HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaaan Umum Daerah Penelitian Kota Bogor secara geografis terletak pada koordinat diantara 106° 48‟ BT dan 6° 36‟ LS dengan jarak ± 56 km dari kota Jakarta dengan luas wilayah 118,50 Km2. Terdiri dari 6 Kecamatan 68 Kelurahan. Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah Kota Bogor. Kecamatan Bogor Barat terdiri dari 16 Kelurahan, 196 RW, 796 RT dan 53.408 rumah tangga (KK). Kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Barat meliputi Menteng, Pasir Kuda, Pasir Jaya, Pasirmulya, Gunung Batu, Bubulak, Situgede, Margajaya, Balumbang Jaya, Semplak, Cilendek Timur, Cilendek Barat, Curug, Loji, Curug mekar dan Sindang Barang. Secara geografis, Kecamatan Bogor Barat memiliki batas-batas wilayah disebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, disebelah Timur oleh Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, disebelah selatan oleh Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor dan disebelah utara oleh Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Luas wilayah Kecamatan Bogor Barat 3.174,00 Ha. Merupakan lahan yang baik untuk mendukung kegiatan perkotaan seperti pemukiman, perkantoran, perdagangan, industri, pariwisata, pertanian dan lain-lain. Sarana dan prasarana di Kecamatan Bogor Barat terbagi menjadi prasarana sosial dan kesehatan. Sarana dan prasarana sosial meliputi tempat ibadah (152 mesjid), gedung sekolah (210 sekolah). Sarana dan prasarana kesehatan meliputi rumah sakit (3 buah), puskesmas induk (5 buah), puskesmas pembantu (4 buah), klinik (23 buah) dan praktek dokter (122 orang), bidan praktek (25 orang) dan posyandu (208 buah). Jumlah penduduk Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak sebesar 210.450 jiwa. Komposisi penduduk didominasi oleh penduduk usia muda dengan jumlah yang signifikan pada penduduk usia produktif dengan perbandingan yang hampir mencapai angka 2 : 1. Kegiatan perdagangan dan jasa di wilayah Kecamatan Bogor Barat sangat dipengaruhi oleh tersedianya akses sarana perhubungan melalui pembangunan jalan-jalan baru yang memicu investor-investor baru melakukan investasi disektor perdagangan, jasa dan terutama properti.
62
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga dikategorikan menjadi dua yaitu keluarga kecil yang beranggotakan ≤ 4 orang dan keluarga besar yang beranggotakan > 4 orang (BKKBN 1998). Sebaran ukuran keluarga contoh di wilayah penelitian yang memiliki anak usia 24-59 bulan kelompok stunting maupun normal, lebih besar berada pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang (56,4%). Ratarata keluarga pada kelompok balita normal yaitu 4,4 ± 1,5 orang maupun kelompok anak stunting yaitu 4,6 ± 1,3 orang seperti disajikan pada Tabel 4. Menurut Berg (1986) keluarga yang semakin besar akan menurunkan status gizi anak. Tingginya persentase besar keluarga dengan jumlah ≤ 4 orang dikarenakan data yang diperoleh umumnya berasal dari keluarga yang memiliki 1 balita dan jarak kelahiran anak lebih dari 24 bulan (Lampiran 4). Berdasarkan penelitian Suradi dan Chandradewi (2007) menunjukkan semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka ibu mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau. Secara statistik, tidak terdapat hubungan bermakna (p>0,05) antara besar keluarga dengan status gizi TB/U. Umur Orangtua Rata-rata umur ayah pada kedua kelompok balita normal adalah 35,9 ± 8,4 tahun dan sebagian besar (75,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun sedangkan rata-rata umur ayah pada kelompok anak stunting adalah 35,2 ± 5,9 tahun dan sebagian besar (85,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun. Sementara rata-rata umur ibu pada kelompok anak normal adalah 30,3 ± 5,9 tahun dan umur ibu pada kelompok anak stunting adalah 30,3 ± 6,0 tahun. Sebagian besar (> 90%) umur ibu pada kedua kelompok berada pada kelompok umur 20-40 tahun yang termasuk dalam kategori kelompok dewasa awal. Sementara rata-rata umur ibu pada kedua kelompok anak adalah 30,3 ± 5,9 tahun berada pada kelompok umur 20-40 tahun (Tabel 4). Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada
63
pengalaman orang tua terdahulu sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998). Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara umur ayah dan ibu kedua kelompok balita dengan status gizi (TB/U). Pendidikan Orangtua Rata-rata lama pendidikan ayah pada kelompok anak normal yaitu 9,4 ± 2,5 tahun dapat dikategorikan pendidikan tinggi sementara pada kelompok anak stunting yaitu 8,0 ± 2,5 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu 8,1 ± 2,4 tahun pada kelompok anak normal dan 6,6 ± 1,5 tahun pada kelompok anak stunting dengan kategori pendidikan rendah.. Menurut Madanijah (2003), tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) tingkat pendidikan ayah dan pendidikan ibu antara kelompok balita normal dan stunting. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel bahwa pendidikan ayah yang tinggi memberikan kontribusi terhadap pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan pola asuh lingkungan yang baik (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya peranan orangtua terhadap anak. Semakin tinggi pendidikan diduga semakin baik pengetahuan gizinya dan ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mengetahui tentang cara mengolah bahan makanan, cara mengatur menu mengatur makanan anak sehingga keadaan gizi anak terjamin. Madanijah (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Pekerjaan Orangtua Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh ayah contoh (100%) pada kedua kelompok balita mempunyai pekerjaan (bekerja) dan persentase nilai tertinggi (80%) ibu contoh tidak bekerja. Sebagian besar (63,6%) pekerjaan ayah sebagai buruh sementara ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sebagai ibu
64
rumah tangga (IRT) (Lampiran 4). Menurut Sukarni (2002), mata pencaharian memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan. Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga Variabel Besar keluarga ≤ 4 orang > 4 orang Rata-rata ± SD Umur Ayah < 20 tahun 20-40 tahun > 40 tahun Rata-rata ± SD Umur Ibu < 20 tahun 20-40 tahun > 40 tahun Rata-rata ± SD Pendidikan Ayah Rendah Tinggi Rata-rata ± SD Pendidikan Ibu Rendah Tinggi Rata-rata ± SD Pekerjaan Ayah Bekerja Tidak bekerja Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak bekerja Tinggi Badan Ayah < 165 cm ≥ 165 cm Rata-rata ± SD Tinggi Badan Ibu < 156 cm ≥ 156 cm Rata-rata ± SD Jumlah Anak Balita 1 orang > 1 orang Rata-rata ± SD Total
Kelompok balita Stunting Normal n % N %
pvalue
Total n
%
58,6 41,4 4,4 ± 1,5
79 61
56,4 43,6
0 0 85,7 60 14,3 10 35,2 ± 5,9
0 0 75,7 53 24,3 17 35,9 ± 8,4
0 113 27
0 80,7 19,3
2,9 2 91,4 64 5,7 4 30,3 ± 6,0
0 0 95,7 67 4,3 3 30,3 ± 5,9
2 131 7
1,4 93,6 5
80 56 20 14 8,0 ± 2,5
40 30
57,1 42,9 9,4 ± 2,5
96 44
68,6 31,4
94,3 66 5,7 4 6,6 ± 1,5
55 15
78,6 21,4 8,1 ± 2,4
121 19
86,4 13,6
70 0
100 0
70 0
100 0
140 0
100 0
19 51
27,1 72,9
9 61
12,9 87,1
0,609 38 32
54,3 45,7 4,6 ± 1,3
41 29
0,134
0,331
0,004*
0,007*
----
0,035* 28 112
20 80 0,310
57,1 40 42,9 30 163,5 ± 6,8
48,6 34 51,4 36 164,8 ± 6,4
74 52,9 66 47,1 164,2 ± 6,6 0,005*
90 63 10 7 149,7 ± 5,6
71,4 50 28,6 20 1 152,5 ± 6,0
113 27
80,7 19,3
82,9 17,1 1,2 ± 0,4 70 100
114 26
81,4 18,6
140
100
0,664 80 56 20 14 1,2 ± 0,4 70 100
58 12
Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) status kerja ayah dengan status gizi balita (TB/U) namun terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) status kerja ibu dengan status gizi balita (TB/U). Hal ini berarti ibu yang tidak bekerja lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak di rumah. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan Ibu yang lebih banyak
65
menghabiskan waktu di rumah (tidak bekerja) berpengaruh terhadap balita dengan riwayat konsumsi ASI dan pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) yang baik (Lampiran 6). Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga pada kedua kelompok dihitung dengan menggunakan pendekatan pengeluaran pangan dan non pangan per kapita per bulan. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok balita normal adalah 201 291 ± 51 074 sedangkan pada kelompok balita stunting adalah 196 035 ± 41 086. Berdasarkan batas garis kemiskinan Kota Bogor menurut BPS (2011) sebesar Rp. 256.414,00 (Kap/bln) maka rata-rata keluarga kedua kelompok balita termasuk kategori keluarga miskin. Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengeluaran, jenis pengeluaran serta proporsinya Kelompok balita Pengeluaran
Stunting n
Normal %
Tingkat Pengeluaran (Rp/Kap/bln) < Rp. 198.663,30 42,9 ≥ Rp. 198.663,40 57,1 Total 70 100 Jenis Pengeluaran (Rp/Kap/bln) Pangan 134 828 ± 30483 Non Pangan 61 208 ± 30363 Total 196 035 ± 41086 Proporsi Pengeluaran (%) Pangan Non Pangan Total
69,6 ± 11,5 30,4 ± 11,5 100
n
%
31 39 70
44,3 55,7 100
139 395 ± 27352 61 896 ± 29009 201291 ± 51074 69,9 ± 11,2 30,1 ± 11,2 100
