan saat ini disajikan pada Gambar 51.
♂
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
♂
♂
Anggota Anggota
Anggota
♂
Anggota
Gambar 51 Pola gabungan peternak dalam satu kawasan.
170
Pola yang saat ini digunakan (Gambar 49) dibandingkan dengan dua pola lainnya yang diadopsi dari beberapa sumber bacaan (Kosgey 2004; Kosgey et al. 2002; Rahmat 2008) sebagaimana terlihat pada Gambar 52 dan Gambar 53. ♂ PETERNAK
PETERNAK ♂
♂
♂ ♂
INTI ♂
♂
PETERNAK
PETERNAK ♂
Gambar 52 Pola satu inti dengan sistem close nucleus.
♂/♀ INTI (Kel.Peternak)
Open Nucleus
Plasma Kel. Peternak Peternak
Peternak
Peternak
Gambar 53 Pola pembibitan dua strata.
171
1. Pola Satu Inti : Pola ini melibatkan satu inti yang sangat central yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah (pemda) atau swasta ataupun gabungan dari kelompok peternak dengan menerapkan sistem close nucleus untuk ternak kambing jantan, kemudian jantan hasil seleksi ini dipergilirkan kepada masyarakat (kelompok peternak). Masyarakat atau kelompok peternak hanya memelihara betina, sementara jantannya ditentukan oleh inti (Gambar 52)
2. Pola Dua Strata : Pola ini juga melibatkan Inti (swasta atau gabungan kelompok peternak) dengan masyarakat (kelompok peternak). Recording dan seleksi dilakukan di masyarakat yang di pantau oleh inti, kemudian ternakternak unggul baik jantan maupun induk dibeli oleh inti kemudian dilakukan seleksi yang terarah, setelah itu, di kembalikan lagi kepada kelompok peternak. Penetapan pola alternatif ini dirumuskan berdasarkan pertimbangan yang tetap mengacu pada kondisi sumberdaya alam atau pemanfaatan sumberdaya lokal (SDM, ekonomi, sosial budaya) yang sesuai kondisi lokal masyarakat Maluku Utara (Gambar 53)
Untuk membandingkan ketiga pola pemuliaan tersebut, para responden yang mempunyai otoritas di bidang peternakan diminta mempertimbangkan delapan faktor yang berpengaruh, yaitu: 1. Sumberdaya peternak Sumberdaya peternak diartikan sebagai semua komponen yang terlibat di dalam proses budidaya ternak yaitu meliputi: peternak/kelompok peternak, pengusaha/asosiasi di bidang peternakan. 2. Sumberdaya ternak Semua rumpun/breed ternak kambing kacang yang hidup dan berkembang biak di Maluku Utara.
172
3. Sosial budaya masyarakat Kehidupan sosial masyarakat dan budaya lokal memeberikan potensi yang cukup kuat untuk pengembangan ternak kambing di Maluku Utara. Tingkat kesukaan terhadap ternak kambing dari hasil penelitian ini sebesar 44.5%, ini memberikan indikasi bahwa ternak kambing sudah memasyarakat di Maluku Utara. Dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, ternak kambing merupakan simbul hewan kurban untuk aqiqah dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. 4. Tujuan pemuliaan Umumnya peternak di Maluku Utara tidak memiliki tujuan pemuliaan yang jelas. Mengembangkan potensi ternak kambing lokal ataupun introduksi rumpun/breed baru kedalam populasi kambing lokal belum di tetapkan secara jelas. Tujuan pemuliaan yang dilaksanakan sangat sederhana yaitu keinginan untuk memperoleh ternak kambing dengan kualitas yang baik, yaitu dari penampilan individu maupun dari faktor kesehatan. 5. Parameter genetik Parameter genetik belum terukur dengan baik, karena umumnya peternak tidak memiliki catatan yang baik dari ternak kambing yang dipelihara. Namun perlu dipertimbangkan adalah performans fenotipe ternak kambing yang ada. 6. Seleksi dan perkawinan Sistem seleksi yang dilakukan sangat sederhana dalam praktek sehari-hari peternak kambing di Maluku Utara. Peternak melihat performans dengan ukuran tubuh yang yang besar dengan kondisi kesehatan yang baik dijadikan sebagai ternak tetua untuk menghasilkan keturunan yang baik. Setelah memperoleh turunan pertama, kambing jantan di kembalikan kepada si pemilik, atau dijual kepada peternak lain. Sedangkan kambing induknya dapat dipertahankan untuk dikawinkan kembali dengan turunan pertama anak jantan hasil perkawinan pertama. Sistim ini dilaksanakan secara terus menerus. Apabila ada kebutuhan ekonomi mendesak baru ternak induk ini dijual.
173
Persoalan mendasar dari peternak ini adalah tidak memiliki recording atas ternak-ternak yang diseleksi. 7. Infrastruktur Ketersediaan sarana-prasarana dalam mendukung kegiatan pemuliaan dirasakan sangat terbatas. Umumnya peternak, maupun kelompok peternak tidak memiliki fasilitas untuk pelaksanaan seleksi dan breeding, seperti peralatan timbangan ternak, alat ukur ternak, peralatan IB, dan sebagian besar peternak belum memperoleh pelatihan maupun kursus tentang penggunaan teknologi seperti ini. Fasilitas ini hanya dimiliki beberapa dinas peternakan lingkup provinsi Maluku Utara, dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan belum optimalnya pemanfaatan peralatan, khususnya penggunaan di tingkat peternak. Infrastruktur lain yang belum tersedia yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah maupun masyarakat adalah kelembagaan keuangan dan koperasi peternak, khususnya koperasi peternak kambing. 8. Pasar Pola pengembangan usaha ternak kambing yang harus mempertimbangkan sistem dan jaringan pemasaran serta kemampuan daya serap pasar per kawasan. Skala usaha pemeliharaan ternak kambing bagi peternak merupakan bagian terpenting yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberlanjutan usaha ternak kambing.
Berdasarkan alternatif pola pemuliaan pada gambar di atas kemudian diurutkan faktor-faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan ini ditentukan berdasarkan pembobotan prioritas melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dengan proses hirarki analisis, hasilnya disajikan pada Tabel 68.
174
Tabel 68 Bobot prioritas faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan Faktor
Bobot Prioritas
Sumberdaya Manusia
0.148
Sumberdaya Ternak
0.129
Infrastruktur
0.128
Tujuan Pengembangan
0.125
Pasar
0.122
Parameter Genetik
0.118
Sosial Budaya
0.117
Seleksi dan perkawinan
0.111
Tabel 68 memperlihatkan bahwa sumberdaya manusia menduduki urutan pertama yang harus dipertimbangkan, urutan kedua dan ketiga masing-masing sumberdaya ternak dan infrastruktur. Tujuan pengembangan menduduki urutan ke empat dan urutan berikutnya adalah pasar, parameter genetik, sosial budaya dan seleksi dan perkawinan. Tujuan dari pengembangan pola pemuliaan menghasilkan ternak-ternak yang mampu berproduksi lebih efisien pada kondisi ekonomi dan sosial ke depan, sehingga sasaran pemuliaan harus mencakup perhitungan ekonomis untuk sifat-sifat yang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak. Oleh karena itu pengembangan ini harus berorientasi pada pasar yang menguntungkan. Pemilihan alternatif dari tiga pola pemuliaan yang di tetapkan untuk dilaksanakan di Maluku Utara, analisis dilanjutkan dengan pemilihan alternatif, hasilnya disajikan pada Tabel 69 dan kurvanya disajikan pada Gambar 54.
