44
Hasil Dan Pembahasan Deskripsi Keadaan Umum Daerah Penelitian 1.Geografi dan Topografi Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Propinsi Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan , kebudayaan serta menjadi pusat perekonomian daerah. Kota Bandar lampung terletak di wilayah yang strategis karena merupakan daerah transit kegiatan perekonomian antar pulau Sumatra dan pulau Jawa, sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri dan pariwisata. Secara geografis kota Bandar lampung terletak pada 520 sampai dengan 530 lintang selatan dan 105 28 sampai dengan 105 37 bujur timur. Ibukota propinsi Lampung ini berada di teluk Lampung yang terletak di ujung pulau Sumatra. Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197,22 Km terdiri dari 13 kecamatan da 98 kelurahan. Secara administratif Kota Bandar Lampung dibatasi oleh : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Natar kabupaten Lampung Selatan. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Lampung. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan edung Tataan dan Padang Cermin kabupaten Pesawaran. 4. Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Tanjung Bintang kabupaten Lampung Selatan. Kota Bandar Lampung terletak pada ketinggian 0 sampai 700 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang terdiri dari : 1. Daerah pantai yaitu sekitar teluk betung bagian selatan dan panjang. 2. Daerah perbukitan yaitu sekitar teluk Betung bagian utara. 3. Daerah dataran tinggi serta sedikit bergelombang terdapat di sekitar tanjung karang bagian Barat yang dipengaruhi oleh gunung Balau serta perbukitan Batu Serampok dibagian Timur Selatan.
45
Ditengah – tengah kota mengalir beberapa sungai seperti sungai Way Halim, Way Balau, Way Awi, Way Simpur di wilayah Tanjung Karang, dan Way Kuripan, Way Balau, Way Kupang, Way Garuntang. Way Kuwala mengalir di wilayah Teluk Betung. Daerah hulu sungai berada dibagian barat, daerah hilir sungai berada di sebelah selatan yaitu di wilayah pantai. Luas wilayah yang datar hingga landai meliputi 60 persen total wilayah, landai hingga miring meliputi 35 persen total wilayah, dan sangat miring hingga curam meliputi 4 persen total wilayah. Sebagian wilayah Kota Bandar Lampung merupakan perbukitan, yang diantaranya bernama ; Gunung Kunyit, Gunung Kelutum, gunung Banten. Gunung Kucing, dan Gunung Kapuk. 13 Kota Bandar Lampung memilki kecamatan yang terdiri dari (1) Kecamatan Teluk Betung Barat, (2) Kecamatan Teluk Betung Selatan, (3) Kecamatan Panjang, (4) Kecamatan Tanjung Karang Timur, (5) Kecamatan Teluk Betung Utara, (6) Kecamatan Tanjung Karang Pusat, (7) Kecamatan Tanjung Karang Barat, (8) Kecamatan Kemiling, (9) Kecamatan Kedaton, (10) Kecamatan Rajabasa (11) Kecamatan Tanjung Seneng, (12) Kecamatan Sukarame, (13) Kecamatan Sukabumi.
Berikut adalah luas daerah dan jumlah Desa setiap
kecamatan di Kota Bandar Lampung beserta jumlah desa. Tabel 5. Luas Wilayah Kota Bandar Lampung Menurut Kecamatan Tahun 2008. No. Kecamatan Luas (Km2) Jumlah Desa 1. Kecamatan Teluk Betung Barat 20.99 8 2. Kecamatan Teluk Betung Selatan 10.07 11 3. Kecamatan Panjang 21.16 7 4. Kecamatan Teluk Betung Utara 10.38 10 5. Kecamatan Tanjung Karang Timur 21.11 11 6. Kecamatan Tanjung Karang Pusat, 6.68 11 7. Kecamatan Tanjung Karang Barat 15.14 6 8. Kecamatan Kemiling 27.65 7 9. Kecamatan Kedaton 10.88 8 10. Kecamatan Rajabasa 13.02 4 11. Kecamatan Tanjung Seneng 11.63 4 12. Kecamatan Sukarame 16.87 5 13 Kecamatan Sukabumi 11.64 6 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2008.
46
2. Iklim Kota Bandar Lampung Secara umum Kota Bandar Lampung dikatergorikan beriklim tropis dengan musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan rata-rata 126,9 mm perbulan, Curah hujan tertinggi berkisar 345,4 mm pada bulan desember pada bulan desember, sedangkan curah hujan terendah 0 mm pada bulan agustus dan September. 3. Penduduk Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung sampai tahun 2008 mempunyai jumlah penduduk sekitar 822.880 jiwa, terdiri dari 414.938 jiwa laki-laki dan 407.942 jiwa perempuan. Pada tabel di bawah ini ditunjukkan jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin di Kota Bandar Lampung. Tabel 6. Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Kota Bandar Lampung tahun 2008. Jenis Kelamin Kelompok Umur Jumlah No Laki-laki Perempuan (tahun) (jiwa) (jiwa) 1. 0–4 42.319 39.810 82.129 2. 5–9 40.974 38.933 79.907 3. 10 – 14 43.207 42.394 85.601 4. 15 – 19 49.329 52.660 101.989 5. 45.513 49.613 95.126 20 – 24 6. 40.317 42.291 82.608 25 – 29 7. 34.851 34.726 69.577 30 – 34 8. 30.864 30.326 61.190 35 – 39 9. 26.675 23.292 49.967 40 – 44 10. 45 – 49 19.384 16.209 35.593 11. 50 – 54 13.700 11.512 25.212 12. 9.561 8.135 17.696 55 – 59 13. 7.709 7.192 14.901 60 – 64 14. 10.535 10.849 21.384 65 + 414.938 40.7942 Total Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2008
822.880
Pada tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah usia belum produktif (umur 0 – 14 tahun) sebanyak 126.500 orang, usia produktif (umur 15 -59 tahun) sebanyak 270.194 orang, dan usia tidak produktif (60 tahun ke atas) sebanyak 18.244 orang. Untuk jumlah usia belum produktif bagi perempuan umur (0 – 14 tahun) sebanyak 121.137 orang, usia produktif (umur 15 -59 tahun) sebanyak 268.764 orang, dan usia tidak produktif (60 tahun ke atas) sebanyak 18.041 orang
47
4. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kota Bandar Lampung. Tabel 17. Data jumlah penduduk penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kota Bandar Lampung tahun 2008. Anak Tuna Gelandangan No. Kecamatan Jompo Terlantar susila 1. Kecamatan Teluk Betung Barat 168 0 49 166 2. Kecamatan Teluk Betung Selatan 70 40 23 395 3. Kecamatan Panjang 17 26 9 52 4. Kecamatan Teluk Betung Utara 12 1 9 33 5. Kecamatan Tanjung Karang Timur 56 3 2 186 6. Kecamatan Tanjung Karang Pusat, 45 0 0 0 7. Kecamatan Tanjung Karang Barat 7 2 0 39 8. Kecamatan Kemiling 17 2 0 39 9. Kecamatan Kedaton 72 1 2 27 10. Kecamatan Rajabasa 29 0 3 26 11. Kecamatan Tanjung Seneng 14 3 1 14 12. Kecamatan Sukarame 11 0 0 35 13 Kecamatan Sukabumi 17 0 17 43 535 78 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2008
115
Pada tabel 7 menunjukan penyandang masalah sosial terbesar di kota Bandar Lampung adalah jompo yaitu sejumlah 1.087 jiwa dan anak terlantar berada di urutan kedua, sedangkan untuk tuna susila berada di urutan terakhir dalam masalah kesejahteraan sosial di kota Bandar Lampung. 5. Jumlah Tenaga Kerja dan Usaha Di Kota Bandar Lampung Tabel 8. Data jumlah distribusi tenaga kerja di Bandar Lampung tahun 2008 No. Sektor Usaha Tenaga Kerja 1. Pertambangan dan Penggalian 257 383 2. Industri Pengolahan 6.125 29.917 3. Listrik, Gas dan Air 32 1.122 4. Konstruksi 974 3.79 5. Perdagangan Besar dan Eceran 45.354 81.864 6. Penyediaan Akomodasi dan Makan minum 15.629 27.074 7. Trasnportasi, Pergudangan 14.379 20.519 8. Perantara Keiangan 374 5.274 9. Real Estate, usaha Persewaan 5.436 10.179 10. Jasa Pendidikan 919 16.534 11. Jasa Kesehatan 565 4.439 12. Jasa Kemasyarakatan, social budaya 9.118 18.630 13 Jasa Perorangan Rumah Tangga 6.205 6.248 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2008
1.087
48
Deskripsi Program PNPM Mandiri Perkotaan PNPM Mandiri pada hekekatnya adalah gerakan dan program nasional yang dituangkan dalam kerangka kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bertujuan menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, untuk menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan yang dihadapinya dengan baik dan benar. PNPM
