47
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Sosial Ekonomi Lokasi Penelitian Kabupaten Agam Mayoritas (95%) penduduk Sumatera Barat berasal dari suku bangsa Minangkabau. Dikenal sebagai masyarakat yang unik, karena memadukan nilainilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehariharinya, sebab "Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah", dimana "Syarak mangato (mangata), adat mamakai (menjalankan)". Masyarakat Minang adalah masyarakat matrilineal, yang menganut sistem keturunan menurut garis keturunan ibu. Suku ibu menentukan suku anak dan melekat dengan sistem kekerabatan, harta kaum dan sistem pewarisan. Kehidupan tradisional orang Minang adalah kehidupan bersama yang dipimpin oleh mamak (laki-laki) secara demokratis, baik dalam keluarga, suku, atau nagari. Kabupaten Agam merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat dengan luas wilayahnya 2.232,39 km2. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten 50 Kota, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Tanah Datar, dan sebelah barat berbatasan dengan samudra Indonesia. Saat ini, perekonomian Kabupaten Agam dibentuk oleh sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan, perikanan, pertambangan, pariwisata, dan industri. Kontribusi sektor-sektor tersebut cukup signifikan bagi kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Agam. Struktur perekonomian Kabupaten agam pada Tahun 2009 tidak mengalami banyak perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai daerah agraris, sektor pertanian masih mendominasi pembentukan PDRB di Kabupaten Agam. Pada Tahun 2009 peranan pertanian terhadap PDRB Kabupaten Agam sebesar 41 persen. Sektor kedua yang memberikan peranan terbesar adalah sektor perdagangan, serta hotel dan restoran. Peranannya tahun 2009 adalah 14 persen (PDRB Agam 2005-2009). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada Tahun 2007 mencapai 65,31 persen, sedikit menurun pada tahun 2008 menjadi 63,98 persen kemudian
48
meningkat menjadi 64,19 persen pada Tahun 2009. Tingkat partisipasi perempuan angkatan kerja tercatat hanya 49,70 persen jauh tertinggal dibandingkan TPAK laki-laki yang mencapai 79,53 persen. Tingkat Pendidikan pada Tahun 2008 persentase penduduk yang menamatkan SMU/sederajat juga cukup besar yaitu 21,95 persen, hanya segelintir saja berpendidikan Diploma keatas (Statistik Kabupaten Agam 2010). Pada Tahun 2008, Kabupaten Agam memiliki 16 (enam belas) kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Tanjung Mutiara, Kecamatan Lubuk Basung, Kecamatan Ampek Nagari, Kecamatan Tanjung Raya, Kecamatan Matur, Kecamatan IV Koto, Kecamatan Malalak, Kecamatan Banuhampu, Kecamatan Sungai Pua, Kecamatan Ampek Angkek, Kecamatan Canduang, Kecamatan Baso, Kecamatan
Tilatang
Kamang,
Kecamatan
Kamang
Magek,
Kecamatan
Palembayan dan Kecamatan Palupuh. Kecamatan Ampek Angkek Kecamatan Ampek Angkek terdiri dari 7 Nagari dan 33 Jorong. Jumlah penduduk pada akhir 2008 berjumlah 37.515 jiwa dengan jumlah penduduk lakilaki sebanyak 18.201 jiwa dan penduduk perempuan 19.314 jiwa. Jumlah kepala keluarga yang terdapat di Kecamatan Ampek Angkek berjumlah 9.325 KK yang terdiri dari 16 Pra Keluarga Sejahtera, 1.340 Keluarga Sejahtera I, 3.681 Keluarga Sejahtera II, 3.804 Keluarga Sejahtera III, dan 500 Keluarga Sejahtera III Plus. Adapun mata pencarian penduduk Kecamatan Ampek angkek adalah petani, PNS, Industri dan kerajinan, pedagang, konstruksi, jasa angkutan, buruh, wiraswasta dan lain-lain. Nagari yang menjadi lokasi penelitian adalah Jorong Cibuak Ameh dan Jorong Pincuran Tujuah dari Nagari Pasia, dan Jorong Tanah Nyariang dan Cangkiang dari Nagari Batu Taba. Nilai-nilai Keluarga dalam Masyarakat dan Norma Matrilineal Dalam adat dan budaya Minang, agar kecintaan dan penghargaan kepada kaum perempuan selalu hidup dalam jiwa kaum pria, adat menetapkan silsilah
keturunan mengambil
garis keturunan Ibu, yang disebut sistem
matrilinial. Sistem matrilineal itu terus dijalankan dan dikukuhkan, ditambah
49
lagi dengan kawalan yang ketat terutama dalam masalah pewarisan sako jo pusako, maka "mande" sebagai sosok kongkrit perempuan di dalam suatu kaum adalah "segalanya". Perempuan menjadi penentu di dalam suatu kaum atau keluarga, apakah semua anggota kaurnnya akan menjadi beradat atau tidak, akan menjadi orang beragama atau tidak, akan menjadi baik atau tidak, pendidikan awal terhadap keislaman dari seorang individu Minang bermula dari ibunya, kaum perempuan, yang sangat dominan keberadaan dalam suatu rumah gadang. Dalam pepatah-petitih, dalam kaba atau cerita-cerita rakyatnya, masyarakat Minangkabau menjuluki perempuan itu sebagai; unduang-unduang ka sarugo (pelindung untuk mendapatkan surga), induak bareh (induk beras, punca dari segala kehidupan), namban puruak (tempat penyimpanan segala yang berharga). Bahkan dalam tindak tanduk, perbuatan, secara ideal dikatakan; turun nan
sakali
sajumaaik, karajo manyulam jo manjaik, tahu diereang dengan
gendeng, muluik manih kucindan murah, budi baiak baso katuju, urang nan galak jago lalok, urang nan indak rusuah tamu tibo dan sebagainya (Thaib 2008). Dalam pola keturunan dan pewarisan adat, suku Minang menganut pola matrilineal, yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas budaya rnanusia yang menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi dimana pola matrilineal ini sangatlah berbeda dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agarna Islam yang menjadi panutan hampir seluruh suku Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenallah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam. Menurut sebagian ahli budaya, pola matrilineal inilah yang menjadi salah satu pemicu banyaknya lakiIaki minang pergi merantau di masa mudanya. Disamping menganut pola matrilineal, masyarakat suku Minang juga mendasarkan adat budayanya pada syariah Islam (Thaib 2008). Berdasarkan tradisi dan sistem kekerabatan matrilineal tersebut, masyarakat Minangkabau mengenal dua bentuk keluarga: 1. Keluarga Kaum (extended family).
50
Keluarga besar yang terdiri dari sejumlah anggota yang terikat dalam suatu sistem keibuan. Setiap anggota kaum, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang sudah bersuami ataupun belum, akan selalu menjaga kaumnya dari segala hal. Warga yang berada dalam satu kaum tidak boleh kawin. Hubungan ini selain diikat oleh suatu sistem, juga ikatan emosionalnya sangat kuat. Kedua ikatan ini sangat mempengaruhi kehidupan keduanya. Jika terjadi penyimpangan, kepala kaum atau Penghulu keduanya akan menegur dan bila perlu memberikan hukuman.
Sehingga
apa
yang
terjadi di dalam kaum selalu dikontrol oleh sesama anggotanya. Komunalitas yang kuat seperti ini sangat memungkinkan terpeliharanya anggota kaum terhadap berbagai penyimpangan, baik penyimpangan dalam hukum adat maupun agama Islam yang dianutnya (Thaib 2008). 2. Keluarga Batih (nuclear family). Sebuah kesatuan keluarga terkecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak, sebagaimana layaknya sebuah keluarga, keluarga batih ini pada hakekatnya adalah "sarana" tempat bertemu dan berinteraksinya antara dua buah kaum atau dua buah keluarga besar, kaum pihak suami dan kaum pihak istri, suami adalah "duta" dari kaumnya, begitupun istri "duta" dari kaumnya pula, dengan demikian ketergantungan seorang istri kepada suami tidaklah mutlak, hal ini menyebabkan kedudukan "setara". Satu tidak berada di atas atau di bawah yang lain (Thaib 2008). Oleh karena perkawinan adalah semacam jendela sosialisasi satu kaum dengan kaum yang lain, maka masing-masing kaum akan menjaga dutadutanya. Penyimpangan yang dilakukan isteri atau suami merupakan"malu" yang harus dipikul oleh kaum keduanya.
Hal ini secara otomatis dapat menjaga
perilaku suami, istri apalagi anak-anak. Artinya di sini, sebuah perkawinan dalam sistem matrilineal dapat melahirkan penjagaan dan pengawasan untuk setiap individu dari dua buah keluarga besar. Peranan perempuan Minangkabau dalam pembentukan keluarga yang Islami. Perempuan memegang posisi kunci dalam usaha membangun keluarga Islam.
Hal ini disebabkan kedudukan perempuan yang begitu penting di dalam
keluarganya, keluarga besar perkaumannya dan keluarga suaminya.
Bersama
51
penghulu atau ninik mamak di dalam kaumnya, perempuanlah yang paling consern
terhadap
masalah-masalah keagamaan. Perempuan akan
ketentuan-ketentuan
di
dalam
menjaga
adatnya. Maka bila perempuan begitu ketat
menjaga adatnya secara otomatis pula dia begitu ketat menjalankan ajaran Islam. Maka untuk itu, masyarakat Minangkabau melalui ajaran-ajaran adatnya selalu menjaga kaum perempuannya. Hal ini tidak hanya tercermin dalam penerapan sistem matrilinealnya saja, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan lain dalam sistem adatnya. Salah satu dari ketentuan adat dalarn menjaga kaum perempuan disebutkan; seorang perempuan Minang harus bersuami. Jika sebuah kaum tidak mampu mendapatkan suami untuk seorang anggota kaumnya yang perempuan, mereka dibenarkan
untuk menggadaikan tanah
pusaka. Di dalam adat dikatakan, tanah pusaka boleh digadai untuk tiga hal saja, salah satunya adalah; gadih gadang indak balaki. Ini berarti, seorang perempuan, bagaimanapun juga harus mempunyai suarni, atau harus dicarikan suarninya. Suami menjadi penting sesuai dengan ajaran Islam; suami adalah junjungan
bagi
perempuan. Junjungan
menurut terminologi Minangkabau
adalah; sebatang kayu yang kukuh, yang dipancangkan di tanah untuk tempat merambatnya tumbuh-tumbuhan menjalar. Tanpa junjungan, tumbuh-tumbuhan menjalar itu tidak akan sempurna hidupnya, akan busuk buahnya dan akan mudah diinjak - injak binatang. Oleh karena ltu, junjungan atau suarni menjadi sangat penting di dalam adat Minangkabau (Thaib 2008). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pengaruh bantuan suami sangat besar baik materil maupun spiritual, karena suami mendukung setiap apa saja yang dilakukan dalam keluarga, pemberi motivasi dikala lagi menghadapi permasalahan dalam
setiap urusan
baik dalam hal bekerja maupun dalam
keluarga, bekerjasama membimbing/membesarkan anak dalam keluarga. Karena keluarga adalah tempat dimana berkumpulnya seluruh anggota keluarga, berbagi suka dan duka, tempat memperoleh ketentraman hidup, berbagi kasih dan sayang dalam membesarkan anak, karena anak adalah sumber kebahagian dan harta dan kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan apapun yang harus dijaga dan dibimbing dengan baik agar menjadi penerus keturunan keluarga untuk kehidupan nantinya.
52
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa: 1. Arti keluarga pada umumnya hampir sama dari seluruh contoh penelitian yaitu keluarga adalah tempat dimana berkumpulnya seluruh anggota keluarga, dalam membesarkan anak, berbagi kasih dan sayang, berbagi suka dan duka, tempat memperoleh ketemtraman hidup, sumber kebahagian dan istana yang paling berhargadan harta dan kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan apapun. 2. Arti anak bagi keluarga contoh adalah anugrah terindah/rezki yang tak ternilai dari Tuhan yang harus dijaga dan dibimbing, sebagai inspirasi dan motivasi dalam hidup, harta kekayaaan yang tidak bisa ditukar dengan apapun, dan sebagai penerus keturunan keluarga untuk kehidupan nantinya. 3. Arti karier bagi contoh pada umumnya adalah untuk menambah wawasan, ilmu dan penghasilan, menambah pendapatan keluarga, penunjang ekonomi keluarga, dan secara ekonomis tidak tergantung pada suami, menghindari kebosanan atau mengisi waktu luang, memperoleh status di masyrakat, dan untuk
kebahagian
keluarga,
serta
untuk
mendisiplinkan
diri
dan
bertanggungjawab terhadap keluarga dan orang lain. 4. Prioritas hidup bagi contoh pada umumnya adalah untuk mendidik anak-anak untuk mencapai kesuksesan dengan bisa menyekolahkan dengan setinggitingginya, membahagiakan keluarga, meningkatkan kesejahteraan keluarga, dan mewujudkan keluarga yang sakinah muwadah warahmah serta bahagia dunia dan akhirat. Salah satu dari contoh prioitas hidupnya adalah untuk bisa naik haji berdasarkan penuturan contoh supaya bisa menunaikan semua rukun islam, dan bisa menjalankan hidup dengan tentram dan damai. 5. Pengaruh bantuan suami bagi contoh dalam penelitian ini adalah sangat besar baik materil maupun spiritual, karena suami mendukung setiap apa saja yang dilakukan dalam keluarga, dan pemberi motivasi dikala lagi menghadapi permasalahan dalam setiap urusan baik dalam hal bekerja maupun dalam keluarga. Saling kerjasama dalam tugas keluarga, membimbing/membesarkan anak (Lampiran 2).
