HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kabupaten Rembang terletak di ujung Timur laut Propinsi Jawa Tengah yang dilalui jalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura), pada garis koordinat 111°,000'111°,030' Bujur Timur dan 6°,030'-7°,06' Lintang Selatan. Secara umum kondisi tanah berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 m di atas permukaan air laut dengan suhu maksimum sebesar 33 °C dan suhu rata-rata sebesar 23 °C. Kabupaten Rembang memiliki curah hujan rendah yaitu sebesar 1252 mm/tahun yang mengalami bulan basah selama 4-5 bulan, sedangkan selebihnya termasuk kategori bulan sedang sampai kering. Secara administratif Kabupaten Rembang memiliki 14 kecamatan, 287 desa dan 7 kelurahan yang memiliki luas wilayah meliputi 101.408 ha (Pemerintah Kabupaten Rembang, 2010). Pemerintah Kabupaten Rembang (2010) menyatakan bahwa Kabupaten Rembang merupakan daerah/kawasan sentra produksi, sumber bibit dan bakalan sapi potong di Jawa Tengah dengan populasi sebanyak 93.329 ekor pada tahun 2003, sedangkan pada tahun 2009 populasi sapi potong mencapai 115.220 ekor. Bangsa sapi potong yang ada yaitu Peranakan Ongole (PO), American Ongole, Brahman, Simmental dan Limousine. Kabupaten Rembang juga merupakan daerah sentra produksi tanaman padi di Jawa Tengah. Tanaman padi relatif tersebar di seluruh kecamatan dengan sentra utama di Kecamatan Kaliori, Sumber dan Rembang. Produksi tanaman padi di Kabupaten Rembang pada tahun 2009 mencapai 202.162 ton (Pemerintah Kabupaten Rembang, 2010). Produksi tanaman padi yang cukup tinggi ini memungkinkan tingginya by product dari hasil produksi tanaman padi berupa jerami padi dan dedak padi. Hal ini menyebabkan peternak sapi potong rakyat di Kabupaten Rembang menjadikan jerami padi dan dedak padi sebagai pakan utama untuk usaha pembibitan maupun penggemukkan, karena ketersediaannya yang melimpah. Hal yang sama terjadi di lokasi penelitian ini yang menjadikan jerami padi dan dedak padi sebagai pakan utama yang diberikan untuk ternak sapi potongnya.
Keadaan Sapi Penelitian Sapi-sapi yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi-sapi betina dari usaha pembibitan sapi potong rakyat kelompok tani yang diketuai oleh Bapak Ahmad Zain. Peternakan tersebut terletak di Desa Tanjung, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang. Kandang yang digunakan pada peternakan ini adalah kandang individu tanpa sekat, kapasitas 16 ekor dengan ukuran kandang per-individu sebesar 2,5 m x 1,5 m (Gambar 2). Kandang ini beratapkan asbes tipe shade, berdinding tembok dan lantai dibuat dari semen dengan kemiringan 10°.
(a)
(b)
Gambar 2. Kandang Penelitian, (a) Kandang Penelitian Individu, (b) Bak Pakan dan Bak Minum Sapi-sapi tersebut biasa diberi pakan berupa jerami padi secara ad libitum dengan penambahan dedak padi sebanyak 2 kg/ekor/hari (Gambar 2). Pemberian pakan diberikan pada pagi, siang dan sore hari pada peternakan ini.
(a) Gambar 3.
