m S I L DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian Hasil analisis indikator-indikator sosial-ekonomi makro terpilih, sebagai penentu perubahan perilaku sosial, dan ekonomi petani Q pedesaan adalah: jumlah rumah tangga pertanian, jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan (PPL) yang h a n g dari 0,50 ha, nilai tukar petani (NTP) kontribusi sektor pertanian terhadap "product domestic bruto " dan jumlah penduduk, Qsajikan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1. InQkator-inQkator makro sosial ekonomi di Provinsi Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat OIJTB)
Keterangan: RTP = Rumah tangga petani satuan RTP, jumlah RTP Indonesia x 100 RTP, dan Jawa Timur x !O RTP; angka dalarn kurung dalarn % (BPS, 1983; 1993); PL= Penguasaan lahan pertanian dibawah 0,5 ha, satuan % (BPS, 1983; 1993); PPL = Rumah tangga pertanian pengguna lahan satuan %; NTP = Nilai tukar petani (BPS, 97; 98; 99; 00; Mulyono, 2001); PDRB = Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB satuan % (BPS, 98); PDDK = Jumlah penduduk x 1000 orang (BPS, 98).
Indonesia Pada tahun 1983, selutar 21,20 juta rumah tangga (65,70 %) dan jumlah total rumah tangga di Indonesia bekerja di sektor pertanian dan 91, 98 % di antaranya terdiri atas rumah tangga pertanian pengguna lahan (PPL) (BPS, 1983). Berdasarkan hasil sensus pertanian 1993, jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia selutar 21, 70 juta atau selutar 58, 37 % dari total rumah tangga dan 97,OO % di antaranya terdiri atas rumah tangga pertanian pengguna lahan (BPS, 1993). Dalam kurun waktu sepuluh tahun, jumlah rumah tangga pertanian menwun 7,33 %, tetapi jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan (PPL) meningkat dari 91,98 % pada tahun 1983, menjadi 97,OO % pada tahun 1993. Informasi tersebut menggambarkan bahwa sebagan besar rurnah tangga pertanian di pedesaan, menekuni usaha pertanian yang berbasis lahan, baik lahan sawah maupun lahan kering. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk telah menekan sektor pertanian dari waktu ke waktu. Dalam kwun waktu sepuluh tahun jumlah rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0, 50 ha, meningkat dari 36,67 % pada tahun 1983, menjadi 5 1,41 % pada tahun 1993. Penyempitan penguasaan lahan pertanian berpengaruh pada kualitas interaksi antara petani dengan lahannya atau pertambahan penduduk menekan petani untuk menyesuaikan strategi adaptasinya agar tetap bertahan hidup.
Proviusi Jawa Timur Tabel 4.1 menunjukkan bahwa faktor produksi utarna sektor pertanian 1 Jawa Timur adalah lahan pertanian. Berdasarkan hasil pendaftaran rumah tangga sensus pertanian 1993 tercatat 7,11 juta rurnah tangga dan 59,70 % di antaranya terdiri atas rurnah tangga pertanian. Dari jumlah rumah tangga pertanian tersebut 96,17 % adalah rumah tangga PPL. Dalam kurun waktu 10 tahun rumah tangga pertanian meningkat 4,44 % dan rumah tangga petani pengguna lahan meningkat
9,38 % (BPS Jatim, 1993). Hal ini mengakibatkan rasio lahan dengan rurnah tangga pertanian semakin kecil. Kecilnya rasio lahan dengan petani ditambah dengan peningkatan kuantitas dan kualitas kebutuhan petani, secara sinergs memaksa petani mengubah strateg adaptasinya untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan keluarganya. Dengan meningkatnya jumlah rumah tangga PPL dalam kurun waktu 10 tahun, menyebabkan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,50 ha, yaitu dan 60,67 % pada tahun 1983 menjadi 68,98 % pada tahun 1993. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata penguasaan lahan pertanian m e n m dan 0,59 ha pada tahun 1983, menjadi 0,48 ha pada tahun 1993. Informasi-infonnasi ini memberikan gambaran tentang peningkatan beban sektor pertanian dalam perekonomian di pedesaan Provinsi Jawa Timur. Hal ini mempengaruhi perilaku sosial ekonomi dan kualitas kehidupan para petani. Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani. Nilai tukar petani di Jawa Timur dari tahm 1995-1999 nilainya di atas 100, tetapi pada tahun 2000, NTP Jawa Timur turun di bawah 100 (BPS, 1999). Hal ini menunjukkan p e n m a n tingkat kesejahteraan petani di Jawa Timur. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di Jawa Timur berkisar 15,OO-18,OO % dalam kurun waktu lima tahun, sedangkan jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian berlusar 59,lO %. Hal ini mengindikasikan produktivitas sektor pertanian relatif lebih rendah dan produktivitas sektor lain atau telah teja& ketimpangan produktivitas antar sektor. Kondisi seperti ini menarnbah
kompleksitas
pennasalahan yang
hams
dipecahkan
untuk
meningkatkan harkat dan martabat para petani. Dengan keterbatasan sumberdaya yang dlkuasai oleh para petani, salah satu jalan untuk meningkatkan harkat dan martabat para petani adalah melalui upaya peningkatan kualitas sumberdaya petaninya sendiri.
Provinsi Lampung Tabel 4.1 menunjukkan bahwa faktor produksi utama sektor pertanian di Lampung adalah lahan pertanian. Berdasarkan hasil pendaftaran rumah tangga sensus pertanian 1993 tercatat 1,34 juta rumah tangga dan 72,24 % di antaranya adalah rumah tangga pertanian. Dari rumah tangga pertanian tersebut 99,49 % adalah rumah tangga pertanian pengguna lahan (PPL). Kalau hasil sensus pertanian 1983 (ST 83) dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 1993 (ST 93), dalam kurun waktu 10 tahun, rumah tangga pertanian meningkat sekitar 33,68 % dan rumah tangga PPL meningkat 1,23 % (BPS Lampung, 1993). Hal ini
mengakibatkan rasio lahan dengan rurnah tangga pertanian semakin kecil, walaupun tidak sekecil Provinsi Jawa Timur. Kecilnya rasio lahan dengan petani ditambah dengan peningkatan kuantitas dan kualitas kebutuhan petani secara sinergs memaksa petani mengubah strategi adaptasinya untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan keluarganya. Peningkatan jumlah rumah tangga PPL dalam kurun waktu 10 tahun, menyebabkan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,50 ha yaitu dari 20,13 % pada tahun 1983 menjadi 23,18 % pada tahun 1993. Rata-rata penguasaan lahan pertanian menurun dari 1,28 ha pada tahun 1983, menjadi 1,15 ha pada tahun 1993. Informasi-informasi ini memberikan gambaran tentang peningkatan beban sektor pertanian dalam perekonomian di pedesaan Lampung. Hal ini mempengaruhi perilaku sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan para petani.
NTP merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani. NTP di Provinsi Lampung clan tahun 1995-2001, selalu berada dibawah 100 (BPS, 1999).
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani di Lampung relatif rendah dan terus menurun sejak 1999. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di Lampung berkisar 30,OO-35,OO % dalam kurun waktu lima tahun, sedangkan jurnlah rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian berkisar 72,lO %. Hal ini
menginddcasikan produktivitas sektor perZanian relatif lebih rendah dari produktivitas sektor lain atau telah terjadi ketimpangan produktivitas antar sektor. Kondisi seperti ini menambah kompleksitas per masdahan yang hams dipecahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat para petani. Dengan keterbatasan sumberdaya yang dikuasai oleh para petani, salah satu jalan untuk meningkatkan harkat dan martabat para petani adalah melalui upaya peningkatan kualitas sumberdaya petaninya sendiri.
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tabel 4.1 menunjukkan bahwa faktor produksi utama sektor pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah lahan pertanian. Berdasarkan hasil pendakan rumah tangga sensus pertanian 1993 tercatat 804700 rumah tangga
dan 55,19% di antaranya adalah rumah tangga pertanian. Dari rumah tangga pertanian tersebut 95,71 % terdiri atas rumah tangga PPL. Kalau hasil sensus pertanian 1983 (ST 83) dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 1993 (ST 93), dalam kurun waktu 10 tahun rumah tangga pertani- an menurun sekitar 5,75%, tetapi rumah tangga PPL meningkat 21,68 % (BPS NTB, 1993). Hal ini mengakibatkan rasio lahan dengan rumah tangga pertanian semalun kecil. Kecilnya rasio lahan dengan petani ditambah dengan peningkatan kuantitas dan kualitas kebutuhan petani secara sinergis memaksa petani mengubah strategi adaptasinya untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehdupan keluarganya. Dengan meningkatnya jumlah rumah tangga PPL dalam kurun waktu 10 tahun, menyebabkan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,50 ha yaitu dan 4439 % pada tahun 1983 menjah 51,54 % pada tahun 1993. Informasi-informasi ini memberikan gambaran tentang peningkatan beban sektor pertanian dalam perekonomian di pedesaan Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Hal ini mempengaruhi perubahan perilaku sosial ekonomi dan kualitas kehidupan para petani.
NTP sebagai salah satu indkator tingkat kesejahteraan petani, di Nusa Tenggara Barat dari tahun 1995-2001 terus meningkat sampai dengan tahun 2997 (BPS, 1999). Sejak tahun 1998, NTP Nusa Tenggara Barat mulai menurun sampai di bawah 100 pada tahun 2001. Hal ini menunjukkan penurunan tingkat kesejahteraan petani di Provinsi Nusa Tenggara Barat dimulai sejak tahun 1998. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di Nusa Tenggara Barat berkisar 35,OO-36,OO % dalam kurun waktu lima tahun, sedangkan jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian berkisar 56,43 %. Hal ini mengindikasikan produktivitas sektor pertanian relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas sektor lain atau telah tejadi ketimpangan produktivitas antar sektor. Kondisi seperti ini menambah kompleksitas permasalahan yang hams &pecahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat para petani. Dengan keterbatasan sumberdaya yang dikuasai oleh para petani, salah satu jalan untuk meningkatkan harkat dan martabat para petani adalah melalui upaya peningkatan kualitas sumberdaya petaninya sendiri. Pada aras nasional peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja dapat hlihat dari persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada berbagai sektor. BPS (2000a) menunjukkan bahwa 45,28 % bekeja di sektor pertanian; 12,96 % bekerja di sektor industri; 20,58 % bekerja di sektor perdagangan dan 10,53 % bekerja di sektor lain-lain. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB selutar 16,60 % dalam kurun waktu 1994-1999 (Saragih, 2000). Dengan demikian fenomena-fenomena di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat relatif konsisten dengan fenomena-fenomena tingkat Nasional. Uraian tersebut di atas memberikan garnbaran bahwa perubahanperubahan indikator sosial-ekonomi yang telah tejadi pada aras makro akan
berdampak pada kualitas dinamika masyarakat tani di pedesaan. Karena secara umum desa-desa di dunia saat ini sudah relatif terbuka (Popkin, 1986). Boserup (Sanderson, 2000) percaya bahwa kondisi penting yang memaksa manusia untuk meningkatkan teknologinya adalah tekanan penduduk. Tekanan penduduk muncul ketika pertumbuhan penduduk menekan sumberdayanya. Untuk mempertahankan standar hidup sebagai akibat dari tekanan penduduk terhadap sumberdayanya maka manusia harus menyesuaikan strategi adaptasinya. Berry et al. (1999) dalam Gambar 4.1 menghubungkan konteks budaya dan
+
Penginuh Ekologis
A Adaptasi Biologis
+ -
Pemindahan Genetik
Perilaku Teramati
-
--Pewarisan Buda~a
+ Adaptasi Budaya
CiriCiri
yang Terslmpulkan
I -
Akulturasi
Gambar 4.1. Hubungan antara %I
ekologis d m sosio-politis terhadap perubahan perilaku inhvidu
ekologis pada aras populasi terhadap keluaran perilaku teramati pada aras individu. Perilaku salah satu wujud budaya diwariskan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi. Dengan paradigma tentang manusia yang reflektif, Eckensberger (Berry et al., 1999) menjelaskan perubahan dan perkembangan in&vidu dapat dipahami sebagai luaran-luaran transaksi dialektik dengan lingkungan fisik terutama lingkungan sosial. Manusia tidak hanya dibentuk oleh lingkungannya, tetapi manusia juga membentuk lingkungannya, manusia merefleksikannya dan dapat mengubah daur kejadian melalui aksi-aksinya.
Dengan paradlgma tentang manusia yang reflektif (Eckensberger, 1979) mengembangkan teori aksi sebagai perilaku dalam konteks. Teori ini &pat dipergunakan untuk memahami aspek-aspek unik kejadian-kejadian perilaku individu. Ada empat aspek esensial dalam teori tindakan: pertama, perilaku distrukturkan beberapa tujuan masa depan; kedua, ada suatu pilihan di antara cara alternatif untuk mencapai tujuan itu; ketrga, orang yang bertindak dapat sadar terhadap tujuan dan cara yang htempuhnya; dan keempat, orang dapat mencanangkan kosekuensi-konsekuensi, yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, dan akan menerima tanggungiawab untuk ini. Menurut pendekatan tradisional, komunitas mempunyai ciri: minat atau nilai yang sama di kalangan anggotanya, persarnaan lokalitas dan sistem atau struktur sosial yang sama. Secara berangsur-angsur namun pasti, komunitas dengan ciri seperti yang disebutkan itu menghilang digantikan oleh jenis yang lain. Hal ini tejadi berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang menembus batas-batas komunitas tadi. Budaya luar masuk ke pedesaan tanpa ada yang bisa menghalangi. Menggunakan model-model kognitif Gambar 4.2 sebagai kerangka berpikir untuk memahami pola-pola kelakuan tertentu yang diwujudkan oleh manusia adalah sesuai dengan rangsangan dan tantangan yang sedang dihadapinya. Menurut Spradley (Poenvanto, 2000), aturan, strategi, maupun petunjuk adalah perwujudan model-model kognitif yang dipakai oleh manusia yang memilikinya untuk menghadapi lingkungannya. Perubahan-perubahan lingkungan biogeofisik mengharuskan manusia untuk beradaptasi. Proses adaptasi, dipengaruhi oleh persepsi dan interpretasi seseorang terhadap suatu obyek atau lingkungan biogeofisik, selanjutnya menuju pada sistem kategorisasi dalam bentuk respon atas kompleksitas suatu lingkungan. Menurut Spradley (Poenvanto, 2000) sistem kategorisasi ini memungkinkan seseorang mengidentifikasi aspek-aspek lingkungan yang sesuai untuk diadaptasi, dan memberikan arah bagi perilaku
mereka, sehingga memungkmkan untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang akan datang Berdasarkan uraian tersebut di atas, yaitu dengan perubahan-perubahan indikator makro biogeofislk dalam kurun waktu 7-10 tahun seperti jumlah rumah tangga pertanian, jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, nilai tukar petani, jumlah petani yang menguasai lahan kurang dan 0,50 ha, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, dan jumlah penduduk, maka secara teoritis telah teqadi perubahan-perubahan, yang meliputi perubahan sistem nilai, tingkat pengetahuan,
I
I
FAKTOR-FAKTOR M'IERNAL
- Motivasi - Pengalaman - Pengetahuan
FAKTOR-FAKTOR EKS'IERNAL
I
- Infomasi - Norma Sosial-Budaya - Kondisi dan Situasi Lingkungan
- Pendidikan
SUB BUDAYA
r--l Strategi Adaptasi
- Persepsi - Interpretasi
Biogeofisik-Sosbud
Gambar 4.2.Kerangka model kognitif respon manusia terhadap rangsangan dan tantangan yang dihadapi
sikap, kepribadian dan perilaku usaha tani khususnya para petani dan masyarakat pedesaan pada umumnya.
Profil Penyuluh Pertanian Lapangan Profil Demografi Penyuluh Pertanian Hasil analisis peubah-peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas Profil Demografi Penyuluh Pertanian Lapangan disajikan dalam Tabel 4.2. Tabel 4.2. Profil demografi Penyuluh Pertanian Lapangan di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
Sumber : Data primer tahun 2000 - 2001 Keterangan : n = Jumlah responden 107 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL); Min-Maks = Skor minimal- maksimal, Keahlian : 1 = Keahtian tanaman pangan; Transportasi : 2 = Alat transportasi sepeda motor; Pekejaan lain : 4 = Dagang, 2 = Pertanian; Jenis latihan : 1 = Latihan penyuluhan dasar dan budidaya.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata Penyuluh Pertanian tinggal di luar wilayah kerjanya. Jarak ke wilayah kerja, umur, penguasaan alat transportasi, alokasi waktu kerja, merefleksikan kernampan operasional seorang Penyuluh Pertanian. Luas wilayah kerja dan jurnlah petani yang harus dilayani, merefleksikan beban kerjanya. Penyuluh Pertanian masih dalam kategori umur produktif dengan pengalaman kerja sekitar 17,94 tahun dan tingkat pendidlkan rata-rata SLTA. Sekitar 8,40 % Penyuluh Pertanian berpendidikan D3 dan S1. Sebagian besar Penyuluh Pertanian ahli dalam tanaman pangan. Pa& umunya mereka sudah men&uti
latlhan penyuluhan dasar dan teknologi budidaya.
Sebagian besar (92,70%) Penyuluh Pertanian terakhir mengikuti latihan sekitar 6
tahun yang lalu. Disamping sebagai Penyuluh Pertanian, mereka memanfaatkan waktu luangnya untuk berdagang dan berusaha tani. Dengan asumsi kebutuhan petani telah berkembang dan kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan dominan dalam tanaman pangan serta pemutahiran kompetensinya
kurang berkesinambungan maka diduga kompetensi dan
sumberdaya Penyuluh Pertanian Lapangan saat ini, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan para petani. Profil Psikhografi dan Lingkungan Kerja Penyuluh Pertanian Faktor-faktor atau peubah internal dan ekstemal relevan Penyuluh Pertanian untuk menjelaskan tingkat kualitas kegatan penyuluhan pertanian di sentra
produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komodlti subsisten adalah motivasi atau semangat kerja, kepribadian, harga diri, tingkat kompetensi, kemampuan operasional Penyuluh Pertanian, iklim organisasi, kualitas pelatihan, kualitas teknologi pertanian, kualitas informasi pertanian, kualitas kebijaksanaan, dan kompleksitas wilayah kerja. Hasil analisis peubah internal dan eksternal
Penyuluh Pertanian Lapangan disajikan dalarn Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Profil psichografi dan lingkungan kej a Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dan sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
7 8 9 10 11 I2
organislsi Kualiols pemberdayan Kdtas tdnolopl Kualitas mfomsi Kualitas ksbijaksanaan Kompleksitas wilayah kaja n
8-40
1533
8-22
19,71
14-24
17,OO
14-26
18,50
15-22
17,94
13-23
19,28
16-24
16.76
8-26
19.15
14-24
12-60
22.11
14-34
28.59
16-37
24,Il
20-36
29,61
22-34
27,28
14-36
30,11
22-37
24,KI
14-36
29,45
16-37
4-20
8,67
4-13
9,88
6-12
9,33
8-14
10.94
9-13
10.28
7-14
1139
9-13
9,43
4-14
10,75
6-14
22-110
42.94
29-58
49,76
39.63
43,72
36.61
54,17
36-68
55,22
140-77
56,22
33-72
47,30
29-77
53,45
33-72
4-19
9.94
5-13
lO,12
6-13
12,83
10-15
6,72
4-13
7,OO
4-13
6,39
4-8
9,91
4-1 5
7,70
4-13
18
17
18
Sumber: Data primer tahun 2000-2001; Keterangan: n = Jumlah responden 107 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL); 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur); 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (tanaman pangan). Min-Maks = Minimal-maksimal
18
18
18
54
53
Motivasi Penyuluh Pertanian (XI) Tabel 4.3 menunjukkan secara umurn rata-rata motivasi P P L, baik di sentra produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komodlti subsisten dalam kategori sedang. Skomya hanya mencapai 25,70-32,ll atau sekitar 42,83-53,51 % dari skor maksimal. Kondisi yang relatif sama juga tejadi pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komoditi subsisten pada lokasi penelitian di Provinsi Jawa Timur, Larnpung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran skor 23,06-34,61 atau 38,43-57,68 % dari skor maksimal. Tingkat motivasi keja Penyuluh Pertanian dapat dilihat d m frekuensi dan intensitas kunjungan P P L ke wilayah kerjanya (Tabel 4.10) dan kualitas k e ~ a t a npenyuluhan pertanian di lapangan (Tabel 4.7, dan Tabel 4.8). Tabel 4.10 menunjukkan bahwa sebagian besar Penyuluh Pertanian hadir 2 bulan sekali ke wilayah kejanya baik di sentra produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komoditi subsisten. Di beberapa wilayah, Penyuluh Pertanian hadir ke wilayah kejanya di atas 3 bulan sekali. Petani sering melihat Penyuluh Pertanian pada saat musim hujan di desa dan mengunjungi beberapa
rumah petani, tetapi pada musim kemarau jarang mellhat Penyuluh Pertanian di desa. Hal ini mengindikasikan kegiatan Penyuluh Pertanian relatif lebih banyak terkait dengan pencapaian tujuan organisasinya dari pada memecahkan masalah individu petani. Tabel 4.6 dan 4.7 menunjukkan bahwa materi penyuluhan pertanian dominan terkait dengan program pembangunan dan Penyu- luh Pertanian jarang melaksanakan kunjungan ke lokasi usahatani para petani untuk mengetahui dan memecahkan permasalahan petani. Tingkat motivasi Penyuluh Pertanian saat ini berhubungan dengan: pertarnu, perubahan-perubahan organisasi penyuluhan. Pengorganisasian penyuluhan pertanian yang berubah-ubah menyebabkan Penyuluh Pertanian bersikap agak negatif terhadap profesinya. Penyuluh Pertanian merasakan profesinya sebagai kelinci percobaan, merasakan profesinya di remehkan sehingga semangat
menurun. Dalam kondisi seperti itu Penyuluh Pertanian sering merasa tidak nyaman bekerja; kedua, penghargaan terhadap Penyuluh Pertanian relatif sangat rendah. Dulu penghargaan terhadap Penyuluh Pertanian sangat tinggi, diperhatikan baik oleh pemerintah maupun oleh petani; ketiga, tugas Penyuluh Pertanian sebagai pengawal program-program pemerintah. Semua dinas lingkup pertanian menugaskan dan meminta program-programnya untuk disukseskan. Penyuluh Pertanian hams mencapai target-target produksi komodrti tertentu, kalau tidak tercapai, Penyuluh Pertanian dinilai tidak bekerja. Sekarang petani sudah berubah, petani sudah sangat kritis terhadap program-program pemerintah. Setiap program yang ditawarkan, petani selalu menanyakan harga, jaminan pemasaran dan keuntungan dari tawaran tersebut. Program yang pemasaran hasil dan harganya tidak jelas, petani akan menolak. Berdasarkan pengalaman petani, menerapkan anjuran Penyuluh Pertanian belum tentu menguntungkan. Pada kondisi seperti itu, Penyuluh Pertanian sering merasa tertekan. Mempertemukan tujuan organisasi dengan kebutuhan kebanyakan petani, bukan ha1 yang mudah. Kondisi tersebut sering menjauhkan dan merusak hubungan antara Penyuluh Pertanian dengan para petani (van Den Ban dan Hawkins, 1999; Mosher, 1978); keempat, kegiatan Penyuluh Pertanian Lapangan bersifat rutin dari tahun ke tahun. Karena kegatan utama Penyuluh Pertanian mengawal program, maka mereka merasa kegiatan penyuluhan merupakan tugas rutin, tidak ada variasi. Penyuluh Pertanian sering merasa jenuh yang dikerjakan itu-itu saja dari tahun ke tahun Mereka hanya diberikan target-target produksi yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Mereka menghendaki pekejan yang menantang, dan diberikan kebebasan atau wewenang berkreasi bersama petani.
Kepribadian Penyuluh Pertanian Lapangan (X2)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara mum rata-rata skor kepribadian Penyuluh Pertanian di lapangan, baik di sentra produksi komoditi perdagangan
maupun di sentra produksi komoditi subsisten dalam kategori sedang. Skornya hanya mencapai 112,78-113,96 atau 48,61-49,12 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga terjadi di sentra produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran skor 106,39-117,ll atau 45,85-50,47 % dan skor maksimal. Hal ini dapat di lihat: pertama, dari tingkat sensitivitas Penyuluh Pertanian merespon perubahan lingkungan kejanya seperti perubahan-perubahan kebutuhan para petani, clan cara petani belajar. Penyuluh Pertanian yang senior di B P P, sering mengeluh bahwa idealisme Penyuluh Pertanian saat ini menurun. Melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian asal berkunjung ke petani sudah merasa melaksanakan tugasnya secara baik. Penyuluh Pertanian relatif kurang memperhatikan pernasalahan-pernasalahan yang dihadapi oleh para petani, lebih memprioritaskan tugas-tugas yang relatif menguntungkan profesinya. Kedua, dalam melaksanakan kegatan selalu menunggu perintah atasan.
Beberapa kepala B I P P, mengungkapkan keluhannya bahwa Penyuluh Pertanian kalau tidak diperintah tidak jalan. Beberapa P P L, mengakui bahwa kawankawannya kalau bekerja mash sering menunggu perintah dari koordinatornya Ketiga, inisiatif mengembangkan kompetensinya secara mandiri. Minat
baca Penyuluh Pertanian relatif rendah, untuk meningkatkan kompetensi mrinya lebih banyak menunggu kalau ada latihan, kalau tidak a& latihan, mereka pada umumnya kurang berbuat banyak. Sekarang sifat kesediaan terus belajar sering menjadi salah satu persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja. Karena umur teknologi relatif pendek, per masalahan terus berkembang yang belum tentu dapat dpecahkan dengan teknologi yang ada. Kondisi tersebut menuntut pemutakhiran teknologi terus menerus. Kekurang sesuaian kepribadian Penyuluh Pertanian dengan profesinya: pertama, berhubungan dengan pengangkatan tenaga Penyuluh Pertanian tidak
menjalani test pskologi. Aspek kepribadian kurang mendapatkan perhatian pa& saat pengangkatan tenaga Penyuluh Pertanian. Dengan perubahan lingkungan kerja dan makin kompleksnya permasalahan dalam meningkatkan harkat dan martabat para petani, faktor kepribadan seorang Penyuluh Pertanian menjadi sangat penting. Dalam setiap pertemuan dengan para petani, mereka menghendaki Penyuluh Pertanian yang jujur, punya niat yang baik clan tulus &lam membantu petani. Kepribadian menentukan konsistensi perilaku seseorang pada berbagai situasi dan tidak tergantung pada penilaian sesaat (Sarwono, 1997). Dengan demikian, kepribadan lebih permanen dari pada slkap. Beberapa orang Penyuluh Pertanian mengatakan "kurang terpengaruh dengan perubahan situasi organisasi penyuluhan akhir-akhlr ini, yang penting bagaimana terus dihargai dan dibutuhkan oleh petani. Llalam pekerjaan, lebih mengutamakan petani." Hal in1 mengindikasikan bahwa Penyuluh Pertanian yang berkepribadian melaksanakan tugas-tugasnya relatit' konsisten dan kurang terpengad oleh perubahanperubahan organisasi penyuluh an yang terjadi. Dengan perubahan-perubahan sistem niiai, kebutuhan, tingkat pengetahuan petani, maka sangat diperlukan Penyuluh Pertanian berkepribahan, yang sesuai dengan profesinya. Kedua, berhubungan dengan peran d m posisi Penyuluh Pertanian. Selama
mni Penyuluh Pertanian lebih banyak diposisikan dan diperankan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasinya. Prosedur kerja telah dipersiapkan, target-target telah ditetapkan. Penyuluh Pertanian tinggal menunggu perintah kapan mulai dilaksanakan. Kegiatan penyuluhan yang tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan, walaupun hasilnya memuas- kan petani, belum tentu dianggap benar. Pola kerja "sentralistis" yang membentuk pola kerja dan kebiasaan kerja Penyuluh Pertanian, menunggu perintah. Pada saat permasalahan dan lingkungan kerja penyuluhan pertanian relatif homogin, pola kerja "sentralistis" memang sangat efektif dan efisien. Sejak puluhan tahun yang lalu, lingkungan kerja penyuluhan pertanlan, terutama para petani telah banyak mengalami
perkembangan. Hal ini menuntut pola kerja yang berbeda. Perubahan tersebut hanya dapat ditanggapi secara baik oleh Penyuluh Pertanian yang profesional. Ketlgu, berhubungan dengan pemberdayaan dan pengembangan kompetensi
Penyuluh Pertanian. Kompetensi bukan hanya meliputi pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi semua ha1 yang mempengaruhi tenvujudnya kinerja prima. Sebagai konsekuensi posisi dan peran Penyuluh Pertanian selama ini, maka pengembangan kompetensi lebih banyak pada domain pengetahuan dan keterampilan. Dengan pengembangan kedua domain tersebut tujuan organisasi telah tercapai, tetapi muncul perilaku tugas yang h a n g terpuji di hadapan para petani. Aspek kepribadian Penyuluh Pertanian kurang mendapatkan perhatian. Kepribadiam merupakan salah satu predisposisi perilaku individu, yang lebih konsisten dalam merespon perubahan lingkungan. Perkembangan kebutuhan para petani saat ini, menuntut perubahan perilaku atau strategi adaptasinya. Untuk memenuhl kebutuhannya, petani sering berinteraksi dengan pihak ke tiga. Efektivitas interaksi dengan phak ke tiga menuntut kepribadian tertentu. Saat ini kepribadian telah menjadi modal sosial sangat penting untuk terjadinya interkasi sosial yang sinergis. Dengan demikian, pengembangan sumberdaya manusia petani ke depan bukan hanya menyentuh aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan saja, tetapi juga menyentuh aspek kepribadiannya. Untuk itu, juga diperlukan Penyuluh Pertanian yang berkepribadian sesuai dengan status dan perannya.
Mengembangkan
kepribadian
Penyuluh
Pertanian
menuntut
pengembangan kepribadian petugas pertanian pada semua tingkatan, karena metodologi pengembangan kepribadian berbeda dengan metodolog pengembangan pengetahuan, dan keterampilan.
Harga Diri Penyuluh Pertanian (X3) Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata skor harga diri Penyuluh Pertanian Lapangan, baik pada sentra produksi komoditi perdagangan
maupun pada sentra produksi komoditi subsisten dalam kategori sedang, hanya mencapai 66,OO-69,58 atau 58,92-62,12 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga tejadi pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran skor 65,ll-72,72 atau 58,13-64,92 % dari skor maksimal. Hal ini dapat di lihat clan pertarnu, kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian. Beberapa Penyuluh Pertanian senior mengatakan pada waktu masih menjadi Penyuluh Pertanian Lapangan, sangat dihargai oleh petani, sekarang kalau petani menemui PPL, hanya menanyakan persoalan kredit kapan cair. P P L, sering mengatakan sekarang penghargaan petani terhadap Penyuluh Pertanian relatif rendah dibandingkan sebelum tahun 80-an. Petani sekarang orientasinya keuntungan sedangkan Penyuluh Pertanian orientasinya produksi komoditi program. Penyuluh senior mengungkapkan bahwa dulu sebagai PPL sangat dihargai dan dibutuhkan oleh petani, kalau datang ke desa ditanggapi seperti pejabat Kecamatan, kalau pertemuan banyak petani yang hadir, sekarang mengumpulkan petani yang hadir maksimal 50 % itu pun kadang-kadang. Pertanyaan petani yang utama bukan l a p masalah teknologi produksi tetapi masalah modal, harga, pemasaran hasil-hasil pertanian. Mengenai materi penyuluhan pertanian, para petani sering mengatakan lebih percaya pada teknologi atau informasi yang diberikan oleh sesama petani, petani biasanya mengatakan, hal-hal yang telah dialami sehingga sering cocok dengan kondisinya. Hal-ha1 yang dikatakan oleh Penyuluh Pertanian belurn tentu sesuatu yang telah dikerjakan, mungkin saja ha1 yang pemah dibaca atau ha1 yang pemah didengar. Sebagian besar petani di Kabupaten Lombok Barat, mengakui bahwa sekarang mengumpulkan kawan-kawan petani sulit, tidak semudah dulu untuk mengikuti kegiatan Penyuluh Pertanian, alasannya yang dibicarakan begitu-begitu saja, halha1 yang sudah diketahui, kalau menghti kegiatan penyuluhan hasilnya juga
begtu-begitu saja. Petani-petani selalu ingin mencari usaha-usaha yang menguntungkan sesuai dengan kemampuannya, dalam ha1 ini Penyuluh PertaNan tidak banyak berperan. Walaupun rajin mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian petani kurang merasakan manfaatnya. Dalam pertemuan dengan para petani sering terlontar bahwa ikut atau tidak ikut kegiatan penyuluhan pertanian keadaan petani tetap saja seperti ini.
Fakta di atas menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan kompetensi PPL, dengan tuntutan para petani. Akumulasi kesenjangan tersebut yang menurunkan harga diri P P L di hadapan para petani. Kedua, penilaian atasan Penyuluh Pertanian. Dulu penghargaan pemerintah
atau atasan kepada Penyuluh Pertanian sangat tinggi, hampir dalarn setiap kegiatan upacara, Penyuluh PertaNan disanjung-sanjung, dan perhatian pemerintah terhadap Penyuluh Pertanian sangat besar. Sekarang Penyuluh Pertanian h a n g mendaptkan perhatian, malahan sering terungkap, mereka sebagai tumpuan kesalahan, kalau terjadi kegagalan program atau proyek. Dengan cara yang berbeda dinas lingkup Pertanian mengatakan Penyuluh Pertanian adalah orang yang diperlukan oleh masyarakat dan semua pihak, oleh karena itu kembalikan harga diri dan tingkatkan kepercayaan diri para Penyuluh Pertanian. Hal ini mengindikasikan menurunnya harga diri P P L merupakan suatu realita. Ketiga, pergeseran sumber teknologi atau infomasi petani. Tabel 4.19-4.24
menunjukkan bahwa Penyuluh Pertanian bukan lagi sebagai tempat bertanya atau berkonsultasi yang utama bagi petani, kalau menghadapi permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan harga sarana produksi, harga jual hasil pertanian, budidaya, usaha-usaha pertanian yang menguntungkan, permodalan. Posisi tersebut perannya digeser oleh petani sendiri, dan pelaku agribisnis lainnya. Tingkat harga &ri Penyuluh Pertanian saat ini: pertama, berhubungan dengan kegiatan-kegatan Penyuluh Pertanian tidak dapat merespon perubahan kebutuhan-kebutuhan para petani; kedua, kompetensi atau materi penyuluhan
pertanian tidak dapat memecahkan pennasalahan-pernasalahan petani., ketiga, korespondensi informasi atau teknologi yang disarankan oleh Penyuluh Pertanian relatif rendah; keempat, kompetensi Penyuluh Pertanian relatif rendah; dan kelima, berhubungan dengan tugas atau kegatan-kegatan Penyuluh Pertanian
sebagian besar hanya mengawal program-program yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan petani. Hal ini menunjukkan bahwa peran Penyuluh Pertanian sebagai "the local errand boy for government" yang dapat menghancurkan hubungan antara Penyuluh Pertanian dengan petani (Mosher, 1978). Petani percaya pada informasi atau teknologi dari Penyuluh Pertanian atau petugas lain kalau petani mengetahui dan melihat bahwa P P L atau petugas lain usahanya juga sama atau pemah mengerjakan, dengan ha]-hal yang dikatakan, kalau tidak pernah, maka Penyuluh Pertanian atau petugas tersebut dikatakan hanya berteori. Teori belajar sosial dan mengalami langsung (Sarwono, 1997) dapat dipergunakan untuk mengubah persepsi petani terhadap kredlbilitas teknologi dan informasi yang dibawa oleh Penyuluh Pertanian atau petugas lain. Teori belajar convensional conditioning tidak dapat mengubah persepsi petani terhadap kredibilitas Penyuluh Pertanian atau petugas sebagai surnber teknologi atau informasi. Hal ini mengindikasikan bahwa para petani telah kritis terhadap teknologi dan informasi pertanian dari luar, dan kekritisan petani tersebut harus dijadikan landasan untuk merancang teknologi dan informasi peaanian yang akan disampaikan kepada petani.
Kompetensi Penyuluh Pertanian (X4) Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata skor kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan, baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten relatif rendah, hanya mencapai 61,04-66,19 atau 46,95-50,91 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga terjadl pada sentra produk si komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi
komomti subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran skor 55,67-73,71 atau 42,82-56,70 % dari skor maksimal. Ratarata kompetensi Penyuluh Pertanian d sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari pada kompetensi Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi subsisten. Rendahnya tingkat kompetensi Penyuluh Pertanian dapat dilihat: pertama, dari materi penyuluhan dominan berupa program-program pemerintah dan teknologi bukdaya pertanian (Tabel 4.7), rnateri-materi tersebut sudah tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Petani sering mengeluhkan, kalau Penyuluh Pertanian datang dalam pertemuan kelompok yang dibicarakan itu-itu saja seperti varietas, pupuk, hama clan penyakit sedangkan petani perlu yang lain. Petani mengharapkan, Penyuluh Pertanian mampu memberikan altematif usaha tani yang menguntungkan. Dengan perkembangan petani sekarang diperlukan kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan yang lebih tinggi lag, kompetensinya saat ini sudah tidak memadai l a g untuk memecahkan permasalahan para petani. Petani sering bertanya kepada PPL tetapi Penyuluh Pertanian tidak bisa menjawab, kalau tidak bisa menjawab petani bertanya kepada kawan-kawannya yang pemah mengalami. Hal ini menunjukkan bahwa para petani masih memerlukan Penyuluh Pertanian, tetapi yang berkompetensi. Kedua, pengakuan Penyuluh Pertanian sendiri. Dalam berdskusi dengan
Penyuluh Pertanian sering terungkap kompetensi Penyuluh Pertanian sekarang tidak sesuai dengan yang diperlukan oleh petani. Penyuluh Pertanian tahu cara meningkatkan produksi, tetapi Penyuluh Pertanian h a n g tahu
cara
meningkatkan pendapatan. Banyak Penyuluh Pertanian memanfaatkan petanipetani yang berhasil sebagai sumber teknologi dan informasi (Tabel 4.11). Kemajuan-kemajuan para petani menuntut kompetensi Penyuluh Pertanian yang lebih tinggi. Kompetensi Penyuluh Pertanian sekarang sudah tidak memadru lagi, sekarang Penyuluh Pertanian belajar pada petani yang maju, rasanya Penyuluh
jauh ketinggalan, Penyuluh hams banyak diisi, perlu pelatihan secara periodik. Malahan beberapa Penyuluh Pertanian mengatakan bahwa sekarang Penyuluh Pertanian agak bingung menghadapi perkembangan para petani. Beberapa Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten mengungkapkan pengamatan dan pengalamannya bahwa sekarang petani sudah berbicara tentang pasar, komoditinya bukan hanya pangan, sudah a& menanam hortikultura, sesuai dengan permintaan pasar. Penyuluh Pertanian tidak mempunyai kompetensi hortikultura, sehingga agak deg-degan pada saat kelapangan, kalau petani bertanya tentang komodi-komoditi yang teknologmya tidak dikuasainya. Kualitas kompetensi Penyuluh Pertanian saat ini berhubungan dengan: pertama, selarna ini tugas-tugas Penyuluh Pertanian relatif lebih banyak
mengawal program-program pembangunan, sehingga peningkatan kompetensinya disesuaikan dengan program yang dikawalnya. Dilain pihak kebutuhan-kebutuhan petani telah bergeser sehingga kompetensi yang dikuasai oleh Penyuluh Pertanian tidak mampu memecahkan pennasalahan dan untuk memenuhi kebutuhan petani; kedua, kepribadian Penyuluh Pertanian yang belum sesuai dengan posisinya
sebagai pejabat fungsional untuk mengembangkan tingkat kompetensinya secara mandiri, ketrga, motivasi Penyuluh Pertanian untuk meningkatkan kompetensinya relatif rendah, keempat, sistem pembinaan terhadap P P L, relatif kurang bejalan, kurang sesuai dengan perkembangan petani; kelrma, kualitas teknologi dan infonnasi pertanian di B P P, relatif rendah; dan keenam kompetensi Pembina Penyuluh Pertanian di tingkat Kabupaten dan Provinsi yang kurang memadai. Sesuai dengan perkembangan atribusi dan perilaku usaha tani para petani maka Penyuluh Pertanian harus menguasai kompetensi sebagai berikut: (1) Sistem sosial setempat, (2) Perilaku petani, (3) Analisis sistem, (4) Analisis data, (5) Merancang pendekatan penyuluhan, (6) Perencanaan usaha pertanian, (7) Manajemen Teknologi, (8) Ekonomi rumah tangga, (9) Mengembangkan teknologi lokal spesifik, (10) Memahami cara petani belajar, (11) Pengembangan
kelompok dan organisasi, (12) Perilaku pasar, (13) Peta kognitif petani, (14) Teknologi produksi, (15) Teknologi pasca panen, (16) Usaha tani sebagai bisnis, dan (17) Proses pembangunan pertanian.
Kemampuan Operasional Penyuluh Pertanian (X5)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata kemampuan operasional Penyuluh Pertanian relatif rendah. Di sentra produksi komoditi perdagangan kemampuan operasionalnya relatif lebih rendah dari pada di sentra produksi komoditi subsisten dengan kisaran skor 5,45-5,49 atau 36,33-36,60 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga terjadi & sentra produksi komoditi perdagangan dan di sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran skor 5,18-6,76 atau 343345,06 % dari skor maksimal. Lebih rendahnya kemampuan operasional Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi perdagangan dari pada di sentra produksi komoditi subsisten berhubungan dengan lebih luasnya wilayah kerja Penyuluh Pertanian dan kondisi infrastruktur wilayah kerjanya relatif lebih jelek, serta Penyuluh Pertanian yang ditugaskan di sentra produksi komod~tiperdagangan relatif lebih yunior dari pada Penyuluh Pertanian yang ditugaskan di sentra produksi komoditi subsisten.
Iklim Organisasi Penyuluh Pertanian (X6)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata skor iklim organisasi P P L, baik di sentra produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komoditi subsisten dalam kategori sedang, hanya berkisar 72,98-76,94 atau 52,1254,95 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga terjadi di sentra produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komodrti subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran skor 68,83-81,76 atau 49,19-58,40 % dari skor maksimal. Rata-rata iklim organisasi Penyuluh
Pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan relatif h a n g kondusif dari pada iklim organisasi Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten. Relatif kurang nyamannya iklim organisasi Penyuluh Pertanian dapat dilihat dari: pertama kelancaran, kejujuran, keadilan dalam penetapan angka kredit dan kelancaran kenaikan
pangkat.
Dengan
perubahan-perubahan organisasi
penyuluhan yang dlikuti dengan perpindahan pangkalan administrasi Penyuluh Pertanian, penetapan angka kredit dan kenaikan pangkat menjadi relatif kurang lancar; kedua sensitivitas organisasi dalam merespon pennasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Penyuluh Pertanian di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari
permasalahan-permasalahan lapangan yang disampakan ke atasan, sering dikembalikan lagi kepada Penyuluh Pertanian dan sering tidak direspon sehmgga Penyuluh Pertanian agak h a n g percaya din menemui petani yang menghadapi permasalahan tersebut. Penyuluh Pertanian sering mengatakan tugas-tugas dari kabupaten sering kurang jelas, sehingga Penyuluh Pertanian bingung cara menyelesaikan tugas-tugas tersebut. S u p e ~ s iPenyuluh Pertanian Kabupaten hanya memantau tugas-tugas Penyuluh Pertanian Lapangan, mereka tidak membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh Penyuluh Pertanian. Makna pemyataan tersebut &ah
P P L, kurang merasakan manfaat
kegiatan supervisi yang dilaksanakan oleh petugas-petugas Kabupaten, sehingga P P L di B P P, merasa dlrinya kurang dlperhatikan. Kekurangnyamanan iklim organisasi Penyuluh Pertanian: pertama, berhubungan
dengan
perubahan-perubahan pengorganisasian penyuluhan
pertanian. Dari tahun 1984-1991 Penyuluh Pertanian dikelola oleh Sekretariat Badan Pengendali BIMAS, untuk mendukung pencapaian sasaran intensifikasi. Dengan
dikeluarkannya
SKB
Mendagri
dan
Mentan
Nomor:
539ikptsiLP.1201711991 dan Nomor 65 Tahun 1991, pengelolaan Penyuluh Pertanian diserahkan ke dinas-dinas lingkup Pertanian di daerah. Pada tahun 1996
pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan diperbaiki dengan SKB Menteri Dalam Negen dan Menteri Pertanian Nomor 54 Tahun 1996 dan Nomor: 301/kpts/LP.120/4/1996 dan keputusan Mendagi Nomor: 35 Tahun 1999, pengelolaan Penyuluhan Pertanian ditangani oleh BIPP. Dalam era otonomi daerah pengelolaan penyuluhan bemariasi antar Kabupaten, tergantung persepsi Pemerintah Kabupaten tentang peranan penyuluhan pertanian dalam membangun daerahnya. Perubahan-perubahan pengorganisasian penyuluhan pertanian berdampak pada kelancaran karier Penyuluh Pertanian dan harga diri Penyuluh Pertanian. Dengan perubahan-perubahan organisasi penyuluhan per tanian, Penyuluh Pertanian merasa djadikan kelinci percobaan dan sudah ada yang apatis, serta merasa dirinya menjadi pegawai kelas dua. Kedua, berhubungan dengan relatif terputusnya hubungan fungsional antara
Penyuluh Pertanian di lapangan dengan Penyuluh Pertanian di Kabupaten. P P L, merasa peranan Penyuluh Pertanian Kabupaten relatif kecil dalam pengembangan kompetensinya dan memberikan solusi-solusi permasalahan lapangan yang tidak dapat hpecahkan oleh Penyuluh Pertanian d~lapangan. Ketzga, berhubungan dengan sistem penghargaan relatif tidak berjalan,
walaupun bejalan pelaksanaan tidak proporsional, jujur clan adil. P P L mengaku sudah melaksanakan tugas relatif baik dibandingkan dengan kawan-kawan, tetapi, keputusan penetapan usulan angka kreditnya relatif lebih lama dari kawan yang melaksanakan tugas-tugasnya relatif h a n g baik, P P L sering berpikir untuk tidak mengurus kredit point karena tidak terkait dengan prestasi pelaksanaan tugas-tugasnya.
Kualitas Pemberdayaan (X7) Tabel 4. 3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata kualitas pemberdayaan di B P P, bagi P P L, baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten relatif rendah, skor
kualitas pemberdayaan di B P P, berkisar 16,76-19,15 atau 41,90-49,40 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga terjadi di sentra produksi komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran 15,33-19,71 atau 38,32-49,27 % dari skor maksimal. Rata-rata kualitas pemberdayaan bagi Penyuluh Pertanian di B P P, pada sentra produksi komodlti perdagangan relatif rendah
dan pada kualitas pemberdayaan bagi Penyuluh Pertanian Lapangan di B P P pada sentra produksi komoditi subsisten. Rendahnya kualitas pemberdayaan bagi Penyuluh Pertanian di B P P: pertama dapat dilihat dari intensitas pelatihan di BPP sebagai salah satu upaya
untuk meningkatkan kompetensi P P L. Pelatihan di Balai Penyuluhan Pertanian bagi Penyuluh Pertanian tidak lagi sebagai sumber teknolog dan informasi utarna bagi PPL. Hal ini diganti dengan kegiatan tukar menukar pengalaman sesama Penyuluh. Kegiatan tersebut bukan merupakan strategi yang direncanakan oleh Penyuluh Pertanian di BPP untuk meningkatkan kompetensi mereka, tetapi sebagai kon- sekuensi dari sistem peningkatan kompetensi Penyuluh Pertanian melalui pelatihan dl BPP kurang berjalan sebagai mestinya. Hal ini dapat dilihat
dart realisasi pelaksanaan pelatihan di BPP rata-rata berkisar 0,O-0,7 jam per tahun, yang seharusnya 2,O jam per tahun. Pelatih dari Kabupaten relatif jarang datang ke BPP, untuk meningkatkan kompetensinya, Penyuluh Pertanian belajar ke petani yang berhasil baik lokal maupun ke luar Kecamatan. Sejak dua tahun terakhir kehadlran pelatih dari Kabupaten di BPP sangat jarang. Sebagai solusinya Koordinator Penyuluh Pertanian mengajak kawan-kawan Penyuluh Pertanian belajar ke petani-petani yang maju. Di BPP Labu Api dan Dasan Tereng, Kabupaten Lombok Barat, belajar ke petani maju dijadikan salah satu strategi peningkatan kompetensi PPL yang dilaksanakan setiap hari Jumat. Kedua, dapat dilihat dari kesesuaian materi pelatihan di BPP. Kalau pelatih
Kabupaten datang pada saat latihan di BPP, P P L mengatakan materi
pelatihannya itu-itu saja padahal petani sudah berubah. Untuk memecahkan masalah para petani, Penyuluh Pertanian mencari informasi sendiri. Materi pelatihan di BPP tidak relevan dengan kebutuhan petani, materi pelatihan yang dlminta oleh PPL, jarang dapat dlpenuhi. P P L, sering mengungkapkan bahwa dari pelatihan dl BPP tidak banyak infonnasi yang dapat diharapkan. Ketlga, dapat dilihat dari kualitas pelatih. Kelompok Penyuluh Pertanian di
BPP menghendaki pelatih dari kabupaten harus mempunyai kemampuam melatih dan kemampuan substansi yang sesuai dengan perkembangan para petani, pelatih dari kabupaten belum mempunyai kemampuan seperti itu, sehingga pelatihan di
BPP kurang memuaskan. Pelatih harus bemawasan yang luas, tahu kebutuhan petani yang semakin komersial. P P L, sering mengungkapkan bahwa kemampuan pelatih Kabupaten tidak banyak yang dapat diharapkan, karena antara kompetensi pelatih dan Kabupaten dengan kompetensi yang dilatih tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh kepala BIPP bahwa Penyuluh Pertanian kabupaten sering enggan datang melatih ke BPP, sepertinya kurang percaya diri karena merasa kompetensinya kurang memadai. Sesuai dengan kemajuan para petani sebaiknya pelatih di BPP dari lembaga penelitian atau perguruan tinggt.