175
Tabel 69 Vektor prioritas dari masing-masing faktor yang menentukan alternatif pola pengembangan. Faktor prioritas
Alternatif gabungan kelompok
Pola dua strata
Pola satu inti
Total
Infrastruktur (L: .128) Parameter Genetik (L: .118) Pasar (L: .122) Seleksi dan Perkawinan (L: .112) Sosial Budaya (L: .117)
0.012 0.012 0.069 0.075 0.071
0.081 0.034 0.039 0.025 0.034
0.035 0.072 0.014 0.011 0.012
0.128 0.118 0.122 0.111 0.117
Sumberdaya Manusia (L: .148) Sumberdaya Ternak (L: .129) Tujuan Pengembangan (L: .125)
0.013 0.085 0.009
0.036 0.031 0.084
0.099 0.013 0.032
0.148 0.129 0.125
Total
0.346
0.364
0.288
0.998
Pada Tabel 69 menunjukkan bahwa secara total pola dua strata lebih unggul dari pola gabungan kelompok maupun pola satu inti. Keunggulan ini yang paling menonjol adalah pada tujuan pengembangan dan infrastruktur. Berdasarkan skor diatas maka pola dua strata merupakan pola terbaik untuk dikembangkan menjadi model pola pemuliaan yang berkelanjutan di Maluku Utara. Program yang optimal bukan hanya berhasil dalam meningkatkan mutu genetik ternak kambing tetapi sesuai dengan sarana dan prasarana (infrastruktur) yang ada serta adanya keterlibatan peternak dengan memperhatikan tujuan dari pengembangan serta beroriantasi pasar. Perbaikan mutu ternak kambing untuk mendukung peningkatan produktivitas dapat dilaksanakan melalui seleksi pada komunitas in-situ yang telah cocok dengan lingkungannya, dengan alternatif lain melalui grading up (yaitu persilangan beruntun ternak betina dan anak betinanya terhadap pejantan dari satu rumpun/breed dengan tujuan agar satu kelompok merupakan representatif dari rumpun pejantan yang digunakan). Pengembangan ternak kambing secara croosbreeding dengan perkawinan silang ternak kambing yang memiliki mutu genetik unggul dan produktivitas yang tinggi mengakibatkan perubahan perilaku ternak sehingga perlu diimbangi dengan perbaikan pemberian pakan dan pengendalian penyakit.
176
0.4
Sum of Prty
0.35
0.3 Level 1 0.25
Tujuan Pengembangan (L: .125) Sumberdaya Ternak (L: .129) Sumberdaya Manusia (L: .148) Sosial Budaya (L: .117)
0.2
Seleksi dan Perkawinan (L: .112) Pasar (L: .122) Parameter Genetik (L: .118)
0.15
Infrastruktur (L: .128) 0.1
0.05
0 Gabungan Kelomp
Pola Dua Strata
Pola Satu Inti
Gambar 54 Diagram analisis hirarki proses pemilihan alternatif pola pemuliaan.
Diketahui bahwa pengaruh lingkungan terhadap produktivitas ternak mencapai 70% dibandingkan dengan pengaruh faktor genetik sebesar 30% dan pengaruh perlakuan pakan sendiri dapat mencapai 60% dari pengaruh lingkungan. Perbaikan mutu ternak kambing kacang dapat dilakukan dengan seleksi dan atau perkawinan silang (crossbreeding) melalui grading up untuk dapat menghimpun genotipik unggul pada keturunan yang memiliki kemampuan produksi lebih tinggi dan diimbangi penyesuaian pengaruh lingkungan terhadap tatalaksana pemeliharaan terutama pemenuhan kebutuhan pakan dan pencegahan penyakit. Penyediaan keturunan murni sebagai cikal bakal atau komunitas atau populasai dasar pembentukan bibit “baru” dengan program sistem pemuliabiakan yang mapan. Akan tetapi upaya perkawinan silang (crossbreeding) perlu ditindak lanjuti dengan strategi pemuliabiakan yang terkendali dan berkelanjutan dalam upaya menekan efek samping crossbreeding yang mengarah pada perubahan mutu ternak ke arah
177
perkembangan yang negatif. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan untuk pola pembibitan dengan sistem dua strata seperti Gambar 50 dan konsep lebih detail dapat di lihat pada Gambar 55.
INDUK KAMBING PILIHAN
SEMEN BEKU ANAK Kambing BETINA
ANAK KAMBING JANTAN PILIHAN
ANAK KAMBING JANTAN
Seleksi I (intensitas 10-20%) UJI PERFORMANS
CALON PEJANTAN UNGGUL
Seleksi II ((intensitas 30%) UJI ZURIAT
Recording (data)
INDUK KAMBING PILIHAN
Recording (data) ANAK BETINA
ANAK JANTAN
PEJANTAN UNGGUL
DIJUAL/DIPOTONG
Gambar 55 Konsep bagan pola pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara.
PETERNAKAN RAKYAT
INTI ( Gabungan Kel. Peternak)
KAMBING JANTAN UNGGUL
178
Beberapa hal penting yang direkomendasikan dari responden dalam pelaksanaan pola pemuliaan dengan sistem dua strata yang menggunakan sistem open nucleus adalah seleksi dan perkawinan ternak, sumberdaya peternak dan ternak, parameter genetik, dan kelembagaan pemasaran, yang memberikan kontribusi yang sangat kecil pada skala prioritas untuk penentuan alternatif. Hal yang sama juga pernah dikemukakan oleh Phillipson (2003) bahwa komponen yang harus diperhatikan dalam program pemuliaan untuk negara berkembang antara lain adalah peran peternak, recording untuk bahan seleksi, tujuan pemuliaan itu sendiri serta membangun infrastruktur. Seleksi dan perkawinan ternak mendapat perhatian dalam pola ini sebab langkah awal yang harus diketahui adalah karakteristik dari ternak kambing yang akan dikembangkan. Oleh karena itu penentuan kriteria ternak kambing sangat penting dalam rangka evaluasi dan penentuan cara seleksi. Langkah ini sangat penting karena kadang-kadang sering terlewatkan. Sasaran perkawinan dan kriteria seleksi kadang-kadang menjadi sama, tetapi hal itu tidak harus. Misalnya, suatu tujuan perkawinan untuk mendapatkan ternak dengan daya tahan terhadap penyakit tertentu dengan kriteria seleksi adalah tes respon terhadap suatu immunologi. Metode yang digunakan dalam melakukan seleksi yaitu pengamatan dan pengukuran yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif baik dilakukan secar individu maupun populasi baik pada inti maupun plasma. Ada tiga tahap yang perlu dilakukan dalam seleksi, yaitu: Tahap pertama: seleksi dilakukan terhadap ternak jantan maupun betina pada umur 90 hari yang ditetapkan sebagai umur sapih ternak kambing di Maluku Utara. Sistem seleksi ini adalah seleksi populasi dengan parameter yang diamati adalah bobot badan ternak. Seleksi ini dilakukan baik pada inti, maupun pada plasma untuk mengidentifikasi induk-induk yang baik. Tahap kedua : Seleksi tahap ke dua dilakukan terhadap performans kambing pascasapih, karena hal ini merupakan indikator yang sangat penting dari kemampuan ternak kambing bersangkutan yang berinteraksi terhadap lingkungannya. Seleksi tahap dua ini dilakukan dengan pengamatan terhadap bobot badan kambing yang
179
berumur 360 hari. Disamping bobot badan, parameter lain yang diukur adalah tinggi pundak, panjang badan, dan lingkar dada yang tujuannya adalah untuk mendapatkan calon bibit pejantan dan induk yang baik. Tahap ketiga: Seleksi pada tahap ini adalah seleksi individu baik jantan maupun betina yang dapat dilakukan ketika ternak berumur 2 tahun. Parameter yang digunakan adalah uji libido dan uji kualitas sperma (jantan) dan untuk betina (induk) adalah laju reproduksi induk (LRI) dan nilai produktivitas induk (NPI). Beberapa penelitian melaporkan bahwa untuk dapat menghasilkan bibit unggul genetis dari seekor ternak diperlukan penggunaan seleksi dan system perkawianan yang sesuai dengan tujuan penggunaan bibit (daging, susu, kulit) yang akan dihasilkan. Pelaksanaan seleksi membutuhkan program pencatatan reproduksi dan produksi (Adjisoedarmo dkk. 1996). Di New Zealand peningkatan produksi cempe dilaksanakan dengan program pencatatan produksi yang diikuti dengan seleksi, dimulai tahun 1968. Karakteristik produktif yang dijadikan kriteria seleksi adalah jumlah cempe saat lahir, berat sapih, berat pada umur 6, 9 dan 12 bulan (Rae 1970). Menurut Lewis dan Simm (2002) kemajuan genetik akan meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas seleksi serta peningkatan jumlah induk dalam kelompok yang dikawinkan dengan refrence sire. Salah satu tantangan terberat dalam pola dua strata ini adalah bagaimana mengefektifkan partisipasi peternak dalam program pemuliaan ini. Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada efektifitas organisasi. Ketua kelompok harus mengambil peranan penting dalam keberhasilan program pemuliaan. Kelompok akan bisa berjalan selama masih mampu memenuhi harapan anggotanya. Oleh karena itu perlu dirumuskan aturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan azas koperasi. Peternak yang terlibat dalam kelompok harus memahami benar tujuan dan aturan main pelaksanaan program, sehingga manfaat dapat dirasakan bersama, baik manfaat secara finansial maupun manfaat dari peningkatan mutu genetik ternaknya. Jumlah populasi kambing yang dipelihara per rumah tangga peternak di Maluku Utara berkisar antara 5 sampai 10 ekor. Kondisi ini belum mampu