(b)
Kondisi Tubuh Sapi Penelitian, (a) Sapi R3K4 Tampak Samping, (b) Sapi R2K2 Tampak Belakang
Rata-rata bobot badan sapi-sapi tersebut adalah sebesar 304,12 kg (Tabel 1) dengan umur berkisar 2-6 tahun (Tabel 2). Kondisi tubuh sapi-sapi (Gambar 3) tersebut bernilai 1 (sangat kurus) dimana dideskripsikan bahwa lemak tidak ada di
15
sekitar pangkal ekor, tulang pinggul, pangkal ekor dan tulang rusuk secara visual terlihat jelas (Rutter et al., 2000). Berikut ini adalah data mengenai bobot badan awal dan umur sapi-sapi penelitian. Tabel 1. Bobot Badan Awal Sapi PO Betina Penelitian (kg)* Perlakuan
Rataan
Simpangan Baku
338,56
335,81
1,84
316,84
324,00
320,86
3,06
304,50
306,25
289,00
297,19
9,48
265,69
278,89
240,25
265,69
262,63
16,17
Rataan
302,94
309,67
299,56
304,31
304,12
29,78
Simpangan Baku
31,48
23,98
41,27
33,1
29,78
Kelompok
R1
R2
R3
R4
K1
334,89
334,89
334,89
K2
322,20
320,41
K3
289,00
K4
Keterangan : *Bobot badan dihitung berdasarkan rumus Schoorl (Williamson dan Payne, 1986) Bobot badan (kg) = R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Tabel 2. Umur Sapi PO Betina Penelitian Perlakuan
Kelompok R1
R2
R3
R4
K1
I4 (3,5-4 tahun)
I4 (3,5-4 tahun)
I1 Aus (6 tahun)
I4 (3,5-4 tahun)
K2
I4 (3,5-4 tahun)
I4 (3,5-4 tahun)
I4 Gesek(5 tahun)
I4 Gesek(5 tahun)
K3
I2 (2,5-3 tahun)
I1 Aus (6 tahun)
I4 Gesek(5 tahun)
I4 (3,5-4 tahun)
K4
I1 (2-2,5 tahun)
I4 (3,5-4 tahun)
I4 (3,5-4 tahun)
I1 (2-2,5 tahun)
Keterangan : Pendugaan umur sapi melalui pergantian gigi berdasarkan Abrianto (2010) R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Umur sapi-sapi penelitian tersebut diestimasi melalui pergantian gigi (Abrianto, 2010). Sapi-sapi penelitian ini telah mengalami pergantian gigi pada I1, I2 dan I4 (Tabel 2). I1 menandakan bahwa satu pasang gigi seri telah berganti menjadi gigi tetap yang diperkirakan telah berumur 2-2,5 tahun. I2 menandakan bahwa dua pasang gigi seri telah berganti menjadi gigi tetap yang diperkirakan telah berumur 2,5-3 tahun. I4 menandakan bahwa empat pasang gigi seri telah berganti semua menjadi gigi tetap yang diperkirakan telah berumur 3,5-4 tahun. I4 Gesek 16
menandakan bahwa ada gesekan yang terjadi pada empat pasang gigi tetap yang diperkirakan telah berumur 5 tahun. I1 Aus menandakan bahwa ada satu pasang gigi tetap mengalami aus separuh lidah yang diperkirakan telah berumur 6 tahun. Sapi-sapi penelitian ini dikelompokkan berdasarkan bobot badan awal. Ada sapi penelitian yang berumur lebih tua, tetapi memiliki bobot badan awal yang lebih rendah sehingga ada sapi yang lebih tua masuk ke dalam kelompok bobot badan yang berperingkat lebih rendah. Sebagaimana yang terjadi pada sapi R2K3 berumur 6 tahun masuk ke dalam kelompok K3 yang berbobot badan awal lebih rendah (Tabel 2). Performa sapi-sapi penelitian ini perlu ditingkatkan, karena jika sapi-sapi betina tersebut menjadi induk, bobot badan induk sapi PO saat melahirkan akan mempengaruhi bobot lahir pedet. Sebagaimana yang dikemukakan dalam penelitian Hartati dan Dicky (2008) bahwa bobot induk sapi PO saat melahirkan berpengaruh nyata terhadap bobot lahir pedet. Keadaan Pakan Penelitian Bahan pakan yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan pakan yang didapatkan dari daerah sekitar Kabupaten Rembang. Kandungan nutrien bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Proximat Sampel Bahan Pakan yang Digunakan Kandungan Nutrien
Jerami Padi 1
Dedak Padi 1
SKN 2
Konsentrat dalam R4 2
BK (%)
37,99
91,00
78,74
77,91
Abu (% BK)
17,40
16,90
15,42
19,35
PK (% BK)
4,21
8,36
14,62
15,17
LK (% BK)
1,44
3,97
5,96
4,45
SK (% BK)
32,50
28,90
22,10
22,83
Beta-N(% BK)
44,45
41,87
41,90
38,19
Ca (% BK)
0,42
0,14
1,92
3,64
0,28
0,90
0,25
0,30
P (% BK) Sumber
1
: Sutardi (1980) 2 Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Perah (2011) Keterangan : BK = Bahan Kering; PK = Protein Kasar; LK = Lemak Kasar; SK = Serat Kasar Beta-N (Bahan ekstrak tanpa nitrogen = 100% - (kadar Abu + PK + SK + LK) SKN (Suplemen Kaya Nutrien); R4 = ransum komplit
17
Jerami padi yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar protein kasar (PK) sebesar 4,21% dan serat kasar (SK) sebesar 32,5% (Tabel 3). Jerami padi tersebut didapatkan dari daerah Kecamatan Kaliori dan Pamotan. Dedak padi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dedak kasar yang memiliki kadar PK sebesar 8,36% dan SK sebesar 28,9%, didapatkan dari daerah Tuban bersama bahan pakan lain penyusun SKN (Suplemen Kaya Nutrien) dan ransum komplit seperti tepung ikan, campuran mineral dan molases. Daun singkong, lamtoro dan turi didapatkan dari daerah Pati. Ketiga daun tersebut kemudian dibuat menjadi tepung untuk memudahkan dalam pencampuran bahan pakan penyusun SKN dan konsentrat dalam ransum komplit, karena secara struktural akan tergolong homogen. Selain itu, tujuan penepungan daun-daun tersebut adalah untuk mengurangi zat anti nutrisi yang secara alami terdapat dalam daun singkong, lamtoro dan turi. SKN yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar PK sebesar 14,62% dan SK sebesar 22,1% (Tabel 3). SKN ini berbentuk tepung dengan warna dominan kehijauan (Gambar 4a). SKN ini disusun dengan target penyusunan PK > 14% dan TDN (Total Digestible Nutrient) sebesar 65-70%. SKN diberikan sebanyak 0,4 kg atau 400 gram atas dasar pertimbangan ekonomis. Ransum komplit pada penelitian ini tersusun atas 40% jerami padi dan 60% konsentrat (8,5% tepung ikan, 30,5% dedak padi, 5,7% tepung daun singkong, 3% tepung daun lamtoro, 0,3% tepung daun turi, 10% molases, 1% campuran mineral dan 1% minyak kelapa). Konsentrat pada ransum komplit ini berbentuk tepung dengan warna coklat kehijauan (Gambar 4b). Konsentrat pada ransum komplit ini memiliki kadar PK sebesar 15,17% dan SK sebesar 22,83% (Tabel 3). Target penyusunan ransum komplit ini adalah memiliki PK > 11% dan TDN > 60%.
