HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian rataan suhu dan kelembaban harian kandang berturut-turut o
28,3 C dan 91,3% yang masih dalam kisaran normal untuk hidup kelinci. Adapun suhu dan kelembaban pada saat penampungan dan evaluasi adalah 25,5o C dan 84%. Kondisi tersebut diasumsikan tidak mempengaruhi kondisi spermatozoa karena masih dalam kondisi normal suhu kamar. Pada penelitian ini terdapat beberapa ekor kelinci yang mengalami penyakit scabies. Pemberian obat antibiotik secara injeksi subkutan dilakukan pada tiga ekor kelinci perlakuan R2 dan R3. Terdapat juga dua ekor kelinci yang mengalami luka di bawah telapak kakinya yang selanjutnya diberi obat penyembuh luka guna mencegah terjadinya infeksi lebih lanjut. Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian dua ekor kelinci. Faktor perbedaan cuaca dan pakan menjadi penyebab utama, hal ini karena kelinci penelitian didatangkan dari Kota Bandung yang suhu umum rataratanya lebih rendah dibandingkan Kota Bogor. Bobot badan awal rata-rata kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1653,36±265,46 g/ekor. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap seminggu sekali dengan empat pengelompokan bobot badan. Rataan bobot badan pada saat penampungan semen adalah 2010,10±300,18 g/ekor (Tabel 6). Tabel 6. Rataan Bobot Badan Kelinci pada Saat Penampungan Semen Perlakuan
Rataan BB Minggu Ke-7 (gram/ekor)
R0
1898,25±398,27
R1
1973,25±107,99
R2
1903,75±326,98
R3
2155,75±312,44
R4
2119,50±343,61
Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana
Pemberian ransum R3 dan R4 cenderung meningkatkan PBB dan bobot badan jika dibandingkan dengan pemberian ransum R0, R1 dan R2. Menurut Onwudike (1995), pelet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci 23
dibandingkan daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna coklat) pada kelinci. Oleh karena itu penggunaan daun lamtoro dalam ransum direkomendasikan tidak lebih dari 50% total ransum. Menurut Toelihere (1993), nutrisi sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Penampungan semen dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan vagina buatan. Namun terdapat 8 ekor kelinci yang menyebar pada 5 perlakuan tidak dapat dilakukan penampungan semennya. Hal ini dapat disebabkan karena kelincikelinci tersebut belum terbiasa dengan penampungan semen menggunakan vagina buatan serta secara keseluruhan kelinci belum benar-benar mengalami dewasa kelamin meskipun kelinci telah berumur 6 bulan. Dua diantara 8 ekor tersebut yaitu pada perlakuan R1 perolehan data didapat dari semen yang diambil dari bagian epididimis. Hal ini menunjukan bahwa produksi spermatozoa telah berlangsung meskipun belum mampu berejakulasi saat ditampung. Kualitas Makroskopik Semen Kualitas makroskopik semen yang diamati pada penelitian ini antara lain volume, pH, konsistensi dan warna semen. Volume Semen Pada penelitian ini terdapat 8 ekor kelinci yang menyebar pada 5 perlakuan tidak dapat dilakukan penampungan semennya. Dua diantara 8 ekor tersebut yaitu pada perlakuan R1 perolehan data didapat dari semen yang diambil dari bagian epididimis. Nilai rataan volume semen dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan nilai rataan volume pada kelinci yang diberi perlakuan R0 memiliki nilai rataan volume semen relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, R3 dan R4. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan nutrisi yang dikandung masing-masing pelet perlakuan. Menurut Toelihere (1993), nutrisi sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Hafez dan Hafez (2000) menyatakan, volume ejakulat kelinci berkisar antara 0,4-0,6 ml. Volume ejakulat kelinci sebanyak 0,5-1,5 ml dengan jumlah spermatozoa per ejakulat sebesar 10-1000 x 106 (Morrow, 1986). 24
Tabel 7. Nilai Rataan Volume Semen Perlakuan
Nilai Rataan volume (ml)
R0
1,52±1,28
R1
0,55
R2
0,58±0,11
R3
0,18±0,10
R4
0,27±0,21
Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana
Kisaran volume pada perlakuan R0 adalah 0,07-2,5 ml, pada perlakuan R1 hanya terdapat satu sampel volume yaitu sebesar 0,55 ml sehingga tidak terdapat nilai standar deviasi, pada perlakuan R2 kisaran volumenya adalah 0,5-0,65 ml, sedangkan kisaran volume pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut adalah 0,1-0,3 ml dan 0,1-0,5 ml. Kisaran volume semen yang diperoleh cenderung lebih rendah jika dbandingkan dengan rataan volume semen yang didapat oleh penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 0,67 ml pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Selain faktor nutrisi, volume ejakulat juga dipengaruhi oleh kelenjar assesorius yang dipengaruhi oleh umur dewasa kelamin kelinci-kelinci tersebut. Plasma semen dihasilkan sebagian besar oleh kelenjar vasikularis dan sisanya oleh cairan dari testis dan prostate. Plasma semen sebagai komponen semen disamping spermatozoa, dibuat pada jaringan kelamin sekunder termasuk diantaranya adalah epididimis vas deferent, ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan cowper. Oleh karena itu, volume semen sangat dipengaruhi oleh aktivitas jaringan pada kelenjar-kelenjar tersebut (Elya et al., 2010). Tidak adanya respon yang signifikan dalam mempengaruhi volume semen, menunjukkan bahwa pemberian pelet ransum komplit berbasis daun I. zollingeriana dan daun lamotoro sampai 30% berpengaruh baik pada kelenjar seks aksesori kelinci jantan.
25
pH Semen Nilai pH dipengaruhi oleh komposisi cairan yang terdapat dalam semen yang sebagian besar berasal dari kelenjar pelengkap. Semakin banyak cairan dari kelenjar pelengkap, maka semakin tinggi pH semen. Nilai pH semen kelinci rata-rata 6,9 (Paufler et al., 1974). Nilai rataan pH semen kelinci perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Rataan pH Perlakuan
Nilai Rataan pH
R0
6,70±0,0
R1
6,87±0,57
R2
6,85±0,21
R3
6,97±0,55
R4
7,20±0,50
Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana
Nilai rataan pH pada kelinci dengan perlakuan R0 adalah 6,7, pada perlakuan R1 didapat kisaran nilai pH antara 6,4-7,5. Pada perlakuan R2 nilai pH berkisar antara 6,7-7, sedangkan kisaran nilai pH pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut adalah 6,4-7,5 dan 6,7-7,7. Kisaran pH semen yang diperoleh cenderung sama jika dbandingkan dengan rataan pH semen yang didapat oleh penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 7,18 pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Menurut Yousef et al. (2000), pH kelinci New Zealand White yang diberi penambahan vitamin E (1,0 g/l), vitamin C (1,5 g/l) serta kombinasi keduanya (1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l ) dalam air minum masing-masing adalah sebesar 8,0; 8,1 dan 8,1. Nilai pH semen juga ditentukan oleh aktivitas kelenjar assesorius. pH semen ditentukan oleh keseimbangan kation dan anion yang terdapat dalam struktur kimia yang terkandung dalam kelenjar assesorius. Tidak terdapatnya perubahan yang nyata pada volume serta pH semen berarti bahwa kelenjar assesorius masih bisa bekerja sesuai fungsinya (Elya et al., 2010).
26
Kekentalan Semen Konsistensi semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalam semen, semakin banyak jumlah spermatozoa di dalam semen, maka konsistensi semen akan semakin kental (Sansone, 2000). Hasil pengamatan konsistensi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Pengamatan Konsistensi Semen Perlakuan
Kisaran Nilai Konsistensi
R0
Encer
R1
Encer-kental
R2
Encer
R3
Encer
R4
Encer-sedang
Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana `
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa kelinci yang diberi pelet ransum R0 memiliki konsistensi yang encer (E). Sedangkan pada kelinci yang diberi pelet ransum R1 didapatkan dua kelompok kelinci dengan konsistensi kental (K) dan konsistensi encer (E). Hal ini dapat disebabkan bahwa rataan konsentrasi spermatozoa pada pelet ransum R1 lebih tinggi yaitu sebesar 826,25 x 106/ml dibandingkan dengan rataan konsentrasi spermatozoa pada ransum R0 yaitu sebesar 345 x 106/ml. Konsistensi yang kental pada ransum R1 juga disebabkan pengambilan sampel yang diperoleh langsung dari epididimis sehingga akan menghasilkan substansi berupa lendir yang bersifat licin dan kental. Warna Semen Warna semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalam semen. Semakin keruh biasanya jumlah spermatozoa permililiter semen semakin banyak (Partodihardjo, 1982). Semen normal memiliki warna seperti susu atau krem keputih-putihan dan keruh (Toelihere, 1981). Hasil pengamatan warna semen dapat dilihat pada Tabel 10.
