HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Peninjauan terhadap keadaan wilayah sub-DAS Citarum Hulu dimaksudkan untuk memberikan informasi umum tentang lokasi penelitian. Ada 6 karakteristik DAS utama yang dibutuhkan oleh model MWSWAT sebagai input data maupun pembanding pada proses validasi. Karakteristik tersebut antara lain; (1) kondisi fisiografi DAS; (2) iklim; (3) kondisi hidrologi DAS; (4) penggunaan lahan; (5) karakteristik tanah, dan (6) sedimentasi. 1. Kondisi Fisiografi Sub-DAS Citarum Hulu adalah salah satu bagian dari DAS Citarum dan terletak di bagian paling hulu dari aliran Sungai Citarum. Sungai Citarum merupakan sungai induk sepanjang 269 km yang bermula di Situ Cisanti di daerah Gunung Wayang, dan mengalir melalui 9 kabupaten (Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Cianjur, Kab. Purwakarta, Kab. Karawang, Kab. Bekasi, Kab. Subang, Kab. Indramayu, Kab. Sumedang) dan 3 kota (Kota Bekasi, Kota Bandung dan Kota Cimahi). Sungai Citarum bermuara di Muara Gembong, Kab. Karawang. Di sungai tersebut terdapat 3 waduk yaitu Jatiluhur (1963), Saguling (1986) dan Cirata (1988). Ketiga waduk ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan dan salah satunya adalah sebagai PLTA yang menghasilkan tenaga listrik 1400 MW. Di bidang pertanian, Sungai Citarum dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanian seluas 420000 ha (http://www.citarum.org, 2010). Sub-DAS Citarum Hulu yang dijadikan wilayah penelitian berada pada 7o3`7`` – 7o14`56`` LS dan 107o 37` 41`` – 107o 48` 43`` BT. Ditinjau dari batas administrasinya, di sebelah selatan dan timur sub-DAS Citarum Hulu berbatasan dengan Kabupaten Garut, sedangkan di sebelah utara dan barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Menurut data spasial yang diperoleh dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI – Bogor, kawasan sub-DAS Citarum Hulu yang diteliti termasuk kedalam bagian sub-DAS Hulu yang lebih besar. Garis batas sub-DAS daerah penelitian tidak tepat berimpit dengan batas DAS Hulu Citarum milik Limnologi – Bogor, hal ini
disebabkan perbedaan penggunaan software GIS dalam mendelineasi batas subDAS. Sebagian kawasan Hulu Citarum juga pernah dikaji oleh Yusuf (2010), di lokasi DAS Cirasea menggunakan model MWSWAT. Titik outlet sungai yang digunakan adalah PDA Cirasea – Cengkrong, sehingga apabila titik outlet PDA Cirasea – Cengkrong dan titik outlet PDA Majalaya didelineasi posisinya bersebelahan dengan sedikit terjadi overlap (bertumpangan). Delineasi kedua titik outlet tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Lokasi sub-DAS penelitian terhadap sub-DAS Cirasea Sub-DAS observasi berada pada rentang elevasi 670 – 2591 mdpl. Sebagian besar merupakan dataran tinggi yang berada pada 1000 – 2000 mdpl sebanyak 75% dari luas keseluruhan dan sisanya adalah daerah perbukitan bergelombang. Kondisi tersebut adalah wajar, mengingat lokasinya yang dikelilingi deretan pegunungan. Aliran sungai bermula dari deretan pegunungan di Kab Bandung bagian selatan. Di sebelah barat terdapat Gunung Wayang (2162 m) dan Gunung Malabar (2321 m), di sebelah selatan terdapat Gunung Kencana (2182 m) dan
Gunung Kendeng (2608 m), sedangkan di sebelah timur terdapat punggungpunggung tak beraturan akibat intrusi yang berujung di Gunung Guntur (2248 m). Kawasan dikelilingi oleh deretan pegunungan tersebut berdampak pada hampir semua anak sungai yang berinduk di Citarum mempunyai lereng terjal dan jalur yang pendek. Sifat tersebut berbeda dengan sifat aliran sungai utamanya. Kondisi kemiringan lereng sangat memengaruhi karakteristik hidrologi. Air hujan yang jatuh ke tanah akan cepat terkonsentrasi dan dengan sistem drainase yang lambat mengakibatkan potensi terjadinya banjir di hulu. Sub-DAS Citarum Hulu memiliki dataran rendah di bagian hilir yang mengarah ke tengah cekungan Bandung yang dikelilingi deretan pegunungan. Visualisasi kondisi topografi subDAS pada Gambar 16.
Gambar 16. Peta topografi sub-DAS Citarum Hulu Sub-DAS Citarum hulu memiliki kondisi kemiringan lereng berkisar antara datar hingga sangat curam, dengan rentang dalam satuan derajat 0o – 65o. Wilayah kelerengan yang relatif curam berada pada wilayah yang memiliki elevasi tinggi, yaitu daerah di sekeliling Pegunungan Bandung bagian selatan. Kemiringan
lereng daerah penelitian yang diklasifikasikan menjadi 6 kelas rentang slope (kemiringan lereng) dalam satuan derajat pada Gambar 17.
Gambar 17. Peta kemiringan lahan sub-DAS Citarum Hulu Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan komponen yang sangat mempengaruhi karakteristik aliran air dalam suatu kawasan DAS. Kedua faktor tersebut menentukan besar dan kecepatan volume run-off (Asdak, 2002). Kedua elemen tersebut melengkapi pembentukan HRU di dalam model MWSWAT. 2. Iklim Ada 6 elemen penyusun iklim yang datanya dibutuhkan sebagai input model MWSWAT, yaitu curah hujan (harian), temperatur udara (maksimum – minimum), kecepatan angin, kelembaban relatif, dan radiasi surya. Data iklim diperoleh dari BMKG Pusat – Jakarta ditambah data curah hujan harian dari stasiun Cibeureum (Dinas PSDA) dan stasiun Paseh (PLN). Kondisi iklim ratarata bulanan di daerah penelitian pada rentang waktu tahun 2004 sampai 2008 pada Tabel 5.