Mandiri
membutuhkan
harmonisasi
kebijakan
yang
berbasis
pemberdayaan masyarakat melalui perbaikan pemilihan sasaran baik wilayah maupun masyarakat penerima manfaat, prinsip dasar, strategi, pendekatan, indikator, serta berbagai mekanisme dan prosedur yang diperlukan untuk mengefektifkan penanggulangan kemiskinan dan mempercepat tercapainya peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Mulai
tahun
2007
pemerintah
mencanangkan PNPM mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri perdesaan (PNPM MPd), PNPM Mandiri perkotaan (PNPM MPk), serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. Program penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini sangat stratergis karena menyiapkan landasan kemandirian
masyarakat
berupa
lembaga
kepimpinan
masyarakat
yang
representatif, mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal sosial masyarakat di masa mendatang. Lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representatif dan dipercaya tersebut (secara generik disebut badan keswadayaan masyarakat atau disingkat BKM) dibentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal sosial. Tiap BKM bersama masyarakat telah menyusun perencanaan jangka menengah program penaggulangan kemiskinan (yang kemudian lebih dikenal sebagai PJM Pronangkis) secara partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Atas fasilitasi pemerintah dan prakarsa masyarakat, BKM-BKM ini mulai menjamin kemitraan
49
dengan berbagi instansi pemerintah dan kelompok. Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksaan P2KP- 3 saat ini telah terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235 kota / kabupaten, telah memunculkan lebih dari 291.000 relawan-relawan, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat. Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Mulai tahun tersebut PNPM Mandiri P2KP diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapian sasaran Millenium Development Goal (MDGs) sehingga tercapai pengurangan penduduk miskin sebesar 50 % di tahun 2015. Tahun 2008 secara penuh P2KP menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri perkotaan (PNPM Mandiri perkotaan). 1. Sasaran PNPM Mandiri Perkotaan Sasaran PNPM Mandiri perkotaan ialah (1) terbangunnya lembaga keswadayaan masyarakat (LKM) yang dipercaya, aspiratif, representatif dan akuntible untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi serta kemandirian masyarakat, (2) tersedianya perencanaan jangka menengah (PJM) Pronangkis sebagai wadah untuk mewujudkan sinergi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan sesuainya dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dalam rangka pengembangan lingkungan pemukiman yang sehat, serasi berjati diri dan berkelanjutan, (3) terbangun forum LKM tingkat kecamatan dan kota / kabupaten.(4) terwujudnya kontribusi pendanaan dari pemerintah kota / kabupaten dalam PNPM Mandiri perkotaan sesuai dengan kapasitas fiscal daerah. 2. Strategi Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan Secara umum PNPM Mandiri Perkotaan mengadopsi strategi dasar dan strategi operasional yang telah ditetapkan dalam pedoman umum PNPM Mandiri. Sedangkan strategi khusus yang digunakan ialah. 1.
Mengembangkan lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representative dan dipercaya di mana anggotanya dipilih secara langsung, bebas dan rahasia, tanpa kampanye dan pencalonan oleh penduduk dewasa. Lembaga kepemimpinan ini berfungsi sebagai majelis amanah yang akan
50
memimpin masyarakat dalam melakukan tindakan kolektif penaggulangan kemiskinan yang disebut LKM. 2.
Mengembangkan program pembangunan jangka menengah dan rencana tahunan dalam rangka penaggulangan kemiskinan sebagai media dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak yang peduli dengan penanggulangan kemiskinan.
3.
Aktif berpartisipasi dalam musrenbang kelurahan dan kecamatan untuk mengintegrasikan
PJM
Pronangkis
ke
dalam
RPJM
(Rencana
Pembangunan Jangka Menengah) 4.
Peningkatan kapasitas pemerintah untuk mampu bersinergi dengan masyarakat
dan
para
pemangku
kepentingan
setempat
dalam
penaggulangan kemiskinan. 3. Ruang Lingkup Kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan Ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan pada dasarnya terbuka bagi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan yang diusulkan dan disepakatai masyarakat meliputi : 1.
Penyediaan dan perbaikan prasarana / sarana lingkungan pemukiman, social dan ekonomi secara padat karya.
2.
Penyediaan sumber daya keuangan melalui dana bergulir dan kredit mikro untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin.
3.
Kegiatan yang terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama yang bertujuan mempercepat pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs).
4.
Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis, pelatihan keterampilan usaha manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik. Rangkaian proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui komponen
program sebagai berikut : 1.
Pengembangan masyarakat mencakup serangkaian kegiatan untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari pemetaan potensi, masalah, dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian, pemanfaatan sumber daya, pemantauan dan
51
pemeliharaan hasil-hasil yang telah dicapai. Untuk mendukung rangkaian kegiatan tersebut, disediakan dana pendukung kegiatan pembelajaran masyarakat,
pengembangan
relawan
dan
operasional
pendamping
masyarakat, fasilitator, pengembangan kapasitas, mediasi dan advokasi. Peran fasilitator terutama pada saat awal pemberdayaan, sedangkan relawan masyarakat adalah yang utama sebagai motor penggerak masyarakat di wilayahnya. 2.
Bantuan langsung masyarakat: adalah dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, terutama masyarakat miskin.
Gambar 2. Realisasi PNPM berupa pembuatan Drum air MCK dan Kavling (Sumber : Hasil Monitoring dan Evaluasi tahun 2009)
3.
Peningkatan kapasitas pemerintahan dan pelaku lokal: adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan pelaku lokal / kelompok peduli lainnya agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi positif bagi masyarakat terutama kelompok miskin dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak. Kegiatan yang dimaksud antara lain seminar, pelatihan. lokakarya, kunjungan lapangan secara selektif dan sebaginya. Pelaksanaan PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung sampai dengan
tahun 2009 telah tersebar di 83 kelurahan. Jumlah ini hanyalah jumlah kelurahan yang telah menyerap dana dari PNPM Mandiri dan telah merealisasikan kegiatan yang telah dibuat selama tahun 2007-2009. Kucuran dana PNPM telah diberikan dalam dua tahapan, yakni tahap I untuk 50 kelurahan dan tahap II untuk 33 kelurahan.
52
4. Organisasi Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan Di
tingkat
Kota
/Kabupaten
dikoordinasikan
langsung
oleh
Walikota/Bupati setempat melalui Bapeda Kota/Kabupaten dengan menunjuk Tim Koordinasi Pelaksanaan PNPM (TKPP). Pemkot/Kab dibantu oleh Satker Kota / Kabupaten yang diangkat Menteri PU atas usulan Bupati / Walikota. TKPKD kota / kabupaten dalam PNPM Mandiri Perkotaan berperan mengkoordinasikan TKPP dari
berbagai
program
penanggulangan
kemiskinan.
Pelaksanaan
dan
pengendalian kegiatan ditingkat Kota / Kabupaten akan dilakukan oleh Koordinator kota (Korkot), yang dibantu beberapa asisiten Korkot di bidang manajemen keuangan, teknik/infrastruktur, management data dan penataan ruang.