27
Tabel 10. Hasil Pengamatan Warna Semen Perlakuan
Kisaran Warna Semen
R0
Krem
R1
Putih-Krem keputihan
R2
Putih-Krem keputihan
R3
Krem-Putih
R4
Putih-Krem keputihan
Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa secara umum kelinci menghasilkan ejakulat dengan warna terbanyak putih (P) kemudian diikuti dengan warna krem serta krem keputihan. Warna tersebut merupakan warna semen kelinci normal. Hal ini menunjukan bahwa kelinci yang diberi ransum R0, R1, R2, R3, dan R4 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna semen kelinci. Semen normal tampak putih kelabu homogen. Semen tampak jernih jika jumlah sperma terlalu sedikit atau tampak coklat jika ada sel darah merah (Elya et al., 2010). Kualitas Mikroskopik Semen Kualitas mikroskopik semen yang diamati pada penelitian ini antara lain gerakan massa, konsentrasi spermatozoa, persentase motilitas, persentase viabilitas, persentase abnormalitas dan persentase nilai HOS Test. Nilai rataan persentase motilitas, viabilitas dan Abnormalitas disajikan pada Lampiran 1. Gerakan Massa Semen Spermatozoa dalam suatu kelompok memiliki kecenderungan untuk bergerak bersama-sama ke satu arah dan membentuk gelombang-gelombang yang tebal atau tipis, bergerak cepat atau lambat tergantung dari konsentrasi spermatozoa hidup di dalamnya. Semakin besar pergerakan gelombang yang terjadi, semakin tinggi motilitas spermatozoa. Hasil pemeriksaan gerakan massa dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 dapat menunjukkan bahwa semen kelinci yang diberi ransum R1, R3 dan R4 saja yang memiliki gerakan massa dengan gelombang gerakan yang besar (++). Nilai tersebut memiliki makna bahwa semen memiliki gerakan massa yang 28
baik jika dibandingkan dengan semen dengan gerakan massa sedikit (+). Hal ini menunjukkan bahwa spermatozoa memiliki motilitas dan konsentrasi yang baik. Tabel 11. Hasil Pengamatan Gerakan Massa Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Kelompok 1 + T.A.S T.A.S +
2 + + T.A.S
3 + T.A.S ++ +
4 T.A.S ++ + T.A.S ++
Keterangan: 1. R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro + 0% lamtoro; R2 = 20% lamtoro+10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro+20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana +0% lamtoro 2. - = tidak ada gerakan; + = terjadi sedikit gerakan; ++ = terjadi gelombang gerakan yang besar; T.A.S = Tidak Ada Sampel
Perbedaan gerakan massa pada kelinci perlakuan terjadi akibat perlakuan yang diberikan. Pada perlakuan R1, terdapat gerakan massa dengan gelombang gerakan yang besar, akan tetapi data ini diperoleh pada kelinci perlakuan R1 yang pengambilan semennya langsung dari saluran epididimis. Ada kecenderungan pemberian pakan dengan taraf I. zollingeriana yang tinggi dapat memberikan pengaruh baik pada gerakan massa semen kelinci. Hal ini diduga karena ransum yang mengandung daun lamtoro dengan taraf 20% dan 30% masih mengandung zat anti nutrisi mimosin pada pakan pelet tersebut. Pengaruh yang merugikan daun lamtoro pada sapi dapat menyebabkan gondok (Jones et al., 1976), menurunnya fertilitas dan penyusutan berat lahir (Hamilton et al., 1971; Helmes, 1980). Uji ini dilakukan di Australia dan Papua New Guinia dengan menggembalakan sapi-sapi percobaan padang lamtoro, sementara itu kerontokan bulu dan anak-anak yang dilahirkan berkurang terjadi pula pada kelinci yang diberi pakan daun lamtoro (Ruskin, 1984). Penelitian lain menyatakan, pemberian tepung daun lamtoro 15% menyebabkan terhambatnya kemampuan bereproduksi. Terbukti tikus betina menjadi infertil, prenatal dan pada tikus jantan libido serta fertilitasnya turun setelah diberi pakan mengandung daun lamtoro (Joshi, 1968).
