HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Tata Letak PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu peternakan sapi potong yang bergerak di bidang breeding, fattening dan trading. Perusahaan ini terletak di Jalan Raya Serang-Pandeglang km 9.6 Desa Sindangsari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten. PT LJP Serang-Banten berada sekitar 200 m dari jalan raya, memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan air laut. Rataan suhu di sekitar lokasi perusahaan adalah 28 ºC dengan kisaran 24,5-31 ºC dan rataan kelembaban udara 72% dengan kisaran 5490%. Curah hujan di daerah ini sebesar 1.500-3.000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 141 hari per tahun. PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ranca Lutung dan Desa Baruan, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tanjung dan persawahan, sebelah Barat berbatasan dengan kebun masyarakat Desa Sindangsari dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tonggoh. Sejarah dan Perkembangan PT Lembu Jantan Perkasa didirikan pada tahun 1990 oleh Bapak Djaya Gunawan. Perusahaan ini memiliki kantor pusat yang terletak di Jalan Tarum Barat E11-12 No. 8, Jakarta Timur. Visi perusahaan adalah meningkatkan kualitas dan modernisasi tataniaga sapi potong, yang bertujuan untuk menunjang usaha peningkatan gizi masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan ternak sapi potong dalam lingkup regional dan nasional. Perusahaan terdaftar sebagai anggota Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) dengan nomor registrasi 015/APFINDO/1995 tanggal 29 Agustus 1995 dan fokus pada usaha di bidang perdagangan, impor dan penggemukan sapi potong. PT Lembu Jantan Perkasa pada tahun 2004 mulai merintis usaha pembibitan sapi potong secara intensif di Serang, Banten. PT Lembu Jantan Perkasa merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak di bidang pembibitan dan 16
penggemukan sapi potong secara intensif. PT Lembu Jantan Perkasa menjadi salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia karena didukung tenaga kerja berpengalaman sejak tahun 1973, walaupun perusahaan ini bukan yang terbesar. PT Lembu Jantan Perkasa memiliki beberapa cabang perusahaan yaitu di Serang-Banten, Cikalong-Bandung, Langkat-Medan dan Sawah Lunto-Padang. Fasilitas dan Bangunan Fasilitas dan bangunan yang terdapat di PT Lembu Jantan Perkasa SerangBanten adalah kantor, kandang pemeliharaan, kandang isolasi, laboratorium, loading chute, cattle yard, gang way, crush (kandang jepit), mess manajer dan karyawan, pos satpam, gudang alat, mushola, gudang pakan dan unit penanganan limbah. Loading chute digunakan untuk menurunkan dan menaikkan sapi dari atau ke truk, tinggi loading chute ini sekitar 1,15 m. Cattle yard merupakan tempat penanganan ternak sementara seperti bongkar muat sapi, penimbangan, pemasangan ear tag, pengobatan, pemeriksaan kebuntingan (PKB), pemeriksaan alat reproduksi (PAR), seleksi sapi dan Inseminasi Buatan (IB). Gang way merupakan lorong tempat sapi berjalan dari cattle yard menuju ke kandang ataupun sebaliknya. Kandang di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten terdiri dari 2 jenis yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka. Struktur Organisasi Struktur organisasi sangat dibutuhkan dalam menunjang operasional suatu usaha. PT LJP merupakan perusahaan keluarga yang sekarang dipimpin oleh Ibu Joyce Aryani Gunawan. Struktur organisasi di PT LJP dapat dilihat pada Gambar 1. Bangsa Sapi yang Dipelihara Bangsa sapi yang dipelihara di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten yaitu Brahman Cross (BX). Sapi Brahman Cross (BX) yang dipelihara di PT LJP berasal dari Australia. Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Pemberian pakan pada ternak sapi di perusahaan ini disesuaikan dengan status fisiologis ternak tersebut. Frekuensi pemberian pakan minimal 2 kali sehari untuk 17
Direksi Administrasi Head Office
General Marketing General Manager
Farm Manager
Manager Breeding
Administrasi Farm
Unit Feedmill
Manager Fattening
Manager Cikalong
Keamanan
Staf Limbah
Hijauan
Staf
Bagian Umum
MakananTernak
Kesehatan Hewan
Supervisor
Kandang Breeding
Kesehatan Hewan
Supervisor
Kandang Fattening
Gambar 1. Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan Perkasa) 18
18