180
mendukung usaha ternak kambing yang memberikan pendapatan secara kontinyu, disamping sebagian besar modal yang berasal dari usaha ternak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu populasi ternak kambing yang dipelihara perlu ditingkatkan menjadi 10 – 15 ekor induk. Parbaikan mutu genetik
akan efektif bila telah diketahui nilai parameter
genetik diantaranya adalah nilai heritabilitas, korelasi genetik, dan nilai pemuliaan sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomis penting. Pada umumnya peternak kambing di Maluku Utara tidak memiliki catatan tertulis (recording), akibatnya tidak ada recording pendugaan parameter genetik, sehingga seleksi ternak lebih didsarkan pada penampilan fenotip dengan kriteria seleksi berdasarkan sifat-sifat kualitatif dan silsilah yang diketahui peternak. Oleh karena itu penekanan pembuatan recording sangat penting. Disinilah peranan inti (nucleus) melatih para peternak untuk pembuatan recording sebagai prasyarat untuk keberhasilan program pemuliaan di Maluku Utara menjadi sangat penting. Menurut Mason dan Buvanendran (1982) model recording yang cocok bergantung pada prasarana dan sumberdaya manusia yang ada. Pada kondisi pengetahuan peternak yang masih rendah, dan prasarana recording yang minim, recording sebaiknya dilakukan untuk sifat-sifat penting yang mudah diukur, bernilai ekonomis, sistem harus sederhana, tidak banyak yang dicatat, efisien dalam penggunaan waktu dan biaya. Keberhasilan pelaksanaan pola pemuliaan dua strata adalah tersedianya sarana produksi dan pemasaran hasil. Peternak secara individu maupun secara berkelompok belum mampu mempengaruhi pasar ternak, bahkan sangat tergantung terhadap peran pedagang pengumpul atau pedagang perantara. Sampai saat ini pemerintah daerah belum mampu menyediakan lokasi tertentu untuk pasar hewan di Maluku Utara. Pasar ternak kambing yang ada satu-satunya di Maluku Utara adalah lokasi yang diinsiasi beberapa pedagang perantara, dengan kondisi yang jauh dari syarat minimum dengan fasilitas yang sangat minim. Ini menyebabkan cara penentuan harga dengan sistem taksiran. Peternak tidak memiliki posisi tawar yang tinggi serta fluktuasi harga ternak kambing yang tidak menentu. Oleh sebab itu disini peran pemerintah daerah untuk dilibatkan dalam kegiatan pemuliaan.
181
Rumusan Pola Pemuliaan Berkelanjutan di Maluku Utara
Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh masyarakat hampir di seluruh wilayah Maluku Utara, sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil relatif mudah dengan pola pemeliharaan secara tradisional. Ternak kambing mampu berkembang dan bertahan di semua zona agroekologi dan hampir tidak terpisahkan dari sistem usaha tani. Ternak kambing dipelihara oleh masyarakat dengan biaya yang sangat minim, karena dapat memanfaatkan limbah hasil pertanian sebagai pakan. Ternak ini memiliki potensi reproduksi yang tinggi dan selalu tersedia pasarnya apabila dikelola dengan manajemen yang lebih baik, namun peternak merasa cukup puas dengan tingkat produktivitas ternak yang masih rendah, karena termotivasi oleh keyakinan bahwa ternak ini dapat menghasilkan uang tunai pada saat dibutuhkan. Peningkatan produktivitas di lapangan melalui program pemuliaan hingga mencapai kemampuan optimal sebenarnya memberikan peluang yang lebih besar untuk mendorong pembangunan pedesaan melalui peningkatan pendapatan peternak kambing dan kecukupan konsumsi protein hewani. Keberhasilan program pemuliaan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing di Maluku Utara secara berkesinambungan sangat ditentukan oleh peran masyarakat. Peran masyarakat akan optimal, jika didukung oleh kualitas sumberdaya masyarakat itu sendiri. Indikator kualitas masyarakat di bidang peternakan dapat dilihat dari pengalaman beternak, usia dan tingkat pendidikan. Hasil penelitian terhadap karakteristik peternak menunjukkan bahwa pengalaman peternak hampir merata di seluruh wilayah di Maluku Utara yaitu ratarata 10.32 tahun, begitu juga dengan rata-rata umur peternak yang berkisar antara 41 sampai 46 tahun untuk delapan kabupaten/kota artinya pengalaman dan umur peternak tidak menjadi masalah penting dalam penentuan prioritas pengembangan program pemuliaan di Maluku Utara. Untuk tingkat pendidikan sangat bervariasi
182
pada masing-masing wilayah. Tingkat pendidikan relatif lebih baik pada tiga wilayah yaitu kota Ternate, Tidore , Halmahera Selatan dan Sula dilihat dari proporsi peternak yang berpendidikan SLA dan Sarjana. Hasil ini menunjukan bahwa empat lokasi ini diprioritaskan untuk ditetapkan menjadi pusat atau inti dari program pemuliaan di Maluku Utara. Pengukuran jarak genetik dapat membantu mengidentifikasi calon rumpun/ breed ternak yang perlu dikembangkan. Sebagai contoh, apabila terdapat hubungan yang cukup dekat antara rumpun ternak dengan jumlah populasi sedikit dengan rumpun ternak dengan jumlah populasi lebih banyak, maka program pengembangan berkelanjutan dengan sumberdaya genetik dari rumpun ternak tersebut tidak menjadi prioritas utama, dibanding apabila jarak genetiknya cukup jauh (Subandriyo 2003). Hasil pengukuran jarak genetik menunjukkan bahwa jarak genetik terjauh adalah rumpun ternak kambing yang ada di pulau Sofifi dan pulau Morotai (0.0217). Sementara hasil pengukuran karakter morphometrik, rumpun ternak kambing dapat dibagi atas dua kelompok yaitu rumpun ternak kambing yang ada di pulau Morotai dan Jailolo berada dalam satu kelompok berdasarkan pembagian kanonik1, sedangkan Sofifi, Ternate, Bacan dan Sanana berada pada kelompok yang lain. Dengan mengaju pada jumlah populasi tahun 2006 (Tabel 70), pulau Morotai yang berada di kabupaten Halmahera Utara memiliki kontribusi populasi sebesar 2.87% terhadap total populasi kambing di Maluku Utara, begitu juga dengan Jailolo yang berada di kabupaten Halmahera Barat memiliki kontribusi ternak kambing sebesar 4.37%. Sedangkan pulau Sofifi yang berada di kabupaten di Kota Tidore kepulauan memiliki potensi ternak kambing yang tinggi dengan kontribusi sebesar 36.87%, begitu juga dengan pulau Bacan yang berada di kabupaten Halmahera Selatan dan pulau Sanana di Kepulauan Sula yang masing-masing berkontribusi sebesar 21.33% dan 15.07%. Melihat kondisi seperti ini, maka pelestarian/pengembangan rumpun ternak kambing di pulau Jailolo atau Morotai menjadi prioritas utama untuk dikembangkan.