18
(a) Gambar 4.
(b)
Bahan Pakan yang Digunakan, (a) Suplemen Kaya Nutrien, (b) Konsentrat pada R4
R1 merupakan kontrol dalam penelitian ini, jerami padi digunakan karena bahan pakan ini sangat melimpah di daerah peternakan tersebut. R2 merupakan ransum yang biasa digunakan peternak. R3 diberikan ke ternak percobaan untuk mengetahui pengaruh suplementasi protein terhadap ransum yang biasa digunakan oleh peternak. R4 digunakan sebagai kontrol positif yaitu berupa ransum komplit yang diformulasikan sehingga memenuhi kebutuhan ternak. Kandungan nutrien pada pakan perlakuan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Nutrien Pakan Perlakuan (%)* Kandungan Nutrien
Perlakuan R1
R2
R3
R4
BK (%)
37,99
50,44
52,05
60,44
Abu (% BK)
17,40
17,19
17,08
18,75
PK (% BK)
4,21
5,92
6,48
11,80
LK (% BK)
1,44
2,48
2,71
3,52
SK (% BK)
32,50
31,02
30,44
25,80
Beta-N (% BK)
44,45
43,39
43,30
40,12
TDN 1) (% BK)
59,57
57,29
57,87
48,53
Ca (% BK)
0,42
0,30
0,41
2,65
P (% BK)
0,28
0,54
0,52
0,29
Keterangan : *Perhitungan berdasarkan data Sutardi (1980) dan hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Perah (2011) 1) Perhitungan TDN (Total Digestible Nutrient) berdasarkan Sutardi (1980) TDN (% BK) = 100% PKt = Protein Kasar tercerna; SKt = Serat Kasar tercerna; LKt = Lemak Kasar tercerna Beta-Nt = Bahan ekstrak tanpa nitrogen tercerna BK = Bahan Kering; PK = Protein Kasar; LK = Lemak Kasar; SK = Serat Kasar Beta-N (Bahan ekstrak tanpa nitrogen) = 100% - (kadar Abu + PK + SK + LK) R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit
19
Konsumsi Bahan Kering Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan produksi. Kemampuan sapi mengkonsumsi pakan sangat terbatas. Keterbatasan itu dipengaruhi oleh keadaan fisiologis ternak, keadaan pakan dan faktor luar, seperti suhu dan kelembaban udara. Tabel 5. Rataan Konsumsi Bahan Kering (kg/ekor/hari) Kelompok
Perlakuan R1
R2
R3
R4
K1
3,74
4,60
4,96
7,28
K2
4,20
4,49
4,37
6,17
K3
2,92
4,26
4,64
5,79
K4
3,24
4,31
5,08
5,13
Rataan Simpangan Baku
3,52a
4,42ab
4,76b
6,09c
0,56
0,16
0,32
0,90
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil sangat beda nyata (P<0,01) R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Hasil penelitian pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perbaikan pakan berbasis jerami padi ini berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rataan konsumsi bahan kering (BK). Konsumsi BK pada R1 tidak berbeda nyata dengan R2, tetapi konsumsi BK R2 tidak berbeda nyata dengan R3. Konsumsi BK pada R4 nyata lebih tinggi daripada R3, R2 dan R1. Perbaikan pakan berbasis jerami padi ini mengakibatkan konsumsi BK meningkat. Pemberian ransum komplit (R4) nyata lebih meningkatkan konsumsi BK. Hal ini disebabkan palatabilitas dan kualitas bahan pakan yang tinggi pada R4. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Parakkasi (1999) bahwa jumlah konsumsi BK pakan dipengaruhi beberapa variabel meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta kualitas bahan pakan. Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptik seperti penampakan, bau, rasa, tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya. Ketersediaan zat
20