53
Karakteristik Fasilitator Beberapa karakteristik fasilitator yang diamati pada penelitian ini adalah (1) pengalaman menjadi fasilitator, (2) Pengetahuan tentang tugas – tugas fasilitator yang terdiri dari pengetahuan nonteknis dan pengetahuan teknis, dan (3) Pendidikan non formal fasilitator yang pernah di ikuti dasar fasilitator dan pelatihan madiya atau lanjutan. Hasil penelitian mengenai karakteristik fasilitator disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Tingkatan dan persentase fasilitator menurut karakteristik program PNPM Mandiri Perkotaan Bandar Lampung Karakteristik Tingkatan Jumlah (%) Fasilitator Rendah (≤ 2 bulan) 16 42,2 Pengalaman Sedang (2 < x ≤ 6 bulan) 13 34,2 Tinggi (> 6 bulan) 9 23,6 38 100 Jumlah Rendah (≤ 1 jam/minggu) 7 18,4 Pengetahuan Sedang (1< x ≤3 jam/minggu) 22 57,8 (nonteknis) Tinggi (> 3 jam/minggu) 9 23,8 38 100 Jumlah Rendah (≤ 1 jam/minggu) 2 5,3 Pengetahuan Sedang (1< x ≤ 3 jam/minggu) 17 44,7 (Teknis) Tinggi (> 3 jam/minggu) 19 50.0 38 100 Jumlah 3 7,8 Pendidikan non formal Rendah (≤ 5 hari) Sedang (5 < x ≤ 6 hari) 9 23,6 (Pelatihan dasar) Tinggi (> 6 hari ) 26 68,6 38 100 Jumlah
1. Pengalaman Pengalaman yang dimiliki fasilitator sebagai pemimpin atau fasilitator dalam kelompok binaan mempengaruhi kompetensi sesama fasilitator dalam program PNPM Mandiri Perkotaan, semakin tinggi pengalaman fasilitator maka dapat dikatakan memiliki pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap yang baik dalam menciptakan hak, kebebasan dan akses yang sama dengan kelompok binaan untuk menyelesaikan masalah kelompok pada program PNPM Mandiri Perkotaan. Pengalaman fasilitator dalam program pemberdayaan masyarakat pada lokasi penelitian ini diperoleh 16 fasilitator memiliki pengalaman kurang dari 2
54
bulan dengan kisaran porsentase 42,2 %, artinya separuh dari jumlah fasilitator memiliki pengalaman yang rendah. Secara umum seluruh fasilitator memiliki pengalaman sebagai fasilitator kelompok binaan sebelum adanya program PNPM Mandiri Perkotaan. Hal ini menunjukan bahwa dilihat dari lamanya mereka memiliki pengalaman, fasilitator tersebut memiliki kemampuan relatif cukup baik. 2. Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki fasilitator tentang tugas dan peran, serta aktivitas komunikasi dalam menciptakan partisipasi untuk mensukseskan kegiatan bersama kelompok binaan akan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator pada program PNPM Mandiri Perkotaan. Pengetahuan yang dimiliki fasilitator dalam penelitian ini terdiri dari pengetahuan nonteknis dan pengetahuan teknis. Dalam mempelajari dan mencari referensi-referensi tambahan tentang pengembangan kapasitas diri fasiltator pada PNPM Mandiri Perkotaan di lokasi penelitian ini, diperoleh 22 fasilitator memiliki tingkatan sedang antara satu sampai tiga jam dalam seminggu untuk membaca literatur yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas diri, dengan persentase 57,8%. Berdasarkan data yang diperoleh, fasilitator kurang maksimal dalam meluangkan waktunya untuk membaca literatur yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas diri, hal ini dikarenakan fasilitator memiliki kesibukan lain selain menjadi fasilitator. Fasilitator harus mampu menguasai kemampuan teknis seperti pembuatan proposal yang digunakan untuk perencanaan pembangunan infrastruktur dan kegiatan
perekonomian, karena fasilitator harus membina kelompok dalam
pembuatan proposal tersebut. Sebesar 50% fasilitator memiliki tingkat pengetahuan teknis yang tinggi dalam kelompok binaan. Pengetahuan ini diperoleh melalui mempelajari dan mencari referensi-referensi tambahan tentang tugas-tugas teknis pada program pemberdayaan masyarakat program PNPM Mandiri Perkotaan lebih dari 3 jam/minggu. Secara umum seluruh
sampel fasilitator memiliki waktu untuk
meningkatkan pengetahuanya sebagai fasilitator kelompok binaan pada program PNPM Mandiri Perkotaan. Pengetahuan fasilitator yang ditunjukan dalam lamanya membaca referensi menggambarkan cukup banyaknya pengetahuan,
55
pemahaman, keterampilan dan sikap dalam menciptakan hak, kebebasan dan akses yang sama dengan kelompok binaan untuk menyelesaikan masalah kelompok pada program PNPM Mandiri Perkotaan. Dengan bekal pengetahuan yang dimiliki maka segala kemampuan yang dimiliki fasilitator tersebut dapat mempengaruhi tujuan-tujuan dari kelompok yang di bina pada program PNPM Mandiri Perkotaan. fasilitator yang memiliki pengetahuan yang baik cenderung bersifat kritis terhadap suatu permasalahan kelompok. 3. Pendidikan non formal Tingkat pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan fasilitator di lapangan. Semakin tinggi tingkat pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh fasilitator tentang bagaimana tugas dan wewenang fasilitator dalam menciptakan partisipasi kelompok binaan maka semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatif dalam kelompok binaan. Pendidikan non formal yang semakin banyak diikuti oleh fasilitator semakin tinggi diharapkan dapat semakin mudah mencapai tujuan-tujuan kelompok. Pada penelitian ini diperoleh sebesar 26 faslitator memiliki tingkatan tinggi yang pernah mengikuti pelatihan fasilitator selama lebih dari 6 hari dengan persentase sebesar 68,6% dari seluruh sampel. Artinya sebagian besar fasilitator di PNPM perkotaan pernah mengikuti pendidikan nonformal, hal ini dikarenakan fasilitator memiliki pengalaman waktu berbeda-beda, semakin lama menjadi fasilitator maka semakin sering mengikuti pendidikan non formal, sehingga sebagian besar mereka mengikuti pendidikan nonformal sebagai dasar dalam megembangkan kapasitas kemampuannya. Menurut hasil pengamatan di lapangan, perbedaan lamanya jumlah hari dalam mengikuti pelatihan lanjutan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh metode-metode dan dana yang dimiliki oleh PNPM Mandiri perkotaan. Secara umum seluruh sampel fasilitator dalam program PNPM Mandiri Perkotaan pernah mengikuti pelatihan- pelatihan fasilitator dari berbagai tingkatan- tingkatan pelatihan. Semakin tinggi dan lama seorang fasilitator mendapatkan pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan maka akan mempengaruhi fasilitator tersebut untuk menciptakan komunikasi partisipatif dalam mensukseskan tujuan- tujuan
56
kelompok binaan, hal ini dikarenakan fasilitator mengerti tentang tugas- tugas serta wewenang dalam kelompok binaan. Peran Fasilitator Peran fasilitator yang di amati dalam penelitian ini berupa tingkatan dan persentase peran fasilitatif fasilitator dalam kelompok binaan PNPM Mandiri Perkotaan. Tingkatan dan persentase peran fasilitatif fasilitator ini disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10. Tingkatan dan persentase fasilitator menurut peran fasilitatif program PNPM Mandiri Perkotaan Bandar Lampung Tingkat Peran Fasilitatif Jumlah (%) Fasilitator Tinggi 8 21,2 Sedang 25 65,7 Rendah 5 13,1 Jumlah 38 100 Berdasarkan tabel di atas diperoleh urutan terbesar tingkat peran fasilitatif fasilitator berada di tingkat sedang. Peran fasilitatif fasilitator tersebut yaitu membantu anggota komunitas agar berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat, dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi dan motivasi sehingga mampu bertindak. Peran ini ini juga berupa memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas. Hal ini terlihat fasilitator membantu tim refleksi kemiskinan dalam persiapan dan pelaksanaan simulasi refleksi kemiskinan, membantu dalam persiapan dan pelaksanaan pelatihan LKM (lembaga keswadayaan masyarakat) serta KSM (kelompok swadaya masyarakat). Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator Perilaku komunikasi partisipatif fasilitator yang diamati dalam penelitian ini adalah (1) tingkatan fasilitator dalam memberikan akses kepada kelompok binaan PNPM Mandiri, (2) tingkatan fasilitator dalam menciptakan dialog untuk menyelesaikan tugas kelompok dan dialog untuk memelihara interaksi dalam kelompok binaan dan (3) tingkatan fasilitator dalam melakukan kegiatan refleksiaksi dalam kelompok binaan. Tingkatan dalam memberikan akses kepada kelompok binaan ialah sejauh mana fasilitator memberikan ruang dan kesempatan kelompoknya secara bersama-
57
