HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Sistem irigasi Jatiluhur berlokasi pada 6° - 6°40’ LS dan 106°8’ - 107°0’ BT yang berjarak sekitar 140 km dari Jakarta di bagian Barat sampai dengan Sungai Cilalanang di bagian Timur, dan dibatasi oleh Laut Jawa di Utara serta lembah sungai di bagian Selatan. Sistem irigasi Jatiluhur dikelola oleh Perum Jasa Tirta II yang berkantor pusat di Purwakarta. Berdasarkan sumber air yang tersedia, DI Jatiluhur dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian utara yang mendapat air dari Waduk Jatiluhur dan bagian selatan yang mendapat air dari sungai-sungai setempat. Total daerah irigasi adalah 238.133 ha untuk musim rendeng (hujan) 2002 mulai dari bulan Oktober sampai dengan bulan April dan 229 689 ha untuk musim gadu (kemarau) 2002 mulai dari bulan Mei sampai dengan bulan September. Curah hujan tahunan berdasarkan data selama 20 tahun terakhir berkisar antara 1 000 sampai dengan 1 500 mm. Ada tiga saluran induk (primer) yang mengalirkan air dari waduk yaitu Saluran Tarum Timur sepanjang 67 km untuk daerah Subang dan sekitarnya; Saluran Tarum Utara untuk daerah Karawang melalui bendung Walahar dan Saluran Tarum Barat sepanjang 70 km untuk daerah Bekasi dan suplai Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Ketiga saluran induk tersebut mendapat air dari Bendung Curug yang diperlengkapi dengan pompa dan pintu air. Untuk menyalurkan air ke tiga saluran primer, telah dibangun 16 bangunan utama yang terdiri dari bendung dan pintu-pintu air, yaitu : -
untuk saluran Tarum Timur : Rejag, Kalong, Sungapan, Telar, Jengkol, Karangtaman, Rewelutan, Gadung dan Salamdarma
-
untuk saluran Tarum Utara : Walahar dan Ranggon
-
untuk saluran Tarum Barat : Bekasi, Beet, Cikarang, Sunter, dan Buaran
Selain itu terdapat 14 bangunan utama untuk menyalurkan air ke jaringan irigasi lokal di daerah irigasi bagian selatan, yaitu : Cikeas, Cisomang, Pondoksalam, Pundong, Cinangka, Curugagung, Barugbug, Surupan, Cileuleuy, Macan, Leuwinangka, Pedati, Cilalanang, dan Pangsor.
102
Selain itu terdapat sekitar 1.300 bangunan pendukung diperlengkapi dengan pintu air dan stop logs untuk menyuplai air ke petak irigasi yang berasal dari saluran sekunder ataupun dari sumber setempat. Periode penyaluran air direncanakan dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan dari tiap golongan selama 15 hari kemudian untuk periode 15 hari 3
berikutnya jumlah air akan dikurangi sampai mencapai jumlah 0 (m dtk -1) pada saat mendekati panenan.
Daerah Irigasi Daerah irigasi Jatiluhur tersebar pada lima kabupaten sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 20 berikut :
Tabel 20. Daerah irigasi yang termasuk wilayah otoritas PJT II Kabupaten
Daerah Utara (ha) Bekasi 62 319 Karawang 94 732 Subang 59 746 Indramayu 23 201 Purwakarta 0 Total 240 000 Sumber : Sinotech (1978)
Daerah Selatan (ha) 4 971 11 246 13 954 15 890 18 663 64 724
Total (ha) 64 290 105 972 73 702 39 091 18 663 301 724
Sungai-sungai di daerah Jatiluhur umumnya mengalir dari selatan ke utara dan bermuara di laut Jawa. Sungai-sungai utama adalah Cikeas, Cikarang, Cibeet, Citarum, Ciherang, Cilamaya, Ciasem, Cipunegara, dan Cilalanang. Musim hujan di daerah Jatiluhur umumnya berlangsung dari bulan Nopember sampai dengan Mei, sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober. Data curah hujan selama 20 tahun terakhir : curah hujan tahunan adalah 1.000 – 1.500 mm. Di daerah Wanayasa dekat Subang, curah hujan mencapai 4.000 mm. Secara umum, curah hujan tertinggi terjadi di bulan Januari dan curah hujan terendah berlangsung selama bulan Agustus. Jenis tanah di DI Jatiluhur diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : -
aluvial muda,
-
aluvial tua, dan
103
-
aluvial humus
Lahan pertanian di DI Jatiluhur dibagi menjadi dua kategori yaitu lahan pertanian untuk padi sawah dan lahan kering yang digunakan untuk ladang dan perkebunan misalnya teh dan karet. Pada saat penanaman padi, Perum Jasa Tirta II harus memperhitungkan besarnya perkolasi agar penentuan kebutuhan air irigasi dapat dihitung secara akurat. Tabel 21 menyajikan nilai perkolasi untuk setiap tahap pertumbuhan tanaman padi.
Tabel 21. Nilai perkolasi pada setiap tahap pertumbuhan tanaman padi Tingkat Umur Tanaman No Rendeng Gadu Tanam/Tandur Tanam/Tandur (0 – 15 hari) (0 – 15 hari) 2 Pertumbuhan I Pertumbuhan I (16 – 30 hari) (16 – 30 hari) 3 Pertumbuhan II Pertumbuhan II (31 – 60 hari) (31 – 45 hari) 4 Pembungaan I Pembungaan I (61 – 75 hari) (46 – 60 hari) 5 Pembungaan II Pembungaan II (76 – 90 hari) (61 – 75 hari) 6 Pematangan I Pematangan I (91-105 hari) (76 – 90 hari) 7 Pemtangan II Pematangan II (106 – 120 hari) (91 – 105 hari) Sumber : Perum Jasa Tirta II (2001) 1
Perkolasi (mm/hari) 3,50 3,00 3,00 2,50 2,00 1,50 1,50
Populasi di daerah ini berjumlah sekitar 5 juta jiwa dimana 70% terlibat di dalam kegiatan pertanian. Rata-rata kepemilikan tanah menurut Ketua HKTI, Agusdin Pulungan (2005) adalah 0,3 ha walaupun ada pemilik tanah yang mempunyai lahan seluas 5 – 7,5 ha. Sistem sewa tanah berlaku di daerah ini dimana jumlah pemilik dan penggarap sawah seimbang dengan jumlah penyewa. Umumnya, pola tanam yang dijalankan pada lahan beririgasi teknis dan semi teknis adalah padi-padi-palawija (Oktober/Januari – Pebruari/Mei – Juni/September). Sedangkan pola tanam untuk lahan tadah hujan adalah padipalawija (Maret/Juni – Juli/Oktober).
104
Produktivitas padi untuk daerah ini adalah berkisar antara 5,8 ton ha-1, kacang tanah 0,8 ton ha-1, kedelai 1,3 ton ha-1, dan jagung 3,7 ton ha-1 (Basuki 1990). Tanaman padi yang dibudidayakan meliputi jenis IR64 dan IR24 yang dapat dipanen pada usia 120 hari untuk musim rendeng dan jenis IR1561 yang dapat dipanen pada usia 100 sampai dengan 105 hari untuk musim gadu (Sugeng 2001).
Operasional dan Pemeliharaan Aktivitas operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi pada bagian onfarm atau jaringan tersier dan kuarter dilakukan oleh petani dan bagian off-farm atau jaringan primer, sekunder dan tersier dilakukan oleh petugas Perum Jasa Tirta II. Jaringan primer dan sekunder meliputi bendung, sekat ukur, saluran primer, saluran sekunder, dan saluran tersier (dalam jarak 50 meter dari pintu offtake). Rencana operasional dan pemeliharaan disusun oleh bagian operasional dan pemeliharaan, Direktorat Irigasi untuk kemudian dilaksanakan oleh Pengamat, Seksi dan Divisi dari Perum Jasa Tirta II. Pengoperasian jaringan on-farm dilakukan oleh petani atau P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air), akan tetapi secara umum masih belum efektif. Konsep awalnya adalah aktivitas P3A dilakukan sepenuhnya oleh petani serta diawasi dan dibantu oleh Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian, dan aparat kecamatan setempat.
Manajemen irigasi Perum Jasa Tirta II mengelola daerah irigasi Jatiluhur dengan membawahi tiga divisi yaitu Divisi Usaha I (Bekasi, Cikarang dan LemahAbang), Divisi Usaha II (Rengasdengklok, Telagasari dan Purwakarta), serta Divisi Usaha III (Jatisari, Binong, Patrol dan Subang). Masing-masing divisi membawahi beberapa seksi dan masing-masing seksi membawahi beberapa pengamat. Pengamat Irigasi Cikarang (PI Cikarang), tempat penelitian ini dilakukan, terletak di Desa Kr. Sari Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi yang
105
berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan dipisahkan oleh sungai Citarum. PI Cikarang berada di bawah Seksi LemahAbang dan Divisi Barat. Manajemen sistem irigasi terdiri dari PJT II yang mempunyai kewenangan mengelola jaringan irigasi mulai dari sumber air sampai dengan pintu offtake saluran tersier (off-farm system). Kemudian mulai dari pintu intake saluran tersier sampai dengan petakan sawah dikelola oleh P3A/Mitra Cai setempat. Otoritas irigasi yang bertanggung jawab dalam pen gelolaan jaringan irigasi adalah biro eksploitasi dan biro pemeliharaan untuk segi perencanaan dan divisi untuk segi implementasi dari eksploitasi dan pemeliharaan.
Biro eksploitasi berkewajiban dalam : 1. mempersiapkan perencanaan irigasi untuk setiap saluran utama 2. mengumpulkan data curah hujan dan debit dari sungai dan saluran di daerah irigasi 3. supervisi kegiatan irigasi
Biro pemeliharaan berkewajiban dalam: 1. mempersiapkan kegiatan pemeliharaan sarana di daerah irigasi 2. mempersiapkan dan mengelola anggaran pemeliharaan jaringan irigasi 3. supervisi kegiatan pemeliharaan 4. inspeksi jaringan irigasi 5. mencatat dan menganalisa data pemeliharaan jaringan irigasi
Struktur organisasi Perum Jasa Tirta II disajikan pada Gambar 29, sedangkan manajemen sistem irigasi disajikan pada Gambar 30. Divisi berkewajiban untuk mengawasi kegiatan unit dibawahnya yaitu seksi, pengamat dan juru dalam kegiatan pemompaan air irigasi, penyaluran dan pendistribusiannya. Divisi dan seksi mengelola sumber air dan saluran primer, sedangkan saluran sekunder dan pintu off-take dikelola oleh pengamat dan juru.
Komite Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Direktur Utama
Direktur Administrasi Bagian Umum Administrasi Operasi Pemeliharaan Administrasi Operasi Pemeliharaan
Direktur Irigasi
Produksi Pertanian
Direktur Pembangkitan Tenaga Listrik
Operasi & Pemeliharaan
Konstruksi
Divisi
Biro Administrasi
Biro Pemeliharaan
Biro Operasi
Seksi
Personalia
Perencanaan
Perencanaan
Pengamat
Keuangan
Inspeksi
Inspeksi
Juru
Material
Gambar 29. Struktur organisasi Perum Jasa Tirta II (Sinotech 1978)
106
Penjaga
Pengadaan
107
Penanggung Jawab
Sistem Irigasi
Sumber Air Kantor Divisi
Saluran Primer
Sistem Penyaluran
Kantor Seksi Pintu Pembagi
Pengamat Saluran Sekunder Juru Turn Out
P3A / Mitra Cai
Pintu Ke Saluran Tersier
Kotak Pembagi Gambar 2. Manajemen Sistem Irigasi Kelompok Tani
Petani
Pintu Ke Petak Sawah Sawah
Gambar 30. Manajemen Sistem Irigasi (Sinotech 1978)
Sistem Distribusi
108
P3A/Mitra Cai berkewajiban untuk mengoperasikan sistem distribusi air di jaringan tersier. Saat ini manajemen pengoperasian jaringan tersier oleh petani masih belum efektif dikarenakan ketiadaan atau kurang berfungsinya P3A/Mitra Cai. PJT II telah berusaha untuk mensosialisasikan berdirinya P3A/Mitra Cai dan meningkatkan kinerja P3A/Mitra Cai yang ada. Akan tetapi masih banyak yang harus dikerjakan dalam usaha tersebut karena beberapa faktor sebagai berikut: (1) Tingkat pendidikan yang rendah dari masyarakat petani (2) Kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dan petani (3) Kurangnya teknisi ahli untuk mengelola manajemen irigasi (4) Struktur organisasi yang tidak memadai (5) Lemahnya pengawasan dalam pengoperasian sistem irigasi (6) Manajemen keuangan yang tidak efisien Perencanaan strategi pelayanan irigasi merupakan topik penelitian. Gambar 31 menunjukkan perbandingan topik penelitian ini dengan perencanaan penggunaan lahan lain yang juga mempunyai parameter temporal dan spasial. Parameter spasial meliputi letak jaringan dan petak tersier secara individu sampai dengan keseluruhan sistem irigasi secara nasional. Parameter temporal meliputi jangka waktu mulai dari satuan jam sampai dengan satuan dekade. Perencanaan strategi pelayanan irigasi menitikberatkan pada optimisasi pola penentuan penggunaan lahan secara spasial untuk lahan pertanian, sedangkan parameter temporalnya mempunyai jangka perencanaan tahunan. Dalam perencanaan tahunan, terdapat hal-hal yang harus diperhitungkan misalnya ketersediaan air irigasi, saprodi, tenaga kerja dan aspek komersial dari hasil produksi. Untuk melaksanakan pengelolaan jaringan irigasi dan memberikan pelayanan kepada pelanggan, otoritas irigasi dalam perencanaannya memerlukan data iklim, curah hujan, kapasitas kanal, lahan yang ditanami dan kebutuhan air irigasi. Dari data-data tersebut di atas, manajemen akan melakukan perkiraan kebutuhan air dengan mempertimbangkan tahap pertumbuhan tanaman, faktor iklim dan kondisi tanah pada tingkat Seksi. Kebutuhan air meliputi pengolahan
109
tanah, evapotranspirasi, perkolasi, hujan efektif, dan faktor kehilangan air pada saluran.