Tabel 5. Kondisi iklim rata-rata bulanan daerah penelitian (tahun 2004 – 2008) Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
CH (mm) 6.7 10.0 6.1 10.0 5.4 3.6 1.1 0.9 2.1 3.2 7.3 10.5
Parameter Iklim Temp Kelembaban Kec. Angin (o) (%) (m/det) 18.9 65.1 4.7 23.0 84.2 4.7 23.5 82.0 4.3 23.2 83.2 3.6 23.3 80.4 3.2 23.0 78.9 3.2 18.3 61.3 3.3 23.0 74.5 3.3 23.8 73.8 3.9 19.3 60.1 4.2 19.0 65.2 3.3 18.5 67.5 3.1
Radiasi Surya (MJ.m-2.hari-1) 11.4 9.0 11.0 10.3 10.8 13.8 15.2 16.0 12.0 13.6 11.0 8.10
Sumber : BMKG Pusat – Jakarta (2011) Curah Hujan Wilayah penelitian terletak di daerah pegunungan selatan Bandung, Wilayah yang diwakili oleh stasiun Paseh dan stasiun Cibeureum ini mengalami musim kemarau pada bulan Juni sampai Agustus. Menurut sistem klasifikasi Oldeman, daerah ini termasuk Zona Agroklimat C2. Pada zona tersebut bulan kering (curah hujan < 100 mm) terjadi selama 3 – 4 bulan dan bulan basah (curah hujan > 200 mm) berlangsung selama 5 – 6 bulan. Stasiun Bandung mewakili dataran Bandung yang termasuk zona Agroklimat E3. Perbedaan tersebut wajar mengingat letaknya yang berjauhan dari DAS yang diteliti. Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidth – Ferguson, daerah penelitian digolongkan pada tipe iklim D, dengan bulan basah yang berlangsung selama 6 bulan dan bulan kering selama 4 bulan dan tingkat kebasahan sedang. Distribusi stasiun hujan, PDA dan stasiun iklim di lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 18. Sebaran curah hujan pada ketiga stasiun hujan yang digunakan datanya tidaklah sama dan memiliki variasi. Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 19 berikut memperlihatkan curah hujan rata-rata bulanan tahun 2001. Dari grafik terlihat bahwa rata-rata curah hujan terbesar dalam satu tahun terjadi pada stasiun Cibeureum (15.5 mm).
Gambar 18. Lokasi stasiun hujan, PDA dan stasiun iklim di daerah penelitian Air hujan yang jatuh ke dalam DAS ditransformasi menjadi debit sungai melalui aliran permukaan dan aliran di dalam tanah, selain menguap kembali melalui proses evapotranspirasi. Berdasar posisinya terhadap wilayah penelitian, curah hujan yang turun ke DAS didominasi oleh curah hujan yang datanya tercatat pada stasiun Paseh dan Cibeureum. Meskipun letaknya berdekatan namun curah hujan yang tercatat di kedua stasiun ini berbeda. Variasi beberapa curah hujan beberapa stasiun hujan di dalam kawasan DAS yang dimodelkan akan dihitung ulang oleh MWSWAT menggunakan metode polygon Thiessen. 25.0
20.0
P (mm)
15.0
10.0
5.0
0.0 Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November Desember
Bulan Bandung
Paseh
Cibeureum
Gambar 19. Curah hujan rata-rata bulanan tahun 2001 di tiap stasiun hujan
3. Kondisi Hidrologi DAS Data debit harian Sungai Citarum Hulu yang digunakan untuk melihat kondisi hidrologi sungai diperoleh dari PDA milik Dinas PU Pengairan. PDA yang digunakan sebagai titik outlet pencatatan data debit adalah PDA yang terletak di Kecamatan Majalaya – Kabupaten Bandung (koordinat 07o 24` 00`` LS – 107o 34` 00`` BT). Besarnya aliran debit ditentukan oleh lengkung aliran menggunakan
Metoda
Hymos
Manning
dengan
persamaan
yang dibuat berdasarkan data pengukuran debit dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2009, dengan H adalah ketinggian muka air sungai yang tercatat, (Balai Hidrologi dan Tata Air, 2010). Pemilihan lokasi outlet sungai didasarkan oleh ketersediaan data debit sungai dan sedimentasi yang memadai dibanding PDA lainnya. Bentuk delineasi batas area sub-DAS Citarum Hulu yang merupakan daerah tangkapan pada Gambar 20.