Proporsi pengeluaran pangan dan non pangan keluarga pada kedua kelompok disajikan pada Tabel 5. Terlihat bahwa sebagian besar (>69,5%) pengeluaran keluarga tiap bulan pada kedua kelompok diperuntukkan untuk pengeluaran pangan. Hanya sebagian saja yang diperuntukkan untuk keperluan non pangan yaitu (>30%). Pengeluaran non pangan yang rutin dikeluarkan sebagian besar keluarga pada kedua kelompok adalah untuk biaya penerangan dan biaya pendidikan (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh pada penelitian ini berada pada tingkat ekonomi rendah. Hal ini sesuai dengan data dari
66
Laporan Tahunan Kecamatan Bogor Barat (2010), Kecamatan Bogor Barat memiliki jumlah KK miskin terbanyak se-Kota Bogor yaitu 11,734 KK (26%) dari KK seluruhnya yang ada di Kota Bogor. Tinggi Badan Orang tua Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan ayah pada kedua kelompok balita yaitu 164,2 ± 6,6 cm sedangkan tinggi badan ibu yaitu 151,1 ± 5,9 cm. Tinggi ayah kurang dari 165 cm berdasarkan AKG golongan umur 19-49 tahun, lebih banyak (52,9%) dari ayah dengan tinggi lebih dari 165 cm (47,1%). Rata-rata tinggi badan ibu pada kelompok balita normal yaitu 152,5 ± 6,0 cm dan kelompok balita stunting yaitu 149,7 ± 5,6 cm. Selisih tinggi badan ibu pada kedua kelompok yaitu sebesar ± 3 cm (Tabel 4). Tinggi ibu kurang dari 156 cm berdasarkan AKG golongan umur 19-49 tahun, lebih banyak (80,7%) dari ibu dengan tinggi lebih dari 156 cm (19,3%). Berdasarkan uji chi square, tinggi badan ayah tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap status gizi balita (TB/U), namun tinggi badan ibu memberikan pengaruh (p<0,05) terhadap status gizi balita. Hal ini sejalan dengan penelitian Aditianti (2010) mengenai „Faktor Determinan Stunting pada anak usia 24-59 bulan di Indonesia‟ yang menunjukkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu berhubungan dengan stunting dan status ekonomi. Ibu maupun ayah yang memiliki tinggi badan di atas standar cenderung memiliki anak dengan status gizi (TB/U) normal. Tabulasi silang antar variabel penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan ayah berhubungan dengan pendidikan ayah, lebih banyak ayah yang bertubuh kecil berpendidikan rendah (Lampiran 6). Jumlah Anak Balita Sebagian besar (81,4%) keluarga kedua kelompok balita memiliki 1 orang balita dengan jumlah rata-rata adalah 1,2 ± 0,4 baik pada keluarga balita stunting maupun keluarga balita normal (Tabel 4). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, sebaran data tertinggi keluarga dengan memiliki satu orang balita berhubungan dengan keluarga contoh yang kecil (≤ 4 orang), keluarga dengan sedikit anak (≤ 2 orang) namun memiliki riwayat kesehatan yang kurang baik dan lebih banyak memiliki ibu berperawakan kecil (Lampiran 6).
67
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna (p>0,05) antara jumlah balita dengan status gizi (TB/U). Walaupun dalam beberapa penelitian menghasilkan hal yang berbeda yaitu salah satu masalah gizi buruk berasal dari keluarga dengan jumlah anak balita lebih dari satu orang sebagai gambaran kehamilan dengan jarak terlalu dekat dan berkaitan dengan perhatian, perawatan dan kasih sayang ibu kepada anak selain itu juga sesuai dengan peraturan pemerintah dalam upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (Saputra 2009). Karakteristik Ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (84,3%) umur ibu pada saat hamil contoh kedua kelompok balita berada pada kelompok umur 20-40 tahun. Umur ibu pada kelompok stunting 26,5 ± 5,9 tahun dan normal 25,9 ± 5,8 tahun (Tabel 6).13,6 persen ibu hamil pada saat umur kurang dari 20 tahun, hal ini dapat beresiko bagi ibu dan anaknya. Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa makin muda atau makin tua usia ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta anaknya. Selanjutnya penelitian Taylor di Thailand (1970) menyebutkan bahwa ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang melahirkan di bawah 20 tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34 tahun (Saputra 2009). Penelitian menunjukkan secara uji chi square, umur ibu saat hamil tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan status gizi TB/U (p>0,05). Persentase tertinggi (65%) rata-rata jumlah anak yang dilahirkan ibu contoh pada kedua kelompok balita adalah dua orang. Selisih rata-rata jumlah balita antara dua kelompok, terlihat bahwa jumlah anak yang dilahirkan ibu pada kelompok normal lebih sedikit. Hal ini berdasarkan distribusi contoh yang diperoleh lebih banyak ibu yang memiliki anak sedikit (≤2 orang). Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara status gizi TB/U dengan jumlah anak yang dilahirkan (Tabel 6). Namun tabulasi data antar variabel menunjukkan sedikit anak (≤ 2 orang) berhubungan dengan riwayat kehamilan ibu, praktek pemberian makan dan praktek perawatan diri yang baik (Lampiran 6). Program KB dari BKKBN dengan moto ”dua anak lebih baik” adalah upaya pemerintah dalam pengaturan kelahiran yang tidak hanya untuk mengendalikan
68
laju pertumbuhan penduduk, menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera selain itu dengan Jumlah anak yang sedikit dapat mendorong kesehatan penduduk perempuan sehingga memiliki waktu yang lebih untuk berkontribusi baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat (Saputra 2009). Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu Kelompok Balita Stunting Normal n % n % Umur Ibu saat hamil responden < 20 tahun 12,9 14,3 9 10 20-40 tahun 85,7 82,9 60 58 > 40 tahun 1,4 2,9 1 2 Rata-rata ± SD 26,5 ± 5,9 25,9 ± 5,8 Jumlah anak yang dilahirkan ≤ 2 orang 62,9 67,1 44 47 > 2 orang 37,1 32,9 26 23 Rata-rata ± SD 2,5 ± 1,3 2,2 ± 1,4 Jarak Kelahiran anak < 24 bulan 27,1 38,6 19 27 ≥ 24 bulan 72,9 61,4 51 43 Penyakit yang pernah diderita ada 25,7 22,9 18 16 tidak ada 74,3 77,1 52 54 Total 70 100 70 100
pvalue
Total
Variabel
n
% 0,811
19 118 3
13,6 84,3 2,1
91 49
65 35
46 94
32,9 67,1
34 106 140
24,3 75,7 100
0,595
0,150
0,693
Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (>60%) jarak anak yang dilahirkan pada kedua kelompok balita yaitu berjarak ≥ 24 bulan. Namun distribusi data yang diperoleh, balita yang jarak kelahiran ≥ 24 bulan lebih tinggi (72,9%) pada keluarga kelompok balita stunting dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,4%). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, jarak kelahiran anak ≥ 24 bulan berhubungan dengan jumlah anak lebih sedikit (≤ 2 orang). Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jarak anak yang dilahirkan dengan status gizi (p>0,05). Sementara menurut Supariasa (2002), Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga. Penelitian Wyon dan Gordon tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari dua tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan menurun dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009). Selanjutnya Wong (2008) berpendapat bahwa pengaruh terhadap anak yang lebih
69
tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu ancaman. Pada saat usia anak paling tua masih kecil, konsep diri belum matang sehingga muncul perasaan terancam. Sebagian besar (75,7%) ibu contoh kedua kelompok balita tidak memiliki penyakit berat sebelum kehamilan. Persentase ibu yang sehat (tidak memilki penyakit) sebelum/saat hamil lebih tinggi (77,1%) pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok balita stunting (74,3%). Sementara 24,3 persen ibu contoh yang memiliki penyakit antara lain, anemia, hipertensi, jantung, paru-paru, kista, maag, alergi dan sakit gigi. Beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain oleh umur kurang dari 19 tahun, umur di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat, tinggi badan kurang dari 145 cm, kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan (faktor genetik), serta riwayat kehamilan yang buruk disebabkan oleh pernah keguguran, pernah persalinan prematur, lahir mati, riwayat persalinan dengan tindakan, pre-eklampsia-eklampsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak (Manuaba 1998). Masalah-masalah yang ditemukan dokter pada wanita hamil usia lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan disebabkan oleh diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah plasenta. Setelah usia 40 tahun, wanita merasakan ketegangan fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih terganggu oleh wasir, inkontinensia, varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri pinggang (Curtis & Asih 2000). Hasil tabulasi silang antar variabel, bahwa penyakit yang pernah diderita ibu berhubungan dengan jenis kelamin dan pendidikan ayah. Hal ini berarti, sebaran data penyakit yang pernah diderita ibu sebelum kehamilan lebih banyak terdapat pada anak laki-laki dan lebih banyak memiliki ayah dengan pendidikan yang rendah. Namun berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara status gizi dengan penyakit yang pernah diderita ibu sebelum kehamilan (Tabel 6).