Spasial Nasional Rencana Kebijakan Pertanian Propinsi Rencana Strategi Pelayanan Irigasi Perkebunan/ Persawahan Pertanian Presisi Individu
Jam
Hari
Minggu
Bulan
Tahun
Dekade
Temporal
Gambar 31. Parameter Temporal – Spasial pada perencanaan strategi pelayanan irigasi
Sistem Irigasi Golongan Pemberian air irigasi di DI Jatiluhur dibagi menjadi 4 golongan . Penggolongan tersebut juga berarti bahwa petani mulai menanam padi sesuai dengan golongan sawahnya. Golongan I mendapat air mulai tanggal 1 Oktober; Golongan II mendapat air mulai tanggal 16 Oktober, sedangkan Golongan III dan Golongan IV berturut-turut mendapatkan air mulai tanggal 1 Nopember dan 16 Nopember. Penggolongan pemberian air bertujuan untuk mengurangi puncak kebutuhan air irigasi yang dapat terjadi apabila petani mulai menanam padi secara bersamaan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam proses penentuan golongan adalah: -
letak daerah persawahan terhadap sumber air, dimana sawah -sawah yang terletak dekat dengan sumber air akan dikelompokkan menjadi satu, begitu juga sawah -sawah yang berjarak sedang dan berjarak jauh dari sumber air akan dikelompokkan tersendiri
110
-
kebutuhan air irigasi harus lebih kecil atau sama dengan ketersediaan sumber air dengan ketentuan pemberian air pada suatu golongan akan terlebih dahulu dipenuhi dari sumber air setempat (sungai, danau dan lainnya), dan apabila ketersediaan sumber setempat lebih kecil dari permintaan, pihak otoritas irigasi akan menambah kekurangannya.
-
kebutuhan irigasi harus memperhitungkan kondisi cuaca, keadaan tanah dan tahap pertumbuhan tanaman
-
kapasitas saluran air harus mencukupi dalam pemberian air ke tiap-tiap golongan
-
ketersediaan tenaga kerja dan alat mesin pertanian yang mencukupi untuk setiap tahap pertumbuhan tanaman
-
keterlambatan panen dari musim tanam sebelumnya Apabila keseluruhan tahapan di atas telah dilalui, manajemen akan
memperhitungkan kebutuhan irigasi di seluruh daerah irigasi Jatiluhur. Pada saat musim tanam yang dimulai setiap tanggal 1 Oktober, panitia irigasi akan memberikan layanan pengairan dengan perbedaan indeks kebutuhan air sesuai dengan rencana penyediaan dan penggunaan air irigasi tahunan. Menurut rencana pokok penyediaan dan penggunaan air 2001/2002, musim tanam padi rendeng adalah 4,5 bulan, tanam padi gadu 4 bulan dan tanam palawija adalah 2 bulan. Pembagian golongan untuk pelaksanaan musim tanam di wilayah pengamat Cikarang sebelum dioptimisasi yang terdiri dari petak tersier Golongan I, petak tersier Golongan II, petak tersier Golongan III dan petak tersier Golongan IV dengan distribusi frekuensi pada luas golongan disajikan pada Lampiran 1. Dalam pelaksanaan irig asi, ada kemungkinan bahwa jadwal tersebut di atas tidak dapat diikuti sepenuhnya. Dari pihak petani, persiapan dalam mengelola tanah dan memulai musim tanam dapat mundur dari jadwal dikarenakan keterbatasan sarana produksi, tenaga kerja ataupun alat mesin pertanian. Contoh keterlambatan terjadi misalnya, dari 2 000 hektar sawah golongan satu yang seharusnya mulai bertanam padi pada tanggal 1 Oktober, ternyata ada 1 000 hektar yang baru mulai pada tanggal 16 Oktober. Sedangkan pihak otoritas irigasi harus tetap memberikan air irigasi sesuai jadwal dengan jumlah sesuai dengan rencana semula. Kemudian pada periode kedua (16 Oktober sampai dengan 31
111
Oktober), jumlah air yang harus diberikan menjadi bertambah karena sawah golongan 2 mulai bertanam padi ditambah dengan sisa sawah golongan 1 yang terlambat. Dari pihak otoritas irigasi, bila terdapat kebocoran saluran atau tingkat ketersediaan air berkurang, maka dapat terjadi keterlambatan jadwal pemberian air.
Evaluasi Kebutuhan Air Irigasi Petugas irigasi (juru) akan mengevaluasi tingkat pertumbuhan tanaman setiap 15 hari sekali untuk kemudian menentukan jumlah kebutuhan air 15 hari mendatang. Jumlah ini akan dapat sama atau berbeda dengan rencana pemberian air tergantung dari kondisi pertumbuhan tanaman. Dari laporan setiap juru yang mengawasi lahan seluas 700 sampai 1.000 hektar, akan dibuat rekapitulasinya untuk disampaikan kepada divisi di atasnya beserta tembusan ke seksi yang mengelola saluran primer. Berdasarkan laporan yang diterima dan keters ediaan air yang ada, jumlah air yang telah disesuaikan akan diberikan pada periode 15 hari berikutnya. Gambar 32 menyajikan mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi yang dilakukan oleh panitia irigasi, sedangkan Gambar 33 menyajikan struktur formal kelembagaan panitia irigasi. Proses mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi dimulai dari turunnya memorandum dari tingkat Gubernur Jawa Barat kepada para Bupati yang wilayahnya termasuk daerah irigasi Jatiluhur. Memorandum tersebut berisi instruksi untuk menyusun rencana pokok penyediaan dan penggunaan air untuk irigasi.yang akan dilaksanakan pada musim tanam mendatang. Tahap berikutnya para Bupati menginstruksikan para Camat di bawahnya untuk mengkoordinasi pertemuan panitia irigasi tingkat kecamatan untuk membahas rencana pokok dan penggunaan air irigasi di wilayahnya masing-masing. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian dilaporkan secara berjenjang ke Bupati dan sampai akhirnya ke tingkat propinsi untuk disahkan bersama-sama antara Gubernur Jawa Barat dan Direktur Perum Jasa Tirta II.
113
112
Gambar 32. Sistem dan mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi di Jatiluhur (PJT II 2001)
113
KELEMBAGAAN PU PENGAIRAN (BEKASI)
DINAS PU PENGAIRAN TK. I
DINAS PU PENGAIRAN TK II
CABANG DINAS PU
KELEMBAGAAN PJT II (BEKASI)
Panitia Irigasi Tingkat Propinsi
PJT II
Panitia Irigasi Tingkat Kabupaten
DIVISI
Panitia Irigasi Tingkat Kecamatan
SEKSI
PENGAIRAN
PENGAMAT PENGAIRAN
Daerah Irigasi
PENGAMAT PENGAIRAN
JURU PENGAIRAN
JURU PENGAIRAN
PENJAGA PINTU
PENJAGA PINTU
BENDUNG (PPB)
BENDUNG (PPB)
PENJAGA PINTU AIR (PPA)
PENJAGA PINTU AIR (PPA)
Tersier P3A
P3A
Gambar 33. Struktur organisasi formal kelembagaan irigasi (Rachman 1999)
Sistem Irigasi Rotasi (Gilir-giring) Pada saat musim hujan, sebagian besar kebutuhan air irigasi biasanya dipasok dari sumber setempat (misalnya sungai) dan dari curah hujan efektif yang
114
cukup tinggi. Jumlah pasokan air dari sumber setempat sekitar 70 persen. Sedangkan sisanya sekitar 30 persen dipasok dari waduk Jatiluhur sendiri. Tetapi pada saat musim kemarau, ketersediaan air irigasi menjadi berkurang karena jumlah curah hujan efektif dan sumber air setempat yang semakin mengecil. Untuk itu diperlukan tambahan dengan jumlah yang cukup besar dari waduk Jatiluhur, yaitu sekitar 90 persen. Akan tetapi apabila musim kemaraunya cukup panjang, permukaan waduk juga akan turun sehingga air yang tersedia tidak mencukupi untuk melakukan irigasi secara penuh. Oleh karena itu, panitia irigasi akan memberlakukan sistem irigasi rotasi (gilir giring). Pada pertengahan tahun 1997 dan tahun 1998 sistem irigasi rotasi diberlakukan di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang karena adanya fenomena El Nino yang menyebabkan musim kemarau berkepanjangan dan ketersediaan air menjadi lebih kecil daripada kebutuhan untuk irigasi. Sistem irigasi rotasi (gilir giring) dilakukan dengan cara membagi daerah irigasi menjadi dua bagian, yaitu bagian hulu (depan) yang dekat dengan sumber air irigasi dan bagian hilir (belakang) yang letaknya jauh dari sumber air irigasi. Agar setiap bagian mendapatkan jumlah air yang mencukupi, diperlukan penjadwalan pemberian air yang ketat. Saat irigasi rotasi diberlakukan, bagian hulu mendapat waktu pemberian air standar selama 3 hari 3 malam yang biasanya dimulai pada pukul 07.00 pada hari yang pertama. Kemudian bagian hilir mendapat waktu pemberian air standar selama 4 hari 4 malam berikutnya yang dimulai pada pukul 07.00 pada hari ke empat. Penentuan jangka waktu standar 4 hari 4 malam untuk daerah hilir disebabkan air irigasi membutuhkan waktu 1 hari 1 malam (24 jam) untuk mencapai dae rah hilir. Sehingga waktu pemberian air irigasi untuk bagian hilir adalah sama dengan bagian hulu yaitu 3 hari 3 malam (72 jam). Batas antara bagian hulu dan bagian hilir berupa bangunan bagi sadap. Jadwal gilir giring ditentukan oleh panitia irigasi dan diberitahukan oleh pihak kecamatan ke masing-masing desa. Prosedur pemberian air adalah pada 3 hari 3 malam pertama, pintu air (intake) di bagian hilir ditutup dan pintu air di bagian hulu dibuka. Pada 4 hari 4 malam berikutnya prosedur yang berlaku adalah sebaliknya yaitu pintu air hulu ditutup dan pintu air hilir dibuka. Salah satu jaringan irigasi yang pernah mengalami sistem gilir giring adalah saluran
115
sekunder Rawa Bendung dimana pintu air Rbd1 sampai Rbd7 menjadi bagian hulu dan pintu air Rbd9 sampai Rbd26 menjadi bagian hilir. Sistem ini menyisakan air setinggi kurang lebih 5 cm untuk bagian yang sedang tidak mendapat air. Irigasi rotasi (gilir giring) dilakukan pada saat penanaman (tandur) dan bukan saat pengolahan tanah. Waktu irigasi rotasi (gilir giring) biasanya terjadi sekitar bulan Juni sampai Agustus. Kelemahan sistem irigasi gilir giring antara lain : 1. Jarang dilakukan perhitungan mengenai berapa luas bagian hulu (depan) dan bagian hilir (belakang), sehingga pemberian air irigasi menjadi tidak merata. Contoh: bagian yang mengalami proses tanam dengan luas tanam lebih besar mendapatkan air yang lebih sedikit daripada seharusnya. 2. Kebutuhan air pada petakan sawah belum diperhitungkan secara menyeluruh, dimana pada saat ini perhitungan hanya dilakukan berdasarkan faktor tanaman saja. Faktor lain yang berpengaruh adalah kehilangan air selama penyaluran disebabkan seepage dan evaporasi. 3. Belum ada perhitungan atau prosedur untuk menghitung pemasukan air pada intake ke petakan sawah serta waktu yang dibutuhkan untuk penggenangan petakan 4. Di dalam satu bagian yang sama (hulu atau hilir) sering terjadi pemberian air yang tidak merata, karena aliran air irigasi dari sumbernya hanya dibatasi oleh bangunan bagi sadap yang menjadi batas antara bagian hulu dengan bagian hilir. Oleh karena itu, petakan sawah yang terdepan mendapat waktu pemberian air yang lebih lama dibandingkan dengan petakan sawah yang di belakang, walaupun kedua petakan tersebut terletak di bagian yang sama.