setiap jenis pakan. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Setiap usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan maupun pakan konsentrat. PT LJP memiliki kebun rumput dan dua unit gudang pengolahan pakan. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak yaitu lebih dari 18% daripada berat keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit yaitu kurang dari 18% daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993). Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi rendah. Pakan hijauan yang digunakan di PT LJP yaitu rumput Taiwan dan jerami. Rumput Taiwan digunakan karena produksinya yang tinggi, mampu menyimpan air saat musim kemarau dan batang tidak terlalu cepat tua. Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandungan nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Produksi hijauan yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan ternak di perusahaan ini. Produksi rumput di PT LJP pada tahun 2009 sebesar 1.500 ton dan mencapai 1.220 ton pada pertengahan tahun 2010. Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor. Pakan konsentrat diproduksi sendiri oleh perusahaan dan setiap status ternak berbeda-beda jenis pakan konsentratnya. Kode konsentrat diantaranya yaitu “weaner” untuk pedet, “R-Brd New” untuk calon bibit dan induk bunting, “R1 G048” untuk laktasi. Bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat “weaner“ diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil kedelai, molases, onggok, dan premix. Bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat “R-Brd New” dan “R1 G048” sama, namun berbeda pada komposisinya. Bahan tersebut diantaranya 19
yaitu polard, kopra, bungkil sawit, molases, onggok, gaplek, kulit kopi, dan premix. Perusahaan membuat label pada setiap pakan komersial yang dibuatnya meliputi kode pakan dan tanggal pembuatan. Pakan yang dicampur atau diproduksi perusahaan mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Air minum disediakan ad libitum. Proses Inseminasi Buatan Inseminasi Buatan dilakukan pada induk sapi yang berahi. Deteksi berahi dilakukan dengan mengamati sapi yang berada di kandang. Sapi yang dianggap berahi adalah sapi yang diam jika dinaiki oleh sapi yang lain. Menurut Blakely dan Bade (1991), tanda-tanda visual sapi betina menjelang berahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya dan sapi betina akan tetap tinggal diam saja apabila dinaiki. Salisbury dan Vandemark (1985) menambahkan bahwa sapi berahi biasanya tidak tenang, vulvanya agak membengkak dan berwarna merah. Peralatan yang digunakan pada saat inseminsai buatan di PT LJP Serang-Banten ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peralatan Inseminasi Buatan di PT LJP Serang-Banten 20
Sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode berahi saja, yang berlangsung sekitar 16 jam, dan hal ini akan terulang lagi tiap 21 hari, apabila tidak terjadi kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang terdeteksi berahi dicatat nomornya dan waktu berahinya. Pengawinan dengan Inseminasi Buatan di PT LJP dilaksanakan ±10 jam setelah tanda berahi terlihat. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dapat terjadi pembuahan, sehingga perkawinan harus berlangsung pada bagian akhir dari berahi. Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa masa hidup sel telur adalah 6 sampai 12 jam, sedangkan masa hidup sperma adalah 30 jam. Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak birahi. Pelaksanaan IB dilakukan di kandang jepit yang terdapat di unit kesehatan PT LJP Serang-Banten. Menurut Blakely dan Bade (1991), dalam waktu inseminasi, semen yang berasal dari straw plastik dimasukkan ke dalam saluran reproduksi sapi betina. Apabila semen tersebut berada di dalam straw plastik, maka alat yang digunakan yaitu straw gun. Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan straw plastik adalah bahwa semen tersebut dapat secara langsung ditempatkan di dalam saluran reproduksi, tanpa harus memindahkan semen dari ampul ke kateter. Hal ini menyebabkan penggunaan straw menjadi lebih sederhana serta lebih menjamin jumlah sperma hidup yang maksimum bisa diinseminasikan. Semen yang digunakan di PT LJP berasal dari tiga bangsa yaitu Brahman, Simmental dan Limousin. Penggunaan bangsa pejantan berdasarkan performa dari induk yang akan diinseminasi. Sapi yang telah di IB selanjutnya dipindahkan ke kandang IB. Gambar 3 menunjukkan tempat pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten. Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan pada sapi yang telah di IB dan tidak mengalami berahi kembali. Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) penentuan sapi bunting atau tidak bunting pada umur kebuntingan muda mempunyai arti ekonomis yang sangat besar bagi peternak. Kebuntingan pada sapi dapat didiagnosa melalui palpasi rektal. Prinsip palpasi rektal adalah memasukkan tangan
21
dan lengan ke dalam rektum seekor sapi betina dan dari dinding rektum dirasakan adanya tanda-tanda kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991).