makanan yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian khusus. Suplementasi protein pada bahan pakan yang rendah protein akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut. Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa pemberian konsentrat pada ternak bertujuan untuk meningkatkan daya cerna pakan secara keseluruhan. Semakin banyak konsentrat yang dapat dicerna, arus pakan dalam saluran pencernaan menjadi lebih cepat sehingga meningkatkan pengosongan rumen dan menimbulkan sensasi lapar pada ternak, akibatnya memungkinkan ternak untuk mengkonsumsi pakan lebih tinggi. Van Soest (2006) mengungkapkan bahwa suplementasi yang diberikan pada jerami padi dapat meningkatkan konsumsi pakan seperti yang terjadi pada penelitian Djajanegara dan Doyle (1989) dan Warly et al. (1992). National Research Council (1984) menyebutkan bahwa kebutuhan hidup pokok untuk heifer dengan bobot badan 300 kg membutuhkan konsumsi BK minimal sebesar 4,5 kg/ekor/hari. Sementara itu, jika heifer tersebut diprogramkan untuk PBBH sebesar 0,25 kg/hari, maka kebutuhan konsumsi BK minimal sebesar 6,2 kg/ekor/hari. Performa Produksi Performa seekor ternak merupakan hasil dari pengaruh faktor keturunan dan pengaruh kumulatif dari faktor lingkungan yang dialami oleh ternak tersebut sejak terjadinya pembuahan hingga saat ternak diukur dan diobservasi. Hardjosubroto (1990) dan Gunawan et al. (2008) menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak, sedangkan faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Performa seekor ternak dapat dilihat dari bobot badan, laju pertumbuhan dan ukuranukuran tubuh. Performa produksi yang diamati pada penelitian ini adalah pertambahan bobot badan harian dan beberapa peubah tubuh. Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan harian (PBBH) merupakan salah satu peubah untuk mengetahui performa ternak. Laju pertumbuhan bobot badan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang tersedia (Cole, 1982). Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor individu ternak dan jenis pakan. Tillman et al. (1998) 21
menyebutkan bahwa faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan, bila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, pertumbuhannya akan menjadi cepat, demikian pula sebaliknya. Tabel 6. Performa Pertambahan Bobot Badan Harian (kg/hari)* Kelompok
Perlakuan
Rataan
Simpangan Baku
0,51
0,17
0,38
0,28
1,15
0,53
0,42
-0,21
0,14
0,55
0,19
0,32
0,06
0,82
0,42
0,40
0,42
0,31
0,06
0,29
0,31
0,66
0,33
0,36
0,30
0,43
0,12
0,34
0,36
R1
R2
R3
R4
K1
-0,36
0,15
0,37
K2
0,28
0,42
K3
0,27
K4 Rataan Simpangan Baku
Keterangan : *Bobot badan dihitung berdasarkan rumus Schoorl (Williamson dan Payne, 1986) Bobot badan (kg) = R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Astuti (2003) mengemukakan bahwa sapi PO tanggap terhadap perubahan maupun perbaikan pakan dengan menunjukkan PBBH yang berbeda-beda. Astuti (2003) menggambarkan bahwa PBBH sapi PO dewasa sangat bervariasi yaitu sebesar 0,44-0,98 kg/hari dari berbagai penelitian perubahan maupun perbaikan pakan. Hal ini menandakan bahwa pengaruh lingkungan (pemberian pakan) dapat mempengaruhi performa seekor ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan pakan ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap PBBH (Tabel 6). Sementara itu, hasil penelitian Prihandini dan Umiyasih (2008) menunjukkan bahwa perbaikan pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap PBBH sapi PO betina dewasa selama 2 bulan pemeliharaan. Hal ini disebabkan lama pemeliharaan yang relatif singkat (25 hari masa evaluasi pertumbuhan) pada penelitian ini sehingga keragaman laju pertumbuhan bobot badan yang ditampilkan tidak nyata. Prihandini dan Umiyasih (2008) menggunakan dua taraf pelakuan pakan pada penelitiannya, yaitu pakan A dan pakan B yang diujikan pada 26 ekor sapi PO betina
22