Hasil Pengujian Teknik Operator Sebelum menggunakan metode Algoritma Genetik dalam proses optimisasi golongan pemberian air, terlebih dahulu harus dilakukan pengujian teknik pemrosesan di dalam Algoritma Genetik itu sendiri. Metode Algoritma
116
Genetik mempunyai banyak parameter yang dapat mempengaruhi kinerja proses optimisasi, sebab apabila tidak dilakukan pengujian maka kinerja Algoritma Genetik akan menjadi seburuk kinerja pencarian secara acak (random search). Pemrosesan dalam Algoritma Genetik meliputi seleksi, reproduksi dan mutasi, dengan masing-masing proses mempunyai teknik-teknik pilihan tersendiri. Dengan melakukan pengujian secara hati-hati, diharapkan Algoritma Genetik akan mampu melakukan proses optimisasi golongan dengan baik. Menurut Sorensen (2002), Algoritma Genetik yang menggunakan representasi
bilangan
desimal
(real)
mempunyai
kecenderungan
untuk
menghasilkan kinerja lebih baik pada angka probabilitas mutasi mendekati 1 bila dibandingkan dengan Algoritma Genetik dengan representasi bilangan biner. Akan tetapi untuk mengidentifikasi angka probabilitas mutasi yang optimal masih menjadi perdebatan dan cenderung tergantung pada permasahan yang dihadapi. Studi parameter yang pertama adalah membandingkan kinerja dari Algoritma Genetik berdasarkan angka probabilitas mutasi yang bervariasi. Angka probabilitas yang diuji adalah 0,05; 0,10; 0,25; 0,50; 0,75 dan 0,95. Untuk setiap variasi probabilitas mutasi, tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses seleksi menggunakan teknik roulette-wheel dengan besaran slot berdasarkan pada nilai fitness. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5 (Matthews 2001). Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan setiap gen mempunyai peluang yang sama untuk mengalami proses mutasi dengan angka probabilitas mutasi bervariasi. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 22.
117
Tabel 22. Pengujian Probabilitas Mutasi pm
Test Ke 1 (juta Rp) Terbaik Rerata
Test Ke 2 (juta Rp) Terbaik Rerata
Test Ke 3 (juta Rp) Terbaik Rerata
Rerata Total (juta Rp)
0,05
36 597
33 992
35 184
34 396
33 113
32 145
33 511
0,10
35 248
32 880
33 770
32 170
35 246
33 463
32 838
0,25
33 961
33 304
35 823
33 196
38 207
36 953
34 485
0,50
35 489
34 490
37 386
35 442
37 670
33 730
34 554
0,75
38 161
35 435
37 239
35 142
38 206
34 116
34 898
0,95
36 611
35 026
35 700
33 827
36 632
33 164
34 006
Probabilitas mutasi yang menghasilkan nilai fitness tertinggi didapatkan dari angka 0,75 dan angka probabilitas mutasi 0,10 menghasilkan nilai fitness terendah. Dari tabel di atas tidak terdapat kecenderungan (trend) yang pasti dari pengujian yang telah dilakukan terlihat dari nilai fitness yang didapat dari angka probabilitas mutasi 0,05 ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai fitness yang didapat dari angka probabilitas mutasi 0,10. Oleh karena itu, nilai tetapan probabilitas mutasi yang optimal belum dapat didefinisikan secara formal. Michalewicz (1995) menggunakan probabilitas mutasi sebesar 0,01 akan tetapi Gen dan Cheng (1997) menyatakan probabilitas mutasi yang terlampau rendah berakibat pada kurangnya kesempatan gen-gen yang menguntungkan
untuk
masuk dalam kromosom. Sedangkan bila probabilitas mutasi terlampau tinggi menyebabkan perubahan acak yang semakin banyak dan hal tersebut berakibat pada kromosom child yang semakin tidak memiliki kemiripan dengan kromosom parent. Berdasarkan pertimbangan di atas, angka 0,05 digunakan sebagai probabilitas mutasi terpilih untuk studi berikutnya. Berikutnya dilakukan pengujian terhadap beberapa tipe dari teknik crossover. Tiga mekanisme crossover diputuskan untuk diuji, yaitu
uniform
crossover dengan probab ilitas yang seimbang antar parent chromosome, 1-point crossover yang mengkombinasikan 2 kromosom pada satu titik perpotongan dan mengabaikan panjang kromosom, serta modification crossover dengan teknik perpotongan yang mirip dengan 1-point crossover tetapi dengan perolehan gen parent dari posisi yang berbeda. Ketiga mekanisme tersebut telah dijelaskan pada bab Algoritma Genetik. Untuk setiap tipe crossover, tiga proses pengujian
118
Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom
dengan menggunakan penggantian
steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses seleksi menggunakan teknik roulette-wheel dengan besaran slot berdasarkan pada nilai fitness. Probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Pengujian Teknik Crossover
Crossover
Test Ke 1
Test Ke 2
Test Ke 3
Rerata
(juta Rp)
(juta Rp)
(juta Rp)
Total
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
(juta Rp)
Uniform
37 258
36 031
36 506
34 015
38 351
36 014
35 353
1 – point
36 518
34 844
37 426
34 815
37 417
35 831
35 163
Modifikasi
34 603
33 166
35 204
34 112
33 164
32 222
33 167
Studi menunjukkan bahwa crossover uniform memberikan hasil rerata total yang terbaik dan crossover 1-point mempunyai kinerja yang terburuk dian tara ke tiga teknik yang diuji. Hal ini dikarenakan crossover uniform mempertukarkan gen secara individual antar kromosom parent dibandingkan pertukaran gen secara segmental yang terjadi pada crossover 1-point maupun modifikasi, sehingga karakteristik kromosom child menjadi lebih bervariasi sebagai hasil kombinasi dari kromosom parent. Variasi ini akan memperbesar peluang crossover uniform untuk mengeksplorasi searchspace. Studi mengenai operator Algoritma Genetik berikutnya adalah untuk memilih teknik seleksi. Ada 3 teknik yang akan diuji. Pertama adalah metode turnamen dimana metode ini memilih 2 individu dari populasi dengan seluruh individu mempunyai peluang yang sama untuk dipilih dan kemudian individu dengan nilai fitness (keuntungan) lebih tinggi akan terpilih untuk menjadi kromosom parent. Metode berikutnya yang diuji adalah metode roulette-wheel dimana metode ini menggunakan peluang yang proporsional terhadap nilai fitness
119
(keuntungan) dari setiap kromosom yang nantinya akan dipilih untuk menjadi kromosom parent. Sedangkan teknik terakhir yang diuji adalah metode elitist yang mempertahankan kromosom terbaik untuk menjadi anggota pada populasi berikutnya. Untuk setiap teknik seleksi, tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steadystate dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Pengujian Teknik Seleksi Test Ke 1 (juta Rp)
T est Ke 2 (juta Rp)
Test Ke 3 (juta Rp)
Rerata Total
Seleksi
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
(juta Rp)
Turnamen
32 533
31 619
32 532
31 954
32 532
31 648
31 741
Roulette-wheel
32 532
31 642
32 532
32 259
32 532
32 318
32 073
Elitist
32 533
32 474
32 532
32 197
32 533
32 258
32 310
Dari tiga test yang dilakukan untuk setiap kasus seleksi, metode elitist memberikan nilai fitness tertinggi dan metode turnamen memberikan nilai fitness yang terendah di antara ketiga teknik tersebut. Metode elitist mengungguli metode roulette-wheel karena konsistensi nilai fitness yang dihasilkannya. Dengan mempertahankan kromosom terbaik pada generasi berikutnya, metode elitist sekaligus memberikan nilai terbaik yang stabil selama tiga kali pengujian. Studi operator Algoritma Genetik yang terakhir adalah membandingkan 3 mekanisme mutasi yang berbeda. Mekanisme yang pertama adalah mutasi reciprocal-exchange yang diekspresikan sebagai penentuan 2 gen secara acak pada kromosom yang akan mengalami mutasi untuk kemudian nilai kedua gen tersebut dipertukarkan. Mekanisme yang kedua adalah mutasi acak, dimana setiap gen pada kromosom yang akan mengalami mutasi mempunyai peluang yang sama
120
untuk digantikan nilainya dengan nilai lain yang diambil secara acak dari searchspace. Sedangkan mutasi ketiga adalah mutasi creep dimana nilai gen yang ditentukan secara acak pada kromosom yang akan mengalami mutasi akan ditambah atau dikurangi dengan bilangan kecil yang dibangkitkan secara acak. Untuk setiap teknik mutasi tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Pengujian ketiga teknik tersebut menggunakan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Pengujian Teknik Mutasi Mutasi
Rerata Total
Test Ke 1(juta Rp)
Test Ke 2 (juta Rp)
Test Ke 3 (juta Rp)
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
Terbaik
Rerata
(juta Rp)
R-Exchg
34 603
32 508
33 961
32 634
35 728
34 271
33 138
Acak
32 532
32 136
32 532
32 082
32 532
32 178
32 132
Creep
35 146
32 444
33 585
32 465
33 165
32 625
32 511
Dari hasil pengujian metode reciprocal exchange memberikan hasil yang tertinggi baik untuk nilai maksimum maupun nilai rata-rata, kecuali pada test ke 1 dimana metode creep memberikan hasil yang lebih baik untuk nilai maksimum. Sedangkan metode acak menghasilkan nilai terburuk untuk nilai tertinggi maupun nilai rata-rata. Hal ini mengindikasikan bahwa kromosom hasil crossover telah cukup baik dalam merepresentasikan prosentase golongan yang diinginkan. Sedangkan perubahan nilai gen yang berasal dari searchspace tidak cukup mampu untuk meningkatkan nilai keuntungan yang telah dicapai, terbukti dari hasil mutasi acak yang mencatat hasil terendah dibandingkan kedua metode lainnya.
121
Dengan menggunakan hasil studi yang telah dicapai, langkah selanjutnya adalah menerapkan teknik -teknik tersebut untuk proses optimisasi golongan pemberian air.
Hasil Optimisasi Analisis Inisialisasi Luas Golongan Proses Inisialisasi Luas Golongan berfungsi untuk mencari harga awal dari luas masing-masing golongan pemberian air. Pemberian harga awal bertujuan agar dalam simulasi optimisasi golongan, proses pencarian luas golongan terfokus pada nilai-nilai yang mungkin (feasible) dan berada di searchspace. Proses inisialisasi dilakukan dengan cara menghitung peluang kejadian dari nilai luas golongan berdasarkan data-data terdahulu. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pendekatan terhadap nilai awal luas golongan. Data luas golongan yang berhasil dikumpulkan mempunyai rentang waktu 8 tahun mulai dari musim tanam 1996 sampai dengan musim tanam 2004. Tabel 28 menyajikan data luas golongan yang menjadi dasar dalam proses inisialisasi dimana R menyatakan musim tanam rendeng dan G menyatakan musim tanam gadu. Dari data luas golongan kemudian ditentukan peluang kejadian relatif dari masing-masing luas golongan terhadap total seluruh kejadian. Setelah nilai peluang relatif diketemukan kemudian dilakukan perhitungan peluang kumulatif masing-masing kejadian. Nilai peluang kejadian relatif dan kumulatif disajikan di Tabel 26. Proses selanjutnya adalah menentukan luas golongan sebagai harga inisialisasi dengan menggunakan bilangan acak. Tabel 26. Data luas golongan Golongan I Golongan II Tahun (ha) (ha) R G R G 1996-1997 744 744 1 772 1 772 1997-1998 744 744 1 772 1 772 1998-1999 744 744 1 772 1 858 1999-2000 744 744 1 947 1 947 2000-2001 705 705 1 908 1 908 2001-2002 744 744 1 772 1 772 2002-2003 723 723 1 949 1 939 2003-2004 805 805 2 052 2 023 Sumber : Pengamat Irigasi Cikarang
Golongan III (ha) R G 5 457 5 457 5 426 5 426 5 625 5 539 5 322 5 322 5 486 5 486 5 497 5 497 5 701 5 701 4 711 4 191
Golongan IV (ha) R G 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 116 2 086 2 086 2 116 2 116 1 874 1 874 2 615 2 164
122
Dari perhitungan peluang kejadian relatif pada Tabel 27, terlihat bah wa luas lahan target pada Golongan II dan Golongan III mempunyai tingkat keragaman yang cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan karena lahan pada Golongan II dan III terletak lebih dekat dengan sumber air di BTb30a dan BKg4 sehingga proses budidaya padi dan palawija di daerah tersebut lebih tinggi dan bervariasi. Lahan di Golongan I telah banyak mengalami konversi dari daerah persawahan menjadi daerah industri, sedangkan lahan di Golongan IV termasuk sulit untuk mendapat air karena letaknya yang jauh dari sumber air dan kondisi jaringan irigasi yang sudah tidak baik lagi. Setiap kali optimisasi dilakukan, model inisialisasi golongan dijalankan untuk menghasilkan nilai golongan awal yang dipergunakan untuk masukan dari model penentuan golongan. Contoh nilai awal luas golongan hasil dari proses inisialisasi disajikan pada Tabel 28.
