81
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Penelitian Kota Jakarta Utara Sesuai dengan pembagian Kota Administrasi, maka wilayah Kota Jakarta Utara mempunyai batas-batas dengan Kotamadya lainnya sebagai berikut: (1) Utara: Titik Koordinat 106-20 derajat-00 derajat bujur Timur sampai dengan 06-10derajat lintang Selatan; 106-67 derajat-00 derajat Bujur Timur sampai dengan 10 derajat – 00 derajat lintang Selatan; (2) Timur : Kali Blencong – kali Ketapang ( Batas Daerah khusus Ibukota Jakarta), Selatan Padongkelan-Sungai Begong-Selokan Petukangan (Batas Daerah Khusus Ibukota Jakarta), Kali Cakung; dan (3) Selatan: Kali Angke-Rel KA Aling Selatan (Kota Gambir) mengikuti JL. Raya Mangga Dua Utara terus mengikuti pintu KA Gg. Burung Jl. Mangga Dua sampai KA Gambir terus mengikuti rel KA Jl. Mangga Dua sampai rel KA Kota.; dan (4) Barat : Jembatan Tiga-Kali Muara Karang-Kali Muara Angke
Kota Bekasi Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari empat kewedanaan, 13 kecamatan (termasuk Kec. Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto "SWATANTRA WIBAWA MUKTI." Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke Kota Bekasi (Jl. Ir. H Juanda). Kemudian pada tahun 1982, pada saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. A. Yani No.1 Bekasi. Pesatnya perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif (Kotif) Bekasi yang terdiri atas empat kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981, yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, yang seluruhnya meliputi 18 Kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982.
82
Pada perkembangannya Kota Administratif Bekasi terus bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan roda perekonomian yang semakin bergairah, sehingga status kotif Bekasi pun kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya (sekarang "Kota") melalui Undangundang Nomor 9 Tahun 1996. Jumlah Keluarga Miskin Tahun 2008 angka penduduk miskin di DKI Jakarta Utara sebanyak 379.600 jiwa. Pada 2009 jumlah penduduk miskin turun menjadi 323.200 jiwa. Jumlah keluarga miskin terbanyak berada di wilayah Jakarta Utara sebanyak 54.827 rumah tangga. Jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kota Bekasi tahun 2009 mencapai 37. 744 keluarga atau sebanyak 130.974 jiwa, turun dari sebelumnya 38.109 KK atau sebanyak 160 ribu jiwa (BPS,2009)
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Strategi penanggulangan kemiskinan yang berlaku di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi saat ini mengacu kepada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang digulirkan oleh pemerintah. SNPK merupakan caracara dan tahapan sistematis yang harus ditempuh dan dijalankan oleh pemerintah, swasta, masyarakat dan berbagai pihak dalam upaya mendorong gerakan nasional penanggulangan kemiskinan. Tujuan SNPK adalah: (1) Menegaskan komitmen lembaga negara, pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah
kabupaten/kota,
lembaga
swadaya
masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah kemiskinan. (2) Membangun konsensus bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar dan pendekatan partisipatif dalam perumusan strategi dan kebijakan. (3) Mendorong sinergi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan
oleh
pemerintah
pusat,
pemerintah
provinsi,
pemerintah
kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga internasional, dan pihak yang peduli.
83
(4) Menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (millennium development goal) terutama tujuan penanggulangan kemiskinan.
Karakteristik Individu Pendidikan Formal Pendidikan formal merupakan penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga sekolah/perguruan tinggi resmi, yang meliputi: jenis pendidikan yang diikuti, dan jumlah tahun sukses dalam pendidikan formal. Secara umum, terdapat kondisi yang cenderung sama berkaitan dengan perbedaan tingkat pendidikan formal bagi setiap responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Selengkapnya sebaran berkaitan dengan tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Tingkat Pendidikan Formal Responden Kota Jakarta Utara
Kategori Pendidikan
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
88
50,57
83
62,88
Sedang
85
48,85
49
37,12
Tinggi
1
0,58
0
0
Jumlah
174
100
132
100
Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal responden berada dalam kategori rendah. Tingkat pendidikan formal responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki tingkat karagaman yang tidak begitu tinggi. Tingkat pendidikan formal bagi responden menunjukkan pada tingkat pendidikan yang rendah. Sedangkan responden yang memiliki pendidikan sedang dan tinggi masih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi belum secara serius untuk memperhatikan pendidikan. Berdasarkan uraian yang didapatkan dari
84
wawancara mendalam, terdapat beberapa alasan seorang kepala keluarga tidak memiliki pendidikan formal yang memadai adalah : (1) Mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mementingkan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai sesuai yang tidak begitu penting dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi dianggapnya tidak memiliki korelasi terhadap pekerjaan seseorang, (2) Mereka berasal dari orang tua dan anak dari keluarga yang tidak memiliki kecukupan ekonomi serta tidak memiliki motivasi untuk mengubah kehidupannya lewat pendidikannya, (3) Dalam keluarganya belum memiliki budaya wajib sekolah bagi anak-anaknya, dan (4) Khusus bagi responden yang perempuan menganggap bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin untuk menjadi sukses, karena pada akhirnya ia akan terjun menjadi ibu rumah tangga. Hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap salah seorang responden yang hanya lulusan SMP itu ia mengatakan bahwa keadaan ekonomi orang tuanya yang tidak memungkinkan untuk dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Orang tuanya bekerja sebagai kuli bangunan dengan 6 orang bersaudara. Dengan kondisi seperti itu orang tuanya merasa tidak mampu lagi membiayai sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Bagi orang tuanyanya, ia sudah mengenyam pendidikan sudah syukur dan sudah melewati pendidikan SD. Orang tuanya tidak berpikir panjang agar anak-anaknya dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika ia disuruh berhenti sekolah setamat SMP, ia tidak memberontak kepada orang tuanya untuk memohon dapat melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan, awalnya ia merasa senang karena lebih banyak waktu untuk bermain dan tidak disibukkan oleh kegiatan dan kesibukan belajar. Namun lama kelamaan, semakin usia bertambah, ia juga merasa kebingungan apa yang dapat ia kerjakan dengan ijazah SMP yang ia miliki tersebut. Akhirnya ia mencoba bekerja sebagai tenaga kasar misalnya sebagai kuli bangunan dan kerjaan kasar lainnya. Ketika ada tawaran untuk menjadi tenaga satpam di perumahan dekat rumahnya tersebut, ia mencoba untuk masuk dan
diterima.
Namun
dengan
pekerjaan
sebagai
satpam
tentunya
pendapatannya sangat pas-pasan, apalagi ia sekarang sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Keluarganya hidup dalam kondisi yang sangat terbatas. Tingkat pendidikan formal keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sebagian besar adalah rendah disebabkan mayoritas mereka berasal dari
85
keluarga yang tidak mampu. Mereka beranggapan bahwa biaya pendidikan sekarang ini sangat mahal mulai dari biaya seragam, buku, uang saku dan tanggungan biaya lainnya yang tidak mampu mereka atasi. Menurut mereka, meskipun di sebagian besar sekolah negeripun sudah terdapat sekolah yang gratis, tetapi masih ada biaya-biaya lain yang harus mereka keluarkan. Di sisi lain mereka tidak memiliki motivasi untuk mengubah hidup dengan pendidikan dan pasrah dengan alasan tidak adanya biaya. Pendidikan bagi mereka sepertinya berlaku turun temurun dikarenakan orang tua mereka juga memiliki pendidikan yang rendah. Kesadaran bagi tiap-tiap keluarga miskin untuk memotivasi anggota keluarga untuk meningkatkan pendidikannya masih sangat rendah. Pada akhirnya tingkat pendidikan yang rerndah tersebut dipersepsikan sebagai kondisi yang menjadi turun temurun.
Pendidikan Non formal Pendidikan non formal merupakan penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga yang terorganisasi secara resmi, yang meliputi : jumlah pelatihan yang diikuti, jumlah workshop yang diikuti, dan jumlah penyuluhan yang pernah diikuti. Sebaran mengenai pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh responden ternyata menunjukkan kondisi yang seragam. Sebanyak 2-8 persen responden sangat sedikit untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formalnya. Hanya sedikit dari responden yang pernah mengikuti kegiatan pendidikan non formal. Pendidikan non formal bagi keluarga miskin bukan menjadi kebutuhan yang penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota keluarga. Mereka sepertinya tidak terbiasa untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formal. Secara umum mereka tidak memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan. Kondisi tersebut tidak saja berkaitan dengan keikutsertaan mereka dalam pendidikan non formal, melainkan juga terjadi pada perhatian mereka terhadap pendidikan formal. Khusus terkait dengan sebaran keterlibatan responden dalam kegiatan pendidikan non formal, dapat disajikan pada Tabel 15 .
86
Tabel 15. Kondisi Tingkat Pendidikan Non Formal Responden Kota Jakarta Utara
Kategori Pendidikan*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
145
83,33
110
83,33
Sedang
25
14,37
12
9,09
Tinggi
4
2,30
10
7,58
Jumlah
174
100
132
100
Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan non formal responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk kategori rendah. Rendahnya keterlibatan responden dalam pendidikan non formal tersebut disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Responden sangat bergantung kepada pihak-pihak terkait mengenai keberadaan pendidikan non formal tersebut baik yang diadakan oleh pihak pemerintah, pihak swasta, LSM dan lembaga-lembaga yang lain. Ketika tidak ada lembaga yang berinisiatif memberikan pendidikan non formal secara gratis, mereka tidak tergerak untuk mengikutinya; (2) Responden tidak
memiliki
kemampuan
ekonomi
yang
cukup
untuk
membiayai
keterlibatannya untuk mengikuti pendidikan non formal seperti kursus, pelatihan, sosialisasi dan sebagainya. Mereka selalu mengandalkan bentuk-bentuk pendidikan non formal yang sifatnya gratisan, khususnya yang diadakan oleh pemerintah atau LSM; (3) Responden tidak memiliki informasi dan tidak mau mencari tahu tentang pendidikan non formal yang dapat ia ikuti; dan
(4)
Responden tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk secara sadar mengikuti pendidikan non formal, sehingga ketika ada kegiatan pelatihan, sosialisasi yang diadakan oleh lembaga pemerintah khususnya justru mereka harus dibujuk bahkan dipaksa oleh orang lain untuk mengikutinya. Bagi responden yang pernah mengikuti pendidikan non formal, sebagian besar pendidikan non formal yang
diikuti adalah jenis keterampilan seperti
pertukangan, kesehatan, kerajinan tangan dan sebagainya, sedangkan untuk jenis pendidikan di bidang kewirausahaan, berdagang masih sangat sedikit.
87
Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang responden yang bekerja sebagai tukang jual buah, terungkap bahwa ia hanya sekali mengikuti pelatihan, yaitu pelatihan menganai keamanan yang diadakan oleh kelurahan, sedangkan untuk pendidikan non formal lainnya khususnya yang berkaitan dengan usaha sama sekali belum pernah ia ikuti. ia mengatakan bahwa jangankan mengikuti pendidikan non formal, untuk makan saja ia masih kekurangan. Kalau misalnya ada sosialisasi dan pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga lainnya, ia sendiri masih mikir-mikir untuk mengikutinya karena pasti ia tidak bias berdagang buahnya itu sehingga tidak ada pendapatan yang ia terima dalam beberapa waktu pelatihan tersebut. Dulu ketika ia ikut pelatihan keamanan tersebut, dikarenakan dipaksa oleh Pak RT dan dikasih uang transport yang tidak seberapa itu. Ia berpendapat, dibandingkan ikut pelatihan atau sosialisasi yang hanya dapat uang transport yang menurutnya tidak seberapa itu, lebih baik berdagang buah saja. Ia merasa bahwa pelatihan pada dasarnya bermanfaat, tetapi karena ia lebih mengutamakan kepentingan usahanya sehingga ia malas untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formal yang lain. Dalam beberapa kesempatan jenis pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh sebagian responden dirasa tidak berhubungan dengan kemampuan berusaha, melainkan bidang-bidang yang lain seperti pelatihan keamanan, pelatihan rukun kematian, pelatiha pemadam kebakaran dan sebagainya.
Usia Responden Usia
Responden
merupakan
pengalaman hidup yaitu akumulasi
sejumlah
tahun
yang
menunjukkan
jumlah tahun sejak lahir. Sebaran usia
responden sebagai kepala keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menyebar pada tiga kategori yaitu kategori usia 20-35 tahun, 36-50 tahun, dan 50 tahun ke atas. Meskipun demikian dari sebaran yang ada menunjukkan bahwa responden lebih banyak berada pada usia
36-50 tahun, dilanjutkan
dengan usia 20-35, dan yang terakhir usia 50 tahun ke atas. Secara lebih jelas sebaran usia responden tersebut secara lebih jelas pada Tabel 16 .
88
Tabel 16. Usia Responden Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
66
37,93
24
18,18
Sedang
104
59,77
92
69,70
4
2,30
16
12,12
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa usia responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil penelusuran secara mendalam melalui wawancara mendalam bahwa tingginya usia responden yang berada pada usia 36-50 menunjukkan bahwa pada usia tersebut merupakan usia yang produktif dan matang. Responden yang berada pada usia tersebut merasa bahwa mereka merasa secara fisik masih sangat kuat dan produktif untuk bekerja khususnya untuk bekerja kasar. Responden yang berada pada usia 56 ketas sudah merasa usianya sudah tidak produktif lagi baik secara tenaga maupun mental. Mereka lebih banyak menunggu bantuan dari anak-anaknya. Kalaupun mereka berusaha, mereka berusaha pada kategori yang sederhana saja.
Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga merupakan sejumlah orang yang tergolong tidak produktif yang harus dihidupi dan dibiayai
dalam keluarga tersebut, yang
meliputi : jumlah isteri yang menjadi tanggungan, jumlah anak yang menjadi tanggungan, dan jumlah anggota keluarga lainnya yang menjadi tanggungan. Terdapat pola yang sama diantara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Secara umum sebaran jumlah tanggungan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Sebesar 91,39 % persen keluarga miskin di Kota Jakarta Utara memiliki
89
tanggungan sebanyak 3-6 orang, sedangkan di Kota Bekasi sebesar 68,18 % yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak 3-6. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
8
4,60
39
29,55
Sedang
159
91,38
90
68,18
7
4,02
3
2,27
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah. Terdapat beberapa alasan bagi sebagian besar keluarga miskin yang tidak menginginkan jumlah tanggungan lebih dari 6 orang adalah : (1) Beban ekonomi keluarga yang sudah sangat berat, sehingga sangat membatasi jumlah tanggungan keluarga. Dengan jumlah beban keluarga kurang dari 6 orang saja mereka menganggap sudah berat apalagi dengan jumlah tanggungan keluarga yang lebih dari 6 orang maka akan semakin membebani keluarga tersebut, dan (2) Menginginkan jumlah tanggungan sedikit karena tidak menginginkan kerepotan dan menyediakan keperluan sehari-hari seperti makan, pendidikan, pakaian dan sebagainya. Bagi keluarga yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang lebih dari 6 orang, terdapat beberapa alasan: (1) Masih terdapatnya nilai-nilai budaya yang terdapat dalam keluarga yang senang dengan adanya keluarga yang besar. Mereka merasa sangat senang berkumpul dengan keluarga besarnya tersebut. Masih terdapat prinsip banyak anak banyak rezeki di sebagian keluarga miskin, meskipun pada dasarnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang masih sangat kekurangan dan apa adanya; (2) Adanya nilai yang mewajibkan anakanaknya untuk mengurus orang tuanya, terutama ketika orang tuanya tersebut sudah tua; (3) Mereka senang dengan jumlah anak yang benyak tersebut karena
90
dengan anak yang banyak tersebut dapat membantu mengerjakan pekerjaan keluarga penanaman budaya untuk saling tolong menolong diantara anggota keluarga. Harapannya adalah ketika ada anggota keluarga yang berhasil maka dapat membantu bagi anggota keluarga yang tidak berhasil. Dalam kegiatan wawancara mendalam dengan salah seorang yang menjadi pekerja rendahan di sebuah instansi swasta yang gajinya jauh di bawah UMP Propinsi DKI Jakarta memiliki 2 orang anak dan memiliki rumah yang ukurannya hanya 40 m2, terungkap bahwa Ia sangat khawatir memiliki anak lebih dari 2 orang meskipun sebenarnya ia menginginkan untuk manambah anak lagi. Karena alasan ekonomi yang sangat terbatas maka ia tidak mau mengambil resiko untuk menambah anak lagi. Menurutnya, jangankan untuk menambah anak, untuk membiayai 2 orang anak dan 1 orang istri saja ia merasa kesulitan. Ia sendiri merasa malu dengan keluarga dan anggota keluarga lainnya untuk memiliki anak lebih dari 2 orang.
Karakteristik Kelompok Kepemimpinan Kelompok Kepemimpinan kelompok dalam penelitian ini lebih menekankan kepada kegiatan pimpinan
di dalam mengelola dan menggerakkan anggota dalam
kumpulan yang terorganisasi untuk mencapai tujuan bersama, yang meliputi: tingkat kemampuan
pemimpin di dalam menggerakkan anggotanya, tingkat
kemampuan pemimpin dalam melakukan hubungan interpersonal dengan anggota, tingkat kemampuan pemimpin di dalam memberikan informasi kepada seluruh anggota, dan tingkat kemampuan pemimpin
dalam pengambilan
keputusan. Secara umum kepemimpinan kelompok yang dilakukan oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan pada kategori yang rendah. Rendahnya kepemimpinan kelompok usaha yang diikuti oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi didasarkan kepada jenis kelompok yang diikuti. Penjelasan mengenai sebaran persepsi responden
mengenai
kepemimpinan dalam kelompok dapat secara jelas tergambar pada Tabel 18.
91
Tabel 18. Kepemimpinan Kelompok Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
9
5,17
18
13,64
Sedang
159
81,38
102
77,27
6
3,45
12
9,09
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 63 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 4 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa kepemimpinan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan sebesar 63. Pada kelompok yang termasuk dalam kategori kelompok usaha yang diikuti oleh keluarga miskin menunjukkan tingkat kepemimpinan kelompoknya termasuk dalam ketegori rendah. Rendahnya kepemimpinan kelompok disebabkan oleh beberapa alasan: (1) Pemimpin kurang memiliki tanggung jawab baik secara moral maupun secara material untuk menjaga, menyelamatkan dan mengembangkan modal ekonomi menjadi lebih besar. Tanggung jawab secara moral berkaitan dengan tingkat kepercayaan terhadap modal yang dikembangkan dalam usaha kelompok tersebut. Berkaitan dengan tanggung jawab materiil adalah bahwa adanya kekurangan yang terjadi pada modal usaha yang disebabkan karena kelalaian ketuanya, namun ketua kelompok tidak secara otomatis bertanggung jawab untuk mengganti modal tersebut; (2) Di dalam kelompok yang di dalamnya terdapat kegiatan usaha, tidak memberikan inspirasi kepada para anggotanya untuk ikut membesarkan kelompok. Motivasi yang tinggi dari anggota sebenarnya hanyalah didasarkankan oleh seberapa besar ia mendapatkan keuntungan dari kelompok usahanya tersebut secara teratur tetapi tidak untuk membesarkan kelompok; (3) Aspek lainnya yang melemahkan motivasi anggota kelompok adalah tidak adanya kejelasan dan keteraturan anggota untuk melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan keuntungan bagi keluarganya. Bagi keluarga miskin, adanya motif ekonomi menjadi pendorong utama bagi tiap-tiap anggota keluarga untuk terlibat dalam kegiatan kelompok; dan (4) Pimpinan kelompok tidak mau belajar untuk mengatur kelompoknya, baik dalam hal
92
kemampuan
dalam
menggerakkan
anggotanya,
melakukan
hubungan
interpersonal, memberikan informasi kepada anggotanya, ataupun kemampuan untuk mengambil keputusan yang menguntungkan kelompoknya, sehingga keberadaan kelompok tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang pegawai rendahan yang memiliki 3 orang anak, menjadi anggota memiliki kelompok usaha bersama dari satu alumni SD yang ada di Jakarta utara dalam bentuk pengumpulan modal bersama untuk diusahakan bersama dengan jumlah anggota ada
21 orang,
terungkap bahwa modal awal yang dikumpulkan masing-masing anggota adalah sebesar Rp. 300.000 dengan maksud untuk membuka usaha yang menjual mie bakso. Pada awalnya pengelolaan usaha tersebut agak tersendat karena kurangnya pengalaman. Namun lama kelamaan pengelolaan usaha tersebut berjalan lancar mulai dari bulan pertama sampai dengan sekarang. Ketika ada keuntungan, meskipun kecil setiap anggota masih mendapatkan hasilnya. Di samping itu laporan keuangannya berjalan dengan baik. Meskipun laporan keuangannya dibuat secara sederhana, namun tidak terdapat kejelasan bagi semua anggota berkaitan dengan jumlah modal yang ada, jumlah pengeluaran yang termasuk dalam biaya operasional, ataupun jumlah keuntungan yang didapat oleh kelompok usahanya. Di samping itu juga modal usaha semakin lama semakin tidak jelas perkembangan modalnya, apakah semakin bertambah atau semakin berkurang. Pimpinan kelompok jarang sekali mengajak untuk bertemu
membicarakan
usaha.
Pimpinan
kelompok
juga
jarang
sekali
mengontrol perkembangan usaha. Sekarang usaha kelompok usaha yang ada tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Kelompok yang bergerak di luar bidang usaha ternyata juga menunjukkan soliditas kelompok dan kepemimpinnya yang rendah. Kepemimpinan kelompok yang ada pada kelompok yang bergerak di bidang sosial menunjukkan kategori yang rendah. Beberapa kelompok yang bergerak dalam bidang sosial antara lain: kelompok pengajian, karang taruna, dan sebagainya. Terdapat beberapa alasan yang memperkuat rendahnya kepemimpinan kelompok : (1) kelompok usaha yang bergerak di bidang sosial dipersepsikan tidak memiliki keuntungan ekonomi, sehingga sebagian dari mereka tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk ikut dalam kelompok tersebut; (2) Kelompok sosial tersebut dipersepsikan hanya diikuti oleh orang-orang tertentu yang memang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang banyak terlibat
93
dalam kelompok tersebut. Ketika kelompok tersebut sudah ada yang terlibat, maka bagi orang lain tidak menjadi kewajiban untuk terlibat dalam kelompok tersebut; dan (3) Karena bergerak dalam bidang sosial, kepemimpinan yang diperankan oleh ketua kelompok adalah kepemimpinan yang seadanya sesuai dengan kemampuan pemimpinnya tersebut.
Kedinamisan Kelompok
Kedinamisan kelompok pada dasarnya merupakan sebuah kondisi yang menjelaskan tentang eksistensi dan proses kegiatan dari para anggota kumpulan yang terorganisir yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta utara dan Kota Bekasi yang meliputi: tingkat pencapaian Tujuan bersama, tingkat kejelasan struktur organisasi, fungsi tugas dalam kelompok, tingkat pembinaan dan pengembangan anggota, tingkat kekompakan anggota, tingkat kerjasama anggota, suasana kelompok, konflik dalam kelompok, dan maksud tersembunyi. Secara umum sebaran mengenai kedinamisan kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori rendah. Sebaran mengenai hal tersebut dapat terlihat jelas pada tabel 19.
Tabel 19. Kondisi Kedinamisan Kelompok Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
120
68,96
73
55,30
Sedang
52
29,89
41
31,06
2
1,15
18
13,64
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 60 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 48 ; dan skor minimum : 12 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
94
Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa kedinamisan kelompok usaha di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan sebesar 60. Tingkat kedinamisan kelompok keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara ditunjukkan dengan persepsi responden sebesar 68,96 % pada kategori rendah dan Kota Bekasi ditunjukkan dengan persepsi responden sebesar 55,30 % pada kategori rendah, sedangkan sisanya termasuk dalam kategori sedang dan tinggi. Tidak berjalannya dinamika kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin didasarkan oleh beberapa alasan : (1) Tidak adanya kejelasan tujuan yang dibentuk oleh kelompok. Anggota kelompok tidak mengetahui secara jelas megenai tujuan dibentuknya kelompok tersebut. Kelompok dipersepsikan dengan adanya kumpul-kumpul dari para anggota dengan kegiatan yang seadanya, sehingga tidak ada program yang jelas untuk menjalankan kelompok tersebut. Dari beberapa kelompok yang ada hanya sedikit sekali yang memiliki tujuan yang jelas.; (2) Setiap anggota tidak memahami secara jelas mengenai struktur yang ada dalam kelompok. Struktur yang dibuat tidak sesuai dengan prinsip-prinsi organisasi yang baik khususnya di dalam menjalankan TUPOKSI tiap-tiap anggota kelompoknya tersebut.; (3) Di dalam kelompok selama ini membina hubungan yang baik antar anggota yang ditunjukkan dengan adanya kerja sama diantara anggota dan pimpinan kelompoknya. Namun, dalam beberapa hal masih terdapat konflik-konflik kecil diantara para anggotanya. Konflik tersebut muncul dikarenakan adanya kesalahpahaman dari anggota terhadap pengelolaan kelompok tersebut. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki tiga orang anak yang tergabung dalam kelompok usaha bersama ibu-ibu lainnya di lingkungan RW, terungkap bahwa kelompok yang terbentuk berawal dari pertemuan ibu-ibu PKK, yang kemudian tercetus ide untuk membuat kelompok usaha yang bergerak di bidang makanan kecil yaitu produk krupuk ikan. Beberapa tahun yang lalu, ketika masih ada Pemerintah Kota terdapat program pendampingan terhadap usaha rumah tangga bagi prasejahtera. Kebetulan pada waktu itu juga pemerintah kota menggandeng lembaga pendidikan tinggi untuk menjadi pendamping. Dalam proses pendampingan tersebut dibentuklah struktur kelompok, tujuan organisasi, pembagian tugas dan sebagainya. Kegiatan pendampingan yang dilakukan tersebut hanya berjalan sekitar 6 bulan. Namun, karena tidak adanya motivasi yang kuat dari para
95
anggota untuk tetap mengembangkan usaha kelompok tersebut, maka kelompok yang ada sekarang berjalan dengan seadanya tanpa pengelolaan yang baik dan terencana.
Intensitas Komunikasi Kelompok Intensitas komunikasi kelompok pada dasarnya merupakan proses interaksi baik langsung maupun tidak langsung diantara anggota dalam kelompok yang dilakukan secara terorganisir, yang meliputi : tIngkat intensitas interaksi antar anggota, tingkat keeratan hubungan anggota, tingkat kejelasan komunikasi antar anggota, serta tingkat saling pengertian antar anggota. Sebaran mengenai intensitas komunikasi kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori yang tinggi. Sebaran mengenai hal tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Intensitas Komunikasi Kelompok Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
0
0
18
13,64
Sedang
9
5,17
3
2,27
Tinggi
165
94,83
111
84,09
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 75 dengan kategori sedang** Keterangan : *Skor maksimum: 55 ; dan skor minimum : 14 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa intensitas komunikasi kelompok di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori sedang, dengan nilai rataan sebesar 75. Berjalannya intensitas komunikasi kelompok didasarkan kepada beberapa alasan : (1) Komunikasi yang dikembangkan oleh anggota kelompok selama ini terjadwal. Pertemuan terjadwal biasanya dilakukan pada akhir minggu untuk melihat perkembangan dari kelompok. Namun ketika ada kegiatan yang berhubungan dengan pihak lain, misalnya berhubungan dengan pihak pemerintah, pihak swasta, lembaga pendidikan, LSM dan pihakpihak lainnya, maka pertemuan yang dilakukan menjadi semakin intensif; (2) Media dan sarana komunikasi yang digunakan oleh sebagian besar anggota kelompok lebih banyak menggunakan pertemuan tatap muka. Hanya sebagian
96
kecil anggota kelompok yang menggunakan komunikasi melalui elektronik. Bagi keluarga
miskin,
komunikasi
dengan
menggunakan
elektronik
dinilai
membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan komunikasi secara tatap muka langsung; dan (3) Setiap konflik yang muncul dalam anggota kelompok dapat diselesaikan secara langsung dan jelas melalui komunikasi secara langsung atau tatap muka. Artinya bahwa komunikasi yang menggunakan tatap muka secara langsung dapat meminimalisir konflik yang terjadi dalam kelompok. Meskipun komunikasi antar anggota kelompok dilakukan dengan cukup baik, namun mereka belum mampu memecahkan persoalan kelompok khususnya cara untuk mengembangkan kelompoknya itu sendiri. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang anggota sekaligus pengurus kelompok yang memiliki 3 orang anak menyatakan bahwa dalam kelompok usaha yang ia ikuti memiliki jadwal pertemuan rutin yang dilakukan setiap akhir minggu dengan untuk membicarakan usaha kelompok. Namun bagi pengurus kelompok secara rutin melakukan pertemuan baik secara formal maupun informal untuk saling mengontrol perkembangan dari kelompok kami. Pertemuan lebih banyak dilakukan secara tatap muka langsung. Ia menyatakan dengan menggunakan komunikasi secara langsung (tatap muka) beberapa persoalan yang muncul dalam kelompok dapat secara cepat diselesaikan, karena diantara anggota kelompok tidak ada saling kecurigaan. Kita merasa memiliki waktu
yang
lama
diantara
anggota
kelompok
sehingga
tidak
terjadi
kesalahpahaman diantara anggota kelompok. Selanjutnya diantara anggota kelompok memiliki kepercayaan. Meskipun terdapat masalah-masalah kecil dalam kelompok, tapi mereka mencoba mengatasi masalah-masalah tersebut sehingga tidak menjadi masalah yang lebih besar lagi.