70
Karakteristik Anak Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran anak (Hurlock 1997). Tabel 7 menunjukkan rata-rata z-skor pada kelompok balita stunting sebesar -2,92
± 0,69 dan balita normal sebesar -0,95 ± 0,91. Berdasarkan z-skor, balita
umur 24-35 tahun memiliki rata-rata tinggi badan 82,9 ± 4,4 dengan z-skor -2,15 ± 1,23 sedangkan rata-rata tinggi badan anak umur 48-59 bulan yaitu 97,4 ± 5,0 memiliki z-skor sebesar -1,83 ± 1,07. Kecenderungan yang diperoleh, pada kelompok stunting berdasarkan penggolongan umur yaitu semakin tinggi umur anak semakin membaik pertumbuhan. Sementara pada kelompok balita normal, fluktuatif. Hal ini menunjukkan jika tidak ditunjang dengan gizi dan pengasuhan yang baik, maka kecenderungan yang terjadi adalah balita menjadi stunting. Tabel 7. Rata-rata tinggi badan dan z skor TB/U berdasarkan umur, jenis kelamin dan urutan anak dalam keluarga Kelompok Balita Karakteristik anak
Stunting
Normal
n
%
Z skor TB/U
n
%
Z skor TB/U
Umur (bulan) 24 - 35 36 - 47 48 - 59
28 24 18
40 34,3 25,7
-2,99 ± 0,69 -2,97 ± 0,81 -2,73 ± 0,46
22 25 23
31,4 35,7 32,9
-1,07 ± 0,85 -0,70 ± 1,00 -1,12 ± 0,85
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
30 40
42,9 57,1
-2,88 ± 0,71 -2,95 ± 0,68
36 34
51,4 48,6
-0,85 ± 1,03 -1,06 ± 0,77
pvalue 0,570
0,310
Urutan anak dalam keluarga Sulung 18 25,7 Tengah 9 12,9 Bungsu 43 61,4 Total 70 Rata-rata ± SD
0,084 2,95 ± 0,65 2,75 ± 0,42 2,94 ± 0,75 -2,92 ± 0,69
29 4 37 70
41,4 5,7 52,9
-0,81 ± 1,03 -0,95 ± 1,23 -1,06 ± 0,79 -0,95 ± 0,91
Selain itu, penggunaan z-skor untuk mengetahui lebih detail dimana posisi suatu skor dalam suatu distribusi dan pada penelitian ini, grafik sebaran z-skor TB/U memiliki kecenderungan ke arah negatif dari grafik referensi standar WHO/NCHS (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok balita normal memiliki kecenderungan yang besar untuk menjadi stunting.
71
Gambar 4. Grafik sebaran Z skor TB/U Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur balita dengan status gizi TB/U tetapi tidak bermakna (p>0,05). Hasil penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur anak dengan status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al (2009) prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, umur anak berhubungan dengan praktek pemberian makan. Semakin bertambah umur anak semakin baik pula praktek pemberian makan yang diberikan ibu contoh (Lampiran 6). Persentase anak laki-laki pada kelompok balita normal lebih tinggi (51,4%) dengan rata-rata nilai z-skor -0,85 ± 1,03 daripada anak perempuan (48,6%) dengan rata-rata nilai z-skor -1,06 ± 0,77. Umumnya anak laki-laki lebih dibebaskan dalam memilih makanan dan pemberian makanan untuk anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan. Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orangtua memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi kebebasan oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003). Namun demikian berdasarkan hasil uji chi-square tidak terdapat hubungan bermakna (p>0,05) antara jenis kelamin dengan status gizi. Menurut urutan kelahiran pada penelitian ini menunjukkan bahwa persentase tertinggi (57,1%) balita contoh merupakan anak bungsu dengan ratarata nilai z-skor -2,07 ± 1,2 dan sebagian besar berada pada kelompok balita
72
stunting (61,4%). Selanjutnya diikuti oleh anak sulung dan persentase kelompok anak tengah yang lebih tinggi (12,9%) dibanding kelompok balita normal (5,7%). Menurut Maulani (2002) Anak tunggal, anak pertama dan anak bungsu biasanya akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dibandingkan dengan anak lainnya. Anak tengah menurut Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, jarang dipuji, menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang tua, dan lebih dituntut untuk berkompromi dan beradaptasi. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan urutan anak (contoh) yang bermakna (p>0,05) terhadap status gizi TB/U. Namun tidak sejalan dengan penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting pada anak balita. Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu Pengetahuan gizi dan kesehatan yang dimiliki ibu sangat penting dan diharapkan anak yang diasuh dan dirawat dapat mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 24-59 bulan dengan status gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berdasarkan kelompok balita Kelompok Balita Variabel
Stunting n %
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu Baik 42,9 30 Kurang 57,1 40 Total 70 100
Total
pvalue
Normal n
%
n
%
48 22 70
68,6 31,4 100
78 62 140
55,7 44,3 100
0,002*
Tabel 8 terlihat bahwa persentase ibu balita contoh dengan pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, lebih tinggi (55,7%) dibandingkan ibu balita yang kurang pengetahuan gizi dan kesehatan (44,3%). Berdasarkan pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, ibu kelompok balita normal memilki nilai yang lebih tinggi (68,6 %) dibandingkan kelompok balita stunting (42,9%). Sebagian besar ibu dapat menjawab dengan benar pertanyaan mengenai ASI Ekslusif, susunan makanan yang bergizi (4 sehat 5 sempurna), sanitasi dan higienis pangan dan lingkungan, kegiatan posyandu yang meliputi penimbangan, manfaat Iodium pemberian kapsul vitamin A serta pemantauan tumbuh kembang balita. Namun
73
pengetahuan ibu tentang gizi yang umumnya kurang diketahui adalah pertanyaan mengenai kolostrum, cara pengolahan bahan pangan, pembuatan larutan oralit, berat badan lahir normal, fungsi dan sumber bahan pangan zat gizi (Lampiran 5). Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007). Tabulasi silang data antar variabel menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berhubungan dengan riwayat kehamilan dan riwayat konsumsi ASI. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik, memberikan dampak riwayat kehamilan dan riwayat konsumsi ASI yang baik (Lampiran 6). Berdasarkan hasil uji chi square, terdapat hubungan positif yang bermakna (p<0,05) antara pengetahuan ibu dengan status gizi TB/U. Sejalan dengan hasil Mariani (2002), menemukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk lebih memilih makanan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian Martianto et al. (2008), penegetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu. Riwayat Kehamilan, Kelahiran dan Konsumsi ASI Riwayat Kehamilan Ibu Penentuan Riwayat kehamilan ibu meliputi jenis persalinan, tempat persalinan, komplikasi persalinan, riwayat persalinan, pemeriksaan kesehatan serta makanan dan minumam yang dikonsumsi selama kehamilan. Tabel 9 menunjukkan rata-rata riwayat kehamilan ibu contoh termasuk dalam kategori baik sebesar 75,7 persen. Riwayat kehamilan ibu kategori baik pada kelompok balita normal lebih tinggi (84,3%) daripada kelompok balita stunting (67,1%). Ibu yang termasuk kategori kurang baik (24,3%) umumnya memiliki komplikasi pendarahan,
pernah
mengalami
keguguran,
mengkonsumsi
jamu,
tidak
mengkonsumsi suplemen yang diberikan petugas kesehatan dan tidak melakukan pemeriksaan kehamilan secara berkala.