Tabel 27. Peluang kejadian relatif dan peluang kumulatif dari luas golongan Golongan I
II
III
IV
Luas (ha) 705 723 744 805 1 772 1 908 1 947 1 949 2 052
Rendeng Peluang Relatif 0,125 0,125 0,625 0,125 0,500 0,125 0,125 0,125 0,125
Peluang Kumulatif 0,125 0,250 0,875 1,000 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000
4 711 5 322 5 426 5 457 5 486 5 497 5 625 5 701 1 874 2 086 2 116 2 615
0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,625 0,125
0,125 0,250 0,375 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000 0,125 0,250 0,875 1,000
Luas (ha) 705 723 744 805 1 772 1 858 1 908 1 939 1 947 2 023 4 191 5 322 5 426 5 457 5 486 5 497 5 539 5 701 1 874 2 086 2 116 2 164
Gadu Peluang Relatif 0,125 0,125 0,625 0,125 0,375 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,125 0,625 0,125
Peluang Kumulatif 0,125 0,250 0,875 1,000 0,375 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000 0,125 0,250 0,375 0,500 0,625 0,750 0,875 1,000 0,125 0,250 0,875 1,000
123
Tabel 28. Nilai awal luas golongan dari hasil inisialisasi Musim Tanam
Luas Lahan (ha) Golongan I
Golongan II
Golongan III
Golongan IV
Rendeng
744
1 947
5 457
2 116
Gadu
744
1 908
5 426
2 116
Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi diartikan sebagai jumlah air yang diperlukan untuk melaksanakan budidaya tanaman padi dan palawija ditambah dengan kehilangan air akibat perkolasi dan dikurangi dengan hujan efektif. Kebutuhan air irigasi pada Pengamat
Irigasi
Cikarang
dihitung
berdasarkan
jenis
tanaman
yang
dibudidayakan dan luas lahan yang ditanami. Perhitungan kebutuhan air irigasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan evapotranspirasi acuan dan evapotranspirasi tanaman, sedangkan tahap kedua adalah menentukan kebutuhan air irigasi berdasarkan evapotranspirasi tanaman, perkolasi dan hujan efektif.
Evapotranspirasi Besarnya kebutuhan air tanaman (ETc) dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dibudidayakan yaitu padi dan palawija, tingkat pertumbuhan dan umur tanaman, serta kondisi iklim. Faktor iklim yang mempengaruhi adalah lama penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Nilai ETc dihitung menggunakan data evapotranspirasi acuan setiap periode. Evapotranspirasi acuan (ETo) dihitung menggunakan metode PenmannMonteith dengan perangkat lunak CROPWAT menghasilkan nilai 4,06 – 5,47 mm hari-1. Nilai ETo terendah terjadi pada bulan Desember sebesar 4,06 mm hari-1 dan tertinggi pada bulan September sebesar 5,47 mm hari-1. Tabel 29 menyajikan nilai ETo di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang. Data ketinggian menunjukkan 46 o
meter di atas permukaan laut dengan posisi 6,14 Lintang Selatan dan 106,39
o
Bujur Timur. Nilai evapotranspirasi tanaman (ETc) selanjutnya dihitung untuk setiap bulan tanam dengan menggunakan koefisien tanaman (Kc).
124
Tabel 29. Nilai ETo di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang Sinar Suhu Suhu Kelembaban Kecepatan Bulan Maksimum Minimum Udara Angin Matahari ETo ( oC ) ( oC ) (%) (m dtk-1) (jam) (mm hari-1 ) Januari 32,9 24,2 79 0,8 7,3 4,09 Pebruari 33,2 23,8 81 0,8 7,6 4,41 Maret 33,4 23,9 80 0,8 8,2 4,79 April 33,6 24,5 79 0,8 8,9 5,02 Mei 34,0 23,8 81 0,8 8,6 4,76 Juni 33,0 24,1 80 0,8 8,9 4,64 Juli 32,9 23,7 78 0,8 9,7 4,86 Agustus 33,1 24,0 78 0,8 10,5 5,27 September 33,7 24,1 77 0,8 10,7 5,47 Oktober 33,8 24,2 78 0,8 9,7 5,07 Nopember 34,6 24,2 76 0,8 8,7 4,62 Desember 33,6 23,9 78 0,8 7,4 4,06 Debit Tersedia Data debit air masuk ke saluran sekunder melalui pintu air BTb30a dan BKg4
yang disuplai dari Bendung Cibeet. Tabel 30 menyajikan data debit
tersedia di Bendung Cibeet. Tabel 30. Debit air tersedia di Bendung Cibeet Periode Debit (m3 dtk -1 ) Okt1 24,75 Okt2 28,65 Nop1 31,69 Nop2 45,91 Des1 38,24 Des2 26,21 Jan1 16,77 Jan2 19,86 Peb1 17,78 Peb2 18,83 Mar1 14,31 Mar2 14,27 Sumber : PJT II (2001)
Periode Apr1 Apr2 Mei1 Mei2 Jun1 Jun2 Jul1 Jul2 Agt1 Agt2 Sep1 Sep2
Debit (m3 dtk-1) 20,43 31,30 32,24 35,88 46,80 51,05 53,55 40,99 32,94 12,39 12,77 12,11
Kebutuhan Air Tanaman dan Irigasi Untuk Setiap Skenario Kebutuhan air tanaman (ETc) dihitung berdasarkan pola tanam terpilih. Kebutuhan air irigasi (I) dipengaruhi oleh ETc, perkolasi dan hujan efektif. Tabel 31 menyajikan I dengan menggunakan p ola tanam pada Skenario 0.
126
Kebutuhan air irigasi (I) untuk tanaman padi dipengaruhi oleh besarnya kebutuhan air tanaman (ETc), perkolasi (P) dan hujan efektif (RE). Kebutuhan air 3
irigasi menggunakan satuan m dtk-1 setelah diperhitungkan dengan luas areal yang menjadi target penanaman. Dari Tabel 31 terlihat bahwa nilai I meningkat 3
sejak dimulainya musim tanam pada periode Okt1 dan mencapai 6,9 m dtk-1 pada periode Nop1. Hal tersebut disebabkan adanya kebutuhan air irigasi untuk mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV, dimana luas lahan untuk MT rendeng dari kedua golongan mencapai lebih dari 7.300 ha atau sekitar 70% dari luas wilayah Pengamat Irigasi Cikarang sehingga berpengaruh terhadap tingginya kebutuhan air irigasi. Nilai perkolasi saat pengolahan yaitu 8,3 mm hari1
juga berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut.
Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada bulan September dikarenakan hujan efektif yang mencukupi untuk mengairi tanaman palawija di Golongan I dan untuk olah tanah di Golongan I serta terjadinya bera terjadi di lahan Golongan II, III dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan di Golongan II, III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 5,1 3
m dtk -1. Besarnya kebutuhan air irigasi dengan menggunakan pola tanam Skenario 1 yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 32. 3
Nilai I mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk-1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada periode Sep1 yang disebabkan bera di seluruh golongan . Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan Agustus dan September. Nilai 3
kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 2,8 m dtk-1, sehingga penggunaan Skenario 1 dapat menghemat pemakaian air sekitar 45% bila dibandingkan Skenario 0. Tabel 33 menyajikan kebutuhan air irigasi menggunakan variasi pola tanam pada Skenario 2. Nilai I mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 3
6,9 m dtk-1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan
129
tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. 3
Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada Sep1 sebesar 0,6 m dtk -1 yang disebabkan penanaman palawija di Golongan III dan terjadinya bera di Golongan II dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan September dan Oktober untuk Golongan II, III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi 3
rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 4,2 m dtk -1, sehingga penggunaan Skenario 2 dapat menghemat pemakaian air sekitar 17% bila dibandingkan Skenario 0. Kebutuhan air irigasi menggunakan pola tanam pada Skenario 3 yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 34. Nilai I 3
mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk -1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi 3
pada bulan September sebesar 0,6 m dtk-1 yang disebabkan terjadinya bera di Golongan II, III dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan Agustus, September dan Oktober untuk Golongan II, III dan IV. Nilai 3
kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 2,9 m dtk-1, sehingga penggunaan Skenario 3 dapat menghemat pemakaian air sekitar 43% bila dibandingkan Skenario 0. Kebutuhan air irigasi menggunakan pola tanam pada Skenario 4 yang juga direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 35. Nilai I 3
mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk -1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi 3
pada periode Sep2 sebesar 1,1 m dtk-1 yang disebabkan terjadinya bera di Golongan III dan
IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan di
seluruh golongan pada bulan Agustus, September dan Oktober di Golongan III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 3,3
132
3
m dtk -1, sehingga penggunaan Skenario 4 dapat menghemat pemakaian air sekitar 35% bila dibandingkan Skenario 0. Berdasarkan hasil yang dicapai dalam perhitungan sebelumnya, dilakukan perbandingan besarnya ETc + P terhadap RE untuk skenario 1 pada Golongan II yang disajikan pada Gambar 34 dan perbandingan besarnya I untuk setiap skenario yang disajikan pada Gambar 35. Dari Gambar 33 terlihat bahwa kecuali di bulan September, nilai ETc + P selalu lebih besar daripada RE yang berarti nilai I selalu positif sehingga PJT II harus memberikan suplai air irigasi selama sebelas bulan penuh. Nilai ETc + P berfluktuasi sejak periode Okt1 sampai dengan Jun2 dikarenakan penanaman padi untuk musim tanam rendeng dan gadu. Pengolahan tanah dilakukan pada periode Okt1. Musim tanam dimulai pada Okt2. Bera terjadi selama bulan September. Nilai RE yang rendah dan nilai P yang tinggi berpengaruh terhadap besarnya nilai I. Seiring dengan meningkatnya nilai RE, nilai I menjadi berkurang terutama pada saat musim hujan pada bulan Pebruari. Setelah bulan Pebruari, nilai I bertambah seiring dengan berkurangnya RE sampai dengan periode Jun2 dengan nilai I mencapai 7,0 mm hari-1 karena keperluan untuk pengolahan tanah . Periode Jul1 sampai dengan Agt2 didominasi penanaman palawija. Situasi tersebut membuat nilai ETc + P menjadi rendah.
133
mm hari -1
10,00
Pi
OT
9,00
OT
Pi
Pa
OT
BR
8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Okt1 Nop1 Des1 Jan1 Peb1 Mar1 Apr1 Mei1 Jun1 Jul1 Agt1 Sep1 RE
Periode
ETc+P
Gambar 34 Perbandingan ETc + P terhadap RE untuk Skenario 1 di Golongan II 8,0
I (m3 dtk-1 )
7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Okt1 Nop1 Des1 Jan1 Peb1 Mar1 Apr1 Mei1 S0
S1
S2
S3
S4
S3 Jun1
Jul1
Agt1
S0 Sep1
Periode
Gambar 35 Perbandingan kebutuhan air irigasi untuk setiap skenario
134
Berdasarkan kesamaan nilai ETc untuk tanaman padi, perkolasi (P) dan hujan efektif (RE), maka besarnya kebutuhan air irigasi (I) adalah sama untuk setiap skenario dari periode Okt1 sampai dengan Peb2 dan mencapai puncak 3
kebutuhan air irigasi pada periode Nop1 sebesar 6,9 m dtk-1. Setelah periode Peb2, nilai I bervariasi untuk setiap skenario, dimana secara rata-rata Skenario 0 merupakan pola tanam yang terbanyak membutuhkan air irigasi. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penanaman padi pada Skenario 0 yang cukup tinggi untuk setiap golongan sehingga membutuhkan air irigasi yang banyak pula. Besar nilai I pada Skenario 2 hampir sama dengan Skenario 0 dikarenakan kemiripan pola tanam dengan pengurangan penanaman padi. Frekuensi penanaman padi dan palawija hampir berimbang pada Skenario 1, 3 dan 4 terutama untuk Golongan III dan Golongan IV. Hal tersebut mempengaruhi besarnya kebutuhan air irigasi seperti terlihat pada kurva Skenario 1, 3 dan 4 yang terletak di bawah kurva Skenario 0. Secara umum, Skenario 0 dan Skenario 2 memberikan hasil yang lebih berfluktuasi dibandingkan tiga skenario lainnya. Setelah periode Peb2, nilai I pada Skenario 0 dan Skenario 2 bertambah hingga masing-masing mencapai puncaknya kembali di bulan Mei tapi masih lebih rendah dibandingkan periode Nop1. Nilai I 3
3
yang dicapai masing-masing adalah adalah yaitu 7,9 m dtk -1 dan 6,2 m dtk -1. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penanaman padi yang intensif pada kedua skenario. Setelah periode Jun1, nilai I berkurang mulai berkurang dan mencapai minimum pada bulan September yang disebabkan adanya penanaman palawija dan bera di Golongan III dan IV. Di lain pihak, secara umum nilai I pada Skenario 1, 3 dan 4 sejak Nop1 terus mengalami penurunan sampai akhir musim tanam dengan sedikit berfluktuasi pada bulan April, Mei dan Juni. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penanaman padi dan palawija yang berimbang pada Skenario 1, 3 dan 4. Tanaman padi membutuhkan pemberian air irigasi dalam jumlah cukup besar. Kebutuhan total air irigasi bertambah banyak bila petani terus menerus menanam padi di sepanjang tahun. Dengan memberikan selang tanaman palawija, kebutuhan air irigasi akan dapat dikurangi.