53
Karakteristik Contoh dan Keluarganya Umur Contoh dan Suami Contoh dan responden dalam penelitian ini adalah istri. Umur contoh dalam penelitian ini berkisar antara 25 tahun sampai 56 dengan rata-rata usia contoh 40,6 tahun. Umur suami ternyata tidak berbeda jauh dari umur istri yang berkisar antara 28 tahun sampai 60 tahun. Proporsi terbesar umur contoh (75,0%) dan suami (54,0%) adalah untuk kelompok umur 21 sampai 45 tahun. Sebaran contoh dan suami contoh berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran contoh dan suami contoh berdasarkan umur Umur (tahun)
Suami
Istri
n 54 39 7 0 100
% 54,0 39,0 7,0 0,0 100,0 28-60 44,8±7,60
21-45 46-55 56-65 >65 Total Kisaran (min-max) Rata-rata ± SD P *Umur suami dan istri berbeda secara signifikan.
n 75 22 3 0 100
% 75,0 22,0 3,0 0,0 100,0 25-56 40,6±7,31
0.00**
Tingkat Pendidikan Contoh dan Suami Pendidikan seseorang akan mempengaruhi pola pikir dan prilaku oarng tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik contoh maupun suami contoh berpendidikan sampai Sekolah Menengah Umum (SMU) dengan persentase yang hampir sama yaitu 39 persen dan 40 persen yang memiliki rata-rata lama pendidikan masing-masing 11,62 tahun dan 11,15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang ditempuh oleh contoh dan suami contoh sudah cukup baik yaitu di atas program wajib belajar sembilan tahun. Sebaran contoh dan suami contoh berdasarkan lama pendidikan dapat dilihat pada Tabel 3.
54
Tabel 3 Sebaran contoh dan suami contoh berdasarkan lama pendidikan Suami
Lama Pendidikan (tahun)
n 14 26 39 18 3 100
1-6 7-9 10-12 13-16 17-18 Total Kisaran (min-max) Rata-rata ± SD
Istri
% 14,0 26,0 39,0 18,0 3,0 100,0
n 13 19 40 14 2 100
6-18 11,15±3,16
% 13,0 19,0 40,0 14,0 2,0 100,0
6-18 11,62±3,16
Jenis Pekerjaan Contoh dan Suami Jenis pekerjaan akan sangat mempengaruhi besarnya pendapatan keluarga dalam rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (28%) pekerjaan utama contoh adalah pedagang sedangkan proporsi terbesar pekerjaan suami contoh (39%) adalah wiraswasta dan satu orang suami contoh yang tidak bekerja. Selebihnya baik contoh maupun suami contoh bekerja sebagai petani, PNS, buruh, karyawan, dan jasa angkutan. Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan utama suami dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran contoh dan suami berdasarkan jenis pekerjaan utama suami Suami
Jenis Pekerjaan Tidak bekerja Petani Pedagang PNS Buruh Karyawan Jasa Angkutan Wiraswasta Total
n 1 18 13 14 6 2 8 38 100
Jenis pekerjaan contoh adalah
Istri % 1,0 18,0 13,0 14,0 6,0 2,0 8,0 38,0 100,0
n 0 0 28 18 21 11 0 22 100
% 0,0 0,0 28.0 18.0 21.0 11.0 0,0 22.0 100,0
pedagang (dagang nasi, dagang harian,
dagang pakaian, dagang makanan kecil, dan dagang makanan porsi), PNS (guru, bidan, pegawai kantor walikota, pegawai kantor camat, pegawai kantor nagari), ,buruh (menyulam pakaian, selendang, jilbab, mengemas makanan ringan, dan
55
mengolah makanan), dan usaha wiraswasta adalah membuka usaha kue-kue, pakaian jadi, terali besi, dan lain-lain. Data dari 100 contoh diketahui terdapat satu suaminya yang tidak bekerja dan tidak menghasilkan pendapatan karena kondisi kesehatan. Jumlah Anak Contoh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anak contoh berkisar antara antara 1 sampai 6 orang dengan rata-rata 2,7 orang. Diketahui bahwa sebagian besar contoh memiliki keluarga kecil dengan jumlah anak (≤4 orang) dengan persentase 92 persen. Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jumlah anak Kategori Jumlah Anak
n
%
≤4
92
92,0
5-7
8 0 100
8,0 0,0 100,0
>7 Total Kisaran min-max (Orang) Rata-rata±SD (Orang)
1-6 2,73±1,17
Hal tersebut mencerminkan bahwa keluarga sudah banyak menyadari pentingnya keluarga kecil bahagia sejahtera. Menurut pengakuan contoh, jumlah anak yang semakin banyak akan semakin memberatkan dalam kebutuhan seharihari terutama akan kebutuhan untuk sekolah. Hal ini dilatarbelakangi oleh perkembangan dunia pendidikan dan perkembangan teknologi dewasa ini yang semakin maju. Keturunan kadangkala disesuaikan dengan tingkat perekonomian dalam keluarga dengan harapan dapat menciptakan keluarga yang sejahtera. Besar Keluarga Contoh
Besar keluarga adalah penjumlahan anggota keluarga inti dan sanak saudara yang tinggal bersama keluarga. Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga, biasanya jumlah anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besar keluarga contoh berkisar antara antara 3 sampai 8 orang dengan rata-rata 5
56
orang. Diketahui bahwa lebih dari sebagian contoh memiliki keluarga sedang (57 orang) dengan persentase 51 persen dan hampir sebagian contoh memiliki keluarga kecil (≤4 orang) dengan presentase 48 persen (Tabel 6).
Kecilnya
jumlah keluarga mencerminkan banyak keluarga yang sudah menyadari pentingnya nilai keluarga kecil bahagia sejahtera. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Kategori Besar Keluarga1) ≤ 4 (kecil) 5-7 (sedang) >7 (besar) Total Kisaran min-max (Orang) Rata-rata±SD (Orang) 1)
n
%
48 51 1 100
48,0 51,0 1,0 100,0 3-8 4,75± 1,17
Kategori menurut BKKBN (1998)
Ukuran keluarga berhubungan erat dengan pengeluaran dalam rumah tangga. Apabila terjadi penambahan anggota keluarga dalam rumahtangga akan merangsang keluarga tersebut untuk lebih giat lagi bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dengan cara lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya.
Hasil penelitian Prabawa (1998) menunjukkan
bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pendapatan pendapatan per kapita yang diperoleh akan lebih sedikit dan konsumsi keluarga semakin tinggi sehingga beban kepala keluarga cukup besar. Keadaan Ekonomi Keluarga Contoh
Kepemilikan Aset Keluarga Aset dalam penelitian ini adalah sumberdaya materi yang dimiliki oleh keluarga yang bernilai ekonomi. Aset ini terdiri dari dari rumah dan tanah, kendaraan, barang elektonik, perhiasan, uang (tabungan), lahan pertanian, perikanan dan kepemilikan ternak.
Pada penelitan ini kepemilikan aset dalam
keluarga dibagi atas: (1) Tidak ada, (2) Bawaan istri, (3) Bawaan Suami, (4) Bersama.
57
Tidak seluruh contoh memiliki rumah dan tanah sendiri. Sebanyak 32 persen menempati rumah dan tanah milik saudara atau sewa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aset keluarga bawaan istri adalah (rumah 57 persen, tanah 60,3 persen, emas 12 persen, dan sawah 10 persen) (Tabel 7). Dalam literatur etnografis,
sejumlah studi menyebutkan bahwa sumberdaya yang dibawa ke
pernikahan oleh perempuan, cendrung dikendalikan sendiri oleh perempuan, dalam hal ini emas adalah contoh aset yang umum. Aset-aset itu akan dibawa oleh perempuan bila terjadi perceraian, dan akan dikembalikan ke keluarganya bila perempuan itu meninggal dan tidak ada ahli waris (Beegle et al. 2001). Hasil penelitian Thomas et al. (1999) menunjukkan bahwa kepemilikan aset pribadi pra nikah biasa di temukan di Indonesia. Hal tersebut terutama di temukan pada keluarga di Jawa dan Sumatera, yang mempunyai tradisi membawa berbagai sumberdaya ke dalam pernikahan dan biasanya akan tetap di bawah kendalinya. Hal yang sama ditemukan pada adat yang berlaku di beberapa daerah di Kecamatan Ampek Angkek yakni istri membawa aset ke dalam pernikahan. Aset sangat mempengaruhi posisi istri dalam keluarga dan kesejahteraan keluarga. Menurut
Thomas et al. (1999) seorang istri yang membawa aset ke dalam
pernikahan lebih memiliki kekuasaan dalam peran pengambilan keputusan rumahtangga. Walaupun menganut sistem matrilineal dan lebih banyak membawa aset kedalam pernikahan tapi tetap masih menganggap suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama yang sama dengan sistem patriakhi. Aset keluarga bawaan suami adalah (rumah (7,4%), tanah (7,4%), sepeda motor (6%).
Aset keluarga yang dimiliki atau beli bersama adalah
(rumah
(35,3%), tanah (32,4%), motor (74%), sepeda (100%), mobil (18%), barang elektronik barang elektronik berupa televisi (90,0%), radio (86,4%), tape/compo (86,2%), VCD (88,0%), rice cooker (89.5%) dan kulkas (92,6%), emas (85,5%), tabungan (90,6%),
kambing (100,0%), ayam (76,2%), tambak (50,0%) dan
kerbau (100,0%). Kepemilikan aset dalam keluarga dapat menunjukkan kemampuan atau potensi suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup dan secara sosial juga menunjukan status anggota keluarga dalam kelompok dan masyarakat luas. Menurut Yeti (1994) dalam Azzachrawani (2004) umumnya keluarga yang
58
kepemilikan asetnya lebih banyak, status sosialnya lebih tinggi dan keluarga yang kepemilikan asetnya lebih sedikit status sosialnya lebih rendah. Aset yang diperoleh setelah menikah menggambarkan kemandirian sebuah keluarga yang merupakan implikasi kemandirian suami dan istri. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Bryant (1990) bahwa aset adalah sumber daya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan presentase status kepemilikan aset No
Jenis Aset
Tidak ada
Rumah dan Tanah 1 Rumah 32,0 2 Tanah 32,0 Kendaraaan 3 Motor 16,0 4 Sepeda 63,0 5 Mobil 81,0 Barang Elektronik 6 Televisi 2,0 7 Radio 19,0 8 Tave/compo 13,0 9 VCD 13,0 10 Komputer 65,0 11 Rice cooker 9,5 12 Kulkas 5,9 13 Mesin Cuci 57,0 14 Kipas Angin/AC 78,0 Perhiasan 15 Emas 17,0 16 Perak 98,0 Tabungan 36,0 Pertanian, Perikanan dan Ternak 17 Sawah 78,0 18 Ladang/kebun 81,0 19 Kambing 96,0 20 Ayam 79,0 21 Bebek/itik 96,0 22 Tambak 98,0 23 Kerbau 94,0
Ada Bawaan Istri
Bawaan Suami
Bersama
57,0 60,3
7,4 7,4
35,3 32,4
4,0 0,0 1,0
6,0 0,0 0,0
74,0 100,0 18,0
7,1 9,9 10,3 8,7 5,7 1,1 1,5 9,3 13,6
2,0 3,7 3,4 3,3 0,0 1,0 1,0 2,3 0,0
90,0 86,4 86,2 88,0 94,3 89,5 92,6 88,4 86,4
14,5 50,0 4,7
0,0 0,0 4,7
85,5 50,0 90,6
59,1 47,4 0,0 14,3 0,0 0,0 0,0
31,8 32,6 0,0 9,5 0,0 50,0 0,0
9,1 21,1 100,0 76,2 100,0 50,0 100,0
Secara garis besar, kepemilikan aset pada penelitian ini baik kendaraan, barang elektronik, perhiasan, dan ternak adalah milik bersama atau beli bersama
59
setelah pernikahan.