Gambar 20. Daerah tangkapan air daerah penelitian Gambar 21 menggambarkan fluktuasi debit rata-rata bulanan dari tahun 1990 sampai 2009 di PDA Majalaya. Berdasarkan gambar tersebut debit aliran minimum terjadi di bulan September (1.01 m3/det) dan maksimum di bulan April
(10.88 m3/det). Pada bulan Mei hingga Oktober debit rata-rata bulanan berada di bawah nilai rata-ratanya (5.16 m3/det). 12
Q(m 3 /det)
10 8 6 4 2 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Bulan
Gambar 21. Debit bulanan rata-rata di PDA Majalaya (tahun 1990 – 2009) Gambar 22 menunjukkan debit sungai harian dari tahun 1999 sampai 2009. Debit aliran tertinggi yang dicapai pada rentang tahun tersebut adalah 60.29 m3/det. Diagram batang pada posisi 0 m3/det menunjukkan kekosongan data pencatatan debit, antara lain terjadi pada bulan September 2002, bulan Desember 2003, dan bulan April 2005. Pada tahun-tahun yang terdapat kekosongan data debit dapat digunakan untuk set-up dan kalibrasi model MWSWAT dengan memisahkan menjadi bulan basah – bulan kering. 70
60
Q (m3 /det)
50
40
30
20
10
0 01-Jan-99
01-Jan-00
01-Jan-01
01-Jan-02
01-Jan-03
01-Jan-04
01-Jan-05
01-Jan-06
01-Jan-07
01-Jan-08
01-Jan-09
Tanggal
Gambar 22. Debit aliran sungai harian PDA Majalaya (tahun 1999 – 2009)
Kondisi debit di sub-DAS penelitian juga dapat diidentifikasi melalui nilai Coefficient of River Regime (CRR). CRR atau KRS adalah suatu koefisien yang merupakan perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rata-rata minimum di suatu sungai. Nilai koefisien tersebut menyatakan kestabilan aliran sungai dari tahun ke tahun. Semakin kecil koefisien CRR, semakin baik kondisi hidrologi DAS tersebut (Asdak, 2002). Kurva CRR aliran sungai daerah penelitian tahun 1999 – 2009 pada Gambar 23. Penggambaran kurva terputus karena kurang lengkapnya pencatatan data pada bulan-bulan tertentu dalam periode tahunan tertentu. 200
Qmax/Qmin
160
120
80
40
0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun Qmin
Qmax
CRR
Gambar 23. Kurva CRR daerah penelitian (tahun 1999 – 2009) Jika melihat pola pergerakan kurva CRR, dapat diperkirakan nilai koefisien berada di atas 50 sejak tahun 2005 dan mulai meningkat lebih besar hingga kemudian akhirnya menurun hingga mencapai nilai 16.87 pada tahun 2009. Pada rentang 10 tahun tersebut CRR tertinggi sebesar 188.53 dicapai tahun 2007. Kondisi DAS dalam kondisi baik salah satu kriterianya bila CRR < 50. 4. Penggunaan Lahan Kondisi penggunaan lahan di suatu DAS dideskripsikan melalui peta penggunaan lahan. Fungsi peta adalah memberikan informasi spasial penyebaran
beberapa tipe penggunaan lahan yang ada di kawasan DAS yang diteliti, sebagai salah satu basis dalam perhitungan besarnya erosi dan sebagai input bagi model MWSWAT. Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2001 yang diperoleh dari BAPPEDA Provinsi Jawa Barat, teridentifikasi 9 klasifikasi penggunaan lahan, yaitu; hutan, perkebunan, kebun campuran, padang rumput/ilalang, semak belukar, ladang/tegalan, sawah, kawasan pemukiman dan kawasan industri. Penyebaran berbagai jenis penggunaan lahan tersebut disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Penggunaan lahan daerah penelitian tahun 2001 Data statistik penggunaan lahan dari daerah seluas 20524.73 ha diberikan pada Tabel 6. Penggunaan lahan yang terluas di wilayah penelitian adalah perkebunan (39.28%) yang tersebar mengelilingi sub-DAS di bagian barat dan timur. Kawasan hutan berada pada dataran tinggi pegunungan. Luasan hutan tersebut belum mencapai 30% kawasan konservasi dari wilayah yang diteliti. Kemudian, kegiatan pertanian kebun campuran merupakan porsi terluas ketiga (15.43%) yang letaknya tersebar di bagian tengah DAS hingga hilir.
Tabel 6. Jenis penggunaan lahan dan luasnya (tahun 2001) Luas Penggunaan Lahan Hutan Kawasan industri Kawasan pemukiman Kebun campuran Ladang/tegalan Perkebunan Sawah Semak belukar Padang rumput
ha 3759.15 35.73 784.23 3166.61 2000.08 8060.17 2399.75 10.80 0.00
% 18.32 0.17 3.82 15.43 9.75 39.28 11.69 0.05 0.00
Penggunaan lahan berupa sawah (11.69%) umumnya berada dekat dengan alur tepian sungai, sedangkan semak belukar merupakan penggunaan lahan yang tersempit di wilayah DAS (0.05%). Semak belukar tersebut dapat berasal dari kegiatan pertanian yang telah ditinggalkan ataupun hutan yang baru dibuka untuk berladang. Berdasar pengamatan spasial pada peta tersebut, di tahun 2001 di wilayah penelitian belum terdapat penggunaan lahan padang rumput. Pola kegiatan pertanian di sub-DAS Citarum Hulu bervariasi secara umum bergantung pada fisiografi, iklim, kondisi lahan, dan kebiasaan petani. Kegiatan bertani dominan adalah padi dan sayur, jenis sayur yang ditanam terutama di wilayah Kertasari adalah jenis wortel, kol, kentang, daun bawang dan bawang. Waktu tanam sayuran bergilir sesuai musim. Selain itu, tanaman hias juga merupakan komoditas yang diusahakan oleh petani. Sedangkan kegiatan berladang umumnya merupakan tumpangsari tanaman palawija, sehingga tanaman yang banyak dijumpai di area ladang adalah padi yang ditumpangsarikan dengan jagung, singkong dan beberapa adalah ubi jalar. 5. Karakteristik Tanah Klasifikasi tanah yang terdapat dalam peta tanah adalah Taksonomi Tanah (Puslitanak, 1992) atau Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1990). Berdasarkan peta tanah semi detail skala 1:250000 yang diperoleh dari Limnologi LIPI, terdapat 11 SPT (Satuan Peta Tanah) di sub-DAS Citarum Hulu yang dikelompokkan kedalam 3 Ordo yang terpisah, yaitu; (1) Inceptisols; (2) Andisols; dan (3) Mollisols. SPT merupakan satuan lahan dengan satuan-satuan
tanahnya yang diteliti dan ada kaitannya dengan kemungkinan penggunaan lahan secara maksimum (Puslittanak, 1993). Satu SPT dapat terdiri dari satu sampai 4 satuan tanah. Karakteristik tanah yang diambil sebagai database karakteristik tanah adalah yang paling dominan. Daftar SPT, keterangan dan kode ID di dalam database MWSWAT diberikan pada Tabel 7. Model MWSWAT menyesuaikan database karakteristik tanah melalui SOIL_ID yang telah ditambahkan di dalam kolom attributes peta tanah. Jenis tanah dan formasinya dianggap tidak berubah pada periode yang lama sehingga peta tanah ini dapat digunakan sebagai input yang sama pada simulasi menggunakan skenario penggunaan lahan di tahun-tahun yang berbeda. Tabel 7. Satuan Peta Tanah (SPT) dan SOIL_ID yang digunakan pada database MWSWAT Keterangan No. SPT 1. 2 Aeric Tropaquepts 2. 8 Typic Eutropepts 3. 22 Oxic Humitropepts 4. 24 Thaptic Hapludands 5. 30 Eutric Hapludands 6. 33 Typic Hapludands 38 Aquic Hapludolls 7. 43 Typic Hapludolls 8. 44 Typic Hapludolls 9. 10. 45 Oxic Argiudolls 11. 46 Oxic Argiudolls
ID/SEQN 6999 7000 7001 7002 7003 7004 7005 7006 7007 7008 7009
SNAM aetpq-6999 tyeup-7000 oxhtp-7001 thhpd-7002 euhpd-7003 tyhpd-7004 aqhdl-7005 tyhte-7006 thah-7007 oath-7008 oatt-7009
ORDO Inceptisols Inceptisols Inceptisols Andisols Andisols Andisols Mollisols Mollisols Mollisols Mollisols Mollisols
Tanah ordo Mollisols merupakan jenis tanah yang paling banyak ditemukan di wilayah penelitian (62%),sedangkan yang paling sedikit adalah jenis tanah ordo Inceptisols (7%). Peta tanah di wilayah penelitian diberikan pada Gambar 25. Tanah-tanah di daerah penelitian merupakan tanah yang bahan asalnya berupa bahan vulkanis dan termasuk kedalam fisiografi aluvial, sehingga sebagian besar termasuk tanah yang potensial untuk kegiatan pertanian. Meskipun potensial, kondisi topografi menjadi salah satu faktor pembatas, terutama di wilayah berbukit dan pegunungan yang memiliki lereng yang curam. Keadaan topografi tersebut memerlukan tindakan konservasi tanah.