74
Menurut Arisman (2004) Jika seluruh bahan makanan yang diperlukan untuk ibu hamil dikonsumsi, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui suplementasi. Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Kebiasaan minum jamu dilakukan beberapa ibu dan merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan dari nenek moyang. Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan, terutama bila ada riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada trimester pertama merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan, kemungkinan pada trimester kedua bisa lebih longgar, tapi meskipun demikian harus tetap berhati-hati, dosis pemakaiannya disesuaikan, disertai pemeriksaan antenatal care (Melindacare 2010). Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kehamilan ibu, kelahiran anak dan konsumsi ASI Kelompok Balita Variabel
Stunting
n Riwayat Kehamilan Baik 47 Kurang 23 Riwayat Kelahiran Anak Baik 37 Kurang 33 Riwayat Konsumsi ASI Baik 52 Kurang 18 Total 70
Total
Normal
%
n
%
n
%
67,1 32,9
59 11
84,3 15,7
106 34
75,7 24,3
52,9 47,1
32 38
45,7 54,3
69 71
49,3 50,7
74,3 25,7 100
54 16 70
77,1 22,9 100
106 34 140
75,7 24,3 100
pvalue 0,018
0,398
0,693
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p<0,05) antara riwayat kehamilan ibu dengan status gizi (TB/U). Menurut Lubis (2003) Kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Variabel lain pada pengukuran riwayat kehamilan ibu yaitu penolong persalinan dan tempat persalinan. Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 10 yaitu
75
ibu contoh lebih banyak dibantu pada saat persalinan oleh bidan (65,7%) dan dukun bayi (25%). Umumnya ibu contoh lebih banyak berkonsultasi dan mempercayakan kehamilannya kepada bidan dan dukun bayi daripada dokter. Hal ini karena juga dipengaruhi faktor biaya yang dikeluarkan bila berkonsultasi maupun melahirkan di bantu oleh dokter umumnya lebih banyak. Tempat persalinan yang umumnya digunakan ibu contoh yaitu tempat bidan (60%). Persentase tertinggi kedua tempat persalinan yang dipilih yaitu di rumah. Rumah dipilih sebagai tempat persalinan karena selain faktor biaya yang menjadi alasan utama juga proses persalinan berlangsung sealami mungkin (Tabel 10). Tabel 10. Variabel penunjang pada riwayat kehamilan ibu Kelompok Balita Variabel lain Penolong persalinan Dokter Bidan Dukun bayi Saudara/famili Kader Tempat persalinan RS/RB Bidan Dukun bayi Puskesmas Rumah Total
Stunting
Total
Normal
n
%
n
%
n
%
4 41 24 1 0
5,7 58,6 34,3 1,4 0
6 51 11 0 2
8,6 72,9 15,7 0 2,9
10 92 35 1 2
7,1 65,7 25 0,7 1,4
2 40 3 1 24 70
2,9 57,1 4,3 1,4 34,3 100
10 44 2 1 13 70
14,3 62,9 2,9 1,4 18,6 100
12 84 5 2 37 140
8,6 60 3,6 1,4 26,4 100
Riwayat Kelahiran Anak Penentuan riwayat kelahiran anak meliputi panjang dan berat badan, sumber informasi saat lahir serta riwayat penyakit bawaan yang dimiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase riwayat kelahiran contoh lebih tinggi (50,7%) berada pada kategori kurang baik dibandingkan kategori baik (49,3%) (Tabel 9). Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, beberapa anak yang termasuk dalam kategori kurang baik dikarenakan ibu contoh saat persalinan dibantu oleh selain dokter maupun bidan yang belum memiliki fasilitas kesehatan yang memadai sehingga kurang adanya perhatian terhadap pengukuran maupun penimbangan pada saat bayi lahir serta higienitas peralatan yang digunakan. Sumber informasi yang didapat mengenai pengukuran panjang maupun berat
76
badan saat lahir mengandalkan pengakuan atau ingatan ibu saja serta adanya penyakit bawaan saat lahir berupa flek di paru-paru, asma serta alergi. Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Sinaga (2011) panjang bayi lahir merupakan pengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian di Bogor, penambahan panjang bayi berjalan dengan baik hanya sampai usia 5 bulan setelah itu gangguan pertumbuhan linier mulai terjadi (Schmidt et al. 2002). Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g, sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth (<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (intrauterine). Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat kelahiran anak dengan status gizi (TB/U). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan bahwa riwayat kelahiran anak berhubungan dengan urutan anak dalam keluarga dan praktek pemberian makan. Balita dengan riwayat kelahiran baik, umumnya dimiliki oleh anak bungsu. Selain itu, dengan riwayat kelahiran yang baik memberikan dampak yang baik pula terhadap pola asuh (praktek pemberian makan) yang diberikan ibu (Lampiran 6). Riwayat Konsumsi ASI Penentuan riwayat konsumsi ASI contoh meliputi pemberian kolostrum, ASI eksklusif, makanan-minuman saat lahir, MP-ASI serta pemberian susu formula. Tabel 9 menunjukkan hasil riwayat konsumsi ASI baik lebih tinggi (75,7%) dibandingkan riwayat konsumsi ASI yang kurang baik (24,3%). Hasil riwayat konsumsi ASI baik pada kelompok balita normal lebih tinggi (77,1%) dari kelompok balita stunting (74,3%). Berdasarkan hasil data dan wawancara, riwayat konsumsi ASI yang kurang baik disebabkan antara lain oleh kurangnya
77
pengetahuan mengenai kolostrum, masih menganggap kotor ASI pertama yang keluar dan khawatir anak akan sakit. Masih ada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif dengan beberapa alasan karena ASI yang keluar sedikit, anak rewel sehingga diberikan makan bahkan ada yang memberikan air tajin dengan alasan agar usus menjadi kuat. Memberikan makanan dan minuman saat lahir seperti madu. Pemberian MP-ASI yang terlalu cepat (< 6 bulan) seperti pisang mas dengan alasan untuk membersihkan perut sehingga akan menurunkan konsumsi ASI dan mengalami gangguan pencernaan atau bisa diare. Hasil uji chi square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara status gizi TB/U dengan riwayat konsumsi ASI. Namun Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap status pemberian ASI telah banyak dilakukan. Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al. (2003) adalah konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI. Sementara penelitian di Sudan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang berkolerasi dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Berdasarkan hasil data tabulasi silang antar variabel, menunjukkan riwayat konsumsi ASI berhubungan dengan status kerja ibu dan pengetahuan gizi dan kesehatan. Balita dengan riwayat konsumsi ASI baik berasal dari ibu yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) dan memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik pula (Lampiran 6). Pola Asuh Makan dan Kesehatan Pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya (FAO/WHO 1992). Pengasuhan didefinisikan juga sebagai perilaku dan praktek dari pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam hal makanan, kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk tumbuh kembang anak (Engle & Lotska (1999) dalam Jallow 2006).
78
Pola Asuh Makan Pola asuh makan yang diukur dalam penelitian ini meliputi praktek pemberian makan dan praktek sanitasi pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tertinggi (63,6%) praktek pemberian makan berada pada kategori baik dan 36,4 persen termasuk kategori kurang baik. Ibu yang memiliki praktek pemberian makan kategori baik, lebih tinggi (70%) berada pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok stunting (57,1%). Berdasarkan hasil wawancara, kategori kurang baik dikarenakan beberapa hal, antara lain: pada umur kurang dari 6 bulan, balita sudah diberikan makanan padat pertama; makanan yang diberikan hanya sesuai dengan permintaan atau kesukaan anak tanpa memperhatikan kandungan gizi yang ada dengan alasan anak rewel; serta ada beberapa anak yang sulit makan dengan frekuensi makan kurang dari 3 kali. Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan hubungan praktek pemberian makan dengan umur balita, banyak anak, riwayat kehamilan ibu, dan riwayat kelahiran anak kategori baik. Hal ini berarti, sebaran data praktek pemberian makan yang baik berada pada balita umur 36-47 bulan dan berada pada keluarga dengan anak kurang dari 2 orang. Praktek pemberian makan baik dipengaruhi oleh riwayat kehamilan ibu dan riwayat kelahiran anak yang baik pula. Praktek pemberian makan berhubungan dengan riwayat kesehatan dan keragaman yang kurang baik. Hal ini mengindikasikan balita dengan riwayat kesehatan dan keragaman makanan yang kurang baik mendapatkan perhatian yang lebih (baik) dari ibu balita contoh untuk perbaikan status gizi balita tersebut (Lampiran 6). Berdasarkan uji chi square, tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05) antara praktek pemberian makan dengan status gizi TB/U. Namun penelitian yang dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36 bulan di Amerika Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki status gizi yang lebih bagus. Penelitian Turnip (2008) terhadap positive deviance anak usia 12-24 bulan di Kecamatan Sidikalang, Medan, menghasilkan bahwa anak yang status gizinya tidak baik memiliki peluang 4,3 kali pada keluarga yang kebiasaan pemberian makan tidak baik. Selanjutnya Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak.
79
Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan Kelompok Balita Variabel
stunting n %
Praktek Pemberian Makan Baik 40 Kurang 30 Praktek Sanitasi Pangan Baik 43 Kurang 27 Total 70
n
normal %
Total n
pvalue
% 0,114
57.1 42,9
49 21
70 30
89 51
63,6 36,4
61,4 38,6 100
36 34 70
51,4 48,6 100
79 61 140
56,4 43,6 100
0,233
Tabel 11 menunjukkan persentase tertinggi (56,4%) praktek sanitasi pangan yang dilakukan ibu contoh berada pada kategori baik sedangkan 43,6 persen dikategorikan tidak baik. Praktek sanitasi pangan kategori baik pada kelompok balita normal lebih rendah (51,4%) daripada kelompok stunting (61,4%). Berdasarkan hasil wawancara, masih ada ibu yang kadang-kadang bahkan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum memasak, masih ada ibu yang kadangkadang tidak memisahkan makanan mentah yang busuk dengan yang masih baik, hal ini sebaiknya jangan dilakukan karena biasanya mengandung banyak kuman pathogen. Masih ada ibu yang menghangatkan kembali makanan lama (<2 jam) untuk diberikan ke anaknya. Menurut WHO (2005), mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau membunuh patogen mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam mencuci tangan tidak efektif untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak dapat melepaskan lemak, minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan bagian dari kotoran organik. Pola asuh makan terkait dengan pemberian makan yang mencukupi kebutuhan anak, yang pada akhimya akan memberikan sumbangan terhadap status gizi anak. Hal ini berarti pola asuh makan secara tidak langsung berhubungan dengan baik buruknya status gizi anak balita. Hasil tabulasi silang antar variabel diperoleh bahwa praktek sanitasi pangan dipengaruhi oleh status kerja ibu dan praktek perawatan diri yang baik. Hal ini berarti bahwa ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah kemungkinan akan memberikan praktek sanitasi yang lebih baik dan optimal. Ibu yang memberikan praktek sanitasi pangan yang
80
baik memberikan kontribusi yang baik terhadap praktek perawatan diri (Lampiran 6). Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05) antara pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) dengan status gizi TB/U. Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Astari di Bogor (2005) yang menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata antara keluarga miskin pada kelompok anak normal dengan pengasuhan yang meliputi praktek pemberian makan, praktek sanitasi pangan dan praktek sanitasi lingkungan. Pola Asuh Kesehatan Penentuan pola asuh kesehatan meliputi praktek perawatan diri anak dan praktek sanitasi lingkungan. Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase tertinggi praktek perawatan diri berada pada kategori baik (65%) dan kategori baik kelompok balita normal lebih tinggi (67,1%) dibandingkan kelompok balita stunting (62,9%). Berdasarkan hasil wawancara, beberapa kelompok balita yang termasuk kategori kurang disebabkan antara lain: masih ada contoh yang menggunakan alat mandi dengan saudara lainnya, masih ada ibu yang tidak menggantikan baju anak setelah selesai mandi karena dianggap masih bersih, masih ada ibu pada kedua kelompok anak tidak membersihkan anak bahkan kadang tidak mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar serta kurangnya perhatian ibu terhadap perawatan kebersihan anak dengan tidak memperhatikan kebersihan kuku dengan memotong secara berkala seminggu sekali. Menurut WHO (2005) kuku dan tangan yang kotor, tidak dicuci dengan sabun sebelum makan dapat menjadi lubang entri bagi telur cacing. Mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau membunuh patogen mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam mencuci tangan tidak efektif untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak dapat melepaskan lemak, minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan bagian dari kotoran organik (WHO 2005). Selain itu, Procop & Cockerill (2003) mengatakan bahwa salah satu pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghentikan penularan diare, antara lain menjaga higiene pribadi yang baik dengan mencuci tangan setelah keluar dari toilet terutama selama mengolah makanan.