Aset yang diperoleh setelah menikah menggambarkan
kemandirian sebuah keluarga yang merupakan kemandirian suami dan istri (Becker 1981). Suami dan istri yang mengambil tanggung jawab utama untuk beberapa sumberdaya rumahtangga adalah hal yang wajar. Hal ini terlihat dari persentase aset beli bersama yang melebihi aset yang di bawa ke pernikahan. Sementara rumah dan tanah hampir sebagian bawaan istri, karena kebanyakan yang ditemui di Minangkabau, bila terjadi pernikahan maka pihak laki-laki yang akan tinggal dirumah keluarga istri, lalu kemudian rumah tersebut bisa menjadi warisan untuk si istri dari keluarganya. Harta bawaan yang berasal dari suami ataupun istri di Minangkabau disebut harta surang (seorang). Karena harta ini milik “surang” atau milik pribadi, maka harta ini dapat diberikannnya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan “surang baragiah, pancarian dibagi” (sendiri dapat diberikan, pencarian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencarian bisa dibagi bila terjadi perceraian. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan yang diperoleh keluarga. Pendapatan ini bisa berasal dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lain baik dari pekerjaan utama maupun sampingan. Besarnya pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga tersebut. Pendapatan keluarga dalam penelitian ini dinyatakan dalam rupiah per bulan. Garis Upah Minimum Rata-rata (UMR) Kota Sumatera Barat adalah Rp 916.124. Nilai ini selanjutnya digunakan sebagai batasan apakah contoh memiliki pendapatan di bawah atau diatas garis UMR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan total keluarga contoh per bulan berkisar antara Rp 1.200.000,- sampai Rp 10.000.000,- dengan rata-rata per bulan sebesar Rp 3.697.020,-. Dilihat dari pendapatan suami contoh berkisar antara Rp 0 sampai Rp 6.000.000,- per bulan dengan rata-rata total Rp. 1.904.700,- per bulan, dan pendapatan contoh berkisar antara Rp 280.000,- sampai 6.300.000,- dengan rata-rata total Rp 1.665.420,- perbulan. Berdasarkan data
60
pendapatan diketahui bahwa sebagian contoh memiliki pendapatan di atas UMR. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatankeluarga per bulan. Sumber dari Suami Pendapatan (Rp/Bulan) n % <= 916.124* 8 8,0 916.125- 1.832.249 52 52,0 1.832.250- 2.748.374 22 22,0 2.748.375 – 3.664.499 10 10,0 3.664.500 – 4.580.624 6 6,0 >= 4.580.625 2 2,0 Total 100 100,0
pendapatan Sumber dari Istri N % 31 31,0 37 37,0 14 14,0 13 13,0 1 1,0 4 4,0 100 100,0
keluarga
dan
Total n 0 12 27 23 11 27 100
% 0,0 12,0 27,0 23,0 11,0 27,0 100,0
Ket. UMR Kota Sumatera Barat menurut BPS 2010
Dilihat dari Garis Kemiskinan Sumatera Barat menurut BPS Tahun 2010, besar pendapatan per kapita perbulan keluarga contoh rata-rata diatas garis kemiskinan Sumatera Barat yaitu sebesar Rp
262.172 /kap/bulan.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempunyai pendapatan per kapita per bulan berkisar antara Rp 257.142,- sampai Rp 2.000.000,- dengan ratarata pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 812.090,- Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita perbulan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita perbulan Kategori (Rp/kap/Bulan) ≤ 262172* 262173 – 1041448 1041449 – 1820724 1820725 – 2600000 Total (n)
n 1 82 14 3 100
% 1,0 82,0 14,0 3,0 100,0
Ket: Garis Kemiskinan Kota Sumatera Barat menurut BPS 2010
Hasil ini menunjukkan secara garis besar keluarga contoh di Kecamatan Ampek Angkek tidak termasuk dalam kategori keluarga miskin di Sumatera barat, karena dilihat dari pendapatan per kapita perbulannya jauh diatas garis kemiskinan kota di Provinsi Sumatera Barat.
61
Kontribusi Pendapatan Istri terhadap Pendapatan Total Keluarga Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pendapatan keluarga merupakan hasil penjumlahan dari pendapatan seluruh anggota keluarga yang bekerja dan dari pendapatan lainnya.
Meskipun ada satu kepala keluarga (suami) dari
keluarga contoh yang tidak bekerja, namun secara keseluruhan suami memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan keluarga contoh. Hal ini sangat wajar mengingat tugas kepala keluarga (suami) adalah sebagai pencari nafkah utama (family main breadwinner). Meskipun demikian, istri juga memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan keluarga. Tabel 10 menunjukkan bahwa hampir sepertiga istri (30%) memiliki kontribusi terhadap pendapatan total keluarga per bulan pada kisaran 40.1 persen sampai dengan 50.0 persen, rata-rata 43,3 persen, dengan minimal 13,0 persen dan maksimal 100 persen. Elfina (2001) menyatakan bahwa pendapatan istri seimbang dengan suami dalam ekonomi keluarga, walaupun tingkat upah pada pekerjaan yang sama lebih murah dibanding yang diterima laki-laki. Jadi dapat dikatakan bahwa perempuan sangat berperan dalam menunjang perekonomian keluarga disamping pendapatan suami. Perempuan tidak hanya berperan besar untuk keluarga tetapi juga untuk dunia luar, Erfanirad & Zamani (2011) menyatakan bahwa perempuan memiliki peran sebesar 50,0 persen dalam bidang pertanian dan perempuan juga merupakan pihak yang berperan dalam menghasilkan setengah dari ketersediaan pangan yang ada di seluruh dunia. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kontribusi pendapatan istri terhadap pendapatan total keluarga Kontribusi Istri (%) 0 - 10 10- 20 20- 30 30- 40 40- 50 50- 60 60 – 70 70 – 80 80 – 90 90 – 100 Total (n) Kisaran min-max (%) Rata-rata ± SD (%)
n 0 6 16 24 30 11 7 3 2 1 100
% 0,0 6,0 16,0 24,0 30,0 11,0 7,0 3,0 2,0 1,0 100,0 13,0-100,0 43,3±0.16
62
Secara garis besar sebanyak 65,0 persen perempuan berkontribusi antara 30-60 persen dari pendapatan total keluarga. Bahkan sekitar 13,0 persen perempuan mampu berkontribusi antara 60-100 persen terhadap pendapatan total keluarga. Dengan demikian, contoh di lokasi penelitian menunjukkan proses kesetaraan gender dalam menyumbang pendapatan untuk keluarga. Besarnya kontribusi perempuan untuk keluarga didukung dengan banyaknya contoh yang membawa aset ke dalam pernikahan karena dalam sistem matrilineal perempuan mendapatkan aset dari keluarga besar dan juga sebagai tempat penyimpanan segala yang berharga teruatama aset. Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa
peran perempuan dalam fungsi
ekonomi keluarga adalah sangat signifikan bahkan menjadi main-breadwinner (pencari nafkah utama) dalam keluarga. Walaupun menganut sistem matrilineal dan mempunyai kontribusi yang besar terhadap pendapatan keluarga, namun sampai sekarang ini suami tetap dianggap sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama keluarga (main-breadwinner) dan istri berperan dalam mengerjakan pekerjaan domestik di rumah.
Namun, perkembangan zaman dewasa ini
menuntut istri membantu suami sebagai pencari nafkah.
Hasil penelitian
menunjukkan telah terjadinya pergeseran peran, sebagian suami tidak lagi berperan sebagai pencari nafkah utama keluarga (main-breadwinner) dan bisa berkolaborasi dengan istri dalam memenuhi setiap kebutuhan keluarga. Kontribusi ekonomi perempuan terhadap keluarga kurang dari 50 persen (<50%) dikelompokkan ke dalam secondary-breadwinner, sedangkan kontribusi ekonomi lebih dari dan sama dengan 50 persen (≥50%) dikelompokkan ke dalam main-breadwinner. Hasil identifikasi lebih lanjut menunjukkan pada Tabel 11 bahwa perempuan yang mampu berperan sebagai main-breadwinner memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Rata-rata usia suami adalah 46 tahun dan rata-rata usia istri adalah 42 tahun. Dengan demikian, usia suami dan usia istri termasuk ke dalam usia produktif; 2) Rata-rata lama sekolah suami adalah 10,73 tahun dan rata-rata lama sekolah istri adalah 11,39 tahun.
Hal ini berarti, baik suami
maupun istri memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik karena menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun; 3) Rata-rata besar keluarga adalah 4 orang dengan 2 anak yang tergolong ke dalam keluarga kecil; 4) Rata-rata pendapatan
63
total keluarga adalah sebesar Rp 4.113.404,00. Jika dilihat berdasarkan garis kemiskinan Sumatera Barat tahun 2010, maka pendapatan total responden berada di atas garis kemiskinan. Dengan demikian, responden tergolong keluarga sejahtera; 5) Pembagian tugas di antara suami istri sudah seimbang/setara. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata peran gender dalam pembagian tugas sebesar 67.14 persen; 6) Peran gender dalam pelaksanaan tugas rumah tangga dan sosial dan peran gender dalam pengambilan keputusan aktivitas keluarga sudah seimbang antara suami dan istri. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata peran gender dalam pengambilan keputusan yang mencapai angka 81.80 persen; dan 7) Memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi (rata-rata kesejahteraan subjektif sebesar 84.05%). Berdasarkan hasil uji beda antara secondary-breadwinner dan main-breadwinner, ditemukan bahwa terdapat perbedaan nyata antara usia suami dan peran gender dalam pembagian tugas (Tabel 11). Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan presentase karakteristik keluarga dan kategori kontribusi perempuan Kontribusi Variabel Uji-t (p) <50% ≥ 50% Umur Suami Umur Istri Lama Sekolah Ayah Lama Sekolah Ibu Besar Keluarga Jumlah anak Pendapatan Total Keluarga Peran Gender dalam Pelaksanaan Tugas Keluarga dan Sosial Peran gender dalam Pengambilan Keputusan Kesejahteraan Subjektif Berbeda nyata pada p < 0,05
43.34 39.43 11.48 11.80 4.84 2.82 3.369.464
46.68 42.25 10.73 11.39 4.64 2.61 4.113.904
0.028* 0.055 0.238 0.516 0.394 0.385 0.055
62.89
67.14
0.021*
85.82
81.80
0.053
87.32
84.85
0.093
Menurut Sajogyo (1992) perempuan tidak hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga, tetapi sekaligus menjalankan fungsinya sebagai pencari nafkah keluarga. Hal tersebut sesuai pula dengan hasil penelitian Elfina (2001) tentang peranan perempuan pedesaan dalam ekonomi rumahtangga yang dilakukan di Padang bahwa pendapatan istri seimbang dengan suami dalam ekonomi keluarga,
64
walaupun tingkat upah pada pekerjaan yang sama lebih murah dibanding yang diterima laki-laki. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja memberi kontribusi terhadap pendapatan keluarga dan juga pendidikan serta perawatan kesehatan anak-anak. Hasil penelitian di Ghana menunjukkan bahwa walaupun pendapatan yang didapatkan oleh perempuan dari pekerjaannya cenderung kecil, namun memainkan peranan yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan makanan keluarga, terutama saat terjadi gagal panen. Perempuan juga mampu membelikan pakaian untuk anak dan membayar biaya sekolah anak, serta perawatan sokolah anak (Amu 2003). Jadi dapat dikatakan bahwa perempuan sangat berperan dalam menunjang perekonomian keluarga disamping suami. Perkembangan ini membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan keluarga, dengan adanya istri yang bekerja dapat memberikan masukan penghasilan tambahan bahkan penghasilan utama untuk kepentingan keluarga. Menurut Scheider (1986) dan juga Parker (1990) dalam Achdiani (2000) yang menyatakan bahwa alasan perempuan untuk bekerja dapat dibedakan atas tingkat kelas sosialnya. Bagi perempuan kelas atas dan menengah lebih cendrung untuk menyalurkan kreativitas, mencari persahabatan dan meluaskan wawasan serta alasan psikologis yang lain, sedangkan bagi perempuan dari kelas bawah alasan pokok adalah faktor ekonomi yaitu penopang kehidupan ekonomi. Selain itu Zamani & Efanirad (2011) mengatakan bahwa wanita memiliki peran sebesar 50,0 persen dalam bidang pertanian dan perempuan juga merupakan pihak yang berperan dalam menghasilkan setengah dari ketersediaan pangan yang ada di seluruh dunia. Kalau dilihat dari perempuan Minangkabau
perkawainan memberikan
banyak keuntungan bagi perempuan. Dengan perkawinan tidak saja memberikan hak pusaka bagi dirinya, tetapi dengan perkawinan juga memungkinkan perempuan memperoleh penghormatan dan kepatuhan dari anaknya, perlindungan dan bantuan finansial dari saudara laki-lakinya dan kasih sayang, finansial dan tenaga dari suaminya. Perempuan juga dapat memperoleh penghasilan sendiri lewat berjualan buah-buahan atau sayuran di pasar (Schrijvers & Els Postel-Coster 1977)
65
Pola kewarisan yang diperuntukkan bagi perempuan, menyebabkan perempuan di Minangkabau, secara ekonomi relatif kuat. Dengan besarnya kontribusi ekonomi perempuan terhadap keluarga akan mempunyai pengaruh semakin kuat kedudukan perempuan, terutama dalam keluarga. Walaupun menganut sistem matrilineal dan besarnya kontibusi terhadap keluarga
tapi
perempuan Minangkabau menganggap suami adalah kepala keluarga dan ujung tombak keluarga, dan sebagai orang yang bertanggungjawab atas kelangsungan rumahtangga secara keseluruhan. Pembagian Peran Gender dalam Keluarga Peran Gender Dalam Pelaksanaan Pekerjaan Rumah Tangga dan Sosial Pembagian kerja antara sesama anggota keluarga (laki-laki dan perempuan) dalam keluarga inti menunjukkan pada adanya diferensiasi gender yang merupakan suatu prasyarat struktural untuk kelangsungan keluarga inti (Megawangi 1999). Dengan adanya kompromi maka individu tersebut akan mengatasi masalah dengan kreatif dan inovatif yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Adapun sikap saling membantu disini berkaitan dengan keterlibatan suami dan istri dalam peraturan rumahtangga seperti soal pekerjaan dapur, memelihara pakaian, memelihara alat rumahtangga dan kebersihan rumah, serta mengusur keluarga terutama dalam pengasuhan anak Paloma dalam Supriyantini (2002). Semakin baiknya kerjasama antara suami dan istri akan semakin meningkatkan kesejahteraan keluarga yang diharapkan. Pada penelitian ini, pembagian peran gender yang diteliti adalah pembagian peran gender dalam pelaksanaan tugas keluarga dan sosial. Adapun pembagian tugas keluarga terdiri dari tiga jenis kelompok kegiatan yaitu 1) Pembagian peran dalam pekerjaan domestik seperti, perawatan fisik anak sehari-hari/pengasuhan, perawatan pada saat anak sakit, mendampingi anak belajar, memandikan anak, menyuapi anak dan menidurkan anak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, menyediakan makanan, belanja peralatan rumahtangga, mengambil air, menyapu halaman dan menata ruangan dan mencuci kendaraan,
66
2) Pembagian peran dalam pekerjaan publik/ekonomi (mencari nafkah), pembagian peran dalam aktivitas sosial seperti, arisan, kerja bakti, rapat desa. Hasil penelitian menunjukkan dalam pembagian tugas dan sosial dalam keluarga menunjukan bahwa kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan domestik seperti perawatan fisik anak sehari-hari (45%), perawatan pada saat anak sakit (50%), mengantar anak ke sekolah (39%), belanja peralatan rumahtangga (58%), mengambil air (41%) dilakukan oleh suami dan istri (bersama-sama). Sementara mendampingi anak belajar 43%), memandikan anak (48%), menyuapi anak makan (51%), menidurkan anak (44%), membersihkan rumah (43%), mencuci pakaian (46%), dan menata ruangan (41%) menyapu halaman (38%) dilakukan oleh suami dan istri tetapi dominan istri. Sedangkan menyetrika pakaian (48%), menyediakan makanan (52%) lebih banyak dilakukan istri saja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saleha (2003), Puspitawati (2008), dan Kusumo (2009) yang menunjukkan bahwa pada masyarakat berlaku pola pembagian kerja disektor domestik merupakan tanggung jawab istri, meskipun ditemukan juga beberapa kasus dimana suami bersedia berbagi pekerjaan dengan istri untuk melakukan tugas rumahtangga.