Gambar 3. Tempat Pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten Proses pemeriksaan kebuntingan dilakukan oleh tenaga ahli breeding PT LJP. Pemeriksaan kebuntingan di PT LJP dilakukan di cattle yard dengan menempatkan sapi yang akan diperiksa ke dalam kandang jepit berukuran 160cm x 70cm x 170cm dengan posisi pemeriksa berdiri miring menghadap ternak. Bagian belakang kandang jepit dilengkapi dengan palang untuk menghindari tendangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (2006) yang menyatakan bahwa sapi yang akan diperiksa harus ditempatkan di dalam kandang jepit untuk mencegah bahaya bagi pemeriksa terhadap tendangan, pergerakan ke depan dan ke samping oleh ternak yang diperiksa. Toelihere (2006) menambahkan bahwa sapi jarang menendang bila sedang diperiksa secara rektal, tetapi sapi yang terkejut dapat menendang ke belakang dan biasanya tendangan terjadi menjelang atau pada saat tangan dimasukkan ke dalam rektum. Keamanan ternak juga harus diperhatikan dalam proses PKB. Petugas harus berkuku pendek dan tidak tajam, tidak memakai perhiasan dan disarankan menggunakan pelicin sewaktu palpasi. Menurut Toelihere (2006), diagnosa kebuntingan melalui palpasi rektal dapat dilakukan secara tepat mulai hari ke 35 setelah inseminasi. Namun pemeriksaan 22
kebuntingan paling aman apabila dilakukan mulai hari ke 60 setelah inseminasi. Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa palpasi rektal dapat dilakukan sekitar umur kebuntingan 60 hari bagi kebanyakan peternak. Pemeriksaan kebuntingan di PT LJP dilakukan 60 hari setelah dilakukan IB. Sapi yang dinyatakan bunting setelah PKB selanjutnya dipindahkan ke kandang bunting, sedangkan sapi yang tidak dinyatakan bunting akan dipindahkan ke kandang ex-PKB untuk dilakukan PKB ulang 1 bulan kemudian. Gambar 4 menunjukkan saat pemeriksaan kebuntingan (PKB) di PT LJP.
Gambar 4. Pemeriksaan Kebuntingan di PT LJP Serang-Banten Pemeliharaan Induk Bunting Sapi yang dinyatakan bunting selanjutnya ditempatkan di kandang bunting. Sapi bunting dikelompokkan berdasarkan umur kebuntingan. Sapi yang umur kebuntingannya 1-7 bulan ditempatkan di kandang bunting muda, sedangkan sapi yang umur kebuntingannya 8-9 bulan ditempatkan di kandang bunting tua. Kandang khusus sapi bunting dilengkapi dengan halaman untuk melakukan exercise. Exercise dapat membantu mempermudah proses saat sapi beranak. Pengamatan lebih ditingkatkan pada induk bunting menjelang 2-3 hari sebelum beranak. Menurut Toelihere (2006) hewan betina bertambah tenang, lamban dan hati-hati dalam
23
pergerakannya sesuai dengan pertambahan umur kebuntingan, terutama pada minggu-minggu terakhir dan terdapat kecenderungan pertambahan berat badan. Kelahiran Tanda-tanda menjelang kelahiran dimulai dengan berkembangnya ambing. Hal ini dapat terjadi sewaktu masih 6 minggu sebelum kelahiran. Tanda yang terlihat dalam waktu seminggu sebelum kelahiran adalah pembengkakan vulva dan warnanya yang menjadi merah, serta terjadinya relaksasi pelvis. Tanda-tanda yang semakin jelas sesaat menjelang kelahiran adalah pembesaran puting dan keluarnya cairan mucous dari vulva. Sapi betina pada tahapan ini dapat menunjukkan tetesan air susu dari puting (Blakely dan Bade, 1991). Salisbury dan Vandemark (1985) menambahkan
bahwa
tanda-tanda
akan
terjadinya
kelahiran
yaitu
vulva
membengkak dan sering terlihat lendir menggantung. Sapi-sapi yang menunjukkan gejala-gejala tersebut lebih ditingkatkan pengawasannya. Induk sapi yang dapat melahirkan normal hanya diamati agar proses melahirkan tidak terganggu. Salisbury dan Vandemark (1985) menjelaskan bahwa posisi fetus normal yaitu kedua kaki depan terentang, kepala beserta leher lurus sejalan dengan kaki tersebut. Melalui posisi yang normal ini, kepala dan kaki depan akan terkulai ke bawah waktu keluar dari vulva dan pelvis, pedet terangkat ke atas sedangkan kaki depan merentang ke belakang. Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa presentasi fetus yang normal adalah kaki depan terlebih dahulu, dengan kepala berada di antaranya. Kontraksi uterus menyebabkan kaki mendorong plasenta lalu terlepaslah cairan amnion yang berperan sebagai pelumas untuk lewatnya fetus. Waktu kelahiran yang normal rata-rata sekitar 30 menit tanpa pertolongan. Penanganan kesehatan induk yang melahirkan normal di PT LJP yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin sebanyak 5 ml dan vitamin A, D dan E (Vitol) sebanyak 7 ml. Vitamin dan antibiotik diberikan dengan tujuan untuk memulihkan kondisi sapi setelah beranak, sedangkan hormon oxytocin untuk merangsang pengeluaran air susu. Induk yang mengalami kesulitan beranak atau distokia digiring ke unit kesehatan untuk dibantu proses beranaknya. Distokia ditangani dengan cara mengikat kaki pedet dan menariknya. Distokia adalah kasus yang umum dialami oleh 24