81
Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan Variabel
Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Total n
%
Praktek Perawatan Diri Baik
44 Kurang 26 Praktek Sanitasi Lingkungan Baik 36 Kurang 34 Total 70
pvalue 0,595
62,9
47
67,1
91
65
37,1
23
32,9
49
35 0,038*
51,4 48,6 100
48 22 70
68,6 31,4 100
84 56 140
60 40 100
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (60%) praktek sanitasi lingkungan berada pada kategori baik dan persentase tertinggi berada pada keluarga kelompok balita normal (68,6%) dibandingkan kelompok stunting (51,4%). Menurut Syarief (1997) Selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan, status gizi seseorang secara langsung dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan sanitasi, termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara praktek perawatan diri dengan status gizi TB/U. Namun ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara praktek sanitasi lingkungan dengan status gizi TB/U (Tabel 12). Data tabulasi silang antar variabel menunjukkan bahwa praktek perawatan diri berhubungan dengan urutan anak dalam keluarga, banyak anak, riwayat kehamilan dan praktek sanitasi pangan. Hal ini berarti praktek perawatan diri yang baik, lebih banyak berada pada keluarga yang memiliki sedikit anak (≤ 2 orang), merupakan anak bungsu, riwayat kehamilan ibu yang baik dan memiliki praktek sanitasi pangan yang baik. Sementara praktek sanitasi lingkungan berhubungan dengan pendidikan ayah. Hal ini berarti bahwa praktek lingkungan yang baik juga dapat berasal dari ayah yang berpendidikan rendah (Lampiran 6). Variabel lain yang diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan praktek sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan jamban keluarga, sumber air untuk MCK dan ketersediaan tempat sampah (Tabel 13).
82
Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia harus diperhatikan, karena banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan kotoran. Penyakit-penyakit tersebut disebarkan melalui air (water born disease) seperti penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri (Entjang 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (80.7%) keluarga contoh sudah memiliki kesadaran untuk memiliki jamban keluarga sendiri. Sedangkan yang tidak memiliki jamban sendiri ( 19,3%) umumnya menggunakan kali dan jamban umum. Jamban umum yang disediakan ada yang terawat dengan kesadaan warga sendiri namun lebih banyak yang kotor, dalam keadaan terbuka bahkan ada yang sudah rusak. Tabel 13. Variabel penunjang pada praktek sanitasi lingkungan Kelompok Balita Variabel
Stunting n
Memiliki jamban keluarga Ya 49 Tidak 21 Sumber air untuk MCK Ledeng 1 Sumur/pompa 63 Mata air 2 Air gunung 2 Sungai 2 Tempat sampah tertutup, di luar 4 rumah tertutup, di dalam 5 rumah terbuka, di luar 13 rumah terbuka, di dalam 48 rumah Total 70
Total
Normal
%
n
%
n
%
70 30
64 6
91.4 8.6
113 27
80.7 19.3
1.4 90 2.9 2.9 2.9
9 60 0 1 0
12.9 85.7 0 1.4 0
10 123 2 3 2
7.1 87.9 1.4 2.1 1.4
5.7
13
18.6
17
12.1
7.1
8
11.4
13
9.3
18.6
3
4.3
16
11.4
68.6
46
65.7
94
67.1
100
70
100
140
100
Pada umumnya, sumber air untuk MCK pada keluarga contoh berasal dari sumur yang ditutup (87,9%). Menurut Entjang (2000) Air sumur merupakan air dalam tanah dan merupakan sumber utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Harus memperhatikan jarak sumur terhadap resapan/septic tank, mencukupi syarat kesehatan. Air sumur
mengandung unsur Fe dan Mn.
Konsentrasi besi yang tinggi dapat dirasakan dan dapat menodai kain dan perkakas dapur.
83
Penyimpanan sampah rumah tangga dalam penelitian ini pada umumnya dengan cara menyediakan tempat sampah terbuka di dalam rumah dan selanjutnya dibuang di tempat pembuangan sampah umum (62,1%). Berdasarkan kedua kelompok balita baik stunting maupun normal, melakukan perlakuan terhadap sampah yang tidak jauh beda (>60%). Tempat pembuangan sampah pada lokasi penelitian berada di pinggir-pinggir jalan dan tanah kosong. Pertambahan penduduk perkotaan menyebabkan bertambahnya jumlah maupun ragam kegiatan masyarakat dan menimbulkan beban pencemaran yang berat. Menurut Entjang (2000) pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan pada gilirannya kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akan terrganggu. Riwayat Kesehatan Anak Balita Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Anak yang menderita penyakit infeksi selain mempengaruhi daya imun juga mempengaruhi nafsu makan yang kemudian akan berpengaruh pada status gizi. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit yang pernah diderita selama 3 bulan yang lalu yaitu 94,3 persen balita terkena penyakit infeksi. Menurut Martianto et al. (2008) bahwa adanya penyakit dapat menyebabkan gangguan penyerapan zat-zat gizi yang dikonsumsi oleh anak balita. Hal ini dapat menjadi penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah infeksi yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Tabel 14 menunjukkan sebagian besar balita contoh (70,7%) tidak mengalami diare dalam kurun waktu tiga bulan yang lalu. Pengobatan yang dilakukan ibu pada anak yang menderita diare, umumnya pergi ke puskesmas dan diberi obat. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung
kuman
yang
terhirup
oleh
orang
sehat
kesaluran
pernapasannya. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Tabel 14 menunjukkan persentase terbesar (70,7%) kelompok anak yang pernah menderita ISPA. ISPA yang terjadi pada
84
penelitian ini, masih berada dalam kategori ISPA ringan akibat batuk pilek biasa. Pengobatan yang dilakukan ibu terhadap anaknya antara lain dengan cara, memberikan obat anakonidin, bodrexin, parasetamol atau contrexin yang dibeli ditoko obat hingga ada yang dibawa ke puskesmas terdekat. ISPA ringan ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk tersebut dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan dan pencemaran udara dalam rumah. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA. Tabel 14 menunjukkan bahwa 15 persen balita pernah mengalami sakit lain selain penyakit infeksi utama yang umum terjadi pada balita, penyakit tersebut antara lain sariawan, sakit gigi, eksim, gatal-gatal. Cara pengobatan yang dilakukan, pergi ke puskesmas dan diberi obat. Untuk Sariawan diberikan borax glycerine 10%. Untuk penyakit kulit diberikan salep antibiotik. Masih adanya keluarga terutama ibu yang kurang memperhatikan kebersihan anak terutama penyebab penyakit kulit, anak yang mandi sehari kurang dari dua kali, peralatan mandi yang digunakan bersama dengan saudara lain seperti handuk dan pakaian. Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit anak Kelompok Balita Stunting Normal
Variabel n Diare dalam 3 bulan terakhir Ya 24 Tidak 46 ISPA dalam 3 bulan terakhir Ya 53 Tidak 17 Penyakit lain Ya 12 Tidak 58 Total 70
Total
%
n
%
n
%
34.3 65.7
17 53
24.3 75.7
41 99
29.3 70.7
75.7 24.3
46 24
65.7 34.3
99 41
70.7 29.3
17.1 82.9
9 61 70
12.9 87.1
21 119 140
15 85 100
Penentuan riwayat kesehatan anak meliputi sebaran kejadian diare, ISPA, dan penyakit yang pernah diderita contoh selama 3 bulan terakhir bahkan hingga saat pengumpulan data. Tabel 15 menunjukkan bahwa kelompok balita yang memiliki riwayat kesehatan baik lebih kecil (22,1%) daripada kelompok balita yang pernah terkena penyakit (77,9%). Pada kategori sehat, kelompok balita normal lebih tinggi (30%) dibandingkan kelompok stunting (14,3%). Hal ini
85
didukung oleh hasil tabulasi silang dimana riwayat kesehatan yang baik (sehat) memiliki besaran nilai yang tinggi dengan beberapa variabel lain yaitu balita dan anak yang dimiliki sedikit, jarak anak lebih dari 24 bulan, pola asuh makan dan kesehatan yang baik, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik. Hal ini diduga menjadi faktor pendukung riwayat kesehatan yang baik pada kedua kelompok balita walaupun berada pada kondisi keluarga kurang mampu. Secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat kesehatan anak dengan status gizi TB/U (p>0,05). Tabel 15. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kesehatan anak Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Variabel