Gambar 25. Peta tanah sub-DAS Citarum Hulu 6. Sedimentasi Data sedimen observasi yang diperoleh merupakan data suspended sediment (sedimen melayang). Besarnya angkutan sedimen melayang dihitung dari besarnya debit air yang mengalir di sungai dengan menggunakan persamaan: (Balai Hidrologi dan Tata Air, 2010). Rumus ini diperoleh berdasarkan data pengukuran tahun 2008. Dengan persamaan tersebut dan berdasarkan data debit aliran sungai harian maka data angkutan sedimen melayang harian setiap tahun di PDA Majalaya dapat dihitung. Hal yang sama dilakukan untuk data sedimen yang digunakan untuk proses kalibrasi di tahun 2001. Kurva lengkung yang menggambarkan hubungan debit dan sedimen melayang diberikan pada Gambar 26.
10
100
Angkutan Sedimen Melayang (ton/hr)
1
Qs = 10.091*Qw 0.7718 R² = 0.9576
100
10
1 Debit Aliran Sungai (m3 /det)
Gambar 26. Rating curve suspended sediment di PDA Majalaya Fluktuasi sedimen melayang yang terangkut aliran Sungai Citarum Hulu pada tahun 2007 beserta grafik debit disajikan pada Gambar 27. Dari kedua kurva pada Gambar 27 terlihat bahwa fluktuasi sedimen melayang memiliki
60
240
50
200
40
160
30
120
20
80
10
40
0
Suspended sediment (ton/hari)
Q (m 3 /det)
kecenderungan yang sama dengan fluktuasi debit aliran sungai yang mengalir.
0
01-Jan-07
01-Feb-07 01-Mar-07
01-Apr-07
01-Mei-07
01-Jun-07
01-Jul-07
01-Agust-07
01-Sep-07
01-Okt-07
01-Nop-07
01-Des-07
Tanggal Discharge
Suspended sediment
Gambar 27. Debit aliran sungai dan sedimen melayang PDA Majalaya 4.2 Model MWSWAT Penggunaan model MWSWAT tergantung pada ketersediaan data yang diperoleh di lokasi penelitian. Periode waktu simulasi dipilih pada rentang waktu yang ketersediaan datanya lengkap. Ilustrasi ketersediaan data yang diperoleh dari lapang diberikan pada Gambar 28.
DATA Iklim Curah hujan Temperatur (max-min) Kelembaban Kecepatan angin Radiasi surya Curah hujan Stasiun Bandung Stasiun Paseh Stasiun Cibeureum Hidrologi Debit sungai Sedimentasi Spasial (GIS) Penggunaan lahan Peta tanah Erosi DEM
1999
2000
2001
2002
2003
TAHUN 2004 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 28. Ketersediaan data di lapangan Dengan melihat ketersediaan data pada Gambar 28 maka yang berpotensi untuk dipilih adalah data pada tahun 2001, 2005 dan 2007. Data debit aliran sungai harian pada tahun 2005 terdapat kekosongan di bulan April sehingga simulasi pada ketiga tahun tersebut dilakukan pada rentang bulan Mei hingga Desember. Tahun 2001 dipilih sebagai rentang waktu proses kalibrasi model MWSWAT. 1. Delineasi Sub-DAS Delineasi atau pembentukan sub-DAS dilakukan secara otomatis (Automatic Watershed Delineaation – AWD). Model MWSWAT menggunakan fitur AWD yang terdapat di MapWindow GIS sebelum melakukan penentuan HRU. Delineasi terhadap peta DEM memberikan batas DAS beserta pembagian sub-DAS yang menyusunnya. Dengan menggunakan angka treshold (ambang batas) 10000 terbentuk 15 sub-DAS pada daerah penelitian seluas 20 520.71 ha. Peta DEM yang telah terdelineasi ditunjukkan pada Gambar 29. Aliran Sungai Citarum bermula dari sub-basin nomor 8 dan memasuki outlet penelitian di sub-basin nomor 15, sehingga debit simulasi MWSWAT yang dikalibrasi adalah debit yang mengalir pada sub-DAS nomor 15. Panjang sungai utama hingga mencapai titik outlet adalah 199.96 km. Rincian luas setiap subDAS disajikan pada Tabel 8.