183
Tabel 70 Populasi ternak kambing dan kontribusi daerah tahun 2006 Kabupaten/Kota Ternate Tidore Kepulauan Halmahera Barat Halmahera Timur Halmahera Selatan Halmahera Utara Halmahera Tengah Kepulauan Sula Total
Populasi (ekor)
Proporsi (%)
9 309 58 983 6 987 3 140 34 118 4 584 24 102 18 758
5.82 36.87 4.37 1.96 21.33 2.86 15.06 11.73
159 981
100
Program pemuliaan bertujuan untuk meningkatkan mutu genetik diantara rumpun kambing yang tersedia dan pada umumnya dilakukan dengan melakukan seleksi terhadap ternak kambing dengan memperhatikan beberapa sifat antara lain kemampuan beradaptasi, efisiensi reproduksi dan sifat pertumbuhan. Dari Hasil penelitian ini menunjukan bahwa laju reproduksi induk yang tertinggi adalah populasi ternak kambing yang berada di kota Tidore Kepulauan (2.09 anak/induk/tahun) kemudian Halmahera Selatan (2.05 anak/induk/tahun), kemudian yang terendah di kabupaten Sula (1.85 anak/induk/tahun) (Tabel 71).
Tabel 71 Kidding interval dan laju reproduksi induk pada masing masing wilayah Kab/Kota
Kidding Interval (hari)
LRI
Kota Ternate Kota Tidore
327.9 315.1
2.00 2.09
Halmahera Barat Halmahera Utara Halmahera Tengah Halmahera Timur Halmahera Selatan Kepulauan Sula
327.2 326.4 332.4 346.2 320.7 354.8
2.01 2.01 1.98 1.90 2.05 1.85
Sementara hasil pengukuran sebelas karakter ukuran tubuh ternak kambing yang dianalisis dengan uji beda nyata terkecil (Lampiran 16) menunjukan bahwa
184
populasi ternak kambing di pulau Bacan (Halmahera Selatan) relatif lebih baik dibandingkan lima pulau lainnya. Urutan kedua adalah pulau Morotai, sedangkan pulau Jailolo (Halmahera Barat) memiliki ukuran tubuh relatif lebih kecil dibandingkan lima pulau lainnya. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa ternak kambing yang berada di pulau Morotai dan pulau Bacan dapat dijadikan sebagai sumber genetik ternak untuk dikembangkan dalam program pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara. Berdasarkan pendekatan lokasi spesifik dari hasil penelitian masing-masing kondisi wilayah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pulau Ternate Sebagai ibukota sementara provinsi Maluku Utara, Ternate memiliki ketersediaan infrastruktur lebih memadai dibandingkan dengan lima lokasi lainnya. Sumberdaya manusia sangat potensial, tingkat pendidikan petani/peternak 27.6% lulusan SLTA, dengan pengalaman beternak di atas 10 tahun dan rata-rata peternak mempunyai ternak kambing 10 ekor. Ternak kambing yang berada di pulau Ternate memiliki tingkat kesamaan genetik dengan lima pulau lainnya. Namun persamaan ini lebih condong ke ternak kambing yang ada di pulau Bacan, Sanana dan Sofifi dan relatif lebih jauh dengan ternak kambing yang ada di pulau Morotai dan Jailolo. Keragaman haplotipe sangat rendah dibandingkan dengan lima pulau lainnya, sehingga penggunaan ternak kambing di wilayah ini sebagai sumberdaya genetik ternak kambing tidak disarankan. Introduksi rumpun/breed baru dapat dilaksanakan di daerah ini dengan pertimbangan potensi sumberdaya manusia dan infrastruktur yang memadai di wilayah ini, dan perlu juga dibangun industri hilir untuk menunjang program pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara.
Pulau Sofifi Pulau ini berada dalam wilayah administratif Kota Tidore Kepulauan, memiliki populasi ternak kambing paling banyak (36.87%) dari populasi provinsi, dan jumlah kepemilikan ternak jantan lebih banyak yaitu 55% peternak memiliki
185
ternak jantan dua ekor. Tingkat pendidikan peternak masih rendah, rata-rata 50% lulusan sekolah dasar. Pengalaman beternak diatas 10 tahun. 20% petani memiliki lahan seluas 1.5 -2.5 ha. Tingkat produktivitas ternak kambing di daerah ini relatif baik dengan laju reproduksi induk paling tinggi dari daerah lainnya yaitu 2.09 ekor anak/induk/tahun. Gambaran genetik ternak kambing di pulau ini berada dalam satu kelompok dengan pulau Ternate, Bacan dan Sanana. Keragaman haplotipenya rendah sehingga disarankan untuk melakukan persilangan dengan ternak kambing dari daerah lain yang memiliki jarak genetik terjauh seperti kambing di Jailolo dan Morotai untuk meningkatkan nilai keragaman genetiknya, dari kondisi ini maka pulau sofifi direkomendasikan untuk melakukan program pemuliaan di tingkat kelompok ternak.
Pulau Bacan Pulau ini memiliki karakteristik yang baik untuk pengembangan program pemuliaan ternak kambing. Tingkat pendidikan peternak di daerah ini 22.2% lulusan SLA dan 4.4% sarjana. 77.8% petani/ternak memiliki lahan sendiri. Kondisi reproduksi ternak kambing di daerah ini yaitu LRI sebesar 2.05 ekor anak/induk/tahun, namun perbaikan perlu dilakukan terhadap tingkat mortalitas anak kambing yang sangat tinggi yaitu 24% dibandingkan dengan daerah lainnya. Populasi ternak kambing menempati urutan kedua setelah Kota Tidore. Memiliki keragaman haplotipe (0.141) urutan kedua setelah pulau Sanana. Dengan kondisi seperti ini, maka pulau bacan dapat direkomendasikan untuk pola pengembangan inti yang didukung oleh kelompok peternakan rakyat dari beberapa pulau yang berdekatan.
Pulau Jailolo Karakteristik peternak di pulau Jailolo tidak berbeda jauh dengan pulau Bacan. Tingkat pendidikan 15% adalah lulusan SLA dan terdapat 1.7% adalah sarjana. 60% petani mempunyai lahan sendiri dan terdapat 5.1% memiliki lahan di atas 3 ha. Laju reproduksi induk 2.01 ekor anak/induk/tahun dengan tingkat mortalitas anak kambing 16% dan dewasa 13.01%. Gambaran genetik ternak kambing di pulau Jailolo yaitu
186
jarak genetik terdekat dengan pulau Morotai. Keragaman haplotipe (0.139).
Tingkat
produktivitas ternak kambing dan potensi sumberdaya manusia yang memadai sangat kontradiktif dengan ketersediaan populasi yang rendah di daerah ini, maka upaya pelestarian dan pengembangan potensi genetik harus menjadi prioritas utama, hingga di pulau ini direkomendasikan untuk menjadi wilayah pengembangan pola inti.