Total n
%
pvalue 0,025*
Riwayat Kesehatan Balita Sehat Sakit Total
10 60 70
14,3 85,7 100
21 49 70
30 70 100
31 109 140
22,1 77,9 100
Pola Konsumsi Makan Balita Setiap anak akan memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan umurnya. Anak yang berumur 1-3 tahun (batita) merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Sedangkan anak balita 3-5 tahun, merupakan konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat memilih makanan yang disukai. Anak-anak pada usia prasekolah menurut Khomsan (2003), sering dianggap sedang memasuki fase Jhony won’t eat (anak sering tidak mau makan). Diusia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak dapat mengerat dan mengunyah dengan baik walaupun maksimal dan bentuk makanan seperti orang dewasa, misalnya nasi dapat diberikan, tetapi tetap disertai dengan cairan atau sayuran berkuah. Kebiasaan makan balita yang bervariasi dalam penelitian ini dilihat dari hasil Food Frequency Questionnaire sedangkan keragaman menu dilihat dari variasi jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak balita per minggu yang diacu dari FFQ yang digunakan oleh FAO bekerjasama dengan FANTA 2006. Kebiasaan Makan Balita Menurut Unicef (1998) penyakit yang diderita anak dan asupan makanan yang tidak cukup penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi. Dari hasil penelitian, pola makan balita secara umum hampir sama dengan pola makan
86
keluarga. Tabel 16 menunjukkan bahwa seluruh balita contoh (100 %) baik kelompok balita stunting maupun normal mengkonsumsi sereal sebagai makanan pokok yang terdiri dari nasi, mie, roti dan ubi. Tabel 16. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan seminggu Kelompok Makanan
Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Sereal ya 70 tidak 0 Sayuran kaya Vit. A ya 52 tidak 18 Umbi-umbian ya 5 tidak 65 Sayuran hijau ya 15 tidak 55 Sayuran lain ya 3 tidak 67 Buah kaya vitamin A ya 19 tidak 51 Buah lain ya 13 tidak 57 Organ Daging ya 0 tidak 70 Daging (isi) ya 4 tidak 66 Telur ya 42 tidak 28 Ikan ya 20 tidak 50 Polong-polongan ya 47 tidak 23 Susu dan produk susu ya 49 tidak 21 Minyak dan Lemak ya 70 tidak 0 Coklat. permen. sirup ya 34 tidak 36 Rempah, bumbu, minuman ya 70 tidak 0 Total 70
Total n
%
pvalue -----
100 0
70 0
100 0
140 0
100 0
74.3 25.7
59 11
84.3 15.7
111 29
79.3 20.7
7.1 92.9
8 62
11.4 88.6
13 127
9.3 90.7
21.4 78.6
20 50
28.6 71.4
35 105
25 75
4.3 95.7
5 65
7.1 92.9
8 132
5.7 94.3
27.1 72.9
22 48
31.4 68.6
41 99
29.3 70.7
18.6 81.4
15 55
21.4 78.6
28 112
20 80
0 100
0 70
0 100
0 140
0 100
5.7 94.3
10 60
14.3 85.7
14 126
10 90
60 40
49 21
70 30
91 49
65 35
28.6 71.4
23 47
32.9 67.1
43 97
30.7 69.3
67.1 32.9
51 19
72.9 27.1
98 42
70 30
70 30
48 22
68.6 31.4
97 43
69.3 30.7
100 0
70 0
100 0
140 0
100 0
48.6 51.4
28 42
45.2 60
62 78
44.3 55.7
100 0 100
70 0 70
100 0 100
140 0 140
100 0 100
0.144
0.382
0.329
0.466
0.577
0.673
-----
0.091
0.215
0.855
0.461
0.587
-----
0.307
-----
87
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
balita contoh (79,3%)
mengkonsumsi sayuran kaya vitamin A. Persentase tertinggi
berada pada
kelompok balita normal (84,3%) dibanding kelompok balita stunting (74,3%). Sayuran kaya vitamin A terdiri dari labu, wortel, atau ubi jalar yang di dalamnya oranye dan sayuran lain kaya vitamin A yang tersedia secara lokal (misalnya paprika). Sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu wortel. Wortel memiliki kandungan kimia yang komplit seperti vitamin A, B, C, D, E dan K, lemak, hidrat, kalsium, fosfor, besi, sodium, arang, gula, beta karoten dan lain-lain. Banyaknya kandungan kimia yang terdapat di dalamnya, menjadikan wortel sangat berguna untuk menjaga kesehatan mata, mengatasi amandel, gangguan pernafasan dan meningkatkan kekebalan tubuh (Medicalcare 2010). Tabel 16 menunjukkan bahwa balita yang mengkonsumsi umbi-umbian sangat sedikit (9,3%) baik dari kelompok balita normal maupun stunting. Kelompok
pangan
umbi-umbian
berdasarkan
FAO
(2011)
antara
lain
kentang putih, ubi putih, singkong, atau makanan yang berbahan dasar dari tumbuhan berakar. Umbi kentang memiliki manfaat yang sama dengan jenis-jenis sayuran lainnya. Setiap 100 gram kentang mengandung kalori 347 kal, protein 0,3 g, lemak 0,1 g, karbohidrat 85,6 g, kalsium 20 mg, fosfor 30 mg, zat besi 0,5 mg, dan vitamin B 0,04 mg (Samadi 2007). Ubi kaya akan antioksidan, yaitu beta karoten (vitamin A), vitamin C, dan vitamin E, dan seng. Semakin gelap warna ubi, semakin banyak antioksidan yang terkandung di dalamnya. Penelitian dari National Cancer Institute menunjukkan bahwa selain baik untuk mata, beta karoten juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan yang dapat berperan penting dalam menstabilkan radikal berinti karbon, sehingga mengurangi resiko kanker (Astawan & Kasih 2008). Banyak balita contoh (75%) yang tidak mengkonsumsi sayuran hijau dibandingkan dengan yang mengkonsumsi (25%). Kelompok Sayuran hijau dalam penelitian ini antara lain : bayam, kangkung, daun singkong dan daun katuk. Komponen yang terkandung dalam pangan yang berwarna hijau yaitu klorofil, beta-karoten, asam folat, vitamin C, Vitamin K serta berbagai vitamin dan mineral lainnya. Klorofil melindungi tubuh dari senyawa-senyawa karsinogenik (penyebab kanker) serta pembentuk sel-sel darah merah karena kemiripan struktur
88
dengan hemoglobin dalam darah sehingga disebut juga sebagai zat antianemia (Astawan & Kasih 2007). Selanjutnya menurut Apriadji (2007), kelompok sayuran hijau banyak mengandung beta karoten, salah satu zat gizi antioksidan yang berperan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Bersama zat-zat antioksidan lainnya, betakaroten memelihara kesehatan sel-sel saraf otak. Selain itu, kandungan antioksidan dan serat alami menjaga kesehatan dan melancarkan saluran pencernaan. Kandungan vitamin K berperan penting dalam proses pembekuan darah dan pembentukan tulang. Sedikit balita (5,7%) yang mengkonsumsi kelompok sayuran lain dengan persentase tertinggi (7,1%) terdapat pada kelompok balita normal. Kelompok Sayuran lain yang termasuk dalam sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu kol. Beberapa survei menunjukkan bahwa senyawa kol mengandung zat anti kanker adalah klorofil, dithiolthione, flavonoid tertentu, isothiocyanate, fenol (coffeic dan asam ferulat), vitamin E dan vitamin C. Kandungan sulfur didalam kol juga dapat membantu melenyapkan alkohol dalam darah, selain itu juga mengobati penyakit kulit (Bangun 2004). Tabel 16 menunjukkan bahwa kelompok balita yang mengkonsumsi buah kaya vitamin A lebih sedikit (70,7%). Pada balita yang mengkonsumsi, Kelompok balita normal lebih tinggi (31,4) dibandingkan dengan kelompok balita stunting (27,1%). Buah kaya vitamin A yang dikonsumsi oleh balita contoh antara lain mangga, pepaya, pisang dan melon. Buah yang diperoleh umumnya dibeli di warung berupa satuan dengan harga Rp. 500 – Rp. 1000,- per buah Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak, dan merupakan vitamin yang esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dampak kekurangan vitamin A sangat bervariasi tergantung tingkatannya, yaitu mulai dari pertumbuhan yang terhambat, ISPA, kulit yang bersisik, hingga masalah kebutaan. Merupakan makanan yang tinggi karoten. Berfungsi bagi pertumbuhan sel-sel epitel dalam pertumbuhan gigi, berpengaruh terhadap kekebalan tubuh dalam merespon antibody, dan sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada syaraf dan mata. Dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (2004), kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang Indonesia.