29
Konsentrasi Spermatozoa Konsentrasi spermatozoa berkisar 0,1-1,0 ml juta dan persentase motilitas berkisar 40%-80%. Volume ejakulat untuk kelinci ras New Zealand White 0,86 ml dengan konsentrasi spermatozoa sebesar 0,31 x 106 / µl dan persentase motilitas sebesar 55%. Data ini diperoleh pada pengambilan sampel sebanyak 45 sampel (Paufler et al., 1974). Kisaran nilai konsentarasi spermatozoa pada kelinci yang diberi perlakuan R0 adalah 277,5 x 106-412,4 x 106, pada perlakuan R1 didapat kisaran nilai konsentrasi spermatozoa antara 180 x 106/ml – 1472,5 x 106/ml. Pada perlakuan R2 nilai kisaran konsentrasi spermatozoa berkisar antara 182 x 106/ml – 860 x 106/ml, sedangkan kisaran nilai konsentrasi spermatozoa pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut adalah 112,5 x 106/ml– 592,5 x 106/ml dan 372,5 x 106 /ml– 2375 x 106/ml. Kisaran konsentrasi spermatozoa yang diperoleh cenderung lebih rendah jika dbandingkan dengan rataan konsentrasi spermatozoa yang didapat oleh penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 403 x 106/ml pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Hal ini kemungkinan terdapat perbedaan umur kelinci pada penelitian terdahulu dengan penelitan ini.
Gambar 4. Diagram Rataan Konsentrasi Spermatozoa (106/ml). Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana
Gambar 4 menunjukkan lebih jelas bahwa rataan konsentrasi spermatozoa pada R0 relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi spermatozoa pada perlakuan ransum lainnya walaupun diketahui pemberian perlakuan R0 memiliki rataan volume semen yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan ransum 30
penelitian lainnya. Hal ini cenderung disebabkan karena protein ransum R0 lebih rendah yaitu sebesar 15,74% sedangkan kisaran protein ransum untuk R1 sampai R4 berkisar antara 17,94%-21,06%. Protein merupakan zat yang berperan dalam pertumbuhan dan pembentukan tubuh, termasuk di dalamnya pembentukan sel kelamin (spermatogenesis). Namun, rataan konsentrasi spermatozoa tersebut masih sesuai dengan kisaran konsentrasi spermatozoa kelinci. Menurut Morrow (1986), volume ejakulat kelinci sebanyak 0,5-1,5 ml dengan jumlah spermatozoa per ejakulat sebesar 10-1000 x 106. Yousef et al. (2000) menyatakan, konsentrasi spermatozoa kelinci New Zealand White yang diberi penambahan vitamin E (1,0 g/l), vitamin C (1,5 g/l) serta kombinasi keduanya (1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l ) dalam air minum masing-masing adalah sebesar 336 x 106/ml, 332 x 106/ml, 332 x 106/ml. Selain faktor nutrisi, konsentrasi spermatozoa juga dipengaruhi oleh kadar hormon testosteron. Kadar testosteron yang tinggi menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis. Testosteron akan menghambat hipotalamus untuk menghasilkan GnRH sehingga kadar GnRH turun dan menghambat hipofisis anterior untuk menghasilkan FSH dan LH. Bila FSH turun maka terjadi gangguan pada sel sertoli yang menyebabkan berkurangnya zatzat makanan yang diperlukan untuk proliferasi, diferensiasi serta memelihara sel-sel spermatogenik (Steven et al., 1974). Apabila kadar LH turun maka testosteron yang dihasilkan juga berkurang. Kadar FSH dan testosteron yang rendah akan menyebabkan proses spermatogenesis terganggu, akibatnya jumlah spermatozoa yang dihasilkan menurun. Rataan konsentrasi tertinggi terdapat pada perlakuan yang diberi ransum R4 (Gambar 4). Hal ini juga dibuktikan dengan terdapatnya konsistensi sedang pada kelompok perlakuan R4 dengan pengambilan sampel yang menggunakan vagina buatan. Rataan konsentrasi tertinggi berikutnya ada pada perlakuan R1, dimana pemberian pelet ransum komplit yang mengandung 30% daun lamtoro mampu memberikan efek positif terhadap peningkatan konsentrasi spermatozoa per ejakulatnya. Pemberian daun lamtoro dengan level 100-300 g/ekor/hari secara signifikan mampu meningkatkan konsentrasi spermatozoa domba di daerah tropis Etiopia (Dana et al., 2000).