135
Analisis Hasil Optimisasi Golongan Optimisasi golongan pemberian air irigasi dilakukan dengan cara pemrograman. Tahapan optimisasi meliputi memilih skenario yang akan diuji, menentukan jumlah kromosom dalam populasi dan jumlah generasi yang menyatakan banyaknya operasi pengulangan dalam Algoritma Genetik. Data lain seperti parameter spasial, lingkungan, tenaga kerja dan biaya telah diinputkan terlebih dahulu dan disim pan ke database IRIGASI. Gambaran spasial mengenai konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 0 disajikan pada Gambar 36, sedangkan konfigurasi petak tersier berdasarkan hasil optimisasi memakai Skenario 1 disajikan pada Gambar 37. Lampiran 1 menyajikan konfigurasi petak tersier beserta hasil produksi potensial sebelum dilakukan optimisasi (Skenario 0). Setelah dilakukan optimisasi, keluaran yang dihasilkan berupa konfigurasi petak tersier, kebutuhan air irigasi dan nilai keuntungan sebelum pajak. Lampiran 2 menyajikan konfigurasi petak tersier menggunakan Skenario 1 beserta hasil produksi potensial berdasarkan ketersediaan sumberdaya (sarana produksi, alat mesin dan tenaga kerja) yang mencukupi (diasumsikan 100%), akan tetapi terdapat keterlambatan panen yang terjadi pada periode Sep1 dan Sep2. Dari hasil optimisasi didapat adanya perubahan golongan untuk beberapa petak tersier. Petak tersier dengan sumber dari BTb30a yang mengalami perubahan golongan dari Golongan III ke Golongan IV adalah BSt17 sampai dengan BSt23, seluruh petak tersier BKh dan BKl. Hal tersebut disebabkan pertimbangan lokasi cukup jauh dimana petak tersier BSt17 yang paling dekat dengan sumber BTb30a berjarak sekitar 15 km. Adanya faktor kehilangan air di sepanjang saluran minimal sebesar 0,136 (Lampiran 4), dan terjadinya keterlambatan panen di petak-petak tersier tersebut ikut berkontribusi terhadap perubahan golongan. Selain itu, adanya percabangan di BSt16 dengan penggunaan bangunan bagi sadap akan lebih memudahkan pengaturan pembagian air irigasi. Petak tersier dengan sumber dari BKg4 yang mengalami perubahan golongan berupa percepatan mulainya musim tanam adalah BRk11 sampai BRk14 dari Golongan IV ke Golongan III, BRbd09 sampai BRbd11 dari Golongan III ke Golongan II, BPbe01 dan BPbe03 dari Golongan III ke Golongan II, dan BKn03 sampai BKn05 dari Golongan IV ke Golongan III.
136
Gambar 36 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 0
Gambar 37 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 1
137
Percepatan untuk BRk11 sampai BRk14 disebabkan jarak petak tersier tersebut yang masuk Kelas 3 pada Tabel 19 yaitu jarak antara 8,3 km sampai dengan 18,5 km serta tidak adanya percabangan pada saluran sekunder tersebut. Perubahan pada petak tersier BRbd09 sampai BRbd11 dan BPbe01 sampai Bpbe03 disebabkan faktor jarak yang masuk pada Kelas 2 dari Tabel 19 yaitu jarak antara 5,0 km sampai dengan 8,3 km.
Sedangkan petak tersier yang mengalami
pemunduran musim tanam adalah BRk02 sampai BRk05 dari Golongan II ke Golongan III yang disebabkan karena (1) faktor jarak ke sumber BKg4 yang masuk Kelas 3 dari Tabel 19, (2) adanya bangunan bagi sadap di BRbd4 dan (3) pertimbangan faktor kehilangan air sepanjang saluran BRk dimulai dari BRk02 minimal sebesar 0,063 (Lampiran 3).
Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 1 Gambar 38 menyajikan perbandingan keuntungan Skenario 1 terhadap Skenario 0. Dari hasil optimisasi menggunakan Skenario 1 didapatkan keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan hasil Skenario 0 yang did apat sejak dari Musim Tanam 2000/2001 sampai dengan Musim Tanam 2004/2005. Hasil ini sesuai dengan prediksi tingkat keuntungan wilayah yang didapat bila anjuran dari Dinas Pertanian diikuti secara penuh oleh petani, yaitu dengan menanam palawija di akhir musim gadu untuk golongan I dan II maupun pada musim gadu untuk golongan III dan IV. Selisih keuntungan yang sangat signifikan antara keuntungan Skenario 0 dan keuntungan Skenario 1 disebabkan penanaman palawija yang sangat intensif pada Skenario 1 dan bertambahnya luas tanam golongan III sebagai hasil optimisasi. Rata-rata keuntungan Skenario 1 adalah Rp 40,06 milyar per tahun, sedangkan rata-rata keuntungan Skenario 0 adalah Rp 27,56 milyar per tahun. Selisih keuntungan terbesar antara kedua hasil terjadi pada musim tanam 2003/2004 sebesar Rp 12,50 milyar, sedangkan keuntungan yang terkecil terjadi pada musim tanam 2000/2001 sebesar Rp 12,25 milyar. Dengan luas target tanam di wilayah pengamat Cikarang rata-rata 10.000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat dengan Skenario 1 adalah Rp 4.006.000 per ha. Penambahan keuntungan pada Skenario 1 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 1.300.000 per ha.
Keuntungan (juta Rp)
138
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02
02/03
S1
03/04
04/05
Musim Tanam
Gambar 38 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 1 Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 2 Dari perbandingan hasil optimisasi menggunakan Skenario 2 berupa variasi pola tanam terhadap Skenario 0 pada Gambar 39 terlihat bahwa selisih keuntungan hasil tidak begitu signifikan bila dibandingkan Skenario 1. Selisih keuntungan diakibatkan petani di golongan I dan III lebih banyak menanam padi daripada palawija. Rata-rata keuntungan Skenario 2 dari musim tanam 2000/2001 sampai dengan musim tanam 2004/2005 adalah Rp 28,90 milyar per tahun. Dengan luas target tanam rata-rata 10.000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat pada Skenario 2 adalah sekitar Rp 2.890.000 per ha. Penambahan keuntungan pada Skenario 2 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 100.000 per ha.
Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 3 Pada Gambar 40, hasil optimisasi menggunakan Skenario 3 yang berupa pola tanam anjuran Dinas Pertanian tetap memberikan keuntungan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan keuntungan dari Skenario 0. Hal ini sesuai dengan perkiraan bahwa bila petani lebih memilih menanam palawija (dalam hal ini di golongan III dan IV), maka kemungkinan besar pendapatan akan lebih besar dibandingkan bila petani menanam padi terus menerus. Rata-rata keuntungan hasil optimisasi dari musim tanam 2000/2001 sampai dengan musim tanam 2004/2005 adalah Rp 39,97 milyar per tahun. Selisih keuntungan terbesar antara kedua hasil
139
terjadi pada musim tanam 2003/2004 sebesar Rp 12,43 milyar, sedangkan keuntungan yang terkecil terjadi pada musim tanam 2000/2001 sebesar Rp 12,18 milyar. Dengan luas target tanam di wilayah pengamat Cikarang rata-rata 10 000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat pada Skenario 3 adalah sekitar Rp. 3 997 000 per ha. Penambahan keuntungan yang didapat Skenario 3 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 1 200 000 per ha.
35000 30000 Keuntungan (juta Rp)
25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02
02/03
S2
03/04
04/05
Musim Tanam
Keuntungan (juta Rp)
Gambar 39 Hasil Keuntungan dengan menggunakan Skenario 2
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02 S3
02/03
03/04
04/05 Musim Tanam
Gambar 40 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 3
140
Hasil Optimisasi Menggunakan Skenario 4 Dari hasil optimisasi pada Gambar 41 terlihat bahwa selisih antara keuntungan Skenario 4 dengan keuntungan Skenario 0 lebih besar bila dibandingkan dengan Gambar 39 (Skenario 2). Dalam hal ini pola tanam padipalawija-palawija
yang
dilakukan
di
Golongan
III
dan
IV
banyak
menyumbangkan keuntungan bagi wilayah tersebut karena waktu tanam yang lebih lama dan ketersediaan lahan yang lebih luas bagi kedua golongan tersebut. Rata-rata keuntungan hasil optimisasi dari musim tanam 2000/2001 sampai dengan musim tanam 2004/2005
adalah Rp 39,82 milyar per tahun. Selisih
keuntungan terbesar antara kedua hasil terjadi pada musim tanam 2002/2003 sebesar Rp 12,41 milyar, sedangkan keuntungan yang terkecil terjadi pada musim tanam 2000/2001 sebesar Rp 11,92 milyar. Dengan luas target tanam di wilayah pengamat Cikarang rata-rata 10 000 ha per musim tanam, maka keuntungan yang didapat pada Skenario 4 adalah sekitar Rp 3.982.000 per ha. Penambahan keuntungan yang didapat Skenario 4 dibandingkan dengan Skenario 0 adalah sekitar Rp 1.200.000 per ha. Gambar 41 menyajikan perbandingan keuntungan menggunakan Skenario 4 terhadap Skenario 0 sedangkan hasil optimisasi optimisasi beserta perhitungan keuntungan untuk tiap skenario disajikan pada Tabel 36.
45000 Keuntungan (juta Rp)
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 00/01 S0
01/02 S4
02/03
03/04
04/05
Musim Tanam
Gambar 41 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 4
141
Tabel 36 Hasil optimisasi dan perhitungan keuntungan tiap skenario MT (Thn)
2004-2005
2003-2004
2002-2003
2001-2002
0 (R) * 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G) 0 (R) 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G) 0 (R) 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G) 0 (R) 0 (G) 1 (R) 1 (G) 2 (R) 2 (G) 3 (R) 3 (G) 4 (R) 4 (G)
Keuntungan
Luas golongan (ha)
Skenario I
II
III
IV
1 169 1 699 1 740 1 699 771 675 771 712 1 733 712 805 805 1 725 1 690 767 708 689 663 708 505 723 733 1 701 1 685 676 650 693 598 1 701 1 552 731 729 1 699 1 680 690 655 705 604 1 710 1 548
2 231 675 771 702 5 060 4 017 1 740 1 699 771 1 781 2 052 2 023 767 708 5 848 5 175 1 690 1 585 1 690 1 550 1 949 1 939 713 690 5 236 5 125 1 701 1 625 713 685 1 950 1 941 715 685 5 233 5 124 1 705 1 623 714 680
5 854 4 027 6 023 5 466 1 910 1 968 6 023 5 101 6 023 5 466 4 711 4 191 5 992 5 203 1 900 1 771 5 437 5 105 5 364 5 105 5 701 5 701 5 207 5 106 1 968 1 773 5 471 5 116 5 398 5 065 5 698 5 695 5 210 6 112 1 965 1 780 5 472 5 114 5 401 5 060
982 1 999 1 292 2 027 2 054 2 027 1 776 1 796 1 292 2 027 2 615 3 164 2 017 2 017 2 043 2 017 2 017 1 895 2 017 2 000 1 874 1 874 2 001 1 980 2 029 1 996 2 029 1 885 2 510 2 125 1 873 1 868 2 011 1 975 2 027 1 994 2 030 1 879 2 512 2 121
Hasil keuntungan Musim Tanam 2004-2005 belum dapat dihitung. * R : Rendeng, G : Gadu.
(juta rupiah)
40 473 27 961 40 407 40 189 27 585 40 084 33 117 40 018 39 785 27 749 40 181 28 000 40 117 40 160 27 698 40 187 27 988 40 140 40 155
142
Alternatif Sistem Irigasi Rotasi
Dasar Pertimbangan Pada saat ketersediaan air kurang daripada kebutuhan untuk irigasi, maka untuk menjamin kelangsungan pemeliharaan tanaman terutama padi dapat diberlakukan sistem irigasi rotasi atau gilir-giring. Berdasarkan data dari Seksi Lemahabang dimana Pengamat Irigasi Cikarang masuk di wilayah seksi tersebut, pada tahun 1997 dan 1998 di bulan Juni, Juli dan Agustus, debit rata-rata di BTb30a hanya berkisar 1,5 – 3,5 m3 dtk -1. Kondisi kekurangan air tersebut disebabkan oleh timbulnya fenomena El-Nino yang menyebabkan kekeringan yang meluas dan berkepanjangan. Akibat kecilnya debit air, maka areal persawahan yang terletak jauh dari sumber air yaitu sebagian dari Golongan III serta Golongan IV menjadi kekurangan air sehingga petani di daerah tersebut tidak dapat melakukan proses budidaya tanaman padi. Agar supaya petani tetap dapat melakukan proses tanam padi, sistem irigasi rotasi diberlakukan pada waktu tersebut.