Kualitas Teknologi Pertanian (X8) Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata kualitas teknologt di B P P bagt Penyuluh Pertanian di lapangan relatif rendah, baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten, skor kualitas teknologi dl B P P, berkisar 24,50-29,45 atau 40,83-49,08 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga terjadi pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan hsaran skor 22,ll-30,ll atau 36,83-50,18 % dari skor maksimal. Rata-nta kualitas teknologi di B P P bagi
Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari pa& kualitas teknologi di B P P bagi Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan teknologi di BPP relatif lebih banyak terkait dengan teknologi komoditi pangan. Rendahnya kualitas teknolog pertanian di B P P: pertama &pat dilihat dan kesesuaian teknologi dengan kebutuhan petani. Kelompok Penyuluh Pertanian d BPP sering mengungkapkan pengalamannya bahwa "teknologi yang tersedia di BPP tidak dapat langsung dimanfaatkan sebagai materi penyu1uhan pertanian. Teknologi tersebut hams disesuakan dengan kondisi petani setempat. Kalau langsung diterapkan, korespondensi teknolog tersebut relatif rendah." Hal tersebut sesuai dengan pengakuan Aqo Sadeni, seorang petani di Lampung Tengah bahwa Penyuluh Pertanian menganjurkan jarak tanam padi 20x20 Cm atau 25x25 Cm, hasil percobaan nya, menunjukkan jar& tanam padi yang sesuai dengan kondisi tanahnya adalah 22,5x22,5 Cm. Rastra petani lain dari Seputihraman mengatakan tidak langsung percaya dengan anjuran teknologi Penyuluh Pertanian, karena Penyuluh Pertanian belurn tentu tahu kondisi tanahnya. Sebelum menerapkan anjuran tersebut, selalu menyesuaikan teknologi tersebut dengan kondisi tanahnya, kalau tidak bisa rugi. Petani memandang lahan tempat berusaha tani dalam dimensi waktu satu tahun bisa juga lebih dari setahun tergantung jenis komodtinya, sehingga efisiensi usahanya menjadl relatif tinggi dalam dimensi waktu tersebut. Petani menghendaki teknologi seperti itu, tetapi teknologi yang tersedia di BPP dalam kemasan parsial yang berbasis komoditi berdimensi musiman. Dalam kondisi seperti itu para petani mencari dan mensintesakan sendiri teknologi yang sesuai dengan kebutuhannya. Pengalaman petani tersebut memverifikasi pemyataan Sutomo (1997) yang mengatakan tidak ada teknologi pertanian yang lintas spasial dan lintas temporal. Kelompok Penyuluh Pertanian di BPP mengungkapkan pengalamannya bahwa "teknologi
yang berasal dari petani dimanfaatkan sebagai materi penyuluhan relatif lebih diterima oleh petani lainnya" Kedua, dapat dilihat dan ketersediaan teknologi setiap saat dibutuhkan di
Balai Penyuluhan Pertanian. Ketersediaan teknologi di BPP sering tidak tepat waktu. Pada saat diperlukan tidak tersedia di BPP tetapi pada saat tidak d~perlukanteknolog ter- sebut tersedia di BPP. Dalam kondisi seperti itu, Penyuluh Pertanian mencari teknologi ke kawan-kawannya yang pemah menghadapi persoalan yang sama, kalau tidak diketemukan maka Penyuluh Pertanian mencari teknologi yang dlperlukan ke petani yang maju Tabel 4.11. Rendahnya kualitas teknologi pertanian di B P P: pertama, berhubungan dengan perencanaan teknologi relatif mengacu pada program. Hal ini nampak pada kualitas teknologi pada sentra produksi komoditi pangan relatif lebih tinggi dari pada kualitas teknologi pada sentra produksi komoditi perdagangan (Tabel 4.3), dan dinas-dinas lingkup pertanian relatif dominan dalam menetapkan
perencanaan penelitian; kedua, tertanamnya sikap pada pemerintah dalam ha1 ini peneliti, kurang melibatkan petani dalam menyusun perencanaan; ketrga, dalam proses perencanaan penelitian, peta kognitif petani dan sikap petani terhadap sumberdaya alam yang dikuasainya serta jenis usaha taninya relatif kurang menentukan dalam penetapan perencanaan penelitian; keempat, perencanaan dan rakitan teknologi relatif dominan terkait dengan aktivitas produksi yang tidak sesuai dengan tahapan-tahapan petani dalam menetapkan perencanaan usaha pertaniannya sebagai konsekuensi dan perubahan-perubahan sistem nilai yang termanifestasi dalam bentuk pergeseran kebutuhan-kebutuhan para petani; dan kelzma, perakitan dan pengemasan t e k n o l o ~dominan berbasis musim dan relatif
sangat kecil berbasis pasar. Hal ini dapat dilihat dari rekomendasi teknologi yang dikeluarkan tidak menyinggung kapan sebaiknya suatu usaha tani dilaksanakan sehingga produksinya relatif mendapatkan harga jual yang layak, tetapi bukan mendapatkan harga jual yang layak karena kebetulan.
Kualitas Informasi Pertanian (X9)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata kualitas informasi di B P P bagi P P L, baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten relatif rendah, skor kualitas informasi di B P P hanya berkisar 9,43-10,75 atau 47,15-53,75 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga tcrjadi pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten di Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran 8,67-11,39 atau 43,35-56,95 % dari skor maksimal. Rata-rata kualitas informasi di B P P bagi Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan relatif rendah dari pada kualitas informasi di B P P bagi Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten. Hal ini mcngindikasikan ketersediaan informasi di BPP sentra produksi komoditi subsisten relatif lebih banyak dari pada kctersediaan informasi dl BPP sentra produksi komoditi perdagangan. Rendahnya kualitas informasi bagi Penyuluh Pertanian dl B P P dapat dilihat clan:pertama, ketersediaan informasi setiap saat dlperlukan oleh Penyuluh Pertanian di lapangan. Penyuluh Pertanian dl lapangan sering kesulitan mendapatkan informasi di BPP, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan petani di luar teknologi pangan. Medla informasi yang ada di BPP dominan Sinar Tani. Folder atau liptan dari BPTP jumlah, jenis informasilteknologi pertanian dan waktu penyampaiannya kurang memadai, kadang-kadang folder dari perusahaanperusahaan sarana produksi. Kcsemua medla informasi tersebut bukan menjadi sumber informasi utama bagi Penyuluh Pcrtanian. Penyuluh Pertanian mengatakan kalau tidak mendapatkan informasi di BPP, untuk menjawab pertanyaan petani yang diajukan pada saat kunjungan sebelumnya, maka bertanya pada kawan-kawan PPL yang mengetahui jawabannya atau menanyakan ke petani yang dinilai maju (Tabel 4.11). Kalau jawaban pertanyaan petani tersebut belum ditemukan, agak cnggan menemui petani tersebut.
Sesuai dengan perkembangan para petani saat ini, pasokan informasi kepada Penyuluh Pertanian harus memadai. Berdasarkan pengakuan Penyuluh Pertanian tersebut & atas, jawaban atas pertanyaan petani akan disampaikan pada kunjungan berikutnya, jawaban tersebut belum tentu dibutuhkan la@ oleh petani yang menanyakan. Fenomena-fenomena seperti ini terakumulasi sebagai penyebab penurunan citra dan harga diri Penyuluh Pertanian dihadapan para petani. Hal ini yang menyebabkan munculnya ketidak percayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian. Kedua, dapat dilihat dari saat tibanya media informasi tersebut di B P P.
Kelompok Penyuluh Pertanian di B P P mengungkapkan menerima media informasi seperti swat kabar, folder atau liptan, waktunya tidak pasti, kadangkadang dua bulan sekali, enam bulan sekali. Informasi yang disampaikan melalui media tersebut dalam dimensi waktu, petani belum tentu memanfaatkan sebagai solusi permasalahannya. Media tersebut hanya bemanfaat menambah wawasan Penyuluh Pertanian. Permasalahannya adalah, bagaimana media tersebut dapat menambah wawasan Penyuluh Pertanian yang minat bacanya rendah. Fenomena ini harus menja& pertimbangan dalam menyusun strategi pemberdayaan Penyuluh Pertanian.
Kualitas Kebijaksanaan Organisasi Penyuluhan (X10) Tabel 4. 3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten relatif rendah, skor kualitas kebijaksanaan organisasi berkisar 47,30-53,45 atau 43,OO-48,59 % dari skor maksimal. Kon&si yang sama juga terjadi pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran 42,94-56,22 atau 39,03-51,lO % dari skor maksimal. Rata-rata kualitas kebijaksanaan organisasi di
sentra produksi komoditi perdagangan relatif rendah dari pada rata-rata kualitas kebijaksanaan organisasi di sentra produksi komoditi subsisten. Hal ini berarti kebijaksanaan organisasi selama ini relatif lebih sesuai untuk memecahkan permasalahan pada sentra produksi komoditi subsisten dari sentra produksi komoditi perdagangan. Keberpihakan kebijaksanaan organisasi selama ini pada sentra produksi komoditi subsisten dapat dillhat dari penyediaan permodalan dan bantuan teknis. Penyediaan permodalan melalui program Kredit Usaha Tani (KUT) untuk pengembangan sentra komoditi subsisten sudah &mulai sejak Pelita I sampai saat ini. Jurnlah kredit relatif memadai. Diberikan bantuan teknis berupa penugasanpenugasan Penyuluh Pertanian di sentra komoditi subsisten. Kebijaksanaan permodalan untuk pengembangan sentra produksi komoditi perdagangan baru dimulai sehtar tahun 1997 begitu juga dengan penugasan PPL untuk memberikan bantuan teknis di sentra komoditi perdagangan relatif baru. Rendahnya kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan: pertama, dapat dilihat dari fleksibilitas kebijaksanaan dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan.dan wewenang yang diberikan kepada Penyuluh Pertanian dalam merespon perubahan-perubahan sosial-ekonomi petani.
P
P
L
selalu
mengidentifikasi faktor-faktor penentu produksi sebagai salah satu dasar untuk menyusun programa penyuluhan pertanian B P P (Tabel 4.6). P P L mengetahui programa tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan para petani sekarang, tetapi itu kebijaksanaan. Penugasan Penyuluh Pertanian hanya untuk menjamin terjadinya peningkatan produksi. Hal tersebut menyebabkan ke~atan-kegiatan Penyuluh Pertanian menjadi rutin dari tahun ke tahun. Penyuluh Pertanian merasakan hanya sebagai pembawa pesan-pesan pembangunan sedangkan peningkatan kompetensi sangat kurang mendapatkan perhatian. Penyuluh Pertanian terlalu banyak melaksanakan kegiatan pelayanan, sehingga relatif sedikit waktu untuk mengajarkan keterampilan kepada petani. Penugasan
Penyuluh Pertanian berdasarkan wilayah administrasi tidak sesuai dengan perubahan perilaku usaha tani petani. Penempatan Penyuluh Pertanian seharus nya berdasarkan kompetensi. Penyuluh Pertanian terlalu banyak dibebani program-program yang semuanya minta disukseskan, ha1 ini menuntut waktu dan energi relatif banyak, sehingga waktu untuk melayani petani relatif kecil. Sebagai Penyuluh Pertanian sering dalam posisi sulit, dari atas minta target-target hams tercapai, tetapi petani menolak, kalau tidak a& kepastian pemasaran. Penyuluh Pertanian tidak mempunyai wewenang untuk merencanakan usaha pertanian sesuai dengan kondisi petani setempat ber sama petani. Kalau Penyuluh Pertanian diberikan wewenang mengembangkan usaha tani bersama petani maka kegiatankegiatan Penyuluh Pertanian menjadi lebih menantang. Selama ini hanya mempunyai wewenang menyukseskan program-program dari atas. Kalau program-program terlambat, apalagi pelaksanaannya tidak sesuai dengan penjelasan semula, Penyuluh Pertanian Lapangan sering dibilang bohong oleh petani, ha1 ini menyebabkan kepercayaan petani menurun terhadap Penyuluh Pertanian. Kedua, dapat dilihat dari upaya pemerintah untuk memperlancar kegiatan
Penyuluh Pertanian. Fasilitas dari pemerintah daerah melalui dinas-dinas lingkup pertanian untuk mendukung kegatan penyuluhan pertanian relatif sangat kecil. Sebagian besar sumber anggaran kegiatan penyuluhan pertanian berasal dari Bantuan Kegiatan Operasional Penyuluhan Pertanian (BKOPP). Berdasarkan analisis data kualitatif tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: pertama, kualitas kebijaksanaan organisasi sebagai penentu penurunan motivasi Penyuluh Pertanian, ketidak sesuaian kompetensi Penyuluh Pertanian dengan kebutuhan para petani, penurunan harga diri Penyuluh Pertanian dihadapan para petani, p e n m a n kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian, kurang kondusifnya iklim organisasi Penyuluhan, rendahnya kualitas teknologi, kekurang sesuaian kepribadian Penyuluh Pertanian dan
rendahnya kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian; dan kedua, kebijaksanaan organisasi dalam penugasan Penyuluh Pertanian relatif kaku, dalam artian kurang responsif terhadap perubahan-perubahan kebutuhan para petani. Tingkat fleksibilitas kebijaksanaan organisasi &lam
memposisikan
penyuluhan pestanian dalam pembangunan pertanian merupakan refleksi dari struktur internal organisasi penyuluhan pertanian. Untuk memahami situasi organisasi penyuluhan saat ini, dapat menggunakan analisis Toynbee Capra (2000) tentang runtuhnya suatu peradaban. Setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban cenderung kehlangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh.Suatu elemen penting dalam keruntuhan budaya ini, menurut Toynbee karena hilangnya fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradabm tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Peradaban tersebut hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi. Penjelasan tersebut di atas relatif mirip dengan perkembangan penyuluhan pertanian selarna ini. Puncak vitalitas penyuluhan pertanian tercapai pada saat tercapainya swasembada beras tahun 1984. Pada saat itu, permasalahan dan kebutuhan petani relatif sederhana. Perilaku struktur dan pelaku-pelaku birokrat lingkup organisasi pertanian relatif menjadi kaku sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial dan kebutuhan petani. Menurut Heraklitos clan Aritoteles (Keraf dan Mikhael, 2001) perubahan merupakan ciri khas dari realitas apa saja, baik yang hidup maupun yang mati, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Evolusi merupakan kenyataan dasar setiap realita. Keterpurukan penyuluhan pertanian saat ini karena kegiatan penyuluhan pertanian tidak tanggap pada perubahan-perubahan lingkungan kerjanya.
Dengan menggunakan logika teori sistem, organisasi penyuluhan pertanian dapat diposisikan sebagai satu subsistem dari sistem yang lebih besar. Koestler 1978 (Capra, 1999) menggunakan istilah "holon" untuk subsistem-subsistem tersebut yang merupakan keseluruhan sekaligus bagian. Setiap holon mempunyai dua tendensi yang berlawanan: pertama, tendensi integratif yang digunakan untuk fungsi sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar, dan kedua, tendensi menonjolkan diri yang digunakan fungsi melestankan otonomi individualnya. Holon dapat bertahan kalau ada keseimbangan antara integrasi dan tendensi
penonjolan diri. Manifestasi tendensi integrasi adalah fleksibilitas holon. Organisasi penyuluhan sebagai salah satu pelaku kebijaksanaan pembangunan pertanian tendensi integrasinya yang relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari kurang responsifhya organisasi penyuluhan terhadap perubahan kebutuhan para petani. Kornpleksitas Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (X11) Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata skor kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian Lapangan, baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten relatif beragam, bervariasi dari 7,70-9,91 atau 40,52-52,15 % dari skor maksimal. Kondisi yang sama juga terjadi pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat dengan kisaran 7,OO-12,83 atau 36,84-67,52 % dari skor maksimal. Rata-rata skor kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komodlti perdagangan relatif lebih tinggi dari pada kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten. Wilayah kerja Penyuluh Pertanian di Provinsi Jawa Timur dan Lampung relatif lebih kompleks dari pada wilayah kerja Penyuluh Pertanian di Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah wilayah binaan Penyuluh Pertanian di Provinsi Jawa Timur dan Lampung berkisar satu sampai tiga desa, sedangkan di Nusa Tenggara Barat hanya satu desa. Wilayah binaan Penyuluh pertanian per desa di Jawa Timur dan Lampung relatif lebih luas dari pa& wilayah binaan per desa & Nusa Tenggara Barat, disamping tempat tinggal petani di Jawa Timur dan Lampung relatif lebih menyebar dari pada tempat tinggal petani di Nusa Tenggara Barat. Agroekosistem wilayah binaan Penyuluh Pertanian di Provinsi Jawa Timur dan Lampung relatif lebih bewariasi dari pada agroekosistem wilayah binaan Penyuluh Pertanian di Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan uraian-waian semua variabel Tabel 4.3 &pat disimpulkan bahwa: pertam variabel-variabel internal Penyuluh Pertanian bekej a secara sinergis dengan variabel-variabel eksternal Penyuluh Pertanian &lam menentukan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian; kedua kebijaksanaan organisasi sebagai aspek penentu penurunan motivasi Penyuluh Pertanian, ketidak sesuaian kompetensi Penyuluh Pertanian dengan kebutuhan para petani, penurunan harga diri Penyuluh Pertanian dihadapan para petani, penurunan kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian, iklim organisasi Penyuluhan yang kurang kondusif, rendahnya kualitas teknologi dan informasi pertanian, kwang sesuainya kepribadian Penyuluh Pertanian dan rendahnya kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian, ketlga kebijaksanaan organisasi dalam penugasan Penyuluh Pertanian relatif kaku, dalam artian tidak responsif terhadap perubahan-perubahan kebutuhan para petani; dan keempat setiap organisasi akan tetap bertahan hidup kalau organisasi tersebut mampu menjaga keseimbangan antara tendensi integrasi dan tendensi penonjolan diri.
Profil Petani Responden Dengan mempertimbangkan pemanfaatan implikasi penelitian ini, maka hanya variabel pendidikan, umur, tingkat komersialisasi dan jenis usaha tani
utama yang dikelola petani responden yang dipergunakan untuk mendesknpsikan petani rcsponden. Profil petani responden disajikan dalam Tabel 4. 4 Tabel 4.4. Hubungan antara tingkat pendidikan petani responden dengan tingkat komersialisasi dan jenis usaha tani utama yang dikelola No
1
Tingkat Pendidik an (thn) 26
(SD) 2
7-9
(SMP) 3 4 5 6
10-12
(SMU) >I2 (PT) Total n
Tingkat Komersialisasi Komer Subsisten sial (%) 45,20 (54,70) 19,20 (61,40) 28,40 (67,ZO) 7.20 (62,70) 100,OO 447
(%) 55,30 (45,30) 17,90 (36,60) 20,50 (32,80) 6,30 (37,30) 100,OO 302
Total
(100,OO) (100,OO) (lO0,OO) (100,OO) 749
Jenis usaha tani utama Horti Campur Pangan an kultura (%) 55,60 (44,ZO) 16,70 (35,OO) 20,80 (32,30) 6,60 (39,ZO) 100,OO 293
(%) 39,30 (29,OO) 20,20 (39,30) 32,OO (46,OO) 8,50 (45,lO) 100,OO 272
(Yo) 53,60 (26,80) 19,60 (25,70) 22,30 (21,70) 4,30 (15,70) 100,OO 184
Total
(100,OO) (100,OO) (100,OO) (100,OO) 749
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; campuran = pangan dengan hortikultura Total dalam kurung adalah total baris dari data dalam kurung; Total tidak skurung adalah total kolom dari data tidak dalam kurung.
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan dibawah 6 tahun, pro- porsi petani komersial lebih kecil dari proporsi petani subsisten. Pada tingkat penhdikan yang lebih tingg, proporsi petani-petani komersial relatif lebih besar
dan proporsi petani-petani subsisten. Terdapat kecenderungan makin tinggi tingkat pendidikan petani, makin komersial perilaku petani bersangkutan. Hasil analisis asosiasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat komersialisasi petani menunjukkan bahwa koefesien kontingensi C
=
0,106 (p
=
0,036). Dengan
demikian tingkat pendidikan berhubungan nyata dengan tingkat komersialisasi petani. Temuan ini memverifikasi pernyataan Martaamidjaja (1999) yang mengatakan pendidikan petani-petani Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada beberapa puluh tahun yang lalu. Hal ini nampak pada petanipetani komersial dimana 54,80 % pendidikannya h atas 7 tahun, dan beberapa di antaranya telah muncul petani-petani yang tingkat pendidikannya relatif tinggi yaitu di atas 12 tahun, walaupun proporsinya relatif kecil.
Dengan asumsi program wajib belajar sembilan tahun berjalan seperti yang direncanakan, maka ke depan perilaku para petani semakin komersial. Kondisi ini menuntut penyesuaian peran fungsi-fimgsi yang terlibat dalam proses pembangunan sektor pertanian. Hasil analisis korespondensi antara tingkat pendidikan petani dengan jenis usaha tani utama yang dikelola disajikan dalam Gambar 4.3. yang menunjukkan bahwa petani yang tingkat pendidikannya relatif tinggi, berada pada usaha tani campuran, sedangkan petani yang tingkat pendldikannya rendah cenderung memilih usaha tani pangan.
Row and Column Scores
El
pddkn
0
jut
Dimension 1 Canonical normaliatlon
Gambar: 4.3. Hubungan tingkat pendidikan (pddkn) petani dengan jenis usahatani (jut)
Seorang petani lulusan SPMA di Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengungkapkan: "bahwa para petani tidak sembarangan dalam menentukan jenis usaha tani, dalam menetapkan jenis usaha tani, petani mencari informasi tentang jenis komoditi apa yang harganya mahal dan kapan harganya mahal pada pedagangpedagang yang sering datang ke desa, pasar Kecamatan, pasar Provinsi. Mengamati pasar tidak cukup hanya satu, dua tahun. Paling tidak 3 tahun, maka akan mengetahui polanya, kapan suatu komoditi akan mendapat harga yang baik.
Saya sudah mempunyai pola tersebut, seperti kapan menanam kubis, tomat, cabe dsb serta di mana menjualnya. Disamping itu, saya juga menganalisis pola tanam untuk memperkirakan luas komoditi yang hams dtanam. Dalam membuat perencanaan usaha pertanian, mengkombinasikan antara informasi dari pasar dengan perkiraan hasil analisis pola tanam. Hampir semua petani sekarang pemikirannya seperti ity mereka didesak oleh kebutuhan sehari-hari disamping lahan mereka yang sempit. Sekarang sudah ada s q a n a IAIN, Hukum yang menjadi petani."
Dua orang petani muda lulusan SMP, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi mengungkapkan: "Sejak beroperasinya bendungan di Ngawi tiga tahun yang lalu, para petani bisa menanam padi tiga kali setahun, sebelumnya hanya menanam padi dua kali setahun dan satu kali palawija. Sekarang sulit dan selalu tidak berhasil menanam palawja karena jenis tanahnya yang liat disamping debit air sangat memadai, sehingga sulit mengering- kan sawah. Menanam padi untungnya relatif kecil, untuk meningkatkan pendapatan para petani memilih varietas padi yang diperlukan oleh pasar seperti varietas 1R 64, Way Apoburu, Widas. Saya tidak mau menanam varietas padi lainnya karena pemasarannya relatif sulit." Kalau dlperhatikan hubungan antara tingkat penddikan petani dengan dengan jenis usaha tani utama yang diusahakan, Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada tingkat pendldlkan di bawah 6 tahun proporsi petani yang usaha tani utamanya tanaman pangan, lebih besar dan proporsi petani yang usaha tani utamanya tanaman hortikultura dan campuran. Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, proporsi petani-petani yang usaha tani utamanya tanaman hortikultura dan campuran. relatif lebih besar dan proporsi petani-petani yang usaha tani utamanya tanaman pangan. Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, petani cenderung memilih usaha tani komoditi perdagangan. Hasil analisis asosiasi antara tingkat pendidikan dengan jenis usaha tani utama menunjukkan bahwa koefesien kontingensi C
=
0,150 (p
=
0,001). Dengan demikian tingkat pendidikan petani
berhubungan sangat nyata dengan jenis usaha tani utama yang dikembangkan. Dengan asumsi program wajib belajar sembilan tahun berjalan seperti yang direncanakan sehngga tingkat p e n d a a n petani makin tinggi, maka hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa ke depan para petani semalun responsif
menangkap isyarat-isyarat pasar dan keputusan-keputusannya sangat ditentukan oleh isyarat pasar. Perilaku pengambilan keputusan ini, menuntut penyesuaian peran fungsi-fungsi yang terlibat dalam proses pembangunan pertanian Seorang petani lulusan SMU Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi mengungkapkan: "setelah musim panen ini yaitu pada musim tanam ke dua saya akan menanam melon. Kalau hanya menanam padi, kehidupan saya akan begini-begini saja. Saya melihat kawannya yang menanam melon seluas 17 are pendapatan bersihnya selutar 10 juta. Kalau hanya menanarn padi dengan penguasaan lahan yang relatif sempit kapan saya mendapatkan penghasilan 10juta." Hasil analisis karakteristik umur, tingkat komersialisasi dan jenis usaha tani utama yang dlkelola petani responden disajikan dalam Tabel 4.5. Tabel 4.5. Hubungan antara umur petani responden dengan tingkat komersialisasi dan jenis usaha tani utama yang dlkelola No
1
4 5 6
Umur (thn)
/
524
1
I
(Tua)
/
1
zM . ..
(S. Tua) Total n
1
Tingkat Komersialisasi Komersia Subsisten 1 (%) (Yo) 14.50 1 6.60
1
1
/
1
(51,60) 4.30 (46,30) 100,oo 447
1
(48,40) 7.30 (53,70) 100,oo 302
Total
1
(100,OO)
1
1 1
(100,OO) 749
Jenis usaha tani utama Horti Campur Pangan an hltura (%) (%) (%) 7.20 1 15.80 1 12.90
I
(47170) 7.50 (53,70) 100,oo 293
1 1
I
(l0,30) 4.30 (19,50) 100,oo 184
1
1
(41,90) 4.00 (26,80) 100,oo 272
Total
1 1
1 (100,OO) 1
(100,OO) 749
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Usaha tani campuran = pangan dengan hortikultura Total d i i n m g adalah total baris dari data dalam kumng; Total tidak dikumng adalah total kolom.dari data tidak dalam k u ~ n g .
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa proporsi petani komersial yang umurnya di bawah 24 tahun, lebih besar dari proporsi petani subsisten. Pada tingkat umur ditas 50 tahun, proporsi petani-petani komersial relatif lebih kecil dari proporsi petani-petani subsisten. Terdapat kecenderungan makin tua petani, makin
subsisten perilaku petani bersangkutan. Hasil analisis asosiasi antara tingkat umur dengan tingkat komersialisasi petani menunjukkan bahwa koefesien kontingensi
C = 0,202 (p=0,000). Dengan demikian tingkat umur berhubungan sangat nyata dengan tingkat komersialisasi petani. Dengan asumsi terjadi regenerasi para petani, ke depan akan muncul petanipetani muda. Dengan menggunakan hasil analisis tersebut maka pada masa mendatang perilaku usaha tani petani ke arah komersial, cenderung makin menguat. Hasil analisis korespondensi antara umur petani dengan jenis usaha tani yang dikelola disajikan dalam Gambar 4.4 yang menunjukkan bahwa petanipetani muda dan dewasa cenderung memilih komohti hortikultura sebagai usaha taninya, sedangkan petani tua cenderung memilih komoditi pangan.
Row and Column Scores
jut
umur
Dimension 1 Canonical normalition
Gambar 4.4. Hubungan antara umur petani dengan jenis usaha tani (jut) yang dikelola.
Kalau dlperhatikan hubungan antara umur petani dengan jenis usaha tani utamanya Tabel 4.5 menunjukkan bahwa proporsi petani-petani muda yaitu petani
berumur di bawah 24 tahun memilih usaha tani utama hortikultura dan usaha tani campuran, relatif lebih tingp dan pada proporsi petani-petani muda yang memilih usaha tani utama pangan. Kecuali pada petani berumur di atas 64 tahun proporsi petani yang memilih usaha tani hortikultura dan campuran relatif lebih kecil dari pada petani yang memilih usaha tani pangan. Hasil analisis asosiasi menunjukkan bahwa koefesien kontingensi C= 0,162 (p=0,003). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan sangat nyata antara umur petani dengan komoditi usaha tani yang dikelola. Hasil analisis tersebut menunjukkan, pada masa mendatang kecenderungan perilaku petani memilih usaha tani hortikultura dan usaha tani campuran, kemunglunan makin menguat. Secara mum antara tingkat pendidikan dan umur hubungannya sangat nyata dengan tingkat komersialisasi dan jenis usaha tani utama seperti uraian di atas, tetapi ada juga suatu fenomena yang menyimpang. Seorang petani muda dari Kecamatan Labu Api, Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat mengungkapkan: "mengetahui dan paham bahwa berusaha tani padi untuk konsumsi, keuntungannya relatif kecil. Berdasarkan pengamatan pasar, temyata harga benih padi relatif lebih mahal. Saya bersama petani-petani lain mencoba usaha penangkaran benih padi, temtama benih padi baru yang kualitasnya sama dengan kualitas varietas padi IR 64. Saya selalu mencari informasi tentang benih-benih padl yang baru. Dalam usaha penangkaran benih, banyak mendapatkan hambatan. Dengan ketabahan dan keuletan hambatan tersebut dapat diatasi. Saya bersama kawan-kawan melayani benih petani dari pintu ke pintu. Temyata usaha penangkaran benih padi relatif menguntungkan." Seorang petani muda dan buta hump di desa Rama Utama, Kecamatan Seputihraman, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung mengungkapkan: "setelah ada saluran irigasi sejak tahun 1978, saya mengubah lahan kering menjadi lahan sawah dan bisa menanam padi dan palawija. Dulu menanam padi me- nguntungkan dan cukup hidup dari usaha tersebut. Disarnping bertani, juga nyambi dagang. Sekarang menanam padi tidak ada sisa, maksudnya tidak untung juga tidak rugi. Usaha tani padi seperti putar modal saja. Di lahan kering saya
menanam sayur seperti terong, tomat, cabe, kacang panjang. Hasilnya lumayan. Walaupun begitu saya merasa keadaannya belum berubah banyak karena sudah mulai mengeluarkan biaya pendidikan untuk anak-anak. Untuk mengubah nasib, saya mencoba menanam semangka. Hasilnya lumayan." Seorang petani umurnya lebih tua dari seorang petani di Seputihraman d~ atas, pendidikannya hanya sampai SR kelas 3, penyewa lahan karena memang tidak punya lahan dl Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat mengungkapkan: "keadaan seperti ini karena pendldlkan saya rendah, saya ingin anak-anak tidak seperti pendldikan saya yang rendah. Saya terus belajar di sawah dengan cara mencoba. Kalau punya anak sekolah, di rumah harus selalu ada uang untuk keperluan sehari-hari anak sekolah. Sebagai petani saya ingin seperti pegawai, bisa punya uang setiap hari. Untuk itu, saya menyewa tanah seluas 0,50 ha, sebagian ditanami padi sebagian ditanami sayur, secara bergiliran agar hasil sayurnya selalu baik. Saya pernah mencoba tanam sayur berturut-turut dl lokasi yang sama, temyata gagal. Untuk menentukan jenis sayur, istri saya yang mencari informasi kepasar kecamatan, sambil jualan. Di sawah ada sekitar 7-8 macam tanaman. Sekarang paling tidak 3 hari sekali, istri berjualan ke pasar, berarti setiap 3 hari saya mempunyai uang. Pola tanaman tersebut didapatkannya setelah 3 tahun coba-coba, selama coba-coba pemah juga gagal, walaupun gagal saya terus mencoba. Saya mengerjakan usaha tani seperti itu sudah 7 tahun." Berdasarkan uraian tersebut di atas, disamping tingkat pendidikan dan umur yang berhubungan dengan perilaku usaha tani petani ke arah komersial baik pemikiran maupun implementasi dalam pemilihan jenis usaha pertanian, temyata ada ha1 lain lagi yang berhubungan dengan perilaku petani seperti tampak dalam kasus petani petani dari Seputihraman, dia seorang petani muda tetapi buta h m f dan seorang petani clan NTB dengan pendidikan relatif lebih tinggi tetapi lebih
tua. Faktor-faktor tersebut antara lain kesadaran pada kondisi dirinya, kepribadian
dan tujuan hidupnya. Teori aksi yang dikembangkan oleh Eckensberger menjelaskan bahwa aksi atau tindakan seseorang sebagai perilaku kontekstual disebabkan oleh empat ha1 yang esensial dua di antaranya add& pertama, perilaku distrukturkan oleh beberapa tujuan masa depan, dan kedua, ada suatu pilihan di antara cara altematif untuk mencapai tujuan tersebut. Fromm (1976) mengungkapkan bahwa watak
manusia dapat berubah dalam kondisi sebagai berikut: pertama, dia sadar akan kondisinya, sedang dalam kondisi kekurangan; kedua, dia mengetahui asal atau penyebab munculnya kondlsi yang dirasakan; ketiga, dia tahu bahwa ada jalan
untuk mengatasi kondisi yang dirasakan; dan keempat, dia setuju bahwa untuk dapat mengatasi kondisi yang dirasakan itu, dia hams mengikuti norma-norma hidup tertentu dan mengubah praktek hidup yang sekarang. Uraian tersebut menunjukkan bahwa dari perspektif penyuluhan pertanian untuk mengubah perilaku dan perubahan perilaku tersebut terjadi kalau sentuhan-sentuhannya bukan hanya pada ranah kognitif dan konatif saja tetapi yang sangat penting adalah emosinya atau perasaan dan kepribadiannya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dlsimpulkan bahwa ke depan kecenderungan perilaku usaha tani para petani ke arah komersial, baik pola pemikiran, sikap dan pemilihan jenis usaha pertanian semakm menguat, terlepas dari latar belakang pendidlkan dan umur.
Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Programa Penyuluhan Pertanian Dalam menganalisis penyelenggaraan penyuluhan pertanian aspek-aspek yang dianalisis adalah aspek perencanaan lima belas programa penyuluhan pertanian Balai Penyuluhan Pertanian, aspek implementasi yang diungkapkan secara emik baik oleh Penyuluh Pertanian di lapangan maupun oleh para petani. Peubah yang dianalisis dari aspek perencanaan adalah jumlah dan jenis masalah yang dirumuskan, ranah yang direncanakan akan dlsentuh, dan metode penyuluhan yang dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan. Hasil analisis programa tersebut dlsajikan dalam Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Programa penyuluhan pertanian tingkat wilayah kerja Balai Penyuluhan Pertanian dl Provinsi Jawa Timur, Lampung clan Nusa Tenggara Barat
Sumber: Programa Penyuluhan Pertanian 15 BPP tahun 1999-2000. Keterangan: Total = Jumlah masalah yang diimuskan dalam programa penyuluhan BPP; P = Pengetahuan, K = Ketrampilan, SIA = S i p I a f e w , a = Demonstrasi cara; b = Sekolah lapang; c = Kursus tani; d = Perlombaan; e = Karyawisata; f = Demonstrasi plot; g = Ceramah; b = Gerakan massa; i = Kunjungan
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagan besar masalab yang dipecahkan melalui kegiatan penyuluhan pertanian adalah masalah-masalah yang terkait dengan peningkatan produksi usaha tani berkisar 68,00 %-92,70 % dari total masalah yang dirumuskan dalam programa penyuluhan pertanian. Hal ini mengindikasikan: perfama, programa penyuluhan pertanian
merupakan
penjabaran dari program-program dinas lingkup Pertanian; dan kedua, kompetensi dominan P P L adalah dalam aspek produksi usahatani. Perencanaan tersebut juga mengisaratkan bahwa Penyuluh Pertanian hanya membantu petani meningkatkan produktivitas usaha tani yang telah dikembangkan oleh petani, bukan memberikan altematif-altematif usaha tani baru yang relatif menguntungkaa kepada petani. Dengan demikian selama ini petanilah yang mengkombinasikan semua informasi yang dikumpulkan sebagai dasar merencanakan jenis usaha tani yang hams dikembangkan sehingga pada saat panen, produksinya mendapatkan harga jual yang layak. Penyuluh Pertanian Lapangan hanya meningkatkan komponen-komponen kemam- puan pengetahuan (100,OO %) dan kemarnpuan keterampilan (100,OO YO) petani, sedang kan peningkatan komponen kemampuan sikap relatif sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa Penyuluh Pertanian dominan hanya menyentuh ranah kognitif dan ranah konatif petani, Penyuluh Pertanian relatif sangat kecil menyentuh ranah afektif atau perasaan petani. Perasaan adalah penentu perubahan perilaku seseorang. Perasaan seseorang tergerak atau tersentuh kalau stimulus yang &berikan sesuai dengan kebutuhan yang bersangkutan. Permasalahannya adalah alasan Penyuluh Pertanian relatif sangat kecil menyentuh perasaan atau sikap para petani. Rogers (Suryabrata, 1998) mengatakan bahwa emosi atau perasaan berkepanjangan memberikan fasilitas tingkah laku berarah tujuan itu. Menurut Allport 1954, H~lgard 1980, Mc Guire 1969, Ajzen 1988 (Sarwono, 1997), sikap mengandung tiga bagian atau domain yaitu kognitif (kesadaran), afektif (perasaan) dan konatif (perilaku). Ketiga domain itu saling terkait sehingga timbul teori bahwa jika kita dapat mengetahui kognisi dan perasaan-perasaan seseorang terhadap suatu objek kita akan tahu juga kecenderungan perilakunya. Dengan tidak menyentuh ketiga domain secara proporsional, maka akan sulit diharapkan terjadinya perubahan perilaku. Sikap seseorang terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Pandangan ini
mempunyai dampak terapan yaitu berdasarkan pandangan ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi) untuk mengubah sikap seseorang (Sarwono, 1997). Proses belajar itu sendiri dapat tejadi melalui proses pengkondisian klasik, proses belajar sosial yaitu melalui peniruan dari perilaku model dan melalui pengalaman langsung. Menurut Fazio dan Zanna (Sarwono, 1997), sikap yang terbentuk melalui pengalaman langsung, lebih kuat dari pada slkap yang terjadi melalui proses belajar lainnya. Metode penyuluhan pertanian sebagai manifestasi proses mengajar petani yang di pergunakan oleh Penyuluh Pertanian (Tabel 4.6) dapat dipergunakan sebagai penduga untuk menentukan domain petani yang disentuh oleh Penyuluh Pertanian dalam upaya mengubah perilakunya. Hasil analisis lima belas programa Balai Penyuluhan Pertanian menunjukkan, sebagian besar Penyuluh Pertanian menggunakan metode demontrasi cara, demonstrasi plot, ceramah dan kunjungan. Perencanaan tersebut mengindikasikan, Penyuluh Pertanian dominan hanya menyentuh domain kognitif para petani. Berdasarkan teori pembentukan sikap tersebut dr atas, ha1 ini berarti kontribusi Penyuluh Pertanian dalam proses pembentukan sikap dan perilaku petani relatif kecil. Dengan demikian perubahan sikap petani saat ini kemungkrnan besar terjadi lebih banyak dipengaruhi oleh proses belajar melalui mengalami sendiri yaitu belajar sambil mengerjakan usaha tanmnya.
Kegiatan Penyuluhan Pertanian Hasil analisis kegiatan penyuluhan pertanian yang meliputi materi, metode dan intensitas kunjungan ke wilayah kerja, disajikan dalam Tabel 4.7, 4.8 dan 4.10. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa materi utama penyuluhan pertanian yang disosialisasikan atau diajarkan oleh Penyuluh Pertanian kapada para petani pada sentra produksi komodrti perdagangan maupun pada sentra produksi komodrti
subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat adalah program-program Pemerintah. Selain itu adalah teknologi atau informasi yang berkaitan dengan produksi usaha tani di semua lokasi penelitian. Kegiatan berupa pemecahan masalah yang drhadapi petani dan altematif-altematif usahatani yang menguntungkan, relatif kecil disosialisasikan atau diajarkan kepada petani. Disamping itu ada juga materi-materi penyuluhan pertanian menurut petani yang tidak jelas, terutama pada sentra produksi komoditi perdagangan baik di Provinsi Jawa Timur, Lampung maupun di Nusa Tenggara Barat.
Tabel 4. 7. Materi penyuluhan pertanian menurut pengakuan petani responden pada sentra produksi komoditi perdagangan dan sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden di lokasi hersangkutan per jenis materi. I= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Verifikasi hasil analisis Tabel 4.7 dapat dimaknai dari pengakuanpengakuan para petani yang sering berinteraksi dengan Penyuluh Pertanian di lapangan. Penyuluh Pertanian kalau berkunjung ke petani, sering menyampaikan informasi-informasi yang berkaitan dengan pola tanam, penyusunan RDKK, kredit usaha tani, bantuan dari pemerintah, dan teknologi yang berkaitan dengan komoditi padi, kedele, jagung seperti penanggulangan hama penyakit,
pemupukan, koperasi tani, penggemukan sapi. Penyuluh Pertanian sangat jarang menyarankan usaha tani yang menguntungkan diusahakan. Petani menyarankan agar P P L, sebabya membuat percontohan usaha, kalau percontohan usahanya dinilai menguntungkan, pasti akan diterapkan, kalau diajak mengunjungi petani berhasil, petani lebih cepat menirunya dari pada Penyuluh hanya menyarankan saja, setelah dicoba belum tentu sesuai dengan ha1 yang dlsarankan. Berdasarkan analisis data Tabel 4.7 dan makna dan pengakuan para petani dapat disimpulkan bahwa: pertama, penyuluhan pertanian dominan sebagai kendaraan pembawa program-program pemerintah dengan pendekatan produksi sebagai materi penyuluhan pertanian; kedua, dinamika penyuluhan pertanian relatif kaku dalam merespon perubahan-perubahan yang terjah seperti pemecahan masalah yang sedang dihadapi petani; dan ketlga, pada daerah-daerah dimana relatif tidak banyak terdapat program pemerintah, maka a& gejala materi penyuluhan pertanian relatif kurang jelas. Salah satu dampak pslkologis dan dinamika penyuluhan pertanian yang relatif kaku terhadap perubahan situasi &lam kurun waktu sudah relatif lama adalah muncul dan berkembangnya kepribadian menunggu perintah & kalangan penyuluh pertanian. Kondisi ini sudah dirasakan oleh para atasan Penyuluh Pertanian. Menurut Sarason (1969),sifat baru sebagai kepribadian dapat terbentuk bila pembentukannya itu berkaitan langsung dengan tuntutan lingkungan dan kebutuhan individu bersangkutan. Bagi Penyuluh Pertanian yang sadar akan peran-peran diharapkan oleh petani terhadap dirinya dan peran tersebut bertentangan dengan peran-peran yang diharapkan oleh atasannya, pada kondisi seperti itu telah terjadi konflik peran yang berdampak pada p e n m a n motivasi kerja Penyuluh Pertanian. Hasil analisis metode penyuluhan pertanian yang sering dipergunakan Penyuluh Pertanian dalarn berinteraksi dengan para petani menurut pengakuan petani responden disajikan dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Metode penyuluhan pertanian yang pernah dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan menurut petani responden di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
I
6
Perwntohan
7
Belajar ke petani yang herhasil
00,OO n=126 00,OO n=126
1,OO n=l19 1,OO n=119
00,OO n=126 00.00 n=126
00.00 n=126 00,OO n=126
1,90 n=126 00,OO n=126
8,60 n=126 1,lO n=126
Sumba: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden di lokasi bermgkutan per macam metode penyuluhan; I= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur); 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa metode-metode penyuluhan pertanian yang relatif dominan dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten adalah pertemuan dengan petani di Balai Desa, pertemuan kelompok tani, kunjungan ke rumah dan kunjungan ke Kantor Desa. Metode penyuluhan pertanian yang relatif jarang dipergunakan adalah metode kunjungan lapangan, percontohan dan belajar ke petani yang berhasil dan maju. Pengalaman pelaku penyuluhan pertanian swasta bahwa membawa petani belajar ke petani-petani yang berhasil dan maju, relatif lebih efektif dari metode penyuluhan yang lain. Metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian seharusnya disesuaikan dengan tingkat perkembangan para petani dan dinarnika petani dalam berusaha tani untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya
Petani sayur di Malang mengungkapkan: "para petani berangkat ke ladang setelah subuh, sarapan sering dibawakan oleh istri kadang-kadang juga oleh anak-anak.Sembahyang azhar dan lohor sering di sawah. Kadang-kadang setelah magrib baru pulang. Malam hari badan rasanya sangat capek, pemah sampai lupa sembahyang isyak karena capek tern ketiduran. Pada malam hari sering juga ada undangan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian. Kami sering mengantuk mengikuti penyuluhan pada malam hari, begitu juga kawan-kawannya yang lain. Penyuluh Pertanian sering hanya memberikan pengarahan, kalau sudah begitu terus kepala pusing. Kami menghendala yang praktek langsung sehingga langsung bisa dilihat buktinya. Petani sekarang kalau tidak melihat bukti, tidak percaya." Seorang petani muda di Lombok Barat mengatakan Penyuluh Pertanian sering datang ke rurnah ketua kelompok tani dan sering juga turun ke sawah mempraktekkan teknologinya, ha1 seperti itu yang dia senangi Ungkapan-ungkapan petani tersebut di atas dapat dmaknai bahwa peta kogmtif
petani
tentang
penyuluhan
pertanian
telah
terbentuk,
yang
dimanifestasikan dalam bentuk perubahan cara belajar yang menghendaki bukti. Petani menghendaki cara belajar mengerjakan, sedangkan metode yang sering dipergunakan Penyuluh Pertanian adalah belajar tentang yang artinya belajar teori. Alasan petani belajar perlu bukti. Hal ini dapat dijelaskan dengan dalil Rogers (Suryabrata, 1997) mengatakan hal-ha1 yang dialami atau dipikirkan orang sebenamya bukan kenyataan bagi orang itu; ha1 itu hanyalah hipotesis tentang kenyataan yang harus ditest, yang dapat benar atau tidak. Orang menunda penilaiannya sampai dia menguji hipotesis itu. Oleh karena itulah setiap ha1 yang disampaikan oleh Penyuluh Pertanian baru dilihat sebagai hipotesis dan perlu pembuktian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa setiap informasi yang disampaikan oleh Penyuluh Pertanian kepada petani tanpa disertai bukti, peluangnya sangat besar tidak diterima. Azas manfaat adalah salah satu alasan mengapa petani belajar. Variasi tentang manfaat dapat bermacam-macam tergantung petaninya. Walaupun demikian manfaat yang pasti diharapkan oleh petani dalam mengikuti kegiatan
penyuluhan pertanian adalah manfaat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kalau belajar untuk hidup maka yang paling sesuai cara belajarnya adalah belajar mengejakan tetapi kalau hldup untuk belajar maka cara belajar yang paling sesuai adalah belajar tentang. Tabel 4.9. Perbedaan antara pembelajaran, pengajaran dan latihan
Mendewash Memandirikan Memberdayakan Memecdekakan Homo signifikans danhomo ludens Esensi yang perludisadarkan
Manusia sebagai
Proses
Homo sapiens
I Gelas kosong yang perlu
I Menyentuh sod-sod
(paradigma hidup
Homo valens dan homo
I mechanicus I Potensi yang perlu
diisi Lanjutan Teaching Olah pikirlotak Belajar bagaimana belajar dan berpikir Pembedaan
Educating Olah [asahti Belajar menjadi Informal Penyelarasan
praktik Meningkatkan keterampilan
Memberi ilmdteori
I
I Sikap hidup
dikembangkan Training Belajar melakukan Non formal Penyamaan
I
1 PerilWgaya hidup
Hasil
/ Pembelajar Sumber : Harefa (2000)
1
Belajar tentang hanya menyentuh domain kognitif yang berarti belajar tentang teori, tetapi belajar mengejakan yang dominan tersentuh adalah domain afektif dan domain konatif yang berarti cara belajar mengalami langsung sehingga proses pembentukan sikap petani lebih efektif terhadap hal-hal yang dlpelajari. Hasil analisis Tabel 4.7 mengungkapkan kegiatan penyuluhan pertanian selama
ini sangat dominan hanya menyentuh domain kognitif. Dengan demikian telah terja& konflik cara belajar petani dengan cara Penyuluh Pertanian mengajar petani. Mungkm ha1 ini yang menjadi salah satu alasan mengapa petani relatif enggan mengikuti kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh Penyuluh Pertanian. Metode-metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian merefleksikan konsepsi kegatan-kegatan penyuluhan pertanian selama ini di kembangkan berbasis pengajaran (teaching based). Operasionalisasi landasan ini direfleksikan dalam tujuan penyuluhan pertanian yaitu untuk mengubah perilaku petani. Mengubah penlaku bermakna ada orang yang mengubah dalam hal ini Penyuluh Pertanian dan ada orang yang diubah dalam ha1 ini petani. Ada subyek ada obyek sehngga interaksinya sangat bemuansa patemalistik, birokratis. Penyuluh Pertanian diposisikan aktif, sedangkan petani diposisikan pasif. Petani hanya sebagai konsurnen informasi dan teknologi, Penyuluh Pertanian (birokrasi) sebagai produsen dan sumber teknologi. Birokrasilah merasa paling tahu dan memilihkan hal-ha1 yang terbaik bagi petani. Landasan ini mengasumsikan petani ibarat botol kosong yang hams terns diisi. Tabel 4.11 menunjukkan bahwa petani sudah menjadi produsen teknolog dan informasi dengan indikator 15,00 % Penyuluh Pertanian memanfaatkan
petani maju sebagai sumber teknologi yang dipergunakan sebagai maten penyuluhan pertanian. Fakta ini menunjukkan bahwa asumsi petani ibarat botol kosong dan hanya sebagai konsumen teknologi adalah kurang realistis. Berdasarkan pernbahan-perubahan yang telah tejadl pada aras petani, ke depan konsepsi-konsepsi metode penyuluhan pertanian hams dikembangkan dengan basis belajar (learning based). Konsep ini bermakna aktif, baik petaninya maupun Penyuluh Pertaniannya. Dalam konsep ini petani dilihat sebagai produsen teknologi, petani menjadi salah satu sumberdaya penyuluhan pertanian. Penyuluh Pertanian Lapangan dan petani dalam posisi relatif setara, petani sebagai mitra,
di sentra produksi komoditi perdagangan yang berkunjung kewilayah kerjanya sebulan sekali relatif lebih kecil dari pa& proporsi Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi subsisten. Kecendemngan tersebut berbalik arah pada kategori intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian lebih dan 2 bulan sekali. Tabel 4.10. Tingkat kehadiran Penyuluh Pertanian Lapangan ke desa wilayah kerjanya menurut petani responden pada sentra produksi komoditi perdagangan dan sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
Sumber: Data primer 2000-2001 Keterangan : n = Jumlah petani responden I= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Relatif lebih rendahnya tingkat intensitas kunjungan P P L d sentra produksi komoditi perdagangan dibandingkan dengan intensitas kunjungan P P L di sentra produksi komodrti subsisten: pertarnu, berhubungan dengan wilayah kerja Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih kompleks dari pada wilayah kej a Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi subsisten; kedua, curah hujan dan hari hujan pada sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih banyak dari curah hujan dan han hujan pada sentra produksi komoditi subsisten, sehingga aktivitas Penyuluh Pertanian sering terhambat; dan ketiga, prograrn-program pembangunan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan jumlahnya relatif lebih sedikit dbandingkan
dengan program-program pembangunan pertanian pada sentra produksi komotllti subsisten. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyelenggaraan penyuluhan pertanian selama ini kurang berpihak untuk memenuhi kebutuhan individual petani. Dalam logika proyek terdapat petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis yang lebih rinci dari petunjuk pelaksanaan, target-target, terikat waktu. Logika proyek sangat kaku, kreativitas walaupun efektif dan efisien belum tentu dibenarkan. Proyek merupakan daya utama dinamika Penyuluh Pertanian dalam berinteraksi dengan petani. Begitu program atau proyek berkurang, kegiatan penyuluhan relatif berkurang secara signifikan, daya P P L berkurang untuk berinteraksi dengan petani sehingga intensitas ke wilayah keja menurun. Seharusnya sumberdaya utama P P L adalah kompetensi yang dikuasainya. Kondisi keja seperti tersebut di atas yang berlangsung bertahun-tahun berdampak pada kepribadian Penyuluh
Pertanian yang menjadi tidak sesuai lagi dengan pembahan lingkungan kej a dan kemajuan-kemajuan para petani.
Evolusi Penyelenggara Penyuluhan Pertanian Sumber Informasi dan Teknologi bagi Penyuluh Pertanian Lapangan Penyelenggara penyuluhan pertanian adalah perorangan atau institusi baik pemerintah maupun swasta yang berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung ter- hadap pelaksanaan fbngsi-fungsi penyuluhan pertanian. Bentuk kontribusi yang dianalisis adalah perannya sebagai sumber informasi dan teknologi bagi Penyuluh Pertanian dan perannya sebagai tempat bertanya atau berkonsultasi bagi para petani. Hasil analisis evolusi penyelenggara penyuluhan pertanian disajikan dalam Tabel 4.11- Tabel 4.24. Tabel 4.11 menggambarkan pergeseran sumber-sumber teknologi dm informasi pertanian yang paling sering dimanfaatkan oleh Penyuluh Pertanian
untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugasnya. Kata sering mempunyai konotasi frekuensi dan denotasi teknologi dan informasi tersebut bermanfaat untuk memecahkan pennasalahan-per- masalahan yang dihadapi oleh petani Tabel 4.11. Pergeseran sumber-sumber teknologi dan informasi pertanian bagi Penyuluh Pertanian Lapangan
Sumher: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan: n = Jumlah responden Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
Tabel 4.11 menunjukkan, bahwa saat ini Penyuluh Pertanian Lapangan meman- faatkan sumber-sumber teknologi dan informasi pertanian relatif lebih bervariasi dibandingkan dengan periode sebelumnya untuk meningkatkan kompetensi dirinya dan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan petani. Periode sebelumnya, sumber informasi dan teknolog pertanian ugma, bagi Penyuluh Pertanian adalah: Departemen Pertanian dengan segenap jajarannya baik di pusat maupun di daerah, pelatihan di B P P, publikasi-publikasi institusiinstitusi Departemen Pertanian, Penyuluh Pertanian Spesialis. Pada saat itu, informasi dan teknolog pertanian relatif dimonopoli oleh institusi pemerintah.