Diskripsi Kelompok Keluarga miskin sebagai komunitas sosial pada dasarnya memiliki kesadaran untuk berkelompok. Kesadaran untuk berkelompok merupakan kondisi alamiah yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia dengan tujuan agar ia tetap
97
mampu bertahan dalam kehidupan sosialnya. Keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi pada dasarnya memiliki kelompok yang tergolong ke dalam kelompok usaha yang dilakukan secara bersama sama. Terbentuknya kelompok usaha yang dilakukan oleh keluarga miskin di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah-wilayah yang lain. Dilihat dari sifatnya menunjukkan bahwa terbentuknya kelompok usaha tersebut didasarkan kepada dua hal yaitu (1) berdasarkan kedaerahan dan (2) berdasarkan jenis usaha. Berdasarkan kedaerahan maksudnya adalah terbentuknya kelompok usaha tersebut didasarkan kepada adanya kesamaan asal daerah bagi tiap-tiap anggotanya. Tujuan kelompok yang berdasarkan asal keaderahan tersebut tidak adalah (1) memudahkan komunikasi diantara anggota kelompoknya; dan (2) terdapat kesamaan nilai-nilai budaya diantara anggotanya tersebut. Dengan adanya kesamaan tersebut pada akhirnya koordinasi dalam kelompok tersebut akan menjadi lebih mudah. Contoh kasus antara lain peguyuban orang madura dengan usaha besi bekas di Jakarta Utara, paguyuban orang semarang dengan usaha pemulung di Bekasi, kelompok orang Tasikmalaya dengan usaha kredit alat-alat rumah tangga, kelompok orang dari Sumatera dengan usaha tambal ban di Bekasi, serta beberapa kelompok paguyuban kedaerahan yang menjalankan usaha lainnya. Berdasarkan jenis usaha maksudnya adalah terbentuknya kelompok usaha tersebut didasarkan kepada daya tarik dan kepeminatan dari sekelompok orang untuk menjalankan usaha yang sesuai dengan kemampuan dan ketrampilannya masing-masing. Misalnya saja sekelompok keluarga miskin di salah satu wilayah Kota Jakarta utara yang berkumpul dengan menngumpulkan modal awal masing-masing Rp. 300.000,- kemudian membentuk usaha
mie
ayam bakso dikarenakan salah satu anggotanya mampu membuat makanan tersebut yang hingga kini masih berjalan; sekelompok keluarga miskin di Kota Bekasi yang keterampilannya hanya mampu mengumpulkan kertas, plastik, besi bekas dan beberapa barang bekas lainnya kemudian berusaha untuk mengumpulkan barang bekas tersebut dan dijual ke tempat pengepulan barang bekas serta beberapa contoh lainnya.
98
Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan sementara bahwa jenis usaha apapun yang dilakukan oleh keluarga miskin dengan cara berkelompok ternyata lebih memudahkan untuk bertahan meskipun dengan penghasilan yang terbatas. Keberadaan kelompok bagi usaha keluarga miskin ternyata memberikan peran yang besar terhadap keberlangsungan usahanya. Secara lebih jelas mengenai tipologi kelompok dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Tipologi Kelompok No.
Aspek-Aspek
1.
Kriteria keanggotaan
2.
Keberadaan kelompok berdasarkan wilayah Keeratan hubungan
3.
Jenis Kelompok Berdasarkan Berdasarkan Jenis Kedaerahan Usaha (1) Adanya kesamaan (1) Adanya kesamaan daerah usaha (2) Jenis usaha tidak (2) Asal daerah tidak harus sama sama Pesisir dan di dalam Lebih banyak di perkotaan dalam perkotaan (1) Memiliki hubungan (1) Hubungan tidak yang sangat erat erat (2) Memiliki hubungan (2) Motif hubungan psikologis yang adalah motif kuat ekonomi (3) Motif hubungan lebih kepada motif sosial
Sumber Daya Keluarga Sumber Daya Fisik Sumber daya fisik adalah segala sesuatu yang tidak bergerak yang dimiliki oleh keluarga yang memiliki nilai guna, manfaat dan menghasilkan keuntungan bagi keluarga tersebut, yang meliputi kepemilikan terhadap rumah, kepemilikan tanah, akses rumah terhadap tempat kerja, akses terhadap fasilitas sosial, pemanfaatan rumah untuk kegiatan usaha, akses terhadap informasi dan akses terhadap pasar. Sebaran yang ada dalam sumber daya fisik dalam keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dapat dilihat pada Tabel 22.
99
Tabel 22. Sumber Daya Fisik Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
145
83,33
110
83,33
Sedang
4
2,30
12
9,09
Tinggi
25
14,37
10
7,58
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 60 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 4
**interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa dukungan sumber daya fisik keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 60. Berdasarkan persestase jawaban responden keluarga miskin di Kota Jakarta utara dan Kota Bekasi sama-sama berada pada angka beberapa alasan
83,3 persen termasuk dalam kategori rendah. Terdapat
dengan sebaran tersebut antara lain: (1) Terkait dengan
kepemilikan rumah tempat tinggal menunjukkan bahwa hanya sedikit dari responden yang memiliki rumah sendiri dengan perincian: di Kota Jakarta Utara sebesar 37,93 persen dan di kota Bekasi sebesar 18,18 persen. Sebanyak 56,90 persen di Kota Jakarta Utara dan 69,70 persen di kota Bekasi menyewa rumah, dan sisanya menempati rumah keluarga dan rumah orang lain. Bagi keluarga miskin yang memiliki rumah sendiri ternyata sebagian besar dari mereka memiliki rumah dalam kondisi yang sangat terbatas, dilihat dari luas tanah yang ada berkisar antara 30 m2 sampai dengan 60 m2; dan (2) Salah satu keuntungan dari keluarga miskin yang tinggal di kota adalah bahwa keluarga miskin tersebut memiliki akses yang cukup baik terhadap akses terhadap fasilitas umum, baik akses terhadap usaha dan tempat kerja, akses terhadap fasilitas sosial, akses terhadap jalan raya, serta akses terhadap pasar. Meskipun keberadaan keluarga yang memiliki akses yang cukup baik, namun keluarga
100
miskin tersebut tidak mampu memanfaatkan akses tersebut untuk mampu mengangkat derajat kehidupan keluarganya dari kemiskinan. Hanya sebagian rumah dari keluarga
miskin yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yaitu
berdagang warung kelontong. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang tinggal di rumah kontrakan dan ketika
ia
dikonfirmasi
berlokasi di gang-gang kecil, terungkap bahwa
berkaitan
dengan
pengembangan
usahanya,
ia
berkomentar bahwa ia belum memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan usahanya. Secara jujur ia menyatakan bahwa tempat tinggalnya memiliki akses yang cukup baik, namun ia belum bisa memanfaatkan akses tersebut karena keterbatasan kemampuan untuk mengembangkan usaha dagangnya. Pernah ia mencoba ingin mengembangkan usahanya dengan meminjam modal kepada orang yang menawarkan, namun karena perkembangan usaha yang tidak terlalu menggembirakan sehingga ia tidak mampu mengembangkan modal usahanya. Namun demikian ia merasa bahwa tempat tinggalnya memiliki akses yang dapat dikembangkan, dengan harapan ada pihak-pihak yang berwewenang bisa melakukan pendampingan.
Sumber Daya Non Fisik Sumber daya non fisik merupakan sejumlah sistem nilai yang dimiliki keluarga yang memberikan kegunaan, manfaat dan keuntungan bagi keluarga tersebut antara lain: komunikasi antar anggota keluarga, tingkat kepercayaan antar anggota keluarga, keamanan psikologis, dan kesadaran terhadap pendidikan. Kesemua item di atas dikaitkan dengan kegiatan usaha keluarga. Sumber daya ini pada dasarnya secara langsung ataupun tidak langsung memberikan pengaruh terhadap kondisi keluarga. Secara lebih jelas, sebaran berkaitan dengan sumber daya non fisik dapat dilihat pada Tabel 23.
101
Tabel 23. Sumber Daya Non Fisik Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
81
46,55
57
43,18
Sedang
75
43,10
75
56,82
Tinggi
18
10,34
0
0
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 62 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 20 ; dan skor minimum : 7 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 23 menunjukkan bahwa sumber daya non fisik keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 62. Sebaran berkaitan dengan dukungan sumber daya non fisik menunjukkan kategori rendah dengan perincian bahwa persepsi responden di Kota Jakarta Utara sebesar 46,55 berada pada kategori rendah dan 43,10 berada pada kategori sedang, sedangkan persepsi responden di Kota Bekasi sebesar 43,18 berada pada kategori rendah dan 56,82 berada pada kategori sedang. Terdapat beberapa alasan yang berkaitan dengan masalah ini adalah (1) Keluarga miskin di kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki keinginan untuk mengembangkan usaha dalam keluarga. Komunikasi diantara anggota keluarga untuk mengembangkan usaha keluarga sudah dibangun, namun karena keterbatasan modal serta rendahnya kemampuan untuk mewujudkan usaha keluarga tersebut sehingga hanya terdapat beberapa keluarga yang mampu membangun usaha keluarga secara kecil-kecilan dan ada sebagian keluarga miskin lainnya yang belum mampu membangun usaha keluarganya;
(2) Keahlian yang dimiliki oleh anggota
keluarga
dalam
mengembangkan usaha keluarga masih sangat terbatas dengan menggunakan tehnologi dan sistem yang sangat terbatas; (3) Keluarga miskin belum memiliki pengetahuan dan pemahaman untuk mengembangkan pendidikan yang dapat mendukung terhadap usaha keluarga. Alasan utamanya adalah berkaitan dengan keterbatasan dana untuk membiayai pendidikan tersebut; dan (4) Ketika keluarga berusaha untuk bekerja sama dengan keluarga lainnya dalam membangun usaha keluarga, ternyata problemnya juga tidak jauh berbeda yaitu
102
adanya keterbatasan modal dan keahlian untuk mengembangakan usaha keluarga menjadi lebih baik. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang selama ini menjual nasi uduk di depan sekolah TK di wilayah perumahan memiliki seorang suami yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap memiliki 2 orang anak dan sedang mengandung anak yang ketiga, terungkap bahwa selama ini usaha penjualan nasi uduk tidak mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi tetap berjalan apa adanya. Ia menjelaskan bahwa usaha penjualan nasi uduknya hanya begitu-begitu saja dikarenakan modal dan keahlian yang ia dapat lakukan masih sangat terbatas. Menurutnya menjual nasi uduk tidak memerlukan keahlian khusus, yang penting bisa memasak dan mengolah bumbu yang sesuai dengan selera pelanggan dan tidak mematok harga yang tinggi dan mahal. Sebenarnya ia dan suaminya memiliki keterbukaan dalam mengelola usaha dagangnya tersebut. Suaminya selama ini hanya membantu mempersiapkan perlengkapan seadanya untuk dapat menjual nasi uduknya tersebut. Sesekali ia juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan bazaar yang diadakan oleh RW misalnya saja ketika ada pengajian akbar di dekat mesjid, bazaar ketika bulan romadhon dan kegiatan-kegiatan RW lainnya. Namun karena keterbatasan-keterbatasan tersebut maka usaha dagangnya tersebut hanya apa adanya dan sederhana. Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa rendahnya sumber daya non fisik yang ada pada tiap-tiap keluarga miskin sangat menentukan terhadap rendahnya perkembangan usaha keluarga. Rendahnya sumber daya non fisik keluarga yang terdiri dari: komunikasi antar anggota keluarga, tingkat kepercayaan antar anggota keluarga, keamanan psikologis, dan kesadaran terhadap pendidikan, ternyata tidak mampu mengangkat dan memperbaiki setiap usaha yang dikembangkan oleh keluarga miskin perkotaan. Hal yang justru menjadi beban keluarga dalam mengembangkan usaha keluarga tidak lain adalah keterbatasan pendidikan sehingga tidak mampu mengembangkan hal-hal baru dalam mengelola usaha keluarga. Usaha keluarga lebih banyak dikelola dengan cara-cara yang konvensional dan tidak profesional.
103
Lingkungan Sosial Dampak Negatif Kebijakan Dampak negatif kebijakan merupakan akibat sosial yang ditimbulkan oleh adanya sejumlah kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah antara lain: tingkat pengaruh kebijakan pembangunan fisik kota, tingkat pengaruh kebijakan penataan kota, dan tingkat pengaruh kebijakan penertiban kota. Sebaran persepsi responden mengenai dampak kebijakan pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Artinya bahwa intensitas kebijakan pemerintah daerah khususnya yang terkait dengan kebijakan pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Dampaknya terhadap keluarga miskin sangat dirasakan oleh para responden lebih banyak memberatkan terhadap kehidupan keluarga miskin di perkotaan. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Persepsi Responden Mengenai Dampak Negatif Kebijakan Pemerintah Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
14
8,05
0
0
Sedang
77
44,25
17
12,88
Tinggi
83
47,70
115
87,12
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 75 dengan kategori sedang** Skor persepsi responden sebesar 2,4 dengan kategori sedang Keterangan : *Skor maksimum: 28 ; dan skor minimum : 7 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 75. Terdapat perbedaan antara dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi meskipun tidak terlalu signifikan. Dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara termasuk dalam
104
kategori sedang, sedangkan dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Bekasi termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan secara langsung dampak negatif kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota. Beberapa alasan yang terkait dengan masalah tersebut adalah sebagai berikut : (1) Kota Jakarta Utara sebagai kota besar dan Kota Bekasi sebagai kota sedang secara
fisik
mengalami
perkembangan
yang
sangat
pesat.
Kebijakan
pembangunan kota yang selama ini terjadi di Kota Jakarta Utara dan kota Bekasi antara lain : pembangunan fisik kota, penataan kota dan penertiban kota. Dari kebijakan pembangunan kota yang dilakukan oleh pemerintah kota, sebagian besar responden mempersepsikan bahwa kebijakan pembangunan kota yang memiliki pengaruh yang besar bagi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah berkaitan dengan pembangunan fisik kota. Terdapat beberapa jenis pembangunan fisik yang dilakukan oleh pemerintah kota antara lain: pembangunan jalan, pembangunan real estate, pembangunan sentera bisnis, dan pembangunan fisik lainnya. Pembangunan fisik yang paling dirasakan berdampak langsung terhadap kondisi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah pembangunan jalan yang sering mengalami perubahan yang sangat cepat. Hal yang sering dirasakan oleh keluarga miskin di perkotaan adalah kehidupan mereka semakin terpinggirkan seperti halnya beberapa kasus penggusuran yang lebih banyak menerpa terhadap keluarga miskin perkotaan; dan (2) Keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki keberdayaan
untuk
melakukan
penolakan
dan
perlawanan
terhadap
pembangunan fisik yang dilakukan oleh pemerintah kota. Hal ini dikarenakan kebutuhan pengembangan kota yang begitu pesat sehingga kondisi tempat tinggal dari para keluarga miskin menjadi semakin tersisih. Kemampuan yang mereka miliki untuk tetap hidup dan bertahan di kota adalah di tempat-tempat yang kumuh seperti halnya di pinggiran kali, di pinggiran rel kereta api, di bawah jembatan tol serta beberapa tempat lainya yang tergolong kumuh. Adanya perbedaan antara dampak kebijakan pemerintah di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi dilihat dari pembangunan fisik kota yang berhubungan
105
dengan pembangunan perumahan yang saat ini sangat marak di Kota Bekasi. Pola pembangunan fisik Kota Jakarta saat ini lebih mengaruh kepada wilayahwilayah yang ada di sekitarnya. Wilayah-wilayah yang ada di sekitar DKI Jakarta menanggung
beban
yang
sangat
besar
terutama
menanggung
beban
penduduknya yang selama ini lebih banyak bekerja di DKI Jakarta. Hal tersebut juga terjadi di Kota Bekasi sebagai salah satu kota penyangga DKI Jakarta. Perkembangan tersebut disebabkan karena: (1) Perkembangan fisik di Kota Jakarta secara umum sangat pesat, sedangkan lahan yang ada sangat terbatas sehingga daerah Bekasi sebagai daerah penyangga Ibukota menjadi alternatif pembangunan, khususnya di bidang perumahan; dan (2) Tingginya tingkat urbanisasi yang selama ini melanda Ibukota juga memicu para developer untuk membangun rumah-rumah yang ada di daerah sekitarnya. Bekasi menjadi salah satu alternatif yang menjadi objek pembangunan perumahan. Dalam sebuah wawancara mendalam dengan salah seorang pedagang asongan yang menjual sayur-sayuran, ia mengungkapkan bahwa dulu ketika ada pembangunan fisik yang ada di wilayahnya, ia sering dilibatkan oleh kelurahan karena ia termasuk orang lama yang sering membantu pekerjaan pembangunan di wilayahnya, baik itu adanya pelebaran jalan, pelebaran selokan, pengaspalan jalan serta pekerjaan pembangunan fisik lainnya. Sekarang menurutnya, adanya pembangunan fisik yang dilakukan oleh pemerintah kota sama sekali tidak ada pemberitahuan kepada warga sehingga kelabakan untuk mengantisipasi adanya pembangunan fisik tersebut. Menurutnya, sebenarnya adanya pembangunan kota yang begitu cepat di perkotaan memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah bagi warga yang memiliki kemampuan, ia bisa bekerja di malmal atau pabrik yang ada di sekitar tempat tinggal. Dampak negatifnya adalah bahwa setiap warga selalu merasa khawatir, jangan-jangan rumahnya akan digusur atau atau dimanfaatkan untuk lahan hijau. Ada sebagian warga yang terpaksa pindah ke tempat lain dikarenakan adanya ketakutan rumahnya akan tergusur.
106
Ketersediaan Sumber Daya Ekonomi Ketersediaan sumber daya ekonomi merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar keluarga yang mampu memberikan dukungan ekonomi terhadap keluarga antara lain ketersediaan modal ekonomi, keikutsertaan dalam pelatihan keterampilan berusaha, tingkat penyerapan informasi, serta bantuan dari pihak luar. Sebaran persepsi responden terkait dengan ketersediaan sumber daya ekonomi termasuk dalam ketegori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki aspek-aspek sumber daya ekonomi. Kondisi ini terkait dengan ketidakmampuan keluarga miskin tersebut untuk dapat menyediakan sumber daya ekonomi yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Sebagian besar keluarga miskin sendiri merasa sudah tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam keluarga. Secara lebih jelas dapat dijelaskan pada Tabel 25. Tabel 25. Persepsi Responden Mengenai Ketersediaan Sumber Daya Ekonomi Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
66
37,93
126
95,46
Sedang
63
36,21
3
2,27
Tinggi
45
25,86
3
2,27
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 32 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,8 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 55 ; dan skor minimum : 15 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan
sebaran
data
pada
tabel
25
menunjukkan
bahwa
ketersediaan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 32. Terdapat beberapa alasan yang terkait dengan rendahnya ketersediaan sumber daya ekonomi keluarga tersebut adalah sebagai berikut: (1) Keluarga miskin di Kota masih sangat menggantungkan diri kepada pihak luar
107
untuk memberikan dukungan ekonomi keluarga. Mereka tidak memiliki keberdayaan untuk memenuhi sumber daya ekonomi yang memadai; (2) Masih rendahnya dukungan dari pihak-pihak luar (pemerintah, swasta, NGO dan lembaga pendidikan) dalam memberikan dukungan perbaikan ekonomi terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Sebagian besar responden menyampaikan bahwa pihak-pihak luar masih sangat jarang untuk memberikan dukungan perbaikan ekonomi keluarga. Dari beberapa jenis dukungan perbaikan ekonomi seperti pemberian modal ekonomi, keterampilan, sarana prasarana dan akses pasar, hanya beberapa hal yang pernah diberikan oleh pihak-pihak luar tersebut seperti bantuan pelatihan keterampilan. Pemberian pelatihan tersebut, yang pernah melakukan pelatihan tersebut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah, sedangkan pihak-pihak lainnya jarang sekali melakukan pelatihan tersebut; (3) Pihak-pihak luar sangat jarang memberikan bantuan jenis modal kepada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Khusus terkait dengan bantuan modal yang pernah diperoleh keluarga dari pihak luar dipergunakan untuk mengembangkan usaha keluarga agar menjadi lebih besar. Modal yang dikembangkan oleh keluarga lebih banyak dalam bentuk modal bergulir. Hal ini bisa dilihat dari jawaban responden yang menunjukkan bahwa bantuan modal bergulir. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keluarga yang ada benar-benar memanfaatkan bantuan modal bergulir yang selama ini diberikan khususnya oleh pemerintah misalnya saja Program PNPM Mandiri serta beberapa program bantuan modal lainnya yang berbentuk modal bergulir. Kredit usaha menjadi alternatif selanjutnya bagi keluarga, ketika modal yang mereka miliki dari program bantuan modal bergulir yang mereka terima
dari
pemerintah
direncanakan
untuk
dikembangkan.
Biasanya
pengembangan usaha keluarga melalui kredit usaha dilakukan seperti halnya melalui bank-bank pemerintah dimaksudkan untuk mengembangkan jenis usaha keluarga yang baru yang mereka anggap prospektif. Sedangkan modal bersama sampai saat ini bagi keluarga dianggap bukan pilihan yang tepat mengingat keterbatasan sumber keuangaan masing-masing anggota untuk mengeluarkan modal masing-masing. Mereka sampai saat ini hanya mengandalkan kepada tenaga dan pikiran untuk mengembangkan usaha keluarganya, mengingat kebutuhan keluarga yang masih sangat terbatas; dan (4) Terkait dengan usaha untuk mengembangkan keluarga yang mereka bentuk, salah satunya melalui
108
pelatihan-pelatihan yang pernah diberikan oleh pihak-pihak lain atau inisiatif dari keluarga untuk lebih mengembangkan kehlian tertentu yang menurut mereka dianggap masih sangat terbatas. Berdasarkan wawancara mendalam menunjukkan bahwa keluarga menunjukkan perhatian yang besar untuk lebih mengembangkan keahlian di bidang pemasaran dibandingkan dengan aspek-aspek yang lain seperti wirausaha, KURT, dan keahlian lain-lain. Kondisi seperti ini menunjukkankan bahwa salah satu kelemahan yang mereka alami setelah mengembangkan usaha dan menghasilkan produk-produk usahanya tidak lain adalah bagaimana memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil produknya tersebut. Pilihan utamanya ternyata jatuh kepada pelatihan di aspek pemasaran. Mereka berangggapan bahwa dengan lebih memperhatikan pelatihan pada aspek pemasaran akan lebih memperkenalkan produk-produk yang dihasilkan mereka kepada masyarakat, sehingga terdapat harapan agar produk-produk usaha yang mereka hasilkan dapat dipergunakan oleh orang lain
sehingga terdapat
keuntungan usaha yang akan dihasilkan bagi keluarganya. Pelatihan-pelatihan yang mereka dapatkan selama ini lebih banyak mengandalkan kepada pelatihan yang diberikan oleh pihak luar seperti halnya pelatihan pemasaran yang pernah dilakukan oleh Dinas perindustrian dan Perdagangan dan pihak swasta. Dalam sebuah wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki yang memiliki usaha catering yang modalnya ditanggung bersama ibu-ibu di RT nya, terungkap bahwa menurutnya selama ini, pihakpihak luar jarang sekali membantu memberikan modal terhadap usaha yang ia lakukan. Paling yang pernah ia terima sebagai bentuk bantuan dari pihak luar adalah pelatihan yang pernah dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu dalam bentuk pelatihan usaha rumah tangga. Selama ini persoalan yang ia hadapi adalah ketersediaan modal dan pemasaran dari usaha yang ia lakukan. Akhirnya, guna memasarkan usahanya tersebut, ia lakukan dari mulut ke mulut di lingkungan kompleks tempat tinggalnya. Meskipun pelanggannya masih sangat sedikit tetapi dudah manampakkan hasil yang menggemberikan. Keuntungan dari hasil usaha bersama cateringnya tersebut dibagi secara merata sesuai dengan proporsi modal dan keterlibatan dalam usaha tersebut.
109
Ketersediaan Sumber Daya Sosial Ketersediaan sumber daya sosial berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di sekitar keluarga yang mampu memberikan dukungan dalam memperkuat sistem sosial terhadap keluarga yaitu tingkat kepercayaan antar keluarga, Kerja sama antar keluarga, dan Intensitas kegiatan gotong royong. Sebaran terkait dengan persepsi responden terhadap ketersediaan sumber daya sosial pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Dalam hal ketersediaan sumberdaya sosial ini, setiap keluarga miskin memiliki tingkat kesadaran yang baik mengenai jenis usaha yang dikembangkan dalam keluarganya. Diantara anggota keluarga sangat mengharga terhadap jenis usaha masing-masing keluarga. Secara lebih jelas mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Persepsi Respondei Mengenai Ketersediaan Sumber Daya Sosial Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
12
6,09
0
0
Sedang
118
67,82
46
34,85
Tinggi
44
25,29
86
65,15
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 72 dengan kategori sedang** Skor persepsi responden sebesar 1,93 dengan kategori sedang Keterangan : *Skor maksimum: 16; dan skor minimum : 5 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 26 menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya sosial keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 72. Secara umum ketersediaan sumber daya sosial dalam keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak terdapat perbedaan yang mendasar, kedua wilayah tersebut menunjukkan ketersediaan sumber daya sosialnya termasuk dalam kategori sedang. Kondisi seperti ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Tiap-tiap anggota keluarga baik yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sudah memiliki pengertian yang proporsional mengenai usaha yang dapat dilakukan di dalam meningkatkan
110
kesejahteraan keluarga. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan yang tinggi untuk dapat hidup di kota. Kondisi inilah yang dipahami oleh anggota keluarga agar terdapat
kepercayaan
untuk
dapat
mengembangkan
usaha
keluarga;
(2) Kelompok usaha yang selama ini dibentuk sebenarnya tidak lain dari keinginan dari tiap-tiap keluarga untuk dapat berkumpul dalam rangka agar mampu membebaskan keluarga dari belenggu kemiskinan. Oleh karena itu sistem sosial yang dikembangkan dalam keluarga lebih menekankan adanya konflik pada tingkatan yang rendah. Ketegangan atau konflik dalam keluarga dipersepsikan sebagai sesuatu yang akan mengancam keuntuhan keluarga. Salah satu hal yang dianggap mampu untuk mempertinggi semangat berusaha dalam keluarga tidak lain adalah mengurangi perasaan curiga dari masingmasing anggota keluarga dengan tujuan agar konflik dalam keluarga tidak semakin besar. Kepercayaan yang tinggi dari masing-masing anggota keluarga, khususnya dalam hal berusaha akan sangat mendorong keberhasilan keluarga dalam berusaha; dan (3) Kondisi ini tidak saja terjadi di dalam keluarga saja, melainkan juga dipersepsikan yang sama antar keluarga dengan keluarga lainnya. Dalam mengembangkan usaha keluarga, persaingan dengan keluarga yang diusahakan dalam taraf yang kecil dengan tujuan tidak merusak hubungan dengan keluarga yang lain. Sumber daya sosial yang terdiri dari: tingkat kepercayaan antar keluarga, kerja sama antar keluarga, dan Intensitas kegiatan gotong royong bagi keluarga miskin merupakan sebuah modal sosial yang masih berkembang di perkotaan. Meskipun mereka secara ekonomi memiliki keterbatasan, namun dengan adanya sumber daya sosial ini menjadikan mereka untuk tetap bertahan hidup di kota. Adanya perasaan senasib dan sepenanggungan diantara keluarga miskin membuat mereka lebih kuat dan tabah dalam menjalankan kehidupan miskinnya tersebut. Adanya problematika hidup yang dialami oleh salah satu keluarga miskin akan juga dirasakan oleh keluarga yang lain. Dengan demikian dalam halhal tertentu diantara merekapun masih saling membantu diantara keluarga miskin tersebut. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang memiliki usaha warung yang menjual makanan di rumahnya memiliki 3 (tiga) orang anak, terungkap bahwa ia selalu menanamkan kepada anggota
111
keluarga bahwa keluarganya bukanlah keluarga yang berkecukupan atau keluarga yang kurang mampu. Sehingga dalam keluarganya diberikan nilai-nilai untuk hidup apa adanya. Ia mengatakan bahwa dalam keluarga tidak boleh untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak mampu untuk diadakan sehingga dalam keluarga tersebut tidak terlalu ngoyo. Menurutnya bahwa sesuatu yang dipaksakan dalam keluarganya tersebut justru akan memicu konflik dalam keluarga. Begitu juga dengan anggapannya tentang usaha yang sama yang juga dilakukan oleh keluarga lainnya. Menurutnya adanya jenis usaha yang sama yang dilakukan oleh tetangganya merupakan sesuatu yang positif asal dilakukan secara fair, sehingga tidak timbul permusuhan dengan tetangga. Artinya diantara keluarga masih memiliki rasa saling pengertian untuk menciptakan kerukunan antar keluarga miskin.