Mekanisme Perhitungan Sistem Irigasi Rotasi Kan et al. (1997) menyatakan perhitungan sistem irigasi rotasi harus didasarkan pada kebutuhan air tanaman, perkolasi, luas tanam dan debit air di saluran sekunder dan tersier. Tujuan perhitungan sistem irigasi rotasi adalah untuk menentukan durasi penyaluran air optimal dan durasi penghentian penyaluran air agar pemberian air dapat dilakukan secara proporsional ke setiap petak tersier. Untuk menghitung besarnya debit di saluran sekunder dibutuhkan besar debit dan koefisien kehilangan air dari saluran induk (primer) ke saluran sekunder. Untuk menghitung debit di saluran tersier dibutuhkan prosentase kehilangan air karena adanya rembesan pada jaringan saluran sekunder serta jarak dari sumber air (BTb30a dan BKg4) melewati saluran sekunder ke petak tersier. Prosentase kehilangan air dan parameter jarak menentukan besarnya koefisien kehilangan air (CLci) dari saluran sekunder ke saluran tersier (Kan et al. 1997). Setelah besar debit yang masuk ke setiap saluran diketahui, tahap berikutnya adalah menghitung durasi penyaluran air ke setiap petak tersier.
143
Khepar (2000) menyatakan durasi penyaluran air ke petak tersier tergantung pada ketinggian genangan air di petak tersier dan durasi yang dibutuhkan untuk melakukan penggenangan sampai pada ketinggian tertentu. Kalsim (2000) menyarankan tinggi genangan air sesudah tanam (tandur) padi adalah 80 mm.
Proses Perencanaan Irigasi Rotasi Proses perencanaan irigasi rotasi mempunyai empat macam masukan, yaitu (1) data spasial, (2) faktor lingkungan, (3) spesifikasi petak tersier, dan (4) parameter manajemen. Keempat jenis masukan tersebut memberikan data untuk rangkaian proses perencanaan irigasi rotasi berdasarkan karakteristik dan situasi yang terjadi pada setiap unit petak tersier di wilayah pengamat Cikarang. Gambar 42 menyajikan struktur proses perencanaan irigasi rotasi. Proses perencanaan tersebut meliputi beberapa tahap, yaitu perhitungan kehilangan air pada saluran dan petak tersier, perhitungan besarnya debit dan penentuan durasi irigasi rotasi. Di lapangan, petani lebih suka menanam padi karena pemeliharaannya lebih mudah bila dibandingkan dengan palawija. Tabel 37 menyajikan detil setiap jenis masukan yang dibutuhkan oleh proses perencanaan irigasi rotasi dan Tabel 38 menyajikan detil dari setiap proses.
-
PJT II
-
Data Jaringan Irigasi Faktor Lingkungan Data Petak Tersier Parameter manajemen
PROSES PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR
DAN PROSES PERHITUNGAN DEBIT
PANITIA
IRIGASI Rencana Irigasi Rotasi
PROSES PENENTUAN DURASI IRIGASI
Gambar 42. Struktur proses perencanaan irigasi rotasi
144
Tabel 37. Detil jenis masukan proses perencanaan irigasi rotasi Masukan
Uraian
Data Spasial
Jarak petak tersier ke sumber
Parameter Lingkungan
Efisiensi pada saluran dan petakan Debit pada saluran Kehilangan air di saluran dan petakan
Spesifikasi Petak Tersier
Luas petak tersier
Faktor Manajemen
Pembagian hulu dan hilir Durasi irigasi rotasi konvensional Tinggi genangan yang dibutuhkan
Tabel 38. Detil proses perencanaan irigasi rotasi No 1
2
3
Proses
Subproses
Perhitungan Kehilangan Air
•
Faktor luas petak tersier
•
Faktor panjang saluran
•
Debit air masuk saluran sekunder
•
Debit air masuk petak tersier
•
Durasi pengisian per ha
•
Durasi pengisian per petak tersier
•
Durasi penyaluran per ha
•
Durasi penyaluran per petak tersier
•
Durasi antar irigasi per petak tersier
Perhitungan Debit
Penentuan Durasi Irigasi
Saat irigasi rotasi digunakan, wilayah Pengamat Irigasi Cikarang yang menjadi tempat penelitian dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian hulu dan bagian hilir. Bagian hulu dan hilir dibatasi oleh bangunan bagi sadap yang
145
memungkinkan penyaluran air dapat dialokasikan sesuai dengan jadwal bagian yang telah disepakati. Berdasarkan letak bangunan bagi sadap, pembagian daerah hulu dan daerah hilir untuk sistem irigasi rotasi disajikan pada Tabel 39.
Tabel 39. Pembagian daerah irigasi rotasi BAGIAN
SUMBER
BANGUNAN BAGI
Hulu
BTb30a
BSt01 – BSt16 BGn01 – BGn08 BLa01 – BLa06 BKw01 – BKw07
BKg4
BRBd01 – BRBd08 BRk01 – BRk20
Hilir
BTb30a
BSt17 – BSt23 BKh01 – BKh04 BKl01 – BKl04
BKg4
BRBd09 – BRBd26 BPbe01 – BPbe08 BKn01 – BKn13
Lampiran 3 dan Lampiran 4 menyajikan spesifikasi irigasi rotasi untuk bagian hulu dan bagian hilir pada periode Jun1. Lampiran 5 dan Lampiran 6 menyajikan spesifikasi irigasi rotasi untuk bagian hulu dan bagian hilir pada periode Agt2. Kedua periode tersebut dipilih karena durasi irig asi minimum umumnya terjadi pada periode Jun1, sedangkan durasi irigasi rotasi maksimum umumnya terjadi pada periode Agt2. Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 6 meliputi data luas petak tersier, jarak sumber air (BTb30a dan BKg4) ke petak tersier, debit yang masuk di saluran tersier, perhitungan kehilangan air, durasi pengisian, durasi penyaluran irigasi optimal dan durasi antar irigasi. Dari setiap bangunan bagi, air irigasi dialirkan melalui intake menuju petak tersier. Berdasarkan nilai persentase kehilang an air pada petak tersier (Purba 1980) dan luas tanam rata-rata 10.000 ha di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang, maka So
146
untuk musim tanam rendeng ditetapkan sebesar 0,0491% dan untuk musim gadu ditetapkan sebesar 0,0086%. Selanjutnya, kehilangan air pada petak tersier ke-i (Si) dihitung dengan menggunakan Persamaan /22/. Faktor pembobot untuk luas lahan (F = 0,73) dihitung menggunakan Persamaan /23/. Kemudian koefisien kehilangan air selama penyaluran dari setiap luas petak tersier (CLfi) dihitung dengan menggunakan Persamaan /21/. Hasil dari CLfi untuk periode Jun1 dengan debit air di saluran primer sebesar 3896,4 l dtk-1 ditunjukkan pada Lampiran 3. Sebagai contoh, petak tersier Gn01ki yang berada di bagian hulu dan luas target tanamnya 64 ha mempunyai nilai CLfi sebesar 0,00050. Sedangkan petak tersier Kh01ka yang berada di bagian hilir dan luas target tanamnya 46 ha (Lampiran 4) mempunyai nilai CLfi sebesar 0,00036. Semakin besar luas petak tersier, semakin besar nilai CLfi. Dengan menggunakan Co = 0,1 sebagai prosentase kehilangan air di saluran sekunder yang ditetapkan oleh Perum Jasa Tirta II, besarnya kehilangan air di saluran menuju petak tersier ke-i (Ci) dihitung dengan menggunakan Persamaan /25/. Faktor pembobot (G) saluran sekunder berdasarkan jarak sumber air ke petak tersier dihitung dengan menggunakan Persamaan /26/ dan didapatkan -5
G=1/11327,9=8,8x10 . Koefisien kehilangan air pada saluran ke petak tersier (CLci) dihitung dengan menggunakan Persamaan /24/. Hasil perhitungan CLci disajikan pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Sebagai contoh petak tersier Gn01ki yang berada di bagian hulu dan berjarak 5,5 km dari BTb30a mempunyai nilai CLci sebesar 0,049. Sedangkan petak tersier Kh01ka yang berada di bagian hilir dan berjarak 16,4 km dari sumber BTb30a mempunyai nilai CLci sebesar 0,145. Semakin jauh jarak petak tersier dari sumber air, nilai CLci semakin membesar. Debit air yang masuk ke petak tersier dihitung berdasarkan debit air yang masuk ke saluran sekunder melalui pintu air BTb30a dan BKg04, debit air yang masuk ke saluran tersier dan faktor kehilangan air. Perhitungan besarnya debit yang masuk ke saluran sekunder melalui pintu air menggunakan faktor kehilangan air sesuai Surat Keputusan Direktur Perum Jasa Tirta II tahun 2001 yaitu sebesar 5%. Sedangkan perhitungan besarnya debit yang masuk ke saluran tersier menggunakan faktor kehilangan air berdasarkan jarak pintu air saluran sekunder
147
ke pintu air saluran tersier (CLci). Sebagai contoh, pada bagian hulu (Lampiran 3), debit yang masuk ke saluran sekunder BGn adalah 3896,4 – (3896,4 x 0,05) = 3701,6 l dtk -1 dibulatkan menjadi 3.702 l dtk -1. Kemudian debit yang masuk ke saluran tersier untuk petak BGn01ki adalah 3701,6 – (3701,6 x 0,04855) = 3521,9 l dtk -1 dibulatkan menjadi 3.522 l dtk -1. Pada bagian hilir, debit yang masuk ke saluran tersier untuk petak BKh01ka adalah 3701,6 – (3701,6 x 0,0145) = 3164,5 l dtk-1 dibulatkan menjadi 3.165 l dtk-1. Faktor rembesan yang merupakan besarnya kehilangan air dihitung berdasarkan perbandingan antara debit yang masuk ke saluran sekunder dan debit yang keluar ke saluran tersier. Faktor rembesan untuk setiap petak tersier untuk periode Jun1 dengan debit masuk ke saluran sekunder sebesar 3896,4 l dtk -1 disajikan juga pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Sebagai contoh, faktor rembesan untuk petak tersier Gn01ki adalah sebesar 1,051. Semakin jauh jarak petak tersier dari sumber air, maka faktor rembesannya makin membesar. Hal ini dikarenakan debit yang masuk ke saluran tersier makin mengecil seiring dengan bertambahnya jarak dari sumber ke petak tersier. Durasi pengisian merupakan durasi yang dibutuhkan untuk menggenangi petak tersier sampai setinggi 60-80 mm (Kalsim, 2000). Untuk bagian hulu (Lampiran 3), petak tersier Rbd02ka dengan luas 313 ha mempunyai durasi pengisian terlama yaitu 14,2 jam. Sedangkan petak tersier Rk02ki dengan luas target tanam 4 ha mempunyai durasi pengisian tercepat yaitu 0,2 jam. Durasi pengisian rata-rata untuk bagian hulu adalah 3,2 jam. Untuk bagian hilir (Tabel 51), petak tersier Rbd18ki dengan luas target tanam 221 ha mempunyai durasi pengisian terlama yaitu 11,2 jam. Sedangkan petak tersier Kl03ki dengan luas target tanam 22 ha mempunyai durasi pengisian tercepat yaitu 1,2 jam. Durasi pengisian rata-rata untuk bagian hilir adalah 3,3 jam. Nilai durasi pengisian tersebut didapat dengan cara memperhitungkan debit air pada periode Jun1 yang sebesar 3896,4 l dtk-1. Perbedaan besaran debit pada setiap periode akan berpengaruh terhadap durasi pengisian.
148
Penentuan durasi irigasi rotasi optima l Penentuan durasi irigasi rotasi optimal untuk setiap petak tersier tergantung pada durasi pengisian per ha dari petak tersier, luas target tanam dan besarnya rembesan yang menuju ke petak tersier tersebut. Data durasi irigasi rotasi yang berlaku saat ini (konvensional) yaitu 72 jam dan hasil penentuan durasi irigasi rotasi optimal untuk setiap petak tersier baik yang terletak di bagian hulu dan bagian hilir periode Jun1 disajikan pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang saluran sekunder (SS) Sukatani disajikan pada Gambar 43.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
2
5
Konvensional
8
11
14ka
Irigasi Optimal
15ki
17
Antar Irigasi
20
22ki Petak Tersier
Gambar 43. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Sukatani
Dari Gambar 43 terlihat bahwa petak tersier yang terletak di bagian hulu dengan jarak kurang dari 14 km dari sumber BTb30a mendapat durasi irigasi rotasi optimal yang lebih cepat dibandingkan durasi irigasi rotasi konvensional. Sedangkan petak tersier yang terletak di bagian hulu dengan jarak lebih dari 14 km mendapat durasi irigasi rotasi optimal yang lebih lama dibandingkan dengan
149
durasi irigasi rotasi konvensional. Titik-titik yang menjadi puncak dari kurva menyatakan durasi irigasi rotasi optimal untuk petak tersier dengan luas target tanam yang lebih besar daripada rata-rata. Durasi irigasi rotasi rotasi yang terlama yaitu 225,3 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier St20ki di bagian hilir dengan luas tanam 114 ha, berjarak 16,7 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi yang tercepat yaitu 4,7 jam pada periode Jun1 terjadi di petak tersier St03ka di bagian hulu dengan luas tanam 6 ha, berjarak 6,5 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinyanya selama 8 hari. Tidak terdapat perbedaan durasi irigasi rotasi optimal yang signifikan antar periode. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Rengasbendung disajikan pada Gambar 44.