induk saat beranak. Menurut Blakely dan Bade (1991), apabila kelahiran tidak juga terjadi dalam waktu sekitar 2 jam sejak permulaan munculnya „labor pain‟, seorang dokter hewan hendaknya mulai mengamati apakah ada masalah persentasi yang tidak normal. Toelihere (2006) menambahkan bahwa distokia atau kesulitan beranak merupakan salah satu kondisi kebidanan yang harus ditangani oleh dokter hewan atau bidan ternak. Distokia lebih sering terjadi pada hewan atau bangsa hewan yang selalu dikurung atau dikandangkan dibandingkan dengan hewan yang dilepas di alam bebas (Toelihere, 2006). Induk setelah beranak dan saat menjilati anaknya ditunjukkan pada Gambar 5.
(a)
(b)
Gambar 5. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak Selanjutnya Toelihere (2006) menjelaskan penyebab distokia diantaranya sebab herediter, nutrisional dan manajemen, penyakit menular, traumatik dan sebabsebab campuran. Sebab herediter yaitu terdapat pada induk yang berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor-faktor tersembunyi yang dapat menghasilkan fetus yang defektif. Sebab nutrisional dan manajemen diantaranya kondisi makanan ternak yang sedang bunting dan manajemen saat partus. Distokia dikarenakan ukuran induk yang kecil sering ditemukan pada sapi dara yang baru pertama kali beranak. Penyebab lain distokia yaitu posisi fetus yang tidak normal. Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), posisi fetus abnormal yaitu tulang-tulang kaki-kaki fetus seakan25
akan terjepit atau terkunci pada tulang-tulang induknya, sehingga mempersulit keluarnya fetus atau sama sekali tidak dapat keluar. Penanganan kesehatan induk yang mengalami distokia di PT LJP yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin 5 ml dan multivitamin (vitol) 5 ml. Vitamin dan antibiotik berfungsi untuk memulihkan kondisi sapi setelah beranak. Pemeliharaan Pedet Pedet yang baru lahir akan diperiksa apakah kondisi tubuhnya normal atau cacat. Menurut Blakely dan Bade (1991), pedet yang baru lahir umumnya akan dijilati oleh induknya. Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh induk guna membantu pernafasan pedet, peternak haruslah yakin bahwa tidak ada selaputselaput yang menutupi mulut dan lubang hidung pedet. Perlakuan yang diberikan pada pedet yang baru lahir adalah memotong tali pusar dengan jarak ±5 cm dari abdomen, kemudian diberi desinfektan dan anti lalat. Pemberian yodium pada pusar pedet yang baru lahir sangat dianjurkan untuk mencegah timbulnya tetanus atau penyakit lain (Blakely dan Bade, 1991). Pedet yang baru lahir ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Pedet yang Baru Lahir
26
Bersamaan dengan kelahiran adalah inisiasi sekresi air susu pada induk sapi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pedet yang baru lahir dipelihara bersama induk di kandang laktasi sampai pedet disapih sehingga pedet mendapatkan kolostrum. Kolostrum merupakan susu khusus yang dihasilkan selama 3 hari pertama sesudah kelahiran, diperlukan oleh pedet yang baru lahir untuk kehidupannya. Kolostrum tidak saja mengandung banyak energi, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan bagi pedet yang bersangkutan, tetapi juga mengandung antibodi yang merupakan pelindung terhadap kemungkinan adanya infeksi dan penyakit (Blakely dan Bade, 1991). Pedet dibiarkan menyusu pada induk secara bebas selama 2-3 bulan. Penimbangan bobot lahir dilakukan paling lambat 24 jam setelah kelahiran. Pedet yang baru lahir dicatat jenis kelaminnya, tanggal lahir dan ear tag induknya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah recording. Pedet tersebut akan dipasang ear tag pada umur 3-4 hari. Pedet diberi vitamin A, D dan E sebanyak 2 ml/ekor saat pemberian ear tag. Menurut Blakely dan Bade (1991), selain untuk memudahkan dalam mengenalinya, ear tag disarankan untuk dipasang agar tidak perlu melakukan cek ulang. Pedet yang induknya mati atau produksi susu induknya rendah dipelihara di dalam calves box berukuran 100 cm x 126 cm x 135 cm dan diberikan susu yang dimasukkan ke dalam dot. Susu yang diberikan tersebut berasal dari foster mother. Induk yang memiliki mother ability rendah namun produksi susunya tinggi, ditempatkan di dalam kandang jepit agar pedet tidak ditendang saat menyusu pada induknya. Efisiensi Reproduksi Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception . Efisiensi reproduksi berkaitan erat dengan efisiensi ekonomi dengan melakukan teknik-teknik tertentu untuk memaksimumkan keuntungan genetik, memperoleh kesuburan, serta untuk pelaksanaan efisiensi usaha yang optimum. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi adalah genetika sapi, nutrisi, manajemen kandang, sanitasi serta inseminator yang melayani IB. Berbagai peubah dalam pengukuran efisiensi 27