Ihromi
(1990) juga mengatakan bahwa pekerjaan di sektor domestik utamanya berada dalam tanggung jawab istri. Adapun aktivitas domestik yang paling banyak dilakukan oleh suami adalah mencuci kendaraan (61%). Kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan publik atau ekonomi (mencari nafkah) lebih banyak dilakukan oleh suami-istri (86%). Hal ini membuktikan bahwa sudah ada tanggung jawab bersama antara suami-istri dalam hal mencari nafkah keluarga. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas sosial seperti arisan (46%) lebih banyak dilakukan oleh istri. Aktivitas sosial lainnya seperti pengajian (44%), rapat desa (39%) dan kerja bakti (45%) dilakukan bersama antara suami istri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Klein dan White (1996) bahwa pembagian peran gender dibutuhkan untuk menjaga kesimbangan keluarga dalam menjalankan fungsi keluarga menuju terwujudnya tujuan keluarga. Suami dan istri bersepakat dalam membagi peran dan tugas sehari-hari, bertanggung jawab terhadap peran dan tugasnya masing-masing, dan saling menjaga komitmen bersama. Peran gender adalah hubungan antara laki-laki
67
dan perempuan yang berkaitan dengan pembagian peran yang dijalankan masingmasing pada berbagai tipe dan struktur keluarga. Pembagian peran gender sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dalam menjalankan fungsi keluarga menuju terwujudnya tujuan keluarga. Berkaitan dengan gender dan pemenuhan hidup, diketahui adanya kerjasama perempuan dan laki-laki di tingkat keluarga dan masyarakat (Bappenas 2008). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan persentase pembagian peran gender dalam melaksanakan tugas keluarga Pertanyaan
Skor 3
1 2 4 5 Pekerjaan Domestik Perawatan fisik anak sehar-hari 16,0 39,0 45,0 0,0 0,0 Perawatan pada saat anak sakit 10,0 37,0 50,0 0,0 0,0 Mendampingi anak belajar 22,0 43,0 34,0 1,0 0,0 Memandikan anak 29,0 47,0 23,0 1,0 0,0 Menyuapi anak makan 33,0 51,0 15,0 1,0 0,0 Mengantar anak ke sekolahan / pengajian 23,0 23,0 39,0 8,0 7,0 Menidurkan anak 33,0 44,0 23,0 0,0 0,0 Membersihkan rumah (menyapu dan 39,0 43,0 18,0 0,0 0,0 mengepel rumah) Mencuci pakaian 45,5 46,0 9,0 0,0 0,0 Menyetrika pakaian 48,0 45,0 7,0 0,0 0,0 Menyediakan makanan 52,0 42,0 6,0 0,0 0,0 Belanja kebutuhan sehari-hari 42,0 39,0 19,0 0,0 0,0 Belanja peralatan rumah tangga 22,0 20,0 58,0 0,0 0,0 Mengambil air 10,0 23,0 41,0 4,0 22,0 Menyapu halaman 26,0 38,0 32,0 4,0 0,0 Menata ruangan 18,0 41,0 38,0 2,0 1,0 Mencuci kendaraan 11,0 0,0 12,0 16,0 61,0 6,0 5,0 86,0 0,0 3,0 Pembagian Peran pekerjaan publik/ekonomi/ Pembagian Peran Aktifitas Sosial Arisan 46,0 41,0 13,0 0,0 0,0 Pengajian 27,0 28,0 44,0 1,0 0,0 Rapat desa 27,0 17,0 39,0 7,0 10,0 Kerja bakti 3,0 3,0 45,0 10,0 39,0 Ket: 1=Istri saja, 2= Istri dominan, 3= Suami+Istri, Suami Dominan, dan 5= Suami Saja Recode 1=1, 2=2, 3=3, 4=2, 5=1
Rataan Skor 2,29 2,37 2,12 1,93 1,81 2,09 1,90 1,79 1,64 1,59 1,54 1,77 2,36 2,09 2,06 2,22 1,40 2,77 1,67 2,17 2,02 2,03
Pembagian tugas suami dan istri dalam rumahtangga dan sosial yang dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi menjelaskan bahwa: 1) Kerjasama rendah artinya baik suami atau istri kurang melakukan kerjasama dalam aktifitas domestik atau pekerjaan publik/sosial, contoh: pada pekerjaan domestik suami atau istri saja yang melakukan mengasuh anak/merawat anak dan pekerjaan rumah tangga (mencuci dan menyetrika pakaian, menyediakan makanan, belanja
68
kebutuhan sehari-hari), dan pada pekerjaan publik/sosial suami atau istri saja yang melakukan arisan, pengajian, rapat desa, dan kerja bakti; 2) Kerjasama sedang artinya suami dan istri mulai melakukan kerjasama namun masih didominasi oleh asalah satunya, contoh: pada pekerjaan domestik suami dan istri melakukan perawatan fisik anak, mendampingi anak belajar, membersihkan halaman, menata ruangan, dan pada pekerjaan publik/sosial contohnya: arisan, pengajian dan rapat desa. 3) Kerjasama tinggi artinya suami dan istri melakukan kerjasama secara bersama/ melakukan bersama, contoh pada pekerjaan publik adalah: merawat fisik anak, merawat pada saat anak sakit, mengantar anak ke sekolah, dan belanja peralatan rumahtangga, dan pada pekerjaan publik/sosialnya adalah: melakukan pengajian, rapat desa dan kerja bakti. Tabel 13 menunjukkan bahwa kerjasama antar suami-istri pada kegiatan domestik (52,0%) termasuk kategori sedang dengan rata-rata 46.98 persen. Artinya, pembagian peran keluarga contoh cukup seimbang meskipun cendrung dilakukan oleh istri. Menurut Megawangi (1999) pembagian kerja antara sesama anggota keluarga (laki-laki dan perempuan) dalam keluarga inti menunjukan adanya “differensiasi peran gender” yang merupakan suatu prasyarat struktural untuk kelangsungan keluarga inti. Backer (1965) dalam menyatakan bahwa tingkat partisipasi anggota rumahtangga dipengaruhi oleh perbedaan kelamin. Perempuan akan menghabiskan waktu untuk pekerjaan rumahtangga sedangkan laki-laki untuk pekerjaan mencari nafkah. Pada kegiatan publik/sosial (41%) termasuk dalam kategori tinggi dengan rata-rata 57,60 persen. Artinya, pembagian peran dalam keluarga contoh sudah seimbang atau setara antara suami dan istri. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori pembagian melaksanakan tugas keluarga Domestik Kategori Kerjasama Gender n % Rendah (<33%) 30 30,0 Sedang (33- 66%) 52 52,0 Tinggi (≥67%) 18 18,0 Total (n) 100 100,0
peran gender dalam Publik/Sosial n % 21 21,0 38 38,0 41 41,0 100 100,0
69
Jadi secara garis besar kerjasama pada pekerjaan domestik termasuk dalam kategori sedang. Artinya, masih terdapat kerjasama atau kompromi antara suami dan istri dalam semua kegiatan tugas dalam rumahtangga atau kegiatan domestik meskipun masih ada salah satu yang dominan. Keterlibatan suami dalam pekerjaan rumahtangga merupakan fenomena yang menarik karena pembagian kerja antara laki-laki dan wanita sampai sekarang masih berlaku. Apalagi pada kawasan pedesaan Minangkabau yang masih dipengaruhi oleh sistem keluarga luas matrilineal, dimana laki-laki dianggap tabu dan akan merasa malu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dilakukan kaum perempuan. Peran perempuan sebagai pencari nafkah keluarga menyebabkan keterlibatan suami semakin besar dalam pekerjaan rumahtangga. Kerjasama publik/sosial masuk dalam kategori tinggi. Artinya, bahwa dalam menentukan kegiatan keluarga ditentukan bersamasama oleh suami dan istri atau sudah terdapat kerjasama atau kompromi antara suami dan istri dalam kegiatan publik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Klein dan White (1996) bahwa pembagian peran gender dibutuhkan untuk menjaga kesimbangan keluarga dalam menjalankan fungsi keluarga menuju terwujudnya tujuan keluarga. Suami dan istri bersepakat dalam membagi peran dan tugas sehari-hari, bertanggung jawab terhadap peran dan tugasnya masing-masing, dan saling menjaga komitmen bersama. Hal ini sesuai dengan pendekatan teori struktural-fungsional yang menekankan keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kesatabilan sistem sosial dalam masyarakat. Levi dalam Megawangi (1999) juga menguatkan bahwa harmoni dalam pembagian peran dan penyelenggaraan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak, kewajiban, dan nilai-nilai bersama adalah kondisi utama berfungsinya keluarga. Berfungsinya keluarga akan memberikan kepuasan bagi anggotanya. Menurut Megawangi (1999) pembagian kerja antara sesama anggota keluarga (laki-laki dan perempuan) dalam keluarga inti menunjukkan adanya diferensiasi peran gender yang merupakan suatu prasyarat struktural untuk kelangsungan keluarga ini. Eshleman (1991), Gelles (1995), serta Newman dan Grauerholz (2002) dalam Puspitawati dan Fahmi (2008) juga menyatakan bahwa pendekatan teori struktural fungsional dapat
70
digunakan dalam menganalisis pembagian peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Peran Gender dalam Pengambilan Keputusan Deacon dan Firebaugh (1988) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses yang mendasari semua fungsi manajemen sumberdaya keluarga. Hal ini berarti bahwa selama proses manajemen sumberdaya berlangsung, maka proses pengambilan keputusan juga terjadi. Pengambilan keputusan antara suami dan istri pada penelitian ini terdiri dari: (a) Aspek Keuangan seperti membuat rencana keuangan dengan disiplin, mengevaluasi anggota keluarga atas tindakan yang dilakukan, mengontrol keuangan keluarga, memegang keuangan keluarga dan membuat prioritas kebutuhan; (b) Aspek Pangan seperti mengatur kebutuhan pangan sehari-hari, mengatur menu makanan di rumah, menentukan pengeluaran untuk pangan, mempunyai ide untuk mengurangi kebutuhan pangan dan makan diluar; (c) Aspek Pendidikan seperti menentukan anak sekolah atau tidak, memilih pendidikan anak dan mengatur pengeluaran untuk pendidikan; (d) Aspek kesehatan seperti menentukan pengeluaran untuk keperluan kesehatan, menentukan tempat berobat dan mempunyai ide untuk menangguhkan pengobatan bila ada anggota keluarga yang sakit; (e) Aspek Keperluan keluarga lainnya seperti membeli pakaian keluarga, membeli perabot rumah, membeli peralatan dapur dan membeli perhiasan; dan (f) Strategi memenuhi kebutuhan hidup seperti mencari tambahan pekerjaan, menyuruh anak membantu pekerjaan, menyuruh istri bekerja, menjual/menggadaikan barang , menentukan tempat menabung dan menentukan mengambil tabungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan untuk aktivitas keuangan yang terdapat pada masyarakat Ampek Angkek secara umum didominasi oleh istri dan bersama-sama antara suami istri. Pengambilan keputusan oleh suami dan istri (bersama-sama) dan senilai antara suami dan istri, terlihat pada kegiatan membuat perencanaan keuangan (86%), mengatur pengeluaran keluarga (71%), mengevaluasi pengeluaran keluarga (71,7%), memegang keuangan keluarga (64%), mengontrol keluarga dalam menjalankan aktivitas
71
keuangan (86%), memisahkan antara pendapatan istri dan suami (85,7%), membicarakan masalah keuangan dengan keluarga (95%), mengajarkan manajemen keuangan kepada anak (51%), dan memegang keuangan untuk usaha (62,3%). Adapun untuk kegiatan mencatat biaya pengeluaran (62,5%) dan membandingkan antara pengeluaran (44,1%) didominasi oleh istri. Pengambilan keputusan untuk aktivitas pangan yang terdapat pada masyarakat Ampek Angkek didominasi oleh istri. Hal ini ini terlihat pada persentase pengambilan keputusan untuk aktivitas yang berkaitan dengan mengatur kebutuhan pangan sehari-hari (54%), mengatur menu makanan di rumah (53%), menentukan pengeluaran untuk pangan (52%), dan mempunyai ide untuk mengurangi kebutuhan pangan (42,9%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
dengan penelitian Saleha (2003), Azzachrawani (2004), Puspa (2007), dan Kusumo (2009) yang menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dalam pengeluaran pangan dan urusan makanan atau pangan cenderung diambil atau didominasi oleh istri. Adanya dominasi istri pada aspek makanan karena suami menganggap istri lebih mengetahui dan menguasai bidang tersebut.