Peran Media Massa Peran Media massa merupakan kemampuan perangkat informasi dan pelaku media dalam memberikan pengetahuan dan perubahan perilaku bagi keluarga yang meliputi : (1) Intensitas pemanfaatan media cetak, dan (2) Intensitas pemanfa-atan media elektronik. Berdasarkan sebaran persepsi responden berkaitan dengan peran media massa terhadap usaha keluarga pada keluarga miskin ternyata terdapat perbedaan antara keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi. Bagi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara persepsi responden mengenai peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori sedang. Bagi keluarga miskin di Kota Bekasi, responden mempersepsikan peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori rendah. Penyebab lebih tingginya persepsi responden di Kota Jakarta Utara dibandingkan dengan responden yang ada di Kota Bekasi yaitu: (1) Bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara lebih banyak memiliki akses terhadap media massa dibandingkan dengan keluarga miskin di Bekasi. Hal ini dapat dilihat dari lebih bervariasinya media massa yang ada di Jakarta dibandingkan dengan
media
massa yang ada di Kota Bekasi, baik media cetak maupun media elektronik, sehingga lebih memudahkan bagi keluarga untuk dapat memperoleh informasi
112
dari media massa tersebut; dan (2) Tingkat pendidikan anggota keluarga miskin ternyata juga menentukan terhadap kebutuhan keluarga terhadap pentingnya peran media massa tersebut. Bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara relatif lebih tinggi tingkat pendidikannya dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang ada pada keluarga miskin di Kota Bekasi. Dengan demikian tingkat kebutuhan terhadap media massa menunjukkan bahwa keluarga miskin di Kota Jakarta Utara merasa lebih membutuhkan dibandingkan dengan keluarga miskin yang ada di Kota Bekasi. Secara lebih rinci, terkait dengan sebaran mengenai peran media massa tersebut dapat dilihat pada tabel 27. Tabel 27. Persepsi Responden mengenai Peran Media Massa Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
30
17,24
4
3,79
Sedang
125
71,84
44
33,33
Tinggi
19
10,92
83
63,88
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 42 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,83 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 32; dan skor minimum : 9 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 27 menunjukkan bahwa peran media massa terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 42. Keluarga miskin di Kota Jakarta Utara memiliki persepsi bahwa peran media massa merupakan sesuatu yang tidak begitu penting terhadap usaha keluarga. Melalui media massa terdapat beberapa informasi yang didapatkan oleh keluarga. dipersepsikan
dapat
memberikan
Media massa pada dasarnya
kontribusi
yang
sangat
nyata
bagi
pengembangan usaha keluarga. Media massa yang dipersepsikan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan usaha keluarga adalah media elektronik khususnya televisi. Keluarga miskin menganggap hanya media massa elektronik banyak memberikan pengetahuan bagi tiap-tiap anggota untuk
113
melakukan usaha keluarga. Informasi yang terkait dengan jenis-jenis usaha yang bisa dikembangkan oleh anggota keluarga menjadi alasan utama. Kondisi tersebut membuat tiap-tiap anggota keluarga terpacu untuk mengembangkan usaha yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang memiliki 3 orang anak yang masih kecil-kecil bekerja sebagai seorang penjual gorengan, terungkap bahwa setiap hari ia tidak pernah lepas dari menonton televisi dan sangat malas untuk membaca Koran. Baginya televisi merupakan sarana hiburan satu-satunya yang ada di keluarganya. Sedangkan untuk membeli sarana hiburan lainnya ia tidak memiliki uang apalagi untuk berlangganan koran. Sebenarnya ia sendiri lebih sering menonton acara hiburan dibandingkan dengan acara-acara yang serius. Namun ia mengaku sekali-kali ia juga menonton acara berita dan kadang-kadang ia juga menonton acara yang berhubungan dengan masak-memasak meskipun sangat jarang dilakukan. Dengan menonton acara televisi, minimal ia tidak merasa ketinggalan informasi dan hal-hal yang lagi ngetrend selama ini.
Dukungan Jaringan Usaha Dukungan jaringan usaha merupakan sejumlah kelompok-kelompok kerja atau usaha yang menjadi mitra kerjasama dengan kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin antara lain : jaringan informasi, kerjasama dengan Kelompok lain, kerja sama dengan pihak swasta, dan kerja sama dengan pemerintah. Secara
umum
terdapat
perbedaan
antara
jaringan
usaha
yang
dikembangkan oleh kelompok usaha pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan jaringan usaha yang dikembangkan oleh kelompok usaha pada keluarga miskin di Kota Bekasi. Responden di keluarga miskin Kota Jakarta memiliki jaringan usaha pada kategori sedang. Sebagian besar responden keluarga miskin (44,70%) yang ada di Kota Bekasi memiliki jaringan usaha pada kategori yang rendah. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 28.
114
Tabel 28. Persepsi Responden mengenai Jaringan Usaha Kota Jakarta Utara
Kota Bekasi
Kategori* Frekuensi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
50
28,74
22
16,66
Sedang
109
62,64
51
38,64
Tinggi
15
8,62
59
44,70
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 49 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,73 dengan kategori rendah Keterangan :*Skor maksimum: 48; dan skor minimum : 13 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 28 menunjukkan bahwa jaringan usaha yang ada pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 49. Jaringan usaha yang selama ini dikembangkan oleh keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan usaha yang dikembangkan oleh keluarga miskin di Kota Bekasi. Beberapa alasan yang dapat menjelaskan kondisi tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kelompok usaha yang selama ini didirikan oleh keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi terkait dengan jaringan usaha tersebut. Hal ini disebabkan ada keinginan yang sangat besar agar kelompok yang ia rintis menjadi lebih besar. Di samping itu juga produk hasil usaha kelompoknya tersebut akan menjadi lebih laku dengan memiliki jaringan usaha yang luas; (2) Secara tidak sengaja, bagi kelompokkelompok usaha yang selama ini berjalan menjadi perhatian bagi kalangan eksternal untuk dapat menjadi pendampingnya agar kelompok tersebut lebih berhasil lagi. Bagi kalangan eksternal seperti instansi pemerintah dan kalangan LSM merasa berkepentingan untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok usaha yang sudah dianggap matang, agar bantuan yang ia berikan tersebut memiliki hasil yang lebih menjanjikan, dan (3) kondisi yang kontradiktif justru terjadi di Kota Bekasi, di mana kalangan eksternal belum memiliki kepentingan untuk membantu kelompok-kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin. Di samping itu juga jumlah LSM yang ada masih sangat terbatas dibandingkan dengan yang ada di Jakarta. Dengan demikian kelompok usaha yang dibentuk
115
oleh keluarga miskin yang ada di Kota Bekasi tidak memiliki akses yang besar untuk memperluas jaringan kerja. Dalam wawancara dengan salah seorang kepala keluarga yang memiliki usaha warung makanan di Bekasi, terungkap bahwa pihak-pihak eksternal seperti pemerintah, perbankan, LSM selama ini ternyata berperilaku pilih kasih terhadap kelompok-kelompok usaha yang berskala kecil. Menurutnya mereka sama sekali tidak melirik usaha kelompok, apalagi usaha kelompok tersebut dibentuk oleh keluarga miskin. Ketika ia dan kelompok usahanya berusaha untuk meminjam dana ke bank dengan jaminan tanah seorang temannya, agar jenis usahanya yang hanya makanan pada skala kecil dapat berkembang, ternyata bank tidak dapat memberikan modal pinjaman tersebut. Bagi kelompok yang sudah berjalan dan masuk dalam kategori yang besar, dengan mudahnya untuk meminjam dana ke bank. Bahkan pemerintah dan LSM pada turut membantu terhadap kelompok tersebut. Anggapannya bahwa keberhasilan kelompok usaha tersebut kemudian akan diklaim sebagai keberhasilan lembaga eksternal dalam membimbing usaha kelompoknya tersebut.
Peluang Kemitraan Peluang kemitraan merupakan sejumlah peluang dan kesempatan untuk melakukan kerja sama dengan kelompok-kelompok lain di luar kelompoknya, antara lain: tukar menukar informasi dan Intensitas komunikasi dengan pemerintah, dunia usaha, NGO, lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lainnya. Terkait dengan peluang kemitraan yang ada pada keluarga miskin menunjukkan bahwa sebaran persepsi responden baik di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Sebagian besar persepsi responden di kedua lokasi tersebut
berada kategori
sedang. Kondisi ini secara riil dapat dipahami mengingat beberapa hal antara lain: (1) Tingkat keterlibatan pihak-pihak lain, khususnya baik pemerintah, swasta, NGO, dan lembaga pendidikan dalam membuka peluang kemitraan dengan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin masih sangat
116
terbatas. Pihak-pihak terkait belum memiliki kepedulian yang tinggi untuk bermitra dengan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin. Bagi pihak-pihak yang melakukan mitra dengan kelompok usaha tersebut, biasanya terdapat diskriminasi, khususnya bagi kelompok usaha yang sudah mapan; dan (2) Kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin belum memiliki cara dan strategi yang baik untuk dapat bermitra dengan lembaga atau instansi terkait, baik kemitraan dalam hal permodalan serta kegiatan-kegiatan yang terkait dengan usaha kelompok. Secara lebih jelas terkait dengan persepsi responden mengenai peluang kemitraan dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Persepsi Responden Mengenai Peluang Kemitraan Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
67
38,51
21
15,91
Sedang
58
33,33
60
45,45
Tinggi
49
28,16
51
38,64
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 43 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,80 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 19 ; dan skor minimum : 6 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 29 menunjukkan bahwa peluang kemitraan kelompok usaha yang dibangun keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 43. Secara umum kelompok usaha yang dibentuk sebenarnya memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat membuka dan melakukan kemitraan dengan pihak lain di luar kelompok tersebut. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat kelompok usaha tersebut merupakan kelompok usaha yang relatif baru sehingga semangat untuk membuka kemitraan dengan pihak lain menjadi sangat tinggi. Beberapa pihak yang diandalkan untuk dapat dijadikan mitra usaha bagi kelompok usaha tersebut lebih banyak kepada pihak pemerintah dan kelompok usaha lainnya. Tingginya
pihak
pemerintah
untuk
dijadikan
mitra
dikarenakan
alasan
keberlangsungan kelompok usaha tersebut. Pemerintah dipersepsikan sebagai
117
pihak yang dianggap mampu menjamin keberlangsungan usaha kelompoknya. Keberlangsungan tersebut dapat dilihat dari adanya bantuan modal dan materi yang diharapkan oleh kelompok usaha tersebut. Sedangkan bagi
kelompok
usaha lainnya yang dijadikan kemitraan lebih berkenaan dengan adanya peluang kerja sama antar keluarga usaha, khususnya kelompok usaha yang sejenis. Kalaupun ada kemitraan yang dilakukan dengan pihak-pihak luar,lebih banyak bergerak dalam hal peminjaman modal, meskipun hal tersebut jarang sekali. Dalam wawancara mendalam dengan seorang penjual nasi warteg yang tinggal di sekitar lingkungan sekolahan, Ia mengungkapkan bahwa hidup matinya warung saya ini sangat bergantung kepada sekolahan tersebut baik jumlah siswanya ataupun juga aktivitas yang ada di sekolahan tersebut. Dulu memang sekolah ini memiliki siswa yang sangat banyak sehingga berimbas pada tingginya jumlah pelanggan yang ada di warungnya tersebut. Saat ini seiring dengan jumlah siswa yang semakin menurun, maka jumlah pelanggannya juga melorot tajam. Suatu ketika terbersit untuk menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan tersebut dengan maksud bahwa untung ruginya usaha warungnya tersebut tidak dipikul sendiri, melainkan juga dapat dipikul oleh lembaga pendidikan tersebut. Namun pada kenyataannya harapan untuk bermitra dengan lembaga pendidikan tersebut sampai saat ini tidak pernah terkabul. Sedangkan dari pihak lainnya sama sekali tidak pernah ada yang tergerak untuk dapat bekerja sama membesarkan warungnya tersebut. Ia sendiri tidak memahmi caracara untuk melakukan kegiatan kemitraan dengan lembaga manapun yang dapat membawa perbaikan pada usahanya tersebut. Pada akhirnya warungnya tetap tidak berkembang.
Pengaruh Kultural Pengaruh kultural dalam hal ini adalah keterikatan antara kegiatan usaha yang dilakukan oleh keluarga dengan sejumlah nilai–nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, antara lain: kebiasaan dalam masyarakat, keyakinan dalam masyarakat, dan norma dalam masyarakat. Terkait dengan keterkaitan usaha yang dijalankan oleh kelompoknya dengan kebiasaan, keyakinan dan norma dalam masyarakat menunjukkan sebaran persepsi responden baik di Kota
118
Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tidak terdapat perbedaan yang nyata, kedua wilayah tersebut berada dalam kategori yang rendah. Artinya bahwa usaha yang dijalankan oleh kelompok selama ini tidak mengalami pertentangan dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Secara lebih jelas, kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Persepsi Responden Mengenai Pengaruh Kultural Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
156
89,66
128
96,97
Sedang
15
8,62
4
3,03
3
1,72
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 60 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,12 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 22 ; dan skor minimum : 7 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 30 menunjukkan bahwa tingkat pertentangan antara kegiatan kelompok usaha dengan kultur masyarakat termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 60. Rendahnya pertentangan usaha kelompok dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat menunjukkan bahwa pengaruh kultural dari masyarakat terhadap usaha yang dijalankan oleh kelompok masih sangat tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Anggota keluarga yang tergabung dalam usaha kelompok tersebut sudah memahami nilai-nilai, kebiasaan dan keyakinan yang selama ini berkembang dalam masyarakat. Mereka pada dasarnya sangat memegang teguh nilai-nilai, kebiasaan dan keyakinan yang di masyarakat; (2) Anggota kelompok merasa sangat ketakutan untuk menjalankan usaha
yang
bertentangan dengan
kebiasaan,
keyakinan dan
nilai-nilai
masyarakat dengan alasan sebaik apapun usaha yang dijalankan oleh kelompok apabila bertentangan dengan kultur yang ada dalam masyarakat akan mengakibatkan usahanya akan sia-sia; dan (3) masih tingginya sanksi sosial
119
yang dipersepsikan akan diterima oleh anggota masyarakat apabila melanggar ketentuan sosial yang ada di masyarakat. Masyarakat setempat dipersepsikan oleh responden sebagai masyarakat yang keras di dalam memutuskan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh sekelompok anggota masyarakat. Pada akhirnya masyarakat juga akan memberikan sanksi yang keras bagi anggota masyarakatnya yang melanggar. Dalam wawancara mendalam dengan seorang bapak yang bekerja sebagai tukang ojek di perumahan dekat tempat tinggalnya yang memiliki lima orang anak, terungkap bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ada kelompok yang melibatkan tukang ojek yang berada di gang tempat ia mangkal. Ia menyatakan bahwa selama ia menjadi tukang ojek bersama teman-teman, tidak ada persoalan yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat. Ia sendiri meskipun selalu merasa kekurangan sangat tidak berani untuk melakukan tindakan yang akan mengganggu ketertiban masyarakat. Bahkan ia sebagai orang yang dituakan dalam kelompok tukang ojek tersebut mengatur dan mengkoordinir agar diantara anggotanya dapat bersikap sopan dan tidak terkesan jelek di mata masyarakat perumahan tersebut. Menurutnya meskipun di antara teman-temannya banyak yang pengetahuan agamanya sangat minim, tetapi ia merasa malu untuk melanggar norma sosial dan masyarakat. Menurutnya ketika kelompok tukang ojek dinilai tidak baik, ia takut kehilangan pelanggannya. Nilai-nilai kultural masih jadi pegangan kita selama ini.
Intervensi Pemberdayaan Ketepatan Proses Ketepatan proses merupakan serangkaian kegiatan pemberdayaan yang di
dalamnya
kesejahteraan
terdapat
metode,
pendekatan
dan
substansi peningkatan
keluarga yang meliputi : Pengelolaan sumber daya ekonomi,
Pengelolaan usaha, pengelolaan permodalan, pengelolaan pengembangan jaringan, dan pengelolaan organisasi. Berdasarkan sebaran persepsi responden yang terkait dengan ketepatan proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan khususnya oleh pihak-pihak luar terhadap kelompok usaha yang dibangun oleh keluarga miskin yang ada di
120
Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan adanya kesamaan yaitu pada kategori yang rendah. Secara lebih rinci mengenai hal ini dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Proses Pemberdayaan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
121
69,54
131
99,24
Sedang
53
30,46
0
0
0
0
1
0,76
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 65 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 5 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Dari Tabel 31 menunjukkan bahwa proses pemberdayaan terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah berkategori rendah, dengan skor rataan sebesar 65. Proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam meningkatkan keberdayaan keluarga ternyata masih sangat jauh dari harapan keluarga miskin, baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun juga yang ada di Kota Bekasi. Kalaupun ada proses pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, namun intensitasnya masih sangat rendah. Hal tersebut ditandai oleh jumlah kegiatan pemberdayaan yang sedikit. Hal yang dianggap paling menyedihkan bagi kalangan keluarga miskin adalah sepertinya tidak ada lembaga yang tergerak untuk melakukan proses pendampingan yang dilakukan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut. Jadi problematika proses pemberdayaan yang selama diterima oleh kelompok usaha dari kalangan keluarga miskin ini, tidak hanya terbatas kepada frekuensi dalam kegiatan pemberdayaan itu sendiri, melainkan juga dari kualitas kegiatan pemberdayaan yang selama diterima oleh kelompok usaha tersebut. Kalaupun terdapat kegiatan pemberdayaan yang pernah dilakukan oleh kelompok usaha dari kalangan keluarga miskin, ternyata tidak mampu menjangkau semua aspek-aspek dalam proses pemberyaan tersebut antara lain: pengembangan sumber daya ekonomi, pengelolaan usaha, permodalan, membantu jaringan usaha serta pengembangan kelompok. Kegiatan proses
121
pemberdayaan yang pernah dilakukan oleh pihak-pihak luar lebih banyak berkisar kepada permodalan saja yaitu bagaimana memberikan pinjaman modal kepada kelompok yang pada kenyataannya bergulir. Aspek-aspek lainnya seperti pendampingan dan pelatihan masih sangat jarang disentuh. Kelompok usaha yang selama ini berjalan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kelompoknya untuk mengelola usahanya berdasarkan pengalamannya masing-masing. Sebagian besar responden menyatakan bahwa metode pemberdayaan yang selama ini dilakukan lebih banyak menekankan kepada metode sosialisasi dibandingkan
dengan
menggunakan
metode
lainnya
seperti
pelatihan,
pendampingan, serta metode lainnya yang tidak termasuk dalam beberapa metode di atas. Metode sosialisasi tersebut, lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat umum dan tidak mendalam dan biasanya tidak ada tindak lanjut untuk menjalankan metode pemberdayaan tersebut. Metode lain yang digunakan porsinya sangatlah kecil. Dengan demikian hasil yang dicapaipun baik yang terkait dengan keberhasilan usaha ataupun aspek sosial seperti soliditas dalam keluarganya masih membutuhkan perbaikan. Lemahnya metode yang lain dikarenakan masih minimnya pengalaman dari pihak-pihak yang terlibat, misalnya dari pihak pemerintah, swasta, konsultan dan sebagainya. Pada akhirnya sangatlah dibutuhkan metode pemberdayaan lanjutan seperti halnya pelatihan, pendampingan serta metode-metode lainnya. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga memiliki empat orang anak menceritakan pengalamannya mengenai proses pendampingan yang pernah ia rasakan bersama dengan ibu rumah tangga lainnya yang tergabung dalam kelompok
usaha pengahasil kerupuk udang.
Pada waktu itu ia mengungkapkan ada program pendampingan dari perguruan tinggi yang bekerja sama dengan pemerintah daerah Jakarta Utara
dalam
pengentasan keluarga prasejahtera. Ia menyatakan bahwa setiap usaha rumah tangga yang dilakukan secara berkelompok diberikan dana bergulir mulai dari 1 juta, 5 juta sampai dengan 10 juta sesuai dengan permintaan kelompok usahanya masing-masing. Sebagai kelanjutannya ia didampingi oleh perwakilan dari perguruan tinggi untuk membantu dalam penataan manajemen kelompok, pemasaran, jaringan usaha dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kelompok tersebut. Pada awalnya program pendampingan tersebut berjalan dengan lancer. Setiap minggu perwakilan dari lembaga pendidikan tersebut sering mendampingi
122
dan memberikan pelatihan-pelatihan. Namun kondisi ini hanya berlangsung tiga bulan, setelah itu kegiatan pendampingan tidak pernah ada lagi. Setelah dikonfirmasi dengan lembaga pendidikan tersebut, katanya dana pendampingan dari pemerintah sudah tidak ada lagi. Kelompok usaha kami tersebut selanjutnya berjalan sendiri dengan serba keterbatasan, sehingga perkembangannya tidak menggembirakan. Apa yang dirasakan oleh sebagian kelompok yang pernah mendapatkan proses pemberdayaan ternyata belum menyentuh hal-hal yang substansial seperti perkembangan kelompok usaha melalui kegiatan pemberdayaan dikarenakan beberapa hal : (1) Metode yang dikembangkan dalam proses pemberdayaan selama ini lebih banyak menggunakan metode sosialisasi dibandingkan dengan metode pelatihan, pendampingan dan metode-metode lainnya yang dilakukan secara berkelanjutan; (2) Pendekatan yang dilakukan dalam proses pemberdayaan oleh pihak lain tersebut sebagian besar menggunakan
pendekatan
pemberdayaan
yang
bersifat
massif
dengan
pendekatan secara massa. Meskipun terdapat pendapingan terhadap kelompok usaha, namun tidak dilakukan secara kontinyu sampai kelompok tersebut benarbenar mandiri dan dapat berjalan sendiri, dan (3) substansi materi yang ditingkatkan dalam proses pemberdayaan selama ini lebih banyak kepada peningkatan pengetahuan, dibandingkan dengan perubahan perilaku ataupun peningkatan keterampilan berusaha dan sebagainya. Hanya sebagian kecil saja yang merasakan bahwa proses pemberdayaan dapat meningkatkan kemandirian berusaha, yang sebenarnya ditentukan oleh kemandirian dari tiap-tiap anggota kelompoknya masing-masing. Berdasarkan
data
di
atas
menunjukkan
bukti
bahwa
orientasi
pemberdayaan yang dilakukan terhadap kelompok usaha di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi selama ini lebih menekankan kepada peningkatan pada aspek kognisi, dibandingkan dengan aspek afektif dan pengembangan psikomotor. Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa potensi keberhasilan dari orientasi pemberdayaan yang dilakukan selama ini akan semakin rendah. Idealnya orientasi pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dengan usaha kelompok lebih menitikberatkan kepada afeksi dan psikomotor. Tingginya orientasi kognisi dalam pemberdayaan usaha kelompok belum mampu diimplementasikan secara praktis. Pada akhirnya tiap-tiap anggota kelompok
123
belum mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap pengembangan usaha kelompok. Orientasi kepada aspek kognisi lebih banyak dilakukan secara massa. Kondisi pemberdayaan seperti ini memiliki tinggkat keefektifan yang relatif rendah dibandingkan dengan pemberdayaan yang dilakukan secara kelompok dan individu.
Kewenangan Dalam Pemberdayaan Kewenangan dalam pemberdayaan adalah kemampuan kepala keluarga di dalam mengetahui, memahami dan menjalankan kegiatan memberdayakan dirinya sendiri antara lain : pemahaman Kemandirian
menjalankan
tentang kegiatan pemberdayaan, dan
kegiatan pemberdayaan. Sebaran mengenai
persepsi responden mengenai kewenangan dalam pemberdayaan, baik di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 32 .
Tabel 32. Tingkat Kewenangan Pemberdayaan Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
97
55,75
30
41,50
Sedang
73
41,95
75
48,37
4
2,30
27
10,13
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 36 dengan kategori rendah**
Keterangan : *Skor maksimum: 12 ; dan skor minimum : 4 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Dalam Tabel 32 menunjukkan bahwa tingkat kewenangan yang dilakukan dalam intervensi pemberdayaan terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 36. Selama ini, responden memiliki tingkat kewenangan dalam proses pemberdayaan khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Dalam proses ini, pihak luar yang melakukan proses pemberdayaan terhadap keluarga ataupun terhadap kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga tidak melakukan proses pemaksaan dalam menentukan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan jenis usaha yang dipilih, produk yang dihasilkan dan sebagainya. Hampir
124
sebagian besar pihak luar yang melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap keluarga ataupun kelompok usaha hanya mengarahkan dan memberikan perbaikan, terhadap jenis usaha yang sudah dirintis oleh keluarga ataupun oleh kelompok usaha yang sudah dibentuk oleh keluarga tersebut. Dalam hal ini, pihak keluarga merasa bahwa mereka memiliki kemandirian yang tinggi untuk menentukan jenis usaha yang dikembangkan oleh keluarganya ataupun kelompok usahanya. Meskipun seringkali usaha tersebut termasuk dalam kategori yang tidak prospektif, namun keluarga tetap menjalankan usaha tersebut. Dalam wawancara mendalam dengan seorang kepala keluarga yang memiliki satu istri dan tiga orang anak yang bekerja sebagai tukang, dan istrinya membuka warung seadanya, terungkap bahwa sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari sebenarnya masih sangat kekurangan dan terbatas. Ia bekerja sebagai tukang tidak hanya sendiri melainkan juga memiliki kelompok yang diketuai oleh seorang kepala tukang. Pekerjaannya sebagai tukang sangat bergantung kepada adanya job dari orang lain dan juga adanya job yang diberikan oleh kepala tukan tersebut, sehingga tidak dapat dipastikan. Untuk mengisi kekosongan ketika tidak ada pekerjaan kelompok, ia juga menawarkan jasanya untuk membantu tetangga yang menginginkannnya seperti memotong rumput atau pekerjaan lainnya, yang penting ia dan keluarga tetap bisa makan meskipun seadanya. Dulu pernah sering ngutang dengan tetangga, namun lamakelamaan ia malu juga karena sering jadi omongan tetangganya. Ia sebagai kepala keluarga merasa punya tanggung jawab untuk tetap menghidupi keluarganya meskipun sangat terbatas.
Dukungan Fasilitasi Dukungan fasilitasi merupakan sejumlah kegiatan pemberdayaan yang memberikan peningkatan kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalah dalam keluarga yang dilakukan secara berkelanjutan, yang meliputi : dukungan usaha, frekuensi bantuan dana stimulus dan frekuensi bantuan sarana prasarana usaha produktif.
125
Dilihat dari indikator dukungan fasilitasi dalam kegiatan intervensi pemberdayaan menunjukkan bahwa dukungan fasilitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait misalnya saja dari pemerintah, pihak swasta, LSM, pihakpihak lainnya masih tergolong rendah. Sebagai contoh dalam kegiatan pemberdayaan yang dilakukan di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi masih sangat tidak memadai. Sebesar 70 % anggaran pemberdayaan lebih banyak diprioritaskan
kepada
pembangunan
fisik,
sedangkan
30
%
anggaran
pemberdayaan digunakan untuk kegiatan usaha. Namun dari 30 % anggaran pemberdayaan yang digunakan untuk kegiatan pengembangan kelompok, juga menunjukkan hasil yang tidak maksimal. Sebaran persepsi responden mengenai fasilitas kegiatan pemberdayaan yang selama ini diberikan oleh pihak-pihak luar kepada keluarga miskin menunjukkan kategori yang rendah. Secara lebih jelas mengenai hal tersebut dapat dilhat pada Tabel 33. Tabel 33. Dukungan Fasilitasi Kota Jakarta Utara Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
84
48,27
125
94,70
Sedang
61
35,06
5
3,79
Tinggi
19
16,67
2
1,51
Jumlah
174
100
132
100
Skor Rataan sebesar 55 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 32 ; dan skor minimum : 9 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Dalam Tabel 33 dijelaskan bahwa dukungan fasilitasi terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 55. Terkait dengan masih rendahnya dukungan fasilitasi pemberdayaan yang diberikan oleh pihak luar seperti pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan serta pihak lainnya terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, terdapat beberapa penyebab yang dapat dijelaskan antara lain: (1) Pihak luar yang akan memfasilitasi kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin sudah memiliki ketentuan yang sudah baku khususnya penggunaan anggaran pemberdayaannya tersebut.
126
Misalnya pemerintah yang selama ini meluncurkan program PNPM Mandiri sudah memiliki ketentuan baku bahwa proporsi anggarannnya 70 % untuk kegiatan pembangunan fisik, sedangkan 30 % anggarannya diperuntukkan ke dalam kegiatan ekonomi atau non fisik. Secara sederhana, keberpihakan pemerintah terhadap fasilitasi peogram pemberdayaan masih tergolong rendah khususnya terhadap aspek non fisik yang diharapkan dapat meningkatkan kelompok
usaha;
pemberdayaan
(2)
Bagi
terhadap
pihak
kelompok
swasta usaha
yang dari
memfasilitasi keluarga
kegiatan
miskin
masih
menginginkan anggaran pemberdayaan dipegang oleh pengusaha itu sendiri. Keputusan bantuan anggarannya ditentukan oleh pengusaha itu sendiri. Di samping tingkat kesadaran lembaga swasta untuk memfasilitasi kegiatan pemberdayaan khususnya bagi kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin masih tergolong rendah. Bahkan dalam suatu kesempatan jenis usaha kelompok ditentukan juga oleh pengusaha, kelompok usaha hanya menjalankan jenis usaha yang sudah ditentukan tersebut. Dalam hal ini penentuan jenis usahanya sudah bersifat top down ; dan (3) Kontinyuitas kegiatan fasilitasi pemberdayaan tersebut ternyata tidak berjalan secara berkesinambungan. Kelompok usaha yang sudah terbentuk hanya berjalan dalam kurun waktu yang tidak begitu lama sekitar 6 bulan sampai dengan satu tahun. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ketua kelompok usaha yang memiliki empat orang anak dan memiliki anak buah kurang lebih 7 orang, terungkap bahwa Ia dan teman-temannya pernah dibantu oleh perusahaan di wilayah tempat tinggalnya untuk membuka warung makan di sekitar perusahaan tersebut, katanya bantuan ini sebagai bentuk dana CSR kepada masyarakat miskin di sekitar perusahaan tersebut. Dana yang diberikan sebesar 1 juta rupiah hingga 3 juta rupiah. Ternyata bantuan tersebut tidak bersifat cuma-Cuma, melainkan sebagai dana pinjaman. Setiap bulannya ia harus mengangsur pinjaman tersebut. Awalnya ia sangat senang dengan adanya bantuan tersebut, sehingga ia dan teman-temannya membuka warung makan untuk memfasilitasi para karyawan untuk makan di warung tersebut. Mungkin karena keterbatasan di dalam mengelola warung makan tersebut pada akhirnya warung tersebut mengalami kerugian, sedangkan ia harus mengembalikan dana
127
pinjaman dari perusahaan tersebut. Antara pemasukan dari warung makan dengan angsuran yang ia setorkan ternyata tidak sesuai. Hal inilah yang sampai saat ini masih menjadi tanggungan dari keluarganya dan teman-temannya tersebut. Beberapa pihak luar dalam memfasilitasi kegiatan pemberdayaan kelompok usaha baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi lebih banyak berkaitan dengan pemberian dana stimulus dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya seperti : akses informasi, akses pasar, serta sarana prasarana. Hal yang menarik dari sebagian besar kegiatan fasilitasi kegiatan pemberdayaan yang diberikan oleh pihak luar baik pemerintah maupun swasta menunjukkan belum adanya persiapan yang matang, khususnya di dalam menentukan jenis usahanya maupun dalam mengelola usahanya tersebut. Tanpa ada persiapan yang matang mengenai jenis usaha dan pengelolaan usahanya, maka sebagian besar kelompok usaha tidak mampu mengelola secara baik usahanya tersebut, apalagi proses pendampingan terhadap kelompok usahanya tersebut tidak berjalan secara berkelanjutan.