Pulau Morotai Wilayah administratif dari Kabupaten Halmahera Utara, memiliki sumberdaya peternak dengan tingkat pendidikan yang tidak berbeda jauh dengan peternak di pulau Jailolo, jumlah populasi ternak kambing tergolong sedikit yaitu hanya 2.86% dari populasi provinsi. Jarak genetik terjauh dengan pulau Sofifi (0.217), dengan pulau Sanana (0.215) dan dengan pulau Bacan (0.207). Persilangan antara ternak kambing dari pulau ini dengan ternak kambing dari pulau Bacan, Sanana dan Sofifi sangat dimungkinkan untuk meningkatkan keragaman genetik ternak kambing di Morotai. Pulau ini dapat direkomendasikan untuk menunjang program pemuliaan yang dilakukan di pulau Jailolo sebagai inti.
Pulau Sanana Wilayah administratif dari kabupaten Kepulauan Sula memiliki jumlah populasi ternak kambing 18 758 ekor berkontribusi sebesar 11.73%. Daerah ini memiliki kualitas sumberdaya peternak yang lebih baik karena 35% dari peternak adalah lulusan SLA. Gambaran genetik ternak kambing tergolong dalam kelompok pulau Ternate, Bacan, dan Sofifi. Dengan keragaman haplotipe yang paling tinggi dari pulau lainnya (0.160). Maka ternak kambing di pulau ini memiliki potensi untuk dilakukan
seleksi
secara
individu.
Untuk
program
pemuliaan
pulau
ini
direkomendasikan dijadikan sumber bibit untuk menunjang program inti yang berada di pulau Bacan.
187
Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik peternak, gambaran molekuler, produktivitas dan dinamika populasi, maka program pemuliaan yang berkelanjutan dapat dirumuskan seperti disajikan pada Gambar 56.
PEMERINTAH DAERAH (Provinsi dan Kab/Kota)
Ternate, Bacan, Jailolo
SUMBER TEKNOLOGI (UPTD, PUSLIT, PT, SWASTA)
INTI (Gabungan dari kelompok peternak dalam satu kawasan)
PASAR, INDUSTRI HILIR
TERNATE
PLASMA (Kelompok Peternakan rakyat)
Morotai
Sofifi
Kel.Peternak
Kel. Peternak
Kel.Peternak
Kel. Peternak
Sanana
Kel. Peternak Kel. Peternak
Gambar 56 Rumusan pola pemuliaan berkelanjutan di Maluku Utara.
188
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diutarakan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Karakteristik usaha ternak kambing di Maluku Utara masih dalam bentuk usaha rakyat dengan pola usaha tradisonal dengan ciri-ciri tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran usaha relatif sangat kecil dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga dengan penguasaan lahan yang terbatas.
2.
Hasil sekuen DNA mitokondria di temukan 41 haplotipe pada 53 variabel site, keragaman haplotipe tertinggi adalah ternak kambing yang berada di pulau Sanana. Rata-rata jarak genetik sebesar 0.018. Jarak genetik tertinggi adalah Morotai dan Sofifi kemudian Morotai dan Sanana. Hasil karakterisasi fenotip ukuran tubuh ternak kambing diperoleh bahwa jarak genetik terdekat adalah Bacan dan Sanana sedangkan yang terjauh adalah Morotai – Sanana. Berdasarkan analisis struktur kanonik diperoleh bahwa lebar tengkorak merupakan karakter pembeda ternak kambing di Maluku Utara.
3.
Produktivitas ternak kambing yang di analisis dalam penelitian ini adalah tingkat kesuburan ternak kambing disamping pola pertumbuhannya. Untuk hasil pengukuran adalah sebagai berikut: a) Penyebaran kelahiran merata setiap tahun dan yang tertinggi pada bulan Maret dan Juni b) Tipe kelahiran dengan porposi terbesar adalah anak kembar dua 40,65% c) Rata-rata jarak kelahiran (Kidding Interval) adalah 330,1 hari d) Litter size sebesar 1,8 e) Laju Reproduksi Induk sebesar 1,99
189
f) Nilai produktivitas induk tertinggi pada umur I-6 11,29 kg/induk/tahun
Pola Pertumbuhan anak kambing yang diukur dari umur 0 hari, 30, 60 ,90 sampai 120 hari dapat di dekati dengan fungsi linier dan eksponensial untuk semua tetua I-2 sampai I-8. Untuk pengelompokan anak kambing yang di pelihara di pedesaan dengan stasiun percobaan pada kelompok A (tetua di atas rata-rata) dan B (tetua di bawah rata memberikan pengaruh yang sangat nyata, dan yang terbaik adalah pada kelompok A artinya bahwa penerapan metode perkawinan antara pejantan dan induk yang telah mengalami seleksi masa kearah atas (di atas ratarata) dapat meningkatkan bobot badan anak kambing. 4. Sifat dasar populasi kambing kacang di Maluku Utara untuk warna
bulu
dominan coklat yang lebih mendominasi, kemudian garis muka lurus, garis punggung cekung dan semua kambing baik jantan dan betina mempunyai tanduk. Struktur populasi antara jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda dan anak, betina muda dan anak dengan komposisi berturut-turut adalah : 9.16% : 44.37% : 22.63% : 23.83%. Angka Mortalitas untuk kambing dewasa sebesar 9.92% dan untuk anak 14.90%. Tingkat pertumbuhan populasi dengan kondisi produktivitas induk maka besaran populasi ternak kambing kacang di Maluku Utara sampai tahun 2010 adalah sebesar 340 263 ekor. 5. Pola pemulaiaan yang sesuai untuk kondisi Maluku Utara adalah pola dua strata dengan metode perkawinan “open nucleus” dengan memperhatikan beberapa kriteria seperti sumberdaya manusia dan sumberdaya ternak, parameter genetik, metode seleksi dan perkawinan kemudian pasar.
190
SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan yang telah diutarakan, didapatkan beberapa identifikasi masalah penting serta saran pemecahannya dalam rangka usaha peningkatan produktivitas ternak kambing di Provinsi Maluku Utara sebagai berikut: 1.
Masih tingginya angka kematian dan rendahnya angka kelahiran erat kaitannya dengan tingkat kesuburan induk yang rendah dan terlalu panjangnya jarak antar kelahiran induk maupun kurangnya jantan pemacek. Tingkat kesuburan yang rendah disebabkan karena seleksi induk yang baik tidak pernah dilakukan, juga kambing dara calon induk sebagai replacement stok tidak diseleksi lebih dulu. Pejantan yang tidak memenuhi syarat, baik dalam jumlah maupun umur dan mutunya sebagai pemacek menyebabkan kurangnya induk kambing yang dapat dipaceki, sehingga kidding interval menjadi panjang, yang akhirnya menyebabkan angka kelahiran yang rendah. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dalam rangka peningkatan produktivitas, maka diperlukan penanganan sebagai berikut: a)
Pengadaan pejantan (bandot) sebagai pemacek umum yang dilengkapi dengan
fasilitas
kandang
dan
insentif
peternak
untuk
merawatnya. b)
Penyediaan Fasilitas Kredit. Kredit hanya diberikan kepada para peternak yang terpaksa menjual induk kambing muda yang masih produktif dan bermutu baik. Juga kepada peternak yang terpaksa menjual kambing dara dan calon pejantan yang memenuhi syarat (bermutu baik), maka sepantasnya diberikan bantuan kredit pinjaman, agar kambing-kambing tersebut tetap dipelihara untuk dijadikan calon induk dan pejantan yang bermutu genetik tinggi. Dengan cara demikian
ada
semacam
rangsangan
bagi
peternak
untuk
191
mempertahankan kambing yang bermutu tinggi berdasarkan hasil seleksi.