Saat ini telah muncul pelaku-pelaku baru mendampingi pemerintah sebagai sumber teknologi dan informasi pertanian bagi Penyuluh Pertanian seperti petanipetani maju dan petani-petani berhasil, swasta seperti tenaga lapang perusahaan saprodi, kios saprodi, pedagang perantara, asosiasi petani, media massa clan teman sejawat. Pemegang mandat fungsi-fungsi penyuluhan pertanian bukan l a g menjadi satu-satunya sum ber teknologi utama bagi Penyuluh Pertanian Lapangan. Pelatihan di Balai Penyuluhan Pertanian yang dulunya dilaksanakan secara terencana, teratur dan terjadwal, tidak lagi sebagai sumber utama teknologi dan informasi pertanian bagi Penyuluh Pertanian. Kegiatan tersebut digantikan oleh kegiatan tukar menukar pengalaman sesama teman sejawat Penyuluh Pertanian. Sekitar 53,30 % Penyuluh Pertanian mengatakan surnber teknologi utama dari kegiatan tukar menukar pengalaman di antara sesama Penyuluh Pertanian. Kegiatan tersebut bukan merupakan strategi yang dlrencanakan oleh Koordinator Penyuluh Pertanian di B P P untuk meningkatkan kompetensi mereka, tetapi merupakan konsekuensi sistem penyuluhan pertanian kurang bejalan semestinya. Hal ini dapat dllihat dan rata-rata realisasi pelaksanaan latihan di B P P, berkisar 0,OO-0,70 jam per tahun yang seharusnya 2,00 jam per tahun.
Mekanisme sistem penyuluhan pertanian relatif kurang bejalan, kompetensi pelatih clan Kabupaten yang tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan dan adanya tuntutan para petani, memacu kreativitas P P L untuk mencari surnber-sumber teknologi dan informasi yang mudah dijangkau dan bermanfaat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para petani. P P L melihat "petani-petani berhasil dan maju" baik yang berasal dari dalam Kecamatan maupun dari luar Kecamatan, petugas lapangan swasta sebagai sumber teknologi pertanian alternatif Selutar 15,OO % Penyuluh Pertanian mengatakan sumber teknologi utamanya dari petani
berhasil dan maju. Di B P P Labu Api dan B P P Dasan Tereng, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, P P L belajar kepada petani-petani berhasil, yang dijadikan
salah satu strategi peningkatan kompetensi Penyuluh Pertanian. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap hari Jumat. Di daerah lain belajar kepada petani berhasil atau maju merupakan kegatan atas inisiatif masing-masing Penyuluh Pertanian. Penyuluh Pertanian mengaku bahwa teknologi dan informasi pertanian yang berasal dari petani-petani berhasil dan maju lebih dlpercaya oleh petani-petani lainnya dari pada teknolog dan informasi pertanian yang bersumber dari bukan petani. Disamping petani-petani berhasil, juga telah muncul swasta sebagai alternatif sumber teknologi pertanian bagi Penyuluh Pertanian walaupun proporsinya relatif kecil, tetapi dalarn situasi yang mendesak peran swasta sebagai alternatif sumber teknolog pertanian, bagi Penyuluh Pertanian relatif besar (25,20 %) dari pada sumber-sumber teknologi pertanian yang lain.
Hasil analisis Tabel 4.11 menunjukkan hubungan fungsional antara institusi-institusi penelitian dengan institusi penyuluhan pertanian relatif lemah. Pertuma, ha1 ini dapat dllihat dari relatif kecilnya peneliti, sebagai s&r
teknologi dan informasi pertanian bagi Penyuluh Pertanian, padahal mereka mempunyai potensi sebagai salah satu sumberdaya penyuluhan pertanian, dilain pihak Penyuluh Pertanian relatif kesulitan men dapatkan informasi dan teknologi. Hasil analisis Tabel 4.34 dan Tabel 4.35 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian relatif rendah. Petani dengan upayanya sendiri dengan caranya sendiri mencari dan mengembangkan teknolog dan informasi pertanian yang sesuai dengan kondisinya mtuk memecahkan permasalahan-permasalahanyang dihadapinya.
Fakta tersebut merefleksikan bahwa institusi penelitian dan penyuluhan bekerja indpenden atau hubungan fungsionalnya lemah. Hal yang sama juga terjadl di Negara-Negara lain dl Asia (Asian Produktivity Organization, 1999). Menurut pengakuan PPL, mereka tidak mengunjungi Lembaga-Lembaga penelitian di daerah untuk mencari teknologi dan informasi pertanian karena mereka belurn mengetahui jenis teknologi dan informasi yang dimillikinya, kalau
mereka berkunjung apakah dlterima, siapa yang harus ditemui. Penyataanpemyataan ini merefleksikan terjadinya hambatan psikologis bagi P P L untuk mengunjungi lembaga-lernbaga penelitian karena komunikasi kedua belah pihak yang relatif kurang lancar.
Kedua, dapat dilihat dari relatif rendahnya pemanfaatan publikasi-puhlikasi dari institusi-institusi penelitian & B P P sebagai sumber informasi dan teknologi pertanian oleh Penyuluh Pertanian dibandingkan dengan peranan sesama P P L, petani maju dan petani berhasil. Penyuluh Pertanian sering mengatakan bahwa hasil-hasil penelitian yang disampaikan melalui media folder, brosur tidak semuanya langsung dapat dipergunakan sebagai materi penyuluhan. Isi media tersebut perlu dilakukan adaptasi di setiap wilayah kerja penyuluh pertanian. Media tersebut dan media massa lebih banyak dibaca oleh Penyuluh Pertanian hanya untuk memperluas wawasan pengetahuan dan pemikirannya. Hambatan utama dalam pengembangan media informasi sebagai instrumen untuk mengembangkan kompetensi Penyuluh Pertanian adalah relatif rendahnya minat baca para Penyuluh Pertanian sendiri. Peningkatan kompetensi Penyuluh Pertanian melalui pelatihan yang biasa dilaksanakan di B P P, lebih banyak belajar tentang atau belajar teori. Cara belajar tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan petani saat ini. Hasil analisis data kualitatif Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kepercayaan petani terhadap saran-saran P P L akan meningkat, kalau petani sudah mengetahui bahwa Penyuluh Pertanian sudah pemah mengejakan hal-ha1 yang disarankan kepada petani. Dengan demikian strategi-strategi peningkatkan kompetensi Penyuluh Pertanian juga hams dikaji ulang. Melibatkan Penyuluh Pertanian di lapangan dalam setiap kegiatan penelitian mempakan kegiatan berhasil ganda yaitu: pertama, kegiatan penelitian sekaligus meningkatkan kualitas sumberdaya penyuluh pertanian, dan kedua, secara tidak langsung keterlibatan Penyuluh
Pertanian dalam kegiatan penelitian dapat meningkatkan kepercayaan petani terhadap Penyuluh Pertanian. Hasil analisis Tabel 4.11 menunjukkan bahwa ada empat pelaku penyelenggara penyuluhan pertanian berpotensi sebagai surnberdaya penyuluhan yaitu: peneliti, swasta (lembaga agribisnis), petani dan penyuluh. Keempat pelaku tersebut berkedudukan setara dan bermitra dalam melaksanakan fimgsi-fungsinya untuk mencapai tujuannya masing-masing yang hams menguntungkan kesemua pihak. Sinergisme keempat pelaku tersebut akan terjadl, kalau peneliti dan penyuluh pertanian mempunyai kesadaran, sikap dan perilaku bahwa kegiatan penelitian dan penyuluhan pertanian adalah investasi yang hams dikembalikan. Dengan perkataan lain, hasil-hasil penelitian dan saran-saran penyuluh perkmian harus meningkatkan nilai tambah produksi usaha tani para petani, bukan hanya nilai guna. Pengembalian investasi penelitian dan penyuluhan secara tidak langsung dikembalikan oleh petani, melalui peningkatan produktivitas usaha tani terutama produktivitas ekonomi sebagai luaran petani menerapkan hasil-hasil penelitian dan menerapkan saran-saran Penyuluh Pertanian. Makna logika tersebut adalah dengan tidak diterapkannya hasil penelitian dan tidak diterapkan sara-saran Penyuluh Pertanian oleh petani merupakan kegiatan pemborosan anggaran. Berdasarkan uraian dan hasil analisis tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksana fungsi penelitian mempunyai potensi sebagai prime mover sinergisme dinamika penyuluhan pertanian pada masa mendatang dan sebagai penanggung jawab untuk mengembangkan kualitas sumberdaya Penyuluhan Pertanian.
Sumber Informasi dan Teknologi Pertanian bagi Petani Media Massa dan Media Informasi
Peran media massa dan media informasi sebagai sumberi informasi b a ~ petani yang berkaitan dengan informasi jenis sarana produksi pertanian dan manfaatnya (Tabel 4.12), informasi ketersediam jenis sarana produksi pertanian (Tabel 4.13), teknologi produksi usaha tani atau teknologi budidaya (Tabel 4.14), teknologi pengolahan hasil-hasil pertanian (Tabel 4.15), informasi harga dan pemasaran hasil (Tabel 4.16), informasi permodalan usaha tani (Tabel 4.17), informasi jenis usaha pertanian yang menguntungkan (4.18). Tabel 4.12. Proporsi petani memanfaatkan medla massa untuk mencari informasi jenis sarana produksi pertanian dan manfaatnya (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per media massa 1= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Tabel 4.12 menunjukkan bahwa proporsi petani yang memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi jenis sarana produksi pertanian dan manfaatnya relatif kecil. Pencarian informasi tersebut ke media TV dan radio bukan merupakan aksi yang disengaja, tetapi aksi ikutan dari motif petani mencari hiburan. Proporsi petani melihat TV dan mendengarkan radio di sentra produksi komoditi subsisten relatif lebih banyak dan pa& petani di sentra produksi
komoditi perdagangan. Petani-petani pada sentra produksi komoditi perdagangan mengaku bekeja dari pag sampai sore. Mereka sering sembahyang lohor dan azhar di sawah, sehingga pada malam hari mereka kelelahan. Komoditi sayur memang menuntut petani bekeja seperti itu, terlambat mengamati dan mengatasi pennasalahan terutama hama penyakit, usahatani saya bisa gaga1 total. Petanipetani di sentra komo&ti subsisten relatif lebih senggang, sehingga energinya masih dapat dimanfatkan untuk menonton TV. Secara umurn petani mengatakan, sejak 3 tahun terakhu TV sangat jarang menayangkan acara-acara pertanian. Radio baik radio swasta maupun radio pemerintah lebih banyak menyiarkan acara-acara tersebut. Perusahaan saprod1 sering memanfaatkan media radlo temtama radio swasta mempromosikan produk-produk yang baru. Proporsi petani memanfaatkan media informasi tercetak untuk mendapatkan informasi jenis-jenis saprodi pertanian dan manfaatnya relatif sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan pasokan media tersebut relatif kecil disamping mayoritas petani belum banyak merasakan manfaatnya belajar melalui media informasi tercetak. Mereka mendapatkan media brosur dan selebaran (folder) dari perusahaan saprodi di hos-kios saprodi. Mereka membaca swat kabar di Balai Desa, walaupun demikian beberapa petani sudah ada yang berlangganan surat kabar lokal. Petanipetani terutama di sentra komoditi perdagangan sangat berminat dengan majalah Trubus. Mereka membeli majalah trubus bekas & emperan toko. Achmad seorang petani sayur di Malang mengatakan, kalau pergi ke Batu atau ke Malang membeli saprodi, di pinggiran jalan sering melihat orang menjual majalah Trubus, dia mampir dan membaca sekilas, kalau ada yang menarik, &a membeli seharga Rp 1000-Rp1500per buah. Petani memanfaatkan informasi tersebut di atas, pada saat teknologi yang sudah biasa mereka pergunakan dalam berusaha tani, tidak efektif lagi untuk memecahkan pennasalahan-permasalahannya. Mereka menanyakan informasi yang baru didapatkannya melalui media informasi tercetak ke hos-kios saprodi
dan ke petani lainnya untuk meminta penjelasan keunggulan informasi tersebut.
Petani &an yakin dengan informasi tersebut kalau kawan-kawannya mempunyai pengalaman dan berhasil mengatasi pennasalahannya dengan menggunakan informasi tersebut, kalau kawan-kawannya belum ada yang mempunyai pengalaman, maka petani akan yakin dengan efektivitas informasi tersebut untuk memecahkan masalahnya, kalau harganya relatif lebih mahal dari yang biasa petani pergunakan. Petani mempunyai logika, makin mahal harga saprodl, makin efektif atau makin baik kualitas saprodi tersebut. Pada saat itu telah terjadi proses belajar antara pedagang saprodi di kios dengan petani, antara petani dengan petani. Dengan demikian pemanfaatan media informasi dalam kegiatan penyuluhan pertanian bukan instrumen utama dalam proses perubahan perilaku petani, tetapi hanya sebagai pendorong terjadinya proses petani belajar dan mengkondls~kanproses perubahan perilaku petani. Tabel 4.13 menunjukkan bahwa proporsi petani yang memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi ketersediaan jeNs sarana produksi pertanian relatif kecil. Pencarian informasi tersebut ke media TV dan radio bukan merupakan aksi yang disengaja, tetapi aksi ikutan dari motif petani mencari hiburan. Proporsi petani melihat TV dan mendengarkan radio untuk mencari informasi ketersediaan sarana produksi di daerah sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak d m pada petani di daerah sentra komoditi perdagangan. PetaNpetani di sentra komoditi perdagangan mengaku bekerja dari pagi sampai sore. Mereka sering sembahyang lohor dan azhar di sawah, sehingga pada malam hari mereka merasa lelah. Komodlti sayur memang menuntut petani bekerja seperti itu, terlambat mengamati dan mengatasi permasalahan terutama hama dan penyakrt, usaha tani bisa gaga1 total, berusaha tani sayur harus telaten dan ulet dan rajin mengamati tanaman. Petani-petani di sentra komoditi subsisten relatif lebih senggang, sehngga mereka sempat menonton TV. Secara umum petani
mengatakan, sejak 3 tahun terakhir TV sangat jarang menayangkan acara-acara pertanian. Radio baik radio swasta maupun radio pemerintah relatif lebih banyak menyiarkan acara-acara pertanian. Perusahaan saprodi sering memanfaatkan media radio terutama radio swasta untuk mempromosikan produk-produknya yang baru. Tabel 4.13. Proporsi petani memanfaatkan medra massa untuk mencari informasi ketersediaan jenis sarana produksi pertanian (%)
Sumber: Data rimer tahun 2000-2001 Keterangan : n; Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per media mama 1= Sentra produksikomoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Proporsi petani memanfaatkan media informasi tercetak untuk mendapatkan informasi ketersediaan jenis-jenis saprodi pertanian relatif sangat kecil. Hal ini berhtan dengan pasokan media tersebut relatif kecil disamping mayoritas petani belum banyak merasakan manfaatnya belajar melalui media informasi tercetak. Media brosur dan selebaran (folder) mereka dapatkan dari perusahaan saprodi di kios-luos saprodi. Surat kabar mereka baca di Balai Desa, walaupun demiluan beberapa petani sudah ada yang berlangganan swat kabar lokal. Secara umum koran-koran lokal mempunyai edisi khusus dimana pertanian sebagai salah satu rubriknya, seperti tabloid agribisnis yang drterbitkan oleh Jawa Post di Provinsi Jawa Timur. Petani-petani terutama mereka di sentra komoditi perdagangan sangat berminat dengan dengan tabloid seperti itu disamping majalah Trubus,
yang mereka dapatkan dengan cara membeli majalah trubus bekas di emperan toko. Mereka memanfaatkan informasi tentang ketersediaan jenis sarana produksi pertanian, hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa sarana produksi yang dlperlukan dalam berusaha tani sudah beredar dan tersedia dipasaran. Tabel 4.14 menunjukkan bahwa proporsi petani yang memanfaatkan media massa sebagai surnber informasi dan teknolog yang berkaitan dengan budldaya atau produksi usaha pertanian relatif kecil. Pencarian informasi dan teknolog tersebut ke media TV dan radio bukan merupakan aksi yang dlsengaja, tetapi aksi ikutan dari motif petani mencari hiburan. Proporsi petani melihat TV dan mendengarkan radio di daerah sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak dari pada petani-petani di daerah sentra komoditi perdagangan. Petani-petani di sentra komoditi perdagangan mengaku bekerja dari pagi sampai sore. Mereka sering sembahyang lohor dan azhar di sawah, sehingga pada malam hari mereka kelelahan. Komoditi sayur memang menuntut petani bekerja seperti itu, terlambat mengamati dan mengatasi permasalahan terutama hama dan penyalut, usaha tani bisa gaga1 total. Miskan seorang petani di Kecamatan Pujon mengatakan setiap malam harus memperhati kan keadaan cuaca, kalau pada malam hari kabut sudah mulai turun, maka pag-pagi harus sudah pergi ke sawah untuk menetralkan pengaruh kabut tersebut terhadap tanaman dengan menggunakan air tawar. Kalau tidak demikian, pengalaman menunjuk- kan tanaman di sawah akan mati. Petanipetani di sentra komoditi subsisten relatif lebih senggang, energinya masih dapat dimanfatkan untuk menonton TV. Secara umurn petani mengatakan, sejak 3 tahun terakhir TV sangat jarang menayangkan acara-acara pertanian, terlalu banyak berita politik. Radio, baik radio swasta maupun radio pemerintah relatif lebih banyak menyiarkan acara-acara yang berkaitan dengan pertanian. Perusahaan
saprodi sering memanfaatkan media radio terutama ra&o swasta untuk mempromosi kan produk-produknya yang baru. Tabel 4.14. Proporsi petani memanfaatkan medla massa untuk mencari informasi yang berkaitan dengan teknologi budi daya atau teknologi produksi (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per media massa 1= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Proporsi petani memanfaatkan media informasi tercetak untuk mendapatkan informasi dan teknologi yang berkaitan dengan budldaya atau produksi usaha pertanian relatif sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan pasokan medla tersebut relatif kecil disamping mayoritas petani belum banyak merasakan manfaatnya belajar melalui media informasi tercetak. Media brosur dan selebaran (folder) mereka dapatkan dari perusaha an saprodi di luos-kios saprodl dan dari P P L yang dibawa pada saat mereka berkunjung ke wilayah kejanya. Surat kabar mereka baca di Balai Desa, walaupun demikian beberapa petani sudah ada yang berlangganan swat kabar lokal. Petani-petani terutama mereka di sentra komoditi perdagangan sangat berminat dengan majalah tmbus, yang mereka dapatkan dengan cara membeli majalah trubus bekas di emperan toko. Achrnad seorang petani sayur di Malang mengatakan, kalau perg ke Batu atau ke Malang membeli saprodi, di pinggiran jalan sering melihat orang menjual majalah Trubus, dia
mampir dan membaca sekilas, kalau ada yang menarik, dia membeli seharga Rp 1000-Rp1500 per buah. Petani memanfaatkan informasi dan teknologi budidaya atau produksi usaha pertanian yang dperoleh dari media massa, sebagai pernbanding dengan teknogi yang sudah biasa mereka pergunakan dalam berusaha tani, mereka menilai teknologi mana yang relatif lebih efektif l a g untuk memecahkan permasalahanpermasalahannya. Apabila mereka menilai informasi dan teknologi yang diperolehnya dari media tercetak layak dikembangkan, mereka mencoba teknologi tersebut dalam skala yang sangat kecil, mereka mengamati penampilan komoditinya. Disamping itu petani akan yalun dengan informasi dan teknologi tersebut kalau kawan-kawannya juga mempunyai pengalaman dan berhasil mengatasi permasalahannya dengan menggunakan informasi tersebut. Walaupun produktivitas usaha pertaniannya meningkat secara meyakinkan bukan berarti mereka akan menerapkan teknologi tersebut. Mereka masih menilai teknolog tersebut, dengan menghitung tingkat keuntungan yang diperoleh dan tingkat keperluan input yang dlperlukannya. Hampir semua petani mengatakan informasi dan teknologi yang berkaitan dengan budidaya pertanian, saat ini relatif sangat banyak di pedesaan, sehngga sering kesulitan untuk menilai, mana dari teknologi tersebut yang lebih baik. Sebenamya mereka lebih memerlukan informasi usaha tani yang menguntungkan dan informasi pemasaran. Dengan demikian informasi dan teknologi budidaya yang disampaikan melalui media tercetak hanya menggugah dan memperluas wawasan petani, kalau sikap petani positif terhadap komoditi yang diusahakan. Sikap tersebut sangat ditentukan oleh manfaat yang dirasakan oleh petani. Sikap petani terhadap usaha taninya akan menentukan, proses belajar petani selanjutnya. Apakah mereka belajar sendiri atau belajar dengan petani lainnya? Rogers (Sarwono, 1997) mengatakan pengetahuan mengenai stimulus saja tidak cukup untuk meramalkan
tingkah laku, orang hams mengetahui bagaimana pri badi mengamati stimulus itu. Hal ini berarti informasi atau teknologi yang dinilai baik, belum tentu dimanfaatkan dalam berusaha tani oleh petani. Hal tersebut tergantung pada sikap petani terhadap informasi dan teknologi tersebut. Dengan demiluan pemanfaatm media informasi dalarn kegiatan penyuluhan pertanian bukan instnunen utama dalam proses perubahan perilaku petani, tetapi hanya sebagai pendorong terjadinya proses p&im belajar dan pendorong proses perubahan perilaku petani, kalau sikap petani positif terhadap usaha taninya. Tabel 4.15 menunjukkan bahwa proporsi petani yang memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi dan teknologi pengolahan produksi pertanian relatif kecil. Pencarian informasi tersebut ke media TV dan radio bukan merupakan aksi yang disengaja, tetapi aksi ikutan dan motif petani mencari hlburan. Tabel 4.15. Proporsi petani memanfaatkan media massa untuk mencari informasi yang berkaitan dengan teknologi pengolahan hasil (%)
Sumber Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per media massa 1= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Proporsi petani melihat TV dan mendengarkan radio di daerah sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak dari pada petani di daerah sentra komoditi
perdagangan. Petani-petani di sentra komoditi perdagangan mengaku bekej a dari pagi sampai sore. Mereka sering sembahyang lohor dan azhar di sawah, sehingga pada malam hari mereka merasa capek. Komoditi sayur memang menuntut petani bekerja seperti itu, terlambat mengamati dan mengatasi permasalahan terutama hama dan penyakit, usaha tani saya bisa gaga1 total. Petani-petani di sentra komoditi subsisten relatif lebih senggang, sehingga energinya masih dapat dimanfatkan untuk menonton TV. Secara umum petani mengatakan, sejak 3 tahun terakhir TV sangat jarang menayangkan acara-acara pertanian, relatif radio baik radio swasta maupun radio pemerintah lebih banyak menyiarkan acara-acara tersebut. Informasi dan tekonologi pengolahan hasil-hasil pertanian relatif sedikit, dbandingkan dengan informasi dan teknolog budidaya pertanian. Proporsi petani memanfaatkan media informasi tercetak untuk mendapatkan informasi dan teknolog pengolahan hasil-hasil pertanian relatif sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan pasokan media tersebut relatif kecil disamping mayoritas petani belum banyak merasakan manfaatnya belajar melalui media informasi tercetak. Media brosur dan selebaran (folder) mereka dapatkan dan Penyuluh Pertanian. Surat kabar mereka baca di Balai Desa, walaupun demikian beberapa petani sudah ada yang berlangganan swat kabar lokal. Petani memanfaatkan informasi tersebut di atas, hanya untuk menambah pengetahuannya saja, informasi dan teknologi pengolahan hasil yang didapatkan dari medla, sangat jarang dterapkan. Mereka hanya menerapkan teknologi pengolahan atau penanganan hasil pertanian yang turun temurun. Para petani mengatakan menerapkan teknologi penanganan hasil sesuai anjuran, memang penampilan hasilnya relatif lebih baik, tetapi pedagang menilainya sama dengan kualitas hasil tanpa penanganan dengan teknologi baru tersebut. Dengan demiluan penerapan teknologi penanganan hasil yang baru belum berarti menguntungkan. Menganjurkan suatu teknologi penanganan hasil yang baru, hams jelas siapa konsumen produk teknologi tersebut, apakah konsumen tersebut memberikan
nilai lebih pada produk itu. Tanpa memperhatikan sikap konsumen terhadap produk teknolog baru tersebut, apalagi konsumennya belum jelas, sebaiknya niat menyarankan atau mensosialisasikan teknologi tersebut dipertimbangkan. hformasi dan teknologi penanganan hasil, pengolahan hasil-hasil pertanian sangat jarang dijumpai oleh petani, ha1 ini menunjukkan bahwa pemerintah relatif belum banyak memberikan perhatian terhadap masalah teknologi pasca panen hasil pertanian. Penanganan pasca panen merupakan salah satu upaya untuk memberikan nilai tambah pada produk-produk pertanian dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi anggota-anggota rumah tangga petani. Penanganan dan pengolahan hasil meningkatkan nilai tambah melalui dua cara yaitu, mutu hasil
dan penundaan penjualan untuk menunggu saat yang tepat kapan produk tersebut seharusnya dijual. Kelangkaan informasi dan teknologi pasca panen di lapangan, tampak dari programa penyuluhan pertanian, dimana masalah-masalah pasca panen hasil-hasil pertanian relatif jarang diangkat atau dijadikan permasalahan penyuluhan pertanian. Tabel 4.16 menggambarkan hasil analisis proporsi petani di sentra komoditi perdagangan dan di sentra komodrti subsisten, memanfaatkan media massa untuk mencari informasi harga dan pemasaran hasil-hasil pertanian. Tabel 4.16 menunjukkan bahwa proporsi petani yang memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi harga dan pemasaran produksi pertanian relatif sangat kecil. Pencarian informasi tersebut ke media TV dan radlo bukan merupakan aksi yang disengaja, tetapi aksi ikutan dari motif petani hanya mencari hiburan. Petani mencari informasi harga dan pemasaran hasil pertanian di media lain merupakan upaya yang disengaja. Proporsi petani melihat TV dan mendengarkan radio di daerah sentra produksi komodrti subsisten relatif lebih banyak dari pada petani di daerah sentra produksi komoditi perdagangan.
Tabel 4.16. Proporsi petani memanfaatkan media massa untuk mencari informasi harga dan pemasaran hasil (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per media massa I= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan)
Petani-petani di sentra komoditi perdagangan mengaku bekerja dari pagi sampai sore. Mereka sering sembahyang lohor dan azhar di sawah, sehingga pada malam hari mereka merasa capek. Komo&ti s a y memang menuntut petani bekerja seperti itu, terlambat mengarnati dan mengatasi permasalahan terutama hama dan penyakit, usaha tani bisa gaga1 total. Petani-petani di sentra komomti subsisten relatif lebih senggang, sehingga energinya masih &pat dimanfatkan untuk menonton TV. Secara umum petani mengatakan, sejak 3 tahun terakhir TV sangat jarang menayangkan acara-acara pertanian, relatif lebih banyak radioradio swasta maupun radio pemerintah menylarkan acara-acara tersebut. Meha yang paling banyak menyiarkan dan menyampaikan informasi pasar dan pemasaran hasil-hasil pertanian adalah radio terutama RFU yang disiarkan setiap pagi dan kadang-kadang juga malam, di swat kabar juga ada terutama koran lokal informasi hasil-hasil pertanian tetapi dalam ruang yang sempit. Menurut pengakuan petani informasi harga tersebut tidak cocok dengan kenyataan. Pada saat informasi tersebut disampaikan petani juga belum tentu
mempunyai barangnya, dan petani bertanya untuk siapa informasi tersebut disampaikan. Proporsi petani memanfaatkan media informasi tercetak untuk mendapatkan informasi harga dan p e m a s m hasil pertanian relatif sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan manfaatan yang dirasakan oleh petani terhadap infomasi tersebut sangat kecil. Mereka membaca surat kabar di Balai Desa, walaupun demikian beberapa petani sudah ada yang berlangganan surat kabar lokal. Berdasarkan analisis tersebut, infomasi harga hasil-hasil pertanian pada umurnnya di sampaikan dalam keadaan mentah, sehingga informasi tersebut lebih banyak di manfaatkan oleh pedagang dan pemerintah untuk men&tung angka inflasi dari pada dimanfaatkan oleh petani untuk menyusun rencana usaha taninya. Fenomena tersebut merefleksikan bahwa masih terdapat ketidakadilan informasi pasar yang dmmpaikan oleh pemerintah padahal orientasi petani terhadap pasar sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari ketidakmanfaatan informasi tersebut bagi petani dan petanipun tidak pemah ditanya tentang informasi pasar yang diperlukan. Berdasarkan analisis kualitatif perilaku ekonomi petani terutama pada aspek perencanaan, petani menghendaki analisis informasi pasar untuk membuat perencanaan usaha taninya. Hasil analisisnya disajikan dalam bentuk pola-pola harga yang menggambarkan perilaku pasar terhadap suatu komoditi tertentu. Analisis pasar dan penyajian hasil analisisnya dilaksanakan secara kontinyu untuk setiap komoditi sehingga petani mendapatkan altematif-alternatif pola perilaku pasar terhadap komoditi usaha taninya.
H. Kiumudm, petani di Lombok Timur, mengatakan pengalamannya minimal mengamati dan menganalisis pasar selama tiga tahun berturut-turut akan ditemukan pola harga suatu komoditi, seperti kapan tomat, cabe, harganya mahal. Pola tersebut memang tidak pasti tetapi berdasarkan pengalamannya fkekuensi berhasilnya relatif tinggi
Peran menganalisis pasar sebagai salah satu kegiatan yang strategis dalam perencanaan usaha pertanian dan menyajikan hasil analisisnya dalam bentuk polapola perilaku harga komoditi tertentu di setiap pasar, altematif-altematif rencana
usaha pertanian yang menguntungkan belum tertangani secara baik, begitu juga infomasi-informasi untuk perencanaan usahatani bagi petani seperti luas areal tanam suatu komoditi tertentu yang mutakhir, waktu penanamannya dll. Ke depan petani sangat memerlukan semua informasi tersebut. Manfaat informasi tersebut meningkat jika informasi tersebut &kumpulkan lintas wilayah, yaitu lintas Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Kota, Provinsi. Dengan demikian pengamatan pasar dan pengwapulan informasi-infomasi tersebut menuntut kerjasama antar wilayah administratif pemerintahan dan dukungan sarana komunikasi pada semua tingkatan dan kualitas sumberdaya manusia yang memadai. Tabel 4.17 menggambarkan hasil analisis proporsi petani di sentra komoditi perdagangan dan di sentra komodrti subsisten, memanfaatkan medra massa untuk men- cari informasi permodalan usaha pertanian. Tabel 4.17 menunjukkan bahwa proporsi petani yang memanfaatkan media massa sebagai surnber informasi permodalan usaha pertanian relatif sangat kecil. Pencarian informasi tersebut ke media TV dan ra&o bukan merupakan aksi yang disengaja, tetapi aksi ikutan dari motif petani mencari hiburan. Proporsi petani melihat TV dan mendengarkan radio di daerah sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak dari pada petani di daerah sentra komoditi perdagangan. Petanipetani di sentra komoditi perda- gangan mengaku bekerja dari pagi sampai sore. Mereka sering sembahyang lohor dan azhar dl sawah, sehingga pa& malam hari mereka merasa lelah. Komoditi sayur memang menuntut petani bekerja seperti itu, terlambat mengamati dan mengatasi permasalahan terutama hama dan penyakit, usaha tani bisa gagal total.
Tabel 4.17. Proporsi petani memanfaatan media massa untuk mencari informasi yang berkaitan dengan permodalan usaha pertanian (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersanghtan per media massa 1= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan).
Petani-petani di sentra komoditi subsisten relatif lebih senggang, sehingga ener- ginya masih dapat dlmanfatkan untuk menonton TV. Secara umum petani mengatakan, sejak 3 tahun terakhir TV sangat jarang menayangkan acara-acara pertanian, radlo relatif lebih banyak menylarkan acara-acara tersebut, baik radio swasta maupun radio pemerintah. Proporsi petani memanfaatkan media informasi tercetak untuk mendapatkan infor masi permodalan usaha pertanian relatif sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan pasokan media tersebut relatif kecil disamping kuantitas informasiinformasi permodalan usaha pertanian juga sangat kecil. Surat kabar mereka baca di Balai Desa, walaupun demikian beberapa petani sudah ada yang berlangganan swat kabar lokal. Tabel 4.18 menunjukkan bahwa proporsi petani yang memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi jenis komoditi atau usaha pertanian yang menguntungkan relatif sangat kecil. Pencarian informasi tersebut ke media TV dan radio bukan merupakan aksi yang dlsengaja, tetapi aksi ikutan dari motif petani mencari hiburan. Proporsi petani mellihat TV dan mendengarkan radio di
daerah sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak dari pada petani di daerah sentra komoditi perdagangan. Petani-petani di sentra komoditi perdagangan mengaku bekerja dari pagi sampai sore. Mereka sering sembahyang lohor dan
azhar di sawah, sehingga pa& malam hari mereka merasa capek. Komoditi sayur memang menuntut petani bekerja seperti itu, terlambat mengamati dan mengatasi permasalahan terutama hama penyakit, usaha tani saya bisa gaga1 total. Tabel 4.18. Proporsi petani memanfaatkan media massa untuk mencari informas; yang berkaitan dengan komoditi atau jenis usaha pertanian yang menguntungkan diusahakan (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per media massa 1= Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2= Sentra produksi komoditi subsisten (pangan).
Proporsi petani memanfaatkan media informasi tercetak untuk mendapatkan informasi komoditi atau usaha pertanian yang menguntungkan relatif sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan pasokan medla tersebut relatif kecil disamping informasi tersebut jarang dlmuat di dalam media, kecuali majalah tentang pertanian dan surat kabar edisi khusus pertanian. Surat kabar mereka baca di Balai Desa. Petani memanfaatkan informasi tersebut dl atas, sebagai pembanding usaha tani yang sedang digelutinya. Petani mengecek kelayakan usaha, dari informasi yang mereka peroleh di pasar atau di pedagang-pedagang yang datang ke desa. Informasi jenis usaha tani menguntungkan yang merupakan hasil analisis sangat
jarang dijumpai di lapangan. Hal ini dapat dilihat clan materi penyuluhan yang disampaikan oleh Penyuluh Pertanian Tabel 4.7. Hampir semua petani, mencari dan menemukan usaha tani yang menguntungkan, atas usahanya sendiri. Abdurachman petani di Pujon, menanam sledri atas permintaan pedagang yang datang ke desa. Begitu juga Junaidi seorang petani di Pujon menanam seledri atas permintaan Indofood melalui seorang pedagang pengumpul sayur di Batu. Disamping itu, ada juga petani dengan mengamati pasar, pola tanam setempat, mencari jenis dan luas tanaman di sentrasentra komoditi tertentu dll, berdasarkan hasil analisisnya, kemudian mereka menetapkan jenis komoditi yang diusahakan. Kuatnya motif pendapatan, petani membutuhkan semua informasi yang terkait dengan perencanaan usaha pertanian yang relatif menguntungkan dan alternatif-alternatif usaha pertanian yang menguntungkan. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.12-4.18 maka disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: pertama, para petani sudah memanfaatkan media massa dan media informasi untuk mencari informasi yang terkait dengan usaha taninya, walaupun persentasenya relatif masih sangat kecil; kedua, para petani memanfaatkan informasi-informasi yang diperoleh melalui media massa dan media informasi sebagai pendorong proses belajar sangat tergantung pada penilaian petani terhadap informasi tersebut dan sikap petani terhadap usaha taninya; ketiga, media massa dan media informasi relatif lebih banyak menyampaikan informasi-informasi yang berkaitan dengan budidaya atau produksi usaha tani, dibandingkan dengan informasi pasar dan informasi altematif-altematif usaha pertanian yang relatif menguntungkan; dan keempat, saat ini terdapat gejala para petani telah berubah dari seorang konsumen teknolog dan informasi yang pasif menjadi seorang pencari informasi dan teknologi yang aktif
Penyelenggara Penyuluhan Pertanian Tabel 4.19-4.24 menggambarkan perbandingan proporsi penyelenggara penyuluhan pertanian dalam berinteraksi dengan para petani. Nilai proporsi tersebut &pat dimaknai untuk mengukur tingkat kepercayaan petani terhadap masing-masing penyelenggara penyuluhan pertanian. Tabel 4.19 menunjukkan sebagian besar (91,20-100,OO %) petani bertanya atau berdiskusi dengan sesama petani, kalau menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komoditi subsisten pada Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Tabel 4.19. Tempat petani responden bertanya atau berdiskusi untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan harga, ketersediaan jurnlah, jenis sarana produksi pertanian (%)
2
3
NTB
1 2
98,2
57.5
80.5
13,4
52,2
15.0
n=
n=
n=
n=
n=
n=
126 91.2
126 49.0
126 74.2
126 54,7 n= 126 559
126 27.0 n= 126 23.3 n= 126
126 9.4
n=
n=
n=
126 96,8 n= 126
126 602
126 77.4
n=
n=
n=
126
126
126
3,s n= 126 3,2
46,9
n= 126 41.5
6
n=
n=
126 9,l n= 126
126 2.2
126 51.6
31.0 n= 126 49.1 n= 126 592
00.0 n= 126 00,O n= 126 00,O
n=
n=
n=
n=
126
126
126
126
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan: n = Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per tempat bertanya 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (pangan) Sp = Sesama petani; Pdg = Pedagang; Ppl = Penyuluh Pertanian Lapangan; Tm = Tokoh masyasakat; Sst = Petugas lapangan swasta, Kios saprodi; Dns = Dinas lingkup pertanian; Lsm = Lembaga swadaya masyarakat; Bpp = Balai penyuluhan pertanian; Kud = Koperasi unit dew; Bnk = Perbankan negara maupun swasta
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan petani pada informasi yang berkaitan dengan sarana produksi dari kawan-kawannya relatif sangat tinggi. Petani sangat yakin kebenaran informasi yang diberikan oleb kawan-kawannya karena petani biasanya mengatakan hal-ha1 yang telah dikerjakannya, hal-bal yang telah dan pernah dialaminya. Petani jarang mengatakan hal-ha1 yang pemah didengar atau hal-ha1 yang pemah dibacanya. Menurut Rogers (Sarwono, 1997), petani mempersepsikan hal-ha1 yang dikatakan kawan-kawannya sebagai suatu realita yang benar bukan sebagai hipotesis yang menunggu pembuktian. Petani sebagai tempat bertanya mengindikasikan petani mempunyai kapasitas. Dalam perspektif penyuluhan pertanian ke &pan, petani hams dilihat sebagai salah satu sumberdaya penyuluhan pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai simpul-simpul pembelajaran di pedesaan, dan sebagai salah satu simpul jaringan kerja penyuluhan pertanian. Sebagai konsekuensi dm kondisi petani tersebut, maka salah satu peran Penyuluh Pertanian adalah mengembangkan dan memberdayakan simpul-simpul pembelajaran tersebut. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa 17,40-82,30 % petani bertanya pada pedagang tentang hal-ha1 yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian. Proporsi petani pada sentra komoditi perdagangan di Jawa Timur relatif paling kecil yang bertanya kepada pedagang. Hal ini merefleksikan bahwa tingkat pengetahuan dan penguasaan informasi petani tentang sarana produksi dl daerah tersebut relatif tinggi karena altematif sumber-sumber informasi saprodi relatif lebib banyak, transportasi relatif lancar, pasokan infor masinya relatif lebih banyak dan modernisasi pertanian lebih awal tejadl di daerah sentra komoditi perdagangan. Di daerah lain pedagang sebagai tempat petani bertanya tentang saprodi perannya cukup besar, walaupun tidak sebesar peran petani. Hal ini ada hubungannya dengan kelangkaan sumber-sumber informasi, infrastruktur yang kurang baik sehingga mobilitas spasial petani terbatas disamping dimulainya
modernisasi pertanian relatif belakangan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa seorang pedagang hasil-hasil pertanian, hampir semuanya pernah berusaha tani dan ada yang masih aktif berusaha tani, sehingga mereka tahu jenis informasi yang diperlukan oleh petani. Memberikan informasi yang diperlukan oleh petani sebaik-baiknya m e ~ p d c a nsatu strategi pedagang untuk meningkatkan kepercayaan petani. Menjadi pedagang merupakan strategi adaptasi petani untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini merupakan gejala-gejala perubahan aktivitas ekonomi petani di pedesaan. Dalam perspektif penyuluhan pertanian ke depan maka Penyuluh Pertanian hams menempatkan pedagang sebagai alternatif sumberdaya penyuluhan pertanian. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa proporsi petani yang bertanya kepada Penyuluh Pertanian tentang ha1 yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian di sentra komoditi perdagangan relatif lebih kecil dari pada petani di sentra komoditi subsisten, kecuali di Nusa Tenggara Barat perbedaannya relatif kecil. Kecilnya perbedaan tersebut karena sentra pengembangan sayur di NTB, menjadi satu dengan sentra komoditi subsisten. Nilai proporsi tersebut dapat dimaknai tingkat kepercayaan petani di sentra komodrti subsisten terhadap Penyuluh Pertanian relatif lebih tingg dari pada petani di sentra komoditi perdagangan. Lebih banyaknya ~ e t a n idl sentra komodlti subsisten bertanya tentang sarana produksi kepada Penyuluh Pertanian karena berkaitan dengan program-program peningkatan produksi pangan melalui kredit usaha tani yang dikawal oleh Penyuluh Pertanian. Petani bertanya tentang sarana produksi ke Penyuluh Pertanian lebih karena motif pencairan kredit usaha tani yang telah direncanakan melalui RDKK dari pada motif kompetensi yang dikuasainya. Dalam perspektif penyuluhan pertanian ke depan Penyuluh Pertanian Lapangan hams menguasai informasi-informasi saprodi yang baru dan manfaatnya. Oleh karena itu, P P L hams mengidentifikasi
d w memanfatkan semua sumberdaya penyuluhan pertanian di wilayah kerjanya. Prinsip kerja kemitraan hams menjadi pegangannya. Hal ini dapat meningkatkan citra dirinya dihadapan petani. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa proporsi petani yang bertanya kepada tokoh masyarakat tentang ha1 yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian di sentra komoditi perdagangan relatif lebih kecil dm pada petani di sentra komoditi subsisten, kecuali di Nusa Tenggara Barat perbedaannya relatif kecil. Kecilnya perbedaan tersebut karena sentra pengembangan sayur di NTB, menjadr satu dengan sentra komoditi subsisten. Nilai proporsi tersebut dapat dimaknai tingkat kepercayaan petani di sentra komoditi subsisten terhadap kompetensi tokoh masyarakat dalam ha1 saprod1 relatif lebih tinggi dari pada petani dl sentra komoditi perdagangan. Hal ini merefleksikan interaksi sosial petani di sentra komoditi perdagangan relatif lebih egaliter atau demokratis dari pada interaksi sosial petani di sentra komoditi subsisten. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa proporsi petani yang bertanya kepada swasta tentang ha1 yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian di sentra komodlti perdagangan relatif lebih tinggi dari pada petam di sentra komoditi subsisten. Kalau dibandingkan peran swasta antar Provinsi, tampak bahwa peran swasta dl Nusa Tenggara Barat relatif lebih kecil drbandingkan peran swasta di Propinsi Jawa Timur dan Lampung. Jumlah swasta yang beroperasi di Nusa Tenggara Barat relatif lebih sedikit dari pada dua Propinsi lainnya. Nilai proporsi tersebut dapat dimaknai tingkat kepercayaan petani di sentra komoditi perdagangan terhadap kompetensi swasta dalam ha1 saprodi relatif lebih tinggi dari pada petani di sentra komoditi subsisten. Hal ini merefleksikan interaksi sosial petani-petani dl sentra komoditi
perdagang an relatif lebih banyak dengan pihak swasta dari pada petani-petani di sentra komodrti subsisten dan petani-petani di sentra komoditi perdagangan menunjukkan gejala relatif lebih dinamis dari pada petani-petani di sentra
komoditi subsisten. Dalam perspektif penyuluhan pertanian ke depan tingkat dinamika masyarakat hams dipertimbangkan dalam mengembangkan konsepsikonsepsi penyuluhan pertanian dan kompetensi yang hams dikuasai oleh Penyuluh Pertanian. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa proporsi petani yang bertanya kepada dinas lingkup pertanian, tentang ha1 yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian di sentra komoditi perdagangan relatif lebih kecil dari pada petani di sentra komoditi subsisten. Nilai proporsi tersebut dapat dimaknai program-program dinas lingkup pertanian, relatif lebih banyak dilaksanakan di sentra komoditi subsisten dari pada di sentra komoditi perdagangan. Hal ini merefleksikan interaksi sosial petanipetani dr sentra komoditi perdagangan relatif lebih banyak dengan pihak swasta
dan pada dengan dinas lingkup pertanian. Interaksi sosial petani-petani di sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak dengan dinas lingkup pertanian. Petani-petani dl sentra komodrti perdagangan menunjukkan gejala perilaku relatif lebih otonom dari pada petani-petani di sentra komoditi subsisten. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi dinamika ekonomi mereka walaupun sentuhansentuhan program dari pemerintah relatif kecil. Dalam perspektif penyuluhan pertanian ke depan peranan-peranan pemerintah yang harus dilaksanakan dalam pengembangan pertanian relatif lebih banyak memfasilitasi dinamika para petani dalam proses pengambilan keputusan clan pelaksanaan keputusan tersebut serta menciptakan iklim bisnis pertanian yang kondusif bagi petani kecil. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa L S M merupakan pendatang relatif baru dalam penyelengaraan penyuluhan pertanian yang secara formal dilibatkan dalam program penyaluran kredit usaha tani sekitar tahun 1998. Karena itu, L S M aktivitasnya relatif lebih banyak di sentra komoditi subsisten clan pada di sentra komoditi perdagangan. Interaksi sosial petani dengan L S M dalam ha1 sarana produksi pertanian lebih banyak berhubungan dengan kewenangan menyalurkan kredit usaha tani yang dimililu oleh L S M, dari pada karena kompetensinya.
Dalam perspekif penyuluhan pertanian ke depan gejala munculnya dan partisipasi LSM-LSM dalam pem- berdayaan masyarakat pedesaan, harus dilihat sebagai
suatu peluang alternatif sumberdaya penyuluhan pertanian, dan memanfaatkan kapasitas yang dimilikinya semaksimal mungkin untuk memberdayakan para petani. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa proporsi petani yang bertanya kepada B P P dan K U D tentang ha1 yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian dl sentra komoditi perdagangan relatif lebih kecil dari pada petani di sentra komoditi subsisten. Nilai proporsi tersebut dapat dlmaknai program-program B P P dan KO U D, relatif lebih banyak berkaitan dengan pengembangan komoditi subsisten dari
pada pengembangan komodrti perdagangan. Hal ini merefleksikan interaksi sosial petani-petani di sentra komoditi perdagangan relatif lebih banyak dengan pihak swasta dari pada dengan institusi pemerintah. Sedangkan interaksi sosial petanipetani dr sentra komodrti subsisten relatif lebih banyak dengan institusi-institusi pemerintah. Interaksi sosial petani dengan B P P dan K U D dalam ha1 sarana produksi pertanian lebih banyak berhubungan dengan kewenangan menyalurkan kredit usaha tani yang dimiliki oleh institusi tersebut dari pada kompetensinya. Petanipetani di sentra komoditi perdagangan menunjukkan gejala perilaku relatif lebih otonom dan lebih dinamis dari pada petani-petani di sentra komoditi subsisten. Walaupun sentuhan-sentuhan program penyuluhan pertanian dari pemerintah relatif kecil. Memperhatikan fenomena tersebut, maka perspektif penyuluhan pertanian ke depan peranan-peranan B P P dan K U D yang harus dilaksanakan dalam pengembangan pertanian relatif lebih banyak memfasilitasi dinamika para petani dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusan tersebut. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.19 maka disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: pertama, interaksi sosial petani-petani di sentra komoditi perdagangan dalam ha1 yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian relatif lebih banyak
dengan institusi swasta; kedua, institusi penyuluhan pertanian relatif lebih banyak melayani kebutuhan pemerintah dari pada kebutuhan petani; ketiga, telah tampil petani, swasta, pedagang dan LSM sebagai pelaku-pelaku baru dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian, keempat ke depan peran-peran pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian relatif lebih banyak memfasilitasi proses dinamika petani dalam pengambilan dan pelaksanaan keputusan serta menciptakan kondisi bisnis pertanian yang kondusif bagi petani kecil; dan kelima, di tingkat lapangan telah ada semacam jaringan yang mempercepat proses pendistribusian suatu informasi kepada anggota masyarakat. Hasil analisis interaksi petani dengan penyelenggara penyuluhan pertanian dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pemilihan komoditi atau jenis usaha pertanian yang relatif menguntungkan disajikan dalam Tabel 4.20. Tabel 4.20 menunjukkan bahwa sebagian besar (74,20-100,OO %) petani bertanya atau berdiskusi dengan sesama petani, kalau menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan jenis komoditi atau jenis usaha pertanian yang menguntungkan baik di sentra komodlti perdagangan maupun di sentra komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keper- cayaan petani pada informasi yang berhtan dengan jenis usaha pertanian yang menguntungkan dari kawan-kawannya relatif sangat tinggi. Petani sangat yakin akan kebenaran informasi yang dlberikan oleh kawankawannya karena petani biasanya mengatakan ha1 yang telah dikerjakannya, hal yang telah dan pernah dialaminya, dan jarang mengatakan ha1 yang pernah didengar atau apa yang telah dibacanya. Walaupun demikian belum tentu semua petani berterus terang kepada kawan-kawannya karena rencana tersebut merupakan informasi yang sangat mahal. Buktinya kalau ada seorang petani bertanya tentang komoditi atau jenis usaha pertanian yang akan diusahakan oleh seorang petani pada periode tanam berikutnya, petani tersebut belum tentu
memberikan jawaban yang sebenarnya. Petani menjawab ha1 yang biasanya ditanam atau menawarkan benih komoditi lain yang dimilikinya, sedangkan dia sendiri tidak menanam komoditi tersebut. Tabel 4.20. Tempat petani responden bertanya atau berkosultasi dalam memecahkan pennasalahan yang berkaitan dengan pemilihan jenis usaha pertanian yang menguntungkan (%) Sp
Pdg
41
Tempat bertanya atau b e r k d t a s i Tm Sst Dns Lsm Bpp
Kud
Bnk
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= lumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per tempat bertanya I = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (pangan) Sp = Sesama petani; Pdg = Pedagang; Ppl = Penyuluh Pertanian Lapangan; Tm = Tokoh masyarakat; Sst = Petugas lapangan swasta, Kios saprodi, Dns = Dinas lingkup pertanian; Lsm = Lembaga swadaya masyarakat; Bpp = Balai penyuluhan pertanian; Kud = Koperasi unit desa; Bnk = Perbankan Negara maupun swasta.