dengan rataan umur 2 tahun. Pakan A adalah perbaikan pakan yang berupa pemberian konsentrat dan suplemen mineral dari pakan B. Pakan B adalah pemberian pakan berupa pucuk tebu, rumput lapang, limbah pisang, daun gamal, rumput gajah, tebon kering, daun sengon dan dedak. PBBH pada perlakuan A adalah sebesar 0,59 kg/hari, sedangkan PBBH pada perlakuan B sebesar 0,34 kg/hari. Hal ini menandakan bahwa PBBH yang optimal dapat diperoleh dengan perbaikan pakan. Tidak optimalnya pertumbuhan sapi yang terjadi pada perlakuan perbaikan pakan (R3 dan R4) dapat disebabkan faktor umur. Ada sapi yang berumur lebih tua secara acak mendapatkan perlakuan pakan yang memiliki kandungan nutrien yang lebih baik (R3 dan R4), tetapi tidak menghasilkan PBBH yang lebih baik. Sebaliknya, ada sapi yang berumur lebih muda secara acak mendapatkan perlakuan pakan yang memiliki kandungan nutrien yang tidak lebih baik (R1 dan R2), tetapi menghasilkan PBBH yang lebih baik. Perbedaan performa PBBH ini lebih disebabkan faktor umur dimana umur yang lebih muda akan tumbuh lebih cepat. Sebagaimana yang terjadi pada sapi R3K3 berumur 5 tahun (Tabel 2) menghasilkan PBBH sebesar 0,14 kg/hari lebih rendah daripada sapi R1K3 berumur 2,5-3 tahun (Tabel 2) dengan PBBH sebesar 0,27 kg/hari. Hal ini dapat mengakibatkan tidak adanya pengaruh perlakuan perbaikan pakan yang disebabkan tidak optimalnya pertumbuhan pada sapi-sapi tua. Pertambahan negatif terjadi pada sapi R1K1 dan R2K3. Hal ini disebabkan konsumsi dan kandungan nutrien pada R1 dan R2 tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok sapi R1K1 dan R2K3 sehingga terjadi degradasi jaringan yang akan mengakibatkan turunnya bobot badan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tillman et al. (1998) bahwa apabila kebutuhan hidup pokok tidak terpenuhi oleh pakan maka kebutuhan tersebut dipenuhi dari degradasi jaringan. Zain et al. (2009) menyatakan bahwa jerami padi dapat dioptimalisasikan dengan baik apabila dilakukan perlakuan amoniasi pada jerami padi yang ditambahkan dengan konsentrat dan diberi suplementasi. Lebih lanjut yang diungkapkan Zain et al. (2009) bahwa pemberian 30% jerami padi amoniasi + 70% konsentrat (39% dedak padi, 50% bungkil kelapa, 10% ampas tahu, 0,4% garam dan 0,6% mineral mix) + suplemen (ubi kayu, fosfor dan sulfur) dapat meningkatkan PBBH hingga mencapai 0,67 kg/hari pada sapi pesisir jantan.
23
National Research Council (1984) menyebutkan bahwa kebutuhan hidup pokok untuk heifer dengan bobot badan 300 kg adalah PK minimal sebesar 7,8% dan TDN minimal sebesar 57%. Sementara itu, jika kebutuhan PK dalam pakan diberikan melebihi 11,1% maka PBBH sapi tersebut dapat mencapai angka di atas 0,75 kg/hari. Hal ini menandakan bahwa PBBH dipengaruhi oleh total protein yang diberikan ternak sapi setiap hari. Peubah Tubuh Peubah tubuh merupakan ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain tinggi pundak, panjang badan, lebar dada, dalam dada dan lingkar dada (Natasasmita dan Mudikdjo, 1980; Ningsih, 2011). Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda, karena pengaruh alam maupun lingkungan (Otsuka et al., 1982; Tazkia, 2008). Panjang badan. Panjang badan merupakan salah satu ukuran yang sering digunakan untuk menilai ternak sapi potong. Panjang badan berkaitan erat dengan pertumbuhan tulang. Johansson dan Rendel (1968) menyatakan bahwa pertumbuhan panjang badan dipengaruhi oleh pertumbuhan kerangka tulang dan genetik. Posisi sapi ketika diukur berpengaruh terhadap pengukuran panjang badan (Herman, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan pakan berbasis jerami padi ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap performa panjang badan dan pertambahan panjang badan harian (Tabel 7). Performa panjang badan akhir penelitian dan pertambahan panjang badan harian yang terjadi pada sapi PO betina dewasa umur 2-6 tahun dalam penelitian ini masing-masing sebesar 124,75 cm dan 0,13 cm/hari (Tabel 7). Pertambahan negatif terjadi pada sapi R2K1, R3K3, R3K4 dan R4K4 yang dapat diakibatkan oleh posisi sapi ketika diukur pada suatu waktu tidak dalam posisi lurus yang baik.