sama untuk berpartisipasi (melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) dalam sebuah kegiatan penanggulangan kemiskinan di daerah mereka. Pemberian akses ini juga melibatkan pihak-pihak yang mempunyai peran penting, hal ini dimulai dengan memberikan akses ke RT, RW, Lurah sampai kepada pemerintah setempat di setiap kegiatan-kegiatan kelompok. Tingkatan fasilitator dalam menciptakan dialog penyelesaian masalah kelompok ialah sejauh mana fasilitator dalam kelompok selalu melakukan dialog bersama sebagai media untuk menyelesaikan masalah-masalah kelompok dalam tahap perencanaan pelaksanaan dan evaluasi kegiatan, sedangkan tingkatan fasilitator dalam memelihara interaksi kelompok ialah sejauh mana fasilitator menciptakan rasa saling menghargai dan menghormati dalam dialog-dialog kelompok. Tingkatan fasilitator dalam melakukan kegiatan refleksi-aksi ialah sejauh mana fasilitator bersama-sama dengan kelompok binaan untuk melihat kondisi sosial, lingkungan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di daerah mereka. Hasil penelitian di lapangan tentang tingkatan dan persentase perilaku komunikasi partisipatif fasilitator disajikan dalam tabel 11. Tabel 11. Tingkatan dan porsentase fasilitator menurut perilaku komunikasi partisipatif program PNPM Mandiri Perkotaan Bandar Lampung Perilaku komunikasi partisipatif Tingkatan Jumlah (%) fasilitator Rendah 9 23,6 Pemberian akses Sedang 13 34,3 Tinggi 16 42,1 38 100 Jumlah Rendah 14 36,9 Dialog (penyelesaian Sedang 9 23,7 Tugas kelompok) Tinggi 15 39,4 38 100 Jumlah Rendah 15 39,4 Dialog (pemeliharaan Sedang 4 10,6 Tinggi 19 50 Interaksi kelompok) 38 100 Jumlah Rendah 12 31,6 Refleksi - aksi Sedang 9 23,7 Tinggi 17 44,7 38 100 Jumlah
58
Berdasarkan tabel di atas sebanyak 42,1% atau sejumlah 16 responden fasilitator memiliki tingkatan paling tinggi dalam memberikan akses kepada kelompok binaannya untuk bersama-sama berpartisipasi dalam perencanaan pelaksanaan dan evaluasi kegiatan kelompok binaan. Dapat dikatakan hampir setengahnya dari responden memiliki tingkatan yang baik dalam memberikan akses kepada kelompok binaannya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan fasilitator memiliki metoda yang baik dalam menciptakan partisipasi bersama melalui pemberian akses kelompoknya hal ini terlihat fasilitator mengundang para relawan dan perwakilan kelompok miskin untuk hadir dalam rembug warga pembentukan FGD, melakukan simulasi refleksi kemiskinan, melaksanakan refleksi kemiskinan, melakukan sosialisasi pemetaan swadaya, serta menjadi mediator - mediator bagi kelompok didalam program PNPM Mandiri Tingkatan
tertinggi
fasilitator
dalam
menciptakan
dialog
dalam
menyelesaikan tugas-tugas kelompok sebesar 39,4% atau sejumlah 15 responden, sedangkan terendah sebesar 36,9% atau sejumlah 14 responden. Untuk tingkatan sedang sebesar 23,7% atau sejumlah 9 responden. Dapat dikatakan sebesar 63% atau hampir tiga perempat responden fasilitator memiliki tingkatan yang baik dalam menciptakan dialog untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok. Hasil pengamatan dilapangan fasilitator mengakui bahwa dialog merupakan media yang tepat untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tujuan bersama dalam kelompoknya. Hal ini terlihat
fasilitator memberi saran, memberi informasi,
memberi pendapat, mencari informasi di setiap rangkaian kegiatan refleksi kemiskinan, pemetaan swadata, pembentukan LKM (lembaga keswadayaan masyarakat), pembentukan KSM (kelompok swadaya masyarakat) Tingkatan tertinggi fasilitator untuk menciptakan pemeliharaan interaksi kelompok dalam dialog kelompok binaan sebesar 50% atau hampir setengah responden fasilitator dengan jumlah 19 resonden. Berdasarkan wawancara dilapangan dengan fasilitator bahwa hampir separuhnya, fasilitator menyadari bahwa sangat penting dalam membina dan memelihara interaksi di dalam kegiatan dialog kelompok karena dengan terciptanya interaksi yang baik, segala sesuatu permasalahan kelompok dapat diselesaikan dengan mudah, walaupun pada pelaksaannya banyak menemui kesulitan. Secara umum fasilitator selalu membina
59
dan memelihara interaksi dengan kelompok binaannya pada saat melakukan dialog. Hal ini terlihat fasilitator sering membuat lelucon dalam dialog, menerima dan meminta saran kepada setiap anggota kelompok Sejumlah 17 responden atau sebesar 44,7% responden fasilitator memiliki tingkatan
yang
tinggi
dalam
melakukan
kegiatan
refleksi-aksi
dengan
kelompoknya, sedangkan sebesar 23,7% atau sejumlah 9 responden fasilitator memiliki tingkatan sedang. Dapat dikatakan hampir tiga perempat responden atau sebesar 68,3% melakukan kegiatan refleksi-aksi dengan baik bersama kelompok binaannya, secara umum seluruh fasilitator melakukan kegiatan refleksi-aksi, karena mereka menyadari dengan melakukan kegiatan refleksi-aksi dapat menyadarkan kelompok binaan untuk mengerti kondisi sosial, lingkungan mereka serta dapat mengidentifikasi faktor penyebab kemiskinan yang terjadi di daerah mereka secara mandiri. Hal ini terlihat fasilitator bersama-sama engan anggota kelompok membentuk tim pemetaan swadaya, merencanakan dan melaksanakan refleksi kemiskinan.
60
Hubungan Karakteristik Fasilitator terhadap Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara karakteristik fasilitator terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Adapun variabel karakteristik fasilitator yaitu pengalaman, pengetahuan nonteknis, pengetahuan teknis dan pendidikan nonformal. Variabel perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, yaitu pemberian akses, dialog penyelesaian tugas, dialog pemeliharaan kelompok dan refleksi aksi. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara kedua variabel tersebut, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman dengan program SPSS 17.0 for windows.
1. Hubungan antara pengalaman terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Dalam pembahasan ini, variabel yang merupakan bagian dari perilaku komunikasi partisipatif ialah pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, dan refleksi aksi, sedangkan variabel yang merupakan bagian dari karakteristik fasilitator ialah pengalaman. Untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel pengalaman terhadap variabel perilaku komunikasi partisipatif, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang pada tabel 12. Tabel 12. Jumlah persentase fasilitator menurut pengalaman dan perilaku komunikasi partisipatif Perilaku Komunikasi Partisipatif Rendah Tinggi Jumlah
Pengalaman (%) Rendah Tinggi 55 33.4 45 66.4 100 100
Berdasarkan tabel 12, bahwa sebesar 55% persen fasilitator yang memiliki pengalaman rendah, memiliki perilaku komunikasi partisipatif rendah, dan sebesar 66,4% fasilitator yang memiliki pengalaman tinggi memiliki perilaku komunikasi yang tinggi. Berdasarkan angka tersebut, dapat dikatakan semakin tinggi pengalaman yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatifnya, sebaliknya semakin rendah pengalaman yang
61
dimiliki fasilitator maka memliki kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partispatifnya. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel pengalaman terhadap variabel perilaku komunikasi partisipatif tersebut, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan anlisis uji korelasi Spearman. Tabel 13. Koefisien korelasi (r) antara pengalaman dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Karakteristik fasilitator Pengalaman Keterangan: *nyata pada α = 0,05
Perilaku komunikasi partisipatif fasilitator r Sig * 0.367 0.024
Berdasarkan tabel 13, dapat dikatakan variabel pengalaman berhubungan nyata positif terhadap perilaku komunikasi partisipatif, dengan nilai signifikansi sebesar 0.024 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif menunjukan semakin tinggi pengalaman fasilitator, memiliki kecenderungan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pengalaman fasilitator, memiliki kecenderungan perilaku komunikasi partisipatif semakin rendah. Hubungan nyata positif tersebut dikarenakan fasilitator memiliki pengalaman dalam menciptakan perilaku komunikasi partisipatif. Pengalaman tersebut berdasarkan data yang diperoleh, terlihat fasilitator pernah mengikuti program P2KP, program kemiskinan Bandar Lampung, dan Gema Tapis. Dengan pengalaman tersebut fasilitator memiliki pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap dalam menciptakan perilaku komunikasi partisipatif, sehingga dapat diterapkan kembali pada PNPM Mandiri. Walaupun hampir separuh dari jumlah fasilitator memiliki waktu pengalaman yang rendah, tetapi memiliki hubungan tehadap perilaku komunikasi partisipatif, apabila lamanya pengalaman yang dimiliki fasilitator semakin tinggi dapat dikatakan, semakin memiliki hubungan yang erat terhadap perilaku komunikasi partisipatifnya. Untuk melihat hubungan antara variabel pengalaman dengan variabel pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok dan refleksi aksi, dilakukan uji analisis korelasi rank Spearman dan didapatkan hasil yang tersaji pada tabel 14.