Mahmud dan Udin masing-masing petani dari Lampung Barat clan Malang mengatakan kalau bertanya kepada kawan-kawan tentang jenis usaha tani yang menguntungkan diusahakan, petani belum tentu menjawab yang sebenarnya. Umar seorang petani di Lampung Barat mengatakan untuk menentukan jenis komoditi yang akan ditanam, harus mencari informasi sampai ke luar kecamatan, bertanya kepada penyalur benih, tentang benih komoditi apa yang paling banyak tersalur, bertanya kepada pedagang hasil-hasil pertanian, jenis komoditi yang
biasanya mahal dll. Informasi tentang perencanaan usaha tani yang menguntungkan mempakan rahasianya. Masalah paling besar clan paling mendasar dlhadapi para petani adalah ketidak mampuan mereka untuk menciptakan pasar bagi produk-produknya. Agar produk-produknya mendapatkan harga yang layak, mereka hanya memanfaatkan peluang-peluang pasar yang ada, baik pasar lokal maupun pasar Kabupaten dan Provinsi. Hal ini menuntut kompetensi petani menganalisis p s a r dan kornpetensi membuat perencanaan usaha tani yang menguntungkan bukan teknis menyusun rencana usaha tani. Dalam kompetensi perencanaan usaha tani yang menguntungkan terkandung makna kompetensi peramalan, jenis data yang diperlukan untuk peramalan, bagaimana mendapatkan data tersebut, dimana data tersebut hams diambil, bagaimana menganalisanya, dan mensintesakan hasilhasil analisis data tersebut. Limitasi kompetensi petani dalam menciptakan pasar bagi produkproduknya dan limitasi kompetensi petani dalam penyusunan rencana usaha tani yang menguntungkan menyebabkan terjadinya kompetisi memanfaatkan peluang pasar yang ada, melalui perencanaan usaha tani yang akurat. Perencanaan usaha tani yang akurat membutuhkan data yang akurat. Kondisi ini menyebabkan munculnya fenomena perilaku ekonomi petani yang saling intip dl antara mereka di dalam menentukan jenis komodti yang sebaiknya ditanam. Logika petani, menanam komoditi yang tidak sama dengan kawan-kawannya akan mendapatkan harga produk yang layak pada saat panen. Walaupun dalam realitanya belum tentu demikian. Petani-petani yang kompetensi perencanaannya tidak memadai, cenderung menanam komoditi-komoditi yang ditanam oleh kawan-kawannya yang berhasil. Sebagai contoh fenomena penanaman tembakau virginia di Nusa Tenggara Barat, kalau ada petani yang berhasil menanam tembakau, pa& musim tanarn tahun berikutnya petani-petani ikut menanam tembakau. Luas areal tanaman tembakau
meningkat drastis, sehingga harganya jatuh pada saat panen. Ada petani berhasil menanam cabe, pada musim tanam tahun berikutnya petani ramai-ramai menanam cabe. Perilaku petani seperti itu, karena &a hanya mengetahui, ha1 yang dia lihat, ha1 yang dia dengar dari petani sekitamya. Persepsi petani, kalau ikut menanam komoditi tersebut, yakin akan berhasil seperti temannya. Melihat fakta tersebut orang luar yang tidak paham mengapa keputusan petani seperti itu sering berkomentar, petani-petani tersebut latah ikut-ikutan kawannya. Petani mengikuti perencanaan usaha tani temannya yang berhasil, karena mereka tidak tahu informasi usaha tani lain yang tingkat keuntungannya relatif sepadan dengan tingkat keuntungan usaha tani yang mereka ketahui dari kawankawannya. Disamping itu petugas lingkup pertanian jarang memberikan altematifaltematif usaha tani yang menguntungkan, sepadan dengan keuntungan usaha tani yang dipersepsikan oleh petani. Petani mengakui kesulitan untuk mendapatkan informasi seperti itu. Rohmat seorang petani apel yang juga menanam bawang merah, mengatakan kalau akan menanam bawang merah, menitip pesan pada sopir-sopir truk pengangkut apel dari Malang ke Jakarta, melihat-lihat dan atas kendaraannya apakah di Brebes banyak orang menanam bawang merah.untuk memperkirakan secara kualitatif luas areal tanarnan bawang merah di Brebes. Hal ini menunjukkan bahwa betapa kasamya informasi yang dipergunakan untuk menyususun perencanaan usaha tani dan betapa langkanya informasi yang akurat dan mudah hjangkau oleh petani untuk menentukan jenis komoditi yang sebaiknya ditanam dan kapan komoditi tersebut, sebaiknya &tanam. Pengamatan ke institusi-institusi yang berkompetensi menyediakan infonnasi tentang jenis usaha tani yang menguntungkan, informasi tersebut tidak mudah dldapatkan. Fakta menunjukkan makin sempit luas tanam suatu komoditi & dalam
wilayah Desa, Kecamatan atau Kabupaten, bukan berarti makin besar peluang komodlti tersebut mendapatkan harga jual yang layak pada saat panen, begitu juga makin luas areal tanam suatu komoditi, bukan berarti makin kecil peluang
komoditi tersebut mendapatkan harga jual yang layak pada saat panen. Kasir, seorang petani & Lampung Barat, mengatakan biasanya kalau menanam komoditi sayur yang tidak banyak drtanam oleh kawan-kawan di sini, pada saat panen harganya sangat baik. Pemikiran seperti itu sekarang belum tentu tepat. Pada saat petani disini tidak banyak menanarn komoditi tersebut, tetapi petani-petani di luar Lampung banyak yang menanam komoditi tersebut sehingga harganya jatuh. Logika tersebut dalarn dlmensi waktu yang sangat singkat juga tepat, kalau ha1 itu terjadi, pedagang luar memanfaatkan peluang tersebut, sehmgga harga lokal komodrti tersebut jatuh. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perencanan usaha pertanian yang berorientasi pasar, memerlukan data yang cakupannya luas dan akurat. Data yang hanya menggambarkan kondisi setempat untuk menyusun perencanaan usaha tani, saat ini tidak memadai lagi. Untuk mendapatkan data yang cakupannya luas dan akurat serta mutakhir, maka kerja sama antar wilayah Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi merupakan keharusan. Masing-masing wilayah saling menyediakan dan proaktif men~rimkaninformasi yang akurat clan up to date tersebut ke wilayah lain juga merupakan ha1 yang mutlak. Dengan makin majunya teknologi komunikasi, transpoltasi dan makin baiknya sarana jalan, pasar lokal suatu komoditi tertentu, pada sat-saat tertentu bisa menjadi pasar komoditi tertentu bag produsen dari daerah lain. Juri, seorang petani bawang merah di Batu, mengatakan menjelang panen
bawang merah, harga bawang merah di Pasar Batu selutar Rp 6500 per Kg basah. Pada saat itu perasaannya sangat senang, karena akan mendapatkan keuntungan yang besar. Harga tersebut hanya bertahan dua hari, setelah itu harga bawang merah turun menjadi Rp 4500 per Kg basah. Para pedagang hasil-hasil pertanian di Pasar Batu mengatakan a& pasokan beberapa kontainer bawang merah dari luar. Dia tidak mengetahui asal kontainer pembawa bawang merah tersebut.
Petani sebagai tempat bertanya tentang jenis usaha pertanian yang menguntungkan mengindikasikan petani mempunyai kapasitas. Dalam perspektif penyuluhan pertanian ke depan, petani hams dilihat sebagai salah satu sumberdaya penyuluhan yang dapat dimanfaatkan sebagai simpul-simpul pembelajaran di pedesaan, clan sebagai salah satu simpul jaringan keja penyuluhan pertanian. Sebagai konsekuensi dari kondisi petani tersebut, maka salah satu peran Penyuluh Pertanian adalah mengembangkan d m memberciayakan simpul-simpul tersebut. Tabel 4.20 menunjukkan bahwa proporsi petani bertanya atau berdlskusi dengan pedagang hasil-hasil pertanian, kalau menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan jenis komoditi atau jenis usaha pertanian yang menguntungkan di sentra komoditi perdagangan relatif lebih besar dari pada petani di sentra komoditi subsisten baik dl Provinsi Jawa Timur, Lampung maupun di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian petani-petani komersial relatif lebih banyak berinteraksi dengan para pedagang untuk mendapatkan informasi komoditikomodlti yang diminta oleh pasar. Perilaku ekonomi petani-petani komersial relatif lebih dinamis dari pada perilaku petani subsisten. Petani-petani di sentra komoditi subsisten bertanya tentang komodlti atau usaha tani yang menguntungkan kepada pedagang hasil-hasil pertanian. Hal ini merefleksikan perubahan dari petani yang kurang komersial ke arah yang semakin komersial. Petani biasanya menanyakan jenis komodlti yang banyak ditanam oleh petani di wilayah lain, karena pedagang sering keliling ke daerah-daerah lain. Sering kali, pedagang sendiri yang minta ditanamkan komoditi tertentu, dengan harga disepakati bersama clan kapan produksinya harus sudah siap. Sudirman, seorang petani di Batu, mengatakan seorang pedagang minta dltanamkan terong Jepang, bagitu juga Umar, seorang petani di Lombok Timur, mengatakan seorang pedagang datang ke rumahnya minta ditanamkan tomat. Peran pedagang dalam memberi kan informasi komoditi atau usaha tani yang
menguntungkan kepada petani dl sentra komoditi perdagangan relatif lebih besar dari pada peran Penyuluh Pertanian dan Balai Penyuluhan Pertanian.
Tabel 4.20 menunjukkan bahwa proporsi petani di sentra komoditi perdagangan yang bertanya atau berdiskusi tentang komoditi atau usaha tani yang menguntungkan kepada Penyuluh Pertanian relatif lebih kecil dari pada petani di sentra komoditi subsisten. Hal ini merefleksikan bahwa Penyuluh Pertanian Lapangan kurang menguasai kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan agnbisnis, selain teknologi budidaya atau teknologi produksi. Disamping itu, persepsi petani tentang Penyuluh Pertanian yang lebih menguasai masalah pangan. Kegiatan Penyuluh Pertanian yang dipahami oleh petani selama ini, dominan mengawal program peningkatan produksi pangan (Tabel 4.7), dan program-program pembangunan pertanian lainnya. Perubahan-perubahan perilaku usaha tani petani ke arah komersial menuntut perubahan dan penambahan kompetensi yang hams dikuasai oleh Penyuluh Pertanian. Disamping perubahan dan penyesuian sistem kerja yang memanfaatkan semua sumberdaya penyuluhan pertanian yang ada di wilayah kerjanya. Penyuluh Pertanian hams menguasai informasi-informasi akmat dan terluni untuk perencanaan usaha tani lokal spesifik, seperti perilaku pasar terhadap suatu komodlti, luasan pertanaman komoditi, waktu penanaman, mutu produksi yang dikehendaki pasar dll. Tabel 4.20 menunjukkan bahwa proporsi petani di sentra komoditi perdagangan yang bertanya atau berdiskusi tentang komoditi atau usaha tani yang menguntungkan kepada tokoh masyarakat relatif lebih kecil dari pada petani di sentra komoditi subsisten. Hal ini merefleksikan peran tokoh masyarakat dalam kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah yang relatif maju seperti Jawa Timur relatif lebih kecil dari pada di wilayah-wilayah yang relatif kurang maju seperti Larnpung dan Nusa Tenggara Barat. Fakta tersebut mengindlkasikan makin maju atau makin komersial suatu wilayah, maka makin egaliter interaksi anggota
masyarakatnya. Dengan kata lain, interaksi petani-petani & sentra komoditi perdagangan relatif lebih egaliter atau demokratis dan lebih rasional dari pa& interaksi sosial petani-petani dl sentra komoditi subsisten. Absori (2000) me ngatakan bahwa transisi dari pertanian subsisten ke pertanian komersial dicirikan oleh struktur hubungan masyarakat yang lebih bercorak individual rasional dan komersial. Struktur hubungan masyarakat didasari atas azas manfaat yang didapatkan oleh individu dari hubungan tersebut. Tabel 4.20 menunjukkan bahwa proporsi petani bertanya atau berdiskusi dengan swasta, kalau menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan jenis komoditi atau jenis usaha pertanian yang menguntungkan, dI sentra komoditi perdagangan relatif lebih besar dan pada petani dl sentra komoditi subsisten baik di Provinsi Jawa Timur, Lampung maupun di Nusa Tenggara Barat. Dengan demiluan petani-petani komersial relatif lebih banyak berinteraksi dengan swasta untuk mendapatkan informasi komoditi-komoditi yang diminta oleh pasar. Hal ini menunjukkan perilaku ekonomi petani-petani komersial relatif lebih dinamis dari pada perilaku petani subsisten. Petani-petani di sentra komoditi subsisten bertanya tentang komoditi atau usaha tani yang menguntungkan kepada swasta. Hal ini merefleksikan perubahan dari petani yang kurang komersial ke arah yang semakin komersial. Petani biasanya menanyakan benih jenis komoditi yang banyak terjual. lnformasi jumlah benih jenis komoditi yang tersalur dipergunakan oleh petani
untuk
memperkirakan luas areal pertanaman. Berdasarkan perkiraan tersebut petani memutuskan jenis komoditi yang sebaiknya ditanam dan waktu sebaiknya komodlti tersebut ditanam. Swasta mengetahui secara pasti jumlah benih yang tersalur, kapan tersalur baik pada tingkat lokal maupun nasional. Prawiro dan Masudi, masing-masing petani sayur dari Lampung dan Malang, mengatakan informasi jumlah benih sayur yang tersalur dari swasta, relatif tepat untuk memperkirakan luas areal pertanaman komoditi tertentu. Sering
swasta menyarankan jangan menanam komoditi tertentu karena benihnya sudah banyak yang keluar. Peran pedagang dalam memberikan informasi komoditi atau usaha tani yang menguntungkan kepada petani di sentra komodrti perdagangan relatif lebih besar dari pada peran Penyuluh Pertanian dan B P P. Tabel 4.20 menunjukkan bahwa L S M merupakan pendatang relatif baru dalam penyelengaraan penyuluhan pertanian yang secara formal dilibatkan dalam program penyalwan kredit usaha tani sekitar tahun 1998. Karena itu, L S M aktivitasnya relatif lebih banyak di sentra komodrti sub- sisten dm pada di sentra komoditi perdagangan. Interaksi sosial petani dengan L S M dalam ha1 komodrti yang menguntungkan lebih banyak berhubungan
dengan kewenangan
menyalurkan kredit usaha tani yang dimiliki oleh L S M, dari pada karena kompetensinya. Dalam perspekif penyuluhan pertanian ke depan gejala munculnya dan partisipasi LSM-LSM dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan, harus dilihat sebagai suatu peluang alternatif sumberdaya penyuluhan pertanian, dan memanfaatkan kapasitas yang dimilikinya semaksimalnya untuk member-
dayakan para petani. Tabel 4.20 menunjukkan bahwa proporsi petani yang bertanya kepada dinas, B P P dan K U D tentang ha1 yang berkaitan dengan jenis usaha pertanian atau komoditi yang menguntungkan di sentra komoditi perdagangan relatif lebih kecil dari pada petani di sentra komoditi subsisten. Nilai proporsi tersebut dapat dimaknai program-program dinas, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa, relatif lebih banyak berkaitan dengan pengembangan komoditi subsisten dari pada pengembangan komoditi perdagangan. Hal ini merefleksikan interaksi sosial petani-petani di sentra komodrti perdagangan relatif lebih banyak dengan pihak swasta dari pada dengan institusi pemerintah, sedangkan interaksi sosial petani-petani & sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak dengan institusiinstitusi pemerintah. Interaksi sosial petani dengan dinas, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa dalam hal komoditi atau usaha pertanian yang
menguntungkan lebih banyak berhubungan dengan kewenangan menyalurkan kredit usaha tani yang dimiliki oleh institusi tersebut dari pada kompetensinya. Petani-petani di sentra k o m d t i perdagangan menunjukkan gejala perilaku relatif lebih otonom dan lebih dinamis dari pada petani-petani di sentsa komodlti subsisten. walaupun sentuhan-sentuhan program penyuluhan pertanian dari pemerintah relatif kecil. Memperhatikan fenomena tersebut, maka perspektif penyuluhan pertanian ke- depan peranan-peranan dinas, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa yang hams dilaksanakan dalam pengembangan pertanian relatif lebih banyak memfasilitasi dinamika para petani dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusan tersebut serta menciptakan kondlsi yang kondusif untuk bisnis bagi petani kecil. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.20 maka dlsimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: pertarnu, peranan petani, pedagang dan swasta dalam memberikan informasi kepada para petani di sentra komodlti perdagangan tentang komoditi atau jenis usaha tani yang menguntungkan relatif lebih besar dari pada peranan Penyuluh Pertanian dan Institusi-Institusi pemerintah; dan kedua, malun maju atau makin komersial suatu wilayah, makin kecil peran tokoh masyarakat dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Tabel 4.21 menunjukkan bahwa petani-petani baik di daerah sentra komoQti subsisten maupun di sentra komoditi perdagangan memanfaatkan berbagai sumber sebagai tempat berkonsultasi atau bertanya untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang diperlukan kalau menghadapi pernasalahan yang berkaitan dengan peningkatan produksi usaha taninya. Hal yang sama juga Qtemukan oleh van den Ban dan Hawkin (1999). Pemegang mandat fungsi penyu1uhan pertanian bukan lagi sebagai tempat bertanya utama bagi kebanyakan petani baik di daerah sentra produksi komoditi subsisten maupun di sentra produksi komoditi perdagangan.
Tabel 4.21. Tempat petani responden bertanva atau berkosultasi dalam memecahkan permkalahan yang berkaitan dengan budi daya atau peningkatan produksi usaha tani (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterannan : n= JumIah oetani rewonden: ~. Persentaie terhadap totai responden dilokasi bersangkutan per tempat bertanya 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (pangan) Sp = Sesama petani; Pdg = Pedagang; Ppl = Penyuluh Pertanian Lapangan; Tm = Tokoh masyarakat; Sst = Petugas lapangan swasta, Kios saprodi, Dns = Dinas lingkup pertanian; Lsm = Lembaga swadaya masyarakat; Bpp = Balai penyuluhan pertanian; Kud = Koperasi unit desa; Bnk = Perbankan Negara maupun swasta.
.
Tabel 4.21 menunjukkan sebagian besar petani (91,40-100,OO %) baik di sentra komoditi perdagangan maupun dI sentra komoditi subsisten bertanya atau berkonsultasi kepada kawan-kawannya kalau menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan buhdaya atau peningkatan produksi usaha taninya. Tingginya tingkat kepercayaan petani terhadap kompetensi kawan-kawannya berhubungan dengan: pertarnu, petani sangat yakin saran yang disampaikan oleh kawankawannya berdasarkan pengalaman dan sesuatu yang pernah dikejakan, pengalamannya menunjukkan penerapan saran kawannya selalu berhasil; dan kedua, petani melihat dan mengamati secara langsung penarnpilan pertanaman
kawan-kawannya, kalau penampilan pertanaman kawan-kawannya ada yang baik,
petani lainnya ada yang sengaja datang atau kebetulan lewat menanyakan kenapa penampilan pertanamannya baik. Sahrun, Fikri, dan Somir masing-masing petani Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Jawa Timur, mengatakan kalau melihat penampilan tanaman teman-temannya lebih baik dari penampilan tanaman dirinya, selalu menanyakan kepada petani bersangkutan, sebab penampilan pertanamannya sangat baik, jumlah dan jenis pupuk yang dipakai, jenis obat yang dipakai dsb. Setiap penampilan pertanaman yang aneh di lapangan selalu menjadi perhatian dan pembicaraan para petani. Sikap dan perubahan perilaku usaha tani para petani terbentuk melalui proses belajar sosial dan belajar melalui pengalaman langsung. Menurut Bandura (Sarwono, 1997) mengatakan bahwa proses belajar sosial terjadi melalui proses peniruan dari perilaku model. Kasus ini menunjukkan bahwa petani mengikuti dan meniru perilaku-perilaku petani yang penampilan pertanamannya baik sebagai model. Menurut Fazio dan Zanna (Sarwono,l997) pembentukan dan juga perubahan sikap yang paling efektif adalah melalui pengalaman langsung. Efektivitas cara-cara pembentukan sikap para petani hams dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan metode penyuluhan pertanian. Disamping petani bertanya kepada sesama kawannya, petani juga bertanya atau berkonsultasi kepada pedagang hasil-hi1 pertanian kalau menghadapi masalah yang berkaitan dengan budidaya atau peningkatan produksi usaha taninya. Proporsi petani yang bertanya kepedagang relatif kecil kecuali dl Lampung. Di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat proporsinya relatif sama. Pedagang hasil-hasil pertanian di Lampung sebagian besar seorang petani, sehingga mereka memahami pennasalahan-pennasalahan peningkatan produksi. Proporsi pedagang sekaligus petani di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat relatif lebih kecil dari proporsi tersebut di Lampung. Hal ini menunjukkan pekerjaan-pekerjaan petani di Jawa Timur lebih terdeferensiasi dm pekerjaan
petani di Provinsi lainnya. Lempod, seorang petani padi di Lombok Barat, mengatakan sangat percaya pada saran pedagang yang sekaligus petani, kalau hanya pedagang saja, sering saran-sarannya b a n g tepat. Hal ini menunjukkan bahwa petani memahami sumber-sumber informasi yang terpercaya. Tabel 4.21 menunjukkan bahwa proporsi petani di sentra komoditi perdagangan bertanya atau berkonsultasi kepada Penyuluh Pertanian kalau menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan budidaya atau peningkatan produksi usaha tani relatif lebih kecil dari pa& proporsi petani & sentra komo&ti subsisten. Relatif rendahnya interaksi petani-petani & sentra komoditi perdagangan: pertama, berhubungan dengan relatif rendahnya intensitas kunjungan P P L di sentra komomti perdagangan (Tabel 4.10); kedua, berhubungan dengan relatif rendahnya kompetensi Penyuluh Pertanian & sentra komoditi perdagangan (Tabel 4.3); ketzga, berhubungan dengan pengalaman petani yang mencoba saran-saran Penyuluh Pertanian yang tidak sesuai seperti yang dikatakan; dan keempat, berhubungan dengan persepsi petani bahwa ha1 yang disarankan oleh Penyuluh Pertanian belum tentu ha1 yang pemah dikerjakan, tetapi clan hal yang pernah dibacanya atau dari ha1 yang pemah didengar. Proporsi petani disentra komoditi subsisten bertanya atau berkonsultasi kepada Penyuluh Pertanian berkisar (69,SO-81,90 %). Hal ini: pertama, berhubungan dengan kegatan utama P P L yang mengawal program peningkatan produksi pangan (Tabel 4.7); dan kedua, petani berhubungan dengan kompetensi Penyuluh Pertanian di sentra komoditi subsisten relatif lebih tinggi dari pada kompetensi Penyuluh Pertanian di sentra komoditi perdagangan (Tabel 4.3). Peran tokoh masyarakat di sentra komo&ti perdagangan dalam memberikan informasi atau saran kepada petani tentang budidaya atau peningkatan produksi usaha tani relatif lebih kecil dari pada peran tokoh masyarkat di sentra komoditi subsisten. Disamping itu, mahn maju atau malun komersial suatu wilayah makin kecil peran tokoh masyarakat dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini
menunjukkan bahwa interaksi sosial anggota masyarakat di sentra komoditi perdagangan bercorak lebih rasional dan komersial dan pada interaksi sosial anggota masyarakat di sentra komoditi subsisten. Perubahan perilaku petani dari subsisten ke komersial menyebab- kan tergesemya peran tokoh masyarakat dalam kegiatan penyuluhan pertanian oleh petani maju, pedagang hasil-hasil pertanian,
dan swasta. Tabel 4.21 menunjukkan bahwa peran swasta seperti petugas lapangan swasta, h o s saprodi dalam memberikan saran kepada petani tentang hal-ha1 yang berkaitan dengan budidaya atau peningkatan produksi usaha tani relatif lebih besar dl sentra kornoditi perdagangan dari pada dr sentra komoditi subsisten. Disamping itu peran mereka relatif lebih besar dari peran Penyuluh Pertanian di sentra komodrti perdagangan. Malun maju atau komersial suatu wilayah, makin besar peran swasta dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Ini mengindikasikan kompetensi Penyuluh Pertanian kurang mampu memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan petani. Mahn tingginya proporsi petani bertanya atau berkonsultasi untuk memecahkan permasalahan budidaya atau peningkatan produksi usaha tani kepada swasta: pertama, berkaitan dengan tinggnya intensitas kunjungan petugas lapangan swasta ke rumah petani, ke sawah, seiring dengan tingginya intensitas kegiatan usaha taninya; kedua, kompetensi petugas lapangan swasta relatif lebih tinggi dari kompetensi Penyuluh Pertanian sehingga tingkat kepercayaan petani terhadap petugas lapangan swasta relatif lebih tinggi. Kompetensi petugas lapangan swasta relatif spesifik dan selalu ditingkatkan sesuai dengan perkembangan permasalahan di lapangan. Di atas petugas lapangan ada supe~iser yang selalu memantau kompetensi dan kinerja petugas lapangannya; ketiga, kemampuan operasional petugas lapangan swasta relatif lebih tinggi dari kemampuan operasional Penyuluh Pertanian; dan keempat, berhubungan dengan metode kerja yang dipergunakan. Petugas lapangan swasta langsung tejun ke
lapangan memberikan peragaan bagaimana cara menggunakan suatu teknolog~, menunjukkan kepada petani kalau pada pertanamannya terdapat simtom-simtom ke arah yang mengganggu tingkat produktivitas usaha taninya dll. Disamping swasta, L S M merupakan pendatang relatif baru dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang secara formal dilibatkan dalam program penyaluran kredit usaha tani sekitar tahun 1998. Karena itu, L S M aktivitasnya relatif lebih banyak di sentra komodrti subsisten dm pada di sentra komoditi perdagangan. Interaksi sosial petani dengan L S M dalam ha1 budidaya atau peningkatan produksi usaha tani lebih banyak berhubungan dengan kewenangan menyalurkan kredit usaha tani yang dimiliki oleh L S M, dari pada karena kompetensinya. Dalam perspeluf penyuluh an pertanian ke depan gejala munculnya dan partisipasi LSM-LSM dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan,
dan swasta harus dilihat sebagai suatu peluang alternatif sumberdaya penyuluhan pertanian, dan memanfaatkan kapasitas yang dimilikinya semak simal mungkin untuk memberdayakan para petani. Tabel 4.21 menunjukkan bahwa proporsi petani yang bertanya kepada dinas, B P P dan K U D tentang ha1 yang berkaitan dengan budidaya atau peningkatan produksi usaha tani di sentra komoditi perdagangan relatif lebih kecil dari pada petani di sentra komoditi subsisten. Nilai proporsi tersebut dapat dimaknai program-program &nas, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa, relatif lebih banyak berkaitan dengan pengembangan komoditi subsisten
dm pada pe- ngembangan komoditi perdagangan. Hal ini merefleksikan interaksi sosial petani-petani di sentra komoditi perdagangan relatif lebih banyak dengan pihak swasta dari pada dengan institusi pemerintah. Interaksi sosial petani-petani di sentra komodrti subsisten relatif lebih banyak dengan institusi-institusi
pemerintah. Interaksi sosial petani dengan dinas, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa dalam ha1 budidaya atau peningkatan produksi usaha tani
lebih banyak berhubungan dengan kewenangan menyalurkan kredit usaha tani yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut dari pada kompetensinya. Petani-petani di sentra komoditi perdagangan menunjukkan gejala perilaku relatif lebih otonom dan lebih dinamis clan pada petani-petani di sentra komoditi subsisten. Walaupun sentuhan-sentuhan program penyuluhan pertanian dari pemerintah relatif kecil. Memperhatikan fenomena tersebut, maka perspektif penyuluhan pertanian ke depan peranan-peranan dinas, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa yang harus dilaksanakan dalam pengembangan pertanian relatif lebih banyak adalah memfasilitasi dinamika para petani dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusan tersebut serta menciptakan kondisi yang kondusif untuk bisnis bagi petani kecil. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.21 maka disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: pertama, peran P P L di sentra komoditi subsisten sebagai tempat bertanya atau berkonsultasi dalam ha1 budidaya atau peningkatan produksi usaha tani masih dominan, sedangkan peran Penyuluh Pertanian di sentra komoditi perdagangan mulai digeser oleh pendatang-pendatang baru dalam kegatan penyuluhan pertanian seperti swasta, petani maju, pedagang; kedua, peran tokoh masyarakat dalam memberikan saran yang berhtan dengan budidaya usaha tani makin menurun di sentra komoditi perdagangan. Peran mereka digeser oleh petani maju, swasta dan pedagang hasil-hasil pertanian; ketiga, peran petani sebagai sumber teknologi budidaya usaha tani relatif paling besar, clan peran petani sebagai produsen teknologi makin strategis; dan keempat, dengan munculnya pelaku-pelaku baru dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian, menuntut adanya penyesuaian peran-peran Penyuluh Pertanian clan Penyuluh Pertanian non pemerintah agar terjadi hubungan sinergis antar para pelaku penyuluhan pertanian dalam memberikan pelayanan yang memuaskan kepada petani.
Hasil analisis interaksi petani dengan penyelenggara penyuluhan pertanian dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pengolahan hasil usaha tani disajikan dalam Tabel 4.22 Tabel 4.22. Tempat petani responden bertanya atau berkosultasi untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan pengolahan hasil usaha tani (%) Tempat bertanya atau bwkonsultasi Komo
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan: n= 749; Persentase terhadap total responden dilokasi hersangkutan per tempat bertanya 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (pangan) Sp = Sesama petani; Pdg = Pedagang; Ppl = Penyuluh Pertanian Lapangan; Tm = Tokoh masyarakat; Sst = Petugas lapangan swasta, Kios saprodi, Dns = Dinas lingkup pertanian; Lsm = Lembaga swadaya masyarakat; Bpp = Balai penyuluhan pertanian; Kud = Koperasi unit desa; Bnk = Perbankan Negara maupun swasta.
Tabel 4.22 menunjukkan bahwa proporsi petani yang menghadapi permasalahan pengolahan atau penanganan hasil-hasil pertanian tidak sebanyak proporsi petani yang menghadapi permasalahan-pennasalahan berkaitan dengan sarana produksi, jenis usaha tani yang menguntungkan dan peningkatan produksi usaha tani. Informasi atau teknologi yang berkaitan dengan pengolahan dan penanganan hasil-hasil pertanian mereka dapat kan dari sesama kawan, pedagang hasil-hasil pertanian, Penyuluh Pertanian, tokoh masyarakat dan B P P
Proporisi petani dl sentra komoditi perdagangan yang bertanya kepada kawan-kawannya tentang ha1 pengolahan dan penaganan hasil relatif lebih kecil
dan petani di sentra komoditi subsisten. Hal ini terkait dengan kebijaksanaan pemerintah yang mengaitkan antara kualitas gabah dengan harga gabah. Pa& mulanya persepsi petani, tentang harga gabah, bahwa makin tingg kualitas gabah, makin tingg harga jual gabah. Kenyataannya, tengkulak membeli gabah petani dengan harga yang relatif sama, h a n g meperhatikan kualitas. Rohim, Yono, dan Paimin masing-masing petani dan NTB, Lampung dan Jawa Timur mengatakan meningkatkan mutu gabah, bukan berarti untung. Pada saat panen biaya tenaga kej a mahal, biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan hasil tidak imbang dengan kenadcan harga gabah. Di lain p h k , tengkulak membeli gabah petani dengan harga yang relatif sama, pada saat panen raya. Pengalaman tersebut yang menyebabkan sikap petani agak negatif terhadap penanganan gabah. Gabah untuk keperluan konsumsi, apalagi untuk benih, petani menanganinya secara baik. Hal ini menunjukkan bahwa petani sangat memahami manfaat dan resiko yang timbul sebagai akibat penanganan hasil yang kurang baik. Walaupun proporsi petani di sentra komoditi perdagangan relatif lebih kecil, bertanya tentang ha1 yang berkaitan dengan penanganan hail-hasil pertanian, bukan berarti tingkat kesadarannya untuk menangani hasil-hasil usaha taninya lebih rendah dari kesadaran petani di sentra komoditi subsisten. Sifat komoditi hortikultura sendiri dan mutu hasil yang diminta oleh konsumen menuntut penanganan yang jauh lebih baik dari komoditi subsisten dalam ha1 ini padi. Petani-petani di sentra komoditi perdagangan menangani hasil-hasil usaha taninya menjadi beberapa Mas (grade). Petani membuat klasifikasi produksinya berdasarkan berat, ukuran, penampilan tergantung jenis komoditinya. Kualitas produk tergantung permintan konsumen dan pedagang. Kualitas komoditi
hortikultura salah satu determinan harga yang diterima oleh petani. Kualitas produk yang tidak sesuai dengan kesepakatan dltolak oleh konsumen dan pedagang. Hartono, seorang petani sayur di Malang, mengatakan sering mendapatkan permintaan dari seorang pedagang untuk menanam terong Jepang dengan kualitas yang sudah disepakati, termasuk harganya. Kualitas terong Jepang di luar kesepakatan ditolak oleh pedagang tersebut. Dia menjual apkiran terong Jepang kepasaran m u m dengan harga yang relatif lebih rendah. Disamping bertanya kepada kawan-kawannya, petani juga bertanya ke pedagang hasil-hasil pertanian, Penyuluh Pertanian, tokoh masyarakat, swash, Dinas lingkup pertanian, L S M, B P P, kalau menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan pengolahan dm penanganan hasil-hasil pertanian. Walaupun proporsinya tidak sebesar bertanya kepada petani lainnya. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.22, maka dlsimpulkan hal-ha1 berikut: pertama, peran pedagang hasil-hasil pertanian relatif besar dalam menyampaikan
mutu produk-produk pertanian yang diminta oleh konsumen; dan kedua, keputusan-keputusan petani untuk menangani hasil-hasil usaha taninya secara baik sangat dltentukan oleh jumlah insentif yang dlterimanya atau tingkat penghargaan konsumen terhadap kualitas produk usaha tani sebagai determinan keputusan-keputusan para petani. Hasil analisis interaksi petani dengan penyelenggara penyuluhan pertanian dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan harga dan pemasaran hasil usaha tani disaji- kan &lam Tabel 4.23. Tabel 4.23 menunjukkan bahwa proporsi petani bertanya atau berkonsultasi relatif besar (81,70-97,90%) kepada petani lainnya dan kepada para pedagang hasil-hasil pertanian, baik di sentra komoditi perdagangan maupun di sentra komoditi subsisten. Petani-petani menggunakan informasi harga hasil-hasil pertanian dari petani lainnya. Informasi harga dari pedagang hasil-hasil pertanian
hanya sebagai dasar untuk memberikan harga penawaran kepada para pedagang, baik yang datang ke desa atau pedagang di pasar. Petani tahu, walaupun pada akhimya yang menentukan harga kesepakatan adalah pedagang. Tabel 4.23. Tempat petani responden bertanya atau berkosultasi dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan harga dan pemasaran hasil usaha tani (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per tempat bertanya 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan mortikultura sayur) 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (pangan) Sp = Sesama petani; Pdg = Pedagang; Ppl = Penyuluh Pertanian Lapangan; Tm = Tokoh masyarakat; Sst = Petugas lapangan swasta, Kios saprodi, Dns = D i lingkup pertanian; Lsm = Lembaga swadaya masyarakat; Bpp = Balai penyuluhan pertanim, Kud = Koperasi unit desa; Bnk = Perbankan Negara maupun swasta.
Abdurahrnan, seorang petani di Jawa Timur, sering mendengar harga suatu komoditi relatif lebih mahal & suatu pasar induk sayur di sebuah Kecamatan, dibandingkan dengan harga penawaran dari pedagang hasil-hasil pertanian yang datang ke desa. Dia mencoba menjual sayurnya langsung ke pasar tersebut, temyata harga yang ditawar oleh pedagang di pasar tersebut relatif lebih murah. Dia merasa rugi dua kali yaitu mgi transpot dan harga sayurnya lebih murah. Hal
ini mengindikasikan setiap orang dan komoditi mempunyai jalur pemasaran masing-masing yang relatif tidak mudah ditembus. Asmui, seorang petani sayur di Nusa Tenggara Barat, biasanya menjual kubis ke salah satu pasar Kecamatan. Karena dia mendengar harga kubis lebih mahal di salah satu pasar Kabupaten, Qa mencoba menjual 1 kwintal kubis ke pasar tersebut. Apa yang terjadi, jangankan mendapatkan harga yang mahal, hampir satu hari, dia menunggu barang dagangan tidak ada yang menawar. Akhirnya kubis tersebut dijual murah dari pada di bawa pulang. Dengan demikian pemasaran hail merupakan pennasalahan yang paling berat dihadapi oleh petani. Disamping dari sesama petani dan pedagang hasil-hasil pertanian, petani juga mendapatkan informasi pasar dari Penyuluh Pertanian, swasta, Dinas, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa. Dan sumber-sumber tersebut, proporsi petani di sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak yang bertanya dari pada petani di sentra komoditi perdagangan. Pemanfaatan infonnasi harga hasil-hasil pertanian disamping sebagai dasar untuk mengajukan harga penawaran produk-produk usaha tani kepada para pedagang, petani juga mengumpullcan harga tersebut sebagai dasar untuk menyusun dan merencanakan pemiliham komoditi dan waktu tanam komoditi pada setiap musim tanam setiap tahun. Hasil analisis interaksi petani dengan penyelenggara penyuluhan perkmian dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan permodalan usaha tani disajikan dalam Tabel 4.24. Tabel 4.24 menunjukkan bahwa proporsi petani di sentra komoditi subsisten relatif lebih banyak berhubungan dengan sesama petani kalau menghadapi pennasalah- an permodalan usaha tani dari pada petani-petani di sentra komoditi perdagangan. Hal ini mereflekskan bahwa hubungan sosial antar petani di sentra komoditi subsisten relatif bersifat kekeluargaan atau sifat gotong royong petanipetani di sentra komoditi subsisten relatif lebih menonjol dari petani-petani di sentra komodti perdagangan. Pinjaman modal dari petani bisa dalam bentuk
natura, sarana produksi, uang, tergantung petaninya dengan suku bunga bervariasi 3-50 % per musim. Kasus suku bunga pinjaman sebesar 50 % di sentra tembakau di Nusa Tenggara Barat. Tabel 4.24. Tempat petani responden bertanya atau berkosultasi dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan permodalan usaha tani (%)
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan : n= Jumlah petani responden; Persentase terhadap total responden dilokasi bersangkutan per tempat bertanya I = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur) 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (pangan) Sp = Sesama petani; Pdg = Pedagang; Ppl = Penyuluh Pertanian Lapangan; Tm = Tokoh masyarakat; Sst = Petugas lapangan swasta, Kios saprodi, Dns = Dinas lingkup pertanian; Lsm = Lembaga swadaya masyarakat; Bpp = Balai penyuluhan pertanian, Kud = Koperasi unit desa; Bnk = Perbankan Negara maupun swasta.
Petani-petani mempunyai strategi masing-masing dalam memecahkan permasalahan permodalan usaha taninya. Sulurman, seorang petani di Lampung Tengah, menunjukkan dalam kondisi harga saprodi yang cenderung naik sedangkan harga padi cenderung turun, kalau mengambil kredit usaha tani akan rugi. Untuk mengatasi masalah permodalan dan masalah-masalah lain, dia bersama teman-teman membangun kumpulan simpan pinjam. Modal awal Rp 20.000 dan padi 1 kwintal per anggota. Sekarang modal mereka sudah mencapai
Rp 12 juta. Walaupun bunganya relatif lebih tinggi dari bunga KUT,tapi bunga tersebut milik semua anggota yang dibaghn dalam bentuk sisa hasil usaha setiap tahun. Dengan kumpulan simpan pinjam tersebut, mereka memecahkan
permasalahan-permasalahan permodalan usaha tani dan permasalahan lain yang dihadapi anggota, seperti kebutuhan biaya anak sekolah dll. Permasalahan permodalan usaha tani disamping dipecahkan oleh sesama petani baik di sentra komoditi perdagangan maupun di senm komditi subsisten, permasalahan tersebut juga dipecahkan bersama pedagang hasil-hasil pertanian maupun dengan tokoh masyarakat setempat. Proporsi petani yang memecahkan permasalahan permodalan usaha taninya bersama pedagang dan tokoh masyarakat relatif kecil dibanding pemecahan masalah ke petani. Pedagang dan tokoh masyarakat memberikan pinjaman kepada petani sangat selektif, hanya kepada petani yang karaktemya sudah diienal. Disamping ke pedagang dan tokoh masyarakat, petani-petani memecahkan permasalahan permodalan usaha taninya juga ke swasta, yang umumnya pemilik kios saprodi. Walaupun proporsinya relatif kecil. Proporsi petani di sentra komohti perdagangan yang memecahkan permasalahan permodalan usaha taninya ke swasta relatif lebih besar dari pada proporsi petani di sentra komoditi subsisten. Hal ini berkaitan dengan interaksi petani di sentra komoditi perdagangan dengan swasta sudah berlangsung relatif lama, sehingga kepercayaan kedua belah pihak telah terbangun sejak lama. Pemilik kios saprodi sudab paham dan mengenal petani-petani yang bisa di percaya. Makin komersial seorang
petani, makin tinggi interaksi dengan pihak ke dua dan pihak ke tiga. Sinergisme interaksi tersebut menuntut landasan moral dan kepribadian kedua belah pihak. Kepribadian petani yang baik dapat menumbuhkan kepercayaan pihak lain. Dalam perspektif penyuluhan pertanian kedepan ada dua ha1 yang perlu mendapat perhatian: pertarnu, pengembangan aspek kepribadian para petani dan Penyuluh Pertanian menjadi sangat mendesak dan penting; dan kedua.
pengembangan metode pembentukan kepribadian Penyuluh Pertanian dan kepribadian petani. Pengalaman Jumadl dan Jayat, masing-masing petani hortikultura di Lampung Barat dan petani campuran (pangan dan hortikultura) di Lampung Tengah, menunjukkan: kalau belum mempunyai uang untuk membeli sarana produksi, mereka bisa membeli sarana produksi di kios-kios yang dibayar setelah panen tanpa bunga. Mereka tidak mengetahui mengapa pemilik laos percaya padanya, mungkin pemilik kios menilai mereka jujur. Kasus ini menunjukkan bahwa pengembangan faktor kepribadian petani merupakan tuntutan mutlak dalam kegitan penyuluhan pertanian pada masa mendatang. Sukardi (1991) mengatakan bahwa sifat-sifat wiraswasta yang berhasil merupakan hasil proses belajar dan bukan merupakan faktor-faktor turunan. Interaksi petani-petani baik di sentra komoditi perdagangan maupun di sentra komoditi subsisten dengan Penyuluh Pertanian, Dinas, L S M, Balai Penyuluhan Pertanian dan Koperasi Unit Desa dalam pemecahan permasalahan permodalan usaha taninya sebatas infonnasi dan prosedur yang harus dilewati untuk mendapatkan kredit program, kecuali LSM milik para petani seperti Koperasi Tani yang memberikan pinjaman modal kepada para anggotanya. Hal ini dapat dilihat dari peran mereka yang relatif lebih besar di sentra komoditi subsisten dari pada peran mereka di sentra komoditi perdagangan. lnteraksi petani-petani dengan perbankan untuk mendapatkan permodalan usaha tani di wilayah lebih maju relatif lebih besar dari pada petani-petani di wilayah yang kurang maju. Hal ini dapat dilihat dari proporsi petani berinteraksi dengan perbankan di Jawa Timur lebih tinggi dari pada petani-petani di Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Disamping itu, interaksi petani-petani dengan perbankan untuk mendapatkan permodalan di sentra komoditi perdagangan relatif lebih besar dari pada interaksi petani-petani di sentra komoditi subsisten baik di Jawa Timur, Lampung maupun Nusa Teng- gara Barat. Dengan demikian makin
komersial seorang petani makin tinggi interaksinya dengan perbankan. Faktor kepribadian petani sangat mempengaruhi kesinambungan interaksi petani dengan perbankan. Dari hasil analisis Tabel 4.24 disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: pertama, masing-masing petani mempunyai strategi adaptasi untuk memecahkan masalahmasalah permodalan usaha taninya sesuai dengan kondisi setempat; kedua, dengan makin tingginya intensitas interaksi para petani dengan pihak ketiga, maka pengembangan kepribadian para petani merupakan kebutuhan yang mutlak; ketzga, dalam perspektif penyuluhan pertanian perlu pengembangan metode
pembentukan kepribadian para petani dan kepribadian penyuluh pertanian; dan keempat, peranan dinas, Penyuluh Pertanian, B P P dan K U D dalam ha1
permodalan usaha tani, hanya memecahkan masalah pernodalan yang dihadapi petani, peserta program-program pembangunan pertanian dari pemerintah. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.11-4.24, disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: pertama, sumber informasi dan teknologi utama P P L cenderung bergeser dari institusi-institusi lingkup pertanian baik pusat maupun daerah dan pelatihan dl Balai Penyuluhan Pertanian ke sesama Penyuluh Pertanian, petani maju, swasta; kedua, telah muncul dan berperannya pelaku-pelaku baru seperti para petani berhasil dan petani maju, pedagang hasil-hasil pertanian, swasta, LSM dalam mendukung dan melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian; ketiga, makin menguatnya gejala-gejala para petani menjadl pencari informasi dan produsen informasi, walaupun interaksinya dengan media massa dan media informasi masih relatif kecil; keempat, peran media massa dan peran media informasi dalam perubahan perilaku petani, hanya sebagai faktor pendorong tejadinya proses belajar didalam diri petani sendiri, itupun tergantung pada penilaian dan sikap petani terhadap usaha taninya; keltma, malan maju atau komersial suatu wilayah maka malan kecil peran tokoh masyarakat dalam kegiatan penyuluhan pertanian dan pemecahan masalah yang dlhadapi petani,
peran tokoh masyarakat mulai dgeser oleh petani maju, pedagang hasil-hasil pertanian di tingkat desa, swasta; keenam, makin maju atau komersial suatu wilayah dan makin komersial seorang petani, terdapat kecenderungan makin kecil interaksinya dengan Penyuluh Pertanian, Dinas lingkup pertanian, BPP, K U D; ketujuh, masing-masing petani mempunyai clan terlibat dalam jaringan sosial
sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungannya untuk memecahkan segala permasalahan yang dlhadapinya; kedelapan,
di tingkat lapangan ada suatu
jaringan yang mekanisme kerjanya begitu cepat menyebarkan kejadian-kejadian eksmm (keberhasilan atau kegagalan suatu usaha tani seorang petani); kesembllan, ada kecenderungan peningkatan intensitas interaksi petani dengan
pihak ketiga dalam upaya meme cahkan permasalahannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya; kesepuluh, makin maju atau makin komersial suatu wilayah dan makin komersial seorang petani, ada kecenderungan makin tinggi proporsi petani berinteraksi dengan lembaga keuangan formal dalam memecahkan permasalahan permodalan usaha tani; kesebelas, petani merupakan salah satu sumberdaya penyuluhan pertanian yang sangat potensial dan strategis di pedesaan; keduabelas, petani sangat membutuhkan informasi dan teknologi pertanian yang bermutu untuk meningkatkan nilai guna dan nilai tambah usaha taninya; clan ketigabelas, PPL sangat membutuhkan informasi dan teknologi pertanian yang bemutu, serta upaya-upaya pemberdayaan agar Penyuluh Pertanian dapat memberikan jasa-jasa penyuluhan yang memuaskan para petani.
Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Kualitas kegiatan penyuluhan pertanian adalah paduan sifat-sifat jasa penyuluhan pertanian yang diberikan oleh Penyuluh Pertanian, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan para petani baik yang dinyatakan maupun yang tersirat. Kualitas kegatan penyuluhan pertanian diukur dengan lima indikator yaitu, materi penyuluhan pertanian, domain yang disentuh
dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, memfasilitasi keputusankeputusan petani, keberpihakan kepada petani dan intensitas kunjungan PPL ke wilayah kerjanya. Hasil analisis kualitas kegiatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan di Provinsi Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat disajikan dalam Tabel 4. 25. Tabel 4.25. Kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dan jumlah Penyuluh Pertanian berdasarkan tingkat kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat . -.. -.-..---
~bl ~
a
a
kc#man
T K ISkorS k d t a~ s kcgatan ] pcnfluhan pertanian dan jumlah Skor
,
Pcnyuluh P m a n dalam posls~katetekor tersebut (?!I-
5
Rataan
(00,OO) 48,60
6
Total
(100,o)
till&
Total
9
(00,OO) 50,56
(00,OO) 60,67
(00,OO) 50,lO
(100,o)
(100,o)
36
107
(100,O)
7
n
35
36
Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan: nL Jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan responden;. Skor yang disajikan adalah skor rata-rata; Angka dalam hrung adalah persentase Penyuluh Pertanian Lapangan herdasarkan tingkat kualitas kegiatan penyuluhan pertanian; Min-Maks adalah skor minimal dan maksimal yang dicapai per kategori.
Tabel 4.25 menunjukkan bahwa secara umum kualitas kegiatan penyuluhan pertanian rendah dan cenderung sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari rataan skor kualitas kegiatan penyuluhan sebesar 50,lO dari batasan skor k e ~ a t a n penyuluhan pertanian dikategorikan rendah adalah 59,OO. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kualitas kegiatan penyuluhan pertanian antar Provinsi berbeda sangat nyata (p
=
0,014). Perbedaan tersebut
disebabkan oleh perbedaan faktor kepribadian Penyuluh Pertanian Lapangan (p = 0,005), harga diri Penyuluh Pertanian Lapangan (p = 0,054), kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan (p= 0,019), kemampuan operasional Penyuluh Pertanian Lapangan (p= 0,001), iklim organisasi Penyuluh Pertanian (p = 0,021), kualitas teknologi pertanian (p= 0,040), kualitas infonnasi pertanian (p= 0,005), kualitas kebijaksanaan organisasi (p= 0,000) dan kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian dengan (p= 0,000). Berdasarkan hasil analisis ragam tersebut di atas, maka hipotesis no1 (Ho) di tolak. Dapat disimpulkan tingkat kualitas kegatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat berbeda nyata dalam hal: maten penyuluhan pertanian yang diberikan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan, domain perilaku yang disentuh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, memfasilitasi keputusan-keputusan petani, keberpihakan kegatan penyuluhan pertanian kepada petani, dan intensitas kunjungan P P L ke wilayah kerjanya. Rendahnya tingkat kualitas kegiatan penyuluhan pertanian tersebut d~ atas berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: pertama, rendahnya tingkat motivasi Penyuluh Pertanian dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian; kedua, kekurang sesuaian kepnbadlan P P L dengan perannya sesuai dengan perubahan kebutuhan para petani dan tuntutan lingkungan kejanya; ketiga, harga diri Penyuluh Pertanian yang relatif rendah; keempat, tingkat kompetensi Penyuluh Pertanian tidak sesuai dengan kebutuhan para petani; kelima, ikim organisasi Penyuluh Pertanian relatif kurang kondusif; keenam, rasio antara Penyuluh Pertanian dengan luas wilayah kerjanya relatif besar; ketujuh, kualitas teknologi pertanian pada tingkat Balai Penyuluhan Pertanian relatif rendah; kedelapan, kualitas informasi pertanian pada tingkat Balai Infonnasi relatif rendah; dan kesembzlan, kebijaksanaan yang terkait dengan penyuluhan pertanian relatif kaku,
dalam meresopn perubahan-perubahankebutuhan para petani.