Hal ini
senada dengan pendapat Darsono (1992) yang menyatakan bahwa pada bidang pengeluaran pangan dan pengambilan keputusan dalam urusan makanan cenderung didominasi oleh istri. Selain itu, istri secara ekonomi tidak selalu bergantung pada suami sehingga ia memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan makanan (Deacon & Firebaugh 1988). Adapun aktivitas makan di luar rumah, lebih dari separuh responden (60%) didominasi oleh keputusan bersama dan senilai antara suami istri. Pengambilan keputusan untuk aktivitas pendidikan yang terdapat pada masyarakat Ampek Angkek secara umum diputuskan bersama dan senilai antara suami dan istri seperti dalam menentukan anak sekolah atau tidak (91%), memilih tempat pendidikan anak (91%), dan mengatur pengeluaran untuk pendidikan (85%). Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumo (2009) yang menunjukkan bahwa dalam menentukan anak sekolah atau tidak, memilih tempat pendidikan anak dan mengatur pendidikan anak diputuskan bersama oleh suami dan istri. Perbedaan kondisi sosial budaya juga dapat mempengaruhi pola pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan. Hasil penelitian Azizah (2001) pada
72
masyarakat Makasar dan Saleha (2003) pada keluarga nelayan di Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa pengambilan keputusan dalam pendidikan anak lebih banyak dibuat oleh suami karena suami merasa bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Pengambilan keputusan untuk aktivitas kesehatan yang terdapat pada masyarakat Ampek Angkek secara umum diputuskan bersama dan senilai antara suami dan istri seperti dalam menentukan pengeluaran untuk keperluan kesehatan (92%), dan menentukan tempat berobat (89%). Hal ini terjadi karena suami dan istri ikut berperan dalam meningkatkan kesehatan keluarga. Selain itu sistem kekerabatan di Kecamatan Ampek Angkek tidak lagi cenderung ke matrialneal tapi sudah mengarah ke bilateral, dimana kedudukan suami dan istri dalam keluarga dipandang sama. Distribusi kekuasaan suami dan istri dalam keluarga cendrung seimbang, selain istri memiliki prinsip untuk menjaga kerukunan juga mendasari kebiasaan musyawarah dalam pengambilan keputusan (Magnis-Suseno 1985). Pengambilan keputusan untuk aktivitas keperluan keluarga lainnya secara umum didominasi oleh keputusan bersama dan senilai antara suami dan istri seperti membeli pakaian keluarga (68%) dan membeli perabot rumah (71%). Adapun untuk pengambilan keputusan membeli peralatan dapur (54%) dan membeli perhiasan (40,2%) dilakukan oleh suami istri tetapi lebih dominan istri. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusnadi (2001) yang menyimpulkan bahwa umumnya istri yang bekerja memiliki kekuasaan untuk menentukan usahanya sendiri. Peran mereka menjadi lebih penting karena berkaitan dengan sumberdaya keluarga yaitu peningkatan penghasilan rumahtangga dibanding bila mereka hanya sebagai pengelola rumahtangga saja tanpa mengerjakan sesuatu yang sifatnya menambah keuangan keluarga. Pengambilan keputusan untuk aktivitas strategi memenuhi kebutuhan hidup secara umum didominasi oleh keputusan bersama dan senilai antara suami dan istri seperti dalam mencari tambahan pekerjaan (39,4%), menyuruh anak membantu bekerja (51,0%), dan menentukan tempat menabung (83,3%). Menentukan mengambil tabungan (83,3%).
Adapun untuk pengambilan
keputusan dalam menyuruh istri bekerja (44,4%) di dominasi oleh istri.
73
Untuk memahami status perempuan di dalam atau di luar keluarga dalam konteks pengambilan keputusan, terlebih dahulu dilakukan identifikasi masalah, distribusi dan alokasi kekuasaan serta pembagian kerja yang berlaku didalamnya. Sanday (1987) dalam Saleha (2003) menyatakan bahwa kekuasaan dinyatakan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi atau mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan suatu keluarga dan dapat tersebar dengan nilai yang sama atau tidak sama khususnya antar suami atau istri. Distribusi dan alokasi wewenang antara suami dan istri dapat dianalisis dengan lima pola pengambilan keputusan Sajogyo (1987), yaitu: (1) Keputusan diambil oleh istri seorang diri, (2) Keputusan diambil oleh suami seorang, (3) Keputusan diambil bersama oleh suami dan istri, namun dengan dominasi istri, (4) Keputusan diambil bersama oleh suami dan istri, namun dengan dominasi suami, (5) Keputusan diambil seimbang antara suami dan istri Analisis mengenai pembagian kerja baik di dalam maupun luar keluarga dapat membantu memahami status sosial dalam keluarga dan dalam komunitas. Konsep atau wewenang digunakan untuk mengungkapkan kapasitas dari seseorang atau kelompok untuk “membuat keputusan”. Dalam keluarga, wewenang dapat didistribusikan secara seimbang atau tidak seimbang di antara anggota keluarga, terutama diantara suami dan istri. Menurut Blood dan Wolf dalam Sajogyo (1987), aspek pembagian kerja dan wewenang merupakan masalah mendasar dalam keluarga. Dalam situasi ini, struktur keluarga dipengaruhi oleh posisi atau status keluarga dalam lingkungan budaya komunitasnya. Pengambilan keputusan dalam keluarga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Rendah artinya baik suami atau istri kurang melakukan kerjasama dalam pengambilan keputusan keluarga, contohnya: (a) Pada aktivitas keuangan, suami atau istri saja yang memutuskan untuk mencatat biaya pengeluaran, menabung di celengan, berhutang ke tetangga, memasukkan uang ke amplop-amplop yang sudah dikategorikan, dan berhutang ke keluarga; (b) pada aktivitas pangan, suami atau istri saja yang mengatur kebutuhan sehari-hari dan mengatur makanan; (c) Pada keperluan keluarga lainnya, suami atau istri saja yang memutuskan membeli perhiasan dan membeli peralatan dapur serta membeli pakaian keluarga; dan (d) Pada strategi memenuhi kebutuhan hidup, suami atau
74
istri saja yang memutuskan untuk menyuruh istri bekerja dan menyuruh anak membantu pekerjaan. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan persentase pembagian peran gender dalam dalam pengambilan keputusan. Pertanyaan Keuangan Membuat perencanaan keuangan Mengatur pengeluaran keluarga Mengevaluasi pengeluaran keluarga Memegang keuangan keluarga Membuat prioritas kebutuhan Mengontrol keluarga dalam menjalankan aktivitas keuangan Mencatat biaya pengeluaran Membandingkan antara pengeluaran Menabung di bank Menabung di celengan Memegang keuangan untuk usaha Menggunakan kredit card Berhutang ke bank Berhutang ke keluarga Berhutang ke tetangga Memasukan uang ke dalam amplop-ampolp yang sudah dikategorikan Memisahkan antara pendapatan istri dan suami Membicarakan masalah keuangan dengan keluarga Menyelesaikan masalah keuangan dengan keluarga Mengajarkan manajemen keuangan kepada anak Membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu Pangan Mengatur kebutuhan pangan sehari-hari Mengatur menu makanan di rumah Menentukan pengeluaran untuk pangan Mempunyai ide untuk mengurangi kebutuhan pangan Makanan di luar rumah Pendidikan Menentukan anak sekolah atau tidak Memilih tempat pendidikan anak Mengatur pengeluaran untuk pendidikan Kesehatan Menentukan pengeluaran untuk keperluan kesehatan Menentukan tempat berobat Keperluan Keluarga lainnya Membeli pakaian keluarga Membeli perabot rumah Membeli peralatan dapur Membeli perhiasan Strategi Memenuhi kebutuhan hidup Mencari tambahan pekerjaan Menyuruh anak membantu pekerjaan Menyuruh istri bekerja Menjual/menggadaikan perabot Menentukan tempat menabung Menentukan mengambil tabungan
1
2
Skor 3
4
5
Rataan Skor
0,0 6,0 7,1 8,0 8,0 4,0
13,0 21,0 17,2 23,0 22,0 9,0
86,0 71,0 71,7 64,0 69,0 86,0
1,0 2,0 1,0 5,0 1,0 1,0
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
2.88 2.69 2.73 2.66 2.63 2.84
18,8 9,7 14,3 47,4 2,9 0,0 3,8 33,3 65,0 50,0
62,5 44,1 12,7 31,6 15,9 3,7 5,8 19,0 15,0 42,0
17,7 44,1 60,3 19,3 62,3 37,0 71,2 35,7 15,0 7,9
1,0 1,1 4,8 1,8 14,5 22,2 13,5 9,5 5,0 0,0
0,0 1,1 7,9 0,0 4,3 37,0 5,8 2,4 0,0 0,0
2.01 2.40 2.79 1.75 3.01 3.93 3.12 2.29 1.60 1.58
2,9 1,0 0,0 2,0 16,1
10,0 4,0 8,0 45,0 30,4
85,7 95,0 92,0 51,0 46,4
1,4 0,0 0,0 2,0 7,1
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
2.86 2.94 2.92 2.53 2.45
38,0 42,0 37,0 25,5 6,3
54,0 53,0 52,0 42,9 11,3
8,0 5,0 11,0 30,0 75,0
0,0 0,0 0,0 1,1 6,3
0,0 0,0 0,0 0,0 1,3
1.70 1.63 1.74 2.07 2.85
0,0 0,0 1,0
7,0 7,0 12,0
91,0 91,0 85,0
2,0 2,0 2,0
0,0 0,0 0,0
2.95 2.95 2.88
1,0 1,0
4,0 4,0
92,0 89,0
2,0 5.0
1,1 1,0
2.98 3.01
13,0 7,0 31,0 21,7
19,0 21,0 54,0 40,2
68,0 71,0 15,0 3,0
0,0 1,0 0,0 0,0
0,0 0,0 0,0 0,0
2.55 2.66 1.84 2.16
4,0 5,1 34,3 10,3 2,8 1,4
18,2 40,8 44,4 51,7 11,1 11,1
39,4 51,0 14,1 34,5 83,3 83,3
26,3 3,1 5,1 3,4 4,2 3
12,1 0,0 2,0 0,0 0,0 4,2
3.24 2.52 1.96 2.31 2.87 2.90
Ket: 1=Istri saja, 2= Istri dominan, 3= Suami+Istri, Suami Dominan, dan 5= Suami Saja Recode 1=1, 2=2, 3=3, 4=2, 5=1
75
Kategori sedang artinya suami dan istri mulai melakukan kerjasama namun masih didominasi oleh salah satunya, contohnya: (a) Pada aktivitas keuangan, yaitu memutuskan untuk membuat perencanaan keuangan, memegang keuangan keluarga, mencatat biaya pengeluaran, membandingkan antara pengeluaran, dan mengajarkan manajemen keuangan pada anak; (b) Pada pangan memutuskan untuk mengatur kebutuhan pangan sehari-hari, mengatur menu makan di rumah, menentukan pengeluaran untuk pangan, dan mempunyai ide untuk mengurangi kebutuhan pangan; (c) Pada keperluan keluarga lainnya memutuskan untuk membeli perabit rumah, membeli peralatan dapur, dan membeli perhiasan; dan (d) Pada strategi memenuhi kebutuhan hidup dalam memutuskan untuk menyuruh anak membantu pekerjaan, menyuruh istri bekerja, dan menjual/menggadaikan perabot. Adapun kategori tinggi artinya, suami dan istri memutuskan secara bersama-sama/bekerjasama dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, contohnya: (a) Pada aktivitas keuangan, dalam memutuskan membuat perencanaan keuangan, mengatur keuangan keluarga, mengevaluasi pengeluaran keluarga, memegang keuangan keluarga, mengontrol keluarga dalam menjalankan aktivitas keuangan, mencatat biaya pengeluaran, menabung di bank, memegang keuangan usaha, berhutang ke bank, memisahkan pendapatan istri dan suami, menyelesaikan masalah keuangan dengan keluarga mengajarkan manajemen keuangan kepada anak, dan membeli sesuatu yang tidak perlu; (b) Pada aktivitas pangan, dalam memutuskan mengatur kebutuhan pangan sehari-hari, mengatur menu makanan, menentukan pengeluaran untuk pangan, dan mempunyai ide untuk mengurangi kebutuhan pangan; (c) Pada aktivitas pendidikan, dalam memutuskan menentukan anak sekolah atau tidak, menentukan tempat pendidikan anak, dan mengatur pengeluaran untuk pendidikan; (d) Pada kesehatan dalam memutuskan
menentukan
pengeluaran
untuk
keperluan
kesehatan,
dan
menentukan tempat berobat; (e) Pada keperluan keluarga lainnya dalam memutuskan membeli pakaian keluarga, membeli perabot rumah, dan membeli perhiasan; dan (f) Pada strategi memenuhi kebutuhan hidup, dalam memutuskan mencari tambahan pekerjaan, menyuruh anak membantu pekerjaan, menentukan tempat menabung, dan menentukan mengambil tabungan.