Durasi (jam) 200
150
100
50
0
01ka 04ka 05ki 07ki 10ki 13ka 15ka 17ki 19ka
21
Konvensional
Petak Tersier
Irigasi Optimal
Antar Irigasi
24
Gambar 44. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Rengasbendung
Gambar 44 memperlihatkan petak irigasi dengan durasi irigasi rotasi optimal yang tidak mengalami fluktuasi nilainya mendekati nilai durasi irigasi rotasi konvensional. Untuk SS Rengasbendung, secara umum, petak tersier yang terletak di bagian hulu mempunyai durasi irigasi rotasi optimal relatif sama
150
dengan durasi irigasi rotasi optimal dari petak tersier di bagian hilir, terkecuali pada petak tersier yang nilai durasi irigasi optimalnya menjadi titik puncak kurva. Kesamaan tersebut disebabkan oleh luas target tanam di bagian hilir maksimal sama dengan luas target tanam di bagian hulu. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 245,5 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier RBd02ka di bagian hulu dengan luas tanam 313 ha, berjarak 1,2 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 6 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 6,2 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Rbd04ka di bagian hulu dengan luas tanam 10 ha, berjarak 3,8 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Bangunan bagi sadap yang ada di BRbd08 dengan jarak 6,2 km dari BKg04 tidak mempunyai lahan untuk budidaya tanaman sehingga durasi irigasinya 0. Tidak terdapat perbedaan durasi irigasi rotasi optimal yang signifikan antar periode. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigas i rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Rawakuda disajikan pada Gambar 45.
Durasi (jam) 200
150
100
50
0
01ka
02ki
Konvensional
04ki02
06ki
Irigasi Optimal
09ka
13ka
Antar Irigasi
17ka Petak Tersier
Gambar 45. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Rawakuda
151
Dari Gambar 45 terlihat bahwa secara umum durasi irigasi rotasi optimal mempunyai lama waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali pada beberapa petak tersier yang menjadi titik puncak. Pada SS Rawakuda, kesemua petak tersier yang berjumlah 30 petakan masuk pada
bagian hulu dikarenakan tidak adanya bangunan bagi sadap
sepanjang saluran tersebut. Secara umum, petak tersier di SS Rawakuda mempunyai durasi irigasi rotasi optimal yang relatif sama. Terdapat 2 petak tersier yaitu Rk02ka02 dan Rk20ka yang menjadi titik puncak di awal dan di akhir saluran tersebut. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 181,2 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier Rk20ka di bagian hulu dengan luas tanam 185 ha, berjarak 23,5 km dari sumber BKg04 dan d urasi antar irigasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 2,6 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Rk02ki di bagian hulu dengan luas target tanam 4 ha, berjarak 7,1 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasinya selama 8 hari. Tidak terdapat perbedaan durasi irigasi rotasi optimal yang signifikan antar periode. Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Gelonggong disajikan pada Gambar 46. Dari Gambar 46 terlihat bahwa secara keseluruhan durasi irigasi rotasi optimal lebih cepat dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional. Sampai jarak 6,4 km dari sumber BTb30a, nilai durasi irigasi rotasi optimal cenderung konstan untuk setiap periode yang menunjukkan luas target tanam tidak berselisih banyak. Perbedaan durasi irigasi rotasi optimal antar periode menghasilkan nilai yang cukup signifikan di bagian awal SS Gelonggong. Kemudian durasi irigasi rotasi optimal mengecil sampai dengan jarak 6,9 km dari sumber dan kembali membesar sampai dengan jarak 7,5 km dari sumber. Pada SS Gelonggong, semua petak tersier yang berjumlah 8 petakan masuk di bagian hulu. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 63,1 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier Gn02ki dengan luas target tanam 66 ha, berjarak 5,7 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 11,8 jam terjadi
152
pada periode Jun1 di petak tersier Gn06ka dengan luas target tanam 15 ha, berjarak 6,9 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ki
02ki
Konvensional
03ki
04ki
Irigasi Optimal
05ka
06ka
Antar Irigasi
07ka
08ka
Petak Tersier
Gambar 46. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Gelonggong
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kahuripan disajikan pada Gambar 47. Dari Gambar 47 terlihat bahwa keseluruhan durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih lama bila dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional. Keseluruhan petak tersier di SS Kahuripan yang berjumlah 4 petakan masuk pada bagian hilir dan mendapat aliran air dari bangunan bagi sadap BSt16. Dari petak tersier yang terletak di bagian awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi terus membesar sampai dengan petak tersier yang terletak ujung saluran. Hal tersebut menunjukkan peningkatan luas lahan budidaya tanaman. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier di awal saluran kurang signifikan dibandingkan dengan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier di ujung saluran. Durasi irigasi rotasi yang terlama yaitu 272,4 jam terjadi pada periode Agt2 di
153
petak tersier Kh04ka dengan luas tanam 135 ha, berjarak 18,6 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi yang tercepat yaitu 76,2 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kh01ka dengan luas tanam 46 ha, berjarak 16,4 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
Durasi (jam) 200
150
100
50
0
01ka Konvensional
02ka Irigasi Optimal
03ka Antar irigasi
04ka Petak Tersier
Gambar 47. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Kahuripan
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kb Lompong disajikan pada Gambar 48. Dari Gambar 48 terlihat adanya variasi durasi irigasi rotasi optimal yang berfluktuasi dibandingkan durasi irigasi rotasi konvensional. Keseluruhan petak tersier di SS Kb Lompong yang berjumlah 7 petakan masuk pada bagian hilir dan mendapat aliran air dari bangunan bagi sadap BSt17. Di awal saluran sampai dengan jarak 15,7 km dari sumber BTb30a, nilai durasi irigasi rotasi optimal adalah sama dengan nilai durasi irigasi rotasi konvensional. Setelah itu, nilai durasi irigasi rotasi optimal berfluktuasi sampai dengan jarak 17,3 km di ujung saluran. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier di SS Kb Lompong tidak signifikan. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 145 jam terjadi pada periode Agt2
154
di petak tersier Kl02ki dengan luas tanam 74 ha, berjarak 15,8 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 36,5 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kl03ki dengan luas tanam 22 ha, berjarak 16,6 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
180
Durasi (jam)
160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ka Konvensional
01ki
02ka
Irigasi Optimal
02ki
03ka
Antar Irigasi
03ki
04ka
Petak Tersier
Gambar 48. Durasi konvensional dan durasi irigasi optimal di SS Kb Lompong
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kendayakan disajikan pada Gambar 49. Dari Gambar 49 terlihat bahwa secara mayoritas durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih cepat dibandingkan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali di daerah hilir saluran tersebut. Keseluruhan petak tersier di SS Kendayakan yang berjumlah 22 petakan masuk pada bagian hilir dan mendapat aliran air dari bangunan bagi sadap BRbd20. Dari petak tersier yang terletak pada awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi berfluktuasi sampai dengan jarak 15,9 km dari sumber. Hal tersebut disebabkan oleh adanya variasi luas target penanaman. Setelah itu nilai durasi irigasi rotasi meningkat secara stabil sampai dengan jarak 19 km dari sumber. Hal tersebut menandakan
155
penambahan luas lahan budidaya tanaman yang terjadi secara kontinyu pada setiap petak tersiernya. Kemudian nilai durasi irigasi rotasi optimal kembali berfluktuasi sampai melebihi durasi irigasi rotasi konvensional. Perbedaan nilai durasi revisi irigasi rotasi optimal antar periode petak tersier dari awal saluran sampai ujung saluran adalah cukup signifikan. Durasi irigasi rotasi rotasi yang terlama yaitu 92 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier Kn11ka dengan luas tanam 86 ha, berjarak 21,5 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 30 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kn03ka dengan luas tanam 41 ha, berjarak 15,9 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ka 02ka 03ka 04ka 05ka 06ka 07ka 08ka 09ka 10ka 12ka Konvensional
Irigasi Optimal
Antar Irigasi
Petak Tersier
Gambar 49. Durasi konvensional dan duras i irigasi optimal SS Kendayakan
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang SS Kalenderwak disajikan pada Gambar 50. Dari Gambar 50 terlihat bahwa secara mayoritas durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih cepat dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali pada petak tersier yang
156
terletak di ujung saluran tersebut. Keseluruhan petak tersier di SS Kalenderwak yang berjumlah 7 petakan masuk pada bagian hulu dan mendapat aliran air dari sumber air BTb30a. Dari petak tersier yang terletak pada awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi sedikit berfluktuasi sampai dengan jarak 7,7 km dari sumber untuk kemudian cenderung konstan sampai dengan jarak 9,5 km. Hal tersebut disebabkan luas target penanaman yang hampir sama sampai pada jarak 9,5 km. Nilai durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 80,8 jam yang terjadi pada periode Agt2 di petak tersier yang terakhir (Kw07ka) dengan luas tanam 81 ha, berjarak 10,1 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi rotasi yang tercepat yaitu 22,4 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier Kw05ka dengan luas tanam 28 ha, berjarak 9 km dari sumber BKg04 dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode pada petak tersier dari awal saluran sampai ujung saluran adalah cukup signifikan.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ki
02ka
Konvensional
03ka Irigasi Optimal
04ka
05ka Antar Irigasi
06ka
07ka
Petak Tersier
Gambar 50. Durasi konvensional dan durasi revisi irigasi rotasi SS Kalenderwak
Perbandingan durasi irigasi rotasi konvensional, durasi irigasi rotasi optimal dan durasi antar irigasi rotasi periode Jun1 pada petak tersier di sepanjang
157
SS Lemahabang disajikan pada Gambar 51. Dari Gambar 51 terlihat bahwa secara umum durasi irigasi rotasi optimal adalah lebih cepat bila dibandingkan dengan durasi irigasi rotasi konvensional terkecuali di daerah awal saluran tersebut. Keseluruhan petak tersier di SS Lemahabang yang berjumlah 6 petakan masuk pada bagian hulu dan mendapat aliran air dari sumber BTb30a. Dari petak tersier yang terletak pada awal saluran, nilai durasi irigasi rotasi optimal berkurang sampai dengan jarak 8,1 km dari sumber. Hal tersebut disebabkan oleh berkurangnya luas target penanaman. Perbedaan nilai durasi irigasi rotasi optimal antar periode petak tersier dari awal saluran sampai dengan jarak 8,1 km adalah cukup signifikan. Setelah itu nilai durasi irigasi rotasi optimal meningkat secara stabil sampai dengan jarak 9,5 km. Hal tersebut menandakan penambahan luas tanaman terjadi secara kontinyu pada setiap petak tersiernya. Durasi irigasi rotasi optimal yang terlama yaitu 81,6 jam terjadi pada periode Agt2 di petak tersier La01ka dengan luas tanam 85 ha, berjarak 6,1 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari. Sedangkan durasi irigasi rotasi optimal yang tercepat yaitu 20,6 jam terjadi pada periode Jun1 di petak tersier La04ka dengan luas tanam 26 ha, berjarak 8,1 km dari sumber BTb30a dan durasi antar irigasi rotasinya selama 7 hari.
200
Durasi (jam)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
01ka Konvensional
02ka
03ka
Irigasi Optimal
04ka Antar Irigasi
05ka
06ka Petak Tersier
Gambar 51. Durasi konvensional dan durasi revisi irigasi rotasi SS Lemahabang
158
Sistem Pendukung Keputusan Sistem pendukung keputusan adalah salah satu sistem informasi berbasis komputer yang ditujukan untuk mendukung manajemen dalam menangani masalah semi terstruktur yang memerlukan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan. Jika sistem informasi manajemen lebih berorientasi pada dukungan tidak langsung misalnya melalui laporan maka sistem pendukung keputusan memberikan dukungan lebih langsung pada permasalahan dengan menyediakan alternatif pilihan. Sistem pendukung keputusan lebih menekankan pada efektivitas pengambilan keputusan dalam upaya untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik. Pada sistem ini yang memegang peranan terpenting adalah pengambil keputusan karena sistem hanya menyediakan alternatif keputusan, sedangkan keputusan akhir tetap ditentukan oleh pengambil keputusan (Daihani 2001). Sebagaimana dijelaskan di bagian latar belakang, panitia irigasi membutuhkan alat bantu agar dapat menghasilkan rencana musim tanam yang optimum dan dapat merespon dinamika di lapangan secara cepat dan akurat. Sistem perhitungan yang selama ini dilaksanakan masih dilakukan secara manual, sehingga setiap kali timbul perubahan dari pihak petani, misalkan penundaan proses budidaya di saat-saat mulainya musim tanam, panitia irigasi mengalami kesulitan untuk melakukan perubahan dikarenakan laporan sudah direkapitulasi dan dikirim ke level struktural di atasnya. Oleh karena adanya dinamika tersebut, pada saat musim tanam sudah dimulai, petugas harus menyesuaikan air irigasi yang dialirkan ke petak sekunder dan tersier dengan kebutuhan air irigasi aktual sebab bila tidak lahan persawahan dapat mengalami kekurangan atau kelebihan air. Permasalahan lain juga timbul apabila terdapat perbedaan data antara Perum Jasa Tirta II dan Dinas Pertanian mengenai luas lahan (bebaku) yang harus diberi air
irigasi. Perbedaan tersebut harus diselesaikan secara berkoordinasi antara
kedua instansi karena bila tidak terselesaikan akan berakibat pada kurang akuratnya jadwal dan jumlah pemberian air irigasi. Selain faktor kesiapan petani untuk memulai musim tanam, kesiapan dari berbagai pihak juga diperlukan misalnya Dinas Pertanian dalam menentukan pola tanam, Perum Jasa Tirta II yang bertanggung jawab dalam pemberian air irigasi, dan produsen benih dan pupuk untuk menyediakan berbagai jenis sarana produksi
159
pertanian yang cukup dan tersedia di lapangan. Hal tersebut harus terlihat nyata di lapangan, agar musim tanam dapat dimulai serempak sesuai dengan golongan yang sudah ditentukan. Pemilihan kombinasi dan alternatif dari faktor-faktor tersebut menyebabkan prosedur penentuan sistem golongan irigasi menjadi proses yang tidak berulang. Berdasarkan berbagai alasan seperti dikemukakan di atas, maka sistem yang paling tepat untuk menangani permasalahan di panitia irigasi adalah sistem pendukung keputusan.