Keberdayaan Keluarga Tingkat Adaptasi Tingkat adaptasi merupakan upaya dan kekuatan keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada di sekitar, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial, meliputi : tingkat kemampuan menyesuaikan terhadap lingkungan, tingkat kemampuan untuk merubah orientasi keluarga; dan Tingkat Kemampuan memanfaatkan sumberdaya keluarga. Secara umum, tingkat adaptasi pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tingkat adaptasi adaptasi keluarga miskin pada kedua wilayah ini masih tergolong rendah. Informasi selengkapnya mengenai sebaran responden berdasarkan tingkat adaptasi keluarga miskin terdapat pada Tabel 34. Pada dasarnya tingkat adaptasi pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi bervariasi, namun mayoritas memiliki tingkat adaptasi yang tergolong rendah. Tingkat adaptasi berkategori rendah di kedua wilayah tersebut
128
disebabkan : (1) Biaya hidup di kedua wilayah tersebut tergolong sangat tinggi, mulai dari konsumsi, pendidikan, transportasi dan lain sebagainya. Sebagian keperluan yang ada di dalam keluarga membutuhkan biaya, sehingga walaupun keluarga memiliki pendapatan yang tetap akhirnya banyak juga yang hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan pada kategori yang sangat minimal. Bahkan ada dari beberapa keluarga yang memang tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pendidikan, dikarenakan tidak memiliki biaya yang cukup untuk memenuhi biaya pendidikan tersebut. Sebagian besar pendapatan hanya diperuntukkan untuk kebutuhan makan saja, dan itupun termasuk dalam kategori yang sangat terbatas; (2) Pengaruh lingkungan, baik tempat tinggal maupun tempat kerja juga memberikan pengaruh terhadap pola hidup keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tersebut, artinya bahwa mayoritas keluarga miskin pada kedua wilayah tersebut dalam memenuhi kebutuhan konsumsi atau mengeluarkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan lainnya tidak memiliki keinginan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tersebut pada tingkatan yang optimal. Sebagian dari keluarga miskin tersebut sudah menganggap bahwa mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan keluarga pada tingkatan optimal; dan
(3) Pengaruh
kebiasaan keluarga, yang berkaitan dengan sikap mental keluarga yang terlalu pasrah menghadapi kondisi keluarganya yang miskin. Sebagian besar dari mereka terlalu pasrah untuk menerima kondisi keluarga yang miskin tersebut. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk keluar dari kondisi kekurangannya tersebut. Pada akhirnya mereka beranggapan bahwa mereka akan selalu berada dalam kondisi yang serba kekurangan.
Tabel 34. Tingkat Adaptasi Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
98
56,33
54
40,91
Sedang
75
43,10
71
53,79
1
0,57
7
5,30
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 66 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 32 ; dan skor minimum : 9 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
129
Dalam Tabel 34 menunjukkan bahwa tingkat adaptasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam katagori rendah, dengan skor rataan sebesar 66. Tingkat adaptasi keluarga terhadap kondisi yang ada di kota besar dan kota madya ditandai dengan pemilikan kebutuhan pemenuhan kebutuhan fasilitas perumahan serta fasilitas rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat adaptasi ini juga dapat dilihat dari seberapa besar aset yang dimiliki oleh keluarga miskin tersebut. Kepemilikan aset keluarga dapat disajikan pada Tabel 34. Sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, kepemilikan aset keluarga menunjukkan tingkat variasi yang tergolong rendah. Kepemilikan dari aset dari keluarga miskin lebih banyak diarahkan kepada aset keluarga yang tergolong pokok atau primer, sedangkan aset keluarga yang termasuk dalam kategori sekunder tidak menjadi prioritas keluarga. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan keluarga untuk memiliki aset keluarga yang sifatnya sekunder tersebut. Mayoritas dari keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki aset keluarga yang sangat terbatas antara lain kepemilikan rumah, televisi, radio, sepeda, motor. Sedangkan untuk kebutuhan yang tergolong sekunder, mereka tidak mampu memilikinya. Sebagian besar dari keluarga miskin di kedua wilayah tersebut tidak memiliki aset sekunder antara lain: komputer, mobil, telepon, telepon genggam, tabungan, sawah dan lain sebagainya. Khusus terkait dengan rumah yang mereka tempati menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yang belum memiliki rumah secara permanen atau pribadi. Sebagian dari keluarga tersebut mengontrak rumah yang sangat kecil dan seringkali berada di daerah yang kumuh dengan alasan rumah yang kecil tersebut sangat bisa dijangkau oleh daya beli keluarga yang sangat rendah. Kalaupun ada dari sebagian keluarga yang memiliki rumah, mereka memiliki rumah yang sangat kecil dengan ukuran antara 20 sampai dengan 60 meter persegi (m2). Terdapat sebagian kecil dari keluarga miskin yang tinggal di
130
rumah yang layak, namun bukan milik pribadi melainkan miliki keluarga atau miliki orang lain yang mereka tumpangi. Dalam
wawancara
mendalam
dengan
salah
seorang
penjaga
keamanan yang hanya dibayar Rp.500.000 per bulan dengan 1 orang istri dan tiga orang anak yang semuanya masih menjadi tanggung jawabnya, terungkap bahwa dengan pendapatan tetap yang sangat kurang tersebut, ia mencari pekerjaan tambahan dengan mengerjakan apa saja yang menjadi permintaan dari orang yang menyuruhnya. Pekerjaan sebagai petugas keamanan perumahan ia kerjakan pada malam hari dengan sistem sift (bergiliran), sedangkan pekerjaan tambahan tersebut ia kerjaan pada siang harinya. Dari pendapatan tambahannya tersebut, pendapatan yang ia peroleh berkisar Rp.400 000 s/d Rp.500 000 sebulan. Dengan pendapatan perbulan yang berkisar antara Rp.900 000 sampai dengan Rp.1000 000,- dalam sebulan, ia dan keluarga merasa sangat kekurangan untuk menanggung semua biaya pengeluaran dalam keluarga mulai dari biaya makan, pendidikan, transportasi serta biaya-biaya yang lainnya. Pemenuhan kebutuhan keluarga di kota besar dan kota madya dirasakan sangat tinggi dengan pendapatan yang sangat terbatas tersebut. Akhirnya dengan kondisi yang serba kekurangan tersebut mengakibatkan ia dan keluarga hanya memenuhi kebutuhan keluarga pada tingkatan yang sangat minimal. Pemenuhan biaya hidup di kota besar seperti Jakarta dan kota sedang seperti Kota Bekasi ternyata sangat memberatkan bagi keluarga miskin yang memiliki penghasilan yang terbatas. Meskipun mereka sudah memutuskan untuk membatasi pengeluaran terhadap kebutuhan tambahan dan hanya memfokuskan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, namun hal tersebut belum mampu memenuhi pada tataran yang layak. Pada akhirnya keluarga miskin mencoba mengurangi kualitas pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dengan hanya mengkonsumsi makanan yang kualitas gizinya rendah. Hal ini juga berlaku pada pemenuhan kebutuhan lainnya dalam keluarga.
131
Tabel 35. Kepemilikan Aset Keluarga No.
Aset
Kategori
Jakarta Utara
Bekasi
Keluarga n (1)
Rumah
Rumah
%
n
%
66
37,93
24
18,18
Kontrak
99
56,90
92
69,70
Rumah
4
2,30
9
7,32
5
2,87
7
5,30
145
83,33
110
83,33
29
16,67
22
16,67
120
68,97
91
68,94
54
31,03
41
31,06
0
0
0
0
174
100,00
132
100,00
0
0
0
0
174
100,00
132
100,00
18
10,34
4
3,03
156
89,66
128
96,97
6
3,35
4
3,03
168
96,55
128
96,97
18
10,34
17
12,88
156
89,66
117
88,64
sendiri
keluarga Rumah orang lain (2)
Televisi
Ada Tidak ada
(3)
Radio
Ada Tidak ada
(4)
Komputer
Ada Tidak ada
(5)
Mobil
Ada Tidak ada
(6)
Motor
Ada Tidak ada
(7)
Telepon
Ada Tidak ada
(8)
(9)
(10)
Telepon
Ada
genggam
Tidak ada
Tabungan
Ada
99
56,90
57
43,18
Tidak ada
75
43,10
75
56,82
Ada
12
6,90
7
5,30
162
93,10
125
94,70
Tanah
Tidak ada
Tingkat Pencapaian Tujuan Tingkat pencapaian tujuan keluarga merupakan upaya dan kekuatan keluarga untuk merealisasikan kegiatan terprogram untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh keluarga, yang meliputi : tingkat kemampuan mencapai tujuan ekonomi, dan tingkat kemampuan mencapai tujuan sosial. Berdasarkan sebaran jawaban responden menunjukkan bahwa tingkat pencapaian tujuan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi tidak memiliki perbedaan yang nyata. Secara umum mayoritas keluarga miskin
132
di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki tingkat pencapaian tujuan yang tergolong rendah. Informasi selengkapnya mengenai tingkat pencapaian tujuan dalam keluarga dapat dilihat pada Tabel 36. Tingkat pencapaian tujuan dalam keluarga termasuk dalam kategori rendah dengan beberapa alasan : (1) Keluarga belum mampu memaksimalkan potensi keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, akhirnya kemampuan anggota keluarga untuk mendorong dan memotivasi antar sesama anggota keluarga rendah sebagai akibat dari tingkat pengenalan terhadap perbedaan kemampuan, minat antar sesama anggota keluarga rendah. Pada akhirnya keluarga tidak mampu mengidentifikasi permasalahan keluarga dengan cepat dan tepat;
(2) Keluarga belum memiliki
manajemen keluarga yang baik mengenai pengaturan keuangan, pengaturan prioritas dan pengawasan aktivitas keluarga keluarga sehingga kondisi yang terjadi
adalah
sering
lebih
besar
keinginan
dibandingkan
dengan
kemampuannya, atau banyak waktu yang sebenarnya bisa dioptimalkan untuk kegiatan yang bermanfaat dan menghasilkan pendapatan akhirnya hilang begitu untuk kegiatan yang tidak penting. Kondisi tersebut terlihat bagaimana rendahnya tingkat pencapaian tujuan keluarga miskin baik Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi; (3) Keluarga tidak memiliki reorientasi di dalam mengembangkan ekonomi keluarganya. Pada akhirnya, keluarga tidak mampu memanfaatkan
potensi yang
ada
dalam
keluarga
serta
tidak
mampu
memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mendapatkan penghasilan ekonomi bagi keluarganya tersebut. Dari ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa sebagian besar dari keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki tujuan keluarga yang jelas guna memperbaiki kehidupan keluarganya tersebut. Tabel 36. Tingkat Pencapaian Tujuan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
100
57,47
89
67,42
Sedang
68
39,08
30
22,73
6
3,45
13
9,85
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 64 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 12 ; dan skor minimum : 4 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
133
Dalam Tabel 36 menunjukkan bahwa tingkat pencapaian tujuan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi secara umum keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 64. Keluarga tidak memilki tujuan yang terprogram yang dikelola dengan baik. Sebagian besar keluarga hanya lebih mengandalkan apa yang ada tanpa mampu membuat target-target perubahan dalam keluarga menjadi yang lebih baik. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang pekerjaannya hanya membantu isterinya berjualan nasi uduk di depan sekolah TK di komplek perumahannya, terungkap bahwa ia bekerja sebagai makelar apa saja yang bisa dijadikan perantara seperti ketika ada orang ingin menjual motor, rumah, dan apa saja. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk tidur dan makan di rumah.Ia merasa kemampuan dirinya untuk bekerja di kantoran sudah mentok, sehingga ia hanya menjadi pekerja serabutan tersebut. Pada kenyataannya sangat jarang orang yang menjadikan ia sebagai perantara dalam penjualan sesuatu. Kondisi ini sebenarnya yang seharusnya mampu dimanfaatkan olehnya untuk mencari pekerjaan yang lebih rutin dibandingkan dengan pekerjaan yang serabutan tersebut. Dengan demikian, justru yang menjadi tulang punggung keluarganya berada di tangan isterinya dari pengahasilan menjual nasi uduknya tersebut, sedangkan ia sendiri tidak jelas pendapatannya.
Tingkat Integrasi Tingkat integrasi keluarga merupakan upaya dan kekuatan keluarga untuk membangun kebersamaan di antara anggota keluarga, yang meliputi: pola interaksi dengan anggota keluarga; dan tingkat keeratan hubungan dengan anggota keluarga. Berdasarkan hasil pengamatan dan pendalaman yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa secara umum tingkat integrasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Secara umum sebenarnya anggota keluarga miskin memiliki cukup waktu untuk melakukan interaksi dengan anggota keluarga. Namun yang menjadi persoalan adalah kualitas interaksi yang
134
diperankan oleh anggota keluarga masih tergolong rendah. Artinya bahwa mereka pada dasarnya memiliki waktu yang cukup untuk melakukan interaksi dengan anggota keluarga dikarenakan waktu bekerja mereka yang tidak jelas, namun mereka tidak mampu memanfaatkan secara optimal adanya kesempatan dan waktu yang luas tersebut. Sebagian besar dari mereka lebih cenderung untuk lebih banyak menghabiskan waktu yang tidak produktif khususnya dalam membangun pola interaksi yang positif dengan anggota keluarganya. Beberapa hal yang menjadi alasan tidak optimalnya pola interaksi yang dilakukan kepala keluarga dengan anggota keluarganya adalah mereka merasa tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi anggota keluarganya. Sehingga pola integrasi keluarga miskin dengan anggota keluarganya cenderung pasif.; (2) Pengaruh nilai perkotaan yang
cenderung
individualistis,
konsumeristis,
dan
hedonisnis
justru
memperburuk kualitas interaksi kepala keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dengan anggota keluarga. Mereka beranggapan bahwa kegiatan interaksi dengan anggota keluarga tidak memberikan keuntungan material kepada keluarganya. Mereka menganggap bahwa interaksi dengan anggota keluarga hanya menghabiskan waktu saja tanpa memberikan efek yang menguntungkan bagi keluarganya; dan (3) Pola interaksi di dalam keluarga juga tidak mampu membangun kualitas komunikasi keluarga yang ditandai dengan keterbukaan, kejujuran, dan terjadinya komunikasi yang positif dalam keluarga. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang yang bekerja sebagai tukang ojek yang sering mangkal di perumahan dekat rumahnya memiliki 1 orang isteri dan 2 orang anak yang sudah mulai remaja. Anak yang pertama sudah masuk di sekolah SMA, sedangkan anak yang kedua duduk di bangku sekolah menengah pertama. Waktu kegiatan menjadi tukang ojek dilakukan dari jam 06.00 sampai dengan 12.00. setelah itu istirahat sampai dengan jam 14.00 atau kadang jam 15.00. Selanjutnya ia kembali ngojek sampai dengan jam 20.00. Selama beberapa jam berada di rumahnya tidak memanfaatkan untuk berkomunikasi dengan baik dengan istri dan kedua aanaknya. Sebagian besar waktu di rumah hanya dimanfaatkan untuk tidur dan nonton TV. Ia beranggapan bahwa ia sudah menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah keluarga. Sedangkan fungsi sosial dalam keluarga tidak mampu ia
135
perankan secara optimal. Urusan-urusan sekolah anak-anak serta urusan lainnya lebih banyak diperankan oleh istrinya, bahkan anaknya mengurus sendiri berkaitan dengan keperluan-keperluan di luar keperluan ekonomi. Ia sendiri tidak mau untuk memanfaatkan waktu yang ada untuk mendidik anak istrinya. Meskipun demikian ia sudah merasa cukup berperan dalam keluarganya. Akhirnya dalam keluarga tersebut tidak terdapat nilai-nilai integrasi dalam membuat keluarga menjadi lebih baik. Tabel 37. Tingkat Integrasi Keluarga Kota Jakarta Utara
Kota Bekasi
Kategori* Frekuensi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
49
28,16
57
43,18
Sedang
124
71,27
69
52,27
1
0.57
6
4,55
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 75 dengan kategori sedang** Keterangan : *Skor maksimum: 8 ; dan skor minimum : 3 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Tabel 37 menunjukkan bahwa tingkat integrasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 75.
Tingkat Latensi Tingkat latensi merupakan nilai – nilai internal yang tidak tampak tetapi ada dan berpengaruh di dalam keluarga, yang meliputi : tingkat kepercayaan antar anggota keluarga, tingkat persaingan antar anggota keluarga, tingkat kerjasama antar anggota keluarga, dan tingkat kesadaran untuk maju. Secara umum tingkat latensi dalam keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori yang rendah. Hal ini dapat terlihat dari nilai-nilai internal yang terbentuk dalam keluarga seperti halnya Tingkat
136
kepercayaan antar anggota keluarga, Tingkat persaingan antar anggota keluarga, Tingkat kerjasama antar anggota keluarga, dan Tingkat kesadaran untuk maju. Secara lebih jelas berkaitan dengan tingkat latensi ini dapat tergambar pada Tabel 38. Tabel 38. Tingkat Latensi Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
132
75,86
120
90,91
Sedang
31
17,82
12
9,09
Tinggi
11
6,32
0
0
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 65 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 8 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Tabel 38 menunjukkan bahwa tingkat latensi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 65. Dalam pengembangan nilai-nilai internal dalam keluarga terdapat variasi. Nilai-nilai internal yang selama ini dikembangkan oleh keluarga menunjukkan kategori yang tinggi. Tingkat kepercayaan antar anggota menunjukkan kategori yang tinggi. Sedangkan pada tingkat persaingan, tingkat kerjasama, dan tingkat kesadaran untuk maju khususnya dalam masalah pengembangan usaha ekonomi keluarga menujukkan kategori yang rendah. Dengan demikian penanaman nilai-nilai latensi dalam keluarga, khususnya nilainilai dalam mengembangkan usaha keluarga menujukkan kategori yang rendah. Rendahnya tingkat latensi dalam keluarga miskin di kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dengan beberapa alasan : (1) Keluarga tidak memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan persaingan, kerjasama, serta mengembangkan kesadaran untuk maju khususnya dalam mengembangkan usaha ekonomi. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa apa yang mereka usahakan selama ini sudah tidak dapat dikembangkan lagi sehingga tingkat kesejahteraannyapun tidak dapa tmeningkat; (2) Keluarga tidak memiliki pendidikan yang cukup mengembangkan pola dan metode yang mampu menginternalisasaikan nilai-nilai positif bagi anggota keluarganya. Kondisi
137
tersebut mengakibatkan budaya keluarga yang diikat dengan nilai-nilai kebaikan yang pada akhirnya mampu menumbuhkan dan memperkuat motivasi menjaga keutuhan keluarga. Secara umum keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menganggap bahwa dalam keluarga perlu terbentuk nilai-nilai yang positif guna menciptakan keluarga yang labih baik. Secara umum keluarga di perkotaan menggunakan nasehat dan hukuman untuk melakukan proses sosialisasi nilainilai dalam keluarga.
Pemberlakuan nasehat dalam menanamkan nilai-nilai
dalam keluarga hanya terbatas kepada kemampuan kepala keluarga serta kebiasaan yang selama ini berjalan. Sedangkan pemberlakuan hukuman terhadap anggota keluarga dimaksudkan agar anggota keluarga untuk mengikuti apa yang menjadi keinginan dari kepala keluarga. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang responden yang sekarang berumur 13 tahun, dan tanggal bersama ayah-ibu dan juga satu orang adiknya, terungkap bahwa
ayahnya adalah seorang pekerja serabutan yang
hanya menunggu adanya tawaran kerja apa saja terutama kalau ada tawaran untuk menjadi supir cabutan, sedangkan ibunya adalah buruh rendahan di pabrik yang penghasilannya tidak seberapa. Mereka tinggal di rumah orang tuanya yang sangat sempit. Dengan kondisi yang demikian itu kehidupan mereka sangat terbatas. Salah satu yang sering terjadi dalam keluarga tersebut adalah tidak adanya nilai-nilai keluarga yang memberikan semangat bagi anaknya. Ayahnya tersebut tidak memiliki nilai-nilai ketauladanan yang dapat ditiru oleh anakanaknya. Nilai-nilai ibadah yang ada dalam keluarga tersebut sangatlah minim, bahkan cenderung tidak dibangun. Ayahnya tersebut tidak memiliki semangat untuk mengembangkan nilai-nilai spiritual bahkan cenderung meninggalkan ibadah wajib, Sedangkan ibunya juga tidak begitu rajin untuk menegakkan nilainilai ibadah. Jangankan memberikan nasehat kepada anaknya mengenai ibadah, ayahnya tersebut tidak menjalankan kewjiban ibadahnya. Menurut dia dan saudaranya tersebut, kehidupan seperti dianggapnya sebagai kehidupan yang biasa. Ia menganggap bahwa selama ini dalam keluarga tidak terdapat keteladanan yang dapat ditiru oleh anak-anaknya, sehingga ia sendiri merasa pesimis dengan masa depannya nanti apakah ia punya harapan untuk dapat memperoleh masa depan yang lebih baik.
138
Tingkat Kesejahteraan Keluarga
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan merupakan sejumlah penghasilan yang didapatkan dalam satu keluarga, yang meliputi : tingkat pendapatan tetap dan tingkat pendapatan tidak tetap. Terkait dengan tingkat pendapatan keluarga, secara jelas dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Tingkat Pendapatan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
87
50
80
60,61
Sedang
85
48,85
52
39,39
2
1,15
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 18 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 39 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 18. Berdasarkan sebaran jawaban responden yang ada Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan tingkat pendapatan keluarga miskin pada kategori yang rendah. Rendahnya tingkat pendapatan keluarga miskin di kedua wilayah tersebut disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Kepala keluarga memiliki pekerjaan kasar misalnya saja tukang bangunan, satpam, pedangan asongan, pekerja serabutan, atau pekerja rendahan di pabrik. Dengan kedudukan sebagai pekerja kasar tersebut berkorelasi terhadap pendapatan yang diterima dengan jumlah yang sangat kecil terbatas; (2) Kepala keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tidak memiliki keterampilan yang mamadai dan bernilai jual tinggi dalam bekerja. Dengan demikian tingkat penghasilan yang diterima sangat terbatas; (3) Meskipun ini tidak semuanya namun hampir separuh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi memiliki jumlah tanggungan anggota keluarga yang relatif banyak yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 6 orang. Meskipun tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi, namun karena jumlah tanggungan yang
139
relatif banyak sehingga kualitas pemanfaatan dari pendapatan tersebut menjadi rendah juga; dan (4) Terdapat responden yang memiliki pekerjaan yang tidak tetap, dengan demikian tingkat pendapatan keluarganya menjadi tidak pasti. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang ojek menyatakan bahwa pendapatan yang ia peroleh saat ini masih jauh dari layak. Ia menyatakan bahwa ia tidak memiliki ijazah SLTA sehingga tidak memiliki pekerjaan yang mampu memberikan penghasilan yang memadai. Di samping itu, dalam keluarganya hanya dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya sedangkan dua anaknya masih kecil. Dengan demikian isterinya tidak mampu membantu dalam pendapatan keluarganya karena tugasnya hanya sebatas menjaga anakanaknya tersebut. Hal yang sangat dirasakan olehnya dan keluarganya tersebut adalah bahwa pekerjaannya tersebut belum mampu memberikan penghasilan yang tetap, apalagi ketika ia sakit dan tidak mampu narik ojek. Kondisi tersebut yang selama ini dirasa masih belum memenuhi kebutuhan keluarga yang layak.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar merupakan segala sesuatu yang bersifat mendasar yang harus segera dipenuhi dalam keluarga yang meliputi (1) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan makan, (2) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan kesehatan, dan (3) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan perumahan. Sebaran terkait dengan hal ini dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
42
24,14
43
27,78
Sedang
108
62,07
71
58,50
Tinggi
24
13,79
18
13,72
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 28 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
140
Tabel 40 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 28. Dilihat dari sebaran jawaban responden keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi mengenai pemenuhan kebutuhan dasar tidak terdapat perbedaan yang nyata. Berdasarkan data menunjukkan pada kategori rendah. Beberapa alasan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar yang berada pada kategori rendah tersebut adalah sebagai berikut: (1) Meskipun mereka dalam keadaan yang miskin atau kurang mampu, namun mereka memiliki keinginan untuk tetap memenuhi yang tergolong pokok dalam ukuran yang minimal, (2) Pendapatan yang mereka peroleh hampir sebagian besar dialokasikan kepada kebutuhan pokok. Dengan demikian terdapat kesadaran dari kepala keluarga khususnya untuk mendistribusikan pendapatnnya
kepada
pemenuhan
kebutuhan
dasar
tersebut,
dan
(3)
Responden sangat percaya bahwa kebutuhan dasar tersebut merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting yang akan menunjang keberlangsungan hidup keluarganya. Hasil wawancara dengan seorang kepala keluarga yang memiliki satu orang istri dan baru memiliki satu orang anak dan bekerja sebagai tukang bangunan mengatakan bahwa pada dasarnya ia tetap berusahan mati-matian untuk mendapatkan uang dengan alasan agar ia dan keluarga dapat makan. Berapapun uang yang ia dapatkan dari hasil mengikuti proyek bangunan tetap ia berikan kepada istrinya. Memang ia merasa bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sangatlah berat, namun karena ia tetap ingin bertahan hidup maka ia akan
terus
mengerjakan
pekerjaan
kasar
ini.
Ia
sendiri
tidak
mau
menggantungkan dirinya kepada bantuan keluarganya, karena setelah ia berkeluarga, semuanya menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan wawancara tersebut menunjukkan bahwa setiap keluarga miskin, baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi melihat bahwa kebutuhan dasar merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, sehingga terdapat usaha yang keras untuk dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar tersebut.
141
Pemenuhan Kebutuhan Sekunder Pemenuhan kebutuhan sekunder merupakan segala sesuatu yang bersifat
penunjang yang harus dipenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi,
yang meliputi tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan rekreasi dan tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan pendidikan. Sebaran jawaban responden terkait dengan pemenuhan kebutuhan sekunder termasuk dalam kategori rendah. Hal ini secara jelas dapat dilhat pada Tabel 41. Tabel 41. Pemenuhan Kebutuhan Sekunder Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
159
91,38
130
98,48
Sedang
11
6,32
2
1,52
4
2,30
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 26 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Data dalam Tabel 41 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan sekunder sebagian besar responden tergolong rendah, dengan skor rataan sebesar 26. Mengenai masalah ini, terdapat kesamaan antara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi, keduanya berada pada kategori yang rendah. Terdapat beberapa alasan terkait dengan rendahnya pemenuhan kebutuhan sekunder tersebut yaitu: (1) Keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi belum memiliki tingkat kesadaran yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Pendidikan dianggapnya tidak mampu
memberikan
kontribusi
yang
besar terhadap
keluarganya; (2) Mengenai hal ini terdapat faktor turunan
perubahan
nasib
yang masih melekat
pada sebagian besar keluarganya yaitu bahwa keluarga-keluarga sebelumnya juga memiliki pendidikan yang sangat rendah; (3) Mereka menganggap bahwa biaya pendidikan dan rekreasi sekarang ini sangatlah mahal, sehingga tidak mampu untuk mencukupi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut; dan (4) Kebutuhan sekunder yang terkait dengan jenis pemenuhan kebutuhan akan
142
rekreasi dipersepsikan oleh sebagian besar responden sebagai kebutuhan yang mewah. Dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas, mereka tidak terlalu berpikir untuk memenuhi kebutuhan akan rekreasi. Kalaupun ada di antara keluarga miskin yang melakukan aktivitas rekreasi, biasanya mereka sengaja menyisihkan sebagian penghasilannya. Tempat rekreasi yang umumnya mereka datangi juga adalah tempat rekreasi yang tidak mahal. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang tukang ojek yang memiliki satu istri dan tiga orang anak menyatakan bahwa ia tidak terlalu berharap agar anak-anaknya dapat memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Paling tinggi ia hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SMP saja. Ia sendiri hanya lulusan SD. Ia mengatakan bahwa orang tuanya tidak sanggup untuk membiayai dirinya untuk sampai ke sekolah yang lebih tinggi lagi. Menurut orang tuanya, yang penting pernah sekolah meskipun tidak tinggi. Meskipun sekolahnya tidak tinggi kalo usahanya keras, maka ia akan berhasil juga. Namun kenyataannya ia merasa tidak memiliki bekal yang cukup untuk bekerja yang lebih layak, pada akhirnya iapun hanya menjadi tukang ojek. Sedangkan pemenuhan kebutuhan rekreasi menurutnya sesuatu yang mustahil, dikarenakan biaya rekreasi yang begitu mahal. Kalaupun ia melakukan rekreasi , itupun tempat-tempat rekreasi yang gratis atau tidak mengeluarkan biaya yang besar sesuai dengan keadaan ekonominya.