76
Tabel 15 menunjukkan bahwa kerjasama dalam pengambilan keputusan antara suami-istri yang termasuk kategori tinggi adalah pengambilan keputusan dalam aspek pangan, pendidikan, kesehatan, dan keperluan keluarga lainnya, yaitu sebesar 57.0 persen dengan rata-rata 66.68 persen. Hal ini berarti, sudah terdapat pengambilan keputusan yang seimbang/setara antara suami dan istri dalam aspek pangan, pendidikan, kesehatan dan keperluan keluarga lainnya. Adapun yang termasuk kategori sedang adalah pengambilan keputusan dalam aspek keuangan (72,0%), dan strategi memenuhi kebutuhan hidup (36,0%), dengan
rata-rata pengambilan keputusan contoh keuangan 44.69 persen, dan
strategi memenuhi kebutuhan hidup 46.75 persen. Hal ini berarti bahwa sebagian besar keluarga contoh dalam merencanakan kegiatan rumahtangganya cukup seimbang meskipun cenderung dilakukan oleh istri. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat diferensiasi peran dalam keluarga.
Megawangi (1999) menyatakan
bahwa dalam keluarga perlu ada alokasi kewajiban tugas yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem tetap ada. Tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu. Diferensiasi peran dalam keluarga mengindikasikan adanya kompromi dalam keluarga yang pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan keluarga. Supriyantini (2002) menyatakan bahwa dengan adanya kompromi maka individu tersebut akan dapat mengatasi masalah dengan cara yang kreatif dan inovatif yang akan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sikap saling bantu membantu dan kompromi disini antara lain adalah membicarakan keterlibatan suami dan istri dalam peraturan rumah tangga, mengelola rumahtangga seperti soal pekerjaan dapur, memelihara pakaian, memelihara alat rumah tangga dan kebersihan rumah, serta mengurus keluarga terutama dalam pengasuhan anak. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori kerjasama pengambilan keputusan keluarga Kategori Kerjasama KU PPKKL Gender n % n % Rendah (<33%) 23 23,0 2 2,0 Sedang (33- 66%) 72 72,0 41 41,0 Tinggi (>67%) 5 5,0 57 57,0 Total 100 100,0 100 100,0
gender
dalam
SMKH n % 31 31,0 36 36,0 33 33,0 100 100,0
Ket: KU= keuangan, PPKKL= pendidikan, pangan, kesehatan, keperluan keluarga lainnya, dan SMKH= strategi memenuhi kebutuhan hidup
77
Secara garis besar pengambilan keputusan keluarga sudah terlihat keterlibatan antara suami dan istri. dan mengarah pada pengambilan keputusan konsensus yaitu pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap keluarga mempunyai hak untuk mengemukan pendapat, (Guhardja et al. 1992).
Terutama terlihat pada pengambilan keputusan
pendidikan, pangan, kesehatan, keperluan keluarga lainnya, dan pada strategi memenuhi kebutuhan hidup.
Rowwatt (1990) dalam Puspitawati (2009)
menyatakan bahwa suami dan istri yang terlibat berperan dalam urusan rumahtangga akan lebih mampu mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam urusan rumahtangga tampa merugikan salah satu pihak dan mengurangi adanya stress pada pasangan karier ganda akibat menumpuknya tugas-tugas dalam rumahtangga. Keterlibatan suami dalam urusan rumahtanga, sangat diharapkan untuk meringankan tugas istri. Salah satu faktor yang mempengaruhi seorang suami ikut berpartisipasi dalam pekerjaan rumahtangga adalah pandangan gender yang dianut suami. Menurut William & Best (1990) pandangan peran gender merupakan kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya penampilan seorang laki-laki atau perempuan, apa yang seharusnya dikerjakan oleh laki-laki atau perempuan, dan bagaimana keduanya berinteraksi. Levy (Megawangi, 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing anggota dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain diferensiasi peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik, dan alokasi integrasi dan ekspresi. Selanjutnya supaya keluarga dapat berjalan dengan baik adanya pemetaan pembagian peran gender dan alokasi kerja. Moser (1993) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender yaitu: (1) Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai
78
dan sejenisnya. Contohnya, kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal; (2) Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggungjawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan hidup keluarga. Misalnya, melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju dan lainya; (3) Peran pengelolaan masyarakat dan politik yang dikelompokan menjadi dua kategori, yakni; a) Peranan pengelolaan masyarakat ( kegiatan sosial) b) Pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik). Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menyangkut kewenangan suami dan istri dalam mengambil keputusan, yaitu pola tradisinal yang mana pengambilan keputusan keluarga yang memberikan wewenang kepada suami untuk mengambil keputusan, sedangkan istri hanya sebagai pendukung dari keputusan, dan pola modern, pengambilan keputusan dalam keluarga secara bersama-sama, ada semacam persamaan hak istri dalam pengambilan keputusan, tampa menghilangkan peran masing-masing. Kesejahteraan Keluarga Subjektif
Kesejahteraan
subjektif
adalah
pengukuran
tingkat
kepuasan
dan
kebahagian seseorang secara subjektif terhadap keadaannya dalam waktu tertentu (Krueger 2009). Pendekatan subjektif didapat dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan. Pendekatan dengan indikator subjektif secara filosofi berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk mungkin mempunyai pandangan sendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin dapat berbeda dengan pandangan objektif. Konsep subjektif dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi keluarga. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang menunjukkan perasaan kepuasan pribadi akan kehidupan keluarganya. Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kepuasan ini dapat berbeda-beda untuk setiap individu atau bersifat subjektif. Kesejahteraan subjektif dibagi menjadi kesejahteraan materi dan non
79
materi. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kepuasan contoh semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian contoh puas dengan keadaan keuangan keluarga (55%), keadaan makanan keluarga (65%), keadaan tempat tinggal keluarga, perasaan istri terhadap kebersihan rumah keluarga (51%), keadaan pekerjaan istri
dapat membuat rumahtangga sejahtera (53%), dan
perasaan terhadap kebersihan halaman/pekerangan (47%), sedangkan cukup puas dengan keadaan materi/aset keluarga (48%), keadaan pekerjaan suami (55%) dan perasaan istri terhadap penghasilan suami (54,0%) (Tabel 16). Lebih sebagian contoh puas dengan keadaan spiritual/ mental (58%), keadaan fisiknya (60%), hubungan/komunikasi dengan saudara/ kerabat (51,0%), perasaan terhadap sekolah anak (56,0%), perasaan terhadap kesehatan mental anak (65,0%), perasaan terhadap perilaku sosial anak (52,0%), perasaan terhadap kesehatan fisik anak (61,0%), perasaan terhadap kesehatan fisik suami (57,0%), perasaan terhadap kesehatan mental suami (57,0%), perasaan terhadap komunikasi dengan suami (57,0%), perasaan terhadap kebutuhan sexual dengan suami (60,0%) (Tabel 17). Kepuasan atau kesejahteraan ini dapat berbeda antara harapan dengan kenyataan dan dapat berbeda setiap orang (Mccall 1975; Frankl 1963; Anonimous 2008 dalam Puspitawati 2010). Selain itu menurut Universitas Oklahoma,
quality of
life dapat dipengaruhi selain sosial ekonomi seperti
keadaan keluarga, pekerjaan, tetangga, kelompok masyarakat, kesehatan fisik, tingkat pendidikan dan spiritual (agama) (Anonimous 2008 dalam Puspitawati 2010). Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh cukup puas dengan survival strategi yang dilaksanakan dalam keluarga (62%), gaya manajemen waktu (73,0%), gaya manajemen keuangan (73,0%), gaya menejemen stress (73,0%), gaya manajemen pekerjaan (75,0%). Sebagian contoh cukup puas dengan
hubungan/komunikasi
dengan
orangtua/mertua
(51,0%),
hubungan/komunikasi dengan tetangga (56,0%), pembagian peran antara suamiistri pembagian peran antara suami-istri (53,0%), keterlibatan istri dalam aktivitas ekonomi keluarga (53,0%), keterlibatan istri dalam perkumpulan desa (62,0%),
80
dan perasaan terhadap perilaku suami dalam membantu pekerjaan di rumah tangga (55,0%). Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Quality of Life) (n=100) n
%
Skor 2 n %
8 2 7 6 0 0
8,0 2.0 7,0 6,0 0,0 0,0
37 33 40 48 49 47
37 33 40 48 49 47
55 65 53 46 51 53
55,0 65,0 53,0 46,0 51,0 53,0
2,47 2,63 2,46 2,40 2,57 2,58
2
2,0
55
55
43
43,0
2,30
7 4
7,0 4,0
46 54
46 54
47 42
47,0 42,0
2,21 2,19
1 2 4 3 4 5 3 0 0 2 0 2 3 1 9 2 0 1 1 1 1 1 2
1,0 2,0 4,0 3,0 4,0 5,0 3,0 0,0 0,0 2,0 0,0 2,0 3,0 1,0 9,0 2,0 0,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 2,0
41 38 62 73 73 73 75 51 49 48 56 45 53 53 62 46 35 43 47 38 42 42 41
41 38 62 73 73 73 75 51 49 48 56 45 53 53 62 46 35 43 47 38 42 42 41
58 60 34 24 23 22 22 49 51 50 44 53 44 46 29 52 65 56 52 61 57 57 57
58,0 60,0 34,0 24,0 23,0 22,0 22,0 49,0 51,0 50,0 44,0 53,0 44,0 46,0 29,0 52,0 65,0 56,0 52,0 61,0 57,0 57,0 57,0
2,17 2,19 2,49 2,51 2,48 2,44 2,51 2,41 2,45 2,20 2,50 2,51 2,60 2,65 2,55 2,51 2,40 2,56 2,38 2,56 2,55 2,58 2,35
2
2,0
38
38
60
60,0
2,58
5 0
5,0 0,0
55 42
55 42
40 58
40,0 58,0
2,53 2,41
Pertanyaan Materi Keadaan keuangan keluarga anda Keadaan makanan keluarga anda Keadaan tempat tinggal keluarga anda Keadaan materi/aset keluarga anda Perasaan istri terhadap kebersihan rumah anda Pekerjaan dapat membuat rumahtangga sejahtera Pekerjaan suami, dapat membuat ruamahtangga sejahtera Perasaan istri terhadap kebersihan halaman/ pekarangan rumah anda Perasaan istri terhadap penghasilan suami anda Non Materi Keadaan spiritual/mental anda Keadaan kesehatan fisik anda Survival strategi yang dilaksanakan keluarga anda Gaya manajemen waktu anda Gaya manajemen keuangan anda Gaya menejemen stress anda Gaya manajemen pekerjaan anda Hubungan/komunikasi dengan orang tua/ mertua Hubungan/komunikasi dengan saudara/ kerabat Hubungan/komunikasi dengan pasangan Hubungan/komunikasi dengan tetangga Optimisme menyongsong masa depan Pembagian peran antara suami-istri Keterlibatan istri dalam aktivitas ekonomi keluarga Keterlibatan istri dalam perkumpulan desa Pengetahuan dan keterampilan istri yang dimiliki Perasaan istri terhadap kesehatan mental anak anda Perasaan istri terhadap sekolah anak anda Perasaan istri terhadap perilaku sosial anak anda Perasaan istri terhadap kesehatan fisik anak anda Perasaan istri terhadap kesehatan fisik suami anda Perasaaan istri terhadap kesehatan mental suami anda Perasaan istri terhadap komunikasi dengan suami Perasaan istri terhadap kebutuhan sexual dengan suami Perasaan istri terhadap perilaku suami dalam membantu pekerjaan di rumah tangga Bahagia dengan jumlah anak yang dimiliki