2.
Angka kematian anak kambing yang tinggi Angka kematian cempe dari hasil penelitian ini berkisar 11,22% – 24,09% terutama anak kambing jantan dengan bobot lahir rendah. Pemecahannya memerlukan cara-cara pemeliharaan yang baik kepada induk yang baru beranak.
Juga
dalam
manajemen
pengaturan
perkawinannya
harus
diperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk menghindari terjadinya perkawinan sedarah ( inbreeding) dan perkawinan muda dibawah umur 6 bulan.
Seperti
diketahui
silang
dalam
atau
perkawianan
sedarah
mengakibatkan anak yang dilahirkan daya hidupnya rendah. Hal ini menunjukkan pula perlunya bantuan pemerintah untuk pengadaan bandot umum untuk pemacek kambing rakyat di daerah ini.
3.
Belum tersedianya bangsa kambing lokal yang memiliki keseragaman dan mutu genetik tinggi. Hal ini mendorong ditemukannya bibit-bibit kambing lokal unggul dengan ciri-ciri genetik tertentu. Suatu bangsa kambing lokal yang dapat memenuhi syarat sifat-sifat suatu bangsa murni belum kita miliki. Mengingat pentingnya pelestarian sumber bahan genetiknya (plasma nutfah hewani) maka pemurnian kambing lokal perlu dilaksanakan sehingga dapat berperan sebagai sumber bibit yang sangat penting.
4. Pindah Pulaukan ternak kambing dengan memperhatikan jarak genetik ternak tersebut, dari hasil penelitian ini direkomendasikan ternak di Pulau Morotai, Bacan, Sofifi, Sanana karena memiliki jarak genetik yang cukup jauh. Sedangkan ternak kambing di pulau Ternate, Bacan dan Jailolo tidak direkomendasikan untuk diantarpulaukan karena memiliki jarak genetik yang terlalu dekat.
192
DAFTAR PUSTAKA Abdulgani IK. 1981. Beberapa ciri populasi kambing di desa Ciburuy dan Cigombang serta kegunaannya bagi peningkatan produktivitas.[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adjisoedarmo S. 1997. Sistem Perbibitan Ternak Nasional Ruang Lingkup Ternak Ruminansia Kecil ditinjau dari Aspek Mutu Genetis, Budidaya, Standard dan Pengawasan Mutu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Univ Jenderal Soedirman. Purwokerto. Alberts B, Dennis B, Julian L, Martin R, Keith R, James DW. 1994. Molecular Biology of the Cell. Ed ke-2 by Garland Publishing,Inc. Anderson S. et al., 1981. Sequence and the Organization of The human mithochondrial genom. Nature. 290: 457-464. [IPB] Institut Pertanian Bogor. 1979. Data Produksi Ternak Kambing di Fakultas Peternakan IPB selama Periode 1963/1976 Fapet IPB, tidak diterbitkan. Astuti M. 1984. Parameter Produksi Kambing dan Domba di Daerah Dataran Tinggi, Kec Tretep, Kab. Temanggung Di dalam: Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil Puslitbang Peternakan. Bogor. Puslit Peternakan. 101-106. Avise JC. 1997. Space and Time as Axes in Intraspecific Phylogeography. NATO ASI 147: 381-388. [BPS] Badan Pusat Statistik Maluku Utara. 2006. Maluku Utara dalam Angka. Provinsi Maluku Utara-Indonesia. Bandelt HJ, Forster P, Rohl A. 1999. Median-Joining networks for inferring intraspecific phylogenies. Mol. Biol. Evol 16:37-38. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Utara. 2006. Roadmap Peternakan Maluku Utara. Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York. Budihardi AB. 1972. Prestasi produksi yang dicapai kambing kacang di daerah Imogiri Dt. II Yogyakarta [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
193
Campbell J.R. and John FL. 1973. The science of Animals that serve Mankind. Ed ke-2 . Tata McGrow-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. Crawford AM, Kant GD, McEwan. 2000. DNA Markers, Genetic Maps and the Identification of QTL: General Principles. Di dalam: Axford RFE, Bishop SC, Nicholas FW. CB International hlm 3-26. Damshik M. 2001. Produktivitas kambing kacang yang mendapat ransum penggemukan dengan kandungan protein yang berbeda.[tesis] Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Dawson MT, Powel R, Gannon F. 1996. Gene Technology. Bios Scintific Pub Ltd. Oxford. De Haas HJ, Philps H. 1979. The Significance of Goat Production For Covering Protein Requirrements Di dalam: Anim Res and Dev 9: 41- 76. Devendra C. 1962. Upgrading of local goats by the Anglo-Nubia at the Federal Experiment Station, Serdang. Malay. Agric. J. 43: 265 – 280. Devendra C. 1966. Goat Breeds of Malaysia . Malaysian Agriculture Jour 45:268274. Devendra C, Michael B.1970. Goat Production in The Tropics. Commonwelth Agricultre Bureaux, Farmharn Royal, Bucks, England. Devendra C, Nozawa K. 1976. Goats in South East Asia-their Status and Production. Di dalam: Z. Tierzuchtg. Zuchtgebiol 93: 101-120. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Maluku Utara. 2006. Data Peternakan Provinsi Maluku Utara. Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kambing dan Domba. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Duryadi D. 2005. Prinsip-prinsip dalam teknologi biologi molekuler. Pelatihan Singkat Teknik Biologi Molekuler “Eksplorasi Sumberdaya Genetik dengan Menggunakan Marka Molekuler”. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bogor.
194
Dutt M. 1968. A preliminary note on some of the economic characters of barbari goat. India J Anim Helth 7: 15-58. Ensminger ME. 2002. Sheep and Goat Science. Interstate Publisher, Inc. Falconer DS. 1972. Introduction to Quantitative Genetics. The Ronald Press Company. New York. Fatchiyah, Arumingtyas EL. 2006. Kromosom, gen, DNA, sintesis protein dan regulasi. Lab Biologi-Molekuler Brawijaya Malang. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Global Project for the Maintenance of Domestic Animal Genetic Diversity (MoDAD) World Watch List for Domestic Animal Diversity. Ed ke-2. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) Rome. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. World watch List for Domestic Animal Diversity. Ed ke-3. Food and Agriculture Organization. Rome, Italy. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Sustainable Use of Animal Grnrtic resources. IDAD-APHD FAO Rome, Italy. Falconer DS., TFC MacKay. 1972. Introduction to Quantitative Genetics. Five Ed. Longman, Harlow. England. Felsenstein J., 1985. Confidence limits on phylogenies: An approach using the boostrap. Evolution 39: 783-791.