Pemenuhan Kebutuhan Tertier Pemenuhan kebutuhan tertier merupakan segala sesuatu yang bersifat penunjang lainnya yang harus dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder telah terpenuhi, yang meliputi: tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan kendaraan, tingkat konsumsi per bulan / tahun untuk keperluan perhiasan,dan jumlah tabungan keluarga dalam setahun. Sebaran jawaban responden yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan tertier di keluarga miskin di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi
143
menunjukkan kategori yang rendah. Secara lebih terperinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42. Pemenuhan Kebutuhan Tertier Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
142
81,61
131
99,24
Sedang
28
16,09
1
0,76
4
2,30
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 27 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi) Data dalam Tabel 42 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan tertier keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 27.
Khusus terkait dengan pemenuhan
kebutuhan tertier ini, tidak terdapat perbedaan yang nyata Jakarta Utara dengan keluarga miskin di Kota Bekasi. Keduanya berada dalam kategori rendah. Terdapat beberapa alasan terkait dengan rendahnya pemenuhan kebutuhan tertier ini antara lain : (1) Responden menganggap bahwa kebutuhan tertier ini merupakan kebutuhan yang mewah yang tidak menjadi prioritas dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya, dan (2) Tingkat kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan tertier ini belum menjadi prioritas bagi keluarga, mereka lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar dan sekunder terlebih dahulu. Kalaupun ada dari sebagian keluarga mampu memenuhi kebutuhan tertier ini, itupun diprioritaskan kepada pemenuhan pada jenis kendaraan dan tabungan keluarga, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan akan perhiasan masih sangat sulit bagi keluarga. Adanya kemampuan untuk memenuhi konsumsi yang harus dikeluarkan untuk biaya kendaraan dan tabungan keluarga dimaksudkan untuk usaha keluarga.
144
Dalam wawancara mendalam dengan seorang kepala keluarga yang sekarang ini menjadi tukang ojek yang memiliki istri dan baru akan memiliki anak mengatakan bahwa dirinya memiliki motor yang dijadikan usaha ojek tersebut karena sangat terpaksa untuk mendapatkan uang dengan menjadi tukang ojek. Kalau tidak dipaksakan bagaimana ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebagian hasil dari ngojeknya tersebut ia gunakan untuk mencicil angsuran motornya tersebut, dan sebagian lainnya ia gunakan untuk makan sehari-hari. Guna memenuhi pencicilan motornya tersebut, ia menyisihkan uang sebesar Rp. 3000,- setiap hari agar terkumpul uang sebesar cicilan motornya tersebut.
Kesinambungan Usaha Kesinambungan usaha merupakan tingkat keberlangsungan kegiatan produktif keluarga dalam jangka waktu yang lama, meliputi jumlah penambahan modal usaha; biaya terhadap kualitas dan kuantitas kegiatan usaha; dan biaya perluasan jaringan kerja. Terkait dengan kesinambungan berusaha bagi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan bahwa sebaran jawaban sebagian besar jawaban responden
menunjukkan kategori yang sedang. Hal tersebut
menunjukkan tidak terjadi perbedaan yang nyata antara Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut adalah sebagai berikut : (1) Usaha keluarga dipersepsikan oleh keluarga sebagai salah satu tulang punggung yang harus dipertahankan oleh keluarga tersebut dalam rangka
mempertahankan
keberlangsungan
hidup
keluarganya
tersebut,
(2) Usaha keluarga dianggap juga sebagai simbol status bagi keluarga miskin agar ia dan keluarga tidak termasuk dalam kategori sebagai keluarga yang malas, dan (3) Pola kesinambungan usaha dalam keluarga dilakukan dengan melalui pendidikan ataupun melalui sosialisasi bagi anggota keluarga tersebut untuk menjalankan usaha keluarga tersebut. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan adanya keluarga pemulung, di mana hampir sebagian besar dari anggota keluarga diajarkan untuk menjadi pemulung juga. Dengan demikian terdapat internalisasi dalam usaha keluarga, serta masih banyak lagi usaha keluarga
145
lainnya yang bersifat berkesinambungan. Secara lebih jelas mengenai sebaran jawaban responden dapat terlihat pada Tabel 43.
Tabel 43. Kesinambungan Usaha Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
39
22,41
18
13,64
Sedang
129
74,14
114
86,36
6
3,45
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 67 dengan kategori sedang* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Data dalam Tabel 43 menunjukkan bahwa kesinambungan usaha keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 67. Terkait dengan kesinambungan usaha dalam keluarga ditunjukkan dengan beberapa perilaku dalam keluarganya antara lain: (1) Setiap keluarga pada dasarnya tetap memikirkan bagaimana usaha dalam keluarganya tersebut tetap berlangsung dengan berusaha untuk menambah sejumlah uang sebagai penambahan modal usaha keluarga meskipun jumlahnya sangat sedikit; (2) Secara kualitas dan kuantitas dari usaha keluarga tidak mengalami perubahan yang nyata, namun keluarga sangat berharap agar usaha keluarganya tetap berjalan, dan (3) Dikarenakan terdapat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan usaha keluarganya
tersebut,
menunjukkan
masih
adanya
keterbatasan
dalam
mengembangkan jaringan kerjanya. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang keluarga berdagang kelontong, memiliki seorang suami dan dua orang anak, terungkap bahwa usaha yang selama ini ia jalani adalah sesuatu yang pokok. Meskipun tidak mendapatkan hasil yang besar, namun dapat menunjang kehidupan keluarga meskipun kekurangan. Ia dan suaminya tidak memiliki bekal yang cukup untuk berusaha yang lainnya. Menurutnya guna mempertahankan usaha kelontongnya tersebut ia tetap menyisihkan sebagian dari keuntungannya untuk menambah modal usahanya. Tujuannya tidak lain adalah untuk manambah
146
jenis barang dan makan yang dijual serta mengantisipasi harga bahan yang semakin lama semakin naik. Usaha yang ia lakukan pada dasarnya tidak memiliki jaringan yang luas, hanya terbatas kerja sama dengan pemasok barangbarang dagangannya. Ia masih merasa takut untuk memperluas jaringan usaha dikarenakan tidak memiliki modal yang cukup.
Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan merupakan kemampuan keluarga di dalam mengatur
dan
menggunakan
dana
keluarga
untuk
kepentingan
dan
kesejahteraan keluarga pada masa yang akan datang, meliputi : jumlah dana yang dapat ditabung untuk kegiatan usaha; dan jumlah dana yang diinvestasi. Terkait dengan hal ini secara jelas dapat tergambar pada Tabel 44. Tabel 44. Pengelolaan Keuangan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
107
61,49
100
75,76
Sedang
58
33,33
31
23,48
9
5,17
1
0,76
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 16 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Data dalam Tabel 44 menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 16. Beberapa alasan yang terkait dengan rendahnya
pengelolaan
keuangan
keluarga
adalah
sebagai
berikut
:
(1) Rendahnya tingkat pengetahuan keluarga di dalam memanfaatkan keuangan keluarga untuk kegiatan yang sifatnya antisipatif atau berjangka panjang. Sebagian besar keluarga lebih cenderung untuk memanfaatkan keuangan keluarga untuk kegiatan konsumtif; (2) Keluarga tidak memiliki pilihan untuk melakukan kegiatan menabung ataupun kegiatan investasi dengan tingkat penghasilan yang kecil, sehingga keuangan keluarga selalu habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang sangat terbatas tersebut, dan (3) Dalam keluarga
miskin
belum
terbangun
kebiasaan
untuk
menabung
dan
147
menginvestasikan keuangan keluarga sehingga tidak menjadi kebiasaan keluarga. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang yang bekerja sebagai tukang sablon yang memiliki isteri dan belum memiliki anak menyatakan bahwa dengan penghasilan yang pas-pasan dirinya merasa sangat sulit untuk menabung dan melakukan kegiatan investasi. Ia merasa bahwa penghasilan dari pekerjaannya selalu habis untuk dimakan dan kebutuhan sehari-hari bahkan kekuarangan. Sampai saat ini belum terpikir olehnya kegiatan untuk menabung dan melakukan investasi. Pernah suatu ketika ia menyisihkan sebagian kecil dari pendapatannya, namun dalam perjalanan waktu ia sangat membutuhkan, sehingga ia harus mengambil kembali tabungan tersebut. Dengan demikian jumlahnya masih sangat minim. Kondisi Peubah-peubah Penelitian Karakteristik individu meliputi pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluarga. Pendidikan formal responden cenderung rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 51 persen sampai dengan 63 persen adalah rendah. Pendidikan non formal renponden termasuk dalam kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 83 persen adalah rendah. Usia responden berada pada kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sekitar 60 persen sampai dengan 70 persen berada pada usia 36-50. Jumlah tanggungan keluarga responden termasuk dalam kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sebesar 70 persen sampai dengan 90 persen memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3-6 orang. Untuk peubah karakteristik kelompok, sumberdaya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Rataan Peubah Penelitian Peubah Penelitian Nilai Rataan Skor Karakteristik Kelompok (X2) 66 Sumber Daya Keluarga (X3) 61 Lingkungan Sosial (X4) 49 Intervensi Pemberdayaan (X5) 64 Keberdayaan Keluarga (Y1) 65 Ket: *Setelah data ditransformasi (0 sd 100) **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Kategori Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
148
Tingkat kesejahteraan keluarga meliputi tingkat pendapatan, pemenuhan kebutuhan dasar, pemenuhan kebutuhan sekunder, pemenuhan kebutuhan tertier, kesinambungan usaha, dan ketepatan pengelolaan keuangan. Tingkat pendapatan keluarga menunjukkan pada kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 50 persen sampai dengan 61 persen adalah rendah. Pemenuhan kebutuhan dasar menunjukkan kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sebesar 59 persen sampai dengan 62 persen adalah sedang. Pemenuhan kebutuhan sekunder termasuk dalam kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 91 persen sampai 98 persen adalah rendah rendah. Pemenuhan kebutuhan tertier termasuk kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 82 persen sampai dengan 99 persen adalah rendah. Kesinambungan usaha termasuk kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sebesar 74 persen sampai dengan 86 persen adalah sedang. Ketepatan pengelolaan keuangan termasuk kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 61 persen sampai 76 persen adalah rendah. Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa hampir sebagian besar peubah dalam penelitian ini termasuk dalam kategori rendah kecuali karakteristik kelompok yang termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini berarti bahwa beberapa aspek yang terkait dengan kondisi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi perlu mendapatkan perhatian yang besar untuk diberdayakan. Beberapa peubah tersebut memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian keluarga miskin memiliki kompleksitas permasalahan yang serius untuk ditindaklanjuti melalui program pemberdayaan.
Pengaruh Karakteristik Kelompok dan Intervensi Pemberdayaan terhadap Keberdayaan Keluarga Hasil analisis koefisien regresi antara karakteristik kelompok (X2) dan intervensi pemberdayaan (X5) terhadap Keberdayaan keluarga miskin (Y1) disajikan pada Tabel 46.
149
Tabel 46. Nilai Koefisien Regresi antara Karakteristik Kelompok (X2) dan Intervensi Pemberdayaan (X5) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Peubah Bebas
Keberdayaan Keluarga (Y1)
Karakteristik Kelompok (X2)
0,13*
Intervensi Pemberdayaan (X5)
0,14*
** Signifikan pada taraf nyata 5 %
Berdasarkan Tabel 46 menunjukkan bahwa karakteristik kelompok memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin yaitu sebesar 0,13 artinya semakin tinggi aktivitas kelompok yang ada pada tiap-tiap kelompok usaha yang dibuat oleh keluarga miskin akan semakin meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Pada sisi lain menunjukkan bahwa intervensi pemberdayaan memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin yaitu sebesar 0,14. Hal ini menunjukkan bahwa semakin intensif aktivitas intervensi pemberdayaan menunjukkan semakin meningkatkan keberdayaan keluarga miskin tersebut di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Karakteristik kelompok yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin di dalamnya menyangkut beberapa indikator antara lain: kepemimpinan kelompok,
kedinamisan
kelompok dan
intensitas
komunikasi
kelompok.
Sedangkan intervensi pemberdayaan terdiri dari tiga indikator antara lain: proses pemberdayaan, kewenangan dalam pemberdayaan, dan ketepatan fasilitasi. Secara riil, karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan memberikan kekuatan yang besar terhadap berdayanya keluarga. Melalui kegiatan kelompok, keluarga mampu melakukan pembelajaran yang sangat berharga dari kelompok dalam hal mengembangkan usaha, baik oleh keluarganya ataupun usaha yang dirintis oleh kelompok itu sendiri. Intervensi pemberdayaan memberikan energi yang sangat besar terhadap keluarga miskin untuk mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan perkotaan. Melalui kekuatan kedua peubah tersebut, keluarga miskin memiliki modal sosial yang sangat besar untuk mampu keluarga dari kemiskinan keluarga.
150
150
Pengaruh Karakteristik Kelompok terhadap Keberdayaan Keluarga Berdasarkan Tabel 46 menunjukkan bahwa karakteristik kelompok memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi yaitu sebesar 0,13. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin baik secara langsung merupakan kelompok usaha maupun kelompok lainnya ternyata sangat dibutuhkan oleh keluarga miskin. Bagi keluarga miskin, diantara anggota dan kepala keluarga selalu hidup berkelompok secara berdampingan. Keberadaan kelompok tersebut secara sengaja dibentuk oleh keluarga miskin dimaksudkan untuk memecahkan beberapa persoalan, baik yang berhubungan dengan masalah keluarga maupun yang berhubungan dengan masalah-masalah lingkungan kemasyarakatan. Di antara anggota keluarga yang tergabung dalam kelompok tersebut biasanya memiliki keterikatan, baik keterikatan yang berhubungan dengan keterikatan adanya kesamaan nilai-nilai seperti adanya kelompok yang didasarkan kepada adanya kesamaan asal daerah sehingga muncul adanya kelompok kekerabatan orang Sunda, kelompok kekerabatan orang Sulawesi, kelompok kekerabatan orang Madura dan beberapa kelompok kekerabatan lainnya yang berdasarkan kesamaan asal daerah tersebut. Namun pada sisi lainnya, terdapat kelompok yang didasarkan kepada kepentingan, baik kepentingan ekonomi, kepentingan agama, maupun kepentingan sosial. Bagi kelompok
yang
didasarkan
kepada kepentingan ekonomi memunculkan
keinginan untuk mendirikan kelompok-kelompok usaha yang bergerak dalam usaha tertentu misalnya saja kelompok pedagang asongan, kelompok pemulung, kelompok pengumpul besi tua, kelompok peminta-minta dan beberapa kelompok usaha lainnya. Bagi kelompok yang didasarkan kepada kepentingan agama kemudian mendirikan kelompok yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan antara lain berdirinya kelompok Majelis Taklim yang selalu mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pengajian yang sering dilakukan di mesjid-ataupun di rumah-rumah penduduk pada setiap waktu yang telah ditentukan secara berkala. Sedangkan kelompok yang berlatarbelakang sosial kemudian mendirikan kelompok-kelompok seperti halnya kelompok karang taruna remaja, kelompok arisan ibu-ibu, kelompok olah raga, kelompok yang
151
bergerak dalam hal kepentingan kewargaan tersebut. Pada akhirnya keberadaan kelompok-kelompok tersebut sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dalam beberapa hasil wawancara mendalam yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif peubah karakteristik kelompok terhadap keberdayaan keluarga lebih banyak terhadap jenis kelompok yang bergerak dalam bidang usaha. Dalam kelompok yang bergerak dalam bidang usaha, ternyata memberikan kontribusi yang positif terhadap ekonomi keluarga. Setiap usaha kelompok yang menghasilkan pendapatan baik usaha kelompok yang menjadi penghasilan utama maupun usaha kelompok yang bersifat sampingan ternyata memberikan kontribusi yang tinggi terhadap tingkat keberdayaan keluarga. Hal-hal yang berkaitan dengan keberdayaan keluarga yang terpengaruh oleh karakteristik kelompok terkait dengan: (1) kemampuan adaptasi keluarga, (2) Kemampuan mencapai tujuan keluarga, (3) kemampuan berintegrasi, dan (4) terbentuknya nilai-nilai latensi positif dalam keluarga. Dengan semakin tingginya karakteristik kelompok mengakibatkan keluarga memiliki upaya dan kekuatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada di sekitar, baik secara internal keluarga maupun dengan lingkungan di luar keluarga. Selanjutnya, dengan semakin tinggi karakteristik kelompok mengakibatkan keluarga memilili upaya dan kekuatan yang besar untuk merealisasikan kegiatan terprogram untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga. Setiap terdapat keinginan dan kesulitan yang dihadapi oleh keluarga, maka akan lebih mudah dipecahkan bersama-sama dengan anggota kelompok yang lain. Peubah karakteristik kelompok juga memberikan kemampuan yang besar bagi keluarga agar mampu membangun kebersamaan dengan lingkungan di sekitar keluarga. Anggota keluarga yang terlibat dalam kelompok tersebut memiliki tingkat kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak terlibat dalam kegiatan kelompok. Pada akhirnya dengan kondisi karakteristik kelompok tersebut akan memberikan pengaruh bagi terinternalisasikannya nilainilai positif dalam keluarga tersebut. Nilai-nilai positif tersebut antara lain tingkat kepercayaan dalam keluarga, tingkat persaingan, kerja sama dan tumbuhnya kesadaran untuk maju.
152
Secara lebih spesifik dapat digambarkan bahwa adanya pengaruh yang positif antara karakteristik kelompok terhadap keberdayaan keluarga dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada dalam peubah karakteristik kelompok yang berpengaruh positif terhadap keberdayaan keluarga tersebut. Beberapa indikator dalam karakteristik kelompok tersebut antara lain: kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok, dan intensitas kemunikasi kelompok. Kepemimpinan kelompok yang ada pada tiap-tiap kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memegang peranan yang besar terhadap eksistensi kelompok, baik kelompok yang bergerak dalam bidang ekonomi, sosial maupun keagamaan. Dalam setiap kelompok yang terbentuk tersebut sangat bergantung kepada peran seorang pemimpin. Peran pimpinan kelompok di dalam mempengaruhi anggota kelompoknya merupakan kemampuan khusus yang dimiliki oleh
seorang pimpinan dalam melakukan
tindakan-tindakan persuasif dengan maksud untuk mencapai tujuan kelompok. Peran
kepemimpinan
kelompok
yang diperankan dalam tiap-tiap
kelompok yang dibentuk tersebut terbagi dalam
dua pengaruh, yaitu:
(1) Pengaruh secara impersonal, yaitu pengaruh yang diakibatkan karena adanya status pimpinan yang melekat pada diri seseorang. Status sebagai pimpinan kelompok diperoleh karena orang tersebut dipilih oleh anggota kelompoknya, artinya orang tersebut diberikan kewenangan untuk memimpin kelompok tersebut. Kondisi obyektif menunjukkan bahwa pimpinan kelompok memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan anggota kelompok lainnya yang menjadi bawahannya. Dengan adanya kewenangan yang lebih besar tersebut pimpinan dapat menggunakan kewenangan untuk mempengaruhi bawahan untuk menyesuaikan dengan tujuan dari pimpinan tersebut; dan (2) Pengaruh secara personal, yaitu pengaruh yang dilakukan oleh seorang pimpinan yang diakibatkan karena kemampuan persuasif yang secara khusus dimiliki oleh pimpinan tersebut. Di dalam memerankan pengaruh secara personal tersebut akan membedakan antara pimpinan yang satu dengan yang lain. Hal inilah yang diistilahkan dengan karakter individu dari seorang pimpinan. Dari kedua gambaran pengaruh kepemimpinan kelompok di atas menunjukkan keberhasilan kepemimpinan dari seorang pemimpin kelompok di dalam menyebarkan pengaruhnya dengan lebih mengoptimalkan pengaruh-pengaruh personal yaitu dengan melakukan komunikasi yang rutin dan tidak formal serta
153
meberikan contoh yang baik agar anggota kelompok dapat menilai karakter kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Stogdill (Gannon, 1979:47) yang menyatakan bahwa implementasi dari konsep pengaruh kepemimpinan
didasarkan
kepada
tiga
hal
yakni:
(1)
Kepemimpinan
memasukkan unsur orang lain, (2) kepemimpinan manyangkut adanya distribusi kekuasaan yang tidak seimbang antara pimpinan dengan bawahan, (3) dalam kepemimpinan
mengandung
kemampuan
untuk
menggunakan
cara-cara
tertentu. Berdasarkan konsep di atas, maka pengaruh yang digunakan oleh pimpinan kelompok yang di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sebenarnya lebih mengarah kepada kepemimpinan yang bersifat persuasif melalui pengaruh secara personal. Dengan demikian, kepemimpinan kelompok merupakan salah satu yang menentukan tingkat keberhasilan
tujuan kelompok. Pimpinan
kelompok menentukan ide-ide dan rencana-rencana yang ingin dicapai oleh kelompok,
selanjutnya
pimpinan
mengatur
dan
menggerakkan
anggota
kelompoknya, dan pada akhirnya pimpinan kelompok mengevaluasi kegiatan kelompok. Di samping peran dari kepemimpinan
kelompok, pengaruh dari
kedinamisan kelompok juga sangat berkontribusi terhadap semakin kuatnya keberdayaan keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Sebaran mengenai tingkat kedinamisan kelompok yang ada di keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Keikutsertaan keluarga dalam kelompok khususnya kelompok usaha pada dasarnya dilandasi pada adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa kelompok yang dibentuk tersebut akan memberikan dampak yang positif terhadap keberdayaan keluarganya. Dengan adanya kelompok usaha khususnya akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perbaikan ekonomi keluarga. Di samping itu juga, keluarga tersebut sangat yakin bahwa dengan adanya keterlibatan dalam kelompok usaha tersebut akan menciptakan sebuah nilai yang positif bagi anggota keluarga. Nilai-nilai positif tersebut berkaitan langsung dengan tingkat kemandirian keluarga yang tinggi sehingga terhindar dari rasa ketergantungan kepada pihak-pihak lainnya. Sebagian besar keluarga memiliki
154
keyakinan yang tinggi terhadap keberhasilan kelompok usaha tersebut dilihat dari beberapa parameter antara lain: (1) Bahwa keberadaan kelompok usaha tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga; (2) Terdapat kejelasan dalam struktur organisasi dalam kelompok. Kelompok yang mereka bentuk tersebut merupakan kelompok yang kecil, sehingga memudahkan untuk melakukan pembagian tugas terhadap masing-masing anggota kelompoknya; (3) Tiap anggota kelompok memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang sudah diketahui sebelumnya secara jelas; (4) Pembinaan yang dilakukan terhadap anggota kelompoknya tersebut dilakukan sambil berjalan. Setiap terdapat kesalahan dalam menjalankan tugasnya tersebut akan dikoreksi dan diperbaiki secara bersama-sama; (5) Tingkat kekompakan antara anggota kelompok
sangat tinggi, hal ini
dikarenakan diantara anggota kelompok memiliki rasa memiliki yang tinggi. Bagi mereka kegagalan dalam kelompok tersebut merupakan kegagalan bersama, dan sebaliknya bahwa keberhasilan kelompok tersebut merupakan keberhasilan bersama dan mereka sangat yakin bahwa hal tersebut akan berdampak terhadap ekonomi keluarganya; (6) Tingkat kerja sama antar anggota sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya saling membantu di antara anggota kelompok tersebut; (7) Suasana kelompok yang dibangun termasuk dalam kategori yang kondusif. Anggota kelompok lebih mengutamakan suasana yang informal dan tidak kaku seperti halnya organisasi formal. Di antara mereka saling memberikan akses untuk berkomunikasi dengan waktu yang lebih fleksibel; (8) Konflik dalam kelompok dengan mudah dapat diatasi. Adanya keterikatan emosional yang tinggi di antara anggota kelompok tersebut, semakin memudahkan mereka untuk saling mengontrol dan memperbaiki sikap-sikap yang dianggap menyimpang dari kegiatan kelompok; dan (9) Adanya hal-hal yang tersembunyi di antara mereka lebih bisa diminimalisir. Kecurigaan di antara anggota kelompok dapat secara mudah dengan adanya keterbukaan yang dibangun dalam kelompok tersebut. Hal yang tidak kalah pentingnya dari aspek kepemimpinan kelompok dan kedinamisan kelompok di atas adalah intensitas komunikasi kelompok. Di antara anggota kelompok tersebut, selama ini menggunakan komunikasi yang informal dan bersifat kesetaraan di antara anggota. Di antara mereka tidak terlalu manampakkan adanya perbedaan status dalam kelompok tersebut. Meskipun dalam kelompok tersebut terdapat status sebagai ketua, wakil ketua, bendahara
155
dan anggota biasa, namun dalam komunikasi antara mereka tidak terlalu membawa perbedaan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan beberapa ukuran antara lain: (1) Tingkat intensitas interaksi antar anggota kelompok. Intensitas interaksi yang mereka bangun selama ini mencakup dua hal yaitu interaksi kelompok dan interaksi antar anggota kelompok. Berkaitan dengan interaksi kelompok, di antara meraka menyepakati terdapat komunikasi yang dilakukan secara bersama-sama secara berkala, di mana semua anggota kelompok hadir dalam rapat-rapat kelompok tersebut. Misalnya saja dalam seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali serta waktu-waktu tertentu yang telah ditentukan oleh mereka untuk melakukan komunikasi secara bersama-sama. Sedangkan untuk komunikasi antara anggota kelompok dapat dilakukan setiap saat tanpa ditentukan secara formal. Pada akhirnya tingkat intensitas interaksi tersebut menjadi semakin tinggi; (2) Tingkat keeratan hubungan di antara anggota kelompok tersebut dapat dikategorikan memiliki hubungan yang erat. Hal ini ditandai dengan adanya keterikatan emosional, keterikatan kedaerahan, keterikatan kepentingan serta keterikatan lainnya yang lebih mengikat. Keterikatan emosional di antara mereka dilandasi oleh adanya hubungan kekerabatan di antara mereka. Sebagian dari anggota kelompok tersebut memiliki keterikatan kekerabatan yang tinggi. Sedangkan keterikatan kedaerahan dilandasi adanya kesamaan asal daerah di antara anggota kelompok sehingga memudahkan untuk berkomunikasi secara intensif, misalnya saja kelompok yang berlatarbelakang etnis Madura, berlatarbelakang etnis Makasar, etnis Sunda, Etnis Jawa dan sebagainya. Dengan berbagai latarbelakang tersebut, kemudian berdampak terhadap tingginya tingkat keeratan komunikasi di antara anggota tersebut;
(3)
Tingkat
kejelasan
komunikasi
tersebut
dilandasi
dengan
penggunaan bahasa dalam komunikasi antar mereka. Ada sebagian komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing, namun juga tidak selamanya bahasa daerah tersebut digunakan dalam komunikasi tersebut. Di antara mereka sudah terdapat istilah-istilah yang sudah dapat dipahami secara bersama; dan (4) Tingkat saling pengertian di antara anggota termasuk dalam kategori tinggi. Di antara mereka sudah saling mengetahui kepentingan masing-masing keluarga, bahkan di antara mereka sudah mengetahui tingkat kebutuhan keluarga masing-masing.
156
Dari beberapa indikator karakteristik kelompok di atas menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
Pengaruh Intervensi Pemberdayaan terhadap Keberdayaan Keluarga Miskin Berdasarkan Tabel 45 menunjukkan bahwa intervensi pemberdayaan memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yaitu sebesar 0,14. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kegiatan intervensi pemberdayaan dilakukan maka akan semakin meningkatkan tingkat keberdayaan keluarga yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Secara obyektif adanya pengaruh yang nyata kegiatan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dapat dijelaskan dari beberapa indikator yang terjadi pada peubah intervensi
pemberdayaan
yaitu
(1)
Dilihat
dari
ketepatan
proses
pemberdayaannya; (2) Tingkat Kewenangan dalam pemberdayaannya; dan (3) Dukungan fasilitasi. Dilihat dari ketepatan proses pemberdayaannya menunjukkan bahwa berdasarkan sebaran persepsi responden yang terkait dengan ketepatan proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan khususnya oleh pihak-pihak luar terhadap kelompok usaha yang dibangun oleh keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan
adanya kesamaan yaitu pada
kategori yang rendah. Proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam meningkatkan keberdayaan keluarga ternyata masih sangat jauh dari harapan keluarga miskin, baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun juga yang ada di Kota Bekasi. Proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait masih terlalu minim yang mampu menjangkau terhadap pengelolaan sumber daya ekonomi menjadi lebih baik. Secara praktis, baik keluarga maupun kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin tersebut tidak mampu memanfaatkan secara maksimal sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh keluarga maupun kelompok tersebut. Keluarga
157
maupun kelompok yang dibentuk tersebut tidak mampu mengelola usaha yang ada secara kesinambungan. Minimnya pendampingan yang dilakukan oleh lembaga terkait seperti pemerintah, NGO, swasta dan lembaga pendidikan di dalam menjaga kesinambungan usaha tersebut pada akhirnya mereka menjalankan usaha keluarganya tersebut berdasarkan kemampuan mereka sendiri secara terbatas. Kelemahan dari proses pemberdayaan yang selama ini berjalan adalah mereka tidak mampu mengelola permodalan usaha secara baik, adanya keterbatasan di dalam mengembangkan jaringan usahanya serta pengelolaan organisasi yang sangat terbatas. Dengan demikian rendahnya proses
pemberdayaan
tersebut
berpengaruh
secara
langsung
terhadap
rendahnya keberdayaan keluarga. Dilihat dari indikator tingkat kewenangan menunjukkan bahwa sebaran mengenai persepsi responden mengenai kewenangan dalam pemberdayaan, baik di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Pada aspek ini setiap anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan kelompok memiliki tingkat pemahaman yang memadai mengenai kegiatan pemberdayaan. Tingkat pemahaman yang memadai ini maksudnya adalah bahwa dengan adanya keterbatasan yang mereka miliki, mereka akan tetap menjalankan usaha keluarganya atau usaha kelompoknya. Mereka memiliki keinginan yang tinggi agar tidak terlalu tergantung kepada pihak lain. Keluarga miskin yang tergabung dalam kelompok tersebut memiliki tingkat kemandirian yang tinggi untuk menjalankan usahanya meskipun intensitas proses pemberdayaannya yang diperankan oleh pihak-pihak terkait masih rendah. Adanya kemandirian yang ada pada setiap keluarga atau kelompok yang dibentuk tidak dikarenakan adanya proses pemberdayaan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait, melainkan bahwa kemandirian dalam keluarga atau kelompok tersebut timbul dikarenakan adanya keinginan untuk bertahan hidup (survive). Ada tidaknya proses intervensi pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga terkait, maka keluarga ataupun kelompok akan tetap menjalankan usahanya atau kegiatan keluarganya tersebut. Pilihan terhadap jenis usaha yang dilakukan ataupun hal-hal lainnya yang terkait dengan usaha yang dijalankan oleh keluarganya tersebut diputuskan sendiri oleh kepala keluarga atau kelompok itu sendiri.