Gambar 29. Peta DEM terdelineasi Tabel 8. Luas setiap sub-DAS hasil delineasi MapWindow GIS Luas Area Nomor Sub-DAS 1 Sub-DAS 2 Sub-DAS 3 Sub-DAS 4 Sub-DAS 5 Sub-DAS 6 Sub-DAS 7 Sub-DAS 8 Sub-DAS 9 Sub-DAS 10 Sub-DAS 11 Sub-DAS 12 Sub-DAS 13 Sub-DAS 14 Sub-DAS 15
ha 1208.11 2535.02 923.81 1743.77 984.92 1763.21 1093.10 2126.16 44.10 4303.00 6.48 1168.15 1871.21 433.60 316.07
% 5.89 12.35 4.50 8.50 4.80 8.59 5.33 10.36 0.21 21.97 0.03 5.69 9.12 2.11 1.54
Luas sub-DAS yang terbentuk bervariasi antara 6.48 ha sampai dengan 4303.00 ha. Antara sub-basin yang satu dengan yang lainnya terhubung melalui aliran sungai utama. Penggunaan GIS dalam model MWSWAT memberikan
kemudahan untuk melihat kaitan antar sub-basin dalam hal posisi, aliran air, sedimen, dan zat hara yang terangkut aliran sungai. 2. Penentuan HRU Setiap HRU yang terbentuk merupakan kombinasi khusus dari sub-DAS, penggunan lahan, jenis tanah dan rentang lereng. Pembagian sub-DAS telah dilakukan pada proses AWD, sehingga penentuan HRU terfokus pada penambahan informasi penggunaan lahan dan karakteristik tanah. Peta penggunaan lahan dan tanah yang digunakan sebagai input hanya menyimpan informasi angka ID (identity) saja. Angka ID tersebut harus dihubungkan
dengan
kode
pada
database
MWSWAT.
Selain
itu,
pengelompokkan HRU juga dipisahkan berdasar rentang kemiringan lahan. Rentang kemiringan lahan (%) yang dimasukkan adalah 0, 3, 15, 30, 45, 60 dan 99 (Arsyad, 2009) Pembentukan HRU menggunakan kriteria Multiple HRU’s dengan persen treshold area landuses (10%), soil (5%) dan slope (5%). Hal ini berarti apabila persentase suatu penggunaan lahan, tanah dan kemiringan berturut-turut di bawah 10%, 5% dan 5% dalam suatu sub-DAS maka tidak diikutsertakan dalam perhitungan.
Gambar 30. Tampilan Hasil HRU
Pemilihan kombinasi angka treshold dalam proses menjalankan model MWSWAT bergantung pada ukuran luas DAS yang diobservasi dan tingkat ketelitian yang diinginkan oleh user. Perbedaan penggunaan besarnya angka treshold juga akan mempengaruhi output hasil simulasi sehingga penting untuk menentukan ukuran yang tepat agar simulasi memberikan hasil yang terbaik. Hasil HRU yang terbentuk di daerah penelitian ditulis dalam bentuk file .txt, seperti ditunjukkan oleh gambar screenshoot pada Gambar 30. Jumlah HRU yang terbentuk 568 pada 15 sub-DAS. Laporan hasil HRU juga memuat kuantitas dan persentase penggunaan lahan, tanah dan kemiringan lahan di daerah DAS yang terdelineasi. Tampilan output pembentukan HRU disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31. HRU yang terbentuk melalui proses Step 2: Creates HRU’s 3. Simulasi Model MWSWAT Model MWSWAT baru dapat dijalankan setelah file-file input diselesaikan. Periode simulasi selama 8 bulan dimulai dari bulan Mei 2001 sampai dengan bulan Desember 2001. Fase warm up model (percobaan penggunaan model) dilakukan dengan menggunakan data periode 1 Januari 2000 – 30 April 2001. Fase warm up model MWSWAT adalah bagian dari proses yang paling esensial
untuk memantapkan kondisi base flow (aliran dasar) pada simulasi hingga kondisi keseimbangan dalam proses hidrologi tercapai. Beberapa metode harus dipilih terlebih dahulu sebelum dilakukan simulasi, yang disesuaikan dengan periode simulasi, sumber data iklim, perhitungan curah hujan, aliran sungai, frekuensi waktu simulasi dan opsi file-file yang dibuat. Untuk Rainfall/Runoff/Routing menggunakan Daily/CN/Daily, Rainfall distribution menggunakan Skewed normal, perhitungan ET potensial dengan metode Penman – Monteith, untuk Channel water routing dipilih metode Muskingum, sedangkan Crack flow dan Channel dimensions menggunakan pilihan Not active. Hasil simulasi sebagai output model MWSWAT diberikan dalam bentuk harian, bulanan maupun iktisar tahunan. Output simulasi dapat ditemukan pada file output.txt di dalam folder TxtInOut. Tampilan hasil simulasi pada tahun 2001 dengan periode bulanan diperlihatkan pada Gambar 32.
Gambar 32. Tampilan hasil simulasi pada tahun 2001 Hasil simulasi debit aliran Sungai Citarum Hulu periode bulanan dengan model MWSWAT dan data observasi lapangan disajikan pada Gambar 33. Hubungan antara debit hasil simulasi dan hasil observasi secara statistik dapat dilihat pada Gambar 34.
0
25
5
20
10
15
15
10
20
5
25
0
P (mm)
Q (cms)
30
30 Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November Desember
Bulan (2001) P (mm)
Qobservasi
Qsimulasi
Gambar 33. Data debit hasil simulasi dan hasil observasi sebelum kalibrasi model 25
20
y = 1.168x + 0.867 R² = 0.482
Simulasi
15
10
5
0 0
5
10
15
20
25
Observasi
Gambar 34. Perbandingan statistik R2 debit hasil simulasi dan hasil observasi Hasil yang diperoleh menunjukkan base flow dan peak flow debit simulasi melebihi data observasi. Dengan menggunakan perbandingan statistik antara debit hasil simulasi model dan hasil observasi lapang periode bulanan didapatkan nilai R2 sebesar 0.48 dan NSE sebesar 0.56. Nilai tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan perbandingan statistik periode harian, yaitu 0.20 untuk R2 dan 0.12 pada nilai NSE.