reproduksi pada sapi antara lain service per conception (S/C), conception rate (CR), calving interval (CI), dan calving rate (C/R). Nilai calving interval, service per conception, conception rate, dan calving rate induk sapi Brahman Cross di PT LJP pada tahun 2008-2010 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai calving interval, service per conception, conception rate, dan calving rate induk Sapi Brahman Cross di PT LJP pada tahun 2008-2010 Peubah
Pejantan Simmental
Brahman
Populasi (n)
28
42
Service per Conception
1,4
1,8
Conception Rate (%)
64
46
Populasi (n)
148
242
Service per Conception
1,5
1,4
Conception Rate (%)
62
69
Tahun 2008
Tahun 2009
Calving Interval (hari)
408
Calving Rate (%)
23
Tahun 2010 Populasi (n)
64
104
Service per Conception
1,5
1,3
Conception Rate (%)
63
71
Calving Interval (hari)
372
Calving Rate (%)
84
Calving Interval (CI) Calving interval (jarak beranak) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya 28
perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Nilai calving interval di PT LJP pada tahun 2009 sebesar 408 hari dan pada tahun 2010 menurun menjadi 372 hari (Tabel 1). Penurunan nilai CI sebesar 36 hari ini menunjukkan bahwa PT LJP dapat meningkatkan produktivitas dari induk sapi Brahman Cross. Penurunan nilai calving interval tersebut dikarenakan manajemen reproduksi yang lebih baik seperti deteksi birahi yang lebih tepat. Nilai CI PT LJP masih lebih tinggi dibandingkan nilai CI yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan sebesar 365 hari. Sementara itu, menurut Toelihere (1979) interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya adalah 12-13 bulan. Nilai CI yang terdapat di PT LJP masih lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Iswoyo dan Priyantini (2008) yang menunjukkan bahwa nilai CI peranakan Simmental sebesar 392,28±77,27 hari. Menurut Toelihere (1979), sapi betina yang memiliki CI yang panjang dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti kesalahan manajemen, faktor keturunan yang kurang menguntungkan, penyakit yang menyebabkan infertilitas seperti abortus, distokia dan penyakit-penyakit postpartus, serta kelalaian peternak yang menghambat kelangsungan reproduksi ternak yang bersangkutan. Toelihere (2006) menjelaskan bahwa fetus jantan biasanya menyebabkan kebuntingan berlangsung lebih lama satu sampai dua hari daripada fetus betina. Bowker et al. (1978) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jarak beranak yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak. Service per conception (S/C) mempunyai korelasi dengan calving interval, hal ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menjadi bunting. Hal ini berarti semakin banyak pelayanan IB (S/C), maka semakin panjang calving interval dan jumlah kelahiran akan rendah (Udin, 2003). Umur penyapihan pedet yang lebih lama akan membuat jarak waktu induk pertama kali dikawinkan setelah beranak menjadi panjang. Hal ini disebabkan karena induk sapi akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak, sehingga dapat memperpanjang jarak beranak. PT LJP memperpendek jarak beranak dengan melakukan pengawinan kembali pada induk yang telah beranak saat masih menyusui 29
anaknya. Pengawinan dilakukan pada induk yang mengalami berahi kembali dengan persyaratan induk tersebut telah mengalami involusi saluran reproduksi yaitu minimal 40 hari atau pada siklus berahi ke-2 setelah beranak. Menurut Toelihere (2006), involusi atau regresi uterus ke ukuran dan statusnya semula membutuhkan waktu yang relatif lama. Selama involusi, lapisan urat daging uterus berkurang karena penurunan ukuran sel dan kehilangan sel. Secara klinis involusi sudah selesai pada hari ke 30-40, tetapi secara histologik, involusi baru benar-benar selesai 50-60 hari postpartus. Calving Rate (C/R) Calving rate (C/R) merupakan persentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu kali inseminasi (apakah pada inseminasi pertama atau kedua dan seterusnya). Angka calving rate (C/R) di PT LJP pada tahun 2009 yaitu 23% dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 84% (Tabel 1). Nilai optimum calving rate biasanya 64% untuk IB pertama dan meningkat menjadi 75-82% untuk IB kedua dan seterusnya (Prasetiawan 2007). Adanya selisih yang jauh mengenai angka C/R pada tahun 2009 dan 2010 dikarenakan jumlah populasi induk bunting yang terdapat di PT LJP berbeda-beda setiap tahunnya sehingga mempengaruhi jumlah kelahiran. Populasi induk bunting pada tahun 2009 sebesar 1.635 ekor dan pada tahun 2010 menurun menjadi 882 ekor. Jumlah kelahiran pada tahun 2009 sebanyak 379 ekor dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 738 ekor. Selain itu, penjualan induk bunting juga mempengaruhi angka C/R di PT LJP. Menurut Prasetiawan (2007) calving rate dipengaruhi oleh efisiensi kerja inseminator, kualitas semen, kesuburan induk, waktu IB, penanganan induk saat bunting dan beranak, serta kesanggupan betina memelihara fetus dalam kandungannya hingga lahir. Cara terbaik untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai calving rate pada kelompok sapi fertil adalah dengan mempertahankan kualitas semen atau meningkatkannya serta melakukan prosedur inseminasi yang baik (Salisbury dan Vandemark, 1985). Service per Conception (S/C) Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting (Salisbury dan Vandemark, 1985). Service per conception 30
merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi dikawinkan hingga ternak tersebut bunting. Tabel 1 memperlihatkan angka S/C induk sapi Brahman Cross yang diinseminasi buatan menggunakan semen berbeda di PT LJP yaitu semen Brahman dan Simmental. Pejantan Simmental memiliki angka S/C yang lebih rendah dibandingkan pejantan Brahman pada tahun 2008 berturut-turut yaitu 1,4 dan 1,8. Tahun 2009 dan 2010 angka S/C pejantan Brahman mengalami penurunan menjadi 1,4 dan 1,3. Angka ini lebih lebih rendah dibandingkan angka S/C pejantan Simmental yaitu 1,5 pada tahun 2009 dan 2010. Hasil penelitian Depison et al. (2003) menunjukkan bahwa angka S/C persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) sebesar 1,45. Angka S/C yang rendah menunjukkan bahwa tingkat efisiensi reproduksi induk sapi Brahman Cross baik karena sapi hanya memerlukan sedikit pelayanan IB untuk dapat bunting. Angka S/C induk sapi Brahman Cross yang terdapat di PT LJP untuk kedua pejantan yang digunakan termasuk normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Toelihere (1979) yang menyebutkan bahwa nilai S/C yang normal yaitu berkisar antara 1,6-2,0. Semakin tinggi tingkat kesuburan ternak, maka semakin rendah nilai S/C. Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukkan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis. Menurut Kutsiyah et al. (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi berahi, tingkat kemampuan inseminator dan bobot hidup. Pelaksanaan deteksi berahi yang tepat dengan diberlakukannya piket berahi, ketepatan waktu IB yang baik, fasilitas pelaksanaan IB yang memadai, kualitas semen yang digunakan, serta tingkat kemampuan inseminator yang tinggi merupakan faktor yang menyebabkan nilai S/C yang rendah di PT LJP. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1993) yang menyatakan bahwa diperlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Blakely dan 31
Bade (1991) menambahkan bahwa agar dapat terjadi pembuahan, maka dikawinkan pada saat akhir berahi. Conception Rate (CR) Angka dari persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama disebut dengan nilai conception rate (CR) atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45-60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo, 1987). Tabel 1 menunjukkan angka CR di PT LJP induk sapi Brahman Cross yang diinseminasi buatan menggunakan semen berbeda di PT LJP yaitu semen Brahman dan Simmental. Pejantan Simmental memiliki angka CR yang lebih tinggi dibandingkan angka CR pejantan Brahman pada tahun 2008, berturut-turut yaitu 64% dan 46%. Angka CR pejantan Brahman mengalami peningkatan pada tahun 2009 dan 2010 yaitu 69% dan 71% dan lebih tinggi dibandingkan angka CR pejantan Simmental yaitu 62% dan 63%. Angka CR tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Depison et al. (2003) yang menunjukkan angka CR pada persilangan Simmental dan Brahman sebesar 61,29%. Menurut Toelihere (1993), nilai CR di negara maju dapat berkisar antara 60-70%. Nilai CR di Indonesia sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Hal ini menunjukkan bahwa pejantan yang digunakan di PT LJP memiliki kesuburan yang tinggi. Toelihere (1979) menjelaskan bahwa angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut menyebabkan angka konsepsi dapat mencapai 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Kesuburan pejantan merupakan salah satu faktor yang menentukan angka CR karena kualitas semen yang baik akan meningkatkan kebuntingan. Semen yang digunakan di PT LJP berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari. Kualitas semen diperiksa secara berkala setiap 6 bulan sekali di unit kesehatan hewan PT LJP. Evaluasi semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade,1991). 32
Induk yang digunakan di PT LJP telah melewati seleksi berdasarkan kelayakan dan kesehatan saluran reproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa induk yang digunakan memiliki kualitas ovarium dan kondisi fisik yang baik sehingga mampu menjaga kebuntingan hingga akhir
masa kebuntingan.