89
Pada golongan umur balita 1-3 tahun kebutuhan akan vitamin A sebesar 350 RE sedangkan 4-6 tahun sebesar 460 RE (Almatsier 2004). Kelompok balita yang mengkonsumsi buah selain buah kaya vitamin A yaitu salak, jeruk dan semangka. Jeruk dan semangka pada umumnya kaya akan vitamin C tinggi. Pada Tabel 16 menunjukkan persentase balita yang mengkonsumsi buah-buahan tersebut sangat sedikit (20%). Dengan persentase tertinggi pada kelompok balita normal (21,4%) namun selisihnya kecil (18,6%) dari kelompok balita stunting yang sama-sama mengkonsumsi. Salak merupakan salah satu jenis tanaman buah tropis asli Indonesia. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram buah salak segar, salak mengandung 77 kal, tinggi kalsium (28 mg) dan fosfor (18 mg) dan bagian yang dapat dimakan dari buah salak yaitu 50%. Mengkonsumsi salak bermanfaat untuk mengobati diare. Namun, buah salak yang ada rasa sepetnya tidak dianjurkan bagi penderita maag dan radang usus, karena kandungan tannin dapat memperparah kondisi usus yang luka dan sulit dicerna (Rukmana 2008). Pada kelompok pangan daging (isi), hanya sedikit dari balita contoh (10%) yang mengkonsumsi, dan kelompok balita normal lebih banyak (14,3%) yang mengkonsumsi daging dibandingkan kelompok stunting (5,7%). Daging merupakan protein hewani, asam amino penyusun protein hewani sangat mudah dicerna, sehingga sangat baik bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan. Daging ayam dikonsumsi umumnya berasal dari produk sozzis siap makan. Daging sapi yang dikonsumsi berasal dari bakso dan produk sozzis siap makan. Daging sapi merupakan sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6, Sumber zat besi yang baik serta mengandung selenium dan fosfor. Daging ayam merupakan sumber protein, fosfor, dan kalsium yang baik bagi pertumbuhan balita. Kandungan 100 g daging ayam mengandung energi 95 kkal, 18,2 g protein, 2,5 g lemak, 14 mg kalsium, 200 mg fosfor, dan 243 SI vitamin A (Murtidjo 2003). Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak balita contoh (65%) yang mengkonsumsi telur dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (70%) dibandingkan kelompok balita stunting (60% Telur ayam adalah sumber protein yang essensial dan kaya vitamin A, sangat penting untuk penglihatan karena merupakan sumber karotenoid, yaitu lutein dan zeaxanthin yang terdapat
90
pada kuning telur mudah diserap ke dalam retina. Telur juga kaya akan choline yang sangat penting bagi kesehatan, berperan dalam fungsi otak dan system saraf, juga baik bagi kesehatan jantung karena mengandung vitamin B12. Dari sebutir telur dengan berat 50 gram akan diperoleh 6,3 gram protein, 0,6 gram karbohidrat, 5 gram lemak, serta sejumlah vitamin dan mineral. Telur merupakan sumber vitamin D alami kedua terbesar setelah minyak hati ikan hiu. Oleh karena itu, telur sangat baik untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak (Astawan 2009). Ikan dikenal sebagai makanan berprotein tinggi, terutama ikan laut yang banyak mengandung asam lemak omega 3. Asam lemak omega 3 mampu meningkatkan fungsi otak dalam jangka panjang. Selain itu, ikan juga sangat efektif untuk meningkatkan konsentrasi, meningkatkan daya ingat, mencegah kepikunan, meningkatkan kecerdasan, memperlancar sel otak, mencegah penyusutan otak, meningkatkan kemampuan berpikir, serta mengurangi stres dan depresi. Namun begitu, mengkonsumsi ikan tidak serta merta meningkatkan semua itu secara instan karena efeknya akan terasa setelah mengkonsumsinya selama beberapa lama (Medicalcare 2010). Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak balita (69,3%) yang tidak mengkonsumsi ikan. Kelompok balita normal lebih banyak mengkonsumsi ikan (32,9%) dari pada kelompok balita stunting (28,6%). Kebiasaan makan balita contoh terhadap polong-polongan sangat tinggi terutama pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok balita stunting. Kelompok polong-polongan yang biasa dikonsumsi yaitu kebiasaan makan tempe. Tempe merupakan olahan dari kacang kedelai yang difermentasi dan merupakan protein yang sempurna karena mengandung semua asam amino baik yang essensial maupun non essensial. Bermanfaat untuk pertumbuhan tubuh, memelihara kesehatan jaringan sel tubuh, dan perkembangan otak. Setiap 100 g tempe mengandung energy 160 kkal, protein 18,3 g, lemak 4 g, karbohidarat 12,7 g, kalsium 129 mg, dan fosfor 154 mg (Febry & Marendra 2008). Tabel 16 menunjukkan kebiasaan balita dalam mengkonsumsi susu dan produk susu bahwa lebih dari separuh (69,3%) balita contoh minum susu. Persentase tertinggi terdapat pada kelompok balita stunting (70%). Konsumsi susu pada anak balita bervariasi yaitu susu kental manis, susu bubuk dan susu UHT (kotak) namun yang paling banyak disukai anak balita yaitu susu kental manis.
91
Susu mengandung kalsium, fosfor, zinc, vitamin A, D, B12, asam amino dan asam pantotenat. Bagi anak-anak, susu berguna untuk pertumbuhan tulang yang membuat anak menjadi bertambah tinggi, mencegah kerusakan gigi dan menjaga kesehatan mulut. Susu mampu mengurangi keasaman mulut, merangsang air liur, mengurangi plak dan mencegah gigi berlubang (Astawan 2009). Pemanis yang dikonsumsi balita terdiri dari coklat, permen dan sirup. 44,3 persen balita contoh mengkonsumsi makanan manis dan persentase tertinggi (48,6%) terdapat pada kelompok balita stunting. Permen adalah sejenis gulagula (confectionary) adalah makanan berkalori tinggi yang pada umumnya berbahan dasar gula, air, dan sirup fruktosa. Kadar gula dalam permen tinggi, sehingga dapat menyebabkan gigi berlubang. Seluruh balita contoh (100%) mengkonsumsi rempah, bumbu dan minuman dikarenakan makanan yang disajikan orangtua balita umumnya diberikan bumbu dan rempah untuk menambah cita rasa. Hasil wawancara dengan ibu balita menunjukkan bahwa konsumsi minuman pada anak balita cukup bervariasi bila dilihat dari macamnya yaitu teh manis, sirup dan jajanan berupa minuma perisa berupa frutang, ale-ale dan teh sisri. Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kakao, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan alga laut dan air tawar (Shui, 2004). Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptide, melanoidin, produk-produk reduksi dan asam-asam organic lain (Pratta, 1992, di dalam Panjaitan et al. 2008). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara kebiasaan makan balita dari 16 kelompok makanan dengan status gizi TB/U. Gambaran mengenai kebiasaan makan anak balita contoh mencerminkan bahwa beberapa jenis bahan makanan yang sangat kaya akan zat gizi esensial dan dibutuhkan kelompok anak balita seperti ikan kaya omega 3 dan daging sebagai sumber protein, susu sebagai sumber protein dan kalsium, serta sejumlah sayuran dan buah-buahan sebagai sumber vitamin dan mineral masih sangat terbatas dan lebih menekankan pada upaya pemenuhan konsumsi bahan makanan pokok yakni beras. Menurut Depkes (2002b), Pola
92
makan yang sehat berdasarkan PUGS adalah makanan yang mengandung semua unsur gizi seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Keragaman Makanan Balita Keragaman makanan dalam penelitian ini mengacu pada kuesioner yang digunakan
FAO
bekerjasama
dengan
FANTA
(2006).
