HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan umum responden Responden yang terlibat pada penelitian ini berjumlah 18 orang responden berjenis kelamin perempuan yang merupakan mahasiswa tingkat sarjana dan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Umur responden berkisar antara 22-27 tahun. Pemilihan responden ini bertujuan untuk meminimalkan keragaman, dimana semua responden memiliki aktivitas yang hampir sama sehari-harinya. Semua responden juga bertempat tinggal di kawasan yang sama, sehingga kegiatan dan jenis makanan lain selain yang telah diatur oleh peneliti juga tidak jauh berbeda, diharapkan keadaan gizi semua responden juga tidak jauh berbeda. Selain itu pengontrolan juga lebih mudah dilakukan. Selanjutnya 18 orang responden tadi dibagi dalam dua kelompok yaitu 9 orang kelompok perlakuan dan 9 orang kelompok kontrol. Kelompok perlakuan memperoleh asupan minuman bubuk kakao bebas lemak ditambah susu skim dan sedikit gula selama intervensi berlangsung sedangkan kelompok kontrol tidak menerima minuman bubuk kakao bebas lemak tetapi hanya minuman susu skim yang ditambah sedikit gula. Sebelum intervensi berlangsung seluruh responden diminta dengan sukarela menandatangani informed concern yang berisi pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian dan memuat beberapa ketentuan selama penelitian berlangsung (lampiran 1). Sebelum menjalani intervensi, semua responden baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol mengikuti pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh seorang dokter di Klinik Farfa Darmaga (format pemeriksaan kesehatan terdapat pada lampiran 2 point C dan D). Adapun tujuan pemeriksaan kesehatan ini dilakukan adalah agar dapat dipastikan bahwa responden yang terlibat memiliki kondisi kesehatan yang baik dan tidak mengidap penyakit serius yang mempengaruhi penelitian. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan meliputi pemeriksaan kesehatan fisik, denyut nadi, laju pernafasan, tekanan darah dan suhu tubuh. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap responden tentang riwayat kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan juga dilakukan setelah responden menjalani
25 hari intervensi oleh dokter yang sama. Hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan bahwa semua responden berada dalam keadaan sehat baik sebelum dilakukan intervensi maupun setelah intervensi selesai. Pada saat pemeriksaan kesehatan juga diukur kondisi fisik responden secara antropometri meliputi tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) seperti terlihat pada tabel 3. Ditinjau dari nilai ”Body Mass Index” (BMI), hampir semua responden memiliki status gizi normal, meskipun ada satu responden yang kelebihan berat badan tingkat berat (responden kode P5), satu responden kelebihan berat badan tingkat ringan (responden kode P4) dan satu responden kekurangan berat badan tingkat ringan (responden kode K3). Status gizi responden secara umum tidak berubah baik sebelum intervensi maupun sesudah intervensi. Tabel 3 Data antropometri responden sebelum dan sesudah intervensi
Responden P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Rata-rata StDev K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 Rata-rata StDev
Hari 0 perlakuan Berat Tinggi BMI Badan badan (kg/m2) (kg) (m) 50,0 1,550 20,8 53,0 1,630 19,9 56,0 1,580 22,4 67,5 1,620 25,7 70,0 1,610 27,0 47,0 1,580 18,8 62,0 1,625 23,5 51,0 1,590 20,2 53,0 1,640 19,7
Setelah 25 hari intervensi Berat Tinggi BMI Badan badan (kg/m2) (kg) (m) 51,0 1,550 21,2 54,0 1,630 20,3 56,0 1,580 22,4 68,0 1,620 25,9 71,5 1,620 27,2 48,0 1,580 19,2 62,0 1,625 23,5 51,0 1,590 20,2 53,5 1,640 19,9
56,61 8,07
1,6028 0,0295
22,000 2,866
57,22 8,15
1,6039 0,0300
22,200 2,813
46,0 54,0 43,0 41,0 50,0 43,0 54,0 49,0 45,0
1,560 1,510 1,550 1,450 1,530 1,490 1,555 1,560 1,450
18,9 23,7 17,9 19,5 21,4 19,4 22,3 20,1 21,4
47,0 55,0 43,5 41,5 52,5 44,0 54,0 49,5 44,0
1,560 1,510 1,550 1,450 1,530 1,490 1,555 1,560 1,460
19,3 24,1 18,1 19,7 22,4 19,8 22,3 20,3 20,6
47,22 4,79
1,5172 0,0449
20,511 1,830
47,89 5,04
1,5183 0,0432
20,733 1,861
Dari tabel diatas, bisa dilihat bahwa setelah menjalani intervensi, sebagian besar responden mengalami kenaikan berat badan dengan persentasi yang sangat kecil dan tidak signifikan (p>0,05) yaitu sekitar 1,08 % pada kelompok perlakuan dan 1,42 % pada kelompok kontrol. Rata-rata berat badan responden kelompok perlakuan sebelum intervensi 56,61 ± 8,07 kg, setelah intervensi menjadi 57,22 ± 8,15 kg. Sedangkan rata-rata berat badan responden kelompok kontrol sebelum intervensi 47,22 ± 4,79 kg, setelah intervensi 47,89 ± 5,04 kg. Peningkatan berat badan ini diduga karena selama intervensi responden makan secara teratur setiap pagi dan malam hari dengan menu makanan yang bergizi karena disediakan oleh peneliti, tidak seperti biasanya, dimana kadang-kadang responden makan tidak teratur disebabkan oleh berbagai hal. Menu makanan yang disediakan umumnya terdiri dari makanan pokok, yaitu nasi sebagai sumber karbohidrat, lauk pauk sebagai sumber protein dan lemak, sayur dan kadang-kadang ditambah buah sebagai sumber vitamin dan mineral. Kenaikan berat badan responden tidak bisa dikatakan sebagai akibat konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama intervensi, karena kenaikan berat badan tidak hanya dialami oleh responden pada kelompok perlakuan atau kelompok yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak saja, tetapi juga dialami oleh responden pada kelompok kontrol yang tidak mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Murphy et al (2003) telah membuktikan bahwa tidak terjadi perbedaan berat badan secara nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang mengkonsumsi flavanol kakao dan oligomer prosianidin selama 28 hari oleh 32 responden. Menurut Heerden (2006) konsumsi kakao atau bubuk kakao bukanlah penyebab utama kegemukan, sehingga dapat dikatakan bahwa kenaikan berat badan yang dialami oleh responden bukanlah akibat mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak, tetapi mungkin karena konsumsi makanan dan minuman lainnya. Selain itu bubuk kakao yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis bubuk kakao yang sudah diambil lemaknya. Misnawi (2005) menjelaskan bahwa bubuk kakao bebas lemak adalah produk kakao yang berbentuk bubuk yang diperoleh dari pasta kakao setelah dihilangkan lemaknya.