Faktor lain yang
mempengaruhi angka CR adalah teknik inseminasi. Bearden dan Fuguay (1997) menjelaskan bahwa teknik inseminasi dapat mempengaruhi tingkat CR dikarenakan puncak keberhasilan IB tergantung dari penempatan yang tepat dari semen berkualitas tinggi di dalam alat reproduksi betina. Toelihere (1993) menambahkan bahwa teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal. Selain itu, angka kebuntingan juga terkait dengan ketepatan waktu IB. Bobot Lahir Hasil perhitungan rataan bobot lahir pedet pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) dalam penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda. Rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan pejantan berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2008 Peubah
Bangsa Pejantan
Bobot Lahir
Brahman Simmental Rataan
Bobot Sapih
Brahman Simmental Rataan
Jenis Kelamin Pedet Rataan Jantan Betina ------------------------------kg-------------------------25,08±2,69 23,50±3,42A 24,12±3,23a B 25,10±2,15 25,02±1,60 25,06±1,89b 25,09±2,37 24,30±2,72 72,04±13,31 70,61±16,13 71,17±15,04
64,83±14,24a 70,40±13,31b 67,77±13,99
67,65±14,27 70,50±14,65
Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), huruf kapital menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Pengaruh penggunaan bangsa pejantan yang berbeda terjadi pada keturunan pedet betina, tetapi tidak pada keturunan pedet jantan. Induk sapi Brahman Cross yang diinseminasi buatan dengan pejantan Simmental menghasilkan pedet yang 33
bobot lahirnya lebih tinggi dibandingkan pedet hasil persilangan dengan pejantan Brahman. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Gesita (2009), yang menunjukkan bahwa bobot lahir pedet yang dihasilkan dari perkawinan induk sapi Brahman Cross dengan pejantan Simmental lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir pedet dari perkawinan induk sapi Brahman Cross dengan pejantan Brahman. Menurut Blakely dan Bade (1991), sapi Simmental termasuk sapi berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa. Sedangkan sapi Brahman menurut Blakely dan Bade (1991), merupakan bangsa sapi berukuran medium dan pedetnya juga berukuran berat medium. Muzani (2004) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi bobot lahir antara lain bangsa, jenis kelamin pedet, lama kebuntingan, umur induk dan berat induk. Tabel 3 memperlihatkan bahwa penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda dan jenis kelamin pedet tidak berpengaruh nyata terhadap bobot lahir pedet pada tahun 2009. Rataan bobot lahir pedet yang disilangkan dengan bangsa sapi pejantan berbeda disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2009 Peubah
Bangsa Pejantan
Bobot Lahir
Brahman Simmental Rataan
Bobot Sapih
Brahman Simmental Rataan
Jenis Kelamin Pedet Rataan Jantan Betina ------------------------------kg------------------------24,50±1,78 23,44±2,45 23,78±2,47 24,75±1,71 24,76±1,78 24,75±1,75 24,61±2,11 24,09±2,23 66,25±6,75 61,83±9,45 64,35±8,16
66,18±8,41 68,00±7,87 67,07±8,14
66,20±7,85 66,35±8,66
Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda tidak mempengaruhi bobot lahir pedet. Begitu pula dengan bobot lahir pedet jantan dan betina. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh nyata terhadap bobot lahir pedet. Menurut Toelihere (2006), fetus jantan lebih berat sampai 5 kg daripada fetus betina.