Dikelompokkan
berdasarkan kandungan makanan yang dikonsumsi dalam seminggu pada setiap zat gizi dengan cara di skoring. Keragaman makanan dikatakan „rendah‟ jika mengandung ≤ 3 jenis kelompok makanan yaitu serealia, sayuran hijau dan buah kaya vitamin A. Dikatakan „sedang‟ jika keragaman makanan terdiri dari 4 hingga 5 jenis kelompok makanan, yaitu serealia, sayuran hijau, buah kaya vitamin A dan minyak. Dikatakan keragaman „tinggi‟ jika mengandung lebih dari 6 jenis kelompok makanan dengan penambahan sayuran lain, ikan dan polong-polongan. Tabel 17 menunjukkan bahwa persentase tertinggi keragaman menu makanan balita terdapat pada kelompok maksimal 3 jenis kelompok makanan (88,6%), sementara keragaman menu makanan paling rendah (2,9%) terdapat pada kelompok lebih dari 6 jenis kelompok makanan. Hal ini mencerminkan bahwa tidak semua jenis makanan yang disajikan dalam menu keluarga juga dikonsumsi oleh sebagian besar anak balita. Keadaan tersebut akan membatasi sejumlah zat gizi yang penting atau esensial untuk mencapai proses tumbuh kembang yang optimal bagi balita sehingga proses tumbuh kembang akan terhambat. Keadaan ini harus diperbaiki dan diupayakan untuk lebih variasi menu yang ada, selalu diganti dengan jenis makanan lainnya dan pengolahannya pun divariasikan untuk menghindari kebosanan dan meningkatkan ketertarikan dalam konsumsi jenis-jenis makanan khususnya sayuran hijau dan buah kaya vitamin A. Tabel 17. Sebaran contoh berdasarkan keragaman makanan seminggu Variabel Keragaman makanan seminggu ≤ 3 jenis kel. Makanan (kurang) 4-5 jenis kel. Makanan (sedang) ≥ 6 jenis kel. Makanan (tinggi) Total
Kelompok Balita Stunting Normal n % n %
Total n
%
124 12 4 140
88,6 8,6 2,9 100
pvalue 0,054
66 4 0 70
94.3 5.7 0 100
58 8 4 70
82.9 11.4 5.7 100
93
Berdasarkan hasil uji chi square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara keragaman makanan balita contoh dengan status gizi. Hasil tabulasi silang antar variabel menghasilkan keragaman makanan rendah berhubungan dengan praktek pemberian makan yang kurang baik dan terjadi pada balita yang pernah terkena penyakit infeksi dimasa lalu (Lampiran 6). Penelitian Sandjaja (2001) dalam Positive Deviance status gizi balita menunjukkan faktor yang berperan nyata terhadap resiko kurang gizi adalah adanya penyakit infeksi yaitu batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Arimond dan Ruel (2004) menyatakan keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi dan makanan dapat terhindar dari kurang gizi. Analisis Hubungan Faktor-Faktor Terkait Resiko Stunting Hasil analisis regresi logistik yang dilakukan untuk mengetahui variabel yang memiliki hubungan bermakna (p<0,05) dengan stunting yaitu riwayat kesehatan balita, status kerja ibu dan pendidikan ibu. Nilai R2 Nagelkerke sebesar 0.303 yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini terhadap stunting anak usia 24-59 bulan sebesar 30.3 persen dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti (Lampiran 7). Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,236 kali lebih kecil pada anak balita yang memiliki ibu berpendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun) dengan nilai OR=0.236; 95%CI:0,057-0.973. Berarti balita yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun), memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan pola asuh lingkungan (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya peranan orangtua terhadap anak. Menurut Madanijah (2003) terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Selanjutnya penelitian Aditianti (2010) menunjukkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap
94
stunting anak usia 24-59 bulan di Indonesia. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan sanitasi lingkungan dan personal hygiene yang kurang. Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,328 kali lebih kecil pada anak balita yang memiliki riwayat kesehatan yang baik (tidak pernah terkena penyakit infeksi) dengan nilai OR=0.328; 95%CI: 0.129-0.835. Berarti balita yang memiliki masa lalu kesehatan yang baik tanpa penyakit infeksi memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002). Tabel 18. Hasil regresi logistik stunting Variabel
Riwayat kesehatan balita (sehat = 0) (sakit = 1) Pekerjaan ibu (tidak bekerja =0) (bekerja = 1) Pendidikan ibu (tinggi = 0) (rendah = 1) Tinggi badan ibu (≥ 156 cm = 0) (< 156 cm = 1) Prak sanitasi lingkungan (baik = 0) (kurang = 1) Pendidikan ayah (tinggi = 0) (rendah = 1) Riwayat kehamilan ibu (baik =0) (kurang = 1) Peng. gizi dan kesehatan (baik = 0) (kurang = 1) Constant signifikan p < 0.05
B
OR Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Sig.
-1.114
0.328
0.129
0.835
0.019
-1.151
0.316
0.109
0.920
0.035
-1.445
0.236
0.057
0.973
0.046
-1.072
0.342
0.117
1.006
0.051
-0.780
0.458
0.205
1.024
0.057
-0.603
0.547
0.220
1.364
0.196
-0.489
0.613
0.241
1.562
0.305
-0.225 4.177
0.799 65.141
0.348
1.835
0.596 0.000
95
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,316 kali lebih kecil pada anak balita yang ibunya tidak bekerja dibanding balita yang ibunya bekerja dengan nilai OR=0.316; 95%CI: 0.109-0.920. Berarti dengan keberadaan ibu di rumah memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak bisa terhindar dari masalah stunting. Hal ini juga didukung dengan hasil tabulasi silang yang menunjukkan bahwa pola pengasuhan baik pada pola asuh kesehatan dan pola asuh kesehatan, anak terkena infeksi yang rendah serta pengetahuan gizi dan kesehatan besar jumlahnya terdapat pada anak yang memiliki ibu dengan status tidak bekerja. Pola asuh yang baik merupakan gambaran dari adanya interaksi positif antara anak dengan pengasuh utama yang dapat membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Dengan pola asuh yang baik termasuk dalam memberikan perhatian dapat menciptakan perkembangan anak yang normal. Pada umumnya di negara-negara berkembang pelaku utama pengasuhan bagi bayi dan anak balita dalam rumah tangga adalah ibu. Hasil penelitian Rogers dan Youssef (1988) menunjukkan bahwa ibu memberikan alokasi waktu yang lebih banyak dalam pengasuhan anak, selanjutnya adalah wanita lainnya dalam keluarga misalnya nenek, bibi dan kakak perempuan. Selanjutnya, penelitian di daerah rural Chad Afrika bahwa karakteristik ibu sebagai pengasuh utama anak usia 12-71 bulan berpengaruh terhadap status gizi anak. Penelitian yang sama dengan Widayani et al. (2001) menemukan korelasi yang positif antara pola asuh ibu dengan status gizi anaknya. Proses mengasuh dan mendidik anak memerlukan waktu yang cukup, walaupun saat ini berkembang bahwa pola pengasuhan itu yang terpenting adalah kualitasnya, tetap saja diperlukan kuantitas dalam hal ini waktu kebersamaan ibu dengan anaknya. Seorang wanita pekerja mempunyai waktu yang terbatas dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Mereka harus berbagi waktu antara bekerja, pekerjaan domestik dan mengasuh serta mendidik anaknya. Menurut Satoto (1997), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak
96
bisa terhindar dari masalah stunting. Sejalan dengan hasil penelitian ini, ditelusuri dengan tabulasi silang ditemukan bahwa pola asuh yang baik dan riwayat kesehatan anak pun baik. Tabulasi silang pola asuh yang baik berkaitan dengan pengetahuan gizi ibu yang baik pula walaupun pendidikan ibu rendah. Berg (1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor, di samping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media massa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa pengetahuan yang bisa diperoleh, melalui penyuluhan gizi di posyandu dimana merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang antara lain terciptanya sikap positif terhadap gizi, terbentuknya pengetahuan dan kecakapan memilih dan menggunakan sumber-sumber pangan, timbulnya kebiasaan makan yang baik serta adanya motivasi untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan gizi. (Suharjo 2003). Sejalan dengan hal ini, menurut Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Faktor-faktor yang merupakan Positive Deviance Masalah Stunting Untuk mengetahui faktor-faktor yang merupakan positive deviance pada anak usia 24-59 bulan yang paling berpengaruh maka dilakukan analisis regresi logistik dari hasil uji chi-square yaitu faktor riwayat kehamilan ibu dan praktek sanitasi lingkungan, ternyata yang berpengaruh adalah faktor riwayat kehamilan ibu dan praktek sanitasi lingkungan (Tabel 19). Nilai R2 Nagelkerke sebesar 0.089
97
yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini terhadap positive deviance masalah stunting balita umur 24-59 bulan sebesar 8.9 persen dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti (Lampiran 8). Tabel 19. Hasil regresi logistik positive deviance Variabel
Prak sanitasi lingkungan (baik = 0) (kurang = 1) Riwayat kehamilan ibu (baik =0) (kurang = 1) Konstanta
B
OR Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Sig.
-0.712
0.491
0.243
0.990
0.047
-0.954 0.508
0.385 1.662
0.169
0.879
0.023 0.038
signifikan p < 0.05
Tabel 19 menunjukkan bahwa variabel riwayat kehamilan ibu dan praktek sanitasi lingkungan secara keseluruhan memiliki p-value <0,05, berarti kedua variabel tersebut berhubungan secara signifikan dan berpengaruh negatif dengan status gizi TB/U balita umur 24-59 bulan. Hal ini dapat diartikan bahwa anak balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan baik, berpeluang terhindar dari stunting 0.385 kali (95%CI: 0.169-0.879) dibanding balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan kurang baik. Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki oleh kelompok balita normal, antara lain: ibu yang tidak pernah mengalami keguguran, selama kehamilan tidak mengkonsumsi jamu dan melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin. Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan, melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat dilakukan pengobatan (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006), perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan perawatan kehamilan.
98
Menurut dr. Hasnah Siregar, baiknya minum jamu di saat hamil maupun setelah melahirkan, Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri yang segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga terjamin kehigienisannya. Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya (Melindacare 2010). Hal ini dapat diartikan bahwa anak balita dengan praktek sanitasi lingkungan baik, berpeluang terhindar dari stunting 0.491 kali (95%CI: 0.2430.990) dibanding balita dengan praktek sanitasi lingkungan kurang baik. Hasil penelitian ini, didukung oleh beberapa penelitian lain, penelitian Fahrudin (2004) bahwa sanitasi lingkungan rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita, antara lain yang berkaitan dengan jenis lantai, tipe rumah, luas ventilasi, pencahayaan dan kepadatan hunian rumah. Selanjutnya, Turnip (2008) bahwa variabel kebersihan diri merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi tidak baik, terutama kebersihan tubuh, makanan maupun lingkungan akan memberi peluang mencegah kejadian penyakit infeksi. Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki oleh kelompok balita normal, antara lain: rumah selalu di pel setiap hari sebelum anak bermain, ada jarak antara rumah keluarga dengan tetangga, dan memperhatikan kebersihan jamban keluarga setelah digunakan. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat, erat kaitannya dengan penyakit ISPA dan tuberkolosis dan penyediaan air bersih serta sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare, kecacingan dan penyakit yang ditularkan oleh vector penular (Ditjen PPM dan PL 2002).