Fernandez H, Taberlet, P. Mashkour, M. Vigne JD. Luikart G. 2005. Assesing the Origin and Diffusion of Domestic Goats Using Ancient DNA. New Archaeological Approaches pp 50-54. Oxbow Books, Oxford, UK. Fumagalii L. Tarberlet, P. Favre L. Hausser, J. 1996. Origin and evolution of homologous repeated sequences in the mithocondrial DNA control region of shrews. Mol Biol Evol 13: 31-46. Greenberg BD, Neolbod JE, Sugiono A. 1983 Intraspesific Nucleotide sequence variability surrounding the origin of replication in human mithochondrial DNA [abstract] Di dalam: Gene hlm 21. Gunawan. 1982. Studi tentang beberapa sifat kambing kacang. [tesis] Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
195
Hardjosubroto W. 1994. Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Harihara S, Kawamoto Y, Suryobroto B, Omoto K, Takenaka O. 1996. Differentiation of mitochondrial types in Sulawesi macaques. In Variations in the Asian Macaques. T Shotake and K. Wada (eds). Tokai University Press. Tokyo.: 67-88. Hart DL, Clark AG. 1989. Principle of population genetics, Ed ke-2. Sinauer Associates, Massachusetts. Hayashi S, Hayasaka O, Takenaka, Horai S. 1995. Molecular phylogeny of gibbons inferred from mitochondrial DNA sequences: Preliminery report. J Mol Evol 41: 359-365. Herrera M, E. Rodero, M.J. Gutierrez, F. Peria and J.M. Rodero. 1996. Application of Multifactorial Disciminant Analysis in The Morphostructural Differentiation of Andalusian Caprine Breeds. Di dalam: Small Rum. Res 22: 39-47. Hillis DM, Moritz C, Mable BK. 1996. Molecular Systematics. Sinauer Associates, Inc Massachusettes. Hishe S,Westerrman M, Schmitt LH. 1998. Biogeography of the Indonesian Archipelago; mithocondrial DNA variation in the fruit bat Eonycteries spelaea. J.Linn Soc 65: 329-345. Hoelzel AR, Lopez JV, Dover, GA, O’Brien SJ. 1994. Rapid Evolution of a heteroplasmic repetitive in the Mitochondrial DNA Control Region of Carnivores J Mol EVol 39: 191-199. James JW. 1979. The Theory Behind breeding Scheme. Di dalam: Tomes GL., DE Robertson, RJ Lightfoot, editor. Sheep Breeding. Muresk and Perth, Western Australia. P: 213. Joshi MB, Rout PK, Mandal AK. 2004. Phylogeography and Origin of Indian Domestics Goats. Molecular Biology and Evolution. 21: 454-462. Joubert DM. 1969. Indigenous South Africa Sheep and Goats: their origin and development. Trop Sci 11: 185 – 195. Kan YW, Dozy AM, Trecartin R, Tod D. 1977. Identification of non deletion in Apha Thalasemmia. N Engl J Med.297:1081-1084. Karthickeyan SMK, Saravanan R, Thangraju P. 2006. Krishna Valley cattle in India: status, characteristics and utility AGRI 39:25-37.
196
Katsumata M, Amano S, Suzuki, Nozawa K, Harimurti M, Abdulgani IK, Nadjib. 1981. Morphological Characters and Blood Protein Gene Constitution of Indonesian Goats. The Res Group of Oversease Sci. Survey, Japan. Kijaktin PF. 1943. Crosing of the goats of Uzbekistan ABA 11: 107. Kimura M. 1980. A simple method for estimating evolutionary rate of base substitution through comparative studies of nucleotide sequence J Mol Evol 16: 111-120. Kosgey IS, Van der Werf JHJ, Kinghorn BP, van Arendonk JAM, Bajer RL. 2002. Alternative breeding schemes for meat sheep in the tropics. Di dalam: Proceedings of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 23(08). Kosgey IS. 2004. Breeding objective and breeding strategies for small ruminants in the tropics [Ph.D thesis]. Animal Breeding and Genetics Group. Wageninggen University. Krebs JC. 1972. Ecology: The experimental analysis of distribution and abundance. Ed ke-2. Harper and Row Publisher. New York. Kumar S, Tamura K, Nei M. 1993. MEGA. Molecular Evolutionary Genetics Analysis. Versi 1.01. Instiutu of Molecular Evolutioner Genetic. The Peninsylvania University .USA. Kumar S, Tamura K, Nei M. 2004. MEGA. Molecular Evolutionary Genetics Analysis. Versi 4. Instiutu of Molecular Evolutioner Genetic. The Peninsylvania University .USA. Lewis RM, Simm G. 2002. Small ruminant breeding programs for meat: progress and prospects breeding ruminant for meat production. Di dalam: Proceeding of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33 Montpellier France 19-23 August 2002. Session 02 (01). Liu RY. Lei CZ, Liu SH., Yang CS., 2007. Genetics diversity and Origin of Chinese domestics Goats revealed by Complete mtDNA D-loop sequence variation. Asian-Australasian Journal of Animal Science 20: 178-183. Lougheed SC, Handford P. 1993. Covariation of Morphological and allozyme frequency characters in populations of the Rufous-collared Sparrow (Zonotrichia capensis) Auk 110: 179-188.
197
Luikart G. Gielly L. Excofier L.,Vigne JD., Bouvet J., Taberlet P. 2001. Multiple maternal origins and weak phylogeographic Structure in Domestic Goats. Proceedings of the National Academy of Sciences, USA, 98: 5927-5932. Luikart G. Fernendez H., Mashkour M., Excofier L.,Vigne JD., Bouvet J., Taberlet P. 2006. Origin and Diffusion of Domestic goats inferred from DNA markers. New Genetic and Archaeological Paradigms. Pp 294-305. University of California Press. Ltd., Berkeley, California. Malung SK. et al., 2005 Productivity and Survival ability of Goats in Smallholder croop/livestock Farming System in Malawi. Livestock Research fo Rural Development 18 (1) : 180-183. Margawati ET. 2005. Pemetaan quantitative trait loci (QTL) sifat pertumbuhan pada populasi domba silang balik ekor tipis dan merino. [disertasi] Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Univewrsitas Bioteknologi IPB, Bogor. Mason IL, Buvanendran V, 1982. Breeding for Ruminant Livestock in the tropic. FAO Animal Production and Helth Paper., Rome. McDowell R.E., and L. Bove. 1977. The Goat as Producer of Meat. Cornell International Agriculture Mimeo (56). Cornell University, Ithaca, New York. McKenzie D. 1970. Goat Husbandry. Feber and Feber Ltd. Queen Square. London. Melton T. 1999. Learn about mitochondrial DNA. LLC: Mitotyping Technol. Ming
LI 1999. MtDNA cytochrome B sequences and intra-specific divergence among populations of sichuan snub-nosed monkeys (Rhinopithecus roxellanae). In AISIAN SCIENCE SEMINAR on Biodiversity: Messages from Primatology. July 26- August 6, 1999. Primate Research Institute, Kyoto University, Inuyama, Aichi 484-8506, Japan.: 235.
Mishra H.R. and Biswas, S.C. 1966. A study on distribution of oestrus in Deshi goats. India Journal Dairy Science 19 : 132-134 . Mishra B.S. and Mukhreje, D.P. 1979. Quantitative morphological characteristics and enzymatics activity of spermatozoa in semen samples of bucks with and without melanizing activity. India Journal Animal Science 49: 524 – 545.