Selama berlangsungnya intervensi, sarapan pagi dan makan malam responden disediakan oleh peneliti, dengan harapan asupan makanan semua responden selama penelitian seragam sehingga dapat mengurangi terjadinya bias karena perbedaan status gizi responden. Selain itu juga diharapkan selama intervensi, makanan yang dikonsumsi adalah makanan dengan menu seimbang sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi responden. Adapun menu yang disajikan terlihat pada tabel berikut. Tabel 4 Menu makan pagi dan makan malam responden yang disiapkan oleh peneliti selama intervensi berlangsung. Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Makan pagi Nasi, soto ayam Nasi, ikan sambal, sayur Nasi, dadar telur, sayur Nasi, soto ayam, mangga Nasi, tempe sambal, sayur Nasi, telur dadar, sayur, melon Nasi, sambal udang, sayur Nasi, ikan teri sambal, sayur Nasi, ikan goreng, sayur Nasi, orek tempe, sayur, pepaya Nasi, opor ayam, sayur Nasi, telur sambal, sayur Nasi goreng telur Nasi, ayam sambal, sayur Gado-gado, tempe Nasi, pepes ikan teri, sayur Nasi uduk, telur Nasi, ayam semur, sayur Nasi, telur sambal, sayur Nasi, goreng telur, pepaya Nasi, tongkol sambal, sayur Nasi, tahu tempe sambal, sayur Lontong sayur, jeruk Nasi, ayam sambal Nasi, hati, ampela, sayur
Makan Malam Nasi, dendeng sapi, sayur Nasi, ayam bakar, lalap, pepaya Tumis jamur, semangka Nasi, rendang daging, sayur Nasi, ayam geprek, sayur Nasi, sambal tongkol, sayur Capcai, pepaya Nasi, ikan mas bakar, lalapan Nasi, sup daging, jeruk Nasi, rendang daging, sayur Tumis jamur, pepaya Lontong, sate ayam, semangka Nasi, ayam geprek, sayur Nasi, pepes ikan mas, lalapan Nasi, sup daging, semanka Nasi, cumi gulai Lontong, sate padang, melon Nasi, ikan baker, lalapan Nasi uduk, pecel ayam Puyunghai, jeruk Nasi uduk, pecel ayam, melon Nasi, rendang daging, sayur Tumis jamur, papaya Nasi, ikan baker, lalapan Nasi, dendeng daging, pepaya
Selama penelitian ini berlangsung, menu makan siang responden tidak disediakan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan aktivitas responden berbeda-beda sehingga sangat sulit untuk mengatur makan siang dan jajanan yang dikonsumsi responden. Meskipun demikian kepada responden diberitahukan bahwa mereka untuk sementara waktu, selama intervensi berlangsung tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung senyawa polifenol tinggi seperti produk-produk coklat, kopi, teh dan minuman bersoda tinggi. Makanan atau minuman yang mengandung senyawa polifenol tinggi diduga mengandung senyawa polifenol yang sama dengan minuman bubuk kakao yang diuji, sehingga perlu dihindari selama penelitian berlangsung guna menghindari tercampurnya komponen flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak dengan komponen bioaktif lainnya ketika masuk ke dalam tubuh. Selain itu responden juga diminta untuk mencatat semua makanan yang mereka konsumsi pada kuisioner yang telah diberikan seperti yang tercantum pada lampiran. Selain mengkonsumsi makanan pokok berupa nasi, di siang hari responden mengkonsumsi buah dan makanan jajanan yang dibeli di sekitar tempat tinggal dan kampus. Makan pagi dan makan malam yang disediakan oleh peneliti juga diperoleh dari warung-warung makanan yang ada di sekitar tempat tinggal responden, sehingga tidak terlalu jauh berbeda dengan kebiasaan makanan harian responden (Kusumaningtyas 2007). Selanjutnya pengambilan darah responden dilakukan dua kali yaitu hari pertama sebelum mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dan hari ke 25 setelah mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Pengambilan darah dilakukan pagi hari pada jam 07.00 – 08.00 WIB dengan tujuan agar kondisi fisik responden masih prima karena belum melakukan aktivitas lain. Darah yang telah didapat dari masing-masing responden sesegera mungkin langsung dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis. Pada saat pengambilan darah setelah 25 hari intervensi, seorang responden pada kelompok kontrol dengan kode K5 berhalangan hadir, sehingga darah responden tersebut tidak bisa dianalisis. Meskipun demikian, hilangnya data ini diharapkan tidak mempengaruhi hasil penelitian secara keseluruhan.
Aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit Sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas meliputi dua yaitu sistem pertahanan nonenzimatik dan enzimatik. Sistem pertahanan tubuh nonenzimatik terhadap serangan radikal bebas melibatkan vitamin C, vitamin E dan komponen-komponen bioaktif. Sistem pertahanan tubuh enzimatik terhadap radikal bebas melibatkan: enzim superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase (Halliwell et al. 1992; Schmidl et al, 2000). Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap salah satu aktivitas enzim antioksidan yaitu enzim katalase. Halliewell dan Gutteridge (1999) menyebutkan bahwa katalase merupakan enzim yang mengkatalis reaksi pemecahan senyawa hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Katalase pada mamalia disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap unit terdiri dari satu gugus hem dengan inti ion ferri sebagai active site. Aktivitas katalase dihambat oleh senyawa azida, sianida dan HOCl tapi meningkat dengan meningkatnya akumulasi H 2 O 2 . Enzim katalase memberikan pertahanan terhadap serangan radikal bebas yang dapat merusak sel. Jadi semakin tinggi dan meningkat aktivitas enzim ini maka menunjukkan semakin meningkat pula pertahanan sel terhadap serangan radikal bebas. Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas dan fungsi essensial sel (Kehrer 1993). Menurut Zitouni et al (2005), radikal bebas juga
dapat mengganggu endotelium dan memacu
terjadinya kerusakan membran, sebagai contohnya akan meningkatkan ekresi albumin urin dan memacu diabetes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 999,64 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 989,77 U/mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok perlakuan menjadi 1020, 03 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 993,39 U/ mg protein. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa rata-rata aktivitas enzim katalase pada eritrosit baik
pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama mengalami peningkatan. Meskipun demikian, rata-rata peningkatan pada kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 20,387 U/ mg protein sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata peningkatannya hanya sebesar
3,62 U/ mg protein. Hal tersebut
diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan aktivitas enzim katalase pada eritrosit secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas enzim katalase pada eritrosit yang terjadi pada
Aktivitas Katalase (U/mg protein)
kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. 1040 1020 1000 980 960 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Rata-rata peningkatan = 20,39 U/ mg protein
Setelah Intervensi
Aktivitas Katalase (U/mg Protein)
Gambar 8 Grafik aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi 1000 995 990 985 980 975 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 3,62 U/ mg protein
Gambar 9 Grafik aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Peningkatan ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti memberikan pengaruh yang positif bagi sistem pertahanan tubuh khususnya secara enzimatis dalam hal ini oleh enzim katalase dalam menangkal serangan radikal bebas yang berbahaya bagi sel. Hal tersebut diduga karena disebabkan oleh kandungan flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak yang memiliki kapasitas antioksidan dalam tubuh. Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Schuler 1990). Menurut Gutteridge dan Halliwell (1996), antioksidan adalah suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap suatu molekul target. Sementara itu menurut Cillard et al (1980) dan Schluler (1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari zat yang mudah teroksidasi, secara nyata mampu memperlambat oksidasi zat tersebut. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Amri (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti dapat menghambat laju hemolisis eritrosit. Menurut Zhu et al (2005), Eritrosit mengandung asam lemak tak jenuh ganda dengan konsentrasi yang tinggi, oksigen molekuler, dan ion besi sebagai ligan, oleh sebab itu eritrosit sangat mudah diserang sehingga terjadi stress oksidatif. Bagaimanapun, sel ini memiliki sistem antioksidan efisien yang menyumbangkan ketahanan yang luar biasa terhadap peroksidasi ketika radikal diproduksi di dalam sel. Lebih lanjut Amri (2007) menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti secara nyata mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas anti radikal bebas pada sel eritrosit. Malonaldehida (C3H4O2) adalah senyawa aldehida berkarbon tiga sebagai produk peroksidasi lipid, terutama asam arakhidonat dan pada biosintesa prostaglandin. Kadar MDA dapat digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Pryor et al., 1976; Frankel & Neff, 1983; Bird & Draper, 1980; Auroma, 1997 dalam Tejasari, 2000). Berbagai sumber antioksidan alami telah banyak dilaporkan berasal dari tanaman. Bubuk kakao bebas lemak yang digunakan dalam penelitian ini mengandung polifenol sebesar 4,43 gr/ 100 gr (Zairisman, 2006). Antioksidan
seperti vitamin C, flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin (Pratt & Hudson 1990), dan komponen fenolik pada umumnya merupakan antioksidan primer. Senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipida. Polifenol dalam bubuk kakao akan bereaksi langsung dengan senyawa peroksida radikal yang terdapat pada membran atau di dalam sel (Kochhar & Rossell 1990). Adanya radikal bebas dalam tubuh bisa menimbulkan penyakit degeneratif yang berbahaya misalnya kanker, serangan jantung, diabetes militus, penyempitan pembuluh darah dan lain-lain. Sztanske dan Pasternak (2005) telah meneliti bahwa pasien yang mengalami gangguan gastrointestinal telah terbukti memiliki aktivitas enzim atioksidan superoksida dismutase dan glutation peroksidase yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang normal. Selain itu Zitouni et al (2005) juga menyebutkan bahwa aktivitas enzim antioksidan GPx, SOD dan katalase pada penderita diabetes baik tipe I maupun tipe II terbukti lebih rendah dibandingkan dengan subjek sehat. Berbagai penelitian yang mendukung hasil penelitian ini juga telah dilakukan. Salah satu komponen bioaktif pada pangan adalah karotenoid. Karotenoid memiliki potensi sebagai antioksidan bagi sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Bub (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa karotenoid pada jus tomat terbukti mampu menekan kadar LDL (Low Density Lipoprotein) pada 23 orang pria dewasa sehat yang diberi konsumsi jus tomat sebanyak 330 ml/hari selama 2 minggu. Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan pada aktivitas enzim antioksidan superoksida dismutase secara nyata (7,961±216 U/ g Hb) pada eritrosit. Dalam penelitian lainnya, Jung et al (2003) menyebutkan bahwa suplementasi naringin telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan katalase, superoksida dismutase (SOD) dan glutation peroksidase pada eritrosit dan plasma darah subjek yang menderita
hiperkolesterolemik.