34
Hasil perhitungan rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan bangsa sapi pejantan berbeda pada tahun 2010 (Tabel 4) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada bobot lahir pedet. Rataan bobot lahir pedet pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2010 Peubah
Bangsa Pejantan
Bobot Lahir
Brahman Simmental Rataan
Bobot Sapih
Brahman Simmental Rataan
Jenis Kelamin Pedet Rataan Jantan Betina ------------------------------kg------------------------21,26±2,89 20,37±3,41 20,77±3,20A 24,16±2,13 24,18±1,88 24,17±1,99B 22,58±2,93 21,99±3,42 62,26±17,62 68,50±20,42 65,11±19,07
63,93±18,89 67,53±14,18 65,46±14,03
63,18±15,61 68,00±17,35
Keterangan : Superskrip huruf kapital pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Sama halnya dengan hasil perhitungan pada tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun 2008 dan 2009, diketahui bahwa rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan pejantan Simmental lebih tinggi (24,17±1,99 kg) dibandingkan rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan pejantan Brahman (20,77±3,20 kg). Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa sapi Simmental termasuk sapi berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa dan sapi Brahman merupakan bangsa sapi berukuran medium, pedetnya juga berukuran berat medium. Bobot Sapih Hasil perhitungan rataan bobot sapih pedet hasil persilangan dengan bangsa sapi pejantan berbeda pada tahun 2008, 2009 dan 2010 disajikan berturut-turut pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Hasil perhitungan rataan bobot lahir sapih pedet pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0,05) dalam penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda. Penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda berpengaruh terhadap keturunan pedet betina, tetapi tidak pada keturunan pedet jantan. Tabel 2 menunjukkan bahwa induk sapi Brahman Cross 35
yang diinseminasi buatan dengan pejantan Simmental menghasilkan pedet betina yang bobot sapihnya nyata lebih tinggi (70,40±13,31 kg) jika dibandingkan pedet betina hasil persilangan dengan pejantan Brahman (64,83±14,24 kg). Depison (2003) menjelaskan bahwa bobot lahir yang lebih baik akan menghasilkan bobot sapih yang lebih baik atau dengan kata lain bobot lahir mempunyai korelasi yang positif dengan bobot sapih. Bobot lahir yang tinggi akan menyebabkan bobot sapih yang tinggi juga pada lingkungan pemeliharaan yang sama. Depison (2003) menambahkan bahwa bobot lahir secara tidak langsung dapat menggambarkan potensi genetik ternak dan berkorelasi positif dengan bobot badan selanjutnya. Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2009 faktor bangsa pejantan yang berbeda, jenis kelamin dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap rataan bobot sapih pedet. Hal ini disebabkan karena bobot sapih pedet lebih dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Hasil perhitungan rataan bobot sapih pedet pada tahun 2010 menunjukkan hasil yang sama dengan perhitungan pada tahun 2009, bahwa faktor bangsa pejantan yang berbeda, jenis kelamin dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap rataan bobot sapih pedet. Muzani (2004) menyatakan bahwa produksi air susu induk, makan dan kesehatan merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi bobot sapih. Pemeliharaan pedet di PT LJP Serang-Banten yaitu dengan menempatkan pedet bersama induknya di kandang laktasi. Pedet yang baru lahir dipelihara bersama induk di kandang laktasi sampai pedet disapih sehingga pedet mendapatkan kolostrum. Kolostrum merupakan susu khusus yang dihasilkan selama 3 hari pertama sesudah kelahiran, diperlukan oleh pedet yang baru lahir untuk kehidupannya. Kolostrum tidak saja mengandung banyak energi, mineral, dan vitamin yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan bagi pedet yang bersangkutan, tetapi juga mengandung antibodi yang merupakan pelindung terhadap kemungkinan adanya infeksi dan penyakit (Blakely dan Bade, 1991). Pedet dibiarkan menyusu pada induk secara bebas selama 2-3,5 bulan. Kandang laktasi dilengkapi dengan shelter, yaitu tempat yang hanya dapat dimasuki oleh pedet, sehingga pakan pedet hanya dapat dikonsumsi oleh pedet saja. Shelter tersebut berukuran 265 cm x 345 cm x 150 cm. 36
Pedet sudah mulai dikenalkan konsentrat dan hijauan ± 2 minggu setelah lahir. Pedet hasil persilangan induk sapi BX dengan bangsa sapi pejantan berbeda ditunjukkan pada Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 7 : (a) Pedet Brahman Cross Hasil Persilangan antara Induk Sapi BX dengan Pejantan Brahman (b) Pedet Simbrah Hasil Persilangan antara Induk Sapi BX dengan Pejantan Simmental
37