Dengan menggunakan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian sebagai indikator untuk menilai dinamika suatu sistem penyuluhan pertanian, maka berdasarkan hasil analisis Tabel 4.25 sistem penyuluhan pertanian di tiga Provinsi tersebut berada dalam keadaan krisis. Menurut Longman Dictionary of American English (1983) knsis dimaknai sebagai kondisi atau momentum yang berbahaya. Capra (2000), knsis yang diambil dari kata Cina weiji - dimaknai bahaya dan kesempatan. Krisis berhubungan sangat kuat dengan perubahan. Krisis yang terjadi dalam penyuluhan pertanian, mempakan kesempatan untuk melaksanakan pembahan-perubahan sistem penyuluhan pertanian. Vanclay (Kurnia, 2000) mengatakan Australia juga pernah mengalami krisis pe- nyuIuhan pertanian dalam bebaapa ha1 yaitu: pertama, a fiscal crisis-
berkurangnya biaya operasional penyuluhan pertanian dari pemerintah; kedua, an eflectiveness crisis-penyuluhan pertanian relatif h a n g bejalan; ketiga, a legitimation crisis-petani mempunyai pandangan yang h a n g baik terhadap penyuluhan pertanian; dan keempat, a theoritical crisis-teori tidak l a g dapat menjelaskan realita yang sesungguhnya, karena realita telah berubah. Dengan menggunakan indikator legtimasi kelembagaan penyuluhan pertanian, biaya operasional kegatan penyuluhan pertanian, tingkat efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian, maka penyuluhan pertanian di Indonesia saat ini telah berada dalam keadaan krisis seperti yang pernah dialami oleh Australia. Momentum ini seharusnya dilihat sebagai peluang yang hams dimanfaatkan
untuk, menelaah kembali konsepsi, kebijakan yang berkaitan dengan penyuluhan pertanian dan membangun kembali sistem penyuluhan pertanian yang sesuai dengan perubahan-perubahan masyarakat pertanian. Walaupun secara umum rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian, di tiga Provinsi yaitu Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat rendah dan cenderung sangat rendah, hasil analisis Tabel 4. 25 menunjukkan bahwa masih ada (5,60%) P P L kualitas kegiatan penyuluhannya tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa ada beberapa orang P P L yang perilaku tugasnya berbeda dengan perilaku tugas Penyuluh Pertanian Lapangan lainnya dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian. Dua orang P P L yang kualitas kegiatan penyuluhannya dalam kategori t i n g ~d~Nusa Tenggara Barat mengungkapkan: "Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian jarang melalui pertemuan-pertemuan kelompok atau kunjungan ke rumah-rumah petani, kami biasanya langsung ke sawah-sawah tempat petani bekeja. Di sawahlah tempat berdiskusi bersama petani, sehingga petani merasa posisinya sama dengan posisi kami. Pa& kondisi seperti itu, petani akan mengungkapkan semua keluhan dan permasalahannya. Dengan demikian kami mengetahui keluhan dan permasalahan petani yang sebenamya, disamping itu petani merasa dihargai. Kalau ditemukan permasalahan-permasalahan di lapangan, pada saat itu juga, kami memecahkan dengan cara mengejakan bersama petani. Dengan cara demikian tumbuh persepsi petani bahwa penyuluh pertanian juga bisa bertani, tidak hanya berteori. Hal ini akan meningkatkan rasa kepercayaan petani terhadap Penyuluh Pertanian. Kami tidak pemah memberikan saran kepada petani dm atas pematang. Dengan cara memberikan saran seperti itu, petani merasa digurui dan merasa tidak dihargai. Kami melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, relatif jarang berbicara. Kalau ada inovasi, bersama petani mencoba inovasi tersebut &lam sekala kecil, memasang pelang di tempat percobaan tersebut tanpa mencantumkan narna Penyuluh. Dengan demikian petani merasa dia sendiri yang melaksanakan kegiatan percobaan tersebut. Petani sendiri yang mengamati dan merawatnya. Pada saat per- cobaan selesai, petani sendlri yang mengevaluasi kineja inovasi tersebut. Kalau inovasi tersebut dirasakan bermanfaat, maka petani tersebut, dibonceng ke petani-petani lainnya untuk menceriterakan pengalamannya. Disamping itu kami juga sering membonceng petani untuk mengunjungi petanipetani lain yang berhasil. Kami selalu menghadiri pertemuan-pertemuan dengan petani atau kelompok tani, kapan pun pertemuan tersebut dilaksanakan, sore hari, malam hari, siang han. Untuk meningkatkan kompetensi, kami belajar ke petanipetani yang berhasil, membaca buku sesuai dengan perkembangan lapangan, dan melaksanakan percobaan kecil-kecilan." Seorang P P L yang kualitas kegiatan penyuluhannya dalam kategori tinggi di Provinsi Lampung mengungkapkan: "Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian di sentra komoditi horti- kultura, saya langsung bertemu dan berdiskusi dengan para petani di ladangnya. Pada umumnya para petani hortikultura sangat sibuk dan sedikit sekali waktu luangnya. Pada malam hari, para petani istirahat karena kepayahan bekej a hampir seharian. Di ladandah, saya berdiskusi dengan para petani. Kalau ada
penampilan tanamannya kurang memuaskan, saya menganalisis bersama petani apa penyebabnya. Kesepakatan jalan ke- luar yang diambil dicoba bersama petani dan efeknya juga hevaluasi bersama. Kunjungan ke ladang-ladang petani, hams djadwalkan secara baik. Mengunjungi petani d ladangnya jangan bersikap sok pintar, petani sangat tidak senang dengan sikap penyuluh pertanian seperti itu. Kalau ada inovasi, saya mencobanya pada 2-3 pertanaman milik petani. Kalau gagd petani tidak merasa dirugikan. Efek inovasi tersebut dinilai bersama petani. Tanpa bukti yang dilihat langsung, petani tidak percaya dengan saran-saran penyuluh pertanian. Kegiatan mencoba inovasi bersama petani dapat meningkatkan kepercayaan petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian. Kepercayaan petani pada kompetensi Penyuluh Pertanian, akan menyebabkan petani sering datang ke rumah minta untuk melihat pertanamannya, karena penampilan tanamannya kurang memuaskan. Komitmen terhadap janji mengunjungi petani, saya pegang sangat kuat. Karena komoditi hortikultura perlu penanganan yang cepat dan tepat, terlambat menanganinya sama dengan kegagalan. Hal-ha1 seperti ini hams dipahami secara baik oleh setiap penyuluh pertanian. Untuk meningkatkan kompetensi dalam hal hortikultura, saya selalu mencari inovasi sampai ke Lembaga Penelitian di Lembang, Cibodas pada saat ada pelatihan dl Jawa, membaca buku-buku yang terkait dengan komoditi Q wilayah keja, dan mencoba inovasi-inovasi yang telah diperoleh di ladang petani." Berdasarkan ungkapan pengalaman Penyuluh Pertanian yang kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dalam kategori tinggi seperti tersebut h atas, maka hal-ha1 yang hams dimiliki oleh seorang P P L adalah: pertama, tingkat kompetensi Penyuluh Pertanian yang memadai sesuai dengan perubahan dan kebutuhan lingkungan keja; kedua, sikap Penyuluh Pertanian yang menghargai para petani; ketiga kepribadian Penyuluh Pertanian yang sesuai dengan statusnya sebagai seorang tenaga fungsional seperti kesediaan terus belajar, punya integritas, kepuasan pada hasil keja, menghargai petani, tulus hati, bertanggung jawab; dan keempat, kesesuaian antara metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian dengan cara petani belajar. Hasil analisis kualitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dan sentra produksi komoditi subsisten d Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat disajikan dalam Tabel 4.26.
Tabel 4.26. Kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dan pada sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
6 7
1 1
1
total n
1 I
(100.0)
1 18
1 1
(100,O)
/ 17
1 I
(100,O)
1 18
I
1 I
I
(100.0)
/
18
I
1 I
(100,O)
/ 18
Sumber:Data primer tahun 2000-2001; Keterangan: n = Jumlah responden 107 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL); Angka dalam kurung adalah persentase Penyuluh Pertanian Lapangan berdasarkan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur); 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (tanaman pangan) Min-Maks = Skor minimal-maksimal
I
I
/
I
(100,O)
1
18
I
1 1
I
(100,O)
1
54
I
1 1
(100,O)
1 53
Tabel 4.26 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra komodidi subsisten. Rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dan pada senha komodidi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung clan Nusa Tenggara Barat juga menunjukkan gejala hampir sama yaitu rendah dan cenderung sangat rendah. Hasil analisis t test menunjukkan rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra komoditi produksi perdagangan berbeda sangat nyata dengan rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten (p= 0,OO). Berdasarkan hasil uji beda rataan (t test) antara kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dengan kualitas kegiatan penyu- luhan pertanian pa& sentra produksi komoditi subsisten di atas, maka hipotesis no1 (Ho) di tolak. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kualitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan berbeda nyata dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten dalam ha1 materi penyuluhan pertanian yang diberikan oleh P P L, domain perilaku yang disentuh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, memfasilitasi keputusan-keputusan petani, keberpihakan kegiatan penyuluhan pertanian kepada petani, dan intensitas kunjungan P P L ke wilayah kerjanya. Walaupun secara umum rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan lebih rendah, dari kualitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten tetapi ada beberapa P P L yang kualitas kegiatan penyuluhannya relatif tinggi, baik d~sentra produksi
komoditi perdagangan maupun di sentra produksi komoditi subsisten.
Relatif lebih rendahnya tingkat kualitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra komoditi perdagangan dari pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra komoditi subsisten berhubungan dengan: pertama, kompetensi Penyuluh Pertanian tidak sesuai dengan kebutuhan wilayah kejanya. Sebagan besar kompetensi Penyuluh Pertanian di sentra komoditi perdagangan dalam bidang tanaman pangan. P P L pada sentra produksi komoditi perdagangan, banyak belajar tentang komoditi-komoditi hortikultura. Walaupun demikian mereka tidak bisa mengikuti kecepatan perubahan dan kebutuhan petani. Darto seorang Penyuluh Pertanian keahliannya di bidang perikanan tetapi dia di tugaskan di sentra komoditi hortikulltura. Dia berusaha belajar sendiri dengan cara membaca buku-buku hortikultura. Walaupun demikian, dia tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan pennasalahan-pennasalahan di sentra komoditi perdagangan. Kedua, pertanaman di sentra produksi komoditi perdagangan sangat
be~ariasid m pergantian tanaman relatif cepat dari musim tanam ke musim tanam berikutnya. Variasi tanaman dan kecepatan pergantian tanaman berdampak pada variasi sarana produksi yang diperlukan dan permasalahan yang sangat be~ariasi. Di sentra produksi komoditi perdagangan kecepatan Penyuluh Pertanian meningkatkan kompetensinya relatif lebih rendah dari kecepatan munculnya permasalahan yang dihadapi oleh para petani untuk dipecahkan. Petani sering menanyakan nama obat-obatan dan teknolog budidaya suatu jenis tanaman yang belum dikenal oleh Penyuluh Pertanian. Ket~ga,medan kej a P P L di sentra produksi komoditi perdagangan relatif
lebih sulit dari medan keja Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi subsisten. Kesulitan medan keja tersebut dapat hlihat dari topografi wilayah kerja yang berbukit-bukit, kualitas infrastruktur jalan menuju wilayah kerja terutama pada musim hujan yang tidak mudah Qlalui kendaraan, tanpa peralatan tambahan, dan desa wilayah keja relatif lebih lebih luas.
Keempat, kualitas teknologi dan infonnasi di B P P pada sentra produksi
komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari kualitas teknologi dan informasi pada sentra produksi komoditi subsisten. Hal ini dapat dilihat dari pasokan teknologi dan informasi yang relevan dengan pengembangan komoditi hortikultura ke Balai Penyuluhan Pertanian pada sentra komoditi perdagangan relatif sedilut dan jarang. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.25 dan Tabel 4.26 &pat disimpulkan halha1 sebagai berikut: pertama, rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian rendah dan cenderung rendah baik pada sentra produksi komoditi perdagangan maupun pada sentra produksi komodrti subsisten di Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat; kedua, rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari rata-rata kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten; ket~ga, kegiatan penyuluhan pertanian yang kualitasnya tinggi tejadi pada sentra produksi komodlti subsisten maupun pada sentra produksi komoditi perdagangan
dalam proporsi yang relatif kecil; keempat, rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dl Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat berbeda sangat nyata; dan kelima rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan berbeda sangat nyata dengan rata-rata kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten. Kesimpulan-kesimpulan tersebut dl atas mengindikasikan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian relatif kurang ditujukan untuk memuaskan kebutuhankebutuhan para petani, P P L tidak mempunyai otonomi dalam melaksanakan peran-perannya melayani para petani, kegiatan penyuluhan pertanian menjadi relatif rutin, kurang menantang. Hal ini menimbulkan kejenuhan dan konflik peran pada P P L, kepuasan kejanya cenderung rendah, sehingga motivasi kerjanya cenderung menurun.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Analisis asosiasi antara faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dimaksudkan untuk menelusuri dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhl kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hasil analisis faktor-faktor pribadi Penyuluh Pertanian Lapangan yang berhubungan dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian disajikan dalam Tabel 4.27. Tabel 4.27. Hubungan antara kualitas kegatan penyuluhan pertanian dengan peubah pribadi Penyuluh Pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat No
Peubah pniadi Penyuluh Pertanian Lapangan
Koefesien kontingensi antara peubah pribadi Penyuluh Pertanian Lapangan dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di setiap lokasi penelitian
Sumber:Data primer tahun 2000-2001 Keterangan: n = Jumlah Penyuluh Pertanian responden; Data dalam tabel adalah koefisien kontingensi ** = Si@ans pada a = 0,01
Tabel 4.27 menunjukkan bahwa dari sehelas faktor-faktor pribadi P P L yang dianalsis hampir semua faktor berhubungan tidak nyata dengan kualitas kegatan penyuluhan pertanian, kecuali faktor kemsinian masa latihan P P L berhubungan sangat nyata dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Lampung. Hasil analisis ini menpndikasikan a& faktor-faktor lain yang
berlaku umum berhubungan dengan tingkat kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di tiga Provinsi. Faktor umur, jarak dari tempat tinggal ke tempat tugas atau wilayah kerja dan alat transportasi yang dimilih dan dikuasai P P L merupakan determinan kemampuan Penyuluh Pertanian mengunjungi wilayah kerjanya dan petani secara teratur. Dengan kemampuan seperti itu, Penyuluh Pertanian seharusnya dapat bekeja optimal. Fakta menunjukkan sebagin besar Penyuluh Pertanian datang ke wilayah kejanya lebih dari 2 bulan sekali (Tabel 4.10) dan motivasi kejanya relatif rendah (Tabel 4.3). Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain sebagai determinan perilaku kerja Penyuluh Pertanian yang mempengaruhi rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanain.
kkp ips
Dimension 1 Canonical normalization
Gambar 4.5. Hubungan antaxa jenis pekejaan sampingan (ips) dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian (kkp)
Faktor tingkat pendidikan, bidang keahlian, masa kerja, pekerjaan sampingan, kedisinian masa latihan, jenis latihan dan sumber teknologi Penyuluh Pertanian merupakan determinan tingkat kompetensi Penyuluh Pertanian yang
akan berhubungan dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Fakta menunjukkan tingkat kompetensi penyuluh pertanian relatif rendah (Tabel 4.3). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendilkan Penyuluh Pertanian, bidang keahlian Penyuluh Pertanian, jenis latihan yang pernah diikuti oleh Penyuluh Pertanian, pengalaman kerja yang lmiliki Penyuluh Pertanian, ketersediaan teknologi di Balai Penyuluhan Pertanian tidak sesuai lagi dengan tuntutan kerja di lapangan. Hasil analisis korespondensi antara jenis pekejaan sampingan P P L dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dalam Gambar 4.5 menunjukkan bahwa ada kecenderungan P P L yang mempunyai kegiatan sampingan jual beli hasilhasil pertanian, kualitas kegiatannya relatif lebih tinggi dan P P L lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut yang mendorong peningkatan intensitas interaksi antara Penyuluh Pertanian Lapangan dengan para petani. Jika kondisi ini dianalisis dengan teori interaksi simbolik dan teori struktural maka kondisi itu mengindikasikan bahwa: (1) P P L kesulitan mengakses teknologi clan informasi yang diperlukan untuk membantu memecahkan pernasalahan petani, walaupun tersedia teknologi di B P P, tetapi teknologi tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan para petani; (2) pasokan, mutu teknologi dan informasi pertanian ke BPP, kurang memadai; (3) kompetensi Penyuluh Pertanian tidak sesuai dengan tunMan perubahan lingkungan kejanya; (4) perilaku tugas Penyuluh Pertanian sangat ditentukan oleh peran yang telah ditetapkan oleh organisasinya; dan (5) peran Penyuluh Pertanian kurang sesuai dengan status atau posisi yang di milkinya. Berdasarkan hasil analisis Tabel 4.27 maka disimpulkan bahwa: pertama, sumberdaya penyuluhan pertanian yang dikuasai oleh Penyuluh Pertanian seperti: faktor umur, tingkat pendidikan, bidang keahlian, masa keja, pekejaan sampingan, alat transportasi yang dikuasai, masa lathan, jenis latihan yang pernah diikuti, jenis kelamin, sumber teknologi dan jarak tempat tinggal ke tempat
kerjanya atau ke wilayah kerjanya tidak berhubungan nyata dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya penyuluhan pertanian yang dikuasai Penyuluh Pertanian kurang sesuai dengan tuntutan lingkungan kerjanya yaitu perubahan perilaku usaha tani petani yang semakin komersial; kedua, ada faktor-faktor ekstemal Penyuluh Pertanian yang pengaruhnya sangat kuat terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Berdasarkan hasil analisis asosiasi faktor-faktor pribadl yang mempakan komponen sumberdaya penyuluhan Penyuluh Pertanian (Tabel 4.27), maka hipotesis no1 (&) di terima. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor pribadi P P L tidak berhubungan nyata dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya penyuluhan pertanian yang dikuasai oleh PPL tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan kerjanya yaitu perubahan kebutuhan,
sikap dan perilaku usaha tani petani yang semahn komersial. Realita tersebut menuntut untuk menelaah ulang konsepsi penyuluhan pertanian dengan cara memahami secara baik dan mendalam tentang perkembangan kebutuhan dan perilaku usaha tani para petani, dan kualitas sumberdaya penyuluhan pertanian serta kompetensi yang hams dikuasai oleh PPL untuk merespon perkembangan perilaku usaha tani dan kebutuhan para petani. Pengaruh Faktor-faktor Eksternal dan Internal Penyuluh Pertanian Lapangan terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Untuk memahami faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian, dipergunakan analisis regresi berganda dengan model sebagai berikut:
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan R' adjusted = 0,80 dan p = 0,OO. Hal ini berarti 80 persen kualitas kegatan penyuluhan pertanian dapat dijelaskan oleh faktor motivasi Penyuluh Pertanian (XI), kepribadian Penyuluh Pertanian (X2), harga diri Penyuluh Pertanian (X3), kompetensi Penyuluh Pertanian (X4), kemampuan operasional Penyuluh Pertanian (X5), iklim organisasi (X6), kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian (X7), kualitas teknologi pertanian (X8), kualitas informasi pertanian (X9), kualitas kebijaksanaan (X10) dan kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian (X11). Dengan demikian model tersebut cukup baik untuk menjelaskan fenomena kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hasil analisis lintas sebelas peubah bebas terhadap kualitas kegiatan penyuluhan disajikan dalarn Tabel 4. 28 dan Gambar 4.6. Tabel 4.28. Pengaruh total faktor-faktor internal dan ekstemal Penyuluh Pertanian Lapangan terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian
Sumber: Data primer tahun 2000-2001
Tabel 4.28 dan Gambar 4.6 menunjukkan bahwa faktor motivasi P P L, kepribadian P P L, harga diri P P L, kompetensi P P L, kemampuan operasional P P L, kompleksitas wilayah keja P P L, kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian berpengaruh secara langsung pada perilaku tugas P P L. Kualitas kegiatan penyuluhan pertanian merupakan refleksi perilaku tugas P P L. Faktor kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian secara tidak langsung mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian melalui iklim organisasi dan harga diri Penyuluh Pertanian. Iklim organisasi penyuluhan pertanian secara tidak langsung mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian melalui motivasi dan harga diri Penyuluh Pertanian. Kualitas teknologi pertanian, kualitas informasi pertanian, secara tidak langsung mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian, melalui kompetensi dan harga diri Penyuluh Pertanian Lapangan. Dan sebelas peubah yang dianalisis &lam model, peubah kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan dan motivasi Penyuluh Pertanian Lapangan pengaruhnya paling kuat terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Kualitas kebijaksanaan orga- nisasi mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian melalui pengaturan tugas Penyuluh Pertanian, tingkat fleksibilitas Penyuluh Pertanian dan otonomi yang diberikan kepada Penyuluh Pertanian untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda dan analisis lintasan tersebut di atas, maka hipotesis no1 (Ho) di tolak. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kualitas kegiatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh P P L dipengaruhi oleh motivasi Penyuluh Pertanian, kepribadian Penyuluh Petanian, harga &ri Penyuluh Pertanian, kompetensi Penyuluh Pertanian, kemampuan operasional Penyuluh Pertanian, iklim organisasi, kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian, kualitas teknologi pertanian, kualitas informasi pertanian, kualitas kebijaksanaan
organisasi Penyuluh Pertanian, dan kompleksitas wilayah keja Penyuluh Pertanian. Tabel 4.29 dan Gambar 4.7 menunjukkan pengaruh masing-masing faktor internal dan eksternal P P L pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian, serta indikator-indikatomya dengan faktor intemal dan ekstemal Penyuluh Pertanian Lapangan. Tabel 4.29. Rekapitulasi koefesien lintasan faktor internal dan ekstemal dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dan indikatorindikatomya dengan faktor internal dan ekstemal penyuluh pertanian Kualitas kegiatan penyuluhan pertanian (Yl) NO
Fsktor internal 1 Indikator
Koefisien lintasan
No
Fsktor eksternal I Indikator
0,62** 0,51**
X8.2 X9
Kualitas informasi
Koefesien litasan
operasional
-
X5.2 X5.3
1
/
I
Penguasaan alat transportasi Jarak k
I
u 0,50tf I
0,48** 0.02
1 X9.1 1 Kesesuian dengan kebutuhan I
'
0,69** 0,49** 0,43**
I Yetersediaan informasi
Lualitas kebiiaksanaan 'leksibiitas )tonomi Keterangan : i = Jumlah 107 Penyuluh Pertanian Lapangan responden; * Signifikan pada a = 0,05; ** Sangat signiiikan pada a = 0,Ol.
/
0,32**
( 0,32**
. . ..-.
= Hubungan tidak
nyata tetapi penting
Gambar 4.7. Model hubungan indikator dengan faktor-faktor yang berpengamh pada kualitas dan efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian.
Realita ini menunjukkan bahwa kualitas kegiatan penyuluhan pertanian sangat kuat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal Penyuluh Pertanian. Faktor tersebut yang menchstorsi faktor-faktor internal sehingga sumberdaya penyuluhan pertanian yang dikuasai oleh Penyuluh Pertanian Lapangan menjadi tidak fungsional untuk merespon perkem- bangan kebutuhan para petani. Proses faktorfaktor internal dan eksternal P P L mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dijelaskan sebagai berikut: Pengaruh Motivasi Penyuluh Pertanian (XI) terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Motivasi Penyuluh Pertanian berpengaruh paling kuat ke dua (Tabel 4.28) pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Perilaku tugas yang terukur dan teramati sebagai indkator motivasi kerja Penyuluh Pertanian adalah intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke wilayah kerjanya. Makin tingg intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke wilayah kerjanya, maka makin tinggi kualitas kegiatan penyuluhannya. Tabel 4.10 menunjukkan bahwa sebagain besar Penyuluh Pertanian mengunjungi wilayah kerjanya dua bulan sekali. Hal ini mengndikasikan bahwa intensitas kunjungan dua bulan se kali, kurang memadai untuk merespon perkembangan permasalahan yang dihadapi para petani. Dengan demikian rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanian disebabkan oleh rendahnya intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke wilayah kerjanya. Motivasi Penyuluh Pertanian dipengaruhi oleh iklim organisasi, kebijaksanaan organisasi (Tabe14.28). Faktor motivasi rasa aman pa& karier Penyuluh Pertanian pengaruhnya paling kuat terhadap motivasi Penyuluh Pertanian (Tabel 4.29). Pergantian organisasi pengelola Penyuluh Pertanian yang berubah-ubah sejak tahun 1991, berdampak negatif terhadap karier penyuluh pertanian. Seperti kelancaran penetapan angka kredit, kenaikan pangkat, kelancaran kenaikan gaji berkala. Setiap berdiskusi dengan Penyuluh Pertanian
sering terungkap bahwa pergantian organisasi pengelola penyuluh pertanian, yang terus menerus bukan menjamin kegiatan penyuluhan pertanian makin baik. Konsentrasi kerja Penyuluh Pertanian terganggu, karena setiap pergantian organisasi, Penyuluh Pertanian berada dipihak yang sering dirugkan. Pada akhir tahun 2000, menjelang pelaksanaan otonomi pemerintahan daerah, Penyuluh Pertanian
merasa sangat tidak aman pada kariernya. Lyman dan Raymond (Wahjosumidjo, 1993) mengatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh pada motivasi kerja adalah kondisi lingkungan kerja. Hampir setiap Penyuluh Pertanian dengan nada emosi mengatakan, kalau organisasi penyuluhan terus menerus berubah yang tidak jelas arahnya, bagaimana bisa bekerja tenang, bagaimana mempunyai semangat kerja. Sekarang bekerja sebagai Penyu luh Pertanian sepertinya tanpa harapan dan kurang menjanjikan. Ungkapan Penyuluh Pertanian tersebut di atas mengindikasikan bahwa Penyuluh Pertanian tidak puas terhadap pekerjaannya. Hersey dan Blanchard (1982) mengatakan bahwa kekuatan kebutuhan yang mempengaruhi perilaku seseorang, dlpengaruhi oleh harapan dan ketersediaannya dimana dia bekerja. Kepuasan kerja yang tinggi menimbulkan pres tasi yang tinggi (Organ, 1996). Davis dan John (1985) mengungkapkan bahwa tingkat kepuasan seseorang dapat menimbulkan komitrnen lebih besar atau lebih kecil yang mempengaruhi upayaupaya untuk mencapai prestasi. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa perubahan organisasi penyuluhan pertanian, menyebabkan lingkungan kerja Penyuluh Pertanian menjadi kurang kondusif, yang dipersepsikan oleh Penyuluh Pertanian, sebagai ancaman terhadap kariemya, sehingga Penyuluh Pertanian, kurang puas terhadap pekerjaannya. Kekurang kondusifan lingkungan kerja tersebut yang menyebabkan penurunan motivasi kerja Penyuluh Pertanian. P e n m a n motivasi tersebut berpengaruh pada perilaku kerjanya yang relatif jarang mengunjungi wilayah
kejanya, dan perilaku kerja tersebut yang menyebabkan penurunan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian.
Pengaruh Kepribadian Penyuluh Pertanian (X2) terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Sifat yang merupakan struktur kepribadian, termanifestasi dalam perilaku konsisten untuk merespon perubahan lingkungan atau stimulus. Perilaku kerja Penyuluh Pertanian konsisten untuk merespon petubahan lingkungan kerja, mengindikasikan kesesuaian kepribadian dengan statusnya, kesesuaian respon dengan permasalahan, dan resisten terhadap perubahan lingkungan strategis yang mengganggu pelaksanaan tugas. Hasil analisis Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kepribadian Penyuluh Pertanian kurang sesuai dengan tuntutan lingkungan kerjanya, sehngga kualitas kegiatan penyuluhannya menjacb rendah. Gerakan penyuluhan pertanian di Indonesia hprakarsai oleh pemerintah untuk memecahkan masalah kelangkaan pangan (Abbas, 1995; Sekretariat BIMAS, 1997). Hal ini mengndikasikan Penyuluh Pertanian dlposisikan sebagai pengawal program pemerintah. Pada aras operasional, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sudah disiapkan. P P L tinggal menunggu perintah atasan. Kondisi keja seperti itu menyebabkan perilaku kerja penyuluh pertanian yang menunggu dan kurang dewasa. Seorang PPL dengan masa kej a lebih 15 tahun mengatakan kalaupun Penyuluh Pertanian berkreasi dan hasilnya bermanfaat bagi petani, belurn tentu yang dikerjakan tersebut dibenarkan, karena tidak sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan. Kebiasaan-kebiasaan bekerja seperti itu, terakurnulasi menjadi sifat. Sifat penyuluh pertanian menunggu perintah sampai saat ini masih nampak. Pola kerja penyuluhan pertanian seperti tersebut di atas yang menyebabkan kepribadian sebagai predisposisi perilaku tugas P P L, tidak teraktualisasikan, sehingga kepribadian seorang Penyuluh Pertanian tidak berkontribusi secara
signifikan terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini bukan berarti pengembangan keribadian P P L tidak menjadi penting dalam pengembangan konsepsi penyuluhan pertanian ke depan. Faktor-faktor yang membentuk kepribadian adalah pengalaman umurn dan pengalaman khusus (Irwanto et al., 1997). Teori kepribadian yang mendasarkan pada social learning menekankan besarnya pengaruh lingkungan atau keadaankeadaan situasional terhadap perilaku. Rotter, Dollard, Miller dan Bandura (Sarwono, 1997) berpandangan bahwa perilaku merupakan hasil interaksi yang terus menerus antara variabel-variabel pribadi d m lingkungan. Lingkungan membentuk pola-pola perilaku sebagai manifestasi sifat seseorang, melalui proses belajar. Kepribadian sebagai predisposisi perilaku, relatif lebih konsisten merespon stimulus dari pada sikap (Sarwono, 1997). Sifat sebagai struktur kepribadian bisa dintewensi (Sukardi, 1991). Lingkungan kerja penyuluhan pertanian saat ini sangat kompleks (van den Ban dan Hawkins, 1999) dan pembahannya relatif cepat begitu juga dampaknya pada kegiatan usaha tani para petani. Dalam kondisi lingkungan keja seperti itu, maka pengembangan kepribadian (sifat) Penyuluh Pertanian dan petani menjadi sangat penting dan strategis. Kepribadian atau sifat Penyuluh Pertanian dan sifat-sifat petani yang bagaimana hams dkembangkan pada masa mendatang, merupakan permasalahan yang segera harus dipecahkan. Sifat rasa percaya din, ambisi, dan kedewasaan pengaruhnya paling kuat terhadap faktor kepribadian (Tabel 4.29). Peningkatan kompetensi dapat meningkatkan rasa percaya dlri seseorang. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasinya r
=
0,50. Hasil pengamatan menunjukkan tingkat kompetensi
Penyuluh Pertanian relatif rendah (Tabel 4.3). Dengan demikian rasa percaya diri P P L saat ini relatif rendah, untuk menghadapi petani yang semakin komersial. Beberapa P P L mengatakan mereka sering merasa deg-degan kalau berhadapan
dengan petani. Saat ini banyak petani menguasai informasi lebih mutakhir dari informasi yang dikuasai oleh Penyuluh Pertanian. Dengan demikian, pengaturan tugas seperti tersebut di atas sebagai penyebab, kekurang sesuaian kepribadian P P L dengan tuntutan lingkungan kerjanya yang terus berubah. Kekurang sesuaian kepribadian tersebut, termanifestasi dalam perilaku kerja Penyuluh Pertanian yang tidak sensitif terhadap perkembangan permasalahan dan kebutuhan para petani. Hal ini yang menyebabkan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian menjadi rendah. Pengaruh Harga Diri Penyuluh Pertanian (X3) terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Harga dlri mempakan kerangka keja seseorang. Hal ini berarti perilaku sesorang merupakan refleksi harga &rinya. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa harga diri Penyuluh Pertanian yang relatif rendah yang tenvujud pada keengganan Penyuluh Pertanian mengunjungi para petani, karena merasa dirinya relatif kurang berharga. Harga diri Penyuluh Pertanian dipengaruhi oleh kebanggaan terhadap profesi, kepuasan terhadap pekerjaan dan karakteristik pekejaannya (Tabel 4.29). Lyman dan Raymond (Wahjosumidjo, 1993) mengatakan karakteristik pekerjaan, berpengaruh pada motivasi. Wexley dan Yukl (1984) mengatakan bahwa karakteristik pekerjaan sebagai penentu utama tingkat kepuasan seseorang terhadap pekejaan. Kepuasan kej a individu mempengaruhi kinerjanya (Organ, 1996). Davis dan John (1985) mengungkapkan bahwa tingkat kepuasan seseorang dapat menimbulkan komitmen lebih besar atau lebih kecil pada organisasinya, kemudian tingkat kepuasan mempengaruhi upaya-upaya untuk mencapai prestasi. Hackman dan Oldham (Robbins, 1998) mendefinisikan karakteristik pekerjaan sebagai sifat-sifat khusus yang selalu ada dalam suatu pekejaan. Model karakteristik pekerjaan yang dapat menjelaskan hubungan antara motivasi,
kepuasan dan kineja seseorang adalah: (1) variasi keterampilan, (2) identitas tugas, (3) signifikansi tugas, (4) otonomi, dan (5) adanya umpan balik. Dengan menggunakan teori Hackman dan Oldham untuk menganalisis karakteristik pekejaan P P L, maka pekerjaan penyuluhan pertanian digambarkan sebagai berikut: (I) pekejaan penyuluhan pertanian saat ini dipersepsikan identik dengan penerangan penyuluhan. Persepsi itu tidak salah, karena kegiatan penyuluhan pertanian lebih banyak memberikan ceramah kepada petani, baik melalui kunjungan ke rurnah maupun melalui pertemuan kelompok (Tabel 4.8). Beberapa P P L mengatakan pekejaan penyuluh pertanian hanya sebagai juru penerang pertanian saja. Cara keja seperti itu tidak menuntut banyak ketrampilan, sehingga semua orang merasa bisa sebagai Penyduh Pertanian. Pernyatan tersebut bermakna pekejaan penyuluhan relatif inferior dari pekerjaan atau profesi lain; (2) dengan persepsi tentang penyuluhan pertanian seperti tersebut, Penyuluh Pertanian Lapangan merasa peran kegiatan penyuluhan relatif kecil untuk mencapai tujuan usaha tani dan perannya sulit diidentifikasi, kinerjanya juga sulit diidentifikasi dan diukur; (3) selama ini orang mempersepsikan peran penyuluhan pertanian relatif kurang penting dalam mengembangkan pertanian dan mempengaruhl kehidupan para petani; (4) kegatan penyuluhan pertanian selama ini tidak otonom untuk membantu para petani. Apa yang harus dikejakan untuk membantu para petani, bagaimana menyelesaikan pekejaan dan kapan hams diselesaikan. Materi dan jadwal kegiatan merupakan penjabaran program-program dari atas (Tabel 4.6, Tabel 4.7); dan (5) pekejaan-pekejaan para P P L tidak bisa dinilai oleh dirinya sendiri, apakah yang sudah dikerjakan dinilai berprestasi atau tidak oleh atasannya. Dengan demikian faktor-faktor intemal yang mempengaruhi rendahnya harga diri Penyuluh Pertanian adalah pekerjaan Penyuluh Pertanian tidak mempunyai karakteristik yang khas, rendahnya kompetensi (Tabel 4.3 dan Tabel 4.28) sehingga kepuasan terhadap pekejaannya rendah, dan kebanggaan terhadap
profesinya menjadi menurun. Faktor ekstemal yang berpengaruh pada harga diri Penyuluh Pertanian adalah iklim organisasi yang kurang kondusif (Tabel 4.3 dan Tabel 4.28). Hal ini secara sinergis mempengaruhi perilaku keja Penyuluh Pertanian yang enggan mengunjungi para petani, sehingga kualitas kegiatan penyuluhannya rendah. Pengaruh Kompetensi Penyuluh Pertanian (X4) terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan kompetensi merupakan refleksi dari kinerja (Willis dan Samuel, 1990). Klemp (Boyatzis, 1982) mengatakan kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kineja yang prima. Gilley dan Eggland (1989) mengatakan kompetensi sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Kmerja prima Penyuluh Pertanian, diukur dengan indikator tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian. Dengan demikian kompetensi Penyuluh Pertanian, merefleksikan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan para petani. Penyuluh Pertanian merupakan subordinasi Departemen Pertanian, sehingga tugas-tugasnya dominan untuk mencapai tujuan-tujuan Departemen Pertanian. Peningkatan kompetensi Penyuluh Pertanian juga disesuaikan dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan-tujuan yang yang telah ditetapkan oleh organisasinya. Menurut van den Ban dan Hawlans (1999), penyuluhan pertanian yang di bawah subordinasi organisasi tertentu, maka peran dan pengembangan kompetensi Penyuluh Pertanian disesuaikan dengan kebutuhan untuk menyukseskan kebijaksanaan organisasinya yang belurn tentu mewakili kebutuhan kebanyakan
Disamping kualitas kebijaksanaan, rendahnya kompetensi Penyuluh Pertanian dipengaruhi oleh rendahnya kualitas pemberdayaan dan rendahnya kualitas teknologi pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian (Tabel 4.3 dan Tabel 4.28). Tabel 4.3 menunjukkan tingkat kompetensi P P L relatif rendah. Tabel 4.29 menunjukkan tingkat kemampuan teknis atau keterampilan dan pegetahuan berpengaruh paling kuat pa& tingkat kompetensi Penyuluh Pertanian. Hal ini mengndikasikan bahwa keterampilan dan pengetahuan P P L relatif rendah. Rendahnya kompetensi P P L menunjukkan ketidak sesuaian antara kompetensi yang dikuasainya dengan kebutuhan para petani. Tabel 4.39 menunjukkan atribusi, perilaku usaha tani dan kebutuhan para petani telah berubah. Dari uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa pengembangan kompetensi P P L yang diarahkan untuk menyukseskan kebijaksanaan-kebijaksanaan organisasinya, yang berpengaruh pada rendahnya kompetensi Penyuluh Pertanian. Sinergsme antara perilaku kerja dengan rendahnya kompetensi Penyuluh Pertanian yang berpengaruh pada rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Pengaruh Kemampuan Operasional Penyuluh Pertanian (X5)terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian
Kemampuan operasional Penyuluh Pertanian merupakan surnberdaya penyuluhan pertanian yang dlkuasai Penyuluh Pertanian. Kemampuan operasional Penyuluh Pertanian mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian melalui intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke wilayah kejanya dan kecepatan Penyuluh Pertanian merespon permasalahan para petani. Makin tinggi kemampuan operasional Penyuluh Pertanian, maka makin tinggi intensitas kunjungan ke wilayah kerjanya, sehingga makin cepat merespon permasalahan
petani. Dengan demikian kemampuan operasional Penyuluh Pertanian akan berpengaruh pada kualitas perilaku kerjanya. Tabel 4.3 menunjukkan kemampuan operasional Penyuluh Pertanian relatif rendah. Kemampuan operasional P P L, paling kuat dipengaruhi oleh biaya operasional, penguasaan alat transportasi dan jarak dari tempat tinggal ke wilayah kej a (Tabel 4.29). Tabel 4.39 menunjukkan ada gejala perilaku usaha tani petani telah berkembang dan pada masa mendatang, kegiatan para petani semakin terdiversifikasi, jenis usaha tani relatif bervariasi, pergantian komoditi antar musim relatif cepat, sehlngga permasalahan para petani semakin bervariasi yang tidak mudah diduga. Kondisi ini menuntut peningkatan kemampuan operasional PPL. Untuk itu diperlukan suatu kebijaksanaan berupa Undang-Undang Penyuluhan, sehingga ketersediaan biaya ope rasional penyuluhan pertanian yang memadai dapat tejamin. Dari uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa sinergisme antara kurang memadainya biaya operasional Penyuluh Pertanian dengan perkembangan perilaku usaha tani petani mempengaruhi rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Pengaruh Iklim Organisasi (X6) terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Iklim organisasi mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian secara tidak langsung melalui harga &ri clan motivasi keja Penyuluh Pertanian. Harga diri dan motivasi kerja Penyuluh Pertanian secara sinergis tenvujud dalam perilaku kejanya. Hal ini mengindikasikan bahwa makin kondusif iklim organisasi, maka makin tinggi harga diri dan motivasi keja Penyuluh Pertanian. Iklim organisasi adalah lingkungan manusia di mana para pegawai organisasi melakukan pekejaan mereka. Konsep ini menggambarkan dampak
struktur, kebijaksanaan dan prosedur kerja (Boyatzis dan Richard, 1982). Iklim organisasi merupakan persepsi inhvidu terhadap lingkungan organisasinya. Persepsi dlartikan sebagai interpretasi para karyawan memahami bagaimana cara kerja organisai, kebijaksanaan organisasi kemudian diterjemahkan dalam cara kerja, pola komunikasi, tingkat partisipasi, sistem penghargaan, pengembangan profesi. Dengan demikian iklim organisasi bersifat relatif Kalau iklim organisasi dipahami positif oleh para karyawan, maka mereka bersemangat untuk meningkatkan profesionalismenya (Dubin, 1990). Davis dan John (1985) mengatakan bahwa iklim organisasi dipengaruhi oleh hampir semua hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Tabel 4.3 menunjukkan iklim organisasi relatif kurang kondusif Tabel 4.29 menunjukkan kepuasan pelayanan, kejelasan tanggung jawab dan kejelasan prosedur kerja pengaruhnya sangat kuat pada iklim organisasi penyuluhan pertanian. Kegiatan pelayanan dalam organisasi penyuluhan meliputi: kecepatan penetapan angka kredit, pelayanan teknolog, informasi, kecepatan merespon pennasalahan yang tidak dapat dipecahkan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan, kelancaran kenaikan gaji berkala, kelancaran kenaikan pangkat, kemudahan berkomunikasi, keadilan penghargaan. Kejelasan tanggungjawab dalam organisasi penyuluhan meliputi: tugas-tugas yang dlselesaikan, besarnya tanggung jawab. Kejelasan prosedur kerja dalam organisasi penyuluhan meliputi: prosedur untuk mencapai
tujuan,
prosedur
penyelesaian
masalah,
dan
penyelesaian
tanggungjawab. Pengamatan di lapangan menunjukkan beban kerja P P L sangat besar, hampir semua kegatan sektor pertanian di lapangan dibebankan kepada Penyuluh Pertanian Lapangan. Dari tugas pengaturan, administrasi pelaporan sampai dengan tugas-tugas pelayanan. Penyuluh Pertanian posisinya sebagai "the local
errand boy for the government" dalam posisi seperti itu sering merusak hubungan antara Penyuluh Pertanian dengan para petani menjadi rusak (Mosher, 1978). PPL
sering mempertanyakan apa sebenamya yang menjadl tanggung jawabnya. Besarnya tanggung jawab tidak seimbang dengan kualitas pelayanan administrasi kepegawaian yang didapatkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan kualitas pelayanan yang diterima oleh P P L, beban tanggung jawab dan kejelasan prosedur k e j a berpengaruh pada
kekurang kondusifan iklim organisasi yang dirasakan oleh Penyuluh pertanian. Ketiga hal tersebut berpengaruh pada rendahnya harga diri dan motivasi keja Penyuluh pertanian yang termanifestasi pada perilaku keja yang enggan mengunjungi wilayah kejanya. Rendahnya mutu perilaku kerja tersebut berpengaruh pada kualitas kegatan penyuluhan pertanian. Pengaruh Kualitas Pemberdayaan Penyuluh Pertanian (X7) terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Tabel 4.28 menunjukkan faktor kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian secara tidak langsung melalui kompetensi Penyuluh Pertanian. Kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian sangat kuat dipengaruhi oleh kualitas pelatihan di B P P, kualitas materi pelatihan, dan kualitas supervisi (Tabel 4.29). Kualitas pelatihan di B P P yang meliputi frekuensi kehadlran pelatih, kesiapan pelatih, kompetensi pelatih; kualitas materi pelatihan yang meliputi kesesuiaian materi pelatihan dengan kebutuhan untuk memecahkan pernasalahan petani, ketepatan waktu, dan kualitas supewisi yang meliputi ketepatan waktu, manfaat supervisi yang dirasakan oleh Penyuluh Pertanian. Tabel 4. 3 menunjukkan kualitas pemberdayaan P P L relatif rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pelatihan bagi Penyuluh Pertanian di BPP, relatif kurang berjalan, materi pelatihan kurang sesuai dengan kebutuhan lapangan, dan kegiatan supervisi petugas Kabupaten kurang dirasakan manfaatnya oleh Penyuluh Pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian.
Kualitas pemberdayaan P P L hanya dapat ditingkatkan kalau kompetensi Penyuluh Pertanian tingkat Kabupaten yang selama ini melatih P P L di B P P, juga ditingkatkan. Hasil pengamatan pelaksanaan pelatihan dl BPP menunjukkan, kompetensi Penyuluh Pertanian tingkat Kabupaten relatif belum memadai untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas P P L. Dalam setiap diskusi dengan Penyuluh Pertanian di BPP, selalu terungkap bahwa sejak dua tahun terakhir kegiatan pelatihan di BPP hampir tidak pernah terlaksana. Walaupun pelatihan pernah terlaksana, materinya relatif sama dengan materi latihan tahun-tahun sebelumnya. Permasalahan rendahnya kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian di BPP, juga muncd bagi Penyuluh Pertanian dl Kabupaten. Pada saat diskusi dengan Penyuluh Pertanian di Kabupaten sering terungkap bahwa mereka kesulitan mendapatkan infor masi dan teknologi pertanian yang diperlukan untuk melatih Penyuluh Pertanian di BPP. Mereka mengatakan hampir sebagian besar Penyuluh pertanian di Kabupaten belum pernah mengikuti pelatihan. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya kompetensi Penyuluh Pertanian bukan hanya terjadi di BPP tetapi juga dl Kabupaten. Uraian di atas menunjukkan bahwa rendahnya kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian dl BPP dipengaruhi oleh rendahnya kompetensi Penyuluh Pertanian di Kabupaten. Sinergisme antara kualitas pemberdayaan di BPP dengan kedisinian Penyuluh Pertanian mengikuti pelatihan (Tabel 4.2), berpengaruh pada rendahnya kompetensi Penyuluh pertanian di BPP. Hal ini yang berpengaruh pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Pengaruh Kualitas Tenologi (X8)dan Informasi Pertanian (X9)terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Kualitas teknolog dan informasi pertanian mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian secara tidak langsung melalui kompetensi Penyuluh
Pertanian. Makin tinggi kualitas teknologi dan informasi pertanian, maka tinggi kompetensi Penyuluh Pertanian. Tabel 4.3 menunjukkan kualitas teknologi dan informasi pertanian di B P P relatif rendah. Kualitas teknologi dan informasi pertanian sangat kwt dipengaruhi oleh kesesuaian teknologi dan informasi pertanian dengan kebutuhan para petani. Ketersediaan teknologi dan informasi pertanian dl B P P (Tabel 4.29). Ketersediaan teknologi dan informasi pertanian meliputi: kemudahan dijangkau setiap saat diperlukan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan; ketersediaan jenis, dan jumlah teknologi pertanian. Kualitas teknologi pertanian di B P P dipengaruhi oleh kualitas informasi pertanian dan kualitas kebijaksanaan (Tabel 4.29). Pengamatan dl B P P menunjukkan ketersediaan teknlogi pertanian dominan terkait dengan komoditikomoditi program seperti padi, kedele, jagung dll. Perkembangan perilaku usaha tani dan kebutuhan para petani (Tabel 4.39) memerlukan teknolog yang berbeda. Dalam diskusi dengan Penyuluh Pertanian di BPP, sering terungkap bahwa Penyuluh Pertanian kesulitan mendapatkan teknologi dan informasi pertanian untuk memecahkan permasalahan-permasalahanpara petani. Penyuluh Pertanian mendapatkan teknolog pertanian, dari teman-teman sejawat di BPP dan dari petani-petani yang berhasil dalam berusaha tani (Tabel 4.11). Untuk meningkatkan kualitas teknologi pertanian di BPP, maka Penyuluh Per- tanian di BPP perlu diberikan kemampuan untuk merakit teknolog spesifik lokasi, sehingga teknologi dan informasi pertanian akan sesuai dengan kebutuhan para petani. Hal ini dapat dilaksanakan secara baik kalau ada sinergisme kegiatan antara fungsi Penelitian dengan fungsi Penyuluhan dan petani dalarn mengidentifikasi kebutuhan petani sebagai dasar perencanaan. Dari uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa sinergisme antara rendahnya kualitas kebijaksanaan dengan rendahnya kualitas informasi pertanian berpengaruh pada rendahnya kualitas teknolog pertanian di BPP. Sinergisme antara rendahnya kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian dengan rendahnya
kualitas teknologi pertanian di BPP, berpengaruh pada rendahnya tingkat kompetensi Penyuluh pertanian. Hal ini yang berpengaruh pada rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Pengaruh Kualitas Kebijaksanaan (X10) terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Tabel 4.28 menunjukkan bahwa kualitas kebijaksanaan yang paling kuat mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dan mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Faktor kebijaksanaan secara langsung mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian, melalui perilaku kerja Penyuluh Pertanian yang dlmanifestasikan pada tugas-tugas Penyuluh Pertanian, fleksibilitas dan otonomi yang dimilila oleh Penyuluh Pertanian. Faktor kebijaksanaan secara tidak langsung mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian melalui motivasi, harga diri, kepribadian, kompetensi, kemampuan operasional Penyuluh Pertanian, iklim organisasi, kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian, kualitas teknologi pertanian, dan kualitas informasi pertanian (Tabel 4.28), yang dimanifestasikan dalam intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke wilayah kerjanya untuk berinteraksi dengan para petani. Tabel 4.3 menunjukkan kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian relatif rendah. Hal ini mengindikasikan kegiatan penyuluhan pertanian yang relatif kurang berpihak kepada kebutuhan-kebutuhan petani. Tabel 4.29 menunjukkan kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian sangat kuat dipengaruhl oleh pengaturan tugas-tugas Penyuluh Pertanian yang meliputi alokasi waktu Penyuluh Pertanian untuk menyelesaikan tugas-tugas atasan, alokasi waktu Penyuluh Pertanian Lapangan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh para petani; fleksibilitas Penyuluh Pertanian dalam merespon
kebutuhan petani dan otonomi Penyuluh Pertanian dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian. Pengaruh kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian relatif paling besar pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dengan koefisien lintasan total 0,86 (Tabel 4.28). Kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian mempenganh kualitas kegiatan penyuluhan pertanian secara langsung dengan koefisien lintasan 0,113 (Gambar 4.6 dan Tabel 4.28). Pengaruh langsung kebijaksanaan pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian tampak pada wewenang P P L dalam pengambilan keputusan di lapangan, cara kerja Penyuluh Pertanian dan materi penyuluhan pertanian. Disamping itu, juga tampak pada peranan-peranan P P L dalam melaksanakan kegatan penyuluhan pertanian. Suhardono (1994) mengatakan peranan merupakan seperangkat patokan, yang membatasi perilaku seharusnya dilakukan oleh seseorang sesuai dengan posisinya. Pengaruh langsung kebijaksanaan pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian diwujudkan dalam masalah penyuluhan pertanian yang diformulasikan dalam programa penyuluhan pertanian B P P (Tabel 4.6) dan materi penyuluhan pertanian (Tabel 4.7). Koordinator Penyuluh Pertanian mengatakan programa penyuluhan pertanian B P P sebagan besar merupakan penjabaran programprogram pembangunan pertanian tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Penyuluh Pertanian menyusun rencana kegiatannya berdasarkan programa tersebut. Walaupun pada dua tahun terakhir tidak banyak Penyuluh Pertanian yang menyususun rencana kegiatan penyuluhan pertanian. Konsekuensi prosedur kej a seperti itu memposisikan Penyuluh Pertanian sebagai pembawa program (Tabel 4.7) dan terkesan sebagai pembawa pesan-pesan pembangunan pertanian.
Dominan sasaran kegiatan penyuluhan pertanian adalah peningkatan produksi usaha tani sehingga rencana dan materi-materi penyuluhannya sejalan dengan sasaran tersebut (Tabel 4.6 dan Tabel 4.7). Uraian ini menunjukkan tugas-tugas
Penyuluh Pertanian relatif lebih dominan untuk mencapai dan menyukseskan tujuan organisasinya. Hasil analisis perilaku usaha tani petani menunjukkan peningkatan pendapatan clan ketersediaan uang segar dalam rumah tangga merupakan motif utama atau kebutuhan petani dalam berusaha tani (Tabel 4.39). Dalam kondisi seperti ini kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian relatif kaku, dan relatif kurang berpihak kepada kebutuhan-kebutuhan petani. Hal ini dapat dilihat dari ketidak sesuaian kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian dengan kebutuhan para petani. Mosher (1978) mengatakan bahwa peranan penyuluh pertanian sebagai "The local errand boy for government" merusak hubungan antara Penyuluh Pertanian dengan para petani. Makin jauhnya jarak petani dengan Penyuluh Pertanian diungkapkan secara baik oleh (Purwanto, 1996). Perubahan-perubahan kebutuhan dan perilaku usaha tani inilah yang menjelaskan kegiatan penyuluhan pertanian saat ini kualitasnya rendah. Tabel 4.30 menggambarkan faktor kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Tabel 4. 30. Koefesien lintasan indikator faktor kualitas kebijaksanaan dengan faktor internal dan ekstemal Penyuluh Pertanian
I No
Kualitas kegiatan penyuluhan pertanian (Y 1)
Keterangan: ** sigifikan pada a = 0,Ol. XI = motivasi. X3 = harga diri, X4 = kompetensi, X6 = iklim organisasi, X7 = halitas pemberdayaan, X8 = kualitas teknologi, X9 = kualitas infomasi.