24
Tabel 7. Performa Panjang Badan Akhir Penelitian (cm) dan Pertambahan Harian (cm/hari) Perlakuan
Rataan
Simpangan Baku
125
127,5
5,26
125
129
125,5
2,89
132
129
125
127
4,40
115
118
122
121
119
3,16
Rataan
121,5
124,75
127,75
125
124,75
5,04
Simpangan Baku
4,93
5,85
5,62
3,27
5,04
Kelompok
R1
R2
R3
R4
K1
127
123
135
K2
122
126
K3
122
K4
Panjang Badan Akhir
Pertambahan Panjang Badan Harian K1
0
-0,2
0,24
0,44
0,12
0,28
K2
0
0,28
0,16
0,56
0,25
0,24
K3
0,52
0
-0,08
0
0,11
0,28
K4
0,2
0,32
-0,12
-0,2
0,05
0,25
Rataan
0,18
0,1
0,05
0,2
0,13
0,24
Simpangan Baku
0,24
0,24
0,18
0,36
0,24
Keterangan : R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Lingkar dada. Lingkar dada merupakan ukuran tubuh yang paling sering digunakan untuk menilai sapi potong. Lingkar dada berkaitan erat dengan pertumbuhan daging dan otot bagian thorax. Johansson dan Rendel (1968) menyebutkan bahwa pertumbuhan lingkar dada dipengaruhi oleh pertumbuhan daging dan otot. Berg dan Butterfield (1976) menyatakan bahwa bagian tubuh yang paling cepat tumbuh pada sapi dewasa adalah bagian thorax dan abdominal. Herman (1985) menyatakan bahwa posisi sapi ketika diukur tidak berpengaruh terhadap pengukuran lingkar dada. Perbaikan pakan yang diberikan pada pakan berbasis jerami padi ini berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap lingkar dada (Tabel 8). Lingkar dada R1 nyata lebih rendah dibandingkan R3, tetapi lingkar dada R1 dengan R2 dan R4 tidak berbeda nyata. Lingkar dada R2, R3 dan R4 tidak berbeda nyata. Hal ini menandakan terjadinya perbedaan performa lingkar dada yang cukup signifikan sebagai respon terhadap perlakuan perbaikan pakan ini, namun perbaikan pakan tersebut tidak 25
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan lingkar dada harian (Tabel 8). Pertambahan lingkar dada harian yang terjadi pada sapi PO betina dewasa umur 2-6 tahun dalam penelitian ini adalah rata-rata sebesar 0,09 cm/hari (Tabel 8). Pertambahan negatif yang terjadi pada sapi R1K1 dan R2K3 dapat diakibatkan telah terjadinya degradasi jaringan pada bagian thorax. Hal ini terjadi karena konsumsi dan kandungan nutrien pada R1 dan R2 tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok sapi R1K1 dan R2K3 sehingga terjadi degradasi jaringan. Tabel 8. Performa Lingkar Dada Akhir Penelitian (cm) dan Pertambahan Harian (cm/hari) Perlakuan
Rataan
Simpangan Baku
163,5
161,88
3,86
154,5
162
156,62
3,59
151
157,5
153
152,38
3,99
139
151
155
147
148
6,83
149,62a
154,75ab
158,12b
156,38ab
154,72
6,80
7,99
5,19
5,09
7,78
Kelompok
R1
R2
R3
R4
K1
156,5
162
165,5
K2
155
155
K3
148
K4
Lingkar Dada Akhir
Rataan Simpangan Baku
Pertambahan Lingkar Dada Harian K1
-0,1
0,04
0,1
0,14
0,04
0,1
K2
0,08
0,12
0,02
0,32
0,14
0,13
K3
0,08
-0,06
0,04
0,16
0,06
0,09
K4
0,02
0,24
0,12
0,12
0,12
0,09
Rataan
0,02
0,08
0,07
0,18
0,09
0,1
Simpangan Baku
0,08
0,13
0,05
0,09
0,1
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil beda nyata (P<0,05) R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Tinggi pundak. Tinggi pundak merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk menilai ternak sapi potong. Tinggi pundak berkaitan erat dengan pertumbuhan tulang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Johansson dan Rendel (1968) bahwa pertumbuhan tinggi pundak dipengaruhi oleh pertumbuhan tulang dan genetik. Posisi sapi ketika diukur berpengaruh terhadap pengukuran tinggi pundak (Herman, 1985).