62
Tabel 14. Koefisien korelasi (r) antara pengalaman dan variabel perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Karakteristik fasilitator
Pengalaman
Perilaku Komunikasi Partisipatif Failitator Dialog Dialog Refleksi Pemberian akses menyelesaikan pemeliharan aksi tugas kelompok kelompok r Sig r Sig r Sig r Sig 0.286 0.082 0.364* 0.025 0.380* 0.019 0.399* 0.013
Keterangan: *nyata pada α = 0,05
Berdasarkan hasil analisis statistik pada tabel 14, dapat dikatakan variabel pengalaman berhubungan nyata positif terhadap dialog dalam menyelesaikan tugas kelompok dengan nilai signifikansi sebesar 0.025 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif menunjukan semakin tinggi pengalaman fasilitator, memiliki kecenderungan proses dialog dalam menyelesaikan tugas kelompok semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pengalaman fasilitator memiliki kecenderungan proses dialog dalam menyelesaikan tugas kelompok semakin rendah. Hubungan nyata positif ini, dikarenakan fasilitator memiliki pengalaman menyelesaikan masalah kelompok dalam bentuk dialog. Dengan pengalaman tersebut dapat diterapkan kembali pada PNPM Mandiri, sehingga dengan mudah menyelesaikan masalah-masalah dalam kelompok. Hal ini terlihat berdasarkan data yang diperoleh, fasilitator kelompok memberikan banyak ide-ide, informasi dan pendapat di saat kegiatan refleksi kemiskinan, pembentukan LKM sebagai wadah sinergi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 14, dapat dikatakan variabel pengalaman berhubungan nyata positif terhadap dialog dalam memelihara kelompok dengan nilai signifikansi sebesar 0.019 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif
menunjukan
semakin
tinggi
pengalaman
fasilitator,
memiliki
kecenderungan proses dialog dalam memelihara kelompok binaan semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pengalaman fasilitator memiliki kecenderungan proses dialog dalam memelihara kelompok binaan semakin rendah. Hubungan nyata positif
ini
dikarenakan
fasilitator
memiliki
pengalaman
dalam
proses
pemeliharaan kelompok. Dengan pengalaman tersebut dapat dengan mudah diterapkan kembali untuk memelihara keseimbangan kelompok pada PNPM Mandiri. Hal ini terlihat berdasarkan data yang diperoleh, fasilitator selalu memberi dan menerima sumbangan ide dan pendapat yang berbeda-beda dari
63
anggota kelompok, serta selalu memberikan lelucon-lelucon yang dapat menciptakan situasi yang hangat di dalam dialog kelompok. Variabel pengalaman juga berhubungan nyata positif terhadap proses refleksi aksi. Hal ini terlihat pada tabel 14, dengan nilai signifikansi sebesar 0.013 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif menunjukan semakin tinggi pengalaman fasilitator, memiliki kecenderungan proses refleksi aksi yang dilakukan fasilitator semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pengalaman fasilitator memiliki kecenderungan proses refleksi aksi yang dilakukan fasilitator semakin semakin rendah. Hubungan nyata positif ini dikarenakan fasilitator memiliki pengalaman dalam proses refleksi aksi. Dengan pengalaman tersebut dapat dengan mudah diterapkan kembali pada PNPM Mandiri. Hal ini terlihat berdasarkan data yang diperoleh, fasilitator mampu mengikutsertakan setiap anggotanya untuk ikut melakukan kegiatan refleksi aksi, dengan membuat sebuah modul yang berisi hasil identifikasi penyebab kemiskinan dan modul analisis kemiskinan di daerahnya. 2. Hubungan antara pengetahuan nonteknis terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Dalam pembahasan ini, variabel yang merupakan bagian dari perilaku komunikasi partisipatif ialah pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, dan refleksi aksi, sedangkan variabel yang merupakan bagian dari karakteristik fasilitator ialah pengetahuan nonteknis. Untuk mengetahui adanya hubungan kedua variabel tersebut dilakukan pengujian melalui tabulasi silang pada tabel 15. Tabel 15. Jumlah persentase fasilitator menurut pengetahuan nonteknis dan perilaku komunikasi partisipatif Perilaku Komunikasi Partisipatif Rendah Tinggi Jumlah
Pengetahuan nonteknis (%) Rendah Tinggi 70.8 22.4 29.2 77.6 100 100
Berdasarkan tabel 15, menunjukan bahwa sebesar 70.8% persen fasilitator yang memiliki pengetahuan nonteknis rendah, memiliki perilaku komunikasi partisipatif rendah, dan sebesar 77.6% fasilitator yang memiliki pengetahuan
64
nonteknis tinggi memiliki perilaku komunikasi yang tinggi. Berdasarkan angka tersebut dapat dikatakan variabel pengetahuan nonteknis memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi partisipatif. Semakin tinggi pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatifnya, sebaliknya semakin rendah pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partispatifnya. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel pengetahuan nonteknis terhadap variabel perilaku komunikasi partisipatif dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil analisis tesebut disajikan pada tabel 16. Tabel 16. Koefisien korelasi (r) antara pengetahuan nonteknis dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Karakteristik fasilitator Pengetahuan nonteknis Keterangan: *nyata pada α = 0,05
Perilaku komunikasi partisipatif fasilitator r Sig 0.330* 0.043
Berdasarkan hasil analisis statistik pada tabel 16, variabel pengetahuan nonteknis berhubungan nyata positif terhadap perilaku komunikasi partisipatif dengan nilai signifikansi sebesar 0.043 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif ini menunjukan semakin tinggi pengetahuan nonteknis fasilitator, memiliki kecenderungan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator semakin tinggi, sebaliknya
semakin
rendah
pengetahuan
nonteknis
fasilitator,
memilki
kecenderungan perilaku komunikasi partisipatif rendah. Hubungan nyata positif ini dikarenakan fasilitator memiliki Pengetahuan nonteknis yang baik untuk menciptakan perilaku komunikasi partisipatif. Dengan pengetahuan tersebut dapat dengan mudah diterapkan pada PNPM Mandiri. Berdasarkan data yang didapatkan, Pengetahuan tersebut diperoleh melalui membaca dan mempelajari pengetahuan-pengetahuan nonteknis melalui literatur yang dimiliki, seperti tugas fasilitator dalam menciptakan partisipasi kelompok, kepemimpinan dalam kelompok atau pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan tugas fasilitator.