Tabel 4.30 menunjukkan pengaturan tugas Penyuluh Pertanian pengaruhnya paling kuat pada kualitas kegatan penyuluhan pertanian secara tidak langsung
melalui motivasi kerja Penyuluh Pertanian, harga diri Penyuluh Pertanian, kompetensi Penyuluh Pertanian, iklim organisasi, kualitas pemberdayaan, kualitas teknologi dan informasi pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian. Disamping itu, fleksibilitas dan otonomi P P L juga berpengaruh pada motivasi kerjanya. Hal ini menginhkasikan bahwa kualitas kebijaksanaan berpengaruh paling kuat pada motivasi Penyuluh Pertanian. Kelompok Penyuluh Pertanian di B P P mengatakan: "semua dinas lingkup pertanian menugaskan dan meminta program-programnya untuk disukseskan. Sekarang petani sudah berubah, yaitu sangat kritis terhadap program-program pemerintah. Setiap program yang ditawarkan, petani selalu menanyakan harga, pemasaran hasil dan keuntungan. Pemasaran hasil yang harganya tidak jelas, petani akan menolak Kami hams mencapai target-target luas tanam, produksi komoditi tertentu, kalau tidak tercapai, kami dibilang tidak bekerja. Pa& kondisi seperti itu, kami sering merasa tertekan. Kami pernah menawarkan program, petani menolak program yang ditawarkan karena berdasarkan pengalamannya, menanam komoditi tersebut sering rug. " Kebijaksanaan penugasan Penyuluh Pertanian yang tidak merespon kebutuhan para petani menyebabkan munculnya konflik peranan dalam diri P P L. Konflik dan kemenduaan peran, dapat menimbulkan p e n m a n kepuasan kerja
dan keikatan pada organisasi (Suhardono, 1994). Kebijaksanaan pengaturan tugastugas Penyuluh Pertanian yang relatif berpihak pada tujuan-tujuan organisasinya, yang belurn tentu mewakili kebutuhan petani, menyebabkan kegiatan penyuluhan pertanian menjadi monoton dan rutin. Kepuasan kerja yang tinggi dapat menimbulkan motivasi dan mempengaruhi upaya-upaya untuk mencapai prestasi.prestasi yang tinggi (Organ, 1996; Davis dan John, 1985). Dalam kondisi kerja seperti tersebut di atas P P L sering merasa jenuh dalam melaksanakan kegatan penyuluhan pertanian karena yang dikerjakan ituitu saja dari tahun ke tahun, tidak ada variasi kegiatan. Mereka hanya diberikan target-target produksi yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Mereka merasa kurang diberikan pekerjan yang menantang, kurang diberikan kebebasan atau
wewenang mengembangkan usaha tani sesuai dengan potensi wilayah kejanya bersama petani. Pekerjaan yang menantang dapat meningkatkan motivasi kerja seseorang. Dengan demikian kebijaksanaan pengaturan tugas penyuluh pertanian yang sangat berpihak kepada tujuan organisasinya, yang tidak sesuai dengan kebutuhan para petani menimbulkan konflik peranan penyuluh pertanian dan rutinitas kegiatan penyuluhan. Hal ini berpengaruh pada menurunnya motivasi keja Penyuluh Pertanian. Pengaturan tugas dan fleksibilitas penyuluh pertanian dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian p e n g h y a sangat kuat pada harga din Penyuluh Pertanian. Peubah harga diri Penyuluh Pertanian dikonstruksi dari karakteristik pekerjaan, kepuasan terhadap pekerjaan dan kebanggaaan terhadap profesi penyuluhan pertanian (Tabel 4.29). Kebijaksanaan pengaturan tugas dan fleksibilitas Penyuluh Pertanian berpengaruh sangat signifikan pada karakteristik pekerjaan Penyuluh Pertanian. Hackman dan Oldham (Robbins, 1998) mendefinisikan karakteristik pekerjaan sebagai sifat-sifat khusus yang selalu ada dalam suatu pekerjaan. Model karakteristik pekerjaan yang dapat menjelaskan hubungan antara motivasi, kepuasan dan kinerja seseorang adalah: (1) variasi keterampilan, (2) identitas tugas, (3) signifikansi tugas, (4) otonomi, dan (5) umpan balik. Memaknai pengakuan-pengakuan Penyuluh Pertanian tersebut di atas dengan teori karakteristik pekerjaan Hackman dan Oldham, maka pekejaan penyuluhan kurang memerlukan keterampilan yang bewariasi dan keterampilan yang tinggi, karena bersifat rutin. Kegiatan-kegiatan penyuluhan perannya relatif kecil untuk mencapai tujuan-tujuan petani berusaha tani. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dirasakan tidak perlu dan tidak penting oleh para petani karena tidak sesuai dengan kebutuhannya. Penyuluh pertanian tidak mempunyai otonomi dalam mengelola tugas-tugasnya. Kegiatan penyuluhan pertanian jarang
mendapatkan umpan balik. Dengan demihan pekejaan penyuluhan pertanian relatif tidak mempunyai ciri-ciri yang khas, sehingga Penyuluh Pertanian kurang puas terhadap pekejaannya. Hal ini yang menyebabkan harga din Penyuluh Pertanian relatif rendah (Tabel 4.3). Uraian tersebut menunjukkan bahwa rancangan pekejaan Penyuluh Pertanian yang tidak berkarakteristik khas berpengaruh pada tingkat kepuasan Penyuluh Pertanian terhadap pekerjaannya. Rendahnya tingkat kepuasan Penyuluh Pertanian terhadap pekqaannya, berpengaruh pada motivasi Penyuiuh Pertanian. Pengaturan tugas dan otonomi penyuluh pertanian pengaruhnya sangat signifikan pada kompetensi Penyuluh Pertanian. Willis dan Samuel
(1990)
mengatakan kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan kompetensi merupakan refleksi dari kinerja. Tugas-tugas Penyuluh Pertanian dalam konteks penelitian ini adalah semua kegiatan P P L untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan petani. Kompetensi berdimensi ruang dan waktu. Dengan demikian kompetensi P P L adalah relatif. P P L kompeten untuk satu petani, tapi belum tentu kompeten untuk petani yang lain. Kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian menetapkan tugas-tugas yang hams diselesaikan oleh seorang Penyuluh Pertanian seperti (Tabel 4.6 dan Tabel 4.7), menyebabkan peningkatan kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan dominan diarahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh organisasinya secara baik. Hasil analisis atribusi dan perilaku usaha tani petani saat ini telah berkembang (Tabel 4.39). Motif instrumen para petani untuk mengaktualisasikan dirinya adalah pendapatan dan ketersemaan uang segar. Keputusan-keputusan usaha tani petani relatif ditentukan oleh pasar (Tabel 4.39). Untuk mementh kebuthan-kebutuhannya, para petani memanfaatkan berbagai sumber teknologi dan informasi (Tabel 4.12-4.24). Hal ini mengindikasikan bahwa saat ini ke~atan-kegiatan penyuluhan pertanian tidak sesuai dengan kebutuhan para petani.
Perkembangan atribusi dan perilaku usaha tani petani ke arah komersial menuntut kompetensi Penyuluh Pertanian yang berbeda dengan kompetensi yang dikuasainya saat ini. Beberapa P P L mengakui kompetensi para petani selangkah lebih maju dari kompetensinya. Hal ini dapat dilihat dari P P L memanfaatkan petani berhasil sebagai salah satu sumber utama teknologi pertanian (Tabel 4.1 1). Kompetensi P P L hubungannya sangat nyata dengan harga dirinya (Gambar
4. 6). Tingkat komptensi penyuluh pertanian menentukan makna kegiatankegiatan penyuluhan pertanian yang dirasakan petani. IvMan bermakna kegiatan penyuluhan pertanian yang dirasakan petani, makin tinggi harga diri Penyuluh Pertanian di hadapan petani. Disamping itu, harga din Penyuluh Pertanian. berhubungan sangat nyata dengan karakteristik pekejaan Penyuluh Pertanian. Kebijaksanaan organisasi tentang pengaturan tugas dan otonomi Penyuluh Pertanian berpengaruh sangat nyata pada iklim organisasi. Kebijaksanaan organisasi mempengaruhl iklim organisasi melalui kualitas pelayanan yang diberikan
kepada
Penyuluh Pertanian
dan
kejelasan
tangung jawab.
Permasalahan-pennasalahanlapangan yang tidak dapat dipecahkan oleh Penyuluh Pertanian sering kurang mendapat respon yang memuaskan dari organisasinya. Kondisi seperti itu menyebabkan PPL, menghindar bertemu dengan petani yang menghadapi pennasalahan tersebut. Hal ini berpengaruh pada harga &ri Penyuluh Pertanian di hadapan petani. Tugas dan tanggung jawab penyuluh pertanian di lapangan relatif kurang jelas. Hampir semua kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian di lapangan ditangani Penyuluh Pertanian, sehingga sering terungkap Penyuluh Pertanian djadlkan tumpuan kesalahan kalau ada kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian yang kurang sukses. Ungkapan-ungkapan ters ebut sering didengar oleh petani. Hal ini dapat berpengaruh pada penurunan harga diri Penyuluh Pertanian. Rendahnya kualitas pelayanan kepada penyuluh pertanian dan ketidak jelasan tanggung jawab PPL mempengaruhi iklim oranisasi penyuluhan pertanian.
Disamping secara langsung, kualitas kebijaksanaan mempengaruhi iklim organisasi secara tidak langsung melalui harga diri penyuluh pertanian. Harga diri Penyuluh Pertanian berhubungan sangat nyata dengan iklim organisasi (Gambar 4. 6). Kebijaksanaan pengaturan tugas P P L untuk mencapai tujuan organisasi,
menyebabkan karakteristik pekerjaan Penyuluh Pertanian menjadi kurang jelas. Karakteristik pekerjaan Penyuluh Pertanian yang kurang jelas menyebabkan harga din Penyuluh Pertanian menjad relatif rendah. Kebijaksanaan mempengaruhi kualitas kegatan penyuluhan pertanian secara tidak langsung melalui pemberdayaan Penyuluh Pertanian. Pengaturan tugas-tugas dan fleksibilitas yang dimilki Penyuluh Pertanian berpengaruh sangat nyata pada kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian. Makin kaku suatu kebijaksanaan makin rendah kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian. Penyuluh Pertanian di BPP mengatakan materi pelatihan di B P P sering tidak sesuai dengan kebutuhan untuk memecahkan masalah-masalah petani. P P L kurang merasakan manfaat kegiatan s u p e ~ s yang i dilaksanakan oleh Penyuluh Pertanian tingkat Kabupaten. Hal ini mengindikasikan kegatan pemberdayaan PPL, diarahkan untuk mencapai tujuan organisasinya, dan relatif kecil upaya peningkatkan kompetensi P P L, agar mereka mampu memecahkan permasalahanpermasalahan petani. Kebijaksanaan mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan secara tidak langsung melalui kualitas teknologi dan kualitas informasi pertanian di B P P. Pengaturan tugas dan fleksibilitas Penyuluh Pertanian berhubungan sangat nyata dengan kualitas teknologi dan informasi pertanian. Teknologi dan informasi pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian relatif lebih banyak t e r h t dengan program seperti teknologi on farm komoditi-komoditi strategis. P P L kesulitan mendapatkan teknologi dan informasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para petani. Hal ini dapat dilihat dari sumber teknologi dan informasi utama P P L
bukan lagi hanya intitusi pemegang mandat penyuluhan pertanian dan penelitian pertanian (Tabel 4.11). Dengan demikian, kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluhan pertanian pengaruhnya paling kuat pada kualitas k e ~ a t a npenyuluhan pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh Kompleksitas Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (X11)terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian
Kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian mempengaruhi kualitas kegiatan penyuluhan pertanian melalui perilaku kerja Penyuluh Pertanian yang dimanifestasikan dalam intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke wilayah kerjanya clan variasi kompetensi Penyuluh Pertanian. M&n kompleks wilayah kerja Penyuluh Pertanian, maka ada kecenderungan intensitas kunjungannya relatif rendah dan dlperlukan kompetensi Penyuluh Pertanian yang lebih bewariasi Kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian sangat dipengaruhi oleh jumlah petani yang harus dilayani, penyebaran tempat tinggal petani, jumlah agroekosistem dan luas wilayah kerja yang harus diliput. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata rasio penyuluh dengan petani 1:2200 orang dan rasio Penyuluh Pertanian dengan luas wilayah kerja 1:1305,44 ha. Di sentra produksi komoditi perdagangan rasio Penyuluh Pertanian dengan petani 1:2438 orang dan rasio Penyuluh Pertanian dengan luas wilayah 1:1703,25 ha. Disentra produksi komoditi subsisten rasio Penyuluh Pertanian dengan petani 1:1958 dan rasio Penyuluh Pertanian dengan wilayah kerja 1:900,22 ha. Swanson at al. (1989) mengatakan rasio penyuluh dengan petani dl negara-negara sedang berkembang I :1809-2661, sedangkan di negara-negara maju rasio Penyuluh Pertanian dengan petani 1:325-431 orang. Sistem LAKU menyarankan rasio 1:800 orang. Penelitian ini bukan untuk mencari rasio tersebut, tetapi untuk meningkatkan kualitas dan
efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian, sehingga rasio tersebut perlu dipertimbangkan dan dirancang sistem yang mampu menangani rasio Penyuluh Pertanian dengan petani yang relatif besar. Uraian di atas menunjukkan bahwa wilayah kerja Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih kompleks dari wilayah kerja Penyuluh Per tanian di sentra produksi komoditi subsisten. Hal ini mengakibatkan intensitas kehadlran Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari intensitas kehadiran Penyuluh Pertanian di sentra produksi komoditi subsisten (Tabel 4. lo), sehingga kualitas kegiatan penyuluhan pertanian lebih rendah di sentra komoditi perdagangan relatif dari pada di sentra komoditi subsisten (Tabel 4.25). Dengan demikian, kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian berpengaruh pada intensitas kunjungan ke wilayah kerjanya dan intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke wilayah kerjanya berpengaruh pada kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Untuk meningkatkan kualitas interaksi antara Penyuluh Pertanian dengan para petani, maka diperlukan pengaturan beban kerja seorang Penyuluh Pertanian dan peningkatan kemampuan operasional Penyuluh Pertanian.
Efektivitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian
Efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian adalah manfaat yang dirasakan oleh para petani terhadap informasi clan telcnologi pertanian yang disarankan oleh
P P L serta manfaat yang dirasakan terhadap upaya-upaya Penyuluh Pertanian dalam memecahkan permasalahan petani, serta tingkat kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian. Semua indikator tersebut dipergunakan sebagai ukuran tingkat kepuasan petani terhadap k e ~ a t a npenyuluhan pertanian.
Hasil analisis efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian d~Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat disajikan dalam Tabel 4.3 1. Tabel 4. 31 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian rendah. Hal ini dapat dilihat dari rataan umum skor efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian mencapai 213,30 dari batas skor efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian 252,OO dlkategorikan rendah. Gejala rendahnya efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian ini juga muncul di tiga Provinsi yaitu Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Hal tersebut dapat dilihat dari skor efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian di masing-masing Provinsi di bawah 252, 00. Rendahnya efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian berhubungan sangat nyata dengan rendahnya kualitas kegatan penyuluhan pertanian (r = 0,94). Tabel 4.31. Efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat No
Efektivitas Ke~atan
5
Rataan
&saran skor
Skor efebvitas kegiatao penyuluhanpertanian dm jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan dalam posisi skor kategori
202.80 (l00,oo)
------
209,oo (l00,OO)
------
22790 (lOO.00)
Skor efektivitas total daojumlah
-----213,30 (lO0,OO) 107
36 35 n 36 Sumber: Data primer tahun 2000-2001 Keterangan: n-= Jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) responden;. Skor yang disajikan adalah skor rata-rata; Angka dalam ktnung adalah persentase Penyuluh Pertanian berdasarkan tingkat efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian; Min-Maks adalah skor minimal dan maksimal yang dicapai per kategori.
6
Efektivitas kegatan penyuluhan pertanian merupakan dampak luaran dari suatu sistem penyuluhan pertanian yang diungkapkan oleh para petani sebagai
pelanggan ekstemal utamanya. Luaran tersebut merupakan indikator untuk menilai efektivitas dan efisiensi mekanisme kerja suatu sistem penyuluhan pertanian dalam merespon lingkungan kejanya, memproses input penyuluhan pertanian sehingga menghasilkan output yang memuaskan kebutuhan para petani sebagai pelanggan ekstemal utamanya. Hasil analisis ragam efektivitas kegatan penyuluhan pertanian antar Provinsi menunjukkan bahwa efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian di Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat tidak berbeda nyata (p = 0,104). Hasil analisis ini, mengindikasikan bahwa kondisi penyelenggaraan penyuluhan pertanian dan perkembangan perilaku usaha tani di tiga Provinsi tersebut relatif sama. Kondisi yang sama juga ditemukan di Jawa Barat (Sumardjo, 1999). Kondisi ini kalau diekstrapolasikan dengan menggunakan tata pikir divergen, maka terdapat permasalahan-permasalahan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang relatif sama di tiga Provinsi tersebut. Posisi permasalahanpermasalahan tersebut bisa pada aras sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian, pada aras penyelenggara penyuluhan pertanian, pa& aras lingkungan kerja penyuluhan pertanian baik lingkungan keja internal maupun lingkungan kej a eksternal. Hasil analisis ragam tingkat efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian di tiga Provinsi dm hasil analisis korelasi antara kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dengan efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian mengindikasikan:
pertama, ketidak mampuan sistem penyuluhan pertanian merespon dnamika para petani; kedua, dinamika penyelenggaraan sistem penyuluhan pertanian yang relatif sama; ketiga, perkembangan perilaku usaha tani dan kebutuhan para petani cenderung relatif sama; keempat, sumberdaya penyuluhan pertanian yang dikuasai oleh Penyuluh Pertanian, tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan kejanya;
kelima, peran-peran Penyuluh Pertanian tidak sesuai dengan posisinya, sehingga
tidak dapat merespon kebutuhan para petani; dan keenam selama ini kegiatan penyuluhan pertanian relatif kurang berpihak kepada para petani. Berdasarkan hasil analisis ragam tersebut di atas, maka hipotesis no1 (Ho) diterima. Dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat tidak berbeda nyata &lam ha]: pemecahan masalah yang b e r h t a n dengan peningkatan pendapatan, pengembangan alternatif-altematif usaha pertanian, peningkatan produksi usaha tani, pengembangan permodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ketiga, dan peningkatan kompetensi para petani. Hasil analisis efektivitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komo&ti perdagangan dan pada sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timw, Lampung dan Nusa Tenggara Barat disajikan dalam Tabel 4.32. Secara umum rata-rata efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian pada
sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari efehvitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komodidi subsisten, karena kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di sentra produksi komodti perdagangan lebih rendah dari di sentra komoditi subsisten. Rata-rata efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagang an dan sentra produksi komodidi subsisten di Provinsi Jawa Timw, Lampung dan Nusa Tenggara Barat, relatif sama. Hasil analisis t test menunjukkan rata-rata efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi produksi perdagangan berbeda sangat nyata dengan rata-rata efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten (p= 0,OO). Kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian yang sangat efektif hanya tejadi pada sentra komoditi subsisten dalam proporsi relatif sangat kecil (3,80 %), ha1 ini juga tejadi di Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Efektivitas kegatan penyuluhan pertanian yang rendah, proporsinya (88,90 %) relatif lebih
Tabel 4.32. Efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dan sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
Sumber: Data primer tahun 2000-2001; Keterangan: n = Jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) responden; Angka dalam kumng adalah persentase Penyuluh Pertanian Lapangan herdasarkan tintkat efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur); 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (tanaman pangan). Min-Maks = Skor minimal-maksimal
besar di sentra produksi komoditi perdagangan, dari pada di sentra produksi komoditi subsisten (56,60%). Kecenderungan tersebut juga terjadi di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Hasil uji beda rataan mengindikasikan: pertama, tingkat perkembangan perilaku usaha tani petani Q sentra komoditi perdagangan lebih cepat dari petani di sentra komoditi subsisten; kedua, kualitas kegiatan penyuluhan pertanian lebih rendah di sentra komoditi perdagangan dari pada di sentra komoditi subsisten; dan ketiga, permasalahan dan kebutuhan para petani saat ini telah berubah dan
perubahan tersebut belum mendapatkan respon yang proporsional dari fungsi penyuluhan pertanian Untuk membuktikan bahwa fungsi penyuluhan pertanian belum merespon perubahan permasalahan dan kebutuhan petani secara proporsional, maka sebelas peubah penjelas kualitas kegiatan penyuluhan pertanian diregresikan dengan efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hasil analisisnya disajikan dalam Tabel 4.33. Tabel 4.33. Koefesien regresi sebelas peubah penjelas kualitas kegiatan penyuluhan pertanian terhadap efektivitas k e ~ a t a npenyuluhan pertanian
Keterangan: Peubah tidak bebas adalah efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian
Tabel 4.33 menunjukkan bahwa pengaruh kualitas kebijaksanaan organisasi terhadap rendahnya efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian adalah sangat nyata dengan koefesien lintasan atau koefesien regresi baku 0,245. Efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian merupakan refleksi dari perilaku kerja Penyuluh Pertanian. Hal ini bermakna bahwa makin tinggi efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian, maka kegiatan penyuluhan pertanian makin berpihak kepada petani. Teori struktural menjelaskan perilaku individu ditentukan oleh peran dan posisinya (Mulyana, 1999). Berdasarkan nilai koefesien baku tersebut dapat dlsimpulkan bahwa perilaku tugas Penyuluh Pertanian sangat drtentukan oleh kebijaksanaan organisasinya. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku tugas P P L belum merespon pennasalahan dan kebutuhan petani. Kalau perilaku tugas P P L mampu memecahkan dan merespon kebutuhan-kebutuhan petani, maka skor efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian juga akan tinggi, dan koefesien lintasan atau koefesien regresi baku kualitas kebijaksanaan organisasi akan negatif atau pengaruhnya kecil dan tidak nyata terhadap efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian. Dengan perkataan lain, perilaku tugas P P L sebagai manifestasi kebijaksanaan organisasi relatif tidak berubah, maka yang berubah adalah perilaku usaha tani, dan kebutuhan para petani (Tabel 4.39).
Kepuasan Petani terhadap Kegiatan Penyuluhan Pertanian Tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian diukur dengan indikator pemanfaatan jasa-jasa penyuluhan seperti informasi, rekomendasi, teknologi yang diberikan oleh Penyuluh Pertanian dan tingkat kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian dalam memecahkan
permasalahan-pennasalahan petani. Makin bermanfaat rekomendasi-rekomendasi Penyuluh Pertanian yang dirasakan petani dan malun percaya petani terhadap
kompetensi Penyuluh Pertanian, maka malun tinggi tingkat kepuasan petani terhadap k e ~ a t a npenyuluhan pertanian. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Indonesia mencapai puncak prestasinya pada saat tercapainya swasembada berm pada tahun 1984, walaupun belum ada penelitian tentang kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian pada saat itu. Dengan harga padi yang relatif layak dan produktivitas padi meningkat sehingga pening katan produksi padi linier dengan peningkatan pendapatan petani, maka kesimpulan tersebut di atas valid. Hasil analisis tingkat kepuasan petani terhadap k e ~ a t a npenyuluhan pertanian disajikan dalam Tabel 4.34. Tabel 4.34. Tingkat kepuasan petani responden terhadap keaatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
Sumber:Data primer tahun 2000-2001 Keterangan: n = Jumlah petani responden,. Skor yang disajikan adalah skor rata-rata; Angka dalam h g adalah persentase petani berdasarkan tingkat kepuamya terhadap kegiatan penyuluhan pertanian; Min-Maks adalah skor minimal dan maksimal yang dicapai per kategori.
Tabel 4.34 menunjukkan bahwa secara umum tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian relatif rendah clan cenderung sangat rendah. Hal ini dilihat dari rataan skor kepuasan petani hanya mencapai 30,35. Kondisi yang sama juga terjadi di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa
Tenggara Barat. Walaupun demiluan beberapa petani, yang merasa puas dengan k e ~ a t a npenyuluhan pertanian tetapi proporsinya relatif sangat kecil (26,30 %). Hal ini mengindikasikan kegiatan penyuluhan pertanian saat ini, tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan para petani. Petani-petani Provinsi Jawa Timur paling tidak puas terhadap kegiatan penyuluhan pertanian, kemudian petani-petani Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Kondisi tersebut: pertama, berhubungan dengan wilayah kej a Penyuluh Pertanian di Jawa Timur yang paling kompleks. Hal ini berdampak pada intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian ke lapangan (Tabel 4.10); kedua, berhubungan dengan tingkat kemajuan para petani. Jawa Timur merupakan representasi perkembangan masyarakat wilayah I, dengan demihan petani Jawa Timw relatif lebih maju dari petani Provinsi lain. Petani maju menghadapi permasalahan dan mempunyai kebutuhan yang relatif lebih bervariasi dm pada petani-petani di daerah yang relatif kurang maju. Hal ini mengindikasikan bahwa makin maju atau komersial seorang petani, maka makin rendah tingkat kepuasannya terhadap kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini mengndikasikan: pertama, kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan saat ini, kurang memadai untuk merespon permasalahan dan kebutuhan para petani; kedua, perilaku tugas Penyuluh Pertanian Lapangan lebih banyak untuk mencapai
tujuan-tujuan organisasinya sehmgga tidak mempunyai cukup waktu untuk merespon masalah dan kebutuhan petani secara individual. Mempertemukan tujuan organisasi dengan tujuan kebanyakan petani, merupakan ha1 yang tidak mudah (van den Ban dan Hawkins, 1999); dan ketiga atribusi dan perilaku usaha tani petani telah berubah ke arah yang lebih komersial, sebagai akibat d m munculnya kebutuhan-kebutuhan baru di kalangan keluarga petani. Hasil analisis tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian antar sentra produksi hsajikan dalam Tabel 4.35.
Tabel 4.35. Tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan clan pada sentra produksi komoditi subsisten di Provinsi Jawa Timur, Larnpung dan Nusa Tenggara Barat
Sumber: Data primer tahun 2000-2001; Angka dalam kurung adalah persentase petani responden berdasarkan tingkat kepuasan terhadap kegiatan penyuluhan pertanian Keterangan: n = Jumlah petani responden; 1 = Sentra produksi komoditi perdagangan (hortikultura sayur); 2 = Sentra produksi komoditi subsisten (tanaman pangan). Min-Maks = Skor minimal-maksimal
Tabel 4.35 menunjukkan bahwa secara umum tingkat kepuasan petani terhadap keaatan penyuluh pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan relatif lebih rendah dari pada tingkat kepuasan petani pada sentra produksi komoditi subsisten. Proporsi petani sangat tidak puas terhadap kegatan penyuluhan pertanian jauh relatif lebih besar di sentra produksi komoditi perdagangan, dari proporsi petani sangat tidak puas terhadap keaatan penyuluhan pertanian di sentra produksi komomti subsisten. Pola ini relatif sama pada tiga lokasi penelitian yaitu di Provinsi Jawa Timur, Larnpung dan Nusa Tenggara Barat. Relatif lebih rendahnya tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dibandingkan dengan pada sentra produksi komoditi subsisten: pertarnu, berhubungan dengan ketidak sesuian antara permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan solusi yang ditawarkan atau informasi yang disampaikan oleh Penyuluh Pertanian. Sesuai dengan jenis usaha taninya, keputusan-keputusan petani di sentra komoditi perdagangan sangat dipengaruhl oleh pasar, maksimalisasi keuntungan merupakan orientasinya. Untuk mendapatkan keuntungan usaha tani yang maksimal petani membutuhkan dua ha1 yaitu tingkat produksi fisik, harga produksi yang layak dan penekanan biaya produksi. Petani di sentra komoditi perdagangan menghadapi permasalahan yang relatif kompleks dalam perencanan dan mengatasi fluktuasi harga yang sulit diperkirakan. Untuk mendapatkan harga produksi yang layak, para petani mempertimbangkan minimal tiga hal yaitu: (1) komoditi atau jenis usaha tani yang harus diusahakan, (2) kapan usaha tani tersebut harus dimulai prosesnya, dan (3) berapa skala produksinya. Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut petani
memerlukan beberapa informasi antara lain: luas areal tanam suatu komoditi di tempat lain, kapan komoditi tersebut seharusnya ditanam, jenis komoditi yang
diperlukan pasar dan kapan komo&ti tersebut diperlukan. Semua informasi tersebut disentesakan menjadi suatu rencana usaha pertanian oleh petani sendiri. Suatu konsep yang dikembangkan oleh petani untuk mendapatkan harga produksi yang layak dan untuk mengatasi fluktuasi harga dan memperkecil resiko kegagalan usaha tani adalah konsep ngeslah dan meracang. Di lain pihak Penyuluh Pertanian hanya menawarkan program-program pemerintah dan mengajarkan teknologi atau informasi yang berkaitan dengan produksi usaha tani yang telah ada. Petani di sentra produksi komoditi subsisten walaupun keputusankeputusannya sudah hpengaruhi oleh pasar, komoditi utamanya adalah pangan pada musim tertentu dan komoditi non pangan pa& musim yang lain. Pernasalahan-pernasalahan dihadapi para petani berkaitan dengan komoditi pangan relatif dapat dipecahkan oleh P P L, tetapi pennasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan petani, Penyuluh Pertanian relatif belum dapat berbuat banyak; Kedua, berhubungan dengan terjadinya pergeseran kebutuhan-kebutuhan
para petani yang tidak direspon secara baik oleh Penyuluh Pertanian. Menurut Lewin dan Rogers (Sarwono, 1997), ada tiga kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasikan, mengembangkan din dan mempertahankan din. Petani sekarang membutuhkan pendapatan atau uang sebagai instrumen untuk memenuhi ketiga kebutuhan dasar tersebut. Para petani mengeluarkan pendapatannya atau uangnya untuk memenuhi keperluan sehan-hari seperti biaya
anak sekolah, keperluan dapur, keperluan k e ~ a t a nsosial dsb. Dalam kondisi seperti itu, bagi petani kecil pernasalahannya bukan hanya pada tingkat pendapatan tetapi juga pada ketersediaan uang segar dalam rumah tangganya. Bagi petani kecil ada satu permasalahan l a g yang perlu mendapatkan respon yaitu jenis usahatani yang perlu diusahakan sehingga bisa mengatasi pernasalahan ketersediaan uang segar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian selama ini belum memecahkan pernasalahan tersebut secara baik. Penyuluh Pertanian lebih
banyak menganjurkan dan mengajarkan cara meningkatkan produksi usaha tani. Memperhatikan ernpat permasalahan tersebut d~ atas tampak bahwa peningkatan produksi usaha tani menjadi prioritas terakhir bagi petani; Ketiga, berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi petani berupa
ketidak pastian harga produksi pertanian. Suatu dilema yang dihadapi petani untuk meningkatkan pendapatan dan ketersediaan uang segar adalah ketidak pastian harga produksi usaha taninya, mungkin lebih tepat menggunakan konsep ketidak mampuan petani menduga harga produksi secara akurat. Keakuratan pendugaan harga produksi pertanian dapat memperkecil resiko usaha taninya. Untuk mengatasi dilema tersebut petani mengembangkan konsep meracang, menekan biaya produksi dan perilaku hati-hati dalam menyusun perencanaan usaha taninya. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepuasan Petani terhadap Kegiatan Penyuluhan Pertanian Paktor-faktor Internal Petani
Hasil analisis hubungan f&or internal petani dengan ketidak kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian disajikan dalam Tabel 4.36 Tabel 4.36. Hubungan antara variabel pribadi petani responden dengan ketidak puasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat
Sumber: Data primer tahun 2000-2001; Keterangan: n= Jumlah petani responden; Data yang disajikan adalah koefisien kontingensi; * Signifikan pada a = 5 %.
Tabel 4.36 menunjukkan bahwa jenis usaha tani utama yang diusahakan oleh petani dan tingkat komersialisasi petani bersangkutan berhubungan secara signifikan dengan ketidak kepuasan petani terhadap kegiatan-kegatan penyuluhan pertanian. Di Provinsi Jawa Timur, faktor umur berhubungan secara signifikan dengan ketidak puasan petani terhadap kegatan penyuluhan pertanian. Kepuasan petani terhadap kegatan penyuluhan pertanian merupakan perasaan terpenuhlnya tingkat kebutuhan petani, melalui kegatan penyuluhan pertanian. Menurut Kurt Lewin (Suryabrata, 1998) kebutuhan adalah keadaan atau sifat pribadl yang menyebabkan meningkatnya tension. Hal tersebut dapat berupa: (1) keadaan fisiologis, seperti lapar, haus dsb; (2) keingnan pada sesuatu seperti baju, mobil, rumah dsb; dan (3) keinginan mengejakan sesuatu. Dengan demikian kebutuhan merupakan motif, keinginan, atau dorongan. Umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, jenis kursus yang pernah diikuti atau jenis pengetahuan yang dlmilih, dan luas penguasaan lahan usaha tani tidak menentukan ragam kebutuhan petani, dengan perkataan lain semua petani yang dikategorikan dengan knteria tersebut, mempunyai kebutuhan terhadap kegatan penyuluhan pertanian yang relatif sama. Faktor-faktor internal yang menentukan ragam kebutuhan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian hanya jenis usaha tani yang diusahakan dan tingkat komersialisasi seorang petani. Hal ini mengin&kasikan bahwa perubahan perilaku usaha tani dan kebutuhan petani cenderung relatif sama yaitu semakin komersial. Tingkat komersialisasi petani cenderung berhubungan dengan jenis usaha tani utamanya. Hal ini dapat dilihat dari koefesien kontingensi C = 0, 702 (p = 0,OO). Tabel 4.4; Tabel 4.5 dan pengamatan lapangan menunjukkan petani komersial cenderung memilih komoditi hortikultura sedangkan petani yang kurang komersial memilih komoditi campuran antara pangan dengan hortikultura, malahan ada yang hanya memilih komoditi pangan.
Dengan demikian jenis usaha tani yang diusahakan oleh seorang petani dapat dipergunakan sebagai indikator untuk menilai tingkat komersialisasi seorang petani. Fakta di lapangan menunjukkan saat ini secara urnum relatif sulit menjumpai petani yang secara teoritis memang memenuhi kategori petani subsisten. Komersial berarti sifat dagang dimana membeli dan menjual secara bersama-sama, dan uang merupakan alat penukar yang umum (Penny, 1990). Menurut Boeke (1982), kebutuhan yang beraneka ragam menambah penting arti kegiatan ekonomi; tiaptiap orang selalu hams berusaha untuk memperoleh alatalat pemuas kebutuhannya. Dengan mensintesakan pendapat Boeke (1982) dan pendapat Penny (1990), maka petani komersial memerlukan uang sebagai alat untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhannya. Kalau proposisi ini disintesakan dengan teori motivasi Kurt Lewin, maka uang merupakan kebutuhan sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan. Jadi uang pada petani komersial merupakan kebutuhan instrumental untuk mewujudkan motif dasarnya yaitu motif aktualisasi din, motif pengembangan din dan motif mempertahankan din. Penny (1982) mengatakan bahwa ciri-ciri petani komersial antara lain aktivitas petani sudah tergantung dari suatu perekonomian tukar menukar yang luas, seperti sebagain besar dari seluruh hasil tanaman dijual; saprodi dibeli dari sumber-sumber di luar desa dan tanah, tenaga kerja serta modal telah menjadi komoditi. Collier et al. (1996) mengatakan gejala-gejala petani komersial antara lain: (1) produksinya sebagian besar dijual, (2) menggunakan sistem kerja borongan, (3) saproh sebagian besar dibeli, (4) jenis tanaman bervariasi, (5) sistem pertanian semakin kompleks dalam menanggapi peluang pasar, dan (6) petani mengeluh pada harga produksi tidak seimbang dengan harga saprodi. Mengacu pada hasil hasil penelitian Penny, dapat disimpulkan bahwa terdapat gejala-gejala yang menunjukkan kecenderungan petani di Indonesia semakin komersial. Hal yang sama htemukan oleh Jarmie (1994) petani di Indonesia telah berubah dan petani subsisten menjah petani komersial, proses
perubahan tersebut mpercepat dengan benyaknya media massa yang diterima dan kemudahan pemasaran. Hasil analisis Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan tingkat komersialisasi petani (koefesien kontingensi C = 0,106 dan p = 0,036); hubungan antara umur petani dengan tingkat komersialisasi petani (koefesien kontingensi C =
0,150 dan p
=
0,OO). Dengan demihan, makin muda petani dan makin tinggi
tingkat pendidikan petani makin komersial petani bersangkutan. Ke depan tingkat pendidikan petani relatif makin tinggi (Martaamidjaja, 1999), dan regenerasi merupakan proses yang alami. Mensintesakan temuan Penny (1982), Jamie (1994), Collier et al. (1996) dan temuan dalam penelitian ini maka perilaku petani kedepan dalam berusaha tani semakin komersial. Dari perspektif status sosial ekonomi, Penny (1990) mengungkapkan sebuah proposisi bahwa dl dalam sektor pertanian dan perekonomian pasar, di mana kemiskinan meluas, golongan miskinlah yang berprilaku paling komersial. Hal ini menunjukkan bahwa petani yang status sosial ekonominya relatif lebih tinggi belum tentu berprilaku lebih komersial dari petani yang status sosial ekonominya lebih rendah. Dengan demikian, hal-ha1 yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan konsepsi-konsepsi penyuluhan pertanian yang akan datang, adalah membuat segmentasi petani komersial dan menentukan indikator-indikator kuantitatif dan kualitatif petani komersial. Penelitian ini tidak melaksanakan analisis segmentasi tingkat komersialisasi petani, ha1 tersebut didekati dan jenis usaha tani utama yang dikelola oleh petani responden dan sentra komoditi pertanian sebagai dasar untuk menentukan lokasi penelitian. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, segmentasi sasaran kegiatan penyuluhan pertanian sebagai landasan untuk mengembangkan sistem penyuluhan pertanian tidak didasarkan atas variabel-variabel demografik seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat penguasaan lahan usaha tani, tetapi didasarkan atas tingkat komersialisasi seorang petani dengan kategori sentra komoditi pangan kurang
komersial dan sentra komoditi perdagangan yang komersial. Hasil pengamatan menunjukkan tingkat komersialisasi petani tidak terdistribusi dalam bentuk kategori, tetapi terdstribusi dalam bentuk yang kontinum. Berdasarkan hasil analisis korelasi dalam Tabel 4.36 maka hipotesis no1 (Ho) dItolak. Dapat dlsimpulkan bahwa tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian berhubungan nyata dengan jenis komoditi usaha tani yang diusahakan dan tingkat komersialisasinya. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian berhubungan nyata dengan perubahan sikap dan perilaku usaha tani petani yang semakin komersial.
Faktor-faktor Eksternal Petani Faktor-f&or
ekstemal yang diperkirakan berhubungan dengan ketidak
puasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanan adalah materi penyuluhan dan cara Penyuluh Pertanian mengajarkan materi tersebut kepada para petani. Hasil analisis hubungan antara faktor-faktor ekstemal dengan ketidak puasan petani terhadap kegiatan penyuluh an pertanian disajikan dalam Tabel 4.37. Sepuluh faktor ekstemal yang dianalisis dan diduga berhubungan dengan tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian dapat diklasifikasikan m e n j d dua faktor yaitu: pertarnu, faktor materi penyuluhan yang meliputi materi berupa program, materi teknolog on farm, materi pemecahan masalah, materi altematif usaha tani dan materi yang tidak jelas; dan kedua, metode penyuluhan pertanian yang meliputi frekuensi kunjungan, kunjungan lapangan, kunjungan ke rumah, pertemuan di Balai Desa, pertemuan kelompok tani. Tabel 4.37 menunjukkan bahwa materi penyuluhan pertanian yang disosialisasi- kan oleh Penyuluh Pertanian kepada petani dan metode penyuluhan yang dipergunakan untuk mensosialisasikan materi-materi penyuluhan pertanian
berhubungan nyata dengan tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian, maka hipotesis no1 (Ho) dltolak. Dapat disimpulkan bahwa rendahnya tingkat kepuasan petani terhadap materi penyuluhan dan metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan berhubungan nyata dengan perubahan sikap dan perilaku usaha tani petani yang semakin komersial. Tabel 4.37. Hubungan antara materi dan metode penyuluhan pertanian dengan ketidak puasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat No
Materi dan Metode penyuluhan pertanian
1 2 3 4
Materi penyuluhan pertanian Informasi program pembangunan pertanian Teknologi budidaya Pemecahan masalah individu petani Altematif usaha pertanian
Koefesien kontingensi peubah eksternal petani dengan ketidak puasan petani terhadap kuaIita.s kegiatan penyuluhan pertanian JawaTimur Lampung NTB
I
/
0,36* 0,16* 0,14*
0,15*
0,45* 0,43* 0,53* 0,29*
0,38* 0,3S* 0,63* 0,24*
Sumber: Data primer tahun 2000-2001; Keterangan: n = Jumlah petani responden; Data yang disajikan adalah koeiisien kontingensi; * Signifikan pada a = 5 %.
Rata-rata tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian relatif rendah baik petani-petani di sentra produksi komoditi perdagangan maupun petani-petani di sentra produksi komoditi subsisten (Tabel 4.34 dan Tabel 4.35). Hal ini juga berarti mereka tidak puas terhadap materi-materi penyuluhan pertanian yang disampaikan oleh Penyuluh Pertanian dan tidak puas terhadap
cara-cara Penyuluh Pertanian menyampaikan, mensosialisasikan, mengajarkan materi-materi tersebut. Ketidak puasan petani terhadap k e ~ a t a npenyuluhan pertanian terutama materi dan metode penyuluhan pertanian dapat dimaknai sebagai refleksi perubahan kebutuhan dan cara belajar para petani. Hasil analisis Tabel 4.36 telah disimpulkan bahwa pada umumnya petani di Indonesia telah berubah dari petani subsisten menjadi petani komersial dan kebutuhan instrumen petani komersial sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya adalah pendapatan atau uang baik dalam dimensi kuantitas maupun dimensi waktu. Kebutuhan-kebutuhan instrumen petani komersial clan pernasalahan-pernasalahan yang dhadapi petani komersial untuk memuaskan kebutuhannya tidak dapat dipecahkan dengan materi penyuluhan pertanian seperti Tabel 4.7. Kemampuan materi penyuluhan untuk memecahkan permasalahanpermasalahan yang khadapi petani untuk memenuhi kebutuhannya, sesuai dengan yang dikatakan oleh Penyuluh Pertanian disebut teori korespondensi inovasi. Kepastian korespondensi inovasi, akan meningkatkan kepercayaan petani pada kompetensi Penyuluh Pertanian, melalui pembentukan persepsi petani yang positif terhadap materi penyuluhan pertanian. Pengembangan konsepsi-konsepsi penyuluhan pertanian yang akan datang, didasarkan atas analisis kebutuhan petani. Hal ini merupakan langkah awal yang mutlak. Hubungan antara materi penyuluhan dengan tingkat kepuasan petani dapat dijelaskan dengan teori korespondensi inovasi seperti Gambar 4. 8. Pada saat penyuluhan pertanian dengan sistem kerja LAKU mulai diintrodusir, untuk memecahkan permasalahan kelangkaan pangan dalam ha1 ini padi, melalui moder nisasi pertanian (penggunaan varietas padi baru, pupuk kimia, pestisida dsb) korespon- densi inovasi P P L sangat tinggi, sehingga tingkat kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian menjadi sangat tingg. Dalam kualitas apapun komponen-komponen modernisasi pertanian
KAPASITAS INOVASI PENYULUH PERTAMAN F
KAPASITAS INOVASI PETAM KORESPONDENSI INOVASI
\
/KEPERCAYA& PETANI TERHADAP
f
J
L
HARGA PRODUKSI PERTANIAN
i
Gambar: 4.8. Hubungan antara materi penyuluhan pertanian dengan efehvitas penyuluhan pertanian
disampaikan oleh P P L, asalkan diterapkan oleh petani dalam kualitas apapun, petani sangat mera sakan perubahan-perubahan produksi usaha taninya. Kondisi pada saat itu, harga produksi padi relatif stabil dan layak, kapasitas inovasi petani sangat rendah, kebutuhan petani relatif tidak banyak, sehingga kepuasan petani berhubungan secara linier dengan tingkat produksi usaha taninya. Sekarang korespondensi inovasi PPL relatif rendah, sehingga tingkat kepercayaan petani terhadap kompetensi Penyuluh Pertanian Lapangan menjadi relatif rendah. Kondsi saat ini relatif berubah. Kapasitas inovasi petani relatif tinggi, pada daerah-daerah tertentu kelebihan inovasi, harga produksi pertanian relatif tidak setabil dan kebutuhan petani relatif lebih bervariasi dan kebutuhan instrumen petani adalah pendapatan dan ketersediaan uang segar di dalam rumah tangga. Hal itu bukan berarti P P L tidak mempunyai kompetensi, tetapi kompetensi yang dikuasai oleh Penyuluh Pertanian tidak sesuai lagi dengan kebutuhan para petani saat ini.
3
EFEKTIVITAS + PENYULUHAN PERTANIAN
Ketidakpuasan petani terhadap metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh P P L merefleksikan perubahan cara belajar petani. Perubahan cara belajar petani kalau dilihat sebagai aksi yang merupakan perilaku dalam kondisi khusus, maka dengan menggunakan teori aksi Eckensberger, perubahan cara belajar petani terjadi karena perubahan tujuan para petani clan petani melihat, mengetahui serta memahami tersedianya cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Siapapun petani itu, tujuan petani berusaha tani adalah untuk mempertahankan dlri beserta keluarganya, untuk mengembangkan diri beserta keluarganya dan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dengan perkataan lain tujuan petani berusaha tani adalah untuk "hidup". Konsekuensi clan logika tersebut, maka petani belajarpun adalah untuk hidup, dalam ha1 ini belajar diidentikkan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan penyuluh- an pertanian. Hasil analisis Tabel 4.37 menunjukkan petani tidak puas dengan cara-cara Penyuluh Pertanian mengajarkan sesuatu. Dengan menggunakan hasil analisis Tabel 4.8 dan analisis Tabel 4.37 serta hasil pengamatan lapangan, maka ketidak puasan petani terhadap metode penyuluhan pertanian dapat dijelaskan dengan teori kesenjangan belajar seperti Gambar 4.9.
BELAJAR TENTANG
POSISI PENYIILUH PERTANIAN
POSISY KEBUTUHAN PETANI
POSISII KEBUTUHAN PETANI
Gambar: 4.9.Hubungan antara metode penyuluhan dengan kebutuhan cara petani belajar
Gambar 4.9 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara cara-cara belajar yang dikehendaki oleh petani dengan cara-cara mengajar yang dilaksanakan atau metode penyuluhan yang dlpergunakan oleh P P L. Hasil analisis Tabel 4.7 menunjukkan kegiatan penyuluhan relatif lebih banyak menyentuh domain kognitif petani, kegiatan penyuluhan relatif sangat sedikit menyentuh domain konatif, dan domain afektif. Menyentuh domain kognitif, bermakna belajar tentang artinya hanya belajar teori, sedangkan menyentuh domain konatif dan afektif berarti belajar mengerjakan. Ignas Kleden dalam Harefa (2000) membedakan antara belajar tentang dengan belajar mengejakan, dicontohkan belajar tentang sepeda berarti belajar teori sepeda yang dapat dllaksanakan didalam ruangan, sedangkan belajar bersepeda berarti belajar naik sepeda yang harus dllaksanakan di lapangan. Pembentukan sikap yang paling efektif adalah belajar melalui mengalami. Petani tersentuh perasaannya kalau ha1 ha1 yang dipelajari sesuai dengan kebutuhannya. Seorang petani dl Lombok timur mengungkapkan pemah mengikuti saran Penyuluh Pertanian tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang dikatakan. Penyuluh Pertanian sebaiknya mengajarkan sesuatu kepada petani dengan memberi contoh bersama petani. Kalau berhasil, petani pasti menerapkannya. Dengan perkembangan para petani saat ini segala informasi dari Penyuluh Pertanian bukan dilihat sebagai realitas, tetapi lebih dilihat sebagai hipotesis, yang menunggu pembuktian. Kalau sudah terbukti, maka informasi tersebut dilihat sebagai realitas dan sebagai kebenaran oleh petani. Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa perubahan petani dari petani subsisten menjadl petani komersial, menyebabkan perubahanperubahan kebutuhan dan cara-cara untuk memenuhi kebutuhannya, serta perubahan cara-cara belajar petani, sikap petani terhadap petugas clan P P L.
Pengaruh Jenis Kebutuhan Petani pada Kepuasan Petani terhadap Kualitas Kegiatan Penyuluhan Pertanian Hasil analisis regresi berganda jenis kebutuhan petani dengan tingkat kepuasan petani terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian dlsajikan dalam Tabel 4.38. Tabel 4.38. Koefesien regresi jenis kebutuhan petani dengan tingkat kepuasan petani terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian No
/
Peubah
I
Koefesien regresi B
7 8
I
1
/ Kebutuhan pemasaran
/
1 Kebutuhan hubungan dengan pihak ke 1
I I
0,734 0,559
1
1
Std. Error
0,169 0,209
1 /
I
I I
I
0,110 0,058
/ 1
4,345 10,000 2,676 1 0,008
/
1
1
Koefesien baku Beta
t
Keterangan: Peubah tidak bebas adalah kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian
Tabel 4.38 menunjukkan semua peubah pengaruhnya nyata pada kepuasan petani terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini mengindikasikan harapan para petani agar kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian berkaitan dengan pemecahan-pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhan peningkatan pendapatan, altematif usaha pertanian, peningkatan produksi, pennodalan, pemasaran hasil-hasil pertanian, pengembangan usaha, kemudahan sarana produksi, metode penyuluhan, hubungan dengan pihak ke tiga untuk mendapatkan solusi. Berdasarkan hasil analisis regresi dan lintas tersebut maka hipotesis no1 (Ho) ditolak. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian ditentukan oleh kemampuan P P L memecahkan
permasalahan-pennasalahan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani dalam ha1 peningkatan pendapatan, pengembangan alternatif-alternatif usaha pertanian, peningkatan produksi usaha tani, pengembangan pennodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan solusi, dan metode penyuluhan pertanian yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Hipotesis tersebut mengindikasikan bahwa pertama, pola pemikiran, perilaku usaha tani para petani telah bergeser atau telah berubah. Hal ini dapat dilihat dari perubahan kebutuhan petani utama saat ini bukan hanya memenuhi kebutuhan subsisten, tetapi juga kebutuhan pendapatan terutama ketersediaan uang segar dalam lumah tangganya. Dalam berdiskusi dengan para petani, sering terungkap bahwa uang merupakan alat tukar yang paling mudah dipergunakan, sekarang asalkan sudah mempunyai uang, membeli beras gampang, beras banyak tersedia di pasar, kapan saja beras bisa hbeli. Di m a h selalu harus tersedia uang segar, untuk memenuhi kebutuhan an&-anak yang sedang bersekolah dan membayar kewajiban dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kedua, peubah-peubah bebas dalam Tabel 4.38, mengindikasikan peta
kognitif para petani telah dibingkai oleh pendapatan. Peta kognitif seperti itu, mempengaruhi persepsi petani tentang nilai suatu kegiatan atau pekerjaan, disamping itu, juga menuntut perubahan peran dan kegiatan penyuluhan pertanian. Berdasarkan peta kognitif tersebut, maka kegiatan penyuluhan pertanian bukan hanya meningkatkan nilai guna bagi petani, tetapi yang lebih penting meningkatkan nilai tambah bagi petani. Perubahan kegatan penyuluhan pertanian dari hanya memberikan nilai guna menjadi memberikan nilai tambah bagi petani, menuntut perubahan paradigma penyuluhan pertanian. Konsisten dengan logika hipotesis tersebut di atas maka kualitas teknolog dan informasi pertanian ditentukan oleh manfaat teknolog dan informasi tersebut
bagi Penyuluh Pertanian dalam memecahkan permasalahan-permasalahan petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam hal: peningkatan pendapatan, pengembangan altematif-alternatif usaha pertanian, peningkatan produksi usaha tani, pengembangan permodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan solusi, dan metode penyuluhan pertanian yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Dengan kata lain kebutuhan-kebutuhan petani tersebut di atas dapat dipergunakan sebagai landasan dalam perencanaan peralutan teknologi dan pengemasan informasi pertanian. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) swnberdaya penyuluhan yang dikuasai oleh P P L tidak mampu untuk merespon permasalahan dan kebutuhan petani; (2) rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh P P L dipengaruhi oleh motivasi penyuluh pertanian, kepribadian penyuluh petanian, harga diri penyuluh pertanian, kompetensi penyuluh pertanian, kemampuan operasional penyuluh pertanian, iklim organisasi, kualitas pemberdayaan, kualitas teknologi pertanian, kualitas informasi pertanian, kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluh pertanian, dan kompleksitas wilayah kerja penyuluh pertanian; (3) rendahnya kepuasan petani terhadap kualitas kegatan penyuluhan pertanian berhubungan nyata dengan perubahan sikap dan perilaku usaha tani petani yang semalan komersial; (4) rendahnya kepuasan petani terhadap materi penyuluhan dan metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh P P L berhubungan nyata dengan perubahan sikap dan perilaku usaha tani petani yang semakin komersial; dan (5) rendahnya kepuasan petani terhadap kegiatan penyu luhan pertanian ditentukan oleh kemampuan Penyuluh Pertanian memecahkan permasalahanpermasalahan untuk memenuhl kebutuhan-kebutuhan petani dalam ha1 peningkatan pendapatan, pengembangan altematif-altematif usaha pertanian, peningkatan produksi usaha tani, pengembangan permodalan, pemasaran h a i l
pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan solusi, dan metode penyuluhan pertanian yang sesuai dengan dinamika usaha tani para petani. Gejala-gejala Perkembangan Atribusi dan Perilaku Usaha tani Teramati Petani Responden Golstein (Suryabrata,
1998) mendefinisikan perkembangan adalah
terbentuknya pola-pola tingkah laku baru, kecakapan-kecapan baru yang dapat dipergunakan oleh individu untuk memenuhi kebutuhannya yang timbul karena lingkungan tertentu dan dipenuhi dalam lingkungan tertentu. Tejadinya perkembangan beberapa aspek individu petani, dapat dilihat dari perubahan perilaku petani dalam berusaha tani dari waktu ke waktu. Perkembangan individu yang diamati dan &analisis &lam penelitian ini bukan hanya perilaku tetapi juga atribusi perilaku tersebut. Aspek-aspek individu yang diamati sebagai predisposisi atau atribusi perilaku usahatani petani meliputi sistem nilai relatif, kapasitas pengetahuan, sikap petani terhadap programprogram pembangunan pertanian dan usaha taninya, serta kepribadian petani.