158
Dilihat dari indikator dukungan fasilitasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha menunjukkan bahwa dukungan fasilitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait misalnya saja dari pemerintah, pihak swasta, LSM, pihak-pihak lainnya masih tergolong rendah. Hal tersebut secara obyektif dapat dijelaskan bahwa tingkat dukungan dari pihakpihak terkait dengan dukungan modal, dukungan dalam bentuk akses informasi, dukungan dalam bentuk akses pasar, serta bantuan sarana prasarana terhadap keberlangsungan usaha keluarga maupun kelompok usaha ternyata masih sangat rendah. Masih tingginya keterbatasan keluarga ataupun kelompok usaha dari segi permodalan, akses informasi, akses pasar, serta sarana dan prasarana tidak menyurutkan keinginan keluarga dan kelompok usaha untuk tetap menjalankan usaha keluarga maupun kelompok usaha bersama tersebut. Dari beberapa pihak terkait yang pernah memberikan dukungan usaha terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha, hanya pihak pemerintah yang pernah memberikan dukungan terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha, misalnya dalam bentuk program yang sudah ditetapkan, program kredit bergulir, program pendampingan dan beberapa program lainnya. Sedangkan pihak lainnya masih sangat jarang untuk memberikan dukungan terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha. Adanya pengaruh yang nyata antara intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, dilihat dari indikator keberdayaan keluarga adalah sebagai berikut: Pertama, Dilihat dari indikator tingkat adaptasi menunjukkan bahwa kemampuan keluarga untuk menyesuaikan terhadap lingkungan, kemampuan keluarga untuk mengubah orientasi keluarga, serta kemampuan keluarga untuk memanfaatkan sumber daya keluarga masih tergolong rendah. Dengan kondisi tersebut adanya intervensi pemberdayaan dari pihak-pihak tertentu terhadap keluarga ternyata berpengaruh meningkatkan kemampuan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sebagian besar dari responden sudah memiliki sikap-sikap negatif menanggapi perubahan lingkungan keluarga tersebut. Adanya biaya hidup yang sangat tinggi di kota, menyebabkan orientasi keluarganya
hanya
berkisar
kepada
pemenuhan
kebutuhan
konsumsi.
Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam keluarga masih belum terjangkau. Hal lainnya yang sudah terpatri sebagai sebuah nilai
159
keluarga adalah sikap pasrahnya menanggapi kemiskinan yang menerpa keluarganya. Mereka sudah merasa sangat pasrah dengan kondisi kemiskinan yang menerpa keluarganya tersebut. Adanya proses pemberdayaan yang sangat minim sangat tidak memadai untuk mengubah kemampuan adaptasi keluarga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kota besar tersebut. Kedua, Dilihat dari indikator tingkat pencapaian tujuan keluarga menunjukkan bahwa kemampuan keluarga untuk mencapai tujuan ekonomi dan kemampuan keluarga untuk mencapai tujuan sosial termasuk kategori rendah. Sebagian besar keluarga miskin belum mampu memaksimalkan potensi keluarga. Adanya sebagian keluarga yang memiliki bebera aset keluarga seperti, motor, tanah, dan beberapa aset keluarga ternyata tidak mampu dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Sebagian besar keluarga miskin juga belum memiliki manajemen keluarga yang baik dalam mengatur keuangan keluarga serta menentukan prioritas-prioritas yang ada dalam keluarga tersebut. Mereka tidak mampu menentukan prioritas utama serta yang tidak menjadi prioritas dalam keluarga, sehingga aktivitas keluarga tidak terprogram secara baik. Pada akhirnya, sebagian besar keluarga miskin tidak memiliki reorientasi yang mampu mengubah tujuan keluarganya menjadi lebih baik. Intervensi pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak yang berwewenang tidak mampu menjangkau sampai kepada hal-hal tersebut, sehingga kultur yang ada dalam keluarga tidak mengalami perubahan yang nyata. Ketiga, Dilihat dari indikator tingkat integrasi menunjukkan bahwa kemampuan keluarga untuk berinteraksi dengan anggota keluarga, serta tingkat keeratan hubungan dengan anggota keluarga masih termasuk sedang. Kualitas interaksi yang dibangun di antara anggota keluarga ternyata masih tergolong rendah. Topik-topik dalam interaksi selama ini belum menyentuh kepada topik yang mampu membangun keluarga menjadi lebih baik. Pada sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi masih sangat kental dengan budaya individualisme, konsumerisme dan hedonisme. Gaya hidup tersebut ternyata tidak mampu membangun kultur keluarga menjadi semakin baik. Intensitas intervensi yang sangat minim diperankan oleh pihak-pihak terkait ternyata tidak mampu mengubah kemampuan keluarga untuk melakukan keluarga secara positif. Pada sisi lain, keluarga sudah memiliki pertahanan yang kuat bahkan cenderung kepada penolakan terhadap nilai-nilai yang ditawarkan
160
oleh pihak-pihak terkait tersebut. Dengan adanya mental block yang sangat kuat tersebut, pada akhirnya interensi pemberdayaan tersebut tidak mampu mengubah pola interaksi tersebut. Keempat, Dilihat dari tingkat latensi menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan antar anggota keluarga termasuk dalam kategori tinggi. Sedangkan untuk pengembangan nilai persaingan, kerja sama antar anggota keluarga serta kesadaran untuk maju diantara anggota keluarga termasuk dalam kategori rendah. Kondisi tersebut dipengaruhi karena sebagian besar keluarga tidak memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan kepercayaan, kerja sama dan kesadaran untuk maju. Pada sisi lain, keluarga tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk mengembangkan pola dan metode untuk internalisasi nilai-nilai positif. Bahkan dalam kondisi tertentu, sebagian besar keluarga tidak mampu menilai apakah nilai-nilai kepercayaan, kerja sama dan kesadaran untuk maju yang ada dalam keluarga termasuk dalam kategori yang positif atau negatif. Semua nilai-nilai yang ada dalam keluarga sudah mengakar dalam kehidupan keluarga, bahkan dianggap sebagai nilai-nilai inti dalam keluarga. Intervensi pemberdayaan yang selama ini dilakukan tidak mampu untuk mengubah kultur yang
sudah
ada
dalam
keluarga
miskin
tersebut.
Apalagi
intervensi
pemberdayaan tersebut dilakukan dengan kondisi yang sangat terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga tidak mampu menciptakan nilai-nilai latensi positif terhadap keluarga miskin tersebut. Semua kondisi tersebut menunjukkan bahwa rendahnya intervensi pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak terkait memiliki korelasi yang nyata terhadap rendahnya keberdayaan keluarga dilihat dari tingkat adaptasi keluarga, tingkat pencapaian tujuan keluarga, tingkat integrasi dalam keluarga dan tingkat latensi dalam keluarga. Hubungan Peubah Bebas (X) dengan Peubah Keberdayaan Keluarga (Y1) Sebelum menentukan kekuatan pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat, perlu menghitung terlebih dahulu nilai korelasi masing-masing peubah bebas (X) dengan peubah terikat (Y1). Penentuan nilai korelasi ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara kuantitatif hubungan antara peubah bebas dengan peubah terikat. Dalam hal ini, peneliti melakukan perhitungan nilai
161
korelasi dari masing-masing indikator dari setiap peubah bebas dengan peubah terikat. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 47. Tabel 47. Hubungan Peubah X dengan Peubah Y1 (Keberdayaan Keluarga)
Variabel X X1.1. Pendidikan formal X1.2. Pendidikan non formal X1.2. Umur X1.3. Jumlah tanggungan keluarga X2.1. Kepemimpinan kelompok X2.2. Kedinamisan kelompok X2.3. Intensitas komunikasi antar klp X3.1. Dukungan sumber daya fisik X3.2. Dukungan sumber daya non fisik X4.1. Dampak kebijakan X4.2. Ketersediaan sumber daya ekonomi X4.3. Ketersediaan sumber daya sosial X4.4. Peran media massa X4.5. Dukungan jaringan usaha X4.6. Peluang kemitraan X4.7. Pengaruh kultural X5.1. Ketepatan proses X5.2. Tingkat kewenangan X5.3. Dukungan fasilitas
* Nyata pada α = 0,05 **Sangat nyata pada α = 0,01
Hubungan Peubah X dengan Peubah Y1 0,14* 0,05 0,04 0,02 0,20** 0,21** 0,10 0,07 0,15* 0,18** 0,07 0,22** 0,21** 0,04 0,13* 0,14* 0,28** 0,42** 0,16*
Dalam Tabel 47 dtunjukkan bahwa untuk peubah karakteristik individu (X1), dari beberapa indikator yang ada antara lain: pendidikan formal, pendidikan non formal, umur dan jumlah tanggungan keluarga ternyata hanya indikator pendidikan formal yang memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin. Pada peubah karakteristik kelompok yang terdiri dari indikator : Kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok, dan intensitas
komunikasi
antar
kelompok
menunjukkan
bahwa
indikator
kepemimpinan kelompok dan kedinamisan kelompok memiliki hubungan yang sangat nyata dengan keberdayaan keluarga miskin, sedangkan intensitas komunikasi antar kelompok tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
162
Pada peubah sumber daya keluarga, indikator sumber daya non fisik (sosial) memiliki hubungan yang sangat nyata dengan keberdayaan keluarga miskin dibandingkan dengan indikator sumber daya ekonomi. Untuk peubah lingkungan sosial menunjukkan bahwa indikator dampak negatif kebijakan pemerintah, ketersediaan sumber daya sosial, peran media massa, peluang kemitraan dan pengaruh kultural memiliki hubungan yang sangat nyata dengan keberdayaan keluarga miskin. Sedangkan indikator ketersediaan sumber daya ekonomi, dukungan jaringan usaha tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Khusus terkait dengan peubah intervensi pemberdayaan, semua indikator yang ada di dalamnya yang terdiri dari ketepatan proses, tingkat kewenangan, dan dukungan fasilitasi memiliki hubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
Tabel 48. Hubungan Peubah Y1 (Keberdayaan Keluarga) dengan Peubah Y2 (Tingkat Kesejahteraan Keluarga) Peubah Y1 Y1.1. Tingkat adopsi Y1.2. Tingkat pencapaian tujuan Y1.3. Tingkat integrasi Y1.4. Tingkat latensi
* Nyata pada α = 0,05 ** Sangat Nyata pada α = 0,01
Hubungan Peubah Y1 dengan Y2 0,71** 0,17* 0,15* 0,36**
Tabel 48 menunjukkan bahwa semua indikator yang ada pada peubah keberdayaan keluarga memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Berdasarkan hasil perhitungan nilai hubungan antara beberapa indikator dari tiap-tiap peubah bebas dengan peubah terikat memudahkan prediksi nilai koefisien pengaruh dari peubah bebas dengan peubah terikat dalam penelitian ini. Pengaruh Karakteristik Individu, Sumber Daya Keluarga, dan Lingkungan Sosial terhadap Keberdayaan Keluarga Keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, selain dipengaruhi oleh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan, pada dasarnya dipengaruhi oleh peubah lainnya yaitu karakteristik individu,
163
sumber daya keluarga dan lingkungan sosial. Hasil analisis koefisien regresi antara karakteristik individu (X1) terhadap Keberdayaan keluarga (Y1) disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Pengaruh Karakteristik Individu (X1) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Karakteristik Individu (X1)
Keberdayaan Keluarga (Y1)
Pendidikan Formal (X1.1)
0,12*
Pendidikan Non Formal (X1.2)
0,02
Usia (X1.2)
0,01
Jumlah Tanggungan Keluarga (X1.4)
0,08
*Nyata pada taraf nyata 5%
Dari Tabel 49 menunjukkan bahwa dari beberapa indikator yang ada pada peubah karakteristik individu mulai dari indikator pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluaga, hanya indikator pendidikan formal yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki pengaruh yang nyata. Hasil analisis koefisien regresi antara sumber daya keluarga (X3), dan lingkungan sosial (X4) terhadap Keberdayaan keluarga (Y1) disajikan pada Tabel 50. Tabel 50. Pengaruh Sumber Daya Keluarga (X3), dan Lingkungan Sosial (X4) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Peubah Bebas Sumber Daya Keluarga (X3) Lingkungan Sosial (X4)
Keberdayaan Keluarga (Y1) 0,32** 0,15*
** Sangat Nyata pada taraf nyata 1 % *Nyata pada taraf nyata 5 %
Tabel 50 menunjukkan bahwa sumber daya keluarga (X3) memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu sebesar 0,32. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi sumber daya keluarga akan semakin meningkatkan secara nyata terhadap keberdayaan keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Selanjutnya menunjukkan bahwa lingkungan sosial (X4)
164
berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yaitu sebesar 0,15. Artinya bahwa semakin kompleks lingkungan sosial yang ada di sekitar keluarga miskin maka akan berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga. Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Keberdayaan Keluarga Dari Tabel 49 menunjukkan bahwa dari beberapa indikator yang ada pada peubah karakteristik individu mulai dari indikator pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluaga, hanya indikator pendidikan formal yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki pengaruh yang nyata. Tidak
adanya
pengaruh
antara
karakteristik
individu
terhadap
keberdayaan keluarga dapat dilihat dari nilai koefisien regresi pada beberapa indikator yang ada pada peubah karakteristik individu antara lain: pendidikan formal, pendidikan non-formal, usia, dan jumlah tanggungan keluarga. Dilihat dari pendidikan formal yang ada pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal sebagian besar dari mereka berada pada kategori rendah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan formal bagi keluarga miskin tersebut antara lain: (1) Mereka tidak memiliki kecukupan ekonomi yang memadai untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, (2) Mereka tidak memiliki kultur dan motivasi untuk meningkatkan tingkat pendidikan formalnya. Bagi sebagian dari keluarga miskin, pendidikan dipersepsikan sebagai sesuai yang penting dan menentukan terhadap keberhasilan mereka di masa yang akan datang. Bahkan pada kalangan perempuan diharapkan tidak perlu untuk memiliki pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya hanya akan mengurus keluarga saja. Dengan persepsi yang demikian tersebut, dengan tingkat pendidikan formal yang sangat terbatas tersebut semua kegiatan yang dilakukan dalam keluarga tidak didasarkan pada adanya pengetahuan yang memadai. Misalnya saja dalam mengurus keluarga, mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengurus keluarganya. Pada akhirnya usaha atau pekerjaan yang mereka dapatkan hanya sebatas pekerjaan yang hanya mengandalkan pekerjaan kasar
165
seperti tukang, pemulung, tukang ojek, hansip dan sebagainya. Dengan demikian, kondisi keluarganya dalam kondisi yang tidak berdaya. Dilihat dari indikator pendidikan non formal menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam kegiatan pendidikan non formal termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya pendidikan non formal yang diikuti oleh sebagian besar responden dikarenakan adanya keterbatasan ekonomi untuk mendapatkan pendidikan non formal yang memadai, adanya keterbatasan akses dan informasi untuk mengikuti pendidikan non formal yang mendukung usaha keluarganya. Hal lainnya adalah masih rendahnya motivasi mereka untuk mencari dan mengikuti pendidikan non formal yang secara langsung dapat dijadikan bekal untuk mengubah kondisi keluarga. Terdapat beberapa pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh sebagian keluarga miskin tersebut yang tidak berhubungan dengan pengembangan usaha yang akan mereka lakukan. Adanya keterbatasan keikutsertaan anggota keluarga miskin dalam pendidikan non formal tidak memberikan dampak yang positif terhadap perilaku mereka untuk meningkatkan keberdayaan dalam keluarganya. Dilihat dari indikator usia responden menunjukkan bahwa sebagian responden berada pada usia yang sedang yaitu usia 36-50. Pada usia tersebut sebenarnya merupakan usia yang cukup matang dan produktif untuk menjalankan usaha. Namun karena pada usia sebelumnya, para responden tidak dibekali dan tidak memiliki pengalaman yang baik sehingga tidak memberikan dampak yang positif terhadap tingkat keberdayaan keluarganya. Minimnya pengalaman yang berharga pada usia sebelumnya tersebut pada akhirnya tidak menjadikan anggota keluarga tersebut dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi keluarganya. Dilihat dari indikator jumlah tanggungan keluarga menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga yang ada pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Sebagian besar keluarga miskin memiliki tanggungan keluarga dengan jumlah 3-6 orang. Bagi keluarga
166
yang ada di kota, baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi, jumlah tanggungan keluarga merupakan beban ekonomi yang merepotkan. Artinya semakin banyak jumlah tanggungan keluarga khususnya tanggungan yang tidak produktif akan semakin membebani terhadap kehidupan ekonomi keluarga yang ditandai dengan semakin tingginya pengeluaran dari keluarga tersebut. Jenis pengeluarannya tersebut meliputi biaya makan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya sandang serta beberapa biaya pengeluaran lainnya yang merupakan beban keluarga. Bagi keluarga yang tidak memiliki tingkat penghasilan yang memadai atau kecil, maka jumlah tanggungan keluarga yang banyak akan menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian keluarganya. Pada akhirnya tingkat keberdayaan keluarganya menjadi semakin rendah dengan beban ekonomi yang berat tersebut. Pengaruh Sumber Daya Keluarga terhadap Keberdayaan Keluarga Berdasarkan Tabel 50 menunjukkan bahwa sumber daya keluarga (X3) memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu sebesar 0,32. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi sumber daya keluarga akan semakin meningkatkan secara nyata terhadap keberdayaan keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Adanya pengaruh yang sangat nyata antara sumber daya keluarga terhadap keberdayaan keluaraga dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada pada sumber daya keluarga tersebut yaitu: (1) sumber daya fisik, dan (2) Sumber daya non fisik. Dilihat dari indikator sumber daya fisik menunjukkan bahwa dukungan sumber daya fisik terhadap sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Bagi sebagian keluarga yang memiliki sumber daya fisik keluarga yang memadai seperti halnya luas rumah yang dimiliki, luas tanah yang dimiliki posisi rumah yang strategis, ternyata kondisi tersebut dapat dimanfaatkan secara baik untuk lebih meningkatkan ekonomi keluarga. Dengan adanya sumber daya fisik keluarga yang memadai tersebut, maka rumahnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha seperti
167
membuka warung pada bagian depan rumahnya. Dengan luas rumah dan tanah yang cukup, maka mereka dapat menjadikan rumahnya tersebut sebagai tempat usaha. Meskipun usahanya merupakan usaha kecil-kecilan, namun sedikit banyak dapat memberikan kontribusi yang positif bagi ekonomi keluarganya tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sumber daya fisik memiliki potensi yang sangat besar terhadap tingkat keberdayaan keluarga tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Dilihat dari indikator sumber daya non fisik menunjukkan bahwa persepsi sebagian besar responden terhadap ketersediaan sumber daya sosial pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Bagi sebagian besar keluarga miskin tersebut sumberdaya non fisik yang berupa rasa saling percaya, komunikasi antar anggota keluarga, komunikasi dengan keluarga lain, keamanan psikis, dan kesadaran anggota keluarga terhadap pendidikan merupakan modal sosial yang harus dipupuk dan dijaga terus menerus. Dengan adanya sumber daya non fisik yang baik tersebut akan menciptakan ketenangan dalam keluarga dalam menjalankan kehidupannya seperti ketenangan dalam berusaha, ketenangan dalam mendidik anak, ketenangan dalam beribadah dan menciptakan ketenangan-ketenangan yang lain. Meskipun secara ekonomi mereka tergolong berkekurangan, namun mereka merasa dengan adanya rasa saling percaya, komunikasi antar anggota keluarga, komunikasi dengan keluarga lain, keamanan psikis dan kesadaran terhadap pendidikan yang tinggi akan merubah kondisi keluarganya. Keluarga memandang bahwa tingginya sumber daya non fisik tersebut akan meminimalisir konflik dalam keluarga. Mereka percaya bahwa adanya konflik yang tinggi dalam keluarga tersebut justru akan mengakibatkan aktivitas keluarga menjadi terhambat. Konflik dipandang sesuatu yang menghambat terhadap usaha keluarganya, serta menghambat
terhadap segala aktivitas
dalam keluarganya. Mereka percaya bahwa dengan tingginya sumber daya non fisik tersebut akan semakin meningkatkan kemampuan mereka untuk berubah dari kemiskinan menjadi lebih berdaya.
168
Pengaruh Lingkungan Sosial terhadap Keberdayaan Keluarga Berdasarkan Tabel 50 menunjukkan bahwa lingkungan sosial (X4) berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yaitu sebesar 0,15. Artinya bahwa semakin kompleks lingkungan sosial yang ada di sekitar keluarga miskin maka akan berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluargannya. Secara kualitatif mengenai pengaruh lingkungan sosial terhadap keberdayaan keluarga tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada pada lingkungan sosial tersebut antara lain: dampak kebijakan pemerintah, ketersediaan sumber daya ekonomi, ketersediaan sumber daya sosial, peran media massa, jaringan usaha, peluang kemitraan, dan pengaruh kultural. Dilihat dari indikator dampak kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa intensitas kebijakan pemerintah daerah khususnya yang terkait dengan kebijakan pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Dampaknya terhadap keluarga miskin sangat dirasakan oleh para responden baik yang berdampak negatif maupun berdampak positif. Kebijakan pemerintah yang paling dirasakan oleh sebagian besar keluarga miskin, baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan fisik kota, kebijakan penataan kota, dana kebijakan penertiban kota. Dampak kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara termasuk dalam kategori sedang, sedangkan dampak kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Bekasi termasuk dalam kategori tinggi. Namun sebagian besar responden baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun yang ada di Kota Bekasi sama-sama merasakan adanya kebijakan pembangunan fisik kota memiliki dampak secara langsung terhadap kondisi keluarganya. Terdapat beberapa jenis pembangunan
fisik
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
kota
antara
lain:
pembangunan jalan, pembangunan real estate, pembangunan sentral bisnis, dan pembangunan fisik lainnya. Pembangunan fisik yang paling dirasakan berdampak langsung terhadap kondisi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah pembangunan jalan yang sering mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan adanya pembangunan fisik kota yang sangat cepat tersebut dipersepsikan oleh sebagian besar responden bahwa pembagunan fisik tersebut akan semakin menyisihkan kehidupan mereka dari kehidupan kota.
169
Sebagian besar keluarga miskin tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat menolak pembangunan tersebut, karena sudah dianggap pemerintah memiliki kakuasaan yang besar untuk melakukan pembangunan tersebut. Namun semua pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah tersebut tidak selamnaya memberikan dampak yang negatif, melainkan juga akan memberikan dampak yang positif terhadap keluarga miskin. Bagi sebagian kecil masyarakat miskin yang berpikiran positif terhadap pembangunan fisik tersebut menyatakan bahwa pembangunan fisik kota justru semakin menambah peluang dan kesempatan untuk mencari nafkah bagi keluarga. Dengan semakin banyaknya pembangunan jalan, pembangunan real estate, pembangunan sentera bisnis, dan pembangunan fisik lainnya tersebut akan semakin membuka akses untuk usaha keluarganya. Bagi keluarga pemulung dengan semakin banyaknya pembangunan perumahan yang ada di sekitarnya, maka area cakupan usaha pemulungnya akan semakin bertambah luas. Bagi pedagang kelontongan, dengan semakin banyaknya pembangunan jalan maka akan memberikan akses untuk meningkatkan usaha pedagang kelontongannya tersebut. Dengan dua gambaran di atas menunjukkan bahwa dampak kebijakan pemerintah khususnya yang terkait dengan kebijakan pembangunan fisik ternyata sangat berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga. Bagi keluarga yang berpikir maju maka pembangunan tersebut merupakan peluang untuk lebih meningkatkan kehidupan ekonominya menjadi lebih baik. Dilihat dari indikator ketersediaan sumber daya ekonomi menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya ekonomi bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam ketegori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki aspek-aspek sumber daya ekonomi. Ketersediaan sumber daya ekonomi yang di dalamnya terdapat aspek-aspek antara lain: ketersediaan modal ekonomi, keikutsertaan dalam pelatihan keterampilan berusaha, tingkat penyerapan informasi, serta bantuan dari pihak lain dipersepsikan oleh sebagian besar keluarga merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap keberdayaan keluarga khususnya sangat menentukan terhadap keberhasilan berusaha. Hal yang sangat penting dirasakan oleh sebagian besar keluarga miskin terkait dengan rendahnya kemampuan berusaha
TAHAP PERENCANAAN
ANALISIS SITUASI
MENENTUKAN TUJUAN PROGRAM
TAHAP IMPLEMENTASI
PEMBENTUKAN KELOMPOK
PENGORGANISASIAN KELOMPOK MONITORING
PERENCANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN
MASALAH & PERUMUSAN MASALAH
TAHAP EVALUASI
IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN KELOMPOK
MONITORING & EVALUASI
MENENTUKAN CARA/PROGRAM
EVALUASI PENDAMPINGAN
PENGEMBANGAN KELOMPOK
Gambar 7.Implementasi Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Pendekatan Kelompok
170
170
adalah masih terbatasnya modal ekonominya. Sampai saat ini, mereka tidak mampu menyediakan modal ekonominya secara memadai, dikarenakan sebagian modal justru digunakan untuk kegiatan konsumsi keluarga. Mereka sendiri belum memiliki kemampuan untuk memisahkan antara modal ekonomi dengan biaya konsumsi keluarganya, sehingga modal ekonomi tidak mampu berkembang. Hal lainnya yang terkait dengan ketersediaan sumber daya ekonomi tersebut adalah masih rendahnya keikutsertaan keluarga miskin dalam kegiatan keterampilan berusaha. Keluarga miskin tidak memiliki keterampilan yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi keluarganya. Pada aspek tingkat penyerapan informasi dan bantuan dari pihak bukan menjadi persoalan yang vital bagi pengembangan usaha keluarga. Bagi keluarga miskin yang menjadi persoalan pokok ketersediaan sumberdaya ekonomi yang dapat meningkatkan keberdayaan keluarga adalah ketersediaan modal ekonomi dan keterampilan berusaha, sedangkan penyerapan informasi dan bantuan dari pihak lain merupakan faktor pendukung. Dilihat dari indikator ketersediaan sumber daya sosial menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya sosial bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam ketegori sedang. Mengenai hal tersebut anggota keluarga sudah sangat memahami mengenai jenis pekerjaan yang digeluti oleh keluarganya baik secara individu maupun secara kelompok. Adanya jenis pekerjaan yang termasuk dalam pekerjaan kasar sudah dipahami oleh anggota keluarga, bahkan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sudah dewasa seringkali dilibatkan juga dalam pekerjaan keluarganya seperti halnya pemulung. Di dalam keluarga sudah memahami pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya, sehingga di antara anggota keluarga menghindari adanya konflik dengan lainnya. Demikian juga di antara keluarga juga menghindari adanya konflik dengan keluarga lainnya. Konflik, baik antar anggota
keluarga
maupun
antara
keluarga
dengan
keluarga
lainnya
dipersepsikan akan mengganggu usaha keluarga. Sumber daya sosial tersebut pada dasarnya merupakan modal sosial yang sangat bagi keberdayaan keluarga. Dengan sumber daya sosial yang kuat tersebut menjadikan keluarga tetap memiliki rasa percaya diri untuk menjalankan usaha keluarganya. Dilihat dari indikator peran media massa menunjukkan adanya perbedaan antara persepsi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Bagi
171
keluarga miskin di Kota Jakarta Utara persepsi responden mengenai peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori sedang. Sedangkan bagi keluarga miskin di Kota Bekasi, responden mempersepsikan peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori rendah. Pada dasarnya kelurga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tetap memanfaatkan media massa khususnya mereka memanfaatkan media elektronik. Sedangkan media cetak, masih sangat sedikit keluarga miskin yang memanfaatkan media cetak dengan alasan keuangan, kebutuhan dan motivasi. Sebagian keluarga miskin menganggap bahwa peran media massa sangat positif bagi keluarga terutama dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam berbagai hal. Namun yang disayangkan adalah masih sangat sedikit keluarga miskin yang memanfaatkan media massa tersebut untuk lebih mengembangkan usaha keluarga. Sebagian besar dari mereka lebih banyak menjadikan media massa (khususnya elektronik) hanya sebagai media hiburan. Namun demikian dengan adanya pemanfaatan media elektronik yang ada dalam keluarga dapa mengakibatkan anggota keluarga menjadi tahu tentang beberapa informasi, meskipun tidak secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan keluarganya. Dilihat dari indikator jaringan usaha menunjukkan adanya perbedaan antara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Sebagian besar responden di keluarga miskin Kota Jakarta memiliki jaringan usaha pada kategori sedang. Sedangkan sebagian besar responden keluarga miskin yang ada di Kota Bekasi memiliki jaringan usaha pada kategori yang rendah. Meskipun adanya perbedaan, namun perbedaannya tidak terlalu mencolok. Secara umum, responden yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menganggap penting adanya jaringan usaha tersebut. Jaringan usaha sangat diperlukan untuk meningkatkan usaha keluarga atau usaha kelompok. Bagi beberapa usaha kelompok yang memiliki jaringan usaha yang luas membuktikan usaha kelompoknya menjadi semakin besar. Bagi kalangan eksternal seperti pemerintah, swasta, LSM, dan pihak-pihak lainnya adanya kelompok usaha yang memiliki jaringan usaha yang luas akan memudahkan untuk dibantu dan dibina. Adanya perkembangan pada kelompok usahanya memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi keluarga. Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa jaringan usaha memiliki pengaruh yang tinggi terhadap tingkat keberdayaan keluarga.