Naringin merupakan senyawa fenol golongan flavonoid. Selanjutnya Coscun et al (2004) juga telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa tikus percobaan yang diberi injeksi flavonoid quercetin selama 16 minggu dengan dosis 50 mg/ kg/ hari
mampu meningkatkan secara signifikan aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti katalase, superoksida dismutase dan glutation peroksidase baik pada hati maupun pada darahnya. Quercetin merupakan senyawa polifenol golongan flavonoid yang berpotensi sebagai antioksidan. Lebih lanjut dalam penelitiannya Pasternak et al (2005) menyebutkan bahwa vitamin C yang ditambah dengan elemen Zinc dan Copper (Zn dan Co) telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan glutahion peroksidase dan superoksida dismutase pada jaringan tikus. Namun demikian dalam penelitian ini, adanya peningkatan aktivitas enzim antioksidan katalase ini tidaklah bisa semata-mata disimpulkan hanya karena flavonoid pada bubuk kakao semata. Hal ini disebabkan karena pada kelompok kontrol yang tidak diberi konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak pada waktu yang sama, aktivitas enzim katalasenya juga mengalami peningkatan meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan ini bisa saja disebabkan oleh pengaruh konsumsi makanan atau minuman lainnya yang dikonsumsi reponden
selama
intervensi berlangsung. Seperti
dijelaskan
sebelumnya bahwa selama penelitian ini berlangsung, makan pagi dan makan malam responden disediakan oleh peneliti. Adapun menu yang disajikan selalu terdiri dari karbohidrat, lemak, protein juga komponen serat, vitamin dan mineral. Hal ini tentunya memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan para responden. Sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas juga melibatkan seperti vitamin C, vitamin E dan berbagai komponen bioaktif (Nabet, 1996). Asupan makanan yang bergizi tentunya akan sangat mempengaruhi kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh. Dalam penelitiannya Rasal et al (2006) menyebutkan bahwa tikus percobaan yang menderita diabetes ketika diberi ekstrak daun kubis (Brassica oleracea var. gongylodes) dengan dosis 10mg/ kg/ hari secara ad libitum terbukti secara nyata mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan katalase, SOD dan glutation peroksidase pada eritrositnya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kubis merupakan sejenis sayuran yang mengandung vitamin C, vitamin E dan karoten. Komponen bioaktif yang penting dari tanaman ini adalah sulphoraphanes dan isothiocyanates lainnya, karena mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan adalam tubuh. Selain itu
kebiasaan buruk seperti merokok telah dibuktikan ternyata mempengaruhi kerja enzim-enzim antioksidan pada tubuh. Peltola et al (1994) menyebutkan bahwa Merokok terbukti dapat menurunkan aktivitas katalase sebesar 16% setelah 12 jam menghisap rokok selama 5 hari.
Aktivitas enzim antioksidan katalase pada plasma Antioksidan merupakan molekul yang dapat mengendalikan reaksi berantai radikal bebas di dalam tubuh. Untuk menangkal reaksi radikal bebas, tubuh mempunyai sistem pertahanan enzimatik dan nonenzimatik. Beberapa enzim yang terlibat dalam pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas adalah katalase, superoksida dismutase dan glutation peroksidase (Gutteridge dan Halliewell, 1994). Seperti disebutkan di atas bahwa katalase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam pertahanan tubuh secara enzimatis terhadap radikal bebas. Katalase merupakan enzim yang mengakatalis reaksi pemecahan senyawa hidrogen peroksida menjadi air. 2H 2 O 2
Katalase
H2 O +
O2
Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Pada manusia, enzim ini ditemukan dalam darah, ginjal, limfa, pankreas, otak, paru-paru, adiposa, kelenjar adrenal dan konsentrasi tertinggi ada pada hati (± 1400 U/mg protein) (Gutteridge & Halliewell, 1994) bersama dengan glutation peroksidase (GPx) dan enzim antioksidan lainnya (Greenwald 1985). Enzim ini sangat berperan dalam pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas yang dapat merusak sel. Radikal bebas merupakan suatu molekul atau ion yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada kulit terluar. Molekul atau ion ini berusaha mencapai titik kestabilan dengan jalan menarik elektron atau molekul lain sehingga terbentuk radikal baru. Reaksi radikal bebas dapat berlangsung secara berantai (Gutteridge & Halliewell, 1994). Disamping radikal bebas dikenal pula istilah Reaktif Oxygen Species (ROS) yaitu molekul yang mengandung oksigen dan bersifat reaktif (Oberley 2001 dalam Chalid 2000).
Aktivitas Katalase (U/mg protein)
650 600 550 500 450 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Rata-rata peningkatan = 44,95 U/ mg protein
Setelah Intervensi
Gambar 10 Grafik aktivitas enzim katalase pada plasma kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi Aktivitas Katalase (U/mg protein)
650 600 550 500 450 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 11,58 U/ mg protein
Gambar 11 Grafik aktivitas enzim katalase pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim katalase pada plasma darah kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 539, 228 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 547,905 U/mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata aktivitas enzim katalase pada plasma darah kelompok perlakuan menjadi 584,177 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 559,487 U/ mg protein. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa rata-rata aktivitas enzim katalase pada plasma baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama mengalami peningkatan. Meskipun demikian, rata-rata peningkatan pada kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 44,949 U/ mg protein sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata peningkatannya hanya sebesar 11,582 U/ mg
protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan aktivitas enzim katalase pada plasma secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas enzim katalase pada plasma yang terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Kakao mengandung flavanol dan prosianidin yang potensial sebagai agen perlindungan terhadap kardiovaskuler, berpengaruh pada fungsi platelet, mengatur tekanan darah, produksi nitrik oksida, menghambat oksidasi dan sebagai sistem imun (Heiss et al. 2003 dalam Yan Zhu et al. 2005). Flavonoid pada kakao dan cokelat dikenal dengan istilah flavanol. Flavanol dapat juga ditemukan pada teh hijau, apel, dan anggur merah. Flavanol umumnya terdapat dalam bentuk senyawa tunggal seperti catechin dan epicatechin dan juga berbentuk senyawa oligomer seperti procyanidin (CIC 2001). Senyawa polifenol pada kakao bersifat sebagai antioksidan primer dalam menangakal radikal bebas. Suatu molekul akan dapat bereaksi sebagai antioksidan primer jika dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada radikal lipida dan jika radikal yang diturunkan dari antioksidan lebih stabil dibandingkan radikal lipida, atau dikonversi menjadi produk stabil. Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol dengan radikal lemak selalu distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak berpasangan disekitar cincin aromatik dari fenol tersebut. Menurut Hudson (1990), stabilisasi radikal fenoksil akan mengurangi laju propagasi autooksidasi. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Yuliatmoko (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari telah terbukti mampu menekan jumlah MDA dan diena terkonjugasi pada plasma darah responden. Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA menghasilkan beberapa produk seperti: Malonaldehida atau MDA, diena terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-HPETE). Selain itu hasil penelitian Yuliatmoko (2007) juga menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak pada responden selama 25 hari telah terbukti mampu meningkatkan
atktivitas antiradikal bebas pada plasma darah. Untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat maka jumlah antioksidan tidak boleh rendah daripada jumlah radikal bebas. Penurunan kadar MDA sel oleh senyawa bioaktif dalam bahan pangan lain telah diteliti. Zakaria et al (2003) melaporkan bahwa komponen bioaktif dalam jahe dapat menurunkan kadar MDA sel limfosit baik secara in vitro maupun secara in vivo dengan menggunakan responden manusia. Dalam penelitian lain juga telah diteliti bahwa konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran yang tinggi kandungan vitamin C dan E dapat menurunkan MDA sel pada populasi buruh industri di Bogor (Wijaya 1997). Penelitian yang serupa juga telah dilakukan oleh Jung et al (2003) yang menyebutkan bahwa pemberian suplemen yang mengandung komponen bioaktif flavonoid jenis naringin telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan glutation peroksidase, superoksida dismutase dan juga katalase pada plasma darah subjek manusia yang menderita hiperkolesterolemik. Fraga et al (2005) juga telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa konsumsi flavanol yang terkandung dalam coklat susu telah terbukti mampu mengurangi kolesterol plasma, LDL, MDA dan meningkatkan vitamin E dan plasma darah responden yang berprofesi sebagai pemain sepakbola. Aktivitas radikal bebas yang tidak terkendali dalam tubuh bisa membahayakan bagi metabolisme dalam tubuh kita. Keberadaan radikal bebas yang berbahaya ini bisa memicu berbagai penyakit berbahaya terutama penyakitpenyakit degeneratif yang berakibat fatal bahkan bisa menyebabkan kematian. Selain itu apabila tubuh telah terserang suatu penyakit tertentu akibat tidak terkendalinya jumalah radikal bebas yang ada, maka tentunya akan mengganggu sistem pertahanan tubuh seperti sistem kerja enzim di dalamnya. Sebagai contohnya hasil penelitian Sozmen et al (1998) menunjukkan bahwa aktivitas enzim katalase dan superoksida dismutase (SOD) pada pasien hipertensi dan jantung koroner telah terbukti jauh lebih rendah dibandingkan dengan subyek normal. Chalid (2000) menyebutkan bahwa mencit yang menderita tumor kelenjar susu setelah diberi ekstrak daun cincau hijau ternyata mampu meningkat aktivitas
enzim katalasenya. Ekstrak daun cincau hijau mengandung senyawa bioaktif: alkaloid, saponin, flavonoid, klorofil dan karotenoid. Zakaria dan Prangdimurti (2000) juga menyebutkan bahwa tanaman cincau hijau memiliki alkaloid 0,98 % dan total fenol 2,12 %. Peningkatan aktivitas enzim katalase ini tentu saja dapat memperkuat sistem pertahanan enzimatis tubuh dalam menekan terbentuknya radikal bebas. Halliwell dan Gutteridge (1999) menyebutkan bahwa asupan senyawa antioksidan alami yang banyak terdapat pada tanaman seperti kakao, brokoli, sawi, bunga kol, teh, anggur mampu menekan radikal bebas dan elektrofil dalam tubuh sehingga serangan terhadap DNA dapat dieliminasi dan penyakit-penyakit degeneratif dapat dihindari. Tentu saja secara tidak langsung bisa mengaktifkan kerja enzim antioksidan seperti katalase. Kakao merupakan tanaman yang mengandung komponen bioaktif flavonoid. Lebih lanjut Grassi et al
(2006) menjelaskan
bahwa pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glukoronida, methyl dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya. Meskipun demikian peningkatan kerja enzim katalase pada plasma responden dalam penelitian ini tidaklah bisa dikatakan sema-mata hanya merupakan efek dari konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak saja. Hal ini dikarenakan pada kelompok kontrol yang tidak menerima asupan flavonoid dari minuman bubuk kakao juga terbukti mengalami peningkatan katalse meskipun tidak nyata. Ini diduga bisa saja disebabkan oleh asupan makanan lainnya yang dikonsumsi oleh responden. Makanan atau minuman yang mereka konsumsi bisa saja mengandung komponen antioksidan lainnya. Hal ini telah dibuktikan oleh Yuliatmoko (2007) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa responden yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dengan kondisi yang sama seperti pada penelitian ini telah terbukti juga meningkat kadar vitamin C pada plasma darahnya. Ini menunjukkan bahwa adanya korelasi yang positif antar sistem pertahanan tubuh apabila menerima asupan makanan atau minuman yang bergizi serta ditambah lagi dengan adanya senyawa bioaktif seperti flavonoid.
Zakaria (1996) mengemukakan bahwa sayuran dan buah-buahan yang kaya dengan vitamin E dan vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan bagi tubuh. Selain itu selama intervensi ini berlangsung, responden juga mengurangi konsumsi jajanan. Menurut Fardiaz dan Fardiaz (1993) dalam makanan jajanan mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikroorganisme, pestisida, logam berat, zat pewarna, zat pemanis dan zat pengawet. Zakaria dan Abidin (1996) menyatakan bahwa konsumsi makanan yang telah tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan pembentukan senyawa radikal dalam tubuh konsumen. Konsumsi makanan yang berpotensi sebagai antioksidan tentunya akan berdampak posistif pada sistem pertahanan enzimatik tubuh. Hal ini telah dibuktikan salah satunya dalam penelitian Dragted et al (2004) yang menyebutkan bahwa pemberian sayuran dan buah-buahan sebanyak 600 gram/hari yang terdiri dari brokoli, bayam, bawang merah, tomat, jeruk, apel, pir selama 25 hari pada 43 orang responden yang teridiri dari pria dan wanita telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan SOD (984±158 U/g protein menjadi 993±U/ g protein) dan glutation peroksidase (126±21 U/ g protein menjadi 133±22 U/ g protein) pada eritrosit dan plasma darah. Dengan meningkatnya aktivitas enzim antioksidan dalam tubuh tentunya akan semakin memperkuat sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas yang merupakan pemicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, aterosklerosis dan lain-lain.