Sistem Nilai Relatif Kemajuan teknolog transportasi dan telekomunikasi menyebabkan semua informasi merasuk kepelosok-pelosok wilayah administrasi pemerintahan tanpa ada yang bisa mencegahnya, kecuali diri sendiri. Informasi tersebut dapat berupa sistem nilai, sistem ide, teknolog, gaya hidup clan lain-lain. Setiap individu yang tersentuh informasi tersebut, mempersepsikannya sesuai dengan tingkat kematangan individu bersangkutan. Setiap individu mensintesakan semua informasi tersebut menjadi ha1 yang berharga dan ha1 yang h a n g berharga. Setiap individu hasil sintesanya belum tentu sama. Maryadi (2000) mengatakan dengan merangkum nilai dan berbagai sumber, kemudian orang mengembangkan
sistem nilainya senlri untuk l a n u t sendiri. Sistem nilai adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-ha1 yang paling bernilai atau berharga dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1980). Sistem nilai yang dikembangkan sendiri dan dianut sendiri disebut sistem nilai relatif. Marshall Goldsmith (Kompas, 2001) menyebutkan ada tiga ciri masyarakat global yang terbentuk akibat proses ekspansi pasar yaitu diversitas, pembentukan nilai jangka panjang dan hilangnya humanitas. Abdullah (Kompas, 2001) mengatakan bahwa kecenderungan Indonesia masa depan juga begitu. Diversitas menyebabkan munculnya relativitas nilai secara mendasar dalam masyarakat. Sistem nilai absolut tidak lagi bisa dpertahankan. Berubahnya sistem referensi. Tokoh-tokoh yang dibangun sejarah lokal menjad tidak penting karena digantikan oleh tokoh-tokoh yang dibangun oleh media. Hasil analisis Tabel 4.21-4.26 menunjukkan peran tokoh masyarakat makin kecil &lam kegiatan penyuluhan pertanian di daerah komersial. Sutrisno (Fukutake, 1989) mengatakan bahwa ideolog~"fundamentalisme agraris" merupakan suatu pandangan hidup yang ditanamkan pada petani sehingga petani lupa akan hak-haknya. Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang untuk "membius" petani Jepang agar tidak menuntut perbaikan hdup mereka. Di Indonesia juga dijumpai ideologi "fundamentalisme agraris." Priyayi desa menekankan indahnya hidup didaerah pedesaan dan alangkah mulianya menjad petani. Petani hidup dengan penuh kerukunan, ijo-royo, penuh kesederhanaan clan kejujuran. Priyayi Indonesia berhasil menanamkan sikap tidak banyak menuntut di kalangan para petani. Mereka terus bekerja keras walaupun hasil kerja keras mereka tidak membuat hidup mereka lebih baik. Masyarakat perkotaan digambarkan sebagai suatu masyarakat mempunyai ciri-ciri yang bertolak belakang dengan ciri-ciri masyarakat desa. Fukurake (1989) mengatakan petani Jepang tidak lagi mendukung niali-nilai hidup yang menganjurkan mereka hidup sederhana. Mereka juga ingin membeli radio, TV, peralatan rumah tangga laimya seperti korsi tamu, alat transportasi dan sebagainya yang dulu hanya dapat
mnikmati oleh para tuan tanah. Fenomena ini juga nampak pada 107 masyarakat pedesaan di tiga Provinsi lokasi penelitian. Arsitektur
modem
sudah
mewamai
perkampungan
rumah-rumah
beraksitektur trahsional di pedesaan. Walaupun demikian masih banyak anggota masyarakat pedesaan membangun rumah baru dengan arsitektur daerahnya. Rumah joglo pada daerah transmigrasi di Lampung Tengah dan Jawa Timur, gapura rumah berukir pada daerah transmigrasi di Lampung Tengah, rumah panggung di Lampung Barat. Ventilasi rumah berkaca, sepeda motor bersandar di depan rumah, antena TV, TV htam putih, TV benvama, kadang-kadang VCD, radio tape, kursi tamu bukan lagi merupakan ha1 aneh yang menghiasi rumah rumah anggota masyarakat pedesaan. Semua jenis barang tersebut, dulu hanya merupakan simbul-simbul kehidupan orang kota. Husken (1998) mengatakan bahwa kehidupan yang paling mencolok di pedesaan adalah mengkotanya pedesaan. Kehidupan sehari-hari di pedesaan semakin mirip dengan pola kehidupan kota. Koentjaraningrat (1984) juga mengatakan bahwa banyak penduduk desa memiliki dan berhasrat memiliki rumah bergaya kota, lengkap dengan lantai tegel atau setidak-tidaknya lantai semen, jendela kaca, atap seng atau genteng dan perabot rumah seperti dimiliki orang kota. Kecuali itu, mereka merasakan perlunya memiliki radio transistor, sepeda motor, dan sekarang pesawat televisi. Seorang petani d~ kota Gajah, Lampung Tengah mengungkapkan dulu rumah-rumah petani disini bertipe joglo yang merupakan ciri perkampungan transmigran dari Jawa. Beberapa tahun terakhir banyak penduduk merehabilitasi rumah aslinya menjadi rumah berarsitek modem, sehingga tampak seperti perkampungan orang kota. Di ruangan rumah bagian depan, dulu cukup tersedia satu tempat tidur beralaskan tikar, yang multi fungsi yaitu untuk menerima tamu dan tempat tidur. Sekarang tempat tidur tersebut digantikan dengan kursi tamu.
Seorang petani di Lampung Tengah mengungkapkan bahwa temannya seorang petani berumur hampir 60 tahun, dulu sepeda karatan yang biasa dia pergunakan ke sawah disarankan diganti dengan sepeda jen& buatan cina. Dia tidak mau menggantinya. Sekarang dia malah membeli sepeda motor merk Honda untuk pergi ke sawahnya. Dengan alasan untuk menikmati hidup seperti layaknya orang kota. Menurut pengamatan tokoh petani tersebut, hampir semua petani beserta keluarganya di desanya bekerja keras baik dl pertanian atau sebagai tukang bangunan, pedagang dsb, untuk memperbaiki keadaan ekonominya agar bisa menyekolahkan anak-anaknya dan bisa membuat nunah yang baik beserta perlengkapannya. Seorang kepala Desa di Lombok Barat mengatakan dulu petani-petani di desanya hanya menanam padi dan palawija tembakau rakyat. Desanya terkenalsebagai sentra produksi tembakau Ampenan. Dengan pola tanam seperti itu, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan makin bertambahnya kebutuhan keluarga, sejak tahun 1985, para petani menanam berbagai macam tanaman (tumpang sari) untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sebelum tahun 1985, kalau ada petani yang menanam berbagai tanaman, masyarakat & desa ini menilai petani bersangkutan rakus. Sekarang terbalik, kalau tidak menanam berbagai tanaman, petani bersangkutan dinilai malas. Dengan demikian di desa tersebut telah tejadi pergeseran sistem nilai yang dulunya upaya peningkatan pendapatan dinilai kurang baik, sekarang menjaQ suatu upaya yang sudah bisa diterima oleh masyarakat. Markamah (2000) mengatakan bahwa telah muncul gejala-gejala, masyarakat Indonesia sedang mengalami tranformasi budaya clan budaya spritual ke budaya material. Dua sesepuh petani di pulau Lombok mengatakan sebelum diperkenalkan
padi varietas unggul oleh Pemerintah, Sedahan yang memutuskan perencanaan menanam padi di pulau Lombok: seperti kapan mulai mengolah tanah, jenis benih padi yang Qtanam, kapan mulai menabur benih, kapan mulai menanam padi.
Semua petani tidak ada yang berani melanggar keputusan-keputusan Sedahan tersebut. Petani yakin, kemampuan Sedahan untuk menghtung cuaca sehingga keputusan-keputusannya tepat. Dengan diperkenalkannya padi varietas baru sebagai bagian dari paket modemisasi pertanian, petani mulai berinteraksi dengan pasar. Petani tahu cara berusaha tani yang baik dan yang tidak baik dilaksanakan bagi dirinya. Berinteraksi dengan institusi baru, petani tersentuh dengan nilai-nilai baru. Dengan nilai baru itu, petani mempertanyakan keabsahan keputusan-keputusan yang berdasarkan nilai absolut. Penetrasi nilai-nilai baru telah sampai ke pedesaan sejalan dengan lancamya arus komunkasi. Setiap individu mengintegrasikan nilai baru dengan nilai yang telah dianutnya. Setiap individu mengembangkan nilainilainya sendiri dan dianutnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari petani mulai mengambil keputusan-keputusan secara individu berdasarkan manfaat untuk memenuhi kebutuhannya dan hal-ha1 yang dianggap baik. Pemerintah mengatur pola tanam setempat, tetapi ada beberapa petani yang melanggar. Hal ini menunjukkan bahwa petani menilai ada sesuatu yang diperolehnya lebih berharga dari pada mengkuti aturan pola tanam setempat. Perkembangan Pengetahuan Petani Intewensi Pemerintah dalam modenisasi pertanian melalui revolusi hijau, untuk memecahkan masalah kelangkaan pangan terutama beras, dimulai pada awal tahun 60-an. Gerakan modernisasi pertanian memperkenalkan inovasi pertanian berupa varietas padi berumur pendek, produktivitas relatif lebih tingg, pupuk buatan, pestisida, cara bercocok tanam kepada petani. Modernisasi hortikultura relatif dimotori oleh petani bersama swasta. Pada awal modemisasi pertanian, Pemerintah memonopoli inovasi pertanian. Saat itu, kapasitas inovasi pertanian para petani sangat rendah. Modemisasi pertanian berdampak pada
peningkatan produktivitas padi yang signifikan. Hal tersebut sangat dirasakan oleh para petani. Kebijaksanaan modernisasi pertanian berdampak pada tumbuh dan berkembangnya industri-industri hulu di sektor pertanian seperti industri pupuk, pestisida, benih dsb. Persaingan antar pe~stIhaansemakin ketat. Masing-masing perusahaan mempromosikan produknya sampai ke lini terdepan melalui tenaga lapangannya, media tercetak dkembangkan sebagai salah satu strategi pemasaran produknya. Saat ini sumber infor- masi petani bukan hanya Pemerintah (Tabel 4.12-4.24). Petani banyak belajar dari pengalamannya menerapkan saran-saran
Penyuluh Pertanian, mengamati kawan-kawannya yang berhasil, mempelajari kawan-kawannya yang gaga1 dalam berusaha tani, melihat, mendengar dan membaca melalui media komunikasi. Selama tiga dekade, telah tejadi akumulasi pengetahuan d kalangan para petani. Tiga orang petani di Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Jawa Timur mengatakan saat ini di pedesaan banyak sekali informasi seperti informasi tentang pupuk alternatif lebih dari 50 macam, obat perangsang tumbuh, obat perangsang buah, pestisida, herbisida, benih-benih baru. Menghadapi begitu banyak informasi, kami sering kebingungan memilih, mana di antaranya yang paling baik. Semua perusahaan mengatakan produknya baik. Kami merasakan teknologi budi daya tanaman relatif memadai dl pedesaan. Para Penyuluh Pertanian di Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Jawa Timur mengatakan sekarang para petani sering lebih duluan mengetahui merek-merek dagang pestisida, herbisida, pupuk altematif dan manfaatnya. Kami sering mendengarkan kalau petani ngobrol sesama temannya, tentang pengalaman para petani menggunakan merek obat-obatan yang kami belum pemah mendengar dan melihatnya. Berdasarkan pengalamannya menerapkan saran-saran orang luar, saat ini banyak petani yang skeptis, bukan ragu-rap tetapi bersikap kritis terhadap
inovasi yang belurn dikenalnya secara baik. Rusta, Beberapa petani di Lampung dan Jawa Timur mengatakan sekarang tidak percaya begtu saja terhadap informasi atau saran-saran petugas, baik petugas pemerintah maupun swasta. Kami meminta kepada petugas tersebut untuk mencoba saran-sarannya di lahannya dalam skala kecil. Kalau percobaannya berhasil, kami baru percaya. Kami sering mengalami kegagalan dengan menerapkan saran-saran orang luar secara langsung. Hal ini mengndikasikan petani melihat realitas bukan sebagai kebenaran tetapi sebagai hlpotesis yang perlu pembuktian merupakan refleksi pengalamnnya, dan salah satu strategi petani untuk memperkecil resiko. Pencabutan subsidi saprodi pertanian seperti pupuk, pestisida, benih dan kebijaksanaan Pemerintah di sektor pertanian berdampak pada tingginya dan kesulitan menghttung resiko yang lhadapi petani dalam berusaha tani. Dua orang tokoh petani bawang merah di Kabupaten Malang mengatakan sekarang berusaha tani bawang merah seperti bermain judi. Kami tidak bisa memperkirakan usaha tani bawang untung atau rugi.
Untuk memperkecil resiko berusaha tani, para petani mengembangkan pola tanam tumpang sari dengan tanaman yang bisa dipanen berkali-kali dan pola tanam meracang. Dengan pola tanam seperti itu, pasti ada salah satu tanaman akan mendapatkan harga yang layak. Beberapa petani Q Nusa Tenggara Barat mengatakan dengan meng- ikuti teman-teman yang berhasil dalam berusaha tani, sering berhasil. Keuntungan usaha taninya dipergunakan untuk membeli sapi, perhiasan berupa emas, TV dsb. Pada saat kesulitan, barang-barang tersebut bisa dijual atau digadaikan. Fakta tersebut mengindi- kasikan bahwa para petani
Perkembangan Sikap Petani terhadap Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian dan Usaha Taninya Sikap petani terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar, seperti melalui proses belajar konQsioning klasik, proses belajar sosial dan proses belajar mengalami langsung. Manfaat kebijaksanaan pembangunan pertanian dan usaha taninya yang dirasakan oleh para petani untuk memenuhi kebutuhannya adalah penentu sikap petani terhadap usahataninya. Sikap petani terhadap kebijaksanaan pertanian dan usaha taninya tidak final, tergantung pada situasi dan kondisi.
Dua tokoh petani padi di Lombok Timur mengatakan dengan pengaturan pola tanam oleh Pemerintah, telah terjadi peningkatan biaya produksi terutama biaya tenaga kerja baik sebelum panen maupun pada saat panen dan penurunan harga produksi pada saat panen. Pada saat pengolahan tanah, kebutuhan tenaga kerja meningkat, ketersediaan tenaga kerja & pedesaan relatif terbatas sehingga biaya tenaga kerja naik. Begtu juga pada saat panen, biaya tenaga panen bisa mencapai 1: 5-10, dan harga padi pasti turun di bawah harga dasar yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pada saat panen, yang untung adalah pedagang gabah. Petaninya belum tentu, kalaupun ada, keuntungannya sangat tipis. Pada saat panen raya, petani hanya setor gabah kepada tengkulak, tidak tahu kapan akan dibayar, bisa 2-3 bulan setelah gabah diambil oleh tengkulak. Oleh karena itu, petani-petani di tempatnya selalu mencari peluang-peluang, kapan menanam padi yang menguntungkan dan kapan menanam padi tidak menguntungkan. Beberapa petani di Lombok Timur mengatakan mengikuti pola tanam padipa&-palawija, sering rugi. Pada musim tanam pertama, kami mendapatkan 6 ton padi per ha. Pada saat tanam pa& ke dua hasilnya merosot menjadi 3 ton per ha
Menanam pa& untungnya sangat tipis. Saya hams bekerja lain lagi, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kalau hanya mengandalkan pada padi dan palawija, kebutuhan keluarga tidak terpenuhi. Petani-petani hortikultura di Lampung Barat dan Kabupaten Malang mempertanyakan, alasan program kredit usaha tani untuk hortikultura dikaitkan denga komoditinya. Seperti KUT bawang merah, KUT cabe, KUT kentang. Kenapa prograrnnya tidak berupa kredit pertanian saja dan petani menentukan jenis komoditi yang akan dimintakan bantuan pembiayaan. Komoditi hortikultura adalah komoditi perdagangan harga sangat ditentukan oleh pasar. Dengan diprograrnkan melalui KUT yang sudah dijadwalkan, berdarnpak pada saat musim tanam harga benih melonjak seperti KUT bawang merah. Pada saat panen harga jualnya jatuh. Petani yang mengikuti program tersebut, tidak bisa mengembalikan kredt, sekarang terbebani hutang. Petani yang memilih jenis komoditinya sendiri atau tidak sesuai dengan program KUT yang bisa mengembalikan kredit. Petani-petani padi di Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara B a t , mengatakan bahwa sejak tahun 1997 menanam padi untungnya sangat tipis, pernah hanya kembali modal; menanam pa& sama dengan memutar modal saja. Harga pupuk, obat-obatan, dan ongkos tenaga kerja setiap tahun naik, sedangkan harga gabah pada saat panen belurn tentu naik malahan lebih sering turun.Oleh karena itu, kami menggunakan pupuk semampunya. Kalau padi dipupuk sesuai anjuran Penyuluh Pertanian, belurn tentu menguntungkan, karena harga gabah pada saat panen tidak imbang dengan harga pupuk. Seorang petani padi di Kabupaten Malang mengatakan, kalau harga saprodi terus naik seperti sekarang
intervensi yang menyentuh kehidupannya. Apakah intervensi datangnya dari Pemerintah maupun yang datangnya dari swasta.
Perkembangan Kepribadian Petani Kepribadian atau sifat merupakan predisposisi perilaku. Kepribadian posissinya sama dengan sikap. Sifat cenderung konsisten pada berbagai situasi, tidak tergantung pada penilaian sesaat. Berbeda dengan sikap, yang cenderung menilai dan menyesuaikan dengan hasil penilaiannya (Sarwono, 1997). Kebutuhan atau motif juga sebagai detenninan perilaku bertujuan. Lewin menyamakan antara kebutuhan dengan motif sebagai pendorong perilaku bertujuan. Pengamatan perilaku petani hanya dalam konteks perilaku usaha tani. Boeke (1982) mengatakan diperlukan alat-alat untuk memuaskan kebutuhan. Sifat pertanian di pedesaan telah berubah dari irama kehidupan dan irama kerja bergantung pada musim yang menentukan kapan orang dapat menanam dan memanen; kini banyak pertanian menjadi usaha yang berkesinambungan (Husken, 1998). Seperti ngeslah suatu konsep transportasi yang diadopsi oleh petani untuk menggambarkan suatu sistem tanarn yang menentang musim agar produksi usaha taninya mendapatkan harga jual yang layak. Seharusnya petani menanam padi karena musim, tetapi menanam palawija atau hortikultura. Begitu juga seharusnya petani menanam palawija karena musim, tetapi menanam padi. Perilaku usaha tani seperti itu, sudah muncul di pedesaan. Pertanyaannya adalah mengapa muncul perilaku usaha tani seperti itu. Seorang petani padi di Lombok Timur, dengan luas garapan 0,25 ha
memenuhi kehidupan sehari-hari termasuk kebutuhan anak sekolah, saya juga bekerja sebagai pedagang. Sekarang asalkan mempunyai uang, gampang untuk membeli yang lain. Petani-petani hortikultura di Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat adalah pekerja keras, berangkat pagi pulang menjelang magrib. Jadwal kerja seperti itu, dijalani dari hari kehari tanpa keluhan. Mereka hanya mengeluh pada saat harga jual produknya jatuh. Mereka mengurang waktu kerja hanya pada saat hari raya keagamaan. Mereka mengatakan bekerja keras untuk meningkatkan keadaan ekonomi keluarga. Dengan pendapatan yang tinggi kami bisa memperbaiki rumah, membiayai anak sekolah, membeli peralatan rumah tangga, dan naik haji. Dengan peningkatan produksi belum ada jaminan peningkatan
pendapatan. Sekarang petani hams tepat memilih jenis tanaman. Bagi petani-petani berlahan sempit, ketersediaan uang segar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan uang transport, uang jajan untuk anak-anaknya yang sedang bersekolah, merupakan permasalahan utama ywg hams dipecahkan. Seorang petani padi di Lombok Barat, menanarn satu petak kacang panjang pada saat menanarn padi di musim hujan. Paceklik b a g petani padi berlahan sempit, biasanya jatuh pada musim hujan. Dengan cara tersebut, kebutuhan uang segar dapat terpenuhi. Menanam kacang panjang merupakan solusi yang dipih untuk mengatasi paceklik 1 musim hujan. Setiap petani mempunyai strateg adaptasi yang berbeda-beda tergantung kondisi setempat dan kemampuannya. Beberapa petani tembakau di Lombok Timur mengatakan pola tanam di sini
biasanya murah. Oleh karena itu, saya tidak menjual gabah. Sehabis tanam padi, saya menanam tembakau virgnia. Untungnya besar. Jual borongan dalam keadaan basah keuntungan mencapai Rp 6.000. 000 per ha. Kalau dioven sendiri untungnya lebih besar lagi. Satu kali tanam tembakau, kalau harga baik bisa naik haji. Banyak petani-petani di Lombok Timur menunaikan ibadah haji, karena menanam tembakau. Pengamatan kualitatif menunjukkan luas areal suatu komoditi meningkat drastis sejalan dengan keberhasilan petani menanam komoditi tersebut pada musim tanam tahun sebelumnya. Petani-petani sekarang telah berubah. Hasrat petani untuk menerapkan teknologi atau inovasi sangat tinggi. Asalkan produksinya ada yang menampung. Sekarang petani saling intip sesama temannya dalam menanam komoditi. Karena sama-sama ingin memanfatkan peluang pasar yang ada. Kasus di satu desa penelitian, pada tahun 1998, petani yang menanam tembakau virginia sekitar 3-4 orang saja. Pada tahun 1999, sekitar 98,OO % petani di desa tersebut menanam tembakau virginia. Petani ikut menanam tembakau karena keberhasilan temannya menanam tembakau pada tahun 1998. Seorang petani melon merangkap pamong desa di Ngawi mengatakan, saya pada mulanya tidak mengetahui cara menanam melon. Saya mendengar usaha tani melon menguntungkan dari teman-teman, disamping melihat petani-petani di desa tetangga sehabis panen melon bisa membeli sepeda motor honda bebek. Kebetulan di desa sini ada beberapa pemuda, mantan buruh petani melon di Bogor yang bisa menanam melon. Dari pada kerja di luar desa, saya mengajak
menanam melon, karena melihat keberhasilan beberapa petani melon membeli sepeda motor. Semua fakta dan uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa tingkat keuntungan dan kemampuan suatu inovasi memecahkan masalah ketersediaan uang segar sebagai determinan perubahan perilaku usaha tani para petani. Tingkat keuntungan yang dirasakan oleh petani dan tingginya korespondensi suatu inovasi sebagai pendobrak resistensi petani terhadap swtu inovasi.
Perkembangan Perilaku Usaha Tani Petani Dalarn keseharian petani bertemu dengan orang luar, petani menampilkan dirinya seperti orang yang tidak berpengetahuan, sehingga selalu dijejali dengan infonnasi dan teknologi oleh orang yang mengaku dirinya pakar. Menampilkan diri seperti itu sebetulnya manifestasi rasa rendah hati dan bentuk penghargaan seorang petani terhadap orang lain. Untuk mempelajari dan memahami petani, hams paham bahasa nonverbal petani, kalau tidak, pendapat orang luar sangat bias tentang keputusan-keputusan dan perilaku usaha tani petani. Orang luar sering menilai keputusan-keputusannya tidak rasional. Popkin (1986) mengatakan bahwa petani adalah seorang pemecah masalah. Disamping itu petani juga seorang pengamat, dan pengkaji atau pencoba. Petani punya kebiasaan otak-atik matuk Maksudnya apa saja menurut logika petani benar dicoba dan hasil coba-cobanya dapat untuk memecahkan masalahnya sendiri. Petani jarang sampai berpi h r apakah hasil coba-cobanya dapat untuk memecahkan masalah yang dihadapi petani lain. Seorang petani ape1 dan bawang
Sekarang saya menimbun potongan-potongan rumput setiap habis membersihkan kebun di bawah pohon apel." Seorang petani padi dan semangka di Lampung Tengah mengatakan: "Pada waktu menanam semangka secara tidak sengaja memotong beberapa pucuk batang semangka. Pada waktu panen, saya menemukan buah clan batang semangka yang pucuknya dipotong, jumlah bijinya lebih sedikit dari pada buah semangka yang berasal dari batang pucuknya tidak dipotong. Sekarang saya selalu memotong pucuk batang semangka untuk mengurangi jumlah biji." Kondisi pertanaman petani sekitarnya yang tidak berhasil maupun yang berhasil sering menjadi salah satu topik obrolan-obrolan para petani di dalam pertemuan sosial keagamaan atau dalam pertemuan antar mereka pada saat beristirahat d~ sawah. Topik tersebut merupakan hasil pengamatan mereka terhadap kondisi pertanaman petani di- sekitarnya yang sempat dilihat. Johnson (1972), Rhoades (1989), Richards (1986), Bentley (Winarto, 1999) mengatakan petani adalah seorang pengamat dan penguji coba. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengapa konhsi pertanamannya jelek, apa sebabnya dan bagaimana pemecahannya. Begitu juga kalau pertanamannya berhasil mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan, bagaimana caranya bisa berhasil, pupuk apa yang dipakai dsb. Petani terus mengamati dan mengevaluasi bukan hanya pengalamannya sendiri tetapi juga pengalaman petani sekitarnya. Pengalamanpengalaman tersebut sebagai dasar pengambilan keputusan, untuk memecahkan
pennasalahan-perrnasalahan yang sulit diantisipasi oleh petani. Kemampuan pengamatan ditentukan oleh makna yang diberikan petani kepada aspek yang diamati yakni sejauh mana aspek itu menyumbang kepentingan dan kebutuhan hidup petani (Winarto, 1999).
dapat diprediksi sebelurnnya. Dasar evaluasi mereka bukan hanya hasil dari tindakannya sendiri, melainkan juga strategi rekan-rekannya sehamparan atau yang berlokasi diluar batas administrasi wilayah tempat tinggal mereka. Variasi strategi di lapangan merupakan sarana utama petani melakukan perbandingan. Perbandingan
merupakan
mekanisme
penting
dalam
mengevaluasi,
mengabsahkan dan meningkatkan pengetahuan. Petani disamping sebagai pengamat dan penguji coba, juga sebagai pembelajar. Perubahan kebijaksanaan Pemerintah, dan kondisi perekonomi makro juga berdampak pada aktivitas usaha tani para petani. Kebijaksanaan mengurangi subsidi pupuk, migrasi tenaga kerja sektor pertanian ke kota sebagai akibat tidak terseQanya lapangan pekerjaan desa berdampak pada peningkatan biaya produksi usaha tani. Petani hortikultura di Malang mengatakan: "Ongkos tenaga kerja setiap tahun naik sehngga komponen biaya produksi naik disamping, karena kenaikan harga saprodi. Dalam konhsi harga jual produksi yang tidak menentu, salah satu cara untuk mengurangi resiko kegagalpn hanya dengan menekan biaya produksi. Biaya produksi yang paling memunglunkan ditekan adalah ongkos tenaga kerja. Kami menanam bawang merah untuk memecahkan masalah tersebut. Satu kali mengolah tanah untuk menanm bawang merah dapat dipergunakan berkali-kali untuk menanam tanaman sayur yang lain. Jadi untuk menanam tanaman yang lain, kami tidak memerlukan biaya pengolahan tanah." Petani melon di Ngawi mengatakan "dengan menanam kacang panjang di bekas lahan penanaman melon, biaya produksi yang dikelwkan hanya berupa benih kacang panjang dan biaya tanam." Seorang petani hortikultura & Malang mengatakan: "Harga saprodi seperti pup& dam, vitamin dan perekat fungisida mahal sehingga biaya produksi naik. Saya mencoba karbit dicampur sedikit urea sebagai pupuk dam. Untuk vitamin, saya mencoba campuran 1 liter susu segar dengan 1 kg telur dan 1 kg KN03.Dosis 100 cc adonan tersebut dicampurkan pada 10 liter air. Setelah tanaman disemprot 3 hari daun tanaman menjadi hjau. Saya sudah mencoba ramuan tersebut pada tanaman tomat dan cabe ternyata berhasil. Dengan
mencoba-coba seperti itu, biaya produksi tomat dan cabe dapat ditekan sampai 50 Seorang petani padi di Lombok Barat menemukan rekomendasi pemupukan padi pada musim hujan 250 kg urea, 150 kg Sp 36 dan 50 kg KC1 sedangkan pada musim kemarau 350 kg urea, 150 kg Sp 36 dan 50 kg KC1. Pemerintah merekomendasikan pemupukan padi 300 kg urea, 100 kg Sp 36 dan 50 kg KC1 setiap ha.
Meracang suatu konsep pola tanam yang dikembangkan oleh petani-petani sayur di Malang dapat dipergunakan untuk memecahkan beberapa pennasalahan yang sering dihadapi oleh petani yaitu: pertama, untuk memecahkan masalah ketersediaan uang segar; kedua, mengantisipasi harga jual produk yang tidak menentu; ketiga, menekan biaya produksi; keempat, memperkecil resiko usaha tani; kelima, menjamin tingkat pendapatan; dan keenam meningkatkan indeks pertanaman (produktivitas lahan). Rhoades dan Bebbington (Winarto, 1999) mengatakan bahwa petani adalah pencipta solusi yang dlhasilkannya sendiri guna menghadapi berbagai tantanian
dan masalah yang dihadapi, tidak melulu sebagai pengadopsi teknologi yang diintroduksikan. Selain itu, mereka juga penguji coba dan pencipta yang secara aktif menyusun strategi. Secara terus menerus mereka mengevaluasi, menyeleksi
dan mengombinasikan berbagai informasi yang hperolehnya dari berbagai sumber guna memenuhi kebutuhan hidup dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang dihadapinya. Collier et al. (1996) mengatakan dengan pengenalan varietas pad^ unggul, mekanisasi pertanian, penggunaan pupuk menunjukkan bahwa komersialisasi pertanian telah menggantikan pertanian subsistensi di seluruh Jawa dan munglun di sebagian besar wilayah Indonesia. Komersialisasi itu terungkap dalarn sejurnlah gejala seperti: pertama, sebagian besar petani menjual sebagian besar padi kepada pedagang dari luar desa sendiri; kedua, sistem bertanam padi makin menjadi
kompleks dalam menanggapi peluang pasar baru. Petani mengusahakan beragam
dan banyak jenis sayur dan buah-buahan dengan harga tingg sebagai tanggapan mereka atas isyarat-isyarat harga dari pedagang; ketiga, petani mengeluh bahwa harga gabahheras tidak seimbang dengan harga pupuk dan sarana masukan lain. Mereka dengan seksama mengikuti harga-harga gabahheras dan sarana masukan lain. Tingkat ketanggapan para petani terhadap isyarat-isyarat harga dari pedagang atau dari pasar tercermin dalam proses mereka memutuskan jenis komoditi yang harus diusahakan pada setiap siklus produksi. Kapan komoditi yang dipilih harus ditanam. Sebagian besar petani responden di sentra komoditi subsisten menanam padi varietas IR 64, Way Opoburu, Widas. Varietas lain memang ada tetapi jumlahnya relatif kecil. Sebagain besar petani menanam varietas padi IR 64 sudah lebih dari 10 tahun. Semua petani mengatakan gabah IR 64 relatif lebih gampang dijual dan harganya relatif lebih mahal. Apalagi kalau menjual padi dengan sisten tebasan, kalau bukan IR 64, penebas enggan membeii. Petani padi & Lombok Timur mengatakan: "menanam padi hanya untuk makan sendiri. Tanaman lainnya adalah cabe, tembakau, tomat, kubis, kacang panjang dsb. Ketepatan jadwal penanaman komoditi sayur menentukan keberhasilan usaha tani sayuran. Saya mengetahui harga sayur akan mahal dengan memperkirakan luas areal tanam. Seperti menanam tomat, harus pada saat petani lain mulai menanam padi. Pada saat itu jarang petani tanam tomat. Menanam cabe besar mulai bulan Oktober-Nopember. Pada saat petani sudah habis menanam padi. Saya sering berhasil dengan jadwal tanam seperti itu, seperti mendapatkan harga jual tomat dan cabe yang layak." Petani sayur di Malang mengatakan: "dalam mrencanakan komoditi dan waktu tanam, hal-ha1 yang dipertimbangkan: pertama perkiraan luas areal tanam komoditi tertentu di wilayah Batu dan informasi dan pedagang tentang komoditi yang banyak diminta di pasar; kedua harga komoditi yang biasanya mahal pad bulan-bulan tertentu; ketiga permintaan dari pedagang; keempat menentang musim karena petani biasanya tidak banyak menanam dan jarang yang berhasil; kelima memperkirakan musiam, kalau kemarau panjang atau musim hujannya terlambat, menanam kentang
biasanya akan mendapatkan harga yang layak. Saya menanam berbagai jenis s a y seperti seledri, wortel, kentang, buncis, kapri, lobak, tomat, cabe dsb. Apa saja yang penting harganya mahal." Seorang petani padi dan sayur di Lampung Tengah mengatakan "selalu menanam komoditi, yang harganya jatuh pada musim tanam sebelumnya. Pada musim tanam tahun berikutnya biasanya petani tidak banyak yang menanam. Dengan cara itu, biasanya men- dapatkan harga jual yang layak " Seorang petani padi dan melon Q Ngawi menanam melon varietas AG 15, tetapi tengkulak tidak mau membeli. Kemudian diganti dengan varietas Axon karena permintaan tengkulak. Ada keinginan para petani di Ngawai menanam bawang merah dan lombok seperti petani di Nganjuk. Petani-petani sayur di Lampung Barat merencanakan jenis komoditi dengan cara menatung jumlah benih komoditi tertentu yang sudah terjual kepada penyalur benih, disamping memperkirakan kemungkinan permintaan pasar berdasarkan pengalamannya. Petani-petani yang tidak mempunyai kompetensi perencanaan, biasanya menanam komoditi mengikuti teman-temannya yang sering dianggap berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan-keputusan petani dalam menentukan jenis komoditi dan waktu tanam komoditi bersangkutan sangat dipengaruhi oleh pasar. Ada keputusan yang Qbuat sendiri, dilaksanakan sendiri, dan ada juga petani yang mengikuti keputusan teman-temannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, informasi-informasi yang Qperlukan oleh petani untuk menentukan janis komoditi clan waktu tanam antara lain: pertama, jumlah benih yang keluar untuk memperkirakan luas tanam suatu komoditi di daerah lain; kedua, mencari luas areal tanam komoditi tertentu yang riil di sekitranya dan ke daerah lain; ketiga, memperkirakan permintaan pasar dengan menwtung jatuhnya hari raya; keempat, pengalaman yang lalu; kelima, permintaan pedagang atau perusahaan; keenam komoditi yang harganya jatuh untuk memperkirakan luas tanam tahun berikutnya; ketujuh, menganalisis pola tanam untuk memperkirakan luas tanam komoditi tertentu; kedelapan,
memperkirakan cuaca untuk menduga luas tanam jenis komoditi yang ditanam di suatu sentra produksi; dan kesembilan kesesuaian lahan. Para petani sangat pintar dalam menatung resiko. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam informasi yang mereka perlukan dan informasi tersebut mereka cari sendiri dengan metodenya sendiri sebelum menetapkan komoditi dan kapan komoditi tersebut sebaiknya ditanarn, sehngga produknya mendapatkan harga jual yang layak. Menurut Blanckenburg dan Reinhold (Planck, 1989), keberanian menghadapi resiko dalam berusaha bukan merupakan sifat khas petani. Di negara sedang berkembang para petani kebanyakan tidak mempunyai kemunglunan memperkirakan resiko, alubat kurangnya pendidikan dan informasi pasar tidak cukup. Karena itu mereka cenderung bersifat hati-hati. Pengamatan lapangan menunjukkan informasi pasar yang bermanfaat bagi petani dan mudah dijangkau oleh petani bukan hanya tidak cukup tetapi hampir tidak ada. Disamping informasi-inforrnasi lain, yang diperlukan oleh petani untuk membuat perencanaan usaha tani. Seorang tokoh petani sayur di Malang mengatakan informasi pasar yang disebarluaskan melalui media massa sekarang lebih banyak bermanfaat bagi pedagang. Bagi petani informasi tersebut tidak ada manfaatnya. Karena petani tidak mempunyai barangnya. Petani menghendaki informasi pasar untuk menyususun perencanaan usaha tani. Di daerah sawah irigasi yang merupakan sentra produksi komoditi tanaman pangan, pengaturan pola tanam oleh Pemerintah sangat ketat. Masing-masing daerah mengatur pola tanamnya berbeda-beda tergantung musim dan ketersediaan air irigasi, seperti pola padi-padi-palawija, padi-palawija-pa& dsb. Pengamatan lapangan di lokasi penelitian menunjukkan sudah muncul gejala yang seharusnya semua petani menanam palawija, tetapi ada beberapa petani yang menanam padi. Alasannya bahwa menanam padi pada saat musim tanam palawija keuntungannya relatif lebih tingg dan pada keuntungan menanam padi yang sesuai dengan pola tanam. Begtu sebaliknya, seharusnya semua petani menanam padi, tetapi ada
beberapa petani yang menanam horti- kultura. Dengan alasan, menanam hortikultura keuntungannya relatif lebih tinggi. Di Lampung Tengah sekitar 15 ha sawah irigasi teknis telah dikonversi oleh petani menjadi kebun jeruk. Di sentra komoditi hortikultura jenis tanaman relatif lebih bervariasi. Pada musim tanam yang sama, petani menanam berbagai macam tanaman tergantung hasil analisisnya tentang peluang mendapatkan harga yang baik pada saat panen nanti.
Antar petani tidak ada kesepakatan jenis komo&ti yang harus ditanam. Hasil analisis, gejala-gejala perubahan atribusi dan perilaku petani dalam ranah nilai relatif, pengetahuan, sikap, motivasi dan perilaku usaha tani disajikan dalam Tabel 4.39. Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa perilaku usaha tani petani merupakan respon petani terhadap isyarat-isyarat harga dan para pedagang atau isyarat-isyarat harga dari pasar. Keingnan petani untuk meningkatkan pendapatan melalui peningkatan keuntungan usaha tani sebagai pendorong petani merespons isyarat-isyarat harga pasar yang diwujudkan dalam bentuk perencanaan usahatani. Bagi petani kecil motif perilaku usaha taninya bukan hanya tingkat keuntungan, juga kecepatan mendapatkan keuntungan. Dengan demikian pendorong perilaku usaha tani para petani adalah pendapatan usaha tani dan ketersediaan uang segar sebagai instrumen untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan dirinya dan mempertahankan dirinya. Pernasalahan-pernasalahan yang menghambat untuk dapat mementh kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: pertama, ketersediaan informasi alternatifalternatif usaha pertanian yang menguntungkan dan mudah dijangkau oleh petani; kedua, mutu informasi yang diperlukan untuk menyusun rencana usaha pertanian
dan untuk memecahkan per- masalahan-permasalahannya;ketzga, mutu teknologi untuk mewujudkan rencana usaha pertaniannya yang sesuai dengan kebutuhan petani; keempat, kompetensi petani untuk merespon kecepatan perubahan
Tabel 4. 39. Kecenderungan gejala-gejala perkembangan atribusi dan perilaku usaha tani petani responden di Provinsi Jawa Timur, Larnpung dan Nusa Tenggara Barat Ranah
Gejala-gejala perkembangan atribusi dan perilaku usaha tani petani responden
Dari
Sistem nilai spritual relatif kuat Sistem nilai absolut relatif h a t
Ke arah Mempertanyakan ideologi "fundamentalisme agraris" dan menuntut simbul-simbul kehidupan perkotaan atau orang kota Sistem nilai material relatif rnenguat Munculnya sistem nilai relatif
Pengetahurn
Kapasitas infommi dan inovasi pertanian petam diibaratkan botol kosong Relatif lebih mempehtungkan resiko tingkat subsistensi&lam berusaha tani
Kapasitas informasi dan inovasi pertanian relatif tinggi Relatif lebih memperhitungkan resiko keuntungan dalamberusahatani
Sikap
Menerima kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan pertanian tanpa syarat
Mengkntisi secara rasional dan komersial kebijaksanaan-kebijaksanaanpembangunan pertanian Skeptis terhadap tingkat keuntungan usaha taninya sebagai sumber pendapatan
Nilai
Menerima dan mengimplementasikan ideologi "fundamentalisme agraris"
Sikap terhadap keuntungan usaha taninya sebagai sumber pendapatan sangat positif
Kepribdian
Motif pendapatan usaha tani dan ketersediaan uang segar relatif sangat kuat Relatif lebih berani dalam mengambil resiko usaha
Motifproduksi usaha tani relatif sangat kuat Relatif kurang berani dalam mengambil resiko usaha tani Resistensi relatif tinggi terhadap modernisasi pertman Otoritas pengambilan keputusan individu dalam usaha tani relatif lemah
Perilaku
tani Resistensi relatif rendah terhadap modernisasi pertanian Otoritas pengambilan keputusan individu dalam usaha tani relatif kuat
Relatif sebagai konsumen teknologi dan infonnasipertanian Sasaran dan obyek kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian Keputusan usaha tani dipengaruhi oleh pengamanan tingkat subsistensi Penerha informasi dan teknologi pertanian Produksi usaha tani istrumen aktualisasi diri Kornitmen tehdap keputusan kolektif dalam berusaha tani relatif kuat Perencanaan usaha tani relatif dipengaruhi musim Penerima perencanaan usaha tani Variasi komoditi usaha tani relatif homogin P e r m a n dan penggantin komoditi usaha tanirelatif lambat Berpartisipasidalam k e w - k e g i a t a n pembangunau pertanian tanpa syarat
,
Relatif sebagai produsen teknologi dan informasi pertanian Pembelajar dan subyek kegiatan-kegiatan penduhan w a n Keputusan usaha tani dipengaruhi oleh tingkat keuntungan dan kecepatan memberikan pendapatan Pencari informasi dan teknologi pertanian Penclapatan usaha tani istrumen aktualisasi diri Komitmen terhadap keputusan kolektif dalam berusaha tani relatif melemah Perencanaan usaha tani relatif dipengaruhi isyaratisyarat pasar Perencana, pensintesa, dan pemecah masalah Variasi komoditi usaha tani relatif heterogin P e r m a n dan penggantin komoditi usaha tani relatif w a t Berpartisipasidalam kegiatan-kegiatan pembangunan pertaman berdasarkan perhtungan yang rasional dan komersial
lingkungan yang mempengaruhi tingkat resiko usaha taninya; kelima, rasio petani dengan penguasaan lahan yang semakin kecil; keenam, kepastian pasar atas produksi usaha taninya; ketujuh, ketersediaan modal usaha tani; kedelapan, nilai tukar petani yang terus menurun; dan kesembilan kecepatan perubahan kondisi yang terkait dengan pertanian & tingkat lapangan.