26
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan pakan berbasis jerami padi ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tinggi pundak dan pertambahan tinggi pundak harian (Tabel 9). Performa tinggi pundak dan pertambahan tinggi pundak harian yang terjadi pada sapi PO betina dewasa umur 2-6 tahun dalam penelitian ini masing-masing sebesar 125,69 cm dan 0,01 cm/hari (Tabel 9). Pertambahan negatif terjadi pada sapi R1K1, R2K1, R2K4, R3K4, R4K2 dan R4K3 yang dapat diakibatkan oleh posisi sapi ketika diukur pada suatu waktu tidak dalam posisi lurus yang baik. Tabel 9. Performa Tinggi Pundak Akhir Penelitian (cm) dan Pertambahan Harian (cm/hari) Perlakuan
Rataan
Simpangan Baku
130
129
4,55
123
120
124,5
3,70
134
126
123
126,25
5,44
122
120
122
128
123
3,46
Rataan
124,5
126,5
126,5
125,25
125,69
4,53
Simpangan Baku
3,00
5,80
5,92
4,57
4,53
Kelompok
R1
R2
R3
R4
K1
126
125
135
K2
128
127
K3
122
K4
Tinggi Pundak Akhir
Pertambahan Tinggi Pundak Harian K1
-0,04
-0,08
0,12
0,08
0,02
0,1
K2
0,08
0,08
0,08
-0,16
0,02
0,12
K3
0,04
0,08
0
-0,04
0,02
0,05
K4
0
-0,08
-0,12
0,08
-0,03
0,09
Rataan
0,02
0
0,02
-0,01
0,01
0,08
Simpangan Baku
0,05
0,09
0,11
0,12
0,08
Keterangan : R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Lebar dada. Lebar dada merupakan ukuran tubuh yang dapat digunakan dalam menilai sapi potong. Lebar dada juga dapat menggambarkan penilaian sapi potong dari arah depan. Lebar dada berkaitan erat dengan pertumbuhan tulang dan daging bagian thorax. Posisi sapi ketika diukur berpengaruh terhadap pengukuran lebar dada.
27
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan pakan berbasis jerami padi ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap lebar dada dan pertambahan lebar dada harian (Tabel 10). Rataan lebar dada dan pertambahan lebar dada harian pada penelitian ini masing-masing sebesar 31,38 cm dan -0,09 cm/hari (Tabel 10). Pertambahan negatif yang terjadi pada sapi R1K2, R1K3, R1K4 dan R2K4 dapat diakibatkan telah terjadinya degradasi jaringan pada bagian thorax. Hal ini terjadi karena konsumsi dan kandungan nutrien pada R1 dan R2 tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok sapi R1K2, R1K3, R1K4 dan R2K4 sehingga terjadi degradasi jaringan. Sementara itu, pertambahan negatif yang terjadi pada semua sapi perlakuan R3 dan R4 lebih disebabkan oleh posisi sapi ketika diukur pada suatu waktu tidak dalam posisi lurus yang baik. Tabel 10. Performa Lebar Dada Akhir Penelitian (cm) dan Pertambahan Harian (cm/hari) Kelompok
Perlakuan
Rataan
Simpangan Baku
34
34,5
1,29
30
35
32,5
2,22
32
29
30
30
1,41
27
30
28
30
28,75
1,5
31
32,25
30
32,25
31,38
2,70
3,65
2,63
2,16
2,63
2,70
R1
R2
R3
R4
K1
35
36
33
K2
33
31
K3
29
K4 Rataan
Lebar Dada Akhir
Simpangan Baku
Pertambahan Lebar Dada Harian K1
0,12
0,04
-0,04
-0,12
0
0,1
K2
-0,04
0
-0,32
-0,04
-0,1
0,15
K3
-0,04
0,08
-0,24
-0,2
-0,1
0,15
K4
-0,2
-0,12
-0,12
-0,24
-0,17
0,06
Rataan
-0,04
0
-0,18
-0,15
-0,09
0,12
Simpangan Baku
0,13
0,09
0,12
0,09
0,12
Keterangan : R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
28
Dalam dada. Dalam dada merupakan ukuran tubuh yang dapat digunakan dalam menilai sapi potong. Dalam dada dapat menggambarkan penilaian sapi potong dari arah samping. Dalam dada berkaitan erat dengan pertumbuhan tulang dan daging bagian thorax. Johansson dan Rendel (1968) menyebutkan bahwa pertumbuhan dalam dada dipengaruhi oleh pertumbuhan tulang dan daging. Posisi sapi ketika diukur berpengaruh terhadap pengukuran dalam dada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan pakan berbasis jerami padi ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap dalam dada dan pertambahan dalam dada harian (Tabel 11). Rataan dalam dada dan pertambahan dalam dada harian pada penelitian ini masing-masing sebesar 62,12 cm dan 0,06 cm/hari (Tabel 11). Tabel 11. Performa Dalam Dada Akhir Penelitian (cm) dan Pertambahan Harian (cm/hari) Perlakuan
Rataan
Simpangan Baku
63
65,5
5,07
64
65
63,5
1,29
67
63
58
61,5
4,36
58
55
58
61
58
2,45
Rataan
60,25
62
64,5
61,75
62,12
4,32
Simpangan Baku
2,63
5,10
6,24
2,99
4,32
Kelompok
R1
R2
R3
R4
K1
62
64
73
K2
63
62
K3
58
K4
Dalam Dada Akhir
Pertambahan Dalam Dada Harian K1
-0,04
0,04
0,2