1
3 n
%
Rataan skor
Ket: 1= tidak puas, 2= cukup puas, 3= puas
Menurut Guhardja et al. (1992) kepuasan merupakan output yang telah diperoleh akibat kegiatan suatu manajemen. Ukuran kepuasan ini dapat berbeda-
81
beda untuk setiap individu atau bersufat subjektif. Puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang diinginkan, nilai tersebut dapat berubah akibat banyaknya pengalaman. Sebaran contoh berdasarkan kesejahteraan keluarga subjektif secara lengkap dapat dilihat pada dilihat pada Tabel 16. Kesejahteraan subjektif dibagi menjadi kesejahteraan materi dan non materi. Berdasarkan aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan subjektif maka di kategorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi, yaitu rendah (<33%), sedang (33 – 66%), dan tinggi (>67%) . Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kepuasan contoh semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih sebagian contoh termasuk dalam kategori tinggi secara materi (66,0%) dengan rata-rata 72.64 persen, secara non materi (68,0%) dengan rata-rata 72.70 persen, dan secara umum /kesejahteraan total (63,0%) dengan rata-rata 72.69 persen. Hal ini sejalan dengan Simanjuntak (2010) bahwa peningkatan akses terhadap sumberdaya fisik dan non fisik keluarga seperti keuangan, makanan maupun aset yang mampu memberikan kepuasan bagi contoh. Selain itu menurut Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kepuasan ini dapat berbedabeda untuk setiap individu atau bersifat subjektif. Puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang dinginkan. Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Sebaran contoh berdasarkan kategori kesejahteraan keluarga subjektif (Subjective Quallity of Life) dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kategori kesejahteraan keluarga subjektif Kategori Kesejahteraan Subjektif Rendah (<33%) Sedang (33- 66%) Tinggi (>67%) Total
Materi n % 0 0,0 34 34,0 66 66,0 100 100,0
Non Materi n % 0 0,0 32 32,0 68 68,0 100 100,0
Kesejahteraan Total n % 0 0.0 33 33,0 63 63,0 100 100,0
82
Jadi secara garis besar dapat dikatakan bahwa lebih sebagian keluarga contoh dalam kesejahteraan subjektif tergolong dalam kategori tinggi. Artinya, menunjukkan perasaan kepuasan atau rasa syukurnya akan kehidupan keluarga, baik materi, dan non materi yang diperolehnya. Karena contoh
memandang
keluarga adalah tempat dimana berkumpulnya seluruh anggota keluarga, dalam membesarkan anak, berbagi kasih dan sayang, suka dan duka tempat memperoleh kebahagiaan, dan merupakan harta yang yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Oleh karena itu contoh sudah merasa puas dan sejahtera dengan apapun yang di milikinya baik segi materi maupun non materi. Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kontribusi Ekonomi Perempuan Dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, model faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kontribusi ekonomi perempuan hanya menghasilkan nilai adjusted R-Kuadrat 0,176. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi ekonomi perempuan dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel yang ada dalam model (pendidikan istri, umur istri, pendidikan suami, kepemilikan aset, besar keluarga, pendapatan total keluarga, dan peran gender dalam pembagian tugas) sebesar 17.6 persen. Dengan demikian sebesar
82.4 persen kontribusi ekonomi
perempuan dipengaruhi oleh variabel lain di luar model (Tabel 18). Tabel 18 Hasil analisis regresi linear berganda terhadap kontribusi ekonomi perempuan Variabel (Konstanta) Pendidikan Istri (tahun) Umur Istri (tahun) Pendidikan Suami (tahun) Kepemilikan Aset (skor) Besar Keluarga (orang) Pendapatan Suami (Rp) Peran Gender dalam Pembagian Tugas (skor) Uji f (p) Adj R-square *signifikan pada p<0,10 ** signifikan pada p<0,05
Unstandardized B 0,010 0,006 0,004 0,001 0,006 -0,014 0,000
Standardized ß
0,001
0,124 0,187 0,012 0,362 -0,113 -0,508
T 0,059 0,986 1,925 0,088 3,467 -1,182 -4,282
Sig 0,953 0,327 0,057* 0,930 0,001** 0,240 0,000**
0,044
0,446
0,656
4,018 (0.001) 0,176
83
Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kontribusi ekonomi perempuan adalah umur istri, kepemilikan aset dan pendatan suami. Kepemilikan aset memiliki pengaruh besar terhadap kontribusi ekonomi perempuan, yaitu setiap kenaikan 1 skor kepemilikan aset maka akan terjadi kenaikan kontribusi ekonomi perempuan
sebesar 0,006
persen. Semakin besar kepemilikan aset
dalam keluarga, maka kontribusi ekonomi perempuan yang diberikan kepada keluarga akan semakin besar. Variabel yang kedua berpengaruh signifikan terhadap kontribusi ekonomi perempuan adalah umur istri, setiap kenaikan 1 tahun umur istri maka akan terjadi kenaikan kontribusi ekonomi perempuan sebesar 0,004 persen. Semakin bertambahnya umur istri maka perannya dalam kontribusi ekonomi keluarga semakin besar pula. Berdasarkan data, persentase terbesar umur contoh berada pada selang 21 – 45 tahun. Menurut Berger (1980), bahwa pada kategori tersebut, sudah tergolong pada kelompok dewasa awal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya umur contoh maka semakin berpengaruh terhadap perannya dalam kontribusi ekonomi keluarga. Ada kecendrungan bahwa umur merupakan salahsatu faktor yang cukup berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan baik fisik maupun mental guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendapatan
suami
memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
kontribusi ekonomi perempuan. Setiap kenaikan 1 rupiah pendapatan suami maka akan terjadi penuruanan kontribusi ekonomi perempuan sebesar 0,000 persen (pengaruhnya sangat kecil). Semakin tinggi pendapatan suami maka kontribusi ekonomi perempuan akan semakin sedikit. Selain itu, tingginya pendidikan suami memberikan peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih baik sehingga suami akan lebih banyak berkontribusi ekonomi terhadap keluarga. Iskandar (2007) menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan yang diterima seseorang baik suami maupun istri, maka semakin besar peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi. Yadollani at al. (2009) bahwa pendidikan adalah salah satu determinan penting yang mentukan status ekonomi dan pekerjaan seseorang.
84
Pendidikan istri, tidak berpengaruh signifikan terhadap kontribusi ekonomi perempuan. Akan tetapi, terdapat hubungan positif antara pendidikan istri dengan kontribusi ekonomi perempuan. Semakin tinggi pendidikan istri maka peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih baik semakin besar. Raviv et al. (2009) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh pada tingkatan upah wanita dan status ekonomi keluarga. Peran gender dalam pelaksanaan tugas keluarga tidak berpengaruh signifikan terhadap kontribusi ekonomi perempuan. Akan tetapi, memiliki hubungan positif. Semakin tinggi peran gender dalam pelaksanaan tugas keluarga maka peluang untuk kontribusi ekonomi perempuan lebih besar. Urutan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kontribusi ekonomi perempuan adalah: (1) Pendapatan suami; (2) Kepemilikan aset; dan (3) Umur istri. Secara umum dapat digambarkan bahwa suami tetap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. karena dengan tingginya pendapatan suami akan akan berpengaruh terhadap ekonomi keluarga. Ada kecendrungan bahwa semakin tinggi pendapatan suami, kontribusi ekonomi perempuan akan menurun. Dengan peningkatan jumlah aset dalam keluarga akan berpengaruh terhadap kontribusi ekonomi perempuan, dan berperannya perempuan dalam ekonomi keluarga secara otomatis akan meningkatkan jumlah aset dalam keluarga. Serta dengan bertambahnya umur maka semakin berpengaruh terhadap kontribusi ekonomi perempuan. Adanya anggapan, bahwa umur seorang perempuan diduga berkaitan erat dengan tingkat kematangan diri dalam menjalankan perannya sebagai seorang ibu (istri) dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan baik fisik maupun mental guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Faktor–faktor yang Berpengaruh terhadap Peran Gender dalam Pengambilan Keputusan Keluarga Dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, model faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga hanya menghasilkan nilai adjusted R-Kuadrat 0,226. Hal ini menunjukkan bahwa peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga dapat diterangkan oleh variabel-variabel yang ada (pendidikan istri, umur istri, pendidikan suami,
85
kepemilikan aset, besar keluarga, pendapatan suami, dan kontribusi ekonomi perempuan) hanya sebesar 22,6 persen. Dengan demikian sebesar 77,4 peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga diterangkan oleh variabel lain di luar model (Tabel 19). Tabel 19 Hasil analisis regresi linear berganda faktor yang berpengaruh terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan Variabel (Konstanta) Pendidikan Istri (tahun) Umur Istri (tahun) Pendidikan Suami (tahun) Kepemilikan Aset (skor) Besar Keluarga (orang) Pendapatan Suami (Rp) Kontribusi Ekonomi Perempuan (%) Uji f (p) Adj R-square
Unstandardized Standardized B ß 70,663 -0,927 -0,266 -0,323 -0,214 0,165 0,047 0,436 0,386 0,186 0,022 0,000 0,091 17,647
0,264
T 7,414 -2,187 -2,256 0,368 3,587 0,240 0,726
Sig 0,000 0,031** 0,026** 0,714 0,001** 0,811 0,470
2,617
0,010**
5,136 (0.000) 0,226
*signifikan pada p<0,10 ** signifikan pada p<0,05 ***signifikan pada p<0,01
Variabel yang berpengaruh positif signifikan terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga adalah kepemilikan aset. Setiap kenaikan 1 skor kepemilikan aset keluarga maka akan akan terjadi kenaikan peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga sebesar 0,436 skor. Variabel yang kedua berpengaruh adalah
kontribusi ekonomi perempuan, yaitu setiap kenaikan 1
persen kontribusi ekonomi perempuan maka akan terjadi kenaikan peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga sebesar 17,647 skor. Artinya, Semakin tinggi kepemilkan aset dan kontribusi ekonomi perempuan maka akan semakin meningkatnya peningkatan peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga Hal ini diduga karena dengan semakin membaiknya ekonomi keluarga dengan besarnya kontribusi perempuan maka semakin baiknya kerjasama dalam keluarga. Azzachrawani (2004) mengatakan bahwa besarnya kontribusi pendapatan istri terhadap keluarga, juga adanya aset istri sebelum menikah, dan aset istri sesudah menikah merupakan nilai tambah bagi istri yang memberi pengaruh positif terhadap pola pengambilan keputusan dalam keluarga.