Aktivitas Enzim Detoksifikasi Sitokrom P-450 pada Eritrosit Metabolisme senyawa xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu (monooksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzimenzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek toksik bagi tubuh (Hodgoson & Levi, 2000).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kadar enzim sitokrom P-450. Enzim ini berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I, yang mana dalam reaksi ini terjadi proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II. Reaksi tersebut berlangsung dengan efektif dalam kondisi tegangan oksigen yang rendah. Bila tidak demikian oksigen molekuler akan bersaing dengan substrat senyawa asing dalam proses perpindahan elektron yang dikatalisir oleh enzim tersebut (Donatus, 2001). Ada dua hal penting yang berhubungan dengan fungsi enzim sitokrom P450, yang pertama adalah enzim ini memiliki jalur yang kritis dan spesifik dalam metabolisme senyawa-senyawa kimia endogenus. Kedua, Proses enzim ini merupakan pokok dari produk-produk alami, bahkan saat ini ditambah dengan bahan-bahan kimia seperti obat-obatan dan xenobiotik lainnya dalam senyawasenyawa non selektif (Guengerich 1991). P-450 dan komponennya bisa ditemukan di kulit, mukus, paru-paru, gastrointestinal. Selain organ-organ tersebut juga telah banyak dilakukan penelitian tentang keberadaan P-450, diantaranya di hati, ginjal, plasenta, testis serta pada darah (Hodgoson & Levi, 2000). Selain itu pada tahun 1999, Krovat et al juga telah membuktikan bahwa Sitokrom P-450 (CYP) dan mikrosomal epoxide hydrolase (MEH) telah terbukti teridentifikasi di sel darah manusia. Komponen bioaktif yang masuk dalam tubuh akan melalui jalur bioaktivasi dan detoksifikasi dalam tubuh. Kakao memiliki komponen bioaktif utama yaitu flavonoid. Komponen flavonoid ini mungkin akan teroksidasi oleh sistem enzim sitokrom P-450. Seperti yang dikatakan oleh Freisleben, 1999 bahwa salah satu enzim yang mengkatalis proses okdidasi adalah sistem enzim monooksigenase (enzim sitokrom P-450 oksidase) yang menghasilkan radikal bebas. Sistem enzim sitokrom P-450 yang terlibat dalam biotransformasi dan detoksifikasi xenobiotik akan memproduksi peroksida atau singlet oksigen yang reaktif. Reaksi yang terjadi yaitu: RH + O 2 + H 2 O → ROH + O 2
*
+ H+ / H2 O2
Kadar Sitokrom P-450 (nmol/mg protein)
7 6 5 4 3 2 1 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
Responden Sebelum Intervensi
P9
Rata-rata penurunan = 3,84 nmol/ mg protein
Setelah Intervensi
Kadar Sitokrom P-450 (nm ol/m g protein)
Gambar 12 Grafik kadar sitokrom P-450 pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi 7 6 5 4 3 2 1 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata penurunan = 0,85 nmol/ mg protein
Gambar 13 Grafik kadar sitokrom P-450 pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Hasil penelitian seperti ditampilkan dalam gambar 12 dan 13 di atas menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata kadar sitokrom P-450 kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 5,43 nmol/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 4,82 nmol/mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata kadar sitokrom P-450 kelompok perlakuan menjadi 1,59 nmol/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 3,97 nmol/ mg protein. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa kadar sitokrom P-450 pada eritrosit baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol samasama mengalami penurunan. Meskipun demikian, rata-rata penurunan pada kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 3,84 nmol/ mg protein sedangkan
pada kelompok kontrol rata-rata penurunan hanya sebesar 0,85 nmol/ mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan penurunan kadar sitokrom eritrosit yang terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Dengan demikian terlihat jelas bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak tidak meningkatkan kadar sitokrom P-450 yang berarti proses oksidasi di hati tidak meningkat dan tidak memicu terbentuknya radikal bebas. Penurunan kadar sitokrom P-450 ini terlihat pada kedua kelompok baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Penurunan kadar sitokrom ini juga didukung dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amri (2007) yang mana konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari secara nyata mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas antiradikal bebas pada sel eritrosit. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Erniati (2007), yang menyatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar MDA secara nyata pada sel limfosit darah manusia. MDA merupakan salah satu parameter untuk menganalisa kadar radikal bebas dalam tubuh. Senyawa ini merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh senyawa radikal (Conti et al. 1991). Penurunan kadar sitokrom kelompok perlakuan yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol diduga karena efek positif yang didapat setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Seperti disebutkan dalam penelitian sebelumnya oleh Zairisman (2006) bahwa ekstrak bubuk kakao bebas lemak dalam pelarut air mengandung senyawa polifenol yang tinggi. Dalam penelitian lain disebutkan juga bahwa kakao mengandung senyawa fitokimia fenolik dan kapasitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah-buahan, sayur-sayuran, teh hijau dan teh hitam (Lee et al 2003; Vinson et al 1995). Komponen antioksidan ini dapat menetralisir reaktivitas dari reaktif oxygen spesies (ROS).
Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk menggali potensi flavonoid dalam menghambat enzim oksidatif yang memicu terbentuknya radikal bebas yang berakibat fatal bagi tubuh. Li et al (1994) telah membuktikan bahwa senyawa flavonoid jenis myricetin dan quercetin telah terbukti mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 pada fraksi mikrosomal hati manusia sebesar 40-60%. Dengan konsentrasi sebesar 85-90 mikroM. Selain itu juga ia juga membuktikan bahwa pemberian flavonoid jenis flavon dengan konsentrasi 2,5 mikroM juga telah terbukti menghambat kerja enzim ini. Dalam penelitian yang lain disebutkan pula bahwa senyawa flavonoid jenis chrysin dan apigenin mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 jenis CYP1A1 flavonoid golongan quercetin mampu menghambat sitokrom P-450 jenis CYP1A2 pada hamster yang diberi ransum mengandung flavonoid: quercetin, apigenin dan chrysin masing-masing sebesar 10 µM (Lautaraite et al, 2002). Seiring dengan semakin banyaknya penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas seperti penyakit-penyakit degeneratif, maka semakin banyak penelitian yang dikembangkan ke arah tersebut. Berbagai potensi bahan alami terus diteliti dan dikembangkan untuk menghambat kerja dari enzim yang memicu terjadinya kerusakan sel seperti sitokrom P-450 ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ginseng varietas Panax ginseng dan Panax quinquevolius telah terbukti tidak meningkatkan aktivitas sitokrom P-450 dengan dosis masing-masing 30-100 mg/ kg dan 100-400 mg/ kg setiap harinya selama 21 hari pada fraksi mikrosomal dari hati tikus percobaan (NCCAM, 2005). Penelitian sebelumnya juga telah membuktikan bahwa beberapa senyawa golongan flavonoid yang diekstrak dari akar tanaman Scutellariae telah terbukti mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 pada fraksi mikrosomal hati manusia. Lebih rinci hasil penelitiannya
adalah
flavonoid
golongan
Baicalein
dan
2',5,6',7-
tetrahydroxyflavone pada konsentrasi masing-masing 17,4 dan 7,8 µM menghambat hepatic testosterone 6
-hydroxylation (CYP3A4). Flavonoid
golongan Oroxylin pada konsentrasi 6,1 µM mampu menghambat aktivitas Sitokrom diclofenac 4-hydroxylation (CYP2C9) (Kim et al. 2002)
Namun demikian harus diperhatikan bahwa penurunan kadar sitokrom P450 pada penelitian ini juga tidak semata-mata disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak saja. Hal ini terlihat juga pada kelompok kontrol yang tidak mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak tapi juga mengalami penurunan kadar sitokrom P-450 meskipun hasil analis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata pada kelompok kontrol. Penurunan kadar sitokrom baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol juga diduga karena pola makan responden selama intervensi. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, umumnya mereka menyatakan bahwa pola makan mereka lebih baik selama intervensi dibandingkan dengan pola makan mereka biasanya. Selama intervensi berlangsung, setiap menu yang disajikan selalu disediakan nasi sebagai asupan karbohidrat, lauk sebagai protein dan lemak, sayur dan juga kadang-kadang buah sebagai vitamin dan mineral. Selain itu selama intervensi berlangsung, responden juga mengurangi konsumsi makanan jajanan. Menurut Fardiz dan Fardiaz (1993), dalam makanan jajanan mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikoroorganisme, pestisida, logam berat, zat pewarna, zat pemanis dan zat pengawet. Zakaria dan Abidin (1996) menyatakan bahwa konsumsi makanan jajan yang tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan pembentukan senyawa radikal bebas dalam tubuh konsumen. Meskipun kelompok kontrol juga mengalami penurunan kadar sitokrom P450 dalam eritrosit, namun demikian penurunan kelompok perlakuan tetaplah lebih tinggi. Hasil analisa statistik juga memperkuat bahwa penurunan kadar sitokrom pada kelompok yang diberi konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak berbeda nyata antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol setelah intervensi selama 25 hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar sitokrom P-450 pada sel seritrosit darah manusia. Hasil penelitian ini juga menunjang hasil penelitian serupa lainnya. Nugrahenny (2003) menyatakan bahwa tikus percobaan yang diberi konsumsi minuman ekstrak cincau hijau selama 8 minggu secara nyata memiliki rata-rata kadar sitokrom lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi konsumsi minuman ekstrak cincau hijau.
Cincau hijau memiliki komponen bioaktif antara lain karotenoid, flavonoid, polifenol yang termasuk dalam gugus fenolik.