65
Hubungan antara variabel pengetahuan nonteknis dengan variabel pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok dan refleksi aksi, didapatkan hasil yang tersaji pada tabel 17. Tabel 17. Koefisien korelasi (r) antara pengetahuan nonteknis dan variabel perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Karakteristik fasilitator Pengetahuan nonteknis
Perilaku Komunikasi Partisipatif Failitator Dialog Refleksi Dialog tugas Pemberian akses pemeliharan aksi kelompok kelompok r Sig r Sig r Sig r Sig 0.355* 0.029 0.304 0.063 0.334* 0.041 0.324* 0.047
Keterangan: *nyata pada α = 0,05
Berdasarkan tabel 17, variabel pengetahuan nonteknis berhubungan nyata positif terhadap proses pemberian akses terhadap kelompok binaan dengan nilai signifikansi sebesar 0.029 pada alpha 5%. Berdasarkan angka tersebut, dapat diartikan bahwa semakin tinggi pengetahuan nonteknis yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi proses pemberian akses terhadap kelompok binaan, sebaliknya semakin rendah pengetahuan nonteknis yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan semakin rendah proses pemberian akses kelompok. Hubungan nyata positif tersebut dikarenakan fasilitator memiliki pengetahuan nonteknis yang berkaitan dengan pemberian akses. Berdasarkan data yang didapatkan, pengetahuan tersebut diperoleh melalui membaca dan mempelajari literatur-literatur
yang berkaitan dengan tugas-tugas dalam
memberikan akses kepada kelompok. Dengan pengetahuan tersebut, dapat dengan mudah diterapkan di kelompoknya, hal ini terlihat fasilitator melakukan sosialisasi mengenai kegiatan pembelajaran swadaya masyarakat kepada masyarakat miskin, memberi kesempatan kepada kelompok masyarakat miskin untuk bergabung dengan tim pemetaan sawadaya. Apabila dikaji berdasarkan tabel 17, dapat dikatakan bahwa variabel pengetahuan nonteknis berhubungan nyata positif terhadap proses dialog dalam memelihara keseimbangan kelompok binaan dengan nilai signifikansi sebesar 0.041 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif menjelaskan, semakin tinggi pengetahuan nonteknis yang dimiliki fasilitator memiliki kecenderungan proses
66
dialog dalam memelihara kelompok semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pengetahuan nonteknis yang dimiliki memiliki kecenderungan proses dialog pemeliharaan kelompok semakin rendah. Hubungan nyata positif ini, dikarenakan fasilitator memiliki pengetahuan nonteknis dalam pemeliharaan kelompok, sehingga dapat diterapkan di kelompoknya pada PNPM Mandiri. Berdasarkan data yang didapatkan, pengetahuan tersebut diperoleh melalui membaca, mempelajari literatur-literatur pribadi maupun literatur PNPM, dan saling bertukar informasi sesama fasilitator yang berkaitan dengan kemampuan dalam memelihara keseimbangan kelompok. Dengan pengetahuan tersebut, dapat dengan mudah diterapkan di kelompoknya, hal ini terlihat fasilitator selalu menghargai proses dialog dengan mendengarkan setiap anggota kelompok berbicara, mendengarkan ide-ide yang diberikan anggota kelompok, serta membantu dalam memberikan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan pribadi anggota kelompok. Pada tabel 17, dapat dikatakan variabel pengetahuan nonteknis berhubungan nyata positif terhadap refleksi aksi dengan nilai signifikansi sebesar 0.047 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif menjelaskan, semakin tinggi pengetahuan nonteknis yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan proses refleksi aksi semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pengetahuan nonteknis yang dimiliki memiliki kecenderungan proses refleksi aksi semakin rendah. Hubungan nyata positif ini dikarenakan fasilitator memiliki pengetahuan nonteknis yang berkaitan dengan proses refleksi aksi. Berdasarkan data yang didapatkan, pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempelajari literatur-literatur tambahan dan literatur pribadi mengenai kegiatan refleksi aksi. Hal ini terlihat dari literatur-literatur yang dimiliki faskel mengenai dasar-dasar dalam melakukan kegiatan pemetaan kemiskinan. Dengan pengetahuan tersebut, fasilitator dapat dengan mudah menerapkan dalam kelompok pada PNPM Mandiri. 3. Hubungan antara pengetahuan teknis terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator sebagai pemimpin, merupakan pengetahuan dan kemampuan dalam menguasai hal-hal teknis. Fasilitator sebagai pemimpin kelompok tidak cukup hanya memiliki kemampuan non teknis saja,
67
tetapi juga harus memiliki kemampuan teknis. Dalam kegiatan PNPM selalu melibatkan hal-hal teknis, seperti pembuatan surat, proposal, kemampuan dalam pendataan keuangan, serta penyusunan kegiatan pembangunan infrastruktur atau yang berkaitan dengan administrasi kegiatan kelompok binaan. Untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel pengetahuan teknis terhadap variabel perilaku komunikasi partisipatif, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang pada tabel 18. Tabel 18. Jumlah persentase fasilitator menurut pengetahuan teknis dan perilaku komunikasi partisipatif Pengetahuan teknis (%) Rendah Tinggi 61.6 18.8 38.4 81.2 100 100
Perilaku Komunikasi Partisipatif Rendah Tinggi Jumlah
Berdasarkan tabel 18, menunjukan bahwa sebesar 61.6% persen responden faskel yang memiliki pengetahuan teknis rendah, memiliki perilaku komunikasi partisipatif rendah, dan sebesar 81.2% responden faskel yang memiliki pengetahuan teknis tinggi memiliki perilaku komunikasi yang tinggi. Berdasarkan angka tersebut, dapat dikatakan, semakin tinggi pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator, maka memiliki kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatifnya, sebaliknya semakin rendah pengetahuan teknis fasilitator, memiliki kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partispatifnya. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel pengetahuan teknis terhadap variabel perilaku komunikasi partisipatif, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil uji analisis tersebut, tersaji pada tabel 19. Tabel 19. Koefisien korelasi (r) antara pengetahuan teknis dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Karakterisrik fasilitator Pengetahuan teknis
Perilaku komunikasi partisipatif fasilitator r Sig 0.431** 0.007
Keterangan: ** sangat nyata pada α = 0,01
Berdasarkan tabel 19, dapat dikatakan variabel pengetahuan teknis dan variabel perilaku komunikasi partisipatif berhubungan sangat nyata positif dengan
68
nilai signifikansi sebesar 0.007 pada alpha 1%. Hubungan sangat nyata positif ini menjelaskan semakin tinggi pengetahuan non teknis fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator sebaliknya
semakin
rendah
pengetahuan
teknis
fasilitator,
memiliki
kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partisipatifnya. Hubungan sangat nyata tersebut, dikarenakan fasilitator memiliki pengetahuan teknis yang berkaitan dengan perilaku komunikasi partisipatif. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui mempelajari dan bertukar informasi yang berkaitan dengan kemampuan teknis seperti literatur teknis, pembuatan format proposal, pembuatan surat undangan, pembuatan brosur, literatur format administrasi, serta
format penyusuanan anggaran pembangunan infrastrukur.
Dengan pengetahuan tersebut dapat dengan diterapkan dalam kelompok pada PNPM Mandiri. Apabila dianalisis lebih lanjut hubungan antara variabel pengetahuan teknis dengan variabel pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok dan refleksi aksi, didapatkan hasil yang tersaji pada tabel 20. Tabel 20. Koefisien korelasi (r) antara pengetahuan teknis dan perilaku variabel komunikasi partisipatif fasilitator Karakteristik fasilitator Pengetahuan teknis
Perilaku Komunikasi Partisipatif Failitator Dialog Dialog Refleksi Pemberian akses menyelesaikan pemeliharan aksi tugas kelompok kelompok r Sig r Sig r Sig r Sig 0.334* 0.041 0.344* 0.043 0.452** 0.004 0.494** 0.002
Keterangan: *nyata pada α = 0,05. **sangat nyata pada α = 0,01
Berdasarkan hasil analisis statistik pada tabel 20, dapat dikatakan variabel pengetahuan teknis berhubungan nyata positif terhadap proses pemberian akses terhadap kelompok binaan, dengan nilai signifikansi sebesar 0.041 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif menjelaskan, semakin tinggi pengetahuan teknis fasilitator maka memiliki kecenderungan proses pemberian akses semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya semakin rendah pengetahuan teknis fasilitator, maka memiliki kecenderungan semakin rendah proses pemberian akses.
69
Hubungan nyata ini tersebut dikarenakan, fasilitator memiliki kemampuan teknis yang diterapkan dalam proses pemberian akses kelompok. Berdasarkan data yang didapatkan, pengetahuan tersebut diperoleh melalui membaca literatur teknis dan bertukar informasi sesama fasilitator. Dengan pengetahuan tersebut dapat dengan mudah diterapkan dalam kelompok binaannya, hal ini terlihat fasilitator menyiapkan agenda-agenda persiapan kegiatan kelompok swadaya masyarakat, menyiapkan undangan dan brosur dalam sosialisasi pemetaan swadaya masyarakat. Berdasarkan tabel 20, dapat dikatakan variabel pengetahuan teknis berhubungan nyata positif terhadap proses dialog menyelesaikan tugas kelompok binaan dengan nilai signifikansi sebesar 0.043 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif memberikan arti, bahwa semakin tinggi pengetahuan teknis fasilitator memiliki kecenderungan proses dialog menyelesaikan tugas kelompok semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pengetahuan teknis fasilitator memiliki kecenderungan proses dialog menyelesaikan tugas semakin rendah. Hubungan nyata positif ini dikarenakan setiap dialog menyelesaikan tugas atau permasalahan kelompok selalu membutuhkan kemampuan teknis. Fasilitator yang memiliki kemampuan teknis akan mempermudah menyelesaikan tugas kelompoknya. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, proses teknis diperlukan dalam menyelesaikan tugas dalam kegiatan kelompok, seperti menjelaskan siklus pembutan rencana kerja tindak lanjut, memberikan metoda baru untuk identifikasi masalah, dan pembuatan catatan evaluasi dari proses rapat mingguan. Apabila dikaji berdasarkan tabel 20, dapat dikatakan sudah memiliki bukti variabel pengetahuan teknis berhubungan sangat nyata positif terhadap proses dialog pemeliharaan kelompok binaan dengan nilai signifikansi sebesar 0.004 pada alpha1%. Hubungan sangat nyata positif memberikan arti semakin tinggi pengetahuan teknis fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi proses dialog memelihara kelompok, sebaliknya semakin rendah pengetahuan teknis fasilitator. Memiliki kecenderungan semakin rendah proses dialog dalam memlihara kelompok.