172
Dilihat dari indikator peluang kemitraan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Terkait dengan peluang kemitraan yang ada pada keluarga miskin menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi responden di kedua lokasi tersebut keluarga
berada kategori sedang. Belum optimalnya peluang kemitraan baik maupun
kelompok
usaha
tersebut
disebabkan
oleh
adanya
keterbatasan keluarga dan kelompok usaha untuk menyusun strategi yang baik dalam bermitra dengan pihak-pihak eksternal seperti pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan dan pihak-pihak lainnya. Sebagian besar dari mereka masih kesulitan untuk mengajukan permohonan agar dapat bermitra dengan mereka. Dari sisi eksternal, pihak-pihak terkait seperti pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan masih sangat terbatas dalam melakukan kemitraan dengan keluarga dan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin tersebut. Meskipun demikian, sebagian besar dari keluarga miskin tersebut sangat berharap adanya kemitraan yang positif untuk dapat memajukan usaha keluarga ataupun usaha kelompoknya tersebut. Mereka sangat percaya bahwa dengan adanya kemitraan dengan pihak-pihak eksternal tersebut akan lebih meningkatkan usaha keluarga dan usaha kelompoknya. Dilihat dari indikator pengaruh kultural
terkait dengan adanya
pertentangan kegiatan usaha keluarga dan usaha kelompok dengan kebiasaan, keyakinan dan norma dalam masyarakat memperlihatkan bahwa persepsi responden baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tidak terdapat perbedaan yang nyata, kedua wilayah tersebut berada dalam kategori yang rendah. Artinya bahwa usaha yang dijalankan oleh kelompok selama ini tidak mengalami pertentangan dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Terkait dengan masalah ini, sebagian besar responden sudah mengetahui nilai-nilai, kebiasaan, dan keyakinan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, mereka sangat takut apabila usaha keluarga ataupun usaha kelompoknya tersebut bertentangan dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Mereka juga takut akan adanya sanksi yang akan mereka terima dari masyarakat. Adanya pertentangan tersebut dipersepsikan akan menghambat terhadap perkembangan usaha keluarga atau usaha kelompoknya tersebut. Dengan demikian kultur masyarakat memberikan pengaruh yang positif terhadap usaha keluarga dan usaha kelompok.
173
Pengaruh Keberdayaan Keluarga terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga Hasil analisis koefisien Regresi antara keberdayaan keluarga (Y1) terhadap tingkat kesejahteraan keluarga (Y2) disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Nilai Koefisien Regresi antara Keberdayaan Keluarga Miskin (Y1) terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Y2) Peubah Bebas
Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Y2)
Keberdayaan Keluarga (Y1)
0,47**
** Signifikan pada taraf nyata 1 %
Berdasarkan Tabel 51 menunjukkan bahwa keberdayaan keluarga (Y1) memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga (Y2) yaitu sebesar 0,47 artinya semakin tinggi tingkat keberdayaan keluarga yang ada pada keluarga miskin maka akan semakin meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Adanya pengaruh antara keberdayaan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada pada peubah keberdayaan keluarga antara lain: tingkat adaptasi, tingkat pencapaian tujuan keluarga, tingkat integrasi dan tingkat latensi dalam keluarga tersebut. Dilihat dari indikator tingkat adaptasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori yang rendah. Hal tersebut disebabkan tingginya biaya hidup di kota, sehingga banyaknya pendapatan keluarga yang diarahkan kepada kebutuhan konsumsi. Selain itu juga sebagian besar keluarga miskin memiliki motivasi yang rendah untuk memperbaiki diri. Bahkan sebagian besar keluarga memiliki kebiasaan yang negatif yaitu tingkat kepasrahan yang tinggi. Kondisi tersebut memiliki dampak yang kurang baik terhadap tingkat kesejahteraan keluarganya. Keluarga miskin tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak mampu memanfaatkan beberapa peluang yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan keluarganya. Dengan rendahnya kemampuan adaptasi keluarganya tersebut secara langsung berdampak terhadap kamampuan keluarga untuk meningkatkan kesejahterannnya.
174
Dilihat dari indikator tingkat pencapaian tujuan keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin memiliki kemampuan pencapaian tujuan keluarga yang rendah. Mereka tidak dapat memahami apa yang menjadi tujuan keluarganya
tersebut.
Sebagian
besar
keluarga
miskin
belum
mampu
memanfaatkan potensi yang dimiliki keluarga baik potensi fisik maupun non fisiknya. Pada sisi lain, keluarga miskin belum memiliki manajemen keluarga yang baik sehingga pengatutan keluarga dilihat dari pengaturan keuangan, sarana prasarana keluarga serta sumber daya lainnya masih sangat terbatas. Kondisi seperti ini mengakibatkan kemampuan keluarga untuk meningkatkan ekonominya menjadi tidak terpenuhi. Dilihat dari indikator tingkat integrasi menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kualitas interaksi dalam keluarga masih rendah. Pola dan substansi interaksi yang dibangun dalam keluarga tidak mampu membangun perilaku yang positif. Pada sisi lain masih terdapat nilai individualisme dan hedonism pada diri anggota keluarga miskin tersebut. Kondisi ini tentunya akan mengurangi kemampuan keluarga untuk memenuhi beberapa kebutuhan
penting
dalam
keluarganya
seperti
halnya kebutuhan
akan
pendidikan, kebutuhan akan kesehatan, kebutuhan rekreasi, bahkan kebutuhan yang berhubungan dengan kesinambungan usahanya. Dilihat dari indikator tingkat latensi dalam keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki tingkat latensi yang rendah. Dalam keluarga miskin tersebut tidak mampu mengembangkan
nilai-nilai persaingan,
kerjasama,
serta
nilai-nilai yang
berhubungan dengan kesadaran untuk maju. Nilai-nilai yang sifatnya pendidikan dalam keluarga tidak mampu dikembangkan. Kondisi seperti ini tentunya menunjukkan adanya tingkat keberdayaan keluarga yang sangat lemah. Dengan demikian, keluarga miskin tersebut tidak ada kemampuan untuk lebih meningkatkan kesejahterannya. Dalam keluarga miskin tersebut tidak memiliki nilai pembelajaran untuk menjadi lebih maju. Sebagian besar keluarga miskin sudah merasa sangat terbatas kemampuannya sehingga tingkat kesejahterannya manjadi terbatas pula.
175
Tingkat kesejahteraan keluarga pada dasarnya sangat membutuhkan adanya keberdayaan keluarga dalam hal kemampuan beradaptasi, kemampuan mencapai tujuan keluarga, kemampuan berintegrasi, dan tingkat latensi. Tingginya kemampuan-kemampuan tersebut memudahkan keluarga untuk mencari alternatif pemecahan terhadap masalah-masalah keluarga seperti halnya masalah ekonomi keluarga. Masalah ekonomi keluarga sebenarnya dapat diminimalisir apabila keluarga tersebut memiliki motivasi yang tinggi, nilai keterbukaan, nilai kejujuran, persaingan serta adanya keinginan untuk maju. Rendahnya
motivasi
untuk
memperbaiki
kehidupan
keluarga
mengakibatkan keluarga tersebut tidak memiliki kreatifitas serta tidak adanya inovasi yang tinggi untuk keluar dari kemelut kemiskinan keluarganya. Sedangkan nilai keterbukaan dalam keluarga sangat diperlukan untuk mampu beraptasi dengan nilai-nilai baru sehingga keluarga mampu mencari solusi terbaik dalam memecahkan masalah ekonomi keluarganya. Sedangkan nilai kejujuran akan membentuk pribadi keluarga untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang dilaksanakan. Ketika terdapat hal-hal yang negatif, dengan adanya keterbukaan dan kejujuran maka persoalan tersebut akan mampu diselesaikan secara baik dalam keluarga. Demikian juga dengan nilai kompetisi dalam keluarga. Adanya nilai kompetisi dan persaingan dalam keluarga akan semakin mendorong keluarga untuk selalu terpacu memperbaiki dirinya sendirinya. Kemudian, adanya keinginan untuk maju mendorong keluarga miskin tersebut untuk berubah menjadi lebih baik. Nilai-nilai tersebut sebenarnya yang menjadikan keluarga tersebut menjadi semakin berdaya dan tidak hanya mengandalkan ketergantungannya kepada pihak lainnya. Dengan demikian adanya keberdayaan keluarga tersebut akan lebih meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan hasil uji regresi antara semua peubah karakteristik individu, karakteristik kelompok, sumber daya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi
176
pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga menunjukkan bahwa peubah sumber daya keluarga memiliki pengaruh dan kontribusi yang paling besar terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,32. Sedangkan peubah yang memiliki pengaruh dan kontribusi terkecil terhadap keberdayaan keluarga adalah peubah karakteristik kelompok yaitu 0,13. Guna menjelaskan pengaruh langsung dan tak langsung peubah bebas terhadap keberdayaan keluarga, maka analisis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda ini dilakukan untuk lebih mengetahui dan menghasilkan pengaruh peubah-peubah bebas yang nyata antara lain karakteristik individu (X1), karakteristik kelompok (X2), sumber daya keluarga (X3), lingkungan sosial (X4), intervensi pemberdayaan (X5) terhadap peubah terikatnya yaitu keberdayaan keluarga (Y1). Koefisien jalur adalah nilai koefisien regresi yang distandarkan. Dalam hal ini besarnya koefisien jalur akan menginformasikan besarnya pengaruh langsung antara peubah bebas terhadap keberdayaan keluarga. Dalam melihat pengaruh langsung maupun tidak langsung peubah bebas terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi secara lebih jelas dilihat pada Gambar 4 serta penjelasannya pada Tabel 53.
Karakteristik Individu (X1) Pendidikan Formal (X1.1)
Pendidikan Non Formal (X1.2)
Usia (X1.3)
Jumlah Tanggungan keluarga(X1.4)
Karakteristik kelompok (X2)
0,12*
0,03
0,02
0,01
є=0,53
0,08
0,13* 0,32**
Sumber Daya Keluarga (X3)
0,50** 0,01
Keberdayaan keluarga (Y1)
0,47**
0,15*
0,58** 0,14*
є=0,03 Lingkungan Sosial (X4)
Intervensi pemberdayaan (X5)
є=0,36 Gambar 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga
Tingkat Kesejahteraan Keluarga(Y2)
177
Tabel 52. Nilai Pengaruh Peubah Karakteristik Individu (X1) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur Pengaruh Variabel X terhadap Y1 Tidak langsung melalui
Variabel X1 Pendidikan Formal (X1.1) Pendidikan Non Formal(X1.2) Usia (X1.3) Jumlah Tanggungan Keluarga (X4)
Karakteristik Kelompok (X2)
Langsung
Total Pengaruh
Lingkungan Sosial (X4)
Intervensi Pemberdayaan (X5)
0,12
-
-
-
0,12
0,02
-
-
-
0,02
0,01
-
-
-
0,01
0,08
-
-
-
0,08
*Nyata pada α = 0,05
** Sangat Nyata pada α = 0,01
Berdasarkan Tabel 52 menunjukkan bahwa beberapa indikator dalam peubah karakteristik individu (X1) hanya indikator pendidikan formal memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu 0,12, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga. Tabel 53. Nilai Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur Pengaruh Variabel X terhadap Y1 Tidak langsung melalui Variabel X Karakteristik Kelompok (X2) Sumber Daya Keluarga (X3) Lingkungan Sosial (X4) Intervensi Pemberdayaan (X5)
Total Pengaruh
Karakteristik Kelompok (X2)
Lingkungan Sosial (X4)
Intervensi Pemberdayaan (X5)
-
0,09
0,07
0,29
**
0,03
0,01
-
0,36
*
-
-
-
0,15
*
-
-
-
0,14
Langsung
0,32
0,15 0,14
*Nyata pada α = 0,05
** Sangat Nyata pada α = 0,01
Data dalam Tabel 53
menunjukkan bahwa karakteristik kelompok
memberikan pengaruh tidak langsung terhadap keberdayaan keluarga melalui lingkungan sosial sebesar 0,09 dan intervensi pemberdayaan yaitu sebesar 0,07. Sumber daya keluarga terbukti memberikan pengaruh secara langsung dan
178
nyata
terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,32. Sumber daya
keluarga
juga
memberikan
pengaruh
secara
tidak
langsung
terhadap
keberdayaan keluarga melalui karakteristik kelompok yaitu sebesar 0,03 dan lingkungan sosial yaitu sebesar 0,01. Lingkungan sosial terbukti memberikan pengaruh langsung dan nyata terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,15. Pada akhirnya intervensi pemberdayaan memberikan pengaruh langsung terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,14. Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 52 serta penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa dari beberapa peubah bebas yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga terbukti bahwa peubah sumber daya
keluarga
memberikan
sumbangan
pengaruh
terbesar
terhadap
keberdayaan keluarga dengan nilai pengaruh sebesar 0,32. Peubah karakteristik kelompok merupakan peubah yang memberikan sumbangan pengaruh terkecil terhadap keberdayaan keluarga dengan nilai pengaruh sebesar 0,13. Khusus dalam peubah karakteristik individu hanya indikator pendidikan formal yang memberikan memberikan sumbangan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga dengan nilai pengaruh sebesar 0,12, sedangkan indikator lainnya tidak memberikan kontribusi pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga. Beberapa peubah lainnya di luar dari peubah bebas yang tidak diteliti dalam penelitian ini memiliki nilai pengaruh sebesar 0,03. Peubah karakteristik individu tidak memberikan sumbangan pengaruh kepada keberdayaan keluarga secara kualitatif dapat dijelaskan bahwa karakteristik individu dipersepsikan oleh sebagian besar responden sebagai peubah yang tidak begitu penting dalam keluarga. Dalam keluarga miskin tertentu, beberapa indikator dalam karakteristik individu dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak penting, misalnya saja pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Kedua jenis pendidikan tersebut dianggap tidak menentukan terhadap keberhasilan keluarga. Hal ini juga berlaku bagi kalangan perempuan yang menganggap bahwa pendidikan bukan merupakan sesuatu yang penting dalam keluarga. Pendidikan dipersepsikan sebagai penunjang dalam keluarga. Keikutsertaan dalam pendidikan baik formal maupun non formal sampai saat ini tidak menjamin adanya tingkat keterampilan yang dimiliki oleh keluarga miskin. Pada akhirnya banyak anggota keluarga miskin yang sebagian besar hanya
179
berada pada pendidikan dasar dan menengah hanya bekerja pada pekerjaan kasar dan tidak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi. Indikator karakteristik individu lainnya yang dianggap tidak begitu dalam berpengaruh dalam keluarga adalah usia. Bagi keluarga miskin, usia tidak mencerminkan apakah keluarga tersebut mampu meningkatkan produktivitas keluarganya serta mampu meningkatkan taraf hidup keluarganya tersebut. Dalam beberapa kasus, menunjukkan bahwa sebagian dari responden yang sebenarnya termasuk dalam usia yang produktif yaitu diantara 36-50 ternyata produktivitas kerjanya rendah bahkan cenderung bermalas-malasan. Dengan demikian usia tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap keberdayaan keluarga. Khusus terkait dengan jumlah tanggungan keluarga dipersepsikan oleh sebagian besar responden merupakan faktor yang menentukan terhadap keluarga, mengingat bahwa faktor ini terkait dengan pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh keluarga. Jadi jumlah tanggungan keluarga merupakan beban yang harus dikeluarkan oleh keluarga. Kondisi tersebut tentunya berkaitan dengan masalah ekonomi yang ada dalam keluarga tersebut. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga, maka akan membebani terhadap ekonomi keluarga. Peubah karakteristik kelompok merupakan peubah yang memberikan kontribusi terkecil terhadap keberdayaan keluarga yaitu 0,13. Secara deskriptif menunjukkan bahwa karakteristik kelompok merupakan peubah yang penting dalam pengembangan usaha keluarga maupun usaha kelompok. Meskipun anggota keluarga terlibat dalam kegiatan kelompok, namun tidak semua memanfaatkan kelompok sebagai faktor yang menentukan keberdayaan keluarga. Terdapat beberapa keluarga miskin yang tidak memanfaatkan sebagai sarana pengembangan usaha keluarga. Bahkan sebagian dari mereka ada yang memiliki usaha keluarga sendiri di luar usaha kelompok. Kelompok hanya dijadikan sebagai media adaptasi, media komunikasi, media interaksi dengan keluarga dan anggota kelompok lainnya. Bagi keluarga yang menjadikan usaha kelompok sebagai satu-satunya usaha keluarga, menjadikan usaha kelompok sebagai gantungan hidup keluarga. Jadi karakteristik kelompok merupakan peubah yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga.
180
Peubah yang memberikan kontribusi pengaruh tertinggi terhadap keberdayaan keluarga adalah sumber daya keluarga yaitu sebesar 0,32. Dalam peubah sumber daya keluarga terdapat dua indikator yaitu sumber daya fisik dan sumber daya non fisik. Indikator sumber daya fisik seperti luas tanah, luas rumah, luas rumah dan letak rumah memberikan kontraibusi yang cukup besar bagi keberlangsungan usaha keluarga maupun usaha kelompok. Letak rumah ternyata sangat menentukan bagi keluarga untuk melangsungkan usahanya. Bagi rumah yang terletak pada posisi yang strategis ternyata mempermudah bagi keluarga dan kelompok untuk menjaga keberlangsungan usahanya. Sedangkan luas rumah, luas tanah dan luas kamar sangat menentukan terhadap kemampuan keluarga untuk menambah kuantitas usahanya. Khusus terkait dengan sumber daya non fisik seperti rasa saling percaya, intensitas komunikasi dalam keluarga, intensitas komunikasi dengan keluarga lain, tingkat keamanan psikis dan kesadaran keluarga terhadap pendidikan merupakan modal sosial yang sangat menentukan terhadap keberdayaan keluarga itu sendiri. Adanya kepercayaan, komunikasi, keamanan psikis, dan kesadaran terhadap pendidikan yang tinggi menjadikan keluarga semakin percaya diri untuk berusaha. Adanya dukungan yang kuat dari anggota keluarganya tersebut menjadikan usaha dalam keluarganya dijalankan dengan tertib dan tenang. Di dalam keluarga sudah mampu meminimalisir konflik serta adanya saling percaya yang tinggi. Kondisi tersebut menjadikan keluarga semakin berdaya untuk melakukan usaha dan kegiatan lainnya.
Program Pemberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan Program pemberdayaan keluarga miskin di perkotaan khususnya yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sebagian besar dilakukan oleh pemerintah daerah/kota. Pemerintah daerah atau pemerintah kota selama ini merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mampu mengentaskan kemiskinan. Melalui program-program pemberdayaan yang diinisiasi oleh pemerintah daerah/kota diharapkan mampu meminimalisir kemiskinan keluarga. Pihak lainnya seperti halnya pihak swasta, NGO, lembaga pendidikan tinggi masih sangat terbatas untuk melakukan program pemberdayaan terhadap
181
keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi. Sebagian besar dari mereka justru lebih banyak berpartisipasi sebagai mitra pemerintah daerah/kota dalam melakukan program pemberdayaan keluarga miskin. Inisiasi kegiatan pemberdayaan oleh pihak-pihak di luar pemerintah daerah/kota masih sangat terbatas. Program Pemberdayaan Keluarga Miskin di Kota Jakarta Utara Kota Jakarta Utara merupakan kota yang heterogen dan membutuhkan dukungan semua pihak, etnis, suku bangsa, dan berbagai elemen yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk turut aktif mewujudkan Jakarta Utara yang nyaman dan sejahtera. Pemerintah Kota Jakarta Utara dalam melakukan kebijakan pemberdayaan keluarga miskin lebih banyak mengacu kepada kebijakan program pemberdayaan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta telah menjalankan beberapa kebijakan yang berdasarkan pro job, pro poor, dan pro growth. Beberapa program pemberdayaan keluarga miskin yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Utara antara lain: (1) Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPKGakin). Data menunjukkan bahwa Pada 2006 dana yang dianggarkan untuk Jaring Pengaman Kesehatan (JPK) Keluarga Miskin (Gakin) senilai Rp200 miliar untuk 565.982 jiwa, 116 panti sosial dan 35 rumah singgah dan bekerjasama dengan 80 rumah sakit. Sementara untuk Asuransi Kesehatan warga Miskin (Askeskin) dialokasikan bagi 818.000 jiwa dengan anggaran dari pemerintah pusat. (2) Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Dalam bidang program pemberdayaan masyarakat kelurahan (PPMK), Pemprov DKI Jakarta juga telah mengalokasikan dana sebesar Rp 16,74 miliar terdiri atas Rp 8,38 miliar untuk bina fisik dan Rp 8,38 untuk bina sosial. Dan sudah dibagikan kepada masyarakat melalui dewan kelurahan (Dekel) di 56 kelurahan. Sedangkan pemanfaatannya, dana bina fisik dan sosial masih dikelola langsung oleh Dewan Kelurahan, namun untuk bina ekonomi dikelola oleh lembaga keuangan mikro (LKM) yang berbadan hukum koperasi.
182
(3) Program bantuan yang diberikan oleh BAZIS Provinsi DKI Jakarta terhadap keluarga miskin (Gakin). BAZIS Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan senilai 20 juta rupiah untuk pembangunan Gedung Rawat Inap GAKIN di Rumah SAKIT Islam Jakarta Sukapura, Jl. Tipar Cakung No. 5 Sukapura Jakarta Utara. Gedung rawat inap ini berdiri di atas tanah seluas 860 m2 dengan bangunan 2 lantai terdiri dari 8 kamar @ 6 tempat tidur. (4) Program OPK (Operasi Pasar Khusus) yakni bantuan pangan yang dioperasionalkan sejak tahun 1998 sebagai bagian dari program JPS dalam rangka meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada tahun 2001, dengan tujuan untuk mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin) serta beberapa program pemberdayaan lainnya.
Program Pemberdayaan Keluarga Miskin di Kota Bekasi Beberapa program pemberdayaan keluarga miskin yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi antara lain: (1) Program pembentukan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, belum lama ini meresmikan berdirinya 8 pos pemberdayaan keluarga (posdaya) yang tersebar di 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Sebelumnya pada tahap awal Pemkot Bekasi baru membentuk 68 posdaya yang dilakukan di setiap kecamatan satu posdaya dan setiap kelurahan
satu
posdaya
yang
diharapkan
mampu
meningkatkan
kesejahteraan keluarga miskin di Kota Bekasi yang berpenduduk sekitar 2 juta jiwa itu kini memiliki sekitar 400 ribu jiwa penduduk miskin. Setiap posdaya memiliki 100 KK keluarga miskin sebagai anggota, anggota terbuka bagi penduduk miskin asli dari Bekasi dan pendatang yang menetap di kota Bekasi. Pemkot Bekasi menargetkan hingga 2013 akan terbentuk 500 posdaya. (2) Program Sagu Hemat Seribu yaitu program pemberdayaan berupa gerakan yang dilakukan Pemerintah Kota Bekasi dalam mengentaskan kemiskinan. Terinspirasi
dari
rasa
keprihatinan
masyarakat
terhadap
sulitnya
memperoleh pinjaman uang dari perbankan, di mana perbankan sering kali
183
hanya memberikan pinjaman kepada masyarakat kelas menengah ke atas. Untuk kemudahan para masyarakat pemerintah Kota Bekasi membuat gerakan yang dinamakan Sagu Hemat Seribu. Program ini bertujuan memasyarakatkan menabung khususnya bagi warga kelas menengah ke bawah yaitu dengan menyisihkan seribu rupiah untuk ditabung. Tujuan berikutnya yaitu dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi keluarga miskin di Kota Bekasi. Sebagai catatan, jumlah keluarga miskin di Kota Bekasi kurang lebih mencapai 200.000 KK. (3) PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
dilaksanakan melalui harmonisasi dan
masyarakat.
PNPM
Mandiri
pengembangan sistem serta
mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. (4) Program Peningkatan Peran Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS)
merupakan
program
pemberdayaan
khususnya
kaum
perempuan yang bertujuan untuk membentuk jiwa kemandirian kaum perempuan, di antaranya memanfaatkan potensi yang ada kemudian menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis. (5) Program KUBE yaitu program penanganan masalah kemiskinan yang dilakukan melalui pemberian modal barang dan usaha di antaranya melalui Program Kelompok Usaha Bersama. Setiap kelompok akan memperoleh dana bantuan Rp. 10 Juta hingga Rp. 12 Juta. Mengenai jenis kelompok usaha yang diberikan dana bantuan yakni karang taruna, penyandang cacat dan lanjut usia (lansia) yang masih dinilai potensial dalam meningkatkan taraf hidupnya, serta beberapa program pemberdayaan masyarakat miskin lainnya.
Penilaian terhadap Program Pemberdayaan Keluarga Miskin Perkotaan Beberapa program pemberdayaan terhadap keluarga miskin sudah banyak dilakukan oleh beberapa pihak terkait khususnya yang dilakukan oleh
184
Pemerintah Kota Jakarta Utara dan Pemerintah Kota Bekasi. Namun, dalam beberapa kesempatan program pemberdayaan belum mampu mengentaskan keluarga miskin yang jumlahnya masih sangat tinggi tersebut. Salah satu kelemahan yang perlu untuk menjadi perhatian dari beberapa pihak terkait terhadap keberadaan keluarga miskin tersebut adalah proses pndampingan dan pembinaan keluarga miskin sampai benar-benar terbebas dari kemiskinan. Dalam konteks ini, proses pendampingan menjadi solusi yang harus berlangsung terus menerus sampai keluarga miskin tersebut menemukan aktivitas usaha keluarga baik yang dilakukan secara mandiri maupun secara kelompok yang mampu menjadi penopang hidup keluarga. Dalam beberapa kesempatan peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa keluarga miskin yang melakukan usaha, ditemukan bahwa terdapat kelemahan bagi keluarga terutama keluarga yang pernah gagal menjalankan usaha keluarga, maka mereka tidak mau mencari solusi penyebab kegagalan dalam usahanya tersebut. Artinya rendahnya motivasi keluarga untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam berusaha menjadi persioalan yang sangat serius. Dalam proses pendampingan yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait perlu selalu dilakukan proses pemecahan masalah serta peningkatan motivasi keluarga untuk termotivasi memperbaiki usaha yang mereka jalankan sambil terus meningkatkan keterampilan dalam berusaha sehingga mereka berada dalam usaha yang benar-benar produktif bagi keluarga. Produktif bagi keluarganya tersebut tidak saja berkaitan dengan adanya penghasilan ekonomi yang dapat ia berikan kepada keluarganya, namun pada sisi lain keluarga mampu menanamkan nilai-nilai positif dalam keluarga, sehingga keluarga miskin tersebut mampu berubah menjadi lebih baik. Departemen Sosial (2009) membagi kategori keluarga miskin dengan tiga klaster : (1) Klaster pertama adalah fakir, kondisi tersebut mendapatkan hibah misalnya saja Program Bantuan Langsung Tunai (BLT); (2) Klaster kedua adalah miskin, yang kemudian diberikan hibah bersyarat yaitu mereka harus berkelompok menjadi KUBE; dan (3) Klaster ketiga adalah hampir miskin yang diberikan penjaminan. Melalui kegiatan pendampingan yang dilakukan secara terus menerus dimungkinkan akan mengangkat kondisi kemiskinan, misalnya saja
bagaimana
meningkatkan
kondisi fakir
menjadi
miskin,
kemudian
185
menjadikan miskin menjadi hampir miskin bahkan menjadi sejahtera dan berkecukupan.