Nilai
perbandingan
debit
bulanan
tersebut
ternyata lebih
rendah
performanya bila dibandingkan dengan simulasi untuk sedimen melayang. Grafik sedimen melayang hasil simulasi berada di bawah data hasil observasi pada peak flow maupun pada base flow. Secara statistik hubungan hasil simulasi dan data observasi digambarkan pada nilai R2 sebesar 0.52 dan 0.31 untuk nilai NSE. Sama halnya seperti debit, angka statistik harian untuk sedimen melayang lebih rendah dari periode bulanannya, yaitu 0.01 NSE dan 0.16 untuk R2. 80
Qsed (ton/day)
70 60 50 40 30 20 10 0 Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Bulan (2001) Sed_observasi
Sed_simulasi
Gambar 35. Data sedimen melayang hasil simulasi dan hasil observasi sebelum kalibrasi model 80 70 60
Simulasi
50
y = 0.858x - 18.68 R² = 0.522
40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Observasi
Gambar 36. Perbandingan statistik R2 sedimen melayang hasil simulasi dan hasil observasi Hasil simulasi sedimen melayang aliran Sungai Citarum Hulu periode bulanan dan data hasil observasi lapangan dapat dilihat pada Gambar 35.
Hubungan antara sedimen melayang hasil simulasi dan hasil observasi secara statistik ditunjukkan pada Gambar 36. 4.3 Kalibrasi Model MWSWAT Perbandingan hasil simulasi model dan data hasil observasi secara statistik yang ditunjukkan oleh nilai R2 dan NSE menunjukkan hasil yang belum cukup baik dan belum mendekati keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut terjadi karena data
yang
digunakan
pada
model
MWSWAT
tidak
cukup
lengkap
menggambarkan karakteristik daerah yang diteliti. Oleh karena itu perlu dilakukan pengaturan melalui proses kalibrasi model. Setelah model MWSWAT terkalibrasi dan memiliki hubungan yang cukup dekat dengan data observasi, maka model tersebut perlu diuji dengan menggunakan data dari tahun yang berbeda. Model MWSWAT merupakan model hidrologi yang menggunakan banyak parameter dalam proses perhitungannya. Dari sekian banyak parameter tersebut, kalibrasi
hanya
dilakukan
pada
parameter-parameter
yang
signifikan
memengaruhi hasil simulasi. Prosedur kalibrasi dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Pada penelitian ini proses kalibrasi model dilakukan secara manual trial-error. Proses simulasi dilakukan selama 2 tahun yaitu dari 1 Januari 2000 sampai dengan 31 Desember 2001, namun kalibrasi debit aliran sungai dan sedimen hanya dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan Mei hingga Desember 2001. Tahun 2000 digunakan sebagai periode warm up model. Selama kalibrasi model untuk debit aliran sungai dan sedimen, beberapa parameter perlu disesuaikan agar memberikan output mendekati data observasi di lapangan. Hasil simulasi debit aliran dan sedimen melayang sebelum dikalibrasi menunjukkan nilai perbedaan antara debit bulanan rata-rata observasi dan simulasi berturut-turut sebesar 30.39% dan 93.11%. Nilai statistik yang diperoleh adalah NSE -0.81 dan R2 0.54 untuk debit serta NSE -2435.49 dan R2 0.511 untuk simulasi sedimen. Hasil tersebut masih jauh dari yang diharapkan sehingga dilakukan langkah pengaturan secara manual pada beberapa parameter input yang terdapat di dalam model, yang sensitif terhadap perubahan output. Terdapat 12 parameter yang disesuaikan nilainya seperti ditampilkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Parameter-parameter input model MWSWAT yang disesuaikan Parameter Model Debit Aliran OV_N CN2 SOL_AWC SOL_K GW_DELAY ESCO ALPHA_BF CH_K2 Sedimen Melayang LAT_SED SPEXP SLSSUBBSN USLE_P
Keterangan
Nilai akhir
Nilai koefisien kekasaran manning “n” Bilangan kurva Kapasitas air tersedia di lapisan tanah Konduktivitas hidrolik dalam keadaan saturated Groundwater delay Faktor kompensasi evaporasi tanah Faktor base flow alfa Konduktivitas hidrolik efektif saluran utama
14.500 (×0.9)* 0.650 0.010 110.000 0.110 0.025 100.000
Konsentrasi sedimen di aliran lateral dan groundwater Parameter eksponen untuk menghitung sedimen tertahan di jalur penelusuran sedimen Panjang lereng rata-rata Faktor pengelolaan pada persamaan USLE
450.000 1.500 150.000 0.950
*semua nilai parameter CN2 diseluruh DAS dikalikan dengan bilangan pengali 0.9 Penyesuaian parameter-parameter model meningkatkan nilai NSE dan R2 simulasi debit berturut-turut menjadi 0.54 dan 0.69 dengan selisih debit rata-rata bulanan sebesar 3.96%. Hasil ini berbeda dengan kalibrasi debit harian yang nilainya lebih rendah, yaitu NSE 0.37 dan R2 0.44. Kalibrasi simulasi sedimen melayang bulanan menghasilkan NSE 0.51 dan R2 0.77 dengan selisih sedimen melayang rata-rata bulanan sebesar 9.26%.
Gambar 37. Hasil simulasi debit sebelum dan setelah kalibrasi model
Hasil simulasi debit dan sedimen melayang setelah proses kalibrasi ditunjukkan berturut-turut pada Gambar 37 dan Gambar 38. Scattergram nilai R2 untuk debit dan sedimen melayang setelah kalibrasi model pada Gambar 39 dan Gambar 40. Parameter yang paling berpengaruh terhadap bentuk kurva debit hasil simulasi agar mendekati hasil debit observasi adalah OV_N dan CN2, sedangkan pengaturan parameter lain seperti SOL_AWC, SOL_K, dan lainnya bersifat menghaluskan bentuk kurva sehingga menaikkan nilai NSE dan R2. Proses kalibrasi akan menjadi lebih sulit bila dilakukan selama periode harian dalam kurun satu tahun penuh karena terdapat dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Gambar 38. Hasil simulasi sedimen sebelum dan setelah kalibrasi model
Gambar 39. Nilai R2 debit sebelum dan setelah kalibrasi model
Penyesuaian terhadap parameter input model selama kalibrasi memberikan hasil meningkatnya nilai NSE dan R2 serta menurunkan persentase beda rata-rata output simulasi dan observasi. Bentuk kurva sedimen melayang bentuknya hampir serupa dengan kurva debit, karena nilai sedimen melayang dihitung berdasarkan pada besarnya debit. Kurva debit dan sedimen melayang bentuknya mengikuti kurva observasi kecuali pada bulan Juni, yang memiliki selisih gap.