Pembahasan Umum Tabel 4.25 menunjukkan rataan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, rendah dan cenderung rendah. Hal ini mengindikasikan, kegiatan penyuluhan pertanian kurang berpihak kepada kebutuhan-kebutuhan petani. Tabel 4.6 tentang programa penyuluhan pertanian tingkat wilayah kerja B P P, Tabel 4.7 tentang materi penyuluhan pertanian, Tabel 4.8.tentang metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian, dan Tabel 4.10 tentang tingkat kehadiran Penyuluh Pertanian di wilayah kerjanya, menunjukkan kegiatan penyuluhan pertanian saat ini, kurang berpihak kepada kebutuhan petani. Berdasarkan hasil analisis ragam rataan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian antar Provinsi, disimpulkan bahwa tingkat kualitas kegatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timyr, Lampung dan Nusa Tenggara Barat berbeda nyata dalam hal: materi penyuluhan pertanian yang diberikan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan, domain perilaku yang disentuh dalam melaksanakan kegatan penyuluhan pertanian, memfasilitasi keputusan-keputusan petani, keberpihakan kegiatan penyuluhan pertanian kepada petani, dan intensitas kunjungan Penyuluh Pertanian Lapangan ke wilayah kerjanya. Tabel 4.26 menunjukkan rataan kualitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan lebih rendah dan rataan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten. Berdasarkan hasil uji beda rataan (t test) antara kualitas kegiatan penyuluhan
pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komo diti subsisten, disimpulkan bahwa tingkat kualitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan berbeda nyata dengan kualitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi subsisten dalam ha1 materi penyuluhan pertanian yang diberikan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan, domain perilaku yang disentuh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, memfasilitasi keputusan-keputusan petani, keberpihakan kegatan penyuluhan pertanian kepada petani, dan intensitas kunjungan P P L ke wilayah kerjanya. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, maupun pada sentra produksi komoditi perdagangan, dan pada sentra produksi komoditi subsisten adalah rendah. Kebijaksanaan pembangunan pertanian yang sentralistis, dengan memposisikan penyuluhan pertanian sebagai instrumen untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut, maka diduga kualitas kegiatan penyuluhan pertanian & luar lokasi penelitian adalah rendah. Berdasarkan hasil analisis asosiasi faktor-faktor pribadi yang merupakan komponen-komponen sumberdaya penyuluhan Penyuluh Pertanian dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian (Tabel 4.27) maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor pribadi P P L tidak berhubungan nyata dengan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya penyuluhan pertanian yang dikuasai oleh P P L tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan kerjanya yaitu perubahan kebutuhan, sikap dan perilaku usaha tani petani yang semalun komersial (Tabel 4.39). Berdasarkan hasil analisis regresi berganda dan analisis lintas (Tabel 4.28) disimpulkan bahwa tingkat kualitas kegatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh P P L dipenganrhi oleh motivasi Penyuluh Pertanian, kepribadian Penyuluh Petanian, harga diri Penyuluh Pertanian, kompetensi
Penyuluh Pertanian, kemampuan operasional Penyuluh Pertanian, iklim organisasi, kualitas pemberdayaan Penyuluh Pertanian, kualitas teknologi pertanian, kualitas informasi pertanian, kualitas kebijaksanaan organisasi Penyuluh Pertanian, dan kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian. Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanian saat ini adalah sinergisme antara faktor internal Penyuluh Pertanian, dan faktor lingkungan organisasi dengan faktor kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian. Teori struktural menjelaskan bahwa perilaku tugas Penyuluh Pertanian ditentukan oleh kebijaksanaan organisasinya. Dengan demikian kebjaksanaan organisasi penyuluhan pertanian yang mengatur penugasan dan faktor lain yang mempengaruhi perilaku tugas Penyuluh Pertanian tidak sesuai dengan tuntutan wilayah kerjanya. Tabel 4.31 menunjukkan secara umum efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat rend+. Berdasarkan hasil analisis ragam efektivitas kegatan penyuluhan pertanian antar Provinsi, disimpulkan bahwa tingkat efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat tidak berbeda nyata dalam hal: pemecahan masalah yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan, pengembangan alternatif-alternatif usaha pertanian, peningkatan produksi usaha
tani, pengembangan permodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ketiga, dan peningkatan kompetensi para petani. Hasil analisis efektivitas kegatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komodti perdagangan dan pada sentra produksi komodti subsisten (Tabel 4.32) dapat di simpulkan secara umum rata-rata efektivitas kegatan penyuluhan pertanian relatif lebih rendah pada sentra produksi komoditi perdagangan dan efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi
komodidi subsisten. Hal ini disebabkan oleh kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di sentra produksi komoditi perdagangan lebih rendah dari kualitas kegiatan penyuluhan pertanian di sentra komoQti subsisten (Tabel 4.26). Ratarata efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian pada sentra produksi komoditi perdagangan dan pada sentra produksi komodiQ subsisten di Provinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat, menunjukkan gejala relatif sama. Uraian tersebut mengndikasikan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian, tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan petani di Provinsi Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, baik pada sentra produksi komoditi perdagangan
maupun pada sentra produksi komoditi subsisten. Efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian, disamping Qpengaruhi oleh kualitas kegiatan penyuluhan pertanian, juga dipengaruhi oleh kualitas kebijaksanaan organisasi. Tabel 4.33 menunjukkan bahwa pengaruh kualitas kebijaksanaan organisasi terhadap rendahnya efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian adalah sangat nyata dengan koefesien lintasan atau koefesien regrcsi baku 0, 245. Efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian merupakan refleksi dari perilaku kerja Penyuluh Pertanian untuk memenuhi kebutuhan petani. Hal ini bermakna bahwa makin tingg efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian, maka kegiatan penyuluhan pertanian makin berpihak kepada petani. Tabel 4.36 menggambarkan hasil analisis asosiasi antara faktor-faktor pribadi petani dengan kepuasannya terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanism. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat Qsimpulkan bahwa tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian berhubungan nyata dengan jenis komoditi usaha tani yang diusahakan dan tingkat komersialisasinya. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat kepuasan petani terhadap kegatan penyuluhan pertanian berhubungan nyata dengan perubahan sikap dan perilaku usaha tani petani yang semakin komersial (Tabel 4.39). Perubahan perilaku usaha tani semakin komersial yang merupakan refleksi perubahan
kebutuhan petani, menuntut peran Penyuluh Pertanian, materi dan metode penyu luhan pertanian yang berbeda dari yang biasa dikerjakan oleh Penyuluh Pertanian. Tabel 4.37 menunjukkan bahwa materi penyuluhan pertanian yang disosialisasikan oleh Penyuluh Pertanian kepada petani dan metode penyuluhan yang dipergunakan untuk mensosialisasikan materi-materi penyuluhan pertanian berhubungan nyata dengan tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian. Hasil analisis ini, membuktikan bahwa para petani menghendaki materi
dan metode penyuluhan pertanian yang sesuai permasalahan dan dinamika usaha taninya. Berdasarkan hasil analisis regresi dan lintas antara jenis kebutuhan petani dengan tingkat kepuasannya terhadap kegiatan penyuluhan pertanian, disimpulkan bahwa tingkat kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian ditentukan oleh kemampuan P P L memecahkan pennasalahan-pennasalahan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani dalam ha1 peningkatan pendapatan, pengembangan alternatif-alternatif usaha pertanian, peningkatan produksi us&a tani, pengembangan permodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan solusi, dan metode penyuluhan pertanian yang sesuai dengan pennasalahan yang dihadapi oleh para petani. Kesimpulan tersebut mengndikasikan bahwa: pertama, pola pemikiran, perilaku usaha tani para petani telah bergeser atau telah berubah. Hal ini dapat dilihat dari perubahan kebutuhan petani utama saat ini bukan hanya mernenulu kebutuhan subsisten, tetapi juga kebutuhan pendapatan terutama ketersediaan uang segar dalam rumah tangga nya. Dalam berdiskusi dengan para petani, sering terungkap bahwa uang merupakan alat tukar yang paling mudah dipergunakan untuk memendu dan memuaskan kebutuhan, sekarang asalkan sudah mempunyai uang, membeli beras gampang, beras banyak tersedia di pasar, kapan saja beras bisa dibeli. Di rurnah selalu hams tersedia uang segar, untuk mementh
kebutuhan anak-anak yang sedang bersekolah dan membayar kewajiban dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kedua, peubah-peubah bebas dalam Tabel 4.38, mengndikasikan peta
kognitif para petani telah hbingkai oleh pendapatan. Peta kognitif seperti itu, mempengaruhi persepsi petani tentang nilai suatu kegiatan atau pekerjaan, disamping itu, juga menuntut perubahan peran dan kegiatan penyuluhan pertanian. Berdasarkan peta kognitif tersebut, maka kegiatan penyuluhan pertanian bukan hanya meningkatkan nilai guna bagi petani, tetapi yang lebih penting meningkatkan nilai tambah bagi petani. Perubahan kegatan penyuluhan pertanian dari hanya memberikan nilai guna menjad memberikan nilai tambah bagi petani, menuntut perubahan paradigma penyuluhan pertanian. Untuk meningkatkan nilai guna produk-produk pertanian maka penyuluhan pertanian, harus didukung oleh teknolog dan informasi pertanian yang berkualitas. Kualitas tersebut ditentukan oleh manfaat teknolog dan informasi tersebut
bagi
Penyuluh
Pertanian
dalam
memecahkan
permasalahan-
permasalahan petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam hal: peningkatan pendapatan, pengembangan alternatif-alternatif usaha pertanian, peningkatan produksi usaha tani, pengembangan permodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan solusi, dan metode penyuluhan pertanian yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Dengan kata lain kebutuhan-kebutuhan petani tersebut di atas &pat dipergunakan sebagai landasan dalam perencanaan peralutan teknologi dan pengemasan informasi pertanian. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) sumberdaya penyuluhan yang dikuasai oleh P P L tidak mampu untuk merespon permasalahan dan kebutuhan petani; (2) rendahnya kualitas kegiatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh P P L dipengaruhi oleh motivasi
penyuluh pertanian, kepribadian penyuluh petanian, harga diri penyuluh pertanian, kompetensi penyuluh pertanian, kemampuan operasional penyuluh pertanian, iklim organisasi, kualitas pemberdayaan, kualitas teknolog pertanian, kualitas informasi pertanian, kualitas kebijaksanaan organisasi penyuluh pertanian, dan kompleksitas wilayah kerja penyuluh pertanian; (3) rendahnya kepuasan petani terhadap kualitas kegiatan penyuluhan pertanian berhubungan nyata dengan perubahan sikap dan perilaku usaha tani petani yang semakin komersial; (4) rendahnya kepuasan petani terhadap materi penyuluhan dan metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan berhubungan nyata dengan perubahan sikap dan perilaku usaha tani petani yang semahn komersial; dan (5) rendahnya kepuasan petani terhadap kegatan penyuluhan pertanian ditentukan oleh kemampuan Penyuluh Pertanian memecahkan permasalahan-permasalahanuntuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani dalam ha1 peningkatan pendapatan, pengembangan alternatif-alternatif usaha pertanian, peningkatan produksi usaha tani, pengembangan permodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan mendapatkan saprodi, berhubungan dengan pihak ke tiga untuk mendapatkan solusi, dan metode penyuluhan pertanian yang sesuai dengan dinamika usaha tani para petani. Hasil analisis, gejala-gejala perubahan atribusi dan perilaku petani dalam ranah nilai relatif, pengetahuan, sikap, motivasi dan perilaku usaha tani disajikan dalam Tabel 4.39. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa perilaku usaha tani petani merupakan respon petani terhadap isyarat-isyarat harga dari para pedagang atau isyarat-isyarat harga dari pasar. Keinginan petani untuk meningkatkan pendapatan melalui peningkatan keuntungan usaha tani sebagai pendorong petani merespons isyarat-isyarat harga pasar diwujudkan dalarn bentuk perencanaan usaha tani. Bagi petani kecil motif perilaku usaha taninya bukan hanya tingkat keuntungan, juga kecepatan mendapatkan keuntungan. Dengan demikian
pendorong perilaku usaha tani para petani adalah pendapatan usaha tani dan ketersediaan uang segar sebagai instrumen untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan dirinya dan mempertahankan dirinya. Permasalahan-permasalahan yang menghambat untuk dapat mementh kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: pertama, ketersediaan informasi alternatifalternatif usaha pertanian yang menguntungkan dan mudah dijangkau oleh petani; kedua, mutu informasi yang diperlukan untuk menyusun rencana usaha pertanian
dan untuk memecahkan permasalahan-permasalahannya; ketiga, mutu teknologi untuk mewujudkan rencana usaha pertaniannya yang sesuai dengan kebutuhan petani; keempat, kompetensi petani untuk merespon kecepatan perubahan lingkungan yang mempengaruhi tingkat resiko usaha tani nya; kelima, rasio petani dengan penguasaan lahan yang semakin kecil; keenam, kepastian pasar atas produksi usaha taninya; ketujuh, ketersediaan modal usaha tani; kedelapan, nilai tukar petani yang terus menurun; dan kesembilan kecepatan perubahan kondisi yang terkait dengan pertanian di tingkat lapangan. Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, penelitian ini menyimpulkan bahwa: pertama, kualitas dan efektivitas kegatan penyuluhan pertanian dipengaruhi oleh faktor-faktor internal Penyuluh Pertanian, lingkungan organisasi Penyuluh Pertanian dan perilaku usaha tani para petani; dan kedua, penyuluhan pertanian berada dalam keadaan krisis. Kondisi ini menuntut perubahan peran penyuluhan pertanian, perubahan peran Penyuluh Pertanian, peningkatan kualitas sumberdaya penyuluhan pertanian, perubahan paradigma penyuluhan pertanian, perubahan sistem penyuluhan pertanian, reorientasi fungsi-fungsi yang terkait dengan h g s i penyuluhan pertanian.
Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LAMISE SPP LARIISE merupakan singkatan dari S = Sistem penyuluhan pertanian; P
= Pemberdayaan; P = Pembelajaran;
LA = Latihan; R
=
Rancang bangun; I
=
Informasi; I = Inovasi; S = Sosial; E = Ekonomi. Sistem dapat menunjuk pada suatu "entitas" dan sebagai suatu metode atau cara. Sistem sebagai suatu proses yang diselenggarakan oleh sekumpulan unsur, yang masing-masing unsur itu terpadukan secara fungsional dan operasional guna mencapai suatu tujuan (Arnirin, 1996). Joesoep (1996) mengatakan bahwa sistem sebagai suatu susunan yang berfungsi, terdiri dari bagian-bagian tertentu, yang terletak pada tempatnya sendiri dan mempunyai fungsi masing-masing yang spesifik. Capra (1999) mengatakan bahwa sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil. Dengan demkan daya dan keluaran suatu sistem selalu lebih besar dari penjumlahan daya dan keluaran komponen-komponennya. Menurut Eriyatno (1998), metodologi sistem mempunyai tujuan mendapatkan suatu gugus alternqtif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE dirancang untuk memendu perkembangan kebutuhan-kebutuhan para petani dengan cara memecahkan pernasalahan-pernasalahan pada semua komponen sistem, yang menghambat upaya-upaya memenuhi kebutuhan petani, serta untuk merespon kompleksitas lingkungan kerja penyuluhan pertanian. Dalarn penelitian ini sistem dilihat sebagai suatu entitas dan prosedur. Rekonstruksi berasal dari kata inggns reconstruction yang kata kerjanya to reconstruct berarti to rebuild after destruction or demage; atau to build up a complete description (Longrnan Dictionary of American English, 1983). Dengan
menggunakan arti kata reconstruction yang pertama, maka rekonstruksi sistem penyuluhan pertanian merupakan upaya untuk membangun kembali sistem
penyuluhan pertanian yang sudah tidak efektif. Konsep efektivitas dipergunakan sebagai indikator pengukur tingkat fung- sional suatu sistem untuk memenuhi kebutuhan para pelanggannya. Rekonstruksi sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE llandasi oleh perkembangan atribusi dan perilaku usaha tani para petani serta paradigma baru penyuluhan pertanian. Slamet (2001) mengatakan bahwa paradigma baru penyuluhan pertanian meliputi: (1) penyuluhan pertanian sebagai jasa informasi, (2) lokalitas, (3) berorientasi agri- bisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada kepentingan petani, (6) pendekatan humanistik-egaliter, (7) profesionalisme, (8) akuntabilitas clan (9) memuaskan petani. Capra (1999) mengatakan bahwa paradgrna bukan hanya cara pandang terhadap sesuatu, juga suatu konsepkonsep, nilai-nilai, tekmk-teknik yang digunakan bersama-sama oleh suatu komunitas dan mereka gunakan untuk menentukan keabsahan problem-problem dan solusi-solusinya Dengan demikian dibelakang konsep ada suatu struktur tertentu yang berfungsi sebagai koridor bagi pencarian suatu konsep. Dalam sembilan paradigma baru penyuluhan pertanian yang diungkapkan (Slamet, 2001) terkandung tiga ha1 yaitu konsep, nilai dan teknik. Tiga ha1 ini sebagai koridor dalam merekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian. Keberpihakan kepada petani merupakan sikap dasar dan wujud pertanggungjawaban publik penyuluhan pertanian. Pentingnya dan mendesaknya upaya-upaya rekonstruksi sistem penyuluhan pertanian di Indonesia karena munculnya fenomena-fenomena sebagai berikut: pertam, munculnya pelakupelaku barn penyelenggara penyuluhan pertanian yang potensial sebagai sumberdaya penyuluhan pertanian; kedua, kualitas, efehvitas clan kepuasan petani terhadap kegatan penyuluhan pertanian saat ini yang relatif rendah; ketiga, kecenderungan makin menguatnya perkembangan atribusi dan perilaku para petani seperti sistem nilai, tingkat pengetahuan, sikap, kepribadian dan perilaku
usaha tani ke arah komersial; keempat, penyelenggaraan penyuluhan pertanian
menunjukkan gejala-gejala telah memasuki periode krisis; dan kellma, munculnya tuntutan penyesuian peran penyuluhan pertanian sesuai dengan logika dan sepirit otonomi pemerintahan di daerah. Berdasarkan metodologi membangun suatu sistem yang dikembangkan (Eriyatno, 1998) maka rekonstruksi sistem penyuluhan pertanian dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu: pertama, identifikasi kebutuhan atau motif perilaku usaha tani petani; kedua, memuskan masalah yang mengharnbat pemenuhan kebutuhan atau motif perilaku usaha tani petani; dan ketiga, menganalisis struktur sistem dan penyusunan sistem penyuluhan pertanian. Dengan demikian konstruksi sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE rnasih dalam aras hipotesis yang dibangun melalui proses abduksi, deduksi, devergensi, ekstrapolatif dan sintesis.
Kebutuhan dan Permasalahan untuk Memenuhi Kebutuhan Petani Berdasarkan hasil analisis data kualitatif dapat diidentifikasi kebutuhan atau motif perilaku usaha tani petani baik pada sentra komoditi perdagangan maupun pada sentra komoQti subsisten adalah tingkat pendapatan yang layak dan ketersediaan uang segar sebagai instrumen untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan dirinya dan mempertahankan dirinya. Pernasalahan-pernasalahan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani tersebut adalah: pertama, ketersediaan infornasi alternatif-alternatif usaha pertanian yang menguntungkan dan mudah dijangkau oleh petani; kedua, mutu infornasi yang diperlukan untuk menyusun rencana usaha pertanian dan untuk memecahkan pernasalahan-pernasalahannya; ketiga, mutu teknologi pertanian untuk mewujudkan rencana usaha pertaniannya yang sesuai dengan kebutuhan petani; keempat, kompetensi petani untuk merespon kecepatan perubahan lingkungan yang mempengaruhi tingkat resiko usaha taninya; kelima, rasio petani
dengan penguasaan lahan yang semakin kecil; keenam, kepastian pasar atas produksi usaha taninya; ketujuh, keterselaan modal usaha tani; kedelapan nilai tukar petani yang cenderung menurun; dan kesembilan,; kecepatan perubahan kondisi yang terkait dengan pertanian di tingkat lapangan. Analisis Struktur Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE Dalam analisis struktur sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE digambarkan lagram lingkar sebab alubat yang menjelaskan bagaimana sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE yang akan dibangun dalam menanggulang
permasalahan-permasalahan yang ada dan interaksi antar masing-masing komponen sistem yang terkait dalam sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE. Hasil analisis setruktur Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE lsajikan dalam Gambar 4.10. Sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE, memecahkan masalah ketersediaan informasi yang bemutu, teknologi lokal spesifik, alternatif-alternatif usaha pertanian yang menguntungkan, pemanfaatan peluang pasar bag produkproduk pertanian. Masalah-masalah tersebut dipecahkan melalui proses rancang bangun informasi, rancang bangun inovasi, sosial dan ekonomi. Melalui proses pemberdayaan, pembelajaran dan pelatihan akan tenvujud petani-petani profesional, penyuluh pertanian profesional. Dengan sistem ini kebutuhan petani berupa
peningkatan
pendapatan
dan
ketersediaan
uang
segar
untuk
mengaktualisasikan, mengembangkan diri dan mempertahankan diri dapat terpenulu. Tolok ukur normatif sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE adalah kemanusiaan atau humanisasi para petani. Dengan menerapkan Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE, maka kapasitas petani untuk memafaatkan peluang pasar bagi produk-produknya relatif
+
SPP LARIISE
+
Gambar 4.10. Diagram lingkar sebab akibat penerapan sistem penyuluhan pertrmian SPP LARIISE Keterangan: AURP = Alternatif rencana usaha pertanian; INRUP = Informasi untuk perencanaan usaha pertanian KPSR =-~esesuaianproduk dengan permintaan pasar; KPPSR = Kepastian pemasaran produksi usaha pertanian; KUS = Ketersediaan uang segar; KSJ = Kesenjangan; KPSTK = Kapasitas berkontribusi terhadap pendapatan ash daerah, KPAD = Kontribusi terhadap pendapatan asli daerah, LPP = Legitimasi peranan penyuluhan pertanian; PTNP = Petani profesional; PPL = Pemberdayaan, pembelajaran dan p e l a h , PPP = Penyuluh Pertanian profesional; RF3SE = Rancang bangun sosial ekonomi; RBINBP = Rancang bangun informasi berbasis pasar; RBIVBP = Rancang bangun inovasi berbasis pasar; SPP LARIISE = Sistem penyuluhan pertanian pemberdayaan, pembelajaran, latihan rancang bangun infonnasi, inovasi, sosial clan ekonomi; SKLP = Siklus produksi sesuai kebutuhan pasar; TLSP = Teknologi lokal spesifik.
terjamin karena didukung oleh informasi dan teknolog yang akurat dan Penyuluh
Pertanian Profesional. Disamping itu, dalam jangka waktu relatif panjang kapasitas petani untuk memendu kewajibannya membayar pajak dsb akan
meningkat. Hal ini berarti kontribusi petani pada peningkatan pendapatan asli daerah akan semalun signifikan.
Dengan demikian penerapan Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARUSE, akan menunjukkan posisi dan peranan fungsi penyuluhan pertanian dalam pelaksanaan otonomi pemerintahan daerah.
Diagram Input-output Sistem Penyuluhan Pel-tanian PP LAIUISE Keterkaitan komponen-komponen dalam Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE seperti Gambar 4.10, juga dapat dilihat melalui diagram input-ouput. Dalam diagram ini akan dapat diidentifikasi input yang dapat dikendalikan dan input yang tidak dapat dikendalikan, serta input lingkungan eksternal. Selain itu dapat juga diidentifikasi output yang Qharapkan dan output yang tidak diharapkan. Selanjutnya melalui m e h s m e pengendalian output yang tidak diharapkan &pat dijadikan input terkendali. Diagram input-output penerapan Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARUSE, disajikan dalam Gambar 4.11. Secara umum masalah mendesak dan mendasar yang dihadapi petani adalah tingkat kesejahteraannya yang cenderung makin menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari Nilai Tukar Petani sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani yang cenderung menurun (Tabel 4.1). Masalah peningkatan kesejahteraan para petani menjadi semalun kompleks dengan malun menyempitnya luas penguasaan lahan, makin bertambahnya petani berlahan sempit dan makin bertambahnya jumlah petani tumlusma (Tabel 4.1). Dalam kondisi seperti itu hams ada pergeseran pendekatan dari peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani hanya mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam dengan sumberdaya manusia petani h a n g profesional bergeser ke pendekatan mengandalkan modal
dan sumberdaya manusia petani profesional. Salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut adalah meningkatkan nilai jual dan nilai tambah produk-produk pertanian para petani dengan cara: pertama, memanfaatkan peluang "pasar" yang ada, karena kemampuan petani
Input Tak Terkendali -Pam -Petani -Swasta -Sosil-Budaya -Situasi Ekmomi Makro -Institusi Terkait -Media Massa
Kebijaksanaan Pem. Provinsi Pem. Kabupaten Pem. Kota
\
-Petani Profesional - A W -Informasi Bermutu -Peningkatan Pendapatan -Ketersediaan Uang %gar -Peningkatan Produktivitas Keluarga Tani L.~enyuluhProfesimal,+
k
*
V
Parameter Sistem (PPLARIISE)
\
A
Input Terkendali -Penyuluh Peranian -Teknologi -Informasi -Sarana -Prasarana
J Out Put tidak diharapkan -Konflik Sosial -Kekalahan Petani -Over Pasokan -Kerusakan Lingku -Monopoli Informasi
Pengendalian
Garnbar 4. 11. Diagram input-output penerapan SPP LARIISE di era desentralisasi penyuluhan pertanian
sangat kecil untuk menciptakan pasar bagi produk-produknya. Penyusunan rencana usaha pertanian yang tepat menjadi sangat strategs sebagai upaya meningkatkan pendapatan dan ketersedian uang segar bagi petani; dan kedua menambah kadar teknolog produk usaha pertanian para petani, sehingga produkproduknya mempunyai daya saing. Untuk itu diperlukan infiastruktur teknolog dan infonnasi pertanian yang kuat dan mudah dijangkau baik oleh Penyuluh
Pertanian maupun oleh petani. Era perdagangan bebas baik pada aras regional maupun aras global, kemajuan teknologi traqportasi dan telekomunikasi, menyebabkan arus barang
dan jasa lalu lalang begitu cepat sampai kepelosok-pelosok pedesaan. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sistem pertanian dan petani yang begitu cepat dan tidak terduga. Hal ini menuntut adanya "Penyelenggara Penyuluhan Pertanian Profesional" untuk memfasilitasi dan menjadikan petani profesional, sehingga mampu merespon secara baik perubahan-perubahan yang terjah. Untuk merespon perubahan-perubahan tersebut, petani hams mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi dan teknologi pertanian, menguasai informasi yang akurat, teknologr pertanian lokal spesifik, dan alternatif-alternatif usaha pertanian yang layak diusahakan di desanya masing-masing. Semua kebutuhan petani tersebut harus disiapkan oleh penyelenggara Penyuluhan Pertanian Profesional. Output yang diharapkan dan sistern penyuluhan pertanian PP LARIISE adalah: (1) penyuluh pertanian profesional, petani profesional, informasi pertanian bermutu untuk menyususun perencanaan usaha pertanian, alternatifalternatif usaha pertanian yang layak, peningkatan pendapatan petani dan ketersediaan uang segar tercapai; dan (2) peningkatan profesionalisme keluarga atau rumahtangga petani, sehingga mampu meningkatkan produktivitas usahataninya, meningkat produktivitas anggota keluarga (tenaga kerja dalam sektor pertanian) dengan cara menciptakan jenis pekerjaan baru, memperkecil ratio antara lahan dengan para petani. Output sistem penyuluhan pertanian PP LARIISE akan tercapai, kalau input-znput sistem penyuluhan pertanian PP LARIISE diproses melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan yang berarti memberikan kekuasaan dan tanggung jawab (Capra, 1999) baik kepada penyuluh pertanian maupun kepada para petani. Penyuluh Pertanian harus mempunyai otonomi dan kompetensi yang memadai dan terkini. Dengan demikian Penyuluh Pertanian mempunyai fleksibilitas
untuk merespon perubahan lingkungan strategis yang terjadi di lapangan dan
mengembangkan usaha-usaha pertanian yang menguntungkan bersama petani. Pemberdayaan harus menjadi paradigma para penyelenggara penyuluhan pertanian, sehingga muncul sinergisme kegiatan penyuluhan pertanian yang berpihak kepada para petani. Pemberdayaan bukan hanya kepada Penyuluh Pertanian, tetapi juga kepada petani, sehingga para petani sadar pada hakhaknya sebagai warga negara. Pemberdayaan mempercepat proses emansipasi kognitif para petani. Proses pemberdayaan dalarn sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE meliputi: (1) proses pemberdayaan, yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada petani, masyarakat tani, Penyuluh Pertanian agar menjadi lebih berdaya; dan (2) proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi petani, agar mempunyai kemampuan untuk menentukan, apa yang menjad pilihan hidupnya melalui proses dialog. Sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE, bukan merupakan wujud kekuasaan, tetapi wujud sistem pelayanan kepada para petani dan penyelenggara penyuluhan pertanian. Kekuasaan atau daya yang dimiliki sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE, menjadi bagian serta fungsi dari aktualisasi eksistensi para petani, masyarakat tani dan koeksistensi antara petani
dengan penyelenggara penyuluhan
pertanian. Manusia dan
kemanusiaan yang menjadi tolok ukur sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE. Sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE menempatkan petani sekaligus mengembangkan dayanya sebagai titik sentral di dalarn sistem pembangunan pertanian yang manusiawi. Dengan demikian landasan idiil sistem penyuluhan pertanian SPP LARTISE adalah kemanusiaan (people driven) yang artinya operasionalisasi sistem penyuluhan pertanian SPP
LARIISE, dimulai dari kebutuhan dan kemampuan para petani.
Dalam sistem penyuluhan pertanian PP LARTISE, menempatkan keluarga atau rumah tangga sebagai sumber utama pemberdayaan. Menurut Friedman (Pranarka dan Moeljarto, 1996), rumah tangga atau keluarga mempunyai tiga macam kekuatan yaitu: kekuatan sosial, politik dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu seprti informasi, pengetahuan dan keterampilan. Kekuatan politik meliputi akses setiap anggota keluarga terhadap proses pembuatan keputusan, terutama keputusan yang mempengaruhi masa depan mereka. K e h t a n psikologi digambarkan sebagai rasa potensi individu yang menunjukkan perilaku percaya diri. Pemberdayaan mendorong terjadinya perubahan sosial dan sebagai alat untuk mencapai tujuan (Hulme dan Tuner, 1990; Sen dan Grown, 1987 dalam Pranarka, Moeljarto 1996).
(2) Pembelajaran yang mengandung makna aktivitas yang produktif, sikap mandiri, h t i s , bebas dan kesetaraan kedudukan antara penyelenggara penyuluhan pertanian dengan petani. Tidak ada yang mengubah dan diubah, tetapi sama-sama berubah. Pembelajaran baik kepada penyelenggara penyuluhan pertanian maupun kepada petani. Potensi-potensi yang dimiliki petani harus dilihat sebagai sumberdaya belajar. Penyelanggara penyuluhan pertanian memfasilitasi proses petani belajar, meningkatkan kemampuan petani belajar
(capacity building),
dan
menumbuhkan pusat-pusat
pembelajaran bagi petani di pedesaan. Proses pembelajaran lebih manusiawi, menyentuh domain kognitif, afektif, konatif, dan kepribadan petani. Pembelajaran dapat memecahkan kendala-kendala sosial yang masih ada di dalam diri petani sendiri, dan meningkatkan harkat, martabat para petani. Pembelajaran dan pemberdayaan menjadikan petani semakin otonom untuk menolong dirinya sendiri. (3) Latihan yang berarti belajar mengerjakan, bukan belajar tentang baik bagi
penyelenggara penyuluhan pertanian maupun kepada para petani. Belajar
tentang artinya belajar teori dan hanya menyentuh ranah kognitif. Belajar tentang dapat dilaksanakan di kelas. Belajar mengerjakan atau latihan tidak bisa dilaksanakan di kelas tetapi hanya dapat dilaksanakan di lapangan. Belajar mengerjakan menyentuh ranah kognitif, afektif dan konatif Motif utama petani belajar adalah untuk hidup. Perubahan sikap dan kepribadian petani paling efektif terbentuk, melalui proses belajar mengalami.
(4) Rancang Bangun Informasi dan Inovasi. Rancang bangun mengandung makna ana litis, sintetis, padu, holistik, siap pakai, menjanjikan dan lokal spesifik. Rancang bangun mengandung makna bagi Penyuluh Pertanian yang proaktif mencari, menggali informasi dan inovasi, serta sebagai produsen informasi dan inovasi. Rancang bangun artinya merencanakan dan membangun sesuatu dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Melalui kegiatan rancang bangun semua inforrnasi, inovasi yang ditawarkan kepada para petani berupa alternatif-alternatif dalam bentuk sintesa yang holistik, padu, antisipatif dan lokal spesifik berdasarkan kebutuhan para petani dan pasar. Penyuluh pertanian, peneliti, widyaiswara, guru, pelaku agribisnis, petani adalah pelaku penyuluhan pertanian. (5) Rancang Bangun Sosial dan Ekonomi. Pelaku-pelaku penyuluhan pertanian
membangun dan mengembangkan bisnis pertanian berdasarkan sumberdaya lokal, mendekatkan dan menjamin kepastian pasar dan memberikan perlindungan dari resiko kegagalan usaha. Membangun pranata-pranata sosial
dan ekonomi yang sesuai dengan budaya lokal, untuk memfasilitasi pemberdayaan p m petani. Merancang dan membangun modal sosial untuk menjamin efektivitas interaksi sosial dengan berbagai pihak dalam memberdayakan para petani.
Konstruksi Hipotesis Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE Konstruksi hipotesis
Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE,
menggambarkan hubungan dan peranan masing-masing komponen sistem dalam mewujudkan petani profesional, informasi dan inovasi pertanian yang bermutu dan alternatif-alternatif usaha pertanian yang menguntungkan, sebagai upaya
meningkatkan pendapatan dan menjamin ketersediaan uang segar pada rumah tangga petani. Hubungan-hubungan antar komponen sistem adalah dalam ha1 informasi dan inovasi. Dengan demikian Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE menjadi organisasi pembelajaran bagi semua pelaku penyuluhan pertanian dalam upaya pemutahiran (up dating) kompetensinya secara berkesinambungan. Konstruksi hpotesis Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE disajikan
dalam Gambar 4.12. Petani sebagai pusat kegiatan Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE dengan peranan masing-masing komponen sebagai berikut:
(1) Pelaku agrbisnis (keluarga tani, kelompok tani, kelembagaan ekonomi petani, pelaku agribisnis non petani) berperanan menyedakan teknolog dan informasi untuk perencanaan usaha pertanian bagi petani lainnya, menyediakan tempat belajar, tempat adaptasi dan peralutan teknologi lokal spesifik dan memfasilitasi proses belajar petani lainnya;
(2) Lembaga
pembelajaran
petani
swakarsa
berperan
memfasilitasi,
menyeleng- garakan pembelajaran bag petani dan pelaku agnbisnis, kafetaria informasi dan inovasi agribisnis di pedesaan, memfasilitasi pengembangan teknologi
lokal
spesifik,
mengembangkan
percontohan-percontohan
agnbisnis; (3) Penyuluh Pertanian berperanan menganalisis, menyaring informasi,
memfasilitasi proses pembelajara petani, mensintesis informasi dan teknologi menjadi alternatif-alternatif usaha pertanian, merekayasajaringan ekonomi
LEMBAGA KEUANGAN
+ PASAR
Gambar 4. 12. Konstruksi hipotesis Sistem Penyulubaa Pertanian SPP LARIISE.
dan sosial, merencanakan usaha-usaha pertanian yang menguntungkan, merakit teknologi lokal spesifik bersama petani, pelaku agribisnis dan peneliti, mengembangkan dan memberdayakan tempat-tempat pembelajaran petani di pedesaan;
(4) Lembaga agribisnis berperan sebagai sumber teknologi dan informasi, jasa konsultasi, memfasilitasi proses pemberdayaan penyuluhan pertanian dan pemberdayaan para petani, informasi untuk perencanaan, permodalan, dan informasi pasar;
(5) Lembaga penelitian pertanian berperanan mengembangkan kualitas surnberdaya manusia penyelenggara penyuluhan pertanian dengan cara melibatkan dalam proses perakitan teknologi dan melatih para penyelenggara penyuluhan pertanin secara teratur dan terpola, mensintesis dan merakit teknologi lokal spesifik berbasis kebutuhan petani dan pasar, menyediakan sintesa teknologi untuk perencanaan usaha pertanian, membangun dan memfasilitasi pusat-pusat belajar bagi petani di pedesaan, menyediakan informasi bermutu di pedesaan untuk perencanaan dan pengembangan usaha pertanian; (6) Lembaga pelatihan pertanian mengidentifikasi kebutuhan materi pelatihan,
kurikulum pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan petani bagi Penyuluh Pertanian, melaksanakan pelatihan yang berkesinambungan baik di dalam institusi atau keliling ke Balai Penyuluhan Pertanian, memberdayakan lembaga pembelajaran petani swakarsa, lembaga ekonomi petani, kelompok tani, pelaku agribisnis; (7) Lembaga pendidikan pertanian menyiapkan tenaga penyuluh pertanian
profesional, memfasilitasi pemberdayaan lembaga pembelajaran petani swakarsa, keluarga tani, kelompok tani, lembaga ekonomi petani bersama Penyuluh Pertanian;
(8) Pengaturan dan Pelayanan berperanan menciptakan pasar, mendekatkan pasar, menyediakan informasi bermutu untuk perencanaan usaha pertanian (permintaan pasar, luas tanam suatu komoditi, harga pasar dsb), membuat kebijaksanaan yang kondusif bagi petani, memfasilitasi permodalan, mempromosikan
produk-produk
pertanian,
memfasilitasi
proses
pemberdayaan Penyuluh Pertanian dan petani, memfasilitasi pengembangan pusat-pusat pembelajaran bagi petani; (9) Pasar menyediakan informasi bermutu untuk perencanaan usaha pertanian
dan pemasaran hasil-hasil pertanian (permintaan pasar tentang jenis komoditi, jumlah permintaan, waktu permintaan suatu komoditi, harga permintaan, mutu produk-produk pertanian, harga komoditi harian). Pasar bukan hanya berarti fisik, tetapi juga tempat terjadinya proses interaksi antara penjual dengan pembeli. Dalam sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE, pasar dalam artian yang lebih luas; ( 10)
Media massa berperanan memfasilitasi penyebaran materi-materi
penyuluhan pertanian, memfasilitasi interaksi antar penyelenggara penyuluhan pertanian dengan para petani, mempromosikan hasil-hasil pertanian, mempengaruhi dan membentuk pendapat umum untuk mendapatkan dukungan dalam pengembangan penyuluhan pertanian; (1 1)
Lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai sumber teknolog dan
informasi, jasa konsultasi, memfasilitasi proses pemberdayaan penyuluhan pertanian dan pemberdayaan para petani, informasi untuk perencanaan, permodalan, dan informasi pasar; (12)
Lembaga keuangan berperan memberikan informasi-informasi yang
berkaitan dengan prosedur, produk-produk keuangan yang bermanfaat bagi petani, memfasilitasi pemberdayaan lembaga ekonomi petani, pelaku agribisnis; (13)
Pengaturan dan pelayanan sektor lain berperan sebagai sumber
informasi tentang fasilitas-fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan Penyuluh Pertanian, keluarga tani, lembaga ekonomi petani, pelaku agribisnis;
Prakondisi Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE Operasionalisasi secara optimal Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE memerlukan beberapa prakondisi. Solahudin dan Pramudya (1997) mengatakan bahwa menurut perannya prakondlsi dapat dibagi menjadi syarat keharusan
(necessary condition) clan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat Keharusan (necessary condition) Syarat keharusan adalah suatu kondisi minimum yang harus ada agar Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE dapat berjalan optimal. Syarat keharusan Sistem Penyuluhan PP LARUSE adalah: (1) Kesamaan paradigma para penyelenggara penyuluhan pertanian. Kesarnaan paradigma penyuluhan pertanian setiap penyelenggara penyuluhan pertanian menentukan kesamaan sikap dan orientasi kegiatan penyuluhan pertanian para petani. Slamet (2001) mengemukakan bahwa paradigma baru penyuluhan pertanian yaitu: (1) penyuluhan pertanian sebagai jasa infonnasi,
(2) lokalitas, (3) berorientasi agnbisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada
kepentingan
petani,
(6)
pendekatan
hurnanistik-egaliter, (7)
profesionalisme, (8) akuntabilitas, dan (9) memuaskan petani; (2) Penyelenggara
penyuluhan
pertanian
profesional.
Penyelenggara
penyuluhan pertanian adalah semua institusi yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan fungsi penyuluhan pertanian. Terrninolog profesional mengandung dua konsep yaitu: konsep kompetensi dan konsep etika. Muara konsep profesional adalah adanya pengakuan dari orang yang dilayani (klient, pelanggan). Pengakuan klient muncul karena kompetensi dan kepribahan atau sifat-sifat luhur yang melekat pada diri orang profesional. Konsep profesional mengandung makna kepuasan klient atau pelanggan terhadap layanan yang diberikan oleh orang profesional. Kepuasan pelanggan tercapai jika kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi. Berdasarkan analisis perilaku
usahatani para petani di Propinsi Jawa Timur, Lampung dan Nusa Tenggara Barat, maka penyuluh pertanian harus mempunyai kompetensi dalam hal: (1) Sistem sosial setempat, (2) Perilaku petani (3) Analisis sistem, (4) Analisis data, (5) Merancang pendekatan penyuluhan, (6) Perencanaan usaha pertanian, (7) Manajemen Teknolog, (8) Ekonomi nunah tangga, (9) Mengembangkan teknologi lokal spesifik, (10) Memahami cara petani belajar, (1 1) Pengem bangan kelompok dan organisasi, (12) Perilaku pasar, (13) Peta kognitif petani, ( 14) Teknologi produksi, (15) Teknologi pasca panen, (16) Usaha tani sebagai bisnis, dan (17) Proses pembangunan pertanian. Sifat atau kepribadian penyuluh pertanian adalah: (1) kejujuran, (2) ketulusan hati, (3) bertanggung jawab, (4) melayani, (5) memuaskan kebutuhan petani, dan (6) kesediaan terus belajar; (3) Otonomi penyuluh pertanian. Otonomi penyuluh pertanian adalah wewenang yang dimilki oleh penyuluh pertanian untuk memutuskan bersama petani hal-ha1 yang terbaik untuk meningkatkan pendapatan para petani. Otonomi penyuluh pertanian akan menyebabkan terjadinya fleksibilitas Sistem Penyuluhan Pertanian untuk merespon perubahan-perubahan yang terjadi. Berdasarkan kecepatan perubahan-perubahan yang teramati di lapangan, maka otonomi penyuluhan pertanian berada di tingkat Kecamatan;
(4) Teknologi lokal spesifik. Teknlogi lokal spesifik adalah teknologi yang sesuai dengan kodisi biofisik setempat, kondisi sosial ekonomi dan kebutuhan petani. Teknologi hams tersedia setiap saat dan mudah dijangkau oleh para Penyuluh Pertanian maupun oleh para petani. Ketersediaan teknologi dalam bentuk sintesa-sintesa yang dapat dipergunakan untuk memecahkan kendalakendala untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para petani. Teknologi lokal spesifik yang dikembangkan harus holistik, padu, dan ekologis sesuai dengan peta kognitif petani terhadap surnberdaya yang dikuasai;
( 5 ) Informasi harus dapat Qmanfaatkan untuk menyususun rencana usaha
pertanian yang layak secara ekonomi. Infomasi harus bermutu dengan kriteria akurat, tepat waktu, terpercaya, tersedia setiap saat, mudah dijangkau oleh Penyuluh Pertanian dan petani. Informasi berbasis pasar dalam bentuk analisis dan sintesa-sintesa; (6) Biaya
operasional penyuluhan
pertanian
yang
memadai
akan
memperlancar mekanisme kerja Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE; (7) Kejelasan tanggung jawab. Penyuluh pertanian harus mempunyai tanggung
jawab yang jelas. Tanggung jawab penyuluh pertanian hanya memberdayakan para petani seperti memfasilitasi petani belajar, memfasilitasi petani dalam proses pengambilan keputusan; (8) Sarana penyuluhan pertanian sangat Qperlukan oleh Penyuluh Pertanian untuk memfasilitasi pengembangan kompetensi dirinya clan memfasilitasi petani belajar; (9) Sarana kerja penyuluh pertanian. Dengan bervariasinya jenis usaha pertanian para petani dan perubahan waktu kerja para petani, ketersediaan sarana kerja penyuluh pertanian sangat menentukan kelancaran kerja Penyuluh Pertanian.
Syarat Kecukupan (suflcient condition). Syarat kecukupan adalah lingkungan yang memperlancar mekanisme kerja Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE. Syarat kecukupan meliputi hal-hal: (1) Kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan pembangunan pertanian yang
lebih memotivasi petani dalam mengembangkan usahataninya
dan
memberikan kepercayan kepada petani untuk merencanakan usaha pertaniannya, memberikan wewenang yang lebih besar kepada para penyuluh pertanian untuk memenuhi kebutuhan para petani dan mengembangkan usaha pertanian yang layak di wilayah kerjanya masing-masing akan meningkatkan fleksibilitas Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE dalam merespon
perubahan lingkungan. Kebijaksanaan seperti itu merupakan proses pendidikan untuk mendewasakan penyuluh pertanian, masyarakat tani. Munculnya fenomena relatifitas nilai di dalam masyarakat makin meluas sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Fenomen tersebut menuntut masyarakat yang dewasa sehngga tepat melakukan pilihanpilihan;
(2) Situasi perekonomian makro. Keputusan-keputusan usaha pertanian para petani sangat di penganh oleh isyarat-isyarat pasar. Persepsi petani tentang korespon- densi inovasi, sangat diwarnai oleh kelayakan harga dari output inovasi tersebut. Tingkat korespondensi inovasi sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian. Secara tidak langsung situasi perekonomian makro, membantu meningkatkan kepercayaan petani terhadap kompetensi penyuluh pertanian; (3) Infra struktur. Operasionalisasi Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARRIISE memerlukan dukungan infrastruktur yang memadai. Sarana jalan dan transportasi dari produsen sampai ke konsumen harus tersedia dengan baik dan layak secara ekonomis;
(4) Dukungan fungsi lain. Pengembangan Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE memerlukan dukungan fungsi-fungsi lain seperti fungsi penelitian, informasi, pasar, pengaturan dan pelayanan. Fungsi-fungsi ini yang akan memfasilitasi jalannya Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE. Untuk menjamin sinergisme kerja maka masing-masing pelaksana harus mempunyai sikap yang sama terhadap petani; (5) Berkelanjutan. Dari sudut pandang sistemik Brown 1981 (Capra, 2001)
mendefinisikan berkelanjutan (sustainable) sebagai sebuah masyarakat yang mampu mempertahankan kehidupan yaitu mampu memuaskan kebutuhankebutuhannya, tanpa mengurangi prospek generasi-generasi masa depan. Mengakomodasikan konsep Brown kedalam konsepsi penyuluhan pertanian,
maka rekonstruksi sistem penyuluhan pertanian SPP LARIISE bermakna bukan hanya untuk mengatasi permasalahan jangka pendek tetapi untuk membangun generasi masyarakat tani masa depan. Konsep pertanian yang bermula berorientasi pada pemacuan produksi semata, perlu diubah menjadi pertanian yang dipacu oleh permintaan pasar. Dengan demikian produknya harus dapat dijual secara berkelanjutan di pasar. Kesadaran adanya tuntutan pasar terhadap produk pertanian hams dimililu oleh semua pelaku Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE. Berkelanjutan dalarn usaha pertanian mengandung arti pengendalian agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya alarn secara berlebihan, dan tidak terjadi perusakan lingkungan; (6) Lembaga permodalan. Pengembangan Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE memerlukan dukungan lembaga permodalan formal maupun lembaga permodalan nonformal yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya para petani, dan dikembangkan oleh para petani sendiri. Dukungan lembaga permodalan tersebut sangat membantu mewujudkan perencanaan usaha para petani.
Implementasi Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARZISE Mekanisme kerja Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE dimulai dari mutu, sehingga pelaku agribisnis sebagai pelanggannya merasa puas terhadap jasa penyuluhan pertanian yang diberikan. Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE chdukung oleh dua inrastruktur yaitu infrastruktur pemberdayaan sumberdaya manusia pertanian dan infiastruktur teknolog. Mekanisme kerja Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE, seperti Gambar 4.13 adalah sebagai berikut: (1) Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE dimulai dengan menganalisis,
mengdentifikasi kebutuhan pelaku agnbisnis dan kebutuhan pasar.
Berdasarkan kebutuhan-kebutuhan tersebut, sistem penyuluhan pertanian PP LARIISE merancang jasa-jasa penyuluhan pertanian;
(2) Pelaku agribisnis dalam mencapai tujuan hidupnya mentransformasikan input dalam ha1 ini sumberdaya alam menjadi output yang Qperlukan oleh pasar. Peranan teknologi sangat penting dalam mentransformasikan input menjadi output (Sa'id et al., 2001). Dalam sistem penyuluhan ini teknologi diberikan spektnun yang lebih luas yaitu segala daya upaya yang dapat dilaksanakan oleh manusia untuk mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan kadar teknologi pada produk-produk pelaku agribisnis. Teknologi merupakan komponen yang sangat esensial dalam sistem penyuluhan pertanian PP LARIISE; (3) Komponen teknologi yang Qperlukan dalam mentransformasikan input menjadi output adalah technoware yaitu teknologi yang benvujud fisik. Komponen ini yang memberdayakan fisik manusia dan mengontrol kegiatan operasi transformasi; humanware yaitu teknologi yang benvujud kemampuan manusia, misalnya keterampilan, pengetahuan, kreativitas dsb. Komponen ini yang memberikan ide pemanfaatan sumberdaya alam dan teknologi untuk keperluan produksi; infoware yaitu teknologi yang benvujud dokurnen fakta. Seperti informasi pasar dsb. Komponen ini yang mempercepat proses pembelajaran, mempersingkat waktu
operasional, dan
penghematan
sumberdaya (Sharif 1993 dalam Sa'id et al. 2001);
(4) Technoware dun infoware (data base) adalah produk infrastruktur teknologi melalui proses rancang bangun dengan mempertimbangkan kebutuhan pelanggan. Dalam sistem penyuluhan pertanian PP LARIISE diperlukan infiastruktur teknologi yang kuat. Infrastruktur teknologi terdiri atas Perguruan Tinggi, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian di daerah, Penelitian Pengembangan Swasta (Pelaku agribisnis);
LEMBAGA KEUANGAN
..\.. . .a
....:: = Iniiastruktur pemberdayaan SDM Pertanian C')= I n i i a s teknologi ~ dan komponen teknologi.
Keterangan:
Gambar 4.13. Mekanisme kej a hipotesis Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE.
(5) Infrastruktur teknologi dalam sistem penyuluhan pertanian PP LARIlSE akan
kuat, kalau ada iklim teknologi yang kondusif. Iklim teknologi merupakan komitmen Pemerintah terhadap pengembangan teknologi dan mekanisme untuk mengintegrasikan kebijakan teknologi. Disamping infrastruktur teknologi dan pemberdayaan SDM pertanian yang kuat, sistem penyuluhan
pertanian harus mempunyai kemampuan teknologi yang memadai. Sa'id et al.
(2001) mengatakan kemampuan teknologi digunakan dalam aktivitas akuisisi sumberdaya eksternal dan menciptakan sumberdaya internal; (6) Infiastruktur teknologi dan pemberdayaan SDM pertanian yang meningkatkan
kualitas humanware pelaku agribisnis secara langsung melalui proses pemberdayaan, pembelajaran, latihan, rancang bangun informasi, inovasi, sosial, dan ekonomi; (7) Infrastruktur teknologi dan pemberdayaan SDM pertanian meningkatkan
kualitas lembaga penyuluhan pertanian Q Kecamatan, Q Kabupaten, lembaga pembelajaran petani swakarsa, lembaga agribisnis melalui pembelajaran keliling, melibatkan dalam perakitan teknologi, memasok infoware yang kontinyu dan memadai.
Langkah-Langkah Operasionalisasi Sistem Penyuluhan Pertanian SPP LARIISE (1) Sosialisasi Sistem Penyuluhan Pertanian PP LARIISE, yang meliputi latar
belakang, paradigma sistem, ideologi sistem, input sistem, proses sistem, output sistem, kepada institusi lingkup pertanian tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, Perguruan Tinggi, dan sektor lain yang terkait;
(2) Inventarisasi sumberdaya penyuluhan pertanian yang dimiliki dan dikuasai oleh semua institusi yang terkait dengan penyuluhan pertanian; (3) Pemberdayaan, pemutahran, dan peningkatan profesionalisme pranata sumberdaya manusia & tingkat Provinsi;
(4) Pemberdayaan, pemutakhiran, dan peningkatan profesionalisme pranata atau infrastruktur teknologi di tingkat Provinsi; (5) Pembangunan, pemberdayaan dan pemutakhiran data base pertanian Q Balai
Pengkajian Teknolog Pertanian (BPTP), serta mengembangkan mekanisme
kerja jaringan, diseminasi informasi melalui bebagai media komunikasi secara teratur, dan memanfaatkan informasi dari data base di BPTP; (6) Mengamati, mempelajari, memaharni perkembangan perilaku para petani lingkungan strategis, kebijaksanaan pemerintah , pasar secara teratur sebagai dasar untuk memutakhirkan data base, mengembangkan profesionalisme pelaku penyuluhan pertanian, mengembangkan kompetensi para petani; (7) Membangun, memberdayakan pranata pembelajaran swakarsa bagi para
petani, dan calon petani, serta mengembangkan pranata pembelajaran tersebut menjadi pusat informasi dan teknologi pertanian di pedesaan; (8) Memformulasikan dan mengembangkan paket pelatihan bagi penyuluh pertanian menjadi tiga kategori yaitu pelatihan dasar, pelatihan lanjutan, dan pelatihan ahli. Berdasarkan hasil penelitian ini, kurikulum dan silabus paket pelatihan tersebut disusun atas dasar 17 kompetensi yang diperlukan oleh Penyuluh Pertanian untuk memendu kebutuhan para petani. Kompetensi tersebut terdiri atas kompetensi dalam hal: (1) Sistem sosial setempat, (2) Perilaku petani (3) Analisis sistem, (4) Analisis data, (5) Merancang pendekatan penyuluhan, (6) Perencanaan usaha pertanian, (7) Manajemen Teknologi, (8) Ekonomi rumah tangga, (9) Mengem- bangkan teknologi lokal spesifik, (10) Memahami cara petani belajar, (1 1) Pengembangan kelompok dan organisasi, (12) Perilaku pasar, (13) Peta kognitif petani, (14) Teknolog produksi, (15) Teknologi pasca panen, (16) Usaha tani sebagai bisnis, dan (17) Proses pembangunan pertanian. Kurikulurn paket pelatihan dasar dan
lanjutan bagi Penyuluh Pertanian terdiri atas 17 belas kompetensi, dengan kedalaman materi yang berbeda. Paket latihan ahli bagi Penyuluh Pertanian terdiri atas beberapa paket yaitu: paket latihan ahli perencanaan bisnis pertanian, ahli perancangan sistem dan pendekatan penyuluhan pertanian lokal spesifik, ahli peningkatan produk tivitas petani, ahli manajemen teknologi, ahli pengembangan, pemberdayaan pranata sosial dan ekonomi
pedesaan, ahli analisis sistem dan lingkungan strategis. 17 kompetensi tersebut di atas tidak harus dimililu dan dikuasai oleh seorang Penyuluh Pertanian, tetapi merupakan kompetensi yang minimal hams dikuasai oleh penyuluhan pertanian dan harus ada pada setiap wilayah kerja Balai Penyuluhan Pertanian atau wilayah Kecamatan. Disamping itu 17 kompetensi penyuluhan pertanian tersebut di atas dapat dipertimbangkan sebagai dasar pengembangan kurikulum pada lembaga-lembaga pendidikan formal bagi para penyuluh pertanian; (9) Memutakhirkan dan mengembangkan profesionalisme para penyuluh pertanian di Provinsi, Kabupaten dan lapangan secara teratur dengan cara dipanggil mengikuti latihan di Balai Latihan Pertanian atau melalui pelatihan keliling, melibatkan secara penuh dalam proses peralutan teknolog lokal spesifik; (10)
Memberdayakan pranata penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten,
kecamatan melalui pasokan informasi dan teknologi pertanian yang mutakhir, akurat secara teratur, serta meningkatkan profesionalismenya dalam mengidentifikasi, mencari, mendapatkan informasi dan teknologi pertanian lokal spesifik;
(11)
Mengamati, mempelajari dan memahami perkembangan kebutuhan dan
peta kognitif para petani terhadap sumberdaya alamnya, dengan cara menganalisis perilaku usaha tani para petani seperti: jenis pekerjaan dalam berusaha tani, penggunaan sumberdaya, jenis pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kegiatan yang seharusnya dikerjakan dsb. Peran tersebut dilaksanakan, baik oleh Penyuluh Pertanian Lapangan maupun oleh Penyuluh Pertanian Kabupaten dan Provinsi. PPL memanfaatkan data tersebut untuk merancang pendekatan penyuluhan pertanian lokal spesifik. Penyuluh Pertanian Kabupaten dan Provinsi menggunakan data tersebut untuk merancang pemutakhiran kurikulum dan silabus pelatihan bag P P L;
.
(12)
Mengamati, mempelajari dan memahami perkembangan petani belajar
seperti: cara petani mengembangkan kompetensinya, jenis informasi dan teknologi yang dicari, tempat mencari informasi dan teknologi, karakteristik preferensi tempat petani mencari informasi. Peran tersebut dilaksanakan baik oleh P P L maupun oleh Penyuluh Pertanian Kabupaten dan Provinsi. P P L memanfaatkan data tersebut untuk merancang pendekatan penyuluhan pertanian lokal spesifik. Penyuluh Pertanian Kabupaten dan Provinsi menggunakan data tersebut untuk merancang pemutakhiran kurikulurn dan silabus pelatihan bagi P P L; (13)
Berdasarkan perkembangan cara petani belajar, maka ditentukan proses
fasilitasi dan fasilitas yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas petani belajar; (14)
Berdasarkan hasil analisis petani belajar, kebutuhan, dan peta kognitif
para petani, maka dapat dtentukan peran-peran yang sebaiknya dlaksanakan oleh Penyuluh Pertanian; (15)
Berdasarkan hasil analisis langkah (1 1) sampai dengan langkah (14) dapat
ditentukan jenis kebijaksanaan yang sesuai dengan kebutuhan para petani.