86
Hal ini sejalan dengan Puspitawati dan Fahmi (2008) yang menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat sosial ekonomi dan demografi yang semakin tinggi akan berpengaruh terhadap tingkat relasi gender yang berkaitan dengan diferensiasi peran. Guharja et al. (1992) juga mendukung bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga yang semakin tinggi memerlukan manajemen sumberdaya keluarga yang semakin kompleks yang sekaligus menuntut adanya pembagian peran dalam keluarga yang semakin baik. Pendidikan istri dan umur istri memiliki nilai koefisien regresi negatif terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga. Setiap kenaikan 1 tahun pendidikan istri maka akan terjadi penurunan skor peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga sebesar -0,927, selain itu kenaikan 1 tahun umur istri maka akan terjadi penurunan peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga sebesar -0,323 skor. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan istri, dan umur istri dalam keluarga, peran gender dalam pengambilan keputusan akan menurun. Hal ini sejalan dengan hasil korelasi sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara variabel umur istri dengan peran gender dalam pengambilan keputusan meskipun tidak signifikan. Pendidikan suami dan pendapatan total keluarga tidak berpengaruh signifikan terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga. Akan tetapi, terdapat hubungan positif antara pendidikan suami dengan peran gender total. Semakin tinggi pendidikan suami dan pendapatan total keluarga maka peluang untuk peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga lebih besar. Urutan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan adalah : (1) Kepemilikan aset; (2) Pendidikan istri; (3) Kontribusi ekonomi perempuan; dan (4) Umur istri. Secara garis besar bahwa kepemilikan aset dalam keluarga mempunyai peran penting dalam meningkatkan peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga, karena dengan membaiknya ekonomi keluarga dengan besarnya kontribusi ekonomi perempuan terhadap keluarga maka semakin baiknya kerjasama dalam keluarga. Kontribusi pendapatan ekonomi yang diperoleh perempuan berpengaruh terhadap peran serta perempuan dalam pengambilan keputusan rumahtangga. Dengan demikian, dengan masuknya wanita dalam kerja nafkah membawa
87
konsekuensi meningkatnnya wewenang perempuan dalam mengambil keputusan rumahtangga. Sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya perempuan ke dalam lapangan pekerjaan bukan membuat dominasi istri sendiri dalam pengambilan keputusan keluarga tetapi akan menciptakan peran yang setara antara suami dan istri dalam mengambil keputusan keluarga. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga Subjektif (Subjective Quality of Life) Dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, model faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif hanya menghasilkan nilai adjusted R-Kuadrat 0,132. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel yang ada dalam model (pendidikan istri, umur istri, pendidikan suami, kepemilikan aset, besar keluarga, pendapatan total, peran gender total dan kontribusi ekonomi perempuan) hanya sebesar 13,2 persen. Dengan demikian sebesar 86,8 persen sisanya menjelaskan bahwa kesejahteraan keluarga subjektif dipengaruhi oleh variabel lain di luar model (Tabel 20). Tabel 20 Hasil analisis regeresi linear berganda faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif Variabel (Konstanta) Pendidikan Istri (tahun) Umur Istri (tahun) Pendidikan Suami (tahun) Kepemilikan Aset (skor) Besar Keluarga (orang) Pendapatan Total (Rp) Peran Gender Total (skor) Kontribusi Ekonomi Perempuan (%) Uji F (p) Adj R-square *signifikan pada p ≤ 0,10 ** signifikan pada p ≤ 0,05
Unstandardized B
Standardized ß
64,389 -0,143 -0,010 -0,585 0,289 0,555 1,283E-6 -8,116 ,079
-0,047 -0,008 -0,191 0,293 0,076 0,256 -0,139 0,112 2,88 (0.007) 0,132
T
Sig
4,987
0,000**
-,364 -,069 -1,377 2,733 ,766 1,967 -1,361 1,068
0,717 0,945 0,172 0,008** 0,445 0,052* 0,177 0,288
88
Variabel yang berpengaruh positif signifikan terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah kepemilikan aset. Setiap kenaikan 1 skor kepemilikan aset, terjadi kenaikan kesejahteraan keluarga sebesar 0,289 skor. Variabel yang kedua berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah pendapatan total keluarga, kenaikan Rp 1 juta pendapatan total keluarga akan menyebabkan terjadi kenaikan skor kesejahteraan keluarga subjektif sebesar 1,283. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan dan kepemilikkan aset bepengaruh positf terhdap tingkat kesejahteraan. Keluarga dengan pendapatan tinggi akan lebih mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarga baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Iskandar (2007), Aniri (2008), dan Muflikhati (2010) bahwa pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Selain keluarga dengan nilai aset yang lebih besar berpeluang lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga aset yang lebih rendah. Menurut Bryant (1990) keluarga yang memiliki aset besar cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Menurut Rottwel (2011) aset merupakan hal yang penting karena aset dapat membantu seseorang menjadi lebih maju dan sebaliknya keterbatasan aset yang dimiliki akan berdampak pada kekurangan ekonomi dan stres pada keluarga. Penelitian Muflikhati (2010) menunjukkan bahwa aset keluarga merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Menurut Thomas (1999) kepemilikan aset dalam keluarga juga merupakan indikator kemandirian ekonomi keluarga. Semakin tinggi aset dan pendapatan yang dimiliki keluarga, maka keluarga semakin mandiri dalam segi ekonomi. Adanya kepemilikan aset dan pendapatan yang cukup dalam keluarga dapat mengupayakan kualitas hidup hidup lebih baik, seperti dalam hal kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, sandang dan hiburan.
Hal ini sejalan dengan
Simanjuntak (2010) bahwa peningkatan akses terhadap sumberdaya keluarga seperti keuangan, makanan maupun aset mampu memberikan kepuasan bagi contoh. Pendidikan istri, umur istri, pendidikan suami, dan peran gender total memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Ada
89
kecendrungan semakin tinggi pendidikan istri, umur istri, pendidikan suami, dan peran gender, kesejahteraan keluarga subjektif akan menurun. Hal ini diduga dengan tingginya pendidikan istri, umur istri, pendidikan suami, dan peran gender total dalam keluarga, ekspektasi (harapan) terhadap kualitas kehidupan semakin meningkat. Selain itu kontribusi ekonomi perempuan berpengaruh tidak signifikan terhadap kesejahteraan subjektif. Semakin tinggi kontribusi ekonomi perempuan maka peluang contoh untuk sejahtera lebih besar. Karena kesejahteraan subjektif lebih menunjukkan perasaan kepuasan pribadi atau rasa syukurnya akan kehidupan keluarga. Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kepuasan ini dapat berbeda-beda untuk setiap individu atau bersifat subjektif. Puas tidaknya seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang dinginkan. Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap mempunyai pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktorfaktor yang menentuka tingkat kesejahteraan. Urutan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif adalah : (1) Kepemilikan aset dan (2) Pendapatan total keluarga. Aset adalah sumber daya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Secara garis besar bahwa contoh dalam penelitian ini kesejahteraan atau kepuasan yang dirasakan setelah memiliki aset dan pendapatan total keluarga yang besar, di duga karena dengan banyaknya kepemilikan aset dan pendapatan total keluarga maka dapat mensejahterahkan seluruh anggota keluarga, misalnya bisa memberikan pendidikan yang baik untuk anak, bisa memberikan tempat tinggal yang layak untuk anggota keluarga, dan bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga baik pangan maupun non pangan. Menurut Briyant (1990), sumberdaya yang dimiliki keluarga mencakup sumberdaya manusia, materi, dan finansial. Ketiga sumberdaya tersebut memiliki sifat terbatas, sehingga perlu dikelola dengan baik untuk mencapai tujan keluarga, yaitu kesejahteraan.
90
Pembahasan Umum Penelitian ini menggunakan pendekatan teori structural fungsional melalui pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga, terutama difokuskan pada kontribusi ekonomi perempuan dan peran gender serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga Penelitian ini memberikan fakta bahwa telah terjadi transisi peran perempuan. Sebelumnya perempuan hanya berperan di sektor domestik sebagai ibu rumahtangga. Jikapun perempuan berkontribusi dalam pendapatan keluarga, biasanya hanya sebagai sebagai pencari nafkah tambahan (secondarybreadwinner). Namun saat ini perempuan juga sudah mulai berperan sebagai pencari nafkah utama (main- breadwinner) bagi keluarganya. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian ini bahwa Kontribusi pendapatan istri terhadap pendapatan total keluarga perbulannya sekitar 40,1 persen sampai 50,0 persen dengan rata – rata 43,3 persen, dengan minimal 13,0 persen dan maksimal 100.0 persen dari pendapatan total keluarga. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peran perempuan dalam fungsi ekonomi keluarga adalah sangat signifikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hermayulis (2009) bila dihubungkan dengan perempuan di Sumatera Barat bahwa
salah satu peranan perempuan
Minangkabau di Sumatera Barat adalah: menyimpan hasil usaha ekonomi. Peranan ini disebut dalam adat Minangkabau sebagai umbun puruak pagangan kunci, umbun puruak aluang bunian. Maknanya perempuan berperanan sebagai pemegang kunci (orang yang menyimpan dan menjaga) hasil kegiatan ekonomi anggota keluarga. Peranan itu telah melekat pada perempuan Minangkabau, bahkan sangat tertonjol semasa lelaki merantau. Perempuan Minangkabau sudah biasa dengan peranannya sebagai ibu tunggal menjaga anak-anaknya sepanjang tempoh suaminya merantau. Dalam masa itu ekonomi keluarga akan menjadi tanggung jawab sepenuh bagi perempuan, perempuan Minangakabau sudah biasa, kerana sudah terlatih membuatnya. Di Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi, terdapat trend yang cukup progresif tentang usaha ekonomi perempuan dalam membuat pakaian, sulaman, baju kurung, kebaya, telekung dan lain-lain dijadikan home industry.
91
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam melakukan pekerjaan rumahtangga dan sosial, sebagian besar contoh termasuk ke dalam keluarga yang mempunyai kerjasama antara suami dan istri dengan kategori sedang begitupun dengan pengambilan keputusan dalam aktivitas keluarga juga kategori sedang. Artinya sudah mulai ada kerjasama antara suami dan istri yang baik walaupun sedikit. Hal ini membuktikan bahwa sudah ada tanggungjawab bersama antara suami-istri dalam hal mencari nafkah keluarga. Sedangkan pekerjaan domestik dominan dilakukan oleh istri. Jadi secara garis besar, terdapat pembagian peran da (differensiasi) peran gender dalam keluarga.
Menurut Megawangi (1999)
pembagian antara sesama anggota keluarga (laki-laki dan perempuan) dalam keluarga inti menunjukkan adanya “differensiasi peran gender” yang merupakan suatu prasyarat struktural untuk kelangsungan keluarga inti. Backer (1965) menyatakan bahwa tingkat partisipasi anggota keluarga rumahtangga dipengaruhi oleh perbedaan kelamin. Perempuan akan mengalokasikan waktu untuk pekerjaan rumah tangga sedangkan laki-laki untuk pekerjaan mencari nafkah. Dalam sistem matrilineal yang ada di Sumatera Barat keterlibatan suami dalam pembagian tugas dalam rumahtangga merupakan fenomena menarik karena pembagian kerja antara suami dan istri sampai sekarang masih berlaku. Apalagi pada kawasan Minangkabau yang masih dipengaruhi oleh sistem matrilineal, yang sebetulnya sama dengan patrilineal dengan pandangan bahwa laki-laki dianggap tabu dan tidak etis jika melakukan pekerjaan domestik yang biasanya dilakukan perempuan, namun seiring dengan perkembangan zaman kebiasaan tersebut mulai luntur. Saat ini bukanlah suatu hal yang janggal jika melihat laki-laki melakukan pekerjaan rumahtangga. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kontribusi ekonomi perempuan adalah umur istri dan kepemilikan aset. Hal ini berarti, dengan peningkatan umur istri dan kepemilikan aset dalam keluarga maka akan meningkatkan
kontribusi ekonomi perempuan. Adapun
variabel pendapatan suami berpengaruh negatif terhadap kontribusi ekonomi perempuan.
Hal ini berarti, semakin tinggi pendidikan suami maka semakin
rendah kontribusi ekonomi perempuan terhadap keluarga keluarga. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan
92
adalah kepemilikan aset dan kontribusi ekonomi perempuan, namun berpengaruh negatif dengan umur istri. Artinya, peningkatan kepemilikan aset dan kontribusi ekonomi perempuan yang dimiliki suatu keluarga maka dapat meningkatkan kerjasama dalam pengambilan keputusan keluarga. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang menunjukkan perasaan kepuasan pribadi akan kehidupan keluarganya. Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kepuasan ini dapat berbeda-beda untuk setiap individu atau bersifat subjektif. Hasil penelitian juga menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah kepemilikan aset, dan pendapatan total. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyaknya kepemilikan aset dan semakin tingginya pendapatan total
keluarga maka
kesejahteraan
keluarga subjektif semakin besar. Keterbatasan Penelitian Hasil Uji Regresi ini tidak cukup membuktikan bahwa kontribusi ekonomi perempuan secara keseluruhan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga subjektif. Hal ini diduga karena karakteristik dari populasi yang homogen. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian tidak dapat digeneralisir secara luas untuk semua populasi keluarga di Kecamatan Ampek Angkek karena kerangka sampling yang dilakukan adalah secara purposive sampling. Kesimpulan dalam penelitian ini hanya berlaku untuk penduduk yang mempunyai karakteristik yang sama dengan contoh. 2. Penelitian ini hanya dilakukan di dua Nagari yang mewakili Kecamatan Ampek Angkek sehingga dari segi lokasi kurang representatif. 3. Penelitian ini menggunakan istri sebagai responden, dengan asumsi jawaban istri dapat mewakili keluarga secara keseluruhan. Pada penelitian selanjutnya disarankan yang menjadi responden adalah suami dan istri sehingga dapat dibandingkan bagaimana pandangan suami terhadap pembagian peran berdasarkan gender.