31
Meningkatnya konsentrasi spermatozoa umumnya dianggap bermanfaat karena memungkinkan inseminasi dari sejumlah besar betina (Foote, 1980). Saat kawin alam
konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi memastikan masuknya
spermatozoa lebih ke dalam serviks
dan kemudian ke saluran telur, sehingga
meningkatkan kesempatan terjadinya pembuahan (Garner dan
Hafez, 1980).
Menurut Nadir et al. (1993), semakin tinggi konsentrasi, maka semakin besar pula persaingan antara spermatozoa pada tempat pembuahan, sehingga mampu meningkatkan kemungkinan sel telur yang dibuahi oleh sebuah spermatozoa yang normal, memastikan inseminasi yang baik dan tingkat perkembangan embrio normal berikutnya. Motilitas Spermatozoa Ciri utama spermatozoa adalah motilitas atau daya geraknya yang dijadikan patokan atau cara yang paling sederhana dalam penilaian semen untuk inseminasi buatan. Hal ini karena motilitas atau pergerakan spermatozoa memegang peranan penting sewaktu pertemuannya dengan ovum. Motilitas juga digunakan sebagai ukuran kesanggupan apermatozoa untuk membuahi (Toelihere, 1993).
Gambar 5. Diagram Rataan Motilitas Spermatozoa (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana
Gambar 5 menunjukkan bahwa rataan motilitas sperma pada perlakuan yang diberi ransum R0 relatif lebih rendah dibandingkan dengan rataan motalitas sperma pada perlakuan lainnya. Secara umum motilitas spermatozoa yang diperoleh sangat rendah jika dibandigkan dengan karakteristik seminal kelinci oleh Paufler et al. (1974) yaitu sebesar 55%. Kisaran motilitas spermatozoa yang diperoleh cenderung 32
lebih rendah jika dbandingkan dengan rataan motilitas yang didapat pada penelitian terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 71% pada kelinci New Zealand White. Pentingnya memilih persentase motilitas sebelum melakukan inseminasi, karena hal ini berkaitan dengan kesuburan (Brun et al., 2002). Rendahnya persentase motilitas yang diperoleh dapat disebabkan kelinci yang belum dewasa kelamin sehingga spermatozoa yang terbentuk tidak dapat bergerak secara progresif. Viabilitas Persentase hidup spermatozoa menggambarkan spermatozoa yang hidup pada saat dicampur dengan zat warna yang menyebabkan perbedaan afinitas zat warna antara sel-sel spermatozoa yang mati dan hidup (Hafez dan Hafez, 2000). Spermatozoa yang mati akan menyerap warna sedangkan spermatozoa yang hidup tidak atau sedikit sekali menyerap warna.
Gambar 6. Diagram Rataan Viabilitas Spermatozoa (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana
Gambar 6 menunjukkan bahwa rataan viabilitas spermatozoa dari kelinci yang diberi pelet ransum mengandung daun I. zollingeriana dan lamtoro mencapai di atas 70%, kecuali viabilitas spermatozoa dari kelinci yang diberi ransum komersial. Yang menunjukan nilai. Rataan spermatozoa tertinggi didapat pada kelinci yang diberi perlakuan R2 dan R4, sedangkan kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R3 tidak mengalami penurunan yang signifikan. Pemberian semua pakan perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap nilai persentase viabilitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai persentase viabilitas kelinci yang diberi perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 memiliki pengaruh yang sama. Viabilitas spermatozoa sangat 33
ditentukan oleh keutuhan membran plasma dan kemampuan sistem transport membran. Selain itu juga kelangsungan hidup spermatozoa juga dipengaruhi oleh sekresi epididimis antara lain karnitin, fosfatidilkholin (Kaur et al., 1991; Brooks et al., 1974). Abnormalitas Persentase abnormalitas menggambarkan spermatozoa yang hidup namun tidak memiliki bentuk yang sempurna seperti tidak adanya ekor, ekor kriting dan ekor tidak lurus.