Aktivitas enzim detoksifikasi sitokrom P-450 pada plasma Selain untuk melihat pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kadar sitokrom P-450 pada sel eritrosit, penelitian ini juga ingin melihat pengaruh yang sama pada plasma darah manusia yang telah mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Plasma merupakan suatu komponen darah yang encer yang terdiri dari elekrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain (Ganong, 2000). Reaksi-reaksi fase satu meliputi monooksigenasi mikrosom, oksidasi mitokondria dan sitosol, kooksidasi dalam reaksi sintesis prostaglandin, reduksi, hidrolisis dan hidrasi epoksida. Semua reaksi pada fase satu menghasilkan metabolit atau merubah toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi dalam reaksi-reaksi fase dua dan mudah diekresikan baik secara langsung maupun tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu (Hodgoson & Levi, 2000). Lebih lanjut, Donatus (2001) menjelaskan bahwa fungsi utama reaksi metabolisme fase I adalah mengubah struktur senyawa asing melalui proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II. Enzim yang berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I adalah enzim monoksigenase sitokrom P-450. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari secara nyata dapat menurunkan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah. Sitokrom P-450 merupakan salah satu enzim oksidatif, yang bisa menghasilkan radikal bebas dalam tubuh. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk menghambat kerjanya. Charpentier dan Cateora (1996) menyatakan salah satu mekanisme yang dapat dilakukan oleh suatu antioksidan dalam melindungi tubuh yaitu dengan menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom
P-450. Penghambatan reaksi radikal bebas akan melidungi hepatosit normal dari kerusakan dan mengoptimalkan lingkungan bagi sel-sel hati untuk bergenerasi. Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahapan oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen, menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi rantai untuk
Kadar Sitokrom P-450 (nmol/mg protein)
mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat. 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Kadar Sitokrom P-450 (nmol/mg protein)
Gambar 14
Setelah Intervensi
Rata-rata penurunan = 1,32 nmol/ mg protein
Grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
K9
Rata-rata penurunan = 0,49 nmol/ mg protein
Gambar 15 Grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 14 dan 15 menunjukkan grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok perlakuan dan kontrol baik sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Rata-rata kadar sitokrom kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah 2,11 nmol/ mg protein dan kelompok kontrol 2,09 nmol/ mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, kadar sitokrom menjadi 0,78 nmol/ mg protein untuk kelompok perlakuan dan 1,61 nmol/ mg protein untuk kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar sitokrom baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol. Rata-rata penurunan kadar sitokrom plasma pada kelompok perlakuan adalah sebesar 1,32 nmol/ mg protein sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata penurunannya dalah sebesar 0,49 nmol/ mg protein. Meskipun demikian setelah diuji secara statistik menggunakan uji t, menunjukkan adanya perbedaan nyata penurunan kadar sitokrom antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penurunan kadar sitokrom P450 pada plasma mengindikasikan tidak memicu terjadinya reaksi oksidasi yang dapat menghasilkan radikal bebas yang reaktif dan mungkin tidak menghasilkan senyawa elektrofil. Menurut Guengerich (1997), beberapa intermediet yang dihasilkan dari rekasi oksidasi fase I bersifat elektrofilik yang dapat bereaksi dengan sisi nukleofilik pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Dengan demikian minuman bubuk kakao bebas lemak bisa dikatakan bersifat chemopreventif seperti halnya mekanisme chemopreventif dari isotiosianat yaitu isotiosianat
mampu
menghambat
enzim
spesifik
sitokrom
P-450
dan
meningkatkatkan kerja enzim fase II, seperti glutation S-transferase dan quinon reduktase (Guengerich, 1997). Meskipun demikian penurunan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah ini tidaklah boleh dikatakan semata-mata disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberikan terhadap responden selama 25 hari
intervensi. Hal ini dikarenakan hasil penelitian menunjukkan bahwa juga terjadi penurunan kadar sitokrom plasma pada kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Walaupun setelah uji statistik uji t menunjukkan penurunan pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata seperti halnya di kelompok perlakuan. Penurunan ini diduga salah satunya disebabkan oleh pola makan responden selama menjalani intervensi. Dimana umumnya pola makan responden menjadi lebih baik selama intervensi berlangsung dibandingkan dengan pola makan mereka biasanya yang cenderung tidak teratur. Selain itu selama intervensi berlangsung responden juga mengurangi berbagai konsumsi makanan terutama jajanan di luar yang diberikan oleh peneliti. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bahan makanan lain yang dapat mempengaruhi kerja dari komponen bioaktif flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberikan juga untuk menghindari masuknya berbagai senyawa xenobiotik dalam tubuh. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan metabolisme xenobiotik dalam hati adalah komposisi makanan. Susunan makanan yang utama meliputi protein, lemak dan karbohidrat. Diet atau ransum dengan protein rendah telah terbukti mampu menurunkan kapasitas metabolisme mikrosomal terhadap beberapa obat pada tikus (Donatus, 2001). Suprapto (2002) menyatakan bahwa kebiasaan makan makanan dengan kadar lemak tinggi dan mengandung bahan tambahan kimia seperti daging yang diberi ”warna” senyawa nitrit dapat berakibat buruk terhadap kesehatan. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa responden yang sering mengkonsumsi minuman beralkohol terbukti dapat meningkatkan aktivitas enzim oksidatif sitokrom P-450 pada darah manusia (Raucy, 1997). Hal tersebut tentu saja semakin memicu pembentukan senyawa radikal bebas yang berbahaya dalam tubuh manusia. Pengaruh buruk dari bahan tambahan kimia yang ada dalam makanan pada umumnya tejadi melalui pengaktifan enzim fase I (misalnya sitokrom P-450) yang menghasilkan DNA cacat. Bila gen yang cacat ini terbawa sel ”anakan” dan tidak bisa diperbaiki maka dapat menginisiasi terjadinya kanker.
Kakao mengandung senyawa flavonoid golongan flavanol, yang memberikan efek yang menguntungkan bagi tubuh. Selain itu juga bisa mengurangi resiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler, kanker dan osteoporosis dan bisa mencegah penyakit neurodegeneratif serta diabetes militus. Pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glucuronide, methyl dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya yang merupakan hasil reaksi enzim fase I dan fase II (Grassi et al 2006). Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Yuliatmoko (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak setelah 25 hari secara nyata dapat menurunkan kadar MDA pada plasma darah. Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA menghasilkan beberapa produk seperti: Malonaldehida atau MDA, diena terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15HPETE). MDA merupakan melekul dialdehid yang mempunyai tiga atom karbon dan bersifat reaktif (Rice-Evan et al. 1991; Zaden et al. 1995). Penelitian ini juga didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang bertujuan menggali potensi tanaman yang memiliki komponen bioaktif. Diantaranya adalah yang telah dilakukan oleh Handerson et al (2000) yang membuktikan bahwa ekstrak flavonoid dari buah hop (Humulus Lupulus) telah terbukti mampu menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450 pada manusia. Lebih lanjut juga disebutkan bahwa Injeksi ekstrak bawang putih pada konsentrasi 100 mmol/ L terhadap 6 mikrosomal liver manusia secara invitro telah terbukti signifikan mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 hingga 50% (Greenbat et al 2006). Najima et al (2006) juga telah membuktikan bahwa konsumsi isoflavon pada responden 7 orang sehat di Jepang dengan dosis 60mg/ hari selama 5 hari menunjukkan pengaruh yang positif pada plasma. Dimana, isoflavon golongan daidzein, genistein, and glycitein terbukti mampu mengahambat aktivitas sitokrom P-450 pada plasma. Penurunan terjadi dari 8,8±2,6 menjadi 6,7±1,6. Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa bahwa senyawa flavonoid golongan flavon
jenis:
3-hydroxyflavone,
5-hydroxyflavone,
7-hydroxyflavone,
3,7-
dihydroxyflavone, dan 3,5,7-trihydroxyflavone (galangin) telah terbukti secara nyata mampu menurunkan aktivitas senzim sitokrom P-450 pada sel limfosit manusia (Zai et al, 1998). Penurunan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah ini juga didukung dengan hasil penelitian terhadap kadar sitokrom P-450 pada sel eritrosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan secara nyata kadar sitokrom P-450 pada sel darah eritrosit, meskipun penurunan secara tidak nyata juga tampak pada kelompok kontrolnya. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa pemberian minuman bubuk kakao bebas lemak pada responden selama 25 hari bisa menghambat kerja enzim oksidatif sitokrom P-450 pada plasma maupun pada sel eritrosit darah manusia tentunya diimbangi dengan pola makan yang baik pula. Hal tersebut berimplikasi dapat menekan produksi radikal bebas dalam tubuh. Beberapa penelitian lainnya yang juga telah membuktikan tentang potensi bahan-bahan alami dalam menghambat kerja dari enzim oksidatif sitokrom P-450. Salah satunya NCCAM (2004) menginformasikan bahwa pemberian suplemen yang terdiri dari ekstrak katekin teh hijau (bebas kafein) sebesar 211±25 mg telah terbukti mampu menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450 pada plasma darah 11 orang responden selama 14 hari intervensi. Akan tetapi penurunan ini tidak signifikan secara statistik (p>0,05). Lebih lanjut Obach (2000) telah membuktikan bahwa kandungan flavonoid yang berupa I3,II8-biapigenin pada bunga jenis Hypericum perforatum telah terbukti mampu menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450 pada manusia. St. Johns wort Hypericum perforatum merupakan jenis tanaman herba yang terdapat di wilayah Eropa dan Amerika Utara yang lebih popular dengan sebutan St Jhon’s wort. Tanaman ini memiliki komponen bioktif I3,II8-biapigenin, chloregenic acid, quercetin, hyperforin, hypericin.
Aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase pada eritrosit Sistem detoksifikasi senyawa-senyawa xenobiotik melibatkan dua reaksi yaitu reaksi Fase I dan reaksi Fase II. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu (monoksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzim-enzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek toksik bagi tubuh (Hodgoson & Levi, 2000). Pada penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas enzim detoksifikasi fase II yaitu glutation S-transferase yang selanjutnya disebut sebagai GST. Dari segi toksikologi, reaksi fase II sangat penting karena seringkali terlibat dalam penghilangan zat atau metabolit perantara yang reaktif, yang bersifat elektrofil. Berlangsungnya reaksi ini dikatalisir oleh enzim glutation S-transferase. Kofaktor yang diperlukan untuk reaksi ini adalah glutation tri pepetida (GSH) yang tersusun dari glisin, asam glutamat dan sistein. Konjugasi glutation berlangsung dengan cara pengikatan karbon elektrofil yang ada pada substrat oleh gugus sulfihidril nukleofil yang ada pada glutation (Donatus, 2001). Enzim fase II merupakan sistem enzim konjugasi. Sebagai contoh dalam proses metabolisme BHT, kecukupan sistem enzim konjugasi glutation sangat kritikal dalam menentukan apakah metabolit yang dihasilkan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh atau akan diubah menjadi senyawa elektrofil dan senyawa radikal (Zakaria, 2001). Kadar GST ditentukan dengan menggunakan metode Habig et al yaitu dengan menggunakan substrat CDNB (1-kloro-2,4-dinitrobenzene) dan Glutation dalam
bentuk
tereduksi
(GSH).
Analisis
ini
dengan
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm. Hasil pengukuran absorbansi pada spektrofotometer ini merupakan hasil konjugasi dari GSH dan CDNB melalui reaksi pada gambra 16 berikut:
Gambar 16 Reaksi GSH dan CDNB Lebih lanjut Habig et al (1974) menjelaskan bahwa untuk tujuan analisis terdapat bermacam substrat bagi glutation s-transferase yang dapat digunakan, yaitu 1-clhoro-2,4-dinitrobenzene, 1,2-dichloro -4-nitrobenzene, p-nitrobenzyl chloride, 4-nytropiridine-N-oxide, 1,2-epoxy-3-(p-nitrophenox) propane, 1,2naphtalene oxide, iodomethane, 1-menapthyl sulfat, trans-4-phenyl 3-buten-2-one, p-nitrophenetyl bromide, dan bromosulfophthalein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 0,083 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase sebelum intervensi adalah sebesar 0,0825 nmol/ min/ mg protein. Setelah intervensi berlangsung selama 25 hari, pengukuran rata-rata aktivitas GST eristrosit pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0,217 nmol/ mg protein sedangkan kelompok kontrol menjadi 0,110 nmol/ min/ mg protein. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas GST eritrosit baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Namun demikian rata-rata peningkatan aktivitas GST eritrosit pada kelompok perlakuan lebih besar (0,134 nmol/ min/ mg protein) dibandingkan kelompok kontrol yang rata-rata peningkatannya hanya sebesar 0,03 nmol/ min/ mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan aktivitas GST secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas GST eritrosit yang trjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Data hasil penelitian disajikan dalam gambar berikut.
Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,0134 nmol/min/mg protein
Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
Gambar 17 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,03 nmol/min/mg protein Gambar 18 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Peningkatan aktivitas enzim glutation S-transferase diduga karena efek antioksidatif dari senyawa flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak yang dikonsumsi oleh responden selama 25 hari. Gutteridge dan Halliwell (1998) menyebutkan bahwa flavonoid memiliki kemampuan dalam menghambat peroksidasi lipid, ROS, menghambat kerusakan oleh haem protein atau adanya peroksida, binding ion metal dan menghambat lipoksigenase dan enzim cyclooxygenase. Hasil penelitian ini didukung pula oleh hasil penelitian Erniati
(2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari terhadap 9 orang responden telah terbukti secara nyata dapat meningkatkan kadar glutation tereduksi (GSH) pada limfosit responden. Keberadaan enzim glutation S-tranferase dan GSH dapat melindungi sel dari bahaya elektrofilik yang reaktif ini sebelum bereaksi dengan sisi nukleofilik dari sel. Glutation dalam bentuk tereduksi (GSH) merupakan substrat yang penting untuk enzim-enzim antioksidan seperti glutation S-transferase dan glutation peroksidase dalam menguraikan berbagai macam peroksida atau lipid peroksida (Stone 1999). Namun demikian peningkatan aktivitas enzim gluatation s-transferase ini tidaklah bisa semata-mata disebut sebagai akibat dari flavonoid yang terdapat pada minuman bubuk kakao bebas lemak semata. Hal ini dikarenakan, meski secara tidak nyata setelah 25 hari intervensi, aktivitas enzim GST pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan. Peningkatan aktivitas GST yang terjadi juga pada kelompok kontrol ini diduga karena meningkatnya asupan gizi dan membaiknya pola makan responden selama penelitian berlangsung. Kirlin et al (1999) menyebutkan bahwa makanan merupakan hal yang paling berperan dalam menginduksi enzim detoksifikasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa makananmakanan yang dapat menginduksi enzim detoksifikasi adalah beberapa famili sayuran seperti cruciferae (brokoli, sawi, kubis, kale, kembang kol), leuguminose (buncis), umbelliferae (wortel, seledri), zingiberaceae (jahe), liliaceae (asparagus) dan chenopodiceae (bayam). Dari hasil pengukuran aktivitas enzim glutation S-transferase dapat diketahui bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim ini. Peningkatan aktivitas enzim ini berhubungan dengan aktivitas enzim sitokrom P-450, dimana telah terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 secara nyata dalam eritrosit responden yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari, ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkannya produksi radikal bebas dalam tubuh. Sehingga enzim glutation S-transferase yang ada mampu mengurus intermediet yang dihasilkan, akibatnya terdapat sisa GST yang
tidak terpakai. Sisa GST yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses detoksifikasi berikutnya. Menurut Kirlin et al ( 1999) Induksi enzim detoksifikasi glutation S-transferase merupakan mekanisme pertahanan terhadap kanker. Prinsipnya peningkatan enzim GST dapat mereduksi karsinogenesis melalui penguatan pembuangan elektrofil reaktif. Lebih lanjut Donatus (2001) menjelaskan bahwa intermediet yang bersifat elektrofilik dan reaktif dapat membahayakan komponen seluler yang penting. Penelitian lainnya juga telah banyak dilakukan untuk menggali potensi flavonoid dalam meningkatkan kerja enzim glutation S-transferase, salah satunya telah dibuktikan oleh Uhl (2002) yang menyebutkan bahwa pemberian chrysin (dosis 5-10 μg/ ml) sebagai kemopreventif mampu menekan aktivitas enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan aktivitas GST pada sel hepatoma (HepG2) manusia. Chrysin merupakan komponen biokatif golongan flavonoid yang banyak terdapat pada buah, sayur dan mampu. Senyawa ini diduga kuat memiliki potensi sebagai anti kanker dan tumor. Selanjutnya Patel (2005) juga telah membuktikan bahwa konsumsi buah berry setiap hari terbukti mampu meningkatkan enzim Glutation S-transferase responden laki-laki maupun perempuan. Pada tahun yang sama telah dibuktikan bahwa 15 gram ekstrak teh hijau yang diseduh dalam 1 liter air panas telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim Glutaion Stransferase sebesar 26 % pada hati tikus yang mengkonsumsinya selama 18 hari (El-Beshbishy, 2005).
Aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase (GST) pada plasma Glutation s-transferase adalah famili multi gen suatu protein multi fungsi yang mempunyai bentuk dimmer dan diyakini memegang peranan penting dan utama dalam biosinstesis leukotrin tertentu, prostaglandin, katalis konjugasi glutation (GSH) dengan pusat elektrofilik beragam senyawa (misalnya epoksida) sebagai tahap pertama pembentukan asam merkapturat (Martono dan Supardjan, 2002). Enzim ini berperan penting pula dalam detoksifikasi, ditemukan dalam fraksi sitosol. Dalam proses detoksifikasi suatu bahan obat elektrofilik dalam
tubuh ia berperan sebagai katalis pada reaksi antara glutation sebagai senyawa nukleofil dengan senyawa-senyawa elektrofilik (Jann et al, 1995). Analisis yang dilakukan dengan menggunakan prinsip bahwa glutation dapat berkonjugasi dengan 1-kloro- 2,4-dinitrobenzene (CDNB) dengan adanya katalis enzim glutation S-transferase dan menghasilkan produk yang dapat diukur secara spektrofotometri (Habig et al, 1974). Lebih lanjut Murray et al (1999) menjelaskan bahwa sejumlah xenobiotik elektrofilik yang berpotensi beracun akan terkonjugasi dengan glutation nukleofilik dalam reaksi berikut: R
+
GSHO
R–S- G
Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Jika xenobiotik yang potensial beracun tidak terkonjugasi maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius. Aktivitas GST mempengaruhi tingkat toksisitas karena dengan semakin rendahnya aktivitas GST, semakin sulit metabolit hasil reaksi fase I dikonjugasikan dan kemungkinan besar metabolit radikal tersebut bereaksi terlebih dahulu dengan makromolekul seperti protein, DNA, RNA sehingga menimbulkan toksik pada tubuh (Hodgoson & Levi, 2000). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase pada plasma kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 0,129 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase sebelum intervensi adalah sebesar 0,126 nmol/ min/ mg protein. Setelah intervensi berlangsung selama 25 hari, pengukuran rata-rata aktivitas GST plasma pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0,293 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol menjadi 0,172 nmol/ min/ mg protein. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas GST plasma baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Namun demikian rata-rata peningkatan aktivitas GST plasma pada kelompok perlakuan lebih besar (0,164 nmol/ min/ mg protein) dibandingkan kelompok kontrol yang rata-rata peningkatannya hanya sebesar 0,046 nmol/ min/ mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t,
dimana terjadi peningkatan aktivitas GST plasma darah secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas GST plasma darah yang terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut.
Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,164 nmol/min/mg protein Gambar 19 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi Kadar GST (nmol/ min/ mg protein)
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 K1
K2
K3
K4
K6
K7
K8
K9
Responden Sebelum Intervensi
Setelah Intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,046 nmol/min/mg protein Gambar 20 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Peningkatan aktivitas enzim glutation S-transferase ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari pada responden memberikan efek yang positif bagi kerja enzim di fase II. Hal ini menunjukkan bahwa GST mampu mengurus instermediet yang dihasilkan selama proses detoksifikasi, akibatnya terdapat sisa GST yang tidak terpakai. Sisa GST yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses detoksifikasi berikutnya. Hodgoson dan Levi (2000) menjelaskan bahwa mekanisme konjugasi terhadap metabolit radikal yang reaktif yang dihasilkan dari reaksi fase I merupakan reaksi eliminasi yang cepat dan merupakan inaktivasi senyawa-senyawa yang berpotensi toksik. Toksisitas seluler merupakan suatu keseimbangan fungsi laju pembentukan metabolit
radikal
terhadap
biotransformasinya
sehingga
akhirnya
dapat
dikeluarkan dari dalam tubuh. Penurunan aktivias GST merupakan gejala dimana telah terjadi ketidakseimbangan pembentukan metabolit radikal terhadap reaksi eliminasinya. Hal ini disebabkan tingginya metabolit radikal yang terbentuk dan strukturnya yang tidak mampu dikonjugasikan secara sempurna oleh GST. Metabolit radikal bebas yang tidak terkonjugasikan tadi akhirnya dapat berikatan dengan makromolekul seperti protein, polipeptida, RNA dan DNA yang merupakan pemicu berbagai proses toksik seperti mutagenesis, karsinogenesis, dan nekrosis seluler. Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Yuliatmoko (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat secara nyata meningkatkan aktivitas antiradikal bebas pada plasma darah responden. Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Stress oksidatif merupakan keadaan ketidakseimbangan antara reaktif oxygen species (ROS) / reaktif nitrogen species (RNS) dan antioksidan (Halliwell & Gutteridge 2001). Jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan dan jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat pada kerusakan sel ( Langseth 1995; Palmer & Paulson 1997). Efek radikal bebas dapat dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang berimbang. Antioksidan merupakan
senyawa yang dapat melindungi sistem
biologis tubuh melawan efek-efek yang potensial dari proses atau reaksi yang dapat menyebabkan oksidasi berlebihan (Papas 1991). Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain (Ganong 2000). Darah menyalurkan flavonoid ke jaringan-jaringan tubuh. Apabila terdapat dalam plasma, aglikon dapat memasuki jaringan perifer dengan difusi pasif
atau
terfasilitasi. Konjugat glukoronida perlu disalurkan ke dalam jaringan perifer karena senyawa tersebut bersifat hidrofilik dan berdifusi melewati membran dengan lambat. Untuk dekonjugasi dalam jaringan, banyak sel memiliki aktivitas β-Glukoronidase dalam fraksi lisosom dan lumen dalam retikulum endoplasma (Meskin et al 2004). Berbagai penelitian serupa juga menyebutkan bahwa beberapa tanaman yang berpotensi sebagai antioksidan telah terbukti dapat meningkatkan kerja enzim fase II pada proses detoksifikasi. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa ekstrak tanaman widuri yang mengandung senyawa flavonoid jenis sylimarin terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim fase II: glutation S-transferase dan quinone reduktase pada liver, paru-paru dan kulit tikus percobaan dengan dosis 100-200 mg/ hari (Zao dan Agrawall 1999). (Sztanke dan Pasternak (2006) dalam ringkasannya menyebutkan bahwa senyawa astaxanthin dan canthaxanthin terbukti mampu meningkatkan kerja enzim fase II NAD(P)H: quinon reduktase yang mana enzim ini sangat vital dalam proses detoksifikasi senyawa karsinogen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa brokoli, sawi, dan kembang kol telah terbukti juga mampu meningkatkan kerja enzim fase II. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak bisa disimpulkan bahwa peningaktan aktiviatas enzim fase II dalam hal ini glutation S-transferase sematamata hanya disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberikan terhadap responden selama intervensi berlangsung. Hal tersebut dikarenakan pada kelompok kontrol hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan aktivitas GST pada plasma darah responden yang tidak
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama intervensi yang berlangsung 25 hari tersebut. Ini diduga karena responden mengalami perbaikan dalam menu makan juga pola makannya dibandingakan dengan kebiasaan mereka sebelumnya. Pada saat intervensi berlangsung, pola makan dan menu makan dari responden menjadi perhatian penting, hal ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang seseragam mungkin sehingga bias yang besar bisa dihindari semaksimal mungkin. Selama intervensi berlangsung, responden mendapatkan menu makan yang terdiri dari karbohidrat, lemak, protein serta serat yang cukup. Zakaria (2004) menyebutkan bahwa sayur, buah dan beberapa komponen bioaktif yang terdapat pada tanaman seperti flavonoid, klorofil, antosianin, karetonoid, terpenpoid, isothiosianat mampu menekan produksi radikal bebas dalam tubuh sehingga mampu menekan resiko terserang penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, stroke, diabetes dan penyakit degeneratif lainya. Seperti yang telah dibuktikan oleh Semiz dan Sen (2007) bahwa buah semangka mentah mampu meningkatkan aktivitas enzim GST sampai 50% pada liver, ginjal dan paru-paru tikus, juga menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450. Tanaman semangka mentah tersebut diberikan selama 16 hari dengan dosis 200 mg/ kg berat badan setiap 4 hari sekali. Tanaman semangaka komponen bioaktif berupa triterpen, pistein dan steroid. Selain faktor makanan, faktor lainnya yang penting adalah pola makan, status gizi, pencemaran makanan (akibat bahan tambahan kimia), udara, sinar matahari (UV) dan juga gaya hidup seseorang.