70
Hubungan sangat nyata positif tersebut, dikarenakan fasilitator memiliki pengetahuan teknis dalam proses pemeliharaan kelompok. Berdasarkan data yang didapatkan, pengetahuan tersebut diperoleh melalui membaca literatur atau pedoman-pedoman teknis. Dengan pengetahuan tersebut dapat dengan mudah diterapkan dalam kelompok pada PNPM Mandiri, hal ini terlihat fasilitator menyiapkan hal teknis seperti permainan-permainan dari kertas, serta membuat buku untuk mencatat ide-ide yang diberikan anggota kelompok. Pada tabel 20 menunjukan variabel pengetahuan teknis berhubungan sangat nyata positif terhadap proses refleksi aksi dengan nilai signifikansi sebesar 0.002 pada alpha 1%. Hal ini dapat diartikan semakin tinggi pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi proses refleksi aksi, sebaliknya semakin rendah pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator, memiliki kecenderungan semakin rendah proses refleksi aksi. Hubungan nyata positif ini dikarenakan, pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator dibutuhkan dalam kegiatan refleksi aksi. Pengetahuan teknis yang dimiliki fasilitator diperoleh melalui membaca dan mempelajari literatur-literatur maupun saling bertukar informasi yang berkaitan dengan kemampuan teknis. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, fasilitator melakukan kegiatan teknis dalam refleksi aksi, seperti membuat format untuk pengidentifikasian faktor kemiskinan, pembuatan format rencana tindak lanjut setelah kegiatan refelksi aksi selesai dilakukan. 4. Hubungan antara pendidikan nonformal terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Dalam pembahasan ini variabel yang merupakan bagian dari perilaku komunikasi partisipatif ialah pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, dan refleksi aksi, sedangkan variabel yang merupakan bagian dari karakteristik fasilitator ialah pendidikan nonformal. Untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel pengalaman terhadap variabel perilaku komunikasi partisipatif, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang pada tabel 21.
71
Tabel 21. Jumlah persentase fasilitator menurut pengetahuan teknis dan perilaku komunikasi partisipatif. Pengetahuan teknis (%) Rendah Tinggi 63.3 26.1 36.4 73.9 100% 100%
Perilaku Komunikasi Partisipatif Rendah Tinggi Jumlah
Berdasarkan tabel 21, menunjukan bahwa sebesar 63.3% persen fasilitator yang memiliki pendidikan nonformal rendah, memiliki perilaku komunikasi partisipatif rendah, dan sebesar 73.9% fasilitator yang memiliki pendidikan nonformal tinggi memiliki perilaku komunikasi yang tinggi. Berdasarkan angka tersebut dapat dikatakan semakin tinnggi pendidikan nonformal fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatifnya, sebaliknya
semakin
rendah
pendidikan
nonformal
fasilitator,
memiliki
kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partispatifnya. Untuk melihat hubungan antara variabel pengetahuan teknis terhadap perilaku komunikasi partisipatif tersebut, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil uji analisis tersebut, tersaji pada tabel 22. Tabel 22. Koefisien korelasi (r) antara pendidikan nonformal dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Karakteristik fasilitator Pendidikan nonformal Keterangan: * nyata pada α = 0,05
Perilaku komunikasi partisipatif fasilitator r Sig 0.383* 0.018
Berdasarkan hasil analisis statistik pada tabel 22, dapat dikatakan memiliki cukup bukti variabel pendidikan nonformal berhubungan nyata positif terhadap perilaku komunikasi partisipatif dengan nilai signifikansi sebesar 0.018 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif ini menjelaskan bahwa, semakin tinggi pendidikan nonformal fasilitator, memiliki kecenderungan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pendidikan nonformal fasilitator, memiliki kecenderungan perilaku komunikasi partisipatif semakin rendah. Hubungan nyata positif ini, dikarenakan fasilitator memiliki kemampuan dalam menciptakan perilaku komunikasi partisipatif, yang diperoleh melalui
72
pendidikan nonformal yang diikuti. Pendidikan nonformal tersebut diikuti melalui pelatihan-pelatihan mengenai tugas dan fungsi pemimpin dalam menciptakan partisipasi kelompok. Pada pelatihan tersebut, fasilitator mendapatkan materi metoda penyelesaian masalah kelompok, sehingga setelah mendapatkan materi tersebut dapat diterapkan pada kelompok di PNPM Mandiri. Dalam pembahasan ini, peneliti juga menganalisis hubungan variabel pendidikan nonformal terhadap variabel pemberian akses, dialog menyelesaikan masalah kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, dan proses refleksi aksi. Hasil analisis hubungan variabel tersebut disajikan dalam tabel 23. Tabel 23. Koefisien korelasi (r) antara pendidikan nonformal dan perilaku variabel komunikasi partisipatif fasilitator Karakteristik fasilitator Pendidikan nonformal
Perilaku Komunikasi Partisipatif Failitator Dialog Dialog Refleksi Pemberian akses menyelesaikan pemeliharan aksi tugas kelompok kelompok r Sig r Sig r Sig r Sig 0.377* 0.020 0.383* 0.018 0.393* 0.014 0.352* 0.030
Keterangan: *nyata pada α = 0,05.
Berdasarkan tabel 23, dapat dikatakan memiliki cukup bukti untuk variabel pendidikan nonformal berhubungan nyata positif terhadap proses pemberian akses terhadap kelompok binaan dengan nilai signifikansi sebesar 0.020 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif tersebut dapat diartikan semakin tinggi pendidikan nonformal yang diikuti fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi proses pemberian akses terhadap kelompok, sebaliknya semakin rendah pendidikan nonformal yang diikuti fasilitator, memilik kecenderungan semakin rendah proses pemberian akses terhadap kelompok. Hubungan nyata positif ini, dikarenakan fasilitator mendapat materi metoda pemberian akses, disaat mengikuti pendidikan nonformal. Dengan materi tersebut dapat dengan mudah diterapkan di dalam kelompoknya. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat fasilitator mampu mengajak kelompoknya untuk berpartisipasi dalam kegiatan simulasi refleksi aksi, kegiatan pemetaan swadaya, kegiatan FGD masalah kemiskinan. Berdasarkan tabel 23, dapat dikatakan memiliki cukup bukti variabel pendidikan nonformal berhubungan nyata positif terhadap pross dialog
73
menyelesaikan tugas kelompok, dengan nilai signifikansi sebesar 0.018 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif ini memiliki arti, semakin tinggi pendidikan nonformal yang diikuti fasilitator, memiliki kecenderungan semakin tinggi proses dialog menyelesaikan tugas kelompok, sebaliknya semakin rendah pendidikan nonformal yang diikuti, memiliki kecenderungan semakin rendah proses dialog menyelesaikan tugas kelompok. Hubungan nyata positif ini, dikarenakan fasilitator mendapatkan materi yang bekaitan dengan penyelesaian tugas kelompok. Dengan materi tersebut dapat dengan mudah menerapkannya pada kelompok binaan. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat fasilitator selalu memberikan saran, informasi, pendapat dalam mnyelesaikan masalah-masalah kelompok. Apabila dikaji berdasarkan tabel 23, dapat ditunjukan sudah memiliki bukti variabel pendidikan nonformal berhubungan nyata positif terhadap proses dialog pemeliharaan kelompok, dengan nilai signifikansi sebesar 0.014. Hubungan nyata positif ini memiliki arti, semakin tinggi pendidikan nonformal fasilitator memiliki kecenderungan semakin tinggi proses dialog pemeliharaan kelompok, sebaliknya
semakin
rendah
pendidikan
nonformal
fasilitator,
memiliki
kecenderungan semakin rendah proses dialog pemeliharaan kelompok. Hubungan nyata positif tersebut, dikarenakan fasilitator mendapat materi dalam memelihara keseimbangan kelompok, yang diperoleh melalui pendidikan nonformal yang diikuti. Dengan materi tersebut dapat diterapkan untuk memelihara keseimbangan dalam kelompoknya. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat fasilitator selalu memberikan lelucon untuk mencairkan suasana ketegangan kelompok, seperti memberikan kesempatan kepada seluruh anggota untuk memberikan pendapatnya, mendengarkan pendapat yang dikeluarkan setiap anggota. Pelatihan-pelatihan yang diikuti fasilitator bermanfaat untuk memelihara keseimbangan kelompok, sehingga mempermudah dalam mencapai tujuan kelompok. Pada tabel 23, dapat dikatakan variabel pendidikan nonformal dan proses refleksi aksi berhubungan nyata positif, dengan nilai signifikansi sebesar 0.030 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif ini memiliki arti, semakin tinggi pendidikan nonformal fasilitator memiliki kecenderungan semakin tinggi proses