Gambar 40. Nilai R2 sedimen melayang sebelum dan setelah kalibrasi model Apabila model MWSWAT yang telah terkalibrasi dijalankan dengan menggunakan data input iklim yang sama dengan tahun peta penggunaan lahan kemudian output model dibandingkan dengan data observasi, maka keakuratan
model semakin kecil. Untuk itu diperlukan kalibrasi kembali sehingga output model dapat merepresentasikan data yang diperoleh dari observasi. Sebagai contoh, apabila model MWSWAT yang parameternya telah terkalibrasi di tahun 2001 digunakan untuk menyimulasikan prediksi debit menggunakan input data iklim tahun 2005 dan peta penggunaan lahan tahun 2005 maka hasilnya menjadi semakin buruk dan tidak akurat. Ketidakakuratan tersebut ditandai oleh nilai R2 dan NSE yang jauh lebih kecil dibandingkan nilai yang diperoleh dari proses kalibrasi. Hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan karakteristik hujan pada tahun 2001 dan 2005 dalam hal kuantitas maupun pola penyebarannya. Nilai NSE dan R2 tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan kalibrasi kembali. Proses tersebut memakan waktu lebih lama, sehingga dalam penelitian ini dampak penggunaan lahan terhadap respon hidrologi di sub-DAS Hulu Citarum menggunakan set data input dan parameter terkalibrasi pada tahun 2001. Hidrograf debit sungai harian hasil observasi dan simulasi ditunjukkan pada Gambar 41, sedangkan scattergram R2 ditunjukkan pada Gambar 42. 35 30
Debit (m 3 /det)
25 20 15 10 5 0 01-Mei-05
01-Jun-05
01-Jul-05
01-Agust-05
01-Sep-05
01-Okt-05
01-Nop-05
01-Des-05
Tanggal Qob
Gambar 41.
Qsim
Hidrograf debit sungai harian hasil simulasi dan hasil observasi dengan menggunakan set data input tahun 2005
35
30 y = 2.015x + 4.883 R² = 0.175
Simulasi
25
20
15
10
5
0 0
5
10
15 20 Observasi
25
30
35
Gambar 42. Scattergram R2 debit sungai harian hasil simulasi dan hasil observasi dengan menggunakan set data input tahun 2005 4.4. Simulasi Model MWSWAT Hasil Kalibrasi Simulasi model dilakukan dengan menjalankan model yang sudah dikalibrasi selama periode kalibrasi tanpa ada perubahan pada set data input lain. Kondisi iklim tahun 2001 dijadikan dasar simulasi, sedangkan peta penggunaan lahan yang disimulasikan adalah peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2005. Berdasarkan hasil analisis spasial terhadap peta penggunaan lahan periode tahun 1994, 2001 dan 2005 diketahui bahwa telah terjadi alih fungsi lahan berupa pengurangan luas area hutan, kebun campuran, perkebunan dan sawah. Pengurangan luas tersebut berdampak pada meluasnya area perkebunan, padang rumput/ilalang dan semak belukar seperti disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Penggunaan lahan sub-DAS Citarum Hulu tahun 1994, 2001 dan 2005 Penggunaan lahan Hutan Kawasan Industri Kawasan pemukiman Kebun campuran Ladang/tegalan Padang rumput/ilalang Perkebunan Sawah Semak belukar Σ
Luas (ha) Persentase Luas (%) Tahun 1994 Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 1994 Tahun 2001 Tahun 2005 11234.22 3863.87 3802.40 54.75 18.83 18.53 32.99 37.67 37.67 0.16 0.18 0.18 709.25 780.68 780.68 3.46 3.80 3.80 2799.50 3189.21 3153.79 13.64 15.54 15.37 1876.84 1974.65 1974.65 9.15 9.62 9.62 116.12 116.13 384.20 0.57 0.57 1.87 993.30 8123.28 7739.90 4.84 39.59 37.72 2758.28 2422.60 2269.32 13.44 11.81 11.06 0.00 12.41 377.89 0.00 0.06 1.84 20520.50 20520.50 20520.50 100.00 100.00 100.00
Perubahan Lahan (ha) 1994-2001 2001-2005 1994-2005 -7370.35 -61.47 -7431.82 4.68 0.00 4.68 71.43 0.00 71.43 389.71 -35.42 354.29 97.81 0.00 97.81 0.01 268.07 268.08 7129.98 -383.38 6746.60 -335.68 -153.28 -488.96 12.41 365.48 377.89 0.00 0.00 0.00
Penggunaan lahan di daerah penelitian pada tahun 1994 dan 2005 memiliki klasifikasi yang serupa dengan penggunaan lahan pada tahun 2001, begitu pula dengan luas wilayahnya. Bila dibandingkan dengan tahun 2001 yang digunakan sebagai dasar tahun simulasi, maka penutupan lahan yang baik berturut-turut adalah penggunaan lahan tahun 1994, 2001 kemudian penggunaan lahan tahun 2005. Hal ini berdasarkan analisis spasial yang memperlihatkan luasan hutan di tahun 1994 mencapai >54% dari luas wilayah sub-DAS.
Gambar 43. Peta penggunaan lahan tahun 1994 Pada tahun 2001 dan 2005 luas kawasan hutan ini berkurang hingga < 30% dan luas hutan yang mengalami alih fungsi lahan mencapai 7431.82 ha. Pada rentang waktu tahun 1994 sampai dengan 2005 selain hutan, wilayah sawah pun mengalami penurunan 488.96 ha. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan terbesar adalah perkebunan yang luas bertambah 6746.60 ha. Penggunaan lahan selengkapnya di daerah penelitian pada tahun 1994 dan 2005 ditunjukkan pada Gambar 43 dan Gambar 44.