Peran Penyuluhan dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan Mengacu kepada pendapat Van den Ban dan Hawkins (1999:25) bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Dikaitkan dengan upaya meningkatkan taraf hidup keluarga miskin di perkotaan, penyuluhan lebih menekankan kepada proses untuk membantu keluarga miskin dalam mengambil keputusan dari berbagai alternatif pemecahan masalah. Dengan demikian, terdapat kesadaran dari keluarga miskin tersebut terhadap masalah kemiskinan yang dihadapi dan bagaimana memanfaatkan peluang yang ada pada situasisituasi di mana keluarga miskin tersebut memiliki hak untuk membuat keputusankeputusan optimal yang sesuai dengan tujuan serta kondisi masing-masing. Optimalisasi pengambilan keputusan tersebut perlu dibantu dan didampingi oleh pihak-pihak yang berkompeten (agen penyuluhan) apakah itu pihak pemerintah, pihak swasta, NGO, dan perguruan tinggi untuk mengarahkan agar keluarga miskin tersebut mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang diinginkan. Berdasarkan fakta penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan keluarga miskin di perkotaan khususnya di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kondisi yang rendah. Hal ini menyebabkan tingkat kesejahteraan keluarga mereka juga menjadi rendah. Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di perkotaan tersebut ternyata dipengaruhi oleh rendahnya karakteristik individu, kedinamisan kelompok dalam ketegori sedang, rendahnya dukungan sumber daya keluarga, rendahnya kondisi lingkungan sosial, serta dipengaruhi oleh rendahnya intervensi pemberdayaan yang dilakukan terhadap keluarga miskin di perkotaan tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya pengubahan perilaku keluarga miskin di perkotaan tersebut merupakan tugas yang harus dilakukan
186
oleh penyuluh agar keberdayaan keluarga menjadi lebih baik sehingga mendukung terhadap semakin tingginya tingkat kesejahteraan keluarganya. Mengadopsi pendapat Van den Ban dan Hawkins (1999), maka peran penyuluhan secara sistematis sebagai proses untuk memberdayakan keluarga miskin di perkotaan antara lain: (1) Membantu keluarga miskin menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan. Dalam hal ini pihak keluarga miskin diberikan pemahaman untuk menyadari persoalan-persoalan penting yang perlu untuk segera dipecahkan serta membantu mereka mendefinisikan persoalan-persoalan tersebut sejelas dan seakurat mungkin. Sebagai contoh persoalan penting yang perlu disadari oleh keluarga miskin tersebut antara lain: rendahnya karakteristik individu dari tiap-tiap anggota keluarga dan rendahnya sumber daya keluarga yang dimiliki oleh keluarga miskin di perkotaan. (2) Membantu keluarga miskin menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut. Dalam hal ini pihak agen penyuluhan membantu keluarga miskin untuk menganalisis berbagai pemecahan masalah yang mungkin diambil beserta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya. Untuk itu, keluarga miskin perlu mengetahui siapa yang memberikan informasi mengenai penyebab masalah dan akibatnya. Masalah-masalah yang kemungkinan memberikan akibat terhadap keluarga miskin tersebut misalnya saja yang terkait dengan lingkungan sosial, baik yang terjadi dengan sendirinya sebagai proses interaksi sosial ataupun masalah yang ditimbulkan dengan sengaja sebagai dampak dari kebijakan pemerintah atau pihak-pihak eksternal lainnya. (3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga miskin tersebut. Dalam kontek ini lebih terkait dengan intervensi pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, mulai dari proses pemberdayaan yang baik, pemberian kewenangan dalam pemberdayaan, serta kegiatan fasilitasi pemberdayaan yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.
187
(4) Membantu keluarga miskin dalam memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya
sehingga
mereka
mempunyai
berbagai
alternatif.
Pengetahuan khusus yang selama ini diinginkan oleh keluarga miskin antara lain: pengetahuan akan alternatif usaha, keterampilan berusaha, akses permodalan, jaringan usaha, serta pasar untuk mendistribusikan hasil usaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarganya. (5) Membantu keluarga miskin memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal. Adanya potensi yang dimiliki oleh keluarga miskin tersebut perlu diarahkan untuk lebih mengoptimalkan perannya, misalnya adanya keeratan hubungan sosial di antara mereka dapat diarahkan untuk membuat kelompok usaha secara bersama dengan membekali kemampuan mengelola kelompok secara baik dan lebih professional. (6) Meningkatkan motivasi keluarga miskin untuk menerapkan pilihannya. Keluarga miskin di perkotaan diarahkan untuk tidak terlalu pasrah terhadap kondisi yang selama ini melekat dalam dirinya seperti rendahnya pendidikan, budaya malas, budaya tidak mau maju dan sebagainya. Adanya motivasi yang kuat dalam dirinya akan merubah perilaku keluarga menjadi lebih produktif. (7) Membantu
keluarga
miskin
untuk
mengevaluasi
dan
meningkatkan
keterampilan dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Setiap keluarga diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang tepat dalam berusaha. Namun demikian setiap keputusan yang diambil tersebut perlu terus menerus untuk dievaluasi dengan maksud agar target-target perbaikan dari usaha keluarga tersebut dapat tercapai dengan baik. Sebagai sebuah kegiatan penyuluhan yang dilakukan secara sistematis, maka semua aktivitas penyuluhan tersebut memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Masing kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan penuh komitmen dan tanggung jawab yang besar untuk memberdayakan keluarga miskin di perkotaan. Hal yang terpenting juga adalah bahwa keluarga miskin, kelompok usaha, agen penyuluhan (pihak-pihak yang terkait) harus saling bersinergi untuk saling melengkapi agar keberdayaan keluarga miskin di perkotaan benar-benar
188
berdaya. Dengan sendirinya keberdayaan keluarga akan meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarga dan masyarakat sesuai dengan tujuan dari penyuluhan itu sendiri.
Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan Keluarga Miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi Pemberdayaan keluarga pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistemik, terarah, dan terencana agar keluarga memiliki kemampuan dalam pemenuhan dan mengatasi masalah-masalah kebutuhan pokok keluarga, mampu membangun interaksi dengan lingkungan internal keluarga
(yang tercermin lewat komunikasi yang positif, menjaga komitmen
keluarga) dan interaksi dengan lingkungan di luar keluarga yang di dasari nilainilai agama yang dianut, memiliki motivasi untuk memperbaiki keluarga yang ditandai kemampuan mengatasi emosi dan didukung oleh kualitas spiritual keluarga (Sinaga, 2007). Intervensi pemberdayaan keluarga miskin adalah proses pelaksanaan program pemberdayaan yang dilakukan secara berkelompok oleh lembagalembaga formal, baik pihak pemerintah, swasta, NGO (Non Government Organization/LSM),
perguruan
tinggi
dengan
tujuan
untuk
mengubah
pengetahuan, sikap dan keterampilan anggota keluarga miskin sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga. Proses intervensi yang dilakukan oleh pihak luar dapat dilakukan
melalui beberapa indikator
antara lain: proses pemberdayaan, kewenangan dalam pemberdayaan dan kegiatan fasilitasi. Aspek-aspek kelompok yang perlu diperbaiki dalam kegiatan interensi
pemberdayaan
tersebut
antara
lain
kepemimpinan
kelompok,
kedinamisan kelompok dan intensitas komunikasi antar kelompok. Aspek-aspek kelompok di atas diharapkan mampu menciptakan keberdayaan kelompok, khususnya kelompok-kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin yang pada akhirnya mampu meningkatkan keberdayaan keluarga tersebut. Selama ini usaha-usaha pemberdayaan keluarga miskin tersebut ternyata belum secara optimal mengubah perilaku keluarga untuk meningkatkan
189
keberdayaan keluarga, melainkan justru memunculkan ketergantungan. Keluarga miskin selama ini sangat bergantung kepada uluran tangan pihak luar agar keluar dari jurang kemiskinan yang mereka hadapi selama ini. Program pemberdayaan yang selama ini dilakukan cenderung berorientasi kepada proyek, tidak berkelanjutan dan pada tingkat implementasi di lapangan menjadi lemah karena tidak didukung oleh pelaksana yang memahami substansi pemberdayaan itu sendiri. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin tersebut tidak memiliki keahlian di bidang penyuluhan, sehingga pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan yang sifatnya senteralistik dan
top
down.
Pada
kasus-kasus
tertentu justru
hasil dari kegiatan
pemberdayaan tersebut sudah ditentukan sebelumnya. Hal yang paling memprihatinkan dari kegiatan pemberdayaan keluarga miskin tersebut adalah penekanannya kepada hasil. Padahal kita tahu bahwa penekanan yang sering dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan adalah kepada proses. Ketika proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan benar, pada akhirnya hasilnya akan menjadi baik. Dalam
pembahasan
lebih
lanjut
terkait
implementasi
program
pemberdayaan kelompok ini, peneliti mengutip pendapat Asngari (2007) bahwa program pemberdayaan merupakan pernyataan tertulis mengenai keadaan atau situasi, masalah, tujuan dan cara pelaksanaannya. Dalam membahas tentang implementasi program pemberdayaan kelompok di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi lebih lanjut akan menggunakan pendekatan sesuai dengan konsep program pemberdayaan. Korten dalam Sinaga (2007) menyatakan bahwa perencanaan program pemberdayaan yang efektif tidak bisa dilakukan oleh sebagian orang, tetapi haruslah melalui partisipasi masyarakat. Pada sisi lain juga dipahami bahwa perbaikan yang berkelanjutan dapat berhasil apabila program pemberdayaan yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan keluarga dan kesejahterannya. Berdasarkan pandangan ini maka ketika akan memulai sebuah program pemberdayaan harus dimulai dari bawah (bottom up planning). Sebagai subyek pemberdayaan, keluarga merencanakan kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya berdasarkan potensi di dalam keluarga maupun dari lingkungan
190
sekitarnya. Dalam tahap perencanaan dibutuykan partisipasi masyarakat, sesuai dengan pendapat van den Ban (Sinaga,2007), yang menyatakan beberapa alasan yang mendasari perlunya partisipasi masyarakat yaitu: (1) Masyarakat memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman dengan struktur sosial masyarakat, (2) masyarakat akan lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam program pemberdayaan jika ikut bertanggungjawab di dalamnya, dan (3) pada masyarakat yang demokratis, mereka berhak terlibat dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai. Dalam konteks strategi pemberdayaan keluarga miskin, maka keluarga dapat
berpartisipasi
dalam
melakukan
perencanaan
dengan
tahapan:
(1) melakukan analisis situasi ; (2) menemukan masalah dan merumuskan masalah yang dihadapi, (3) menetapkan tujuan program yang akan dicapai; dan (4) menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Terkait dengan model hasil pengujian yang menunjukkan bahwa peubah sumber daya keluarga memiliki kontribusi yang paling besar terhadap keberdayaan
keluarga.
Pada
sisi
lain,
peubah
karakteristik
kelompok
memberikan kontribusi terkecil terhadap keberdayaan keluarga. Dengan kondisi tersebut, strategi peningkatan keberdayaan keluarga perlu dilakukan strategi program pemberdayaan keluarga yaitu implementasi program pemberdayaan keluarga yang berbasis pengembangan sumber daya keluarga. Program tersebut merupakan usaha terencana yang dapat dilakukan secara mandiri khususnya dari tiap-tiap keluarga dalam rangka mengembangkan sumber daya keluarga melalui melalui kegiatan terencana dan terprogram. Pengembangan sumber daya keluarga memerlukan komitmen yang sangat tinggi dan jangka waktu yang panjang. Proses pengembangan itu merupakan proses pemberdayaan yang sangat sulit, harus dilakukan secara bertahap dan diikuti oleh semua yang terlibat, terutama para anggota keluarga yang
menjadi
sasaran
pengembangan,
tanpa
bisa
diwakilkan.
Karena
keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yang relatif rendah, maka pemberdayaan sumber daya keluarga tersebut itu dilakukan
191
dengan pertama-tama, atau minimal sekaligus, memberdayakan keluarga sebagai lembaga yang pertama dan utama dari setiap insan anggotanya sebagai pelaku, baik sumber daya fisik keluarga maupun sumber daya non fisik yang ada pada keluarga tersebut. Dalam proses pengembangan sumber daya keluarganya, maka keluarga akan memegang peranan yang sangat menentukan. Pengembangan sumber daya
keluarga
itu
di dalamnya
terdapat upaya
pengembangan SDM,
pengembangan lingkungan dan suasana yang ada di sekitar keluarga atau individu yang bersangkutan, karena apabila lingkungan tidak dikembangkan dengan sebaik-baiknya pasti tidak ada keseimbangan yang serasi dan saling menguntungkan.
Di samping
itu, agar setiap anggota
keluarga
dapat
berpartisipasi, ikut serta mengambil peran secara aktif, dalam proses pengembangan sumber daya keluarga, maka proses pengembangan tersebut harus dapat dilakukan secara bertahap, berkesinambungan, konsisten dan dapat diikuti oleh anggota keluarga yang mendapatkan pemberdayaan. Tahapan itu hendaknya disesuaikan dengan tahapan pengembangan yang ada sehingga hasil pemberdayaannya dapat diikutsertakan secara langsung dalam program pemberdayaan keluarga secara umum. Pengembangan sumber daya keluarga merupakan aktivitas terencana yang diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai dan mencapai kepuasan yang diinginkan. Pengembangan dalam hal ini dipandang sebagai proses interaksi perilaku untuk mencapai tujuan melalui penggunaan praktis dari sumber-sumber yang ada. Lebih lanjut, pengembangan sumber daya keluarga merupakan proses perilaku yang mengenali aksi dan reaksi seseorang dalam situasi kehidupan ketika mereka menemukan dan menggunakan sumber-sumber keluarga untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Hal ini terdiri dari proses perilaku yang dialami oleh individu ketika mereka mengidentifikasi dan menghadapi masalah dalam menetapkan tujuan, menggunakan nilai dan norma, mengidentifikasi peran, mengatasi konflik, dan menentukan garis kekuasaan dalam keluarga dan mempengaruhi pola di luar keluarga dan berkomunikasi dengan orang lain dalam rangka menyelesaikan masalah dalam situasi tertentu. Manajemen atau pengelolaan
juga
merupakan
proses
interaksi.
Pengambilan
keputusan,
192
pembagian tugas, sosialisasi, identitas peran, dan harmonisasi konflik juga membutuhkan interaksi dengan individu lain. Untuk mengambil keputusan yang tepat anggota keluarga harus berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain bahkan bila perlu berinteraksi dengan anggota masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk kehidupan yang harmonisasi dan mengembangkan perubahan yang konstruktif. Pada tahapan awal keluarga diharapkan mampu mengidentifikasi segala jenis sumber daya keluarga, baik fisik maupun non fisik, baik bergerak maupun tidak bergerak. Di samping itu juga, keluarga diharapkan agar merencanakan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya keluarga dalam waktu tertentu. Misalnya saja menambah jumlah fisik keluarga mulai dari luas rumah, luas kamar, luas tanah dan mencari tempat yang strategis bagi rumah keluarga. Pada umber daya non fisik, keluarga diharapkan untuk membuat kegiatan-kegiatan bersama yang mendukung peningkatan keluarga. Selanjutnya, setiap anggota keluarga diberikan tugas untuk memelihara, menjaga serta memperbaiki sumber daya fisik dan non fisik untuk meningkatkan kualitas sumber daya. Anggota keluarga diharapkan untuk meningkatkan kualitas komunikasi khususnya dengan anggota keluarga maupun juga dengan keluarga lainnya. Selanjutnya, anggota keluarga diharapkan untuk selalu melakukan kerja sama secara intensif dalam menjalankan kegiatan keluarga. Sikap egois dan individualis yang terjadi dalam keluarga, hendaknya perlu diminimalisir bahkan kalau perlu dihilangkan dari keluarga. Kemampuan kerja sama diantara anggota keluarga akan semakin memperkuat bahkan menambah sumber daya keluarga. Pada akhirnya setiap anggota keluarga selalu menilai dan mengevaluasi setiap kondisi keluarga baik secara fisik maupun non fisik. Ketika pada elemen tertentu terdapat hambatan-hambatan, maka dengan sesegera mungkin dilakukan perbaikan-perbaikan. Terdapat beberapa aspek yang terkait di dalam mengembangkan
sumber
daya
keluarga
miskin.
Secara
lebih
konkrit,
implementasi program pengembangan keluarga dapat dilihat pada Gambar 5.
193
INPUT: Rendahnya Keberdayaan Keluarga
PROCESS: Intervensi Pemberdayaan Keluarga
OUTPUT: Keberdayaan Keluarga
OUTCOMES: Kesejahteraan Keluarga Meningkat
Pengembangan Sumber Daya Keluarga
FAKTOR-FAKTOR: • Karakteristik Individu • Lingkungan Sosial
Pemberdayaan Kelompok
Intervensi Pemberdayaan
FEEDBACK
Gambar 5: implementasi program Pemberdayaan Berbasis Pengembangan Sumber Daya keluarga
Berdasarkan Gambar 5 dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Pada TAHAP INPUT, meningkatnya keluarga miskin pada saat ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: rendahnya karakteristik individu yang di dalamnya terdapat pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluarga yang semuanya dalam kualitas yang rendah, dan tidak kondusifnya lingkungan sosial
yang ada di sekitar
keluarga miskin di perkotaan dilihat dari tingginya dampak negatif kebijakan pemerintah. Keluarga miskin perkotaan juga tidak mampu meningkatkan sumber daya ekonomi dan sumber daya sosialnya,
serta rendahnya
pemanfaatan media massa, jaringan usaha, dan peluang kemitraan. (b) Pada TAHAP PROCESS, bahwa melalui intervensi pemberdayaan keluarga khususnya yang menekankan kepada pengembangan sumber daya keluarga
akan
menciptakan
keberdayaan
keluarga
lebih
tinggi.
Pengembangan sumber daya keluarga meliputi kegiatan mengidentifikasi, memelihara dan menilai sumber daya yang terdiri dari sumber daya fisik dan non fisik. Pengembangan kelompok dan peningkatan intensitas dalam intervensi pemberdayaan merupakan kegiatan yang akan mendukung
194
keberhasilan dalam pengembangan sumber daya keluarga miskin di perkotaan. Melalui kegiatan pengembangan kelompok dan kegiatan intervensi pemberdayaan, maka setiap anggota keluarga akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sumber daya keluarga. Artinya kegiatan kelompok yang terdiri dari kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok, dan intensitas komunikasi kelompok memberikan pembelajaran kepada keluarga untuk tahu, mau dan mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya keluarga yang dimiliki. Selama ini tingkat kepedulian anggota keluarga miskin perkotaan terhadap sumber daya yang ada dalam keluarga tergolong sangat rendah. Rendahnya sumber daya keluarga dipersepsikan sebagai sebuah kondisi yang tidak dapat diperbaiki. Adanya kepedulian anggota keluarga terhadap sumber daya keluarga akan memudahkan keluarga menjadi lebih berdaya. Keberadaan kelompok akan mendorong keluarga untuk lebih pedulo terhadap sumber daya keluarganya. Sedangkan Intervensi pemberdayaan akan memberikan keterampilan bagi anggota keluarga di dalam memanfaatkan sumber daya keluarganya. (c) Pada TAHAP OUTPUT, merupakan hasil yang akan dicapai dengan adanya kegiatan intervensi pemberdayaan keluarga miskin melalui pengembangan sumber daya keluarga miskin yaitu adanya keberdayaan keluarga yang ditandai dengan tingkat adaptasi keluarga yang tinggi, tingkat pencapaian tujuan keluarga menjadi terarah, tingkat integrasi keluarga menjadi semakin tinggi, serta terbentuknya nilai-nilai positif dan maju dalam keluarga yang terkondisikan dalam nilai-nilai laten dalam keluarga. (d) Pada TAHAP OUTCOMES, adanya peningkatan keberdayaan keluarga miskin di atas pada akhirnya berdampak secara langsung terhadap semakin tingginya tingkat kesejahteraan keluarga miskin (better living) yang ditandai dengan: semakin tingginya tingkat pendapatan keluarga, terpenuhinya kebutuhan dasar, terpenuhinya kebutuhan sekuder, terpenuhinya kebutuhan tertier, serta yang tidak kalah pentingnya adalah adanya ketepatan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Terciptanya kondisi kesejahteraan bagi keluarga miskin tersebut secara akumulatif diharapkan akan berdampak kepada terciptanya kondisi masyarakat yang lebih baik (better society). Kondisi Better Society inilah yang diharapkan dapat tercapai melalui implementasi pemberdayaan kelompok. Pada akhirnya pada tahapan feed
195
back, bahwa better society inilah yang merupakan bentuk jawaban terhadap pemecahan terhadap keluarga miskin yang semakin meningkat tersebut. Implementasi program pemberdayaan keluarga khususnya terhadap keluarga miskin sangat diperlukan untuk mencapai tingkat keberdayaan, yang dilakukan keluarga melalui kegiatan perencanaan program pemberdayaan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (a) ANALISIS SITUASI. Pada tahapan ini yang dilakukan adalah melakukan pengamatan, observasi, pengumpulan data (faktual dan potensial) serta melakukan analisis situasi yang terkait dengan kondisi keluarga miskin tersebut. (b) MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan bersama dengan keluarga miskin merumuskan masalah yang jelas pada keluarga miskin dengan maksud untuk menentukan real needs atau dengan kata lain dapat merubah felt needs menjadi real needs. (c) MENENTUKAN TUJUAN PROGRAM. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan harus mampu melakukan identifikasi dan perumusan program pemberdayaan yang jelas tentang: “Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari kegiatan pemberdayaan kelompok yang akan dilakukan terhadap keluarga miskin tersebut. (d) MENENTUKAN CARA/PROGRAM. Setelah pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan tersebut menentukan tujuan dari kegiatan pemberdayaan kelompok secara jelas, maka pada tahap ini diperlukan untuk merancang dan mengimplementasikan programnya tersebut.
Apabila semua tahapan di atas dapat dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan bukan tidak mungkin apabila keluarga miskin di perkotaan mampu melakukan perubahan dan perbaikan yang optimal. Aspek sumber daya keluarga miskin merupakan salah satu faktor yang sangat kuat untuk meningkatkan keberdayaan keluarga. Sumber daya keluarga merupakan modal utama yang memungkinkan keluarga miskin menjadi lebih sejahtera. Guna mengimplementasikan program pemberdayaan keluarga khususnya pengembangan sumber daya keluarga melalui pendekatan kelompok bagi
196
keluarga miskin secara lebih mendetail dapat dilakukan beberapa kegiatan penyuluhan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.
Tabel 54. Perencanaan Program Pemberdayaan Keluarga Miskin Kegiatan
Sasaran
Materi Penyuluhan
Penyuluhan Analisis Situasi
Keluarga
dan
pimpinan
• Mengetahui dan memahami real needs kelompok dan keluarga • Mengetahui dan memahami potensi yang
krlompok
ada pada masing-masing keluarga dan kelompok Menentukan Masalah
Keluarga, anggota dan
kelompok
dan
• Meningkatkan
kemampuan
dan
keterampilan keluarga miskin dan kelompok
Perumusan
pimpinan
dalam
Masalah
kelompok.
memanfaatkan sumber dan potensi keluarga
mengidentifikasi,
mengolah
dan
dan kelompok. • Meningkatkan kemampuan para keluarga miskin dan kelompok dalam membangun net working (jaringan kerja) • Memberi bekal bagi keluarga dan kelompok untuk mendekatkan akses terhadap modal usaha dan informasi • Meningkatkan
kemampuan
untuk
membangun kemitraan usaha Menentukan
Keluarga, anggota
Tujuan
kelompok
Program
Pemberdayaan
pimpinan kelompok.
dan
• Meningkatkan produktivitas keluarga miskin sebagai
anggota
kelompok
serta
mendapatkan jenis pekerjaan yang layak • Mengubah etos kerja (perilaku) bekerja yang lebih baik • Memberi untuk
pemahaman
mengenai
mengembangkan
jenis
usaha usaha
bersama kelompok, mencari peluang usaha serta mendistribusikan hasil dari usaha kelompok tersebut. • Membangun
soliditas
kelompok
dalam
197
Tabel 54 (lanjutan) menetapkan jenis pekerjaan dan usaha yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
anggota
kelompok
dan
keluarganya masing-masing • Meningkatkan menentukan
kemampuan beberapa
untuk
alternatif
usaha,
mampu mengambil keputusan terbaik dari beberapa
alternative,
serta
mempu
menjalankan jenis usaha secara baik dan benar. • Memberikan
Menentukan
Keluarga, anggota
Cara/Program
kelompok
Pemberdayaan
pimpinan
keluarga miskin dan anggota kelompok
kelompok.
untuk terlibat secara sungguh-sunggu dalam
dan
pengertian,
meningkatkan
kesadaran, motivasi dan kemauan para
program pemberdayaan • Melakukan orientasi dan observasi untuk mengumpulkan lapangan
data
mengenai
melalui
kunjungan
kehidupan
budaya,
adaptasi kebiasaan, potensi dan sumber daya, akses ekonomi, sarana prasarana dan sebagainya. • Mengidentifikasi dan menyeleksi anggota kelompok usaha untuk menjadi pribadi dan pekerja yang baik dan benar • Meningkatkan pemahaman keluarga miskin dan anggota kelompok terhadap masalahmasalah
yang
berhubungan
dengan
kehidupan sosial kaitannya dengan program pemberdayaan kelompok.
Tabel 54 menunjukkan bahwa dalam kegiatan perencanaan program pemberdayaan kelompok pada keluarga miskin lebih menekankan kepada kebutuhan riil dari keluarga miskin tersebut. Adanya ketepatan dalam menentukan kebutuhan riil keluarga miskin tersebut memudahkan perencanaan tersebut dapat diimplementasikan. Selanjutnya, tiap-tiap keluarga miskin tersebut perlu memiliki kemampuan di dalam merencanakan program pemberdayaan
198
tersebut sesuai dengan kebutuhan riil yang telah ditentukan. Keberadaan kelompok
semakin
memudahkan
bagi tiap-tiap
keluarga untuk
mampu
meindentifikasi kebutuhannya serta membuat perencanaan yang tepat.
Tabel 55. Implementasi Pemberdayaan Keluarga Kegiatan
Sasaran
Materi Penyuluhan
Penyuluhan Pembentukan
Anggota kelompok
Kelompok
dan
pimpinan
kelompok.
• Penyusunan
instrument
identifikasi pendataan
sebagai dan
seleksi
alat
dan
instrument
seleksi
awal
anggota
identifikasi
calon
anggota
kelompok bersama • Seleksi
dan
kelompok untuk mendapatkan data sasaran yang
menjadi
sasaran
program
pemberdayaan • Melakukan analisis hasil identifikasi dan seleksi untuk mendapatkan sasaran yang akan menjadi anggota kelompok dan data yang
akurat
yang
berkaitan
dengan
kelompok sasaran • Memperkenalkan program yang ditawarkan serta
meminta
keterlibatan
anggota
kelompok secara penuh dalam pelaksanaan program
melalui
pertemuan
sosialisasi
program. • Pelatihan
anggota
meningkatkan
kelompok
untuk
keterampilan-keterampilan
tehnis yang terkait dengan keberhasilan pelaksanaan program Pendampingan
Anggota kelompok dan kelompok.
pimpinan
• Pelatihan-pelatihan
berkaitan
dengan
menjaga kesinambungan berusaha • Pihak
eksternal
menyediakan
dana
pendampingan untuk mendukung terhadap kelancaran
program
pengembangan
kelompok • Memantau
setiap
saat
sejauhmana
199
Tabel 55 (lanjutan) keberhasilan pelaksanaan tugas masingmasing anggota kelompok sesuai dengan job deskription Pengorganisasian
Anggota kelompok
Kelompok
dan
pimpinan
• Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang struktur organisasi kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman
kelompok.
tentang struktur kelompok sesuai dengan jenis usaha yang dijalankan oleh kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pemilihan kepengurusan kelompok yang baik dan benar • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kewajiban anggota kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hak tiap-tiap anggota kelompok Pengembangan
Anggota kelompok
Kelompok
dan
pimpinan
kelompok.
• Pembinaan usaha kelompok ditujukan pada peningkatan kesadaran dan tanggung jawab anggota kelompok serta lingkungannya • Memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai analisis usaha. • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang proses produksi dan usaha • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pemasaran hasil usaha • Memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang peningkatan produksi dan usaha • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang administrasi usaha
Pada tahap implementasi seperti pada Tabel 55 menunjukkan bahwa implementasi program pemberdayaan kelompok lebih menekankan kepada semua anggota dalam kelompok tersebut, mulai dari pimpinan sampai dengan anggota
dari
kelompok
tersebut.
Setiap
tahapan
dalam
implementasi
pemberdayaan kelompok tersebut harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Pada tahapan implementasi ini lebih menekankan adanya kesatuan yang utuh dari semua anggota kelompok dan berkomitmen untuk saling
200
mengembangkan kemampuan untuk selalu mengembangkan kelompok usaha itu sendiri serta mengembangkan usaha yang dilakukan oleh kelompok.
Tabel 56. Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan
Sasaran
Materi Penyuluhan
Penyuluhan Monitoring
Keluarga, anggota kelompok,
dan
pimpinan kelompok
• Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kemampuan menilai kondisi dan situasi
tentang
tahapan
kegiatan
pemberdayaan kelompok mulai dari rencana kegiatan sampai pelaksanaan kegiatan • Memperkirakan akibat yang akan terjadi dengan adanya kegiatan pemberdayaan kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
kemampuan
mencari
dan
mengupayakan cara untuk memperbaiki kegiatan pemberdayaan kelompok yang dianggap tidak tepat Evaluasi
Keluarga, anggota kelompok,
dan
pimpinan kelompok
• Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
penyiapan
instrument
evaluasi,
tabulasi dan laporan evaluasi • Menentukan anggota yang melakukan tugas evaluasi • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
pelaksanaan
wawancara,
pengisian
evaluasi
melalui
instrument
dan
diskusi • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
kemampuan
membuat
laporan
evaluasi dengan menggunakan instrument laporan
Pada tahapan kegiatan monitoring dan evaluasi, setiap kegiatan usaha kelompok diharapkan agar selalu berada pada target-target yang telah ditetapkan bersama oleh semua anggota. Pencapaian target kelompok tersebut merupakan sebuah keberhasilan kelompok dalam melakukan usaha. Kegiatan monitoring
201
lebih menekankan kepada adanya proses perbaikan bagi kegiatan usaha kelompok ketika kegiatan kelompok masih berjalan. Setiap terdapat adanya penyimpangan dalam kegiatan usaha kelompok tersebut selalu terpantau dan diarahkan agar selalu sesuai dengan target yang telah ditentukan bersama. Kegiatan evalusi lebih menekankan kepada adanya penilaian terhadap hasil kerja kelompok setelah kelompok selesai melaksanakan usaha kelompoknya dalam waktu tertentu. Adanya kekurangan-kekuarangan dalam melaksanakan kegiatan usaha kelompok akan selalu di analisis, sehingga pada kegiatan selanjutnya sesuai dengan arah dan tujuan yang telah ditentukan oleh kelompok.