74
refleksi aksi, sebaliknya semakin rendah pendidikan nonformal fasilitator, memberikan kecenderungan semakin rendah proses refleksi aksi. Hubungan nyata positif ini dikarenakan, fasilitator mendapat materi proses refleksi aksi melalui pendidikan nonformal yang diikuti, sehingga dapat dengan mudah diterapkan dalam kelompoknya pada PNPM Mandiri. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat fasilitator mempraktekkan pembuatan format refleksi aksi, pembuatan format pengidentifikasian faktor-faktor kemiskinan bersama kelompoknya. Dari penjelasan hubungan antara karakteristik fasilitator dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang di ajukan (H1) diterima. Hubungan Peran Fasilitator terhadap Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator Fasilitator, sebagai pemimpin harus mengetahui peran dan tugasnya di dalam kelompok yang dibina, salah satunya ialah peran fasilitatif. Hal ini sejalan dengan Ife (1995), yaitu salah satu peran fasilitator adalah peran fasilitatif, dimana bertugas membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat, mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar. Dengan memahami peran fasilitatif, maka dapat dengan mudah menciptakan perilaku komunikasi partisipatif pada rangkaian kegiatan PNPM Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara peran fasilitator terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Untuk mengetahui adanya hubungan antara kedua variabel tersebut, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang pada tabel 24. Tabel 24. Jumlah persentase fasilitator peran fasilitatif dan perilaku komunikasi partisipatif Perilaku Komunikasi Partisipatif Rendah Tinggi Jumlah
Peran fasilitatif (%) Rendah Tinggi 55 30 45 70 100 100
Berdasarkan tabel 24, bahwa sebesar 55% persen
fasilitator yang
memahami peran fasilitatif rendah, memiliki perilaku komunikasi partisipatif
75
rendah, dan sebesar 70% fasilitator yang memahami peran fasilitatif tinggi, memiliki perilaku komunikasi partisipatif yang tinggi. Berdasarkan angka tersebut dapat dikatakan semakin tinggi peran fasilitatif, maka memiliki kecenderungan semakin tinggi perilaku komunikasi partisipatifnya, sebaliknya semakin rendah peran fasilitatif, memiliki kecenderungan semakin rendah perilaku komunikasi partispatifnya. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel peran fasilitatif terhadap perilaku komunikasi partisipatif tersebut dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil analisis disajikan pada tabel 25. Tabel 25. Koefisien korelasi (r) antara peran fasilitatif dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Peran fasilitator Peran fasilitatif
Keterangan: *nyata pada α = 0,05
Perilaku komunikasi partisipatif fasilitator r Sig 0.407* 0.011
Berdasarkan hasil analisis statistik pada tabel 25, dapat dikatakan variabel peran fasilitatif berhubungan nyata positif terhadap perilaku komunikasi partisipatif dengan nilai signifikansi sebesar 0.011 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif ini menjelaskan bahwa, semakin tinggi fasilitatif, memiliki kecenderungan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah peran fasilitatif, memiliki kecendrungan semakin rendah perilaku komunikasi partisipatifnya. Hubungan nyata positif ini dikarenakan, sebagai pemimpin kelompok, fasilitator memahami perannya sebagai orang yang memfasilitasi anggota dalam menyelesaikan kegiatan di PNPM Mandiri. Dengan peran tesebut dapat dengan mudah dalam menjalankan proses pemberian akses, dialog menyelesaikan masalah kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, serta proses refleksi aksi. Untuk melihat hubungan variabel peran fasilitatif dan variabel pemberian akses, dialog menyelesaikan masalah kelompok,, dialog pemeliharaan kelompok, serta proses refleksi aksi, digunakan uji analisis korelasi Spearman. Hasil analisis tersebut disajikan pada tabel 26.
76
Tabel 26. Koefisien korelasi (r) antara peran fasilitatif dan variabel perilaku komunikasi partisipatif fasilitator Peran fasilitator Peran fasilitatif
Perilaku Komunikasi Partisipatif Failitator Dialog Dialog Refleksi Pemberian akses menyelesaikan pemeliharan aksi tugas kelompok kelompok r Sig r Sig r Sig r Sig 0.337* 0.038 0.386* 0.017 0.454** 0.004 0.349* 0.032
Keterangan: *nyata pada α = 0,05. ** sangat nyata pada α = 0,01
Berdasarkan Tabel 26, dikatakan memiliki cukup bukti untuk variabel peran fasilitatif berhubungan nyata positif terhadap proses pemberian akses terhadap kelompok binaan dengan nilai signifikansi sebesar 0.038 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif menjelaskan, semakin tinggi peran fasilitatif, memiliki kecenderungan semakin tinggi proses pemberian aksesnya, sebaliknya semakin rendah peran fasilitatif, memiliki kecenderungan semakin rendah proses pemberian akses terhadap kelompok. Hubungan nyata positif ini, dikarenakan fasilitator memahami salah satu peran fasilitatif, ialah membantu anggota kelompok untuk ikut berpartisipasi dengan proses pemberian akses dalam kegiatan. Berdasarkan data yang diperoleh, fasilitator selalu memberikan akses untuk mempermudah kegiatan kelompok, seperti membantu persiapan refleksi kemiskinan, membantu persiapan kegiatan LKM, serta memberi kesempatan kepada anggota untuk bergabung dalam pemetaan swadaya. Peran fasilitatif berhubungan nyata positif terhadap proses dialog menyelesaikan masalah kelompok. Terlihat pada tabel 26, menunjukan nilai signifikansi kedua variabel tesebut sebesar 0.017 pada alpha 5%. Artinya semakin tinggi peran fasilitatif, maka memilki kecenderungan semakin tinggi proses dialog dalam menyelesaikan masalah kelompok, sebaliknya semakin rendah peran fasilitatif memiliki kecenderungan semakin rendah proses dialog menyelesaiakan masalah kelompok. Hubungan nyata positif tersebut, dikarenakan fasilitator memahami salah satu peran fasilitatif, yaitu bersama-sama menyelesaikan masalah. Dengan mengetahui peran tersebut dapat dengan mudah menyelesaiakan masalah kelompok. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat fasilitator memberikan
77
informasi, pendapat dan solusi terhadap anggota kelompok dalam menyelesaikan permasalahan kelompok. Pada tabel 26, dapat dikatakan sudah memiliki bukti variabel peran fasilitatif berhubungan sangat nyata positif tehadap proses dialog pemeliharaan kelompok, dengan nilai signifikansi sebesar 0.004 pada alpha 1%. Hubungan nyata postif ini menjelaskan, bahwa semakin tinggi peran fasilitatif memiliki kecenderungan semakin tinggi proses dialog pemeliharaan kelompok, sebaliknya semakin rendah peran fasilitatif memiliki kecenderungan semakin rendah proses dialog pemeliharaan kelompok. Hubungan
nyata
positif
ini,
dikarenakan
fasilitator
menyadari
ketidakmampuan fasilitator untuk menjaga keseimbangan kelompok akan membuat ketegangan, sehingga dengan memahami peran fasilitatif dapat dengan mudah mememlihara kelompok. Hal ini terlihat, berdasarkan data yang diperoleh, fasilitator mendengarkan dan meminta setiap pendapat yang diberikan anggota. Peran fasilitatif fasilitator berhubungan nyata positif terhadap proses refleksi aksi dengan nilai signifikansi sebesar 0.032 pada alpha 5%. Hubungan nyata positif ini menjelaskan semakin tinggi peran fasilitatif memiliki kecenderungan semakin tinggi proses refleksi aksi, sebaliknya semakin rendah peran fasilitatif memiliki kecenderungan proses refleksi aksi semakin rendah. Hubungan nyata positif ini, dikarenakan fasilitator memahami bagian dari perannya yaitu memberikan rangsangan, dan semangat terhadap anggota sehingga mampu bertindak dalam sebuah kegiatan refleksi aksi. Dengan memahami perannya maka dapat dengan mudah menjalakan kegiatan tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat terbentuknya hasil identifkasi faktor-faktor kemiskinan dalam refleksi aksi. Dari penjelasan hubungan antara peran fasilitator dan perilaku komunikasi partisipatif, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang di ajukan (H2) diterima.