Gambar 7. Diagram Rataan Abnormalitas Spermatozoa (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana
Nilai abnormalitas
spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 7, yang
menunjukan adanya kecenderungan penurunan nilai persentasenya jika kelinci diberi pelet yang mengandung daun Indigofera zollingeriana dan/atau lamtoro. Nilai abnormalitas spermatozoa secara relatif mengalami penurunan jika kandungan Indigofera pada pelet ditingkatkan, dibandingkan dengan peningkatan daun lamtoro. Penurunan nilai abnormalitas spermatozoa akibat pemberian Indigofera merupakan informasi baru yang positif, sehingga daun tanaman ini diduga dapat menjadi salah satu komponen pakan yang berperan penting untuk program pembibitan kelinci. Tingginya persentase abnormalitas pada spermatozoa disebabkan spermatogenesis yang belum sempurna dan akibat perlakuan di laboratorium. Selama abnormalitas spermatozoa belum mencapai 20% dari contoh semen, maka semen tersebut masih dapat dipakai untuk inseminasi (Toelihere, 1981). Abnormalitas terjadi terutama karena bengkok atau ekor melingkar, yang biasanya terjadi selama perjalanan spermatozoa melalui epididimis (Jainudeen dan 34
Hafez, 1980). Proporsi yang lebih tinggi pada kelainan ini mungkin disebabkan gangguan pada fungsi epididimis karena level hormon testosteron yang di bawah normal (Hainonen, 1989). Produksi hormon ini dinyatakan serius sebagai akibat dari pakan berkualitas rendah dalam waktu lama (Parker dan Thwaites, 1972). HOS Test Spermatozoa yang memiliki membran utuh pada bagian ekor akan terlihat melengkung sedangkan spermatozoa yang tidak mempunyai membran pada bagian ekor akan terlihat lurus.
Gambar 8. Diagram Rataan Nilai HOS Test (%) Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana
Membran plasma spermatozoa mengalami proses pematangan di dalam epididimis yang antara lain berupa perolehan enzim membran plasma. (Kaur et al., 1991; Brook et al., 1974). Fungsi normal membran plasma spermatozoa adalah melindungi spermatozoa dan mempertahankan daya hidupnya. Gambar 8 menunjukkan bahwa rataan nilai HOS Test tertinggi secara relatif terdapat pada semen kelinci yang diberi perlakuan R3 dan R4. Hal ini dapat dimaknai bahwa semen yang diberi perlakuan R3 dan R4 memiliki persentase membran plasma utuh relatif lebih tinggi dibandingkan dengan semen yang diberi perlakuan lain. Secara relatif perlakuan R2 memiliki nilai rataan membrane plasma utuh paling rendah. Hal ini dapat disebabkan proses pematangan di dalam epididimis yang tidak sempurna pada kelinci yang diberi perlakuan R2. Rataan konsumsi pelet pada kelinci perlakuan R2 juga lebih rendah yaitu sebesar 73,86 g/ekor/hari jika dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R3 dan R4 masing-masing sebesar 84,14 g/ekor/hari, 86,01 g/ekor/hari, 97,87 g/ekor/hari, 89,1 g/ekor/hari. Rendahnya 35
konsumsi pakan juga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas spermatozoa. Menurut Hafez dan Hafez (2000), bahwa kualitas dan kuantitas spermatozoa yang dihasilkan dipengaruhi oleh makanan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi dan libido, penyakit dan benih penyakit, pengangkutan, umur, hereditas dan gerak badan. Pentingnya membran dalam menjaga integritas baik biokimia dan struktur spermatozoa adalah baik diketahui (Cabrita et al., 1999). Ketika terkena solusi hypoosmotic, biokimia-aktif spermatozoa meningkatkan volume mereka dalam rangka membangun keseimbangan antara cairan kompartemen dalam spermatozoa dan ekstraseluler lingkungan. Pembengkakan menyebabkan perubahan baik ukuran sel dan bentuk yang dapat dievaluasi dengan menggunakan mikroskop fase kontras (Cabrita et al., 1999). Proses pembengkakan ini memuncak dalam mempromosikan perluasan membran sel meliputi ekor, sehingga memaksa flagela untuk membentuk kumparan di dalam membran. Melingkarnya ekor dimulai pada ujung distal ekor dan melanjutkan jalannya menuju bagian tengah kepala sebagai tekanan osmotik dari media yang rendah (Jeyendran et al., 1984).
36