198
Mittal J.P. 1979. A Study on Birth Weight of Barbari and Jamunapari kids. Di dalam: Indian J Anim Sci 49 (1) :45-47. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Mida, Bogor. Muladno. 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalm Upaya Peningkatan Produktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diagnostik Molekuler untuk Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Bogor. Murtidjo BA. 1993. Memelihara Kambing sebagai Ternak Potong dan Perah. Kansius Yogyakarta. Mustrangi MA, Patton JL.1997. Phylogeography and Systematics of the Slender Mouse Opossum Marmosops (Marsupialia, Didelphidae). Univ of California, Los Anggels. Mulyono S. 2004. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya Jakarta. Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New York. Nei M, Kumar S. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford University Press New York. Nicholas FW. 1993. Veterinary Genetics. Departement of Animal Science, University of Sidney. Clarendon Press. Oxford. Nicholas FW. 1996. Introduction to Veterinary Genetics. New York: Oxford University Press. Noor RR. 2004 Genetika Ternak Cet ke-3. Penebar Swadaya. Jakarta. Odum EP.1971. Fundamental of Ecology. W.H. Freeman and co San Francisco. Otchere EO, Nimo MC. 1975 (publ.1978) Observation of the reproductive behavior in the West African Dwarft Goat. Ghana Journal of Agriculture Science 8 (3) 187 – 190. Otsuka J, Kondo K, Simamora S, Mansjoer SS, Harimurti M. 1980. Body measurements of the Indonesian native cattle. The Origin and Phylogeny of
199
Indonesia Native Livestock (Part I). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan 7-18. Park IK, Moran P. 1995. Development in Molecular Genetic Techniques in Fisheries. Pages 1-28 Di dalam Garry R. Carvalho and TT Pitcher, Editors Molecular Genetic in Fisheries. Champman and Hall. T.J. Press Ltd., Padstow, Cornwal. Payne WJA, Miles NS. 1954. Goats Husbandry in Fiji A. Report on Result from the Goat Breeding Project at Sigatoha for the perode June 1950 – January 1953. ABA 22:228. Perwitasari-Farajallah D. Y. Kawamoto, and B. Suryobroto. 1999. Variation in blood protein and mitochondral DNA within and between local population of long tailed macaques, Macaca fascicularis, on the island of Java, Indonesia. Primates. 40(4): 581-595. Phillipsson J, Rege JEO. 2002. Sustainable breeding programs for tropical farming systems. Animal Genetics Training Resource. ILRI-SLU. Pretorius P.S. 1977. Vaginal cytological changes in the cycling and anoestrous Angora goat doe. Journal of the South African Veterinary Association 45 (3) 173-176. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Qian W, Ge S. 2001. Analysis of population heredity constitution by Usingdominate Markers. Acta Genet Sini 28: 244- 255. Raabe JFG. 1927. Geboorteresultaten en drachtigheidsduur buj Etawah geiten. N.I. Bl. V. Dierg 39: 239 – 249. Rae AL, Barton RA, 1970 Selection Objective and Methods of Measuaring Merit Beef anf Cattle. Di dalam: NZ Beef Production, Proceeding and Marketing . NZ Institut of Agriculture Science, Wellington, P : 110-112. Rahmat D. 2008. Analisis dan Pengembangan Pola Pemuliaan (Breeding Scheme) Domba Periangan yang Berkelanjutan. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Randi E, Lucchini V. 1998. Organization and evolution of mithocondrial DNA control region in the Avian genus Alectoris. J Mol Evol 47:449-462. Rosa E, Silva Neto JM da. 1949. First Contribution to the study of the native Moxota Goat. ABA 17: 1-43.
200
Ruane J, Andrea Sonnino. 2006. The Role of Biotechnology in Exploring and Protecting Agriculture Genetic Resources. FAO. Roma. Saaty T.L. 1983. Decision Making For Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publication, Pittsburgh. Sacker GD, J.C.M. Trail. 1966. Production characteristic of herd of East African Mubende goat. Trop. Agric. Trin 43:43-51. Setiadi B. dan P. Sitorus. 1984. Penampilan reproduksi dan Produksi Kambing Peranakn Etawah dalam Proceed Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Puslitbang Peternakan, Bogor P: 25. Setiadi B. 1987. Studi Karakterisasi Ternak Kambing Peranakan Etawah [disertasi] Bogor. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Shanmugasundaram KS. 1957. Birth rate among goat. ABA . 26 No 285: 58. Shelton M. 1978. Reproduction and breeding of goats. Journal of Diary Science 61: 994 – 1010. Shotake T, Watanabe S, T.I. Azmi. 1976. Morphological and Genetical Studies on The Malaysian Native Goats. Di dalam: Rep. Soc.Res. Native Livest 7: 112119. Sihombing D.T.H. 1977. Peningkatan Daya Guna Sumber Daya Hewani. Bio Indonesia No. 1. Singh RV, Sharma D. 2002. Within-and Between –Strain Genetic Variability in White Leghorn Population Detected through RAPD Markers. Br Poult Sci 43:33-37. Skinner JD. 1975. Reproductive physiology of indigenous and exotic male animals in South Africa: puberty in South African goat breeds, including the Angora. Final Report. In Agriculture Research. Southern SO, Southern PJ, Dizon AE., 1988. Molecular Characterization of a cloned Dolphin Mitochondrial genom J.Mol Evol 28: 32-42. Sodhi M. Mukesh, Prakash B, Ahlawat SPS, Sobti RC. 2006. Microsatellite DNA typing for assessment of genetic variability in Tharparkar breed of Indian Zebu (Bos indicus) cattle, a major breed of Rajasthan. J. Genet. 85: 165-170.
201
Steel R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistik. A Biometrical Approach. Ed ke-2. McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., Tokyo. Subandriyo. 1990. Genetic and Phenotypic Parameters Associated With Five Weight Traits in Suffolk and Dorset Sheep. Faculty of the Graduate School University of Missouri-Columbia. Subandriyo, Setiadi B. 2003. Pengelolaan Plasma nutfah ternak. Makalah disampaikan Di dalam: Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan Jejaring Kerja Plasma Nutfah Pertanian, Bogor, 21-28 Juli, 2003, Komisi Nasional Plasma Nutfah. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sultana S, Mannen H, Tsuji S. 2003. Mithocondrial DNA diversity of Pakistani Goats. Animal Genetics, 34: 417- 421. Sumanto E. Juarini BW, Ashari. 2000. Wilayah potensial untuk penyebaran dan pengembangan peternakan di daerah Istimewa Yogyakarta Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Bogor. Supranto J. 1992. Metode Sampling untuk Survai dan Eksperimen. Rineka Cipta Jakarta. Surata SPK. 2000. Filogeografi intraspesies Gelatik (Padda oryzivora) di Pulau Bali. [tesis] Bogor: Program Pascasarjana. Instiut Pertanian Bogor. Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar. 2007. Mega 4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0 Advance Access published May 7. Oxford University Press Mol Biol Evol 10. 1093/molbev/msm092. Tawaf R. 1993. Strategi pengembangan industrei peternakan sapi potong berskala kecil dan menengah . Makalah Seminar CIDES. Jakarta. Thompson J.D.,Gibson,T.J., Plewniak,F.,Jeanmougin,F. And Higgins,DG 1997. The ClustalX windows interface: flexible strategies for multiple sequence alignment aided by quality analysis tools. Nucleic Acid Res.25:4876:4882 Van der Werf J. 2000. An overview of Animal Breeding Program. University of New England.
202
Van Lavieren, L.P. 1982. Management of Conservation Areas. School of Enviromental Conservation Management. Ciawi Bogor. Warwick EJ, Maria A, Wartomo H. 1990. Pemuliaan Ternak. Gajah Mada University Press. Jogjakarta. Wilson R.T. 1983. Reproductive Performance of Tradisionally managed Goats and Sheep in semi-arid Africa and Practical ways of improving it. The 5th World Conf on Anim. Prod. Japan. Wiener G. 1999. Animal Breeding. Centre for Tropical Veterinary Medicine University of Edinburgh. Ed ke-6 Published 1994 by Mac Millan Education Ltd. Widayanti R. 2006. Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah D-loop pada Tarsius,sp.[disertasi]. Sekolah Pascasarcana. Institut Pertanian Bogor. Wiley EO. 1981. Phylogenetics: The Theory and Practice of Phylogenetic Systematics. John Wiley and Sons Inc., Canada. Wilkinson GS, Chapman AM., 1991. Length and Sequence Variation in Evening bat D-loop MtDNA. Genetics 128: 607-617. Wiriatmadja K. 1977. Pembangunan pertanian berbasis sumberdaya lokal. Semilok. Menuju swasembada pangan. Himp. Kerukunan Tani Indonesia. Jakarta. Yusdja Y. 2004. Tinajaun Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. YuY, Lian L, Wen J, Shi X, Zhu F, Nie L. 2004 Genetic diversity and relationship of Yunnan native cattle breeds and Introduced beef cattle breeds Biochem Genet 42: 1-9. Zeder M.A. 2005. A view from the zagaros; new prespective on livestock domestication in the fertile Crescent. Di dalam: The First Steps of Animal Domestication. New Archaeological Approach (eds Vigne JD, Peters) pp 125146.Oxbow books,Oxford UK.