Gambar 44. Peta penggunaan lahan tahun 2005 Hasil prediksi aliran permukaan (surface runoff), hasil air (water yield), dan hasil sedimen (sediment yield) dapat dilihat pada Tabel 11. Bila dilihat dari nilai maka penggunaan lahan tahun 1994 memiliki kondisi yang paling baik. Hal ini ditandai oleh rendahnya nilai CRR pada periode bulan Mei sampai dengan Desember (3.22). Nilai CRR pada penggunaan lahan 2001 mencapai 4.53 dan untuk penggunaan lahan tahun 2005 sebesar 3.51. Tabel 11. Hasil water yield, surface runoff dan sediment yield simulasi MWSWAT pada penggunaan lahan tahun 1994, 2001 dan 2005 Bulan Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Σ
Prespitasi 2001 (mm) 7.62 3.78 12.52 4.50 8.44 27.74 34.13 3.11 101.84
1994 3.73 3.20 5.43 3.01 2.18 6.13 12.94 6.79 43.41
Water Yield (mm) 2001 3.33 2.83 5.43 2.84 2.26 7.57 13.59 6.26 44.11
2005
1994 3.71 3.17 5.48 3.02 2.24 6.45 13.13 6.85 44.05
Surface Runoff (mm) 2001 0.60 0.50 3.45 0.96 0.69 6.57 11.54 1.96 26.27
0.30 0.24 2.95 0.62 0.15 4.94 10.48 1.61 21.29
2005 0.43 0.36 3.60 0.97 0.27 6.31 12.65 2.32 26.91
Sediment Yield (t/ha) 1994 2001 0.0033 0.0025 0.0033 0.0025 0.0033 0.0025 0.0033 0.0025 0.0033 0.0025 0.0033 0.0025 0.0033 0.0025 0.0033 0.0025 0.0264 0.0200
2005 0.0125 0.0125 0.0125 0.0125 0.0125 0.0125 0.0125 0.0125 0.1000
Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan di subDAS Citarum Hulu wilayah Majalaya berpengaruh terhadap respon hidrologi terutama pada hasil air (water yield), aliran permukaan (surface runoff) dan hasil sedimen (sediment yield). Penyebab meningkatnya aliran permukaan dan hasil sedimen dari tahun 1994 ke tahun 2005 diduga berasal dari berkurangnya area hutan yang tertutup tumbuhan dan meningkatnya lahan terbuka yang minim
tanaman pelindung terhadap erosi (kawasan industri, kawasan pemukiman, kebun campuran, ladang/tegalan, padang rumput dan semak belukar). Peningkatan penggunaan lahan perkebunan adalah yang paling besar. Tetapi tanaman-tanaman perkebunan yang diusahakan di daerah penelitian seperti teh dan kina memiliki daya pelindung tanah terhadap bahaya erosi yang lebih rendah dari tanaman yang ada di kawasan hutan. Kurangnya tanaman pelindung di area terbuka menyebabkan hilangnya penahan air dan menurunkan kemampuan tanah meresapkan air sehingga aliran permukaan dan sedimen sebagai hasil proses erosi meningkat. Hasil prediksi debit aliran sungai dan sedimen ditunjukkan pada Gambar 45 dan Gambar 46. 25
Debit (m 3/det)
20
15
10
5
0 01-Mei-01
22-Mei-01
12-Jun-01
03-Jul-01
24-Jul-01
14-Agust-01
04-Sep-01
25-Sep-01
16-Okt-01
06-Nop-01
27-Nop-01
18-Des-01
Tanggal 1994
2001
2005
Gambar 45. Prediksi debit sungai harian tahun 1994, 2001 dan 2005 Dalam hal debit aliran, pola yang ditunjukkan melalui hidrograf pada tahun 1994, 2001 dan 2005 memiliki bentuk yang agak serupa. Dari ketiga tahun tersebut, debit aliran tahun 1994 dan 2005 memiliki pergerakan yang hampir serupa. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2001 yang relatif berada di atas hidrograf debit aliran tahun 1994 dan 2005, terutama pada bulan-bulan yang banyak terjadi hujan. Debit aliran tahun 1994 memiliki karakteristik yang relatif stabil dibandingkan debit aliran pada tahun 2001 dan 2005, karena ketika terjadi hujan tidak terjadi peningkatan yang signifikan pada debit aliran. Hal tersebut memberi gambaran bahwa dengan jumlah dan intensitas hujan serta iklim yang sama, penggunaan lahan tahun 2001 cenderung kurang mampu menahan dan meresapkan air hujan yang turun sehingga peluang untuk terjadinya runoff semakin besar. Tujuan diadakannya tindakan konservasi dan perbaikan penggunaan lahan adalah untuk menekan runoff dan meningkatkan kapasitas baseflow pada suatu DAS.
Sedimen melayang (ton/bulan)
350 300 250 200 150 100 50 0 Mei
Juni
Juli
Agustus
Setember
Oktober
November
Desember
Bulan 1994
2001
2005
Gambar 46. Prediksi sedimen melayang bulanan tahun 1994, 2001 dan 2005 Keadaan debit aliran pada ketiga tahun yang disimulasikan berbeda dengan sedimen melayang. Prediksi sedimen melayang tahun 1994 dan 2001 hampir serupa, ditandai dengan bentuk hidrograf yang berimpit, kecuali pada bulan-bulan yang banyak terjadi hujan yang dimulai pada bulan September hingga Desember. Prediksi sedimen melayang pada tahun 2005 menunjukkan besarnya sedimen yang terangkut pada aliran sungai lebih besar dari tahun 1994 dan 2001. Berdasarkan bentuk grafik sedimen melayang pada Gambar 46 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan tahun 2005 menghasilkan sedimen melayang yang lebih besar dari tahun 1994 dan 2001, dan kuantitasnya akan semakin bertambah terutama pada bulan-bulan yang banyak terjadi hujan.