0
0,05
0,1
K2
0,24
0,08
-0,08
0,2
0,11
0,14
K3
0,08
0,16
-0,16
-0,04
0,01
0,14
K4
0,1
0
-0,1
0,24
0,06
0,14
Rataan
0,1
0,07
-0,04
0,1
0,06
0,13
Simpangan Baku
0,12
0,07
0,16
0,14
0,13
Keterangan : R1= 100% jerami padi; R2= R1 + 2 kg dedak padi R3= R2 + 0,4 kg SKN; R4= ransum komplit K1= bobot badan awal tertinggi 1-4; K2= bobot badan awal tertinggi 5-8 K3= bobot badan awal tertinggi 9-12; K4= bobot badan awal tertinggi 13-14
Pertambahan negatif yang terjadi pada sapi R1K1 dapat diakibatkan telah terjadinya degradasi jaringan pada bagian thorax. Hal ini terjadi karena konsumsi dan kandungan nutrien pada R1 tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok sapi R1K1
29
sehingga terjadi degradasi jaringan. Sementara itu, pertambahan negatif yang terjadi pada sapi perlakuan R3K2, R3K3, R3K4 dan R4K3 lebih disebabkan oleh posisi sapi ketika diukur pada suatu waktu tidak dalam posisi lurus yang baik. Perbaikan pakan berbasis jerami padi ini tidak mempengaruhi peubah tubuh yang diukur, kecuali terhadap lingkar dada dan tidak mempengaruhi pertambahan harian semua peubah tubuh yang diukur. Hasil penelitian ini sejalan dengan Prihandini dan Umiyasih (2008) pada panjang badan dan tinggi pundak, tetapi tidak sejalan pada lingkar dada. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain: umur sapi yang telah mencapai dewasa kelamin dan dewasa tubuh, pakan, genetik dan posisi sapi saat diukur. Sapi PO betina penelitian ini yang berumur 2-6 tahun telah mencapai dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Rata-rata sapi lokal Indonesia mencapai dewasa kelamin pada umur 1,5-2 tahun dan mencapai dewasa tubuh pada umur 2-2,5 tahun (Sosroamidjojo dan Soeradji, 1990). Setelah sapi mencapai dewasa kelamin pertumbuhan tulang akan terhenti karena osifikasi tulang rawan sudah sempurna. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Field dan Taylor (2003) bahwa pertumbuhan dan perkembangan tulang tercapai sebelum ternak dewasa kelamin. Hal ini dapat mengakibatkan perbaikan pakan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tubuh yang dipengaruhi pertumbuhan tulang seperti panjang badan, tinggi pundak, lebar dada, dalam dada dan pertambahan hariannya. Pemberian pakan berkualitas tinggi pada sapi yang sebelumnya diberikan pakan berkualitas rendah akan mengakibatkan pertumbuhan kompensatori dimana pertumbuhan ternak akan mengalami percepatan (Soeparno, 2005). Hal ini dapat mengakibatkan perbaikan pakan berpengaruh nyata terhadap lingkar dada sehingga dalam waktu relatif singkat sudah menunjukkan keragaman lingkar dada yang berbeda nyata. Sementara itu, Tillman et al. (1998) menyatakan apabila kebutuhan hidup pokok tidak terpenuhi oleh pakan maka kebutuhan tersebut dipenuhi dari degradasi jaringan. Hal ini mengakibatkan terjadinya pertambahan harian yang negatif pada lingkar dada, lebar dada dan dalam dada beberapa sapi penelitian. Faktor genetik individu sapi dapat mempengaruhi performa peubah tubuh (Johansson dan Rendel, 1968). Sapi PO betina penelitian ini yang berumur 2-6 tahun memiliki rataan panjang badan, tinggi pundak, lebar dada dan dalam dada masing-
30
masing sebesar 124,75 cm; 125,69 cm; 31,38 cm dan 62,12 cm, sedangkan sapi PO betina penelitian Prihandini dan Umiyasih (2008) yang berumur 2 tahun memiliki rataan panjang badan dan tinggi pundak masing-masing sebesar 123 cm dan 119,39 cm. Adrial (2010) menyatakan bahwa rata-rata panjang badan dan tinggi pundak sapi PO betina dewasa umur 4,5 tahun ketika dibandingkan dengan sapi pesisir Sumatera Barat masing-masing sebesar 131,7 ± 7 cm dan 128,7 ± 5,5 cm. Sementara itu, Abdullah et al. (2006) menyatakan bahwa rataan panjang badan, tinggi pundak, lebar dada dan dalam dada sapi PO lokal dewasa diatas umur 2 tahun masing-masing sebesar 120,15 cm; 127,46 cm; 44,28 cm; 59,12 cm. Perbedaan yang terjadi pada performa peubah tubuh ini lebih disebabkan faktor genetik individu ternak. Posisi sapi dapat mempengaruhi pengukuran peubah tubuh (Herman, 1985). Pengukuran peubah tubuh perlu dilakukan pada sapi yang berdiri normal pada keempat kakinya dengan kepala lurus ke depan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi derajat kesalahan pada saat pengukuran.
31