Sistem Usulan Sistem yang diusulkan adalah Sistem Pendukung Keputusan yang digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan pada saat perencanaan sistem irigasi golongan di tingkat kecamatan. Sistem pendukung keputusan tersebut merupakan kerangkakerja (framework) yang memberikan penilaian terhadap alternatif-alternatif penyelesaian yang diajukan. Sistem yang diusulkan merupakan perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan yang ada pada sistem lama. Perbaikan -perbaikan yang dilakukan pada sistem usulan adalah : •
Pencatatan rekapitulasi data dilakukan secara otomatis dengan meng ambil masukan di tingkat kecamatan.
•
Nilai inisialisasi luas golongan menggunakan peluang distribusi kumulatif berdasarkan data luas golongan mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2004. Dengan demikian diharapkan nilai awal yang didapat merupakan pendekatan terhadap nilai yang sesungguhnya.
•
Proses penentuan golongan dilakukan dengan menggunakan parameter dan kendala yang sama dengan kondisi aktual untuk mencari kombinasi golongan pemberian air yang dapat memberikan keuntungan maksimum bagi daerah penelitian
•
Kemudahan dalam melakukan ujicoba skenario pola tanam yang paling menguntungkan untuk daerah pertanian
•
Petani dapat memberikan masukan kepada panitia irigasi setiap saat sebelum musim tanam dimulai sehingga data yang diberikan akan selalu sesuai dengan fakta mengenai kesiapan petani di lapangan
160
•
Format laporan rekapitulasi rencana musim tanam diseragamkan dengan menggunakan proses otomatis untuk memproduksi laporan sehingga mudah untuk dipahami oleh panitia irigasi. Pemahaman mengenai permasalahan yang terjadi akan mempermudah pengambilan keputusan. Agar perbaikan -perbaikan dari sistem usulan dapat tercapai, dilakukan
proses optimisasi
optimisasi pemberian air irigasi. Untuk itu disusun sebuah
sistem pendukung keputusan yang disebut dengan Model SIMPERA (S istem optIMisasi PEmberian aiR irigAsi). SIMPERA merupakan paket program komputer yang dapat dipergunakan oleh panitia irigasi untuk mendukung proses pengambilan keputusan dalam perencanaan sistem irigasi golongan. Konfigurasi model sistem pendukung keputu san SIMPERA disajikan pada Gambar 52. Sebagai suatu sistem pendukung keputusan, paket program SIMPERA disusun oleh tiga komponen utama yaitu Sistem Manajemen Basis Data, Sistem Manajemen Basis Model dan Sistem Manajemen Dialog. Sistem Manajemen Basis Data mengorganisasikan data dalam bentuk filefile yang tergabung dalam satu basis data IRIGASI. Pada prinsipnya data yang dibutuhkan untuk optimisasi sistem irigasi golongan adalah data spasial, data lingkungan, data tenaga kerja dan alat mesin pertanian, data biaya dan parameter optimisasi Tujuan dari Sistem Manajemen Basis Data adalah menerima masukan sebagai data, mengelola data meliputi perubahan dan penghapusan data serta menghasilkan keluaran sebagai informasi untuk mendukung kinerja sistem secara keseluruhan. Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari empat model yaitu model penentuan golongan, model optimisasi golongan, model evaluasi keuntungan dan sistem informasi geografis. Sistem Manajemen Basis Model berfungsi melakukan perhitungan terhadap data yang ada dengan menggunakan rumusan tertentu agar memperoleh hasil yang digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan.
161
PENGGUNA
SISTEM MANAJEMEN DIALOG
PROGRAM UTAMA
ALTERNATIF POLA TANAM
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL
DATA SPASIAL
ANALISIS INISIALISASI GOLONGAN
DATA LINGKUNGAN
ANALISIS PENENTUAN GOLONGAN
DATA BIAYA
ANALISIS PERENCANAAN GOLONGAN
DATA TENAGA KERJA DAN ALAT MESIN PERTANIAN
ANALISIS KEUNTUNGAN WILAYAH
PARAMETER OPTIMISASI
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
Gambar 52. Konfigurasi Model SIMPERA
Sistem Manajemen Dialog berfungsi sebagai pengelola interaksi antara sistem dengan pengguna dalam proses pemberian alternatif pola tanam pada sistem irigasi golongan. Alternatif pola tanam yang dimaksud meliputi jenis
162
tanaman, pola tanam, jadwal musim tanam, golongan petak tersier, kebutuhan air irigasi, kebutuhan sarana produksi pertanian, harga jual komoditi, keuntungan tiap skenario pola tanam dan pengaturan jadwal sistem irigasi gilir -giring. Sistem ini menerima masukan dari pengguna dan memberikan keluaran sesuai dengan yang diinginkan pengguna.
Pertimbanga n Pada Perencanaan Simpera Permasalahan yang terjadi pada Daerah Irigasi Jatiluhur adalah adanya kemungkinan bahwa petani tidak dapat memulai musim tanam tepat waktu karena berbagai alasan. Faktor penyebab petani untuk menunda musim tanamnya adalah ketersediaan sarana produksi pertanian, tenaga kerja dan alat mesin pertanian. Apabila petani yang telah menunda proses budidaya itu kemudian memulai musim tanamnya, akan menyebabkan timbulnya golongan-golongan baru. Kemudian akibat lebih lanjut adalah pemborosan air irigasi karena Perum Jasa Tirta II tetap harus mengalirkan air irigasi tersebut ke sawah -sawah petani, yang seharusnya dapat disimpan untuk dipergunakan pada musim kemarau. Untuk itu harus disusun suatu rencana tanam yang benar-benar mempertimbangkan ketersediaan air irigasi dan faktor penyebab petani untuk menunda musim tanamnya. Kriteria paling sensitif yang dapat dijadikan sebagai faktor kunci bagi petani adalah faktor keuntungan. Berdasarkan sejumlah alternatif skenario pola tanam dengan masukan yang sama akan tetapi menghasilkan keuntungan yang berbeda, petani dapat menjatuhkan pilihannya pada alternatif dengan keuntungan tertinggi. Disamping itu, Dinas Pertanian juga memberikan rekomendasi pola tanam tertentu dengan pertimbangan untuk menjaga ketersediaan stok pangan nasional. Rekomendasi tersebut diharapkan tetap memperhatikan kesanggupan petani untuk melakukan proses budidaya. Faktor kritis lainnya adalah kemampuan sistem pada waktu menerima masukan. Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan dari saat menerima masukan dan menghasilkan rencana tanam yang optimum (hampir real-time), maka timbulnya
golongan-golongan baru akan dapat diminimalisasi sehingga
pemborosan air irigasi juga dapat dikurangi.
163
Untuk mengatasi faktor kritis yang pertama yaitu faktor keuntungan, hasil optimisasi terhadap suatu pola tanam tertentu akan menghasilkan sejumlah alternatif penggolongan petak tersier. Hal ini didukung asumsi bahwa semakin banyak kombinasi yang dihasilkan maka peluang munculnya kombinasi yang menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi akan lebih besar. Dari segi waktu pemrosesan, sistem yang baru akan dapat menerima masukan berdasarkan situasi lapangan yang lebih terkini (up-to-date) sehingga perencanaan sistem irigasi golongan dapat dilaksanakan secara tepat pada saat musim tanam dimulai.
Rancang Bangun Model Sistem Manajemen Basis Data Basis data merupakan salah satu komponen terpenting dalam sistem. Sistem Manajemen Basis Data menggunakan menu untuk melakukan pengelolaan terhadap basis data, antara lain melalui proses pembuatan, perbaikan dan penghapusan data. Sistem Manajemen Basis Data dalam paket program SIMPERA mengelola satu basis data IRIGASI yang terdiri dari 13 file atau tabel. •
Data spasial, yang mencakup tata letak jaringan irigasi, tata letak petak tersier dan jarak antar bangunan (intake)
•
Data lingkungan, yang mencakup sifat fisik tanah, iklim, curah hujan, perkolasi, debit, ketersediaan sarana produksi pertanian, alat mesin pertanian, target luas tanam, periode musim tanam, pola tanam, jumlah golongan
•
Data tenaga kerja, yang mencakup jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan yang dibutuhkan pada periode musim tanam tertentu
•
Data biaya, yang mencakup biaya pengadaan sarana produksi pertanian, biaya tenaga kerja, biaya alat mesin pertanian
•
Parameter Algoritma Genetik, yang mencakup jumlah kromosom dalam satu populasi, kriteria berhenti, probabilitas crossover dan mutasi
Dari kelima kelompok data di atas, kemudian disusun 13 file (tabel basis data) yang disajikan pada Tabel 40.
164
Tabel 40. File-file yang digunakan dalam Basis Data Irigasi NAMA FILE
PENYIMPANAN DATA
Bangunan
Intake, lokasi, luas golongan, fisik tanah
Buruh
Periode, jumlah buruh tersedia, biaya
ButuhAirIrigasi
Intake, periode, kebutuhan air irigasi, biaya
Chujan
Periode, curah hujan pada tahun pengamatan
Debit
Periode, debit pada tahun pengamatan
HargaKmdti
Jenis tanaman, harga jual
Iklim
Periode,
suhu,
kelembaban,
angin,
lama
penyinaran Jarak
Intake, jarak antar intake
Kromosom
Generasi, kromosom, nilai gen, keuntungan
Mesin
Jenis, biaya operasional
NilaiGol
Intake, golongan hasil algoritma greedy
Tanaman
Jenis tanaman, periode, lama periode, Kc, Ky
PolaTnm
Petak tersier, jenis tanaman, mulai tanam, perkiraan panen, luas tanam, luas lahan
Sarana
Jenis tanaman, jenis sarana produksi, kebutuhan, satuan
Sistem Manajemen Basis Model Model dalam sistem ini dirumuskan sebagai fungsi yang menggambarkan hubungan antara obyek -obyek yang berperan dalam penentuan golongan pemberian air irigasi. Untuk setiap masukan, model ini dapat menghasilkan keluaran yang berupa spesifikasi sistem irigasi golongan yang optimum beserta keuntungan wilayah yang didapat. Tinjauan dari masing-masing model disajikan sebagai berikut : •
Model inisialisasi luas golongan yang berfungsi menyediakan nilai awal untuk masing-masing golongan berdasarkan data luas tiap golongan dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2004
165
Data masukan Tabel Bangunan : golongan, luas golongan, musim tanam
Proses -
Hitung peluang kejadian luas tiap golongan
-
Hitung fitness (F) untuk setiap luas tiap golongan (A) dengan rumus : m
F = ∑ An
/37/
n =1
-
Hitung probabilitas relatif (pi) untuk luas tiap golongan dengan rumus :
pi = A / F -
/38/
Hitung probabilitas kumulatif (qi) untuk luas tiap golongan dengan rumus m
qi = ∑ An
/39/
n =1
-
Tentukan satu bilangan acak, kemudian temukan luas golongan untuk proses optimisasi berdasarkan besaran bilangan acak tersebut.
Informasi keluaran Tabel Kromosom : luas awal masing-masing golongan •
Model penentuan luas golongan yang berfungsi untuk perencanaan sistem irigasi golongan. Model tersebut akan mengkaji kecocokan parameter spasial dari setiap petak tersier terhadap kriteria golongan yang sedang diuji. Selain parameter spasial, ikut dikaji pula ketersediaan air, sarana produksi pertanian, perkiraan panen, tenaga kerja dan alat mesin pertanian terhadap kriteria yang sama. Semua hasil pengujian akan diberikan penilaian sesuai dengan tingkat ketepatan parameter dan data terhadap kriteria yang diuji. Prosedur yang digunakan pada penentuan golongan adalah algoritma greedy
Data masukan Tabel Bangunan : Intake, sifat fisik tanah Tabel Buruh : jumlah buruh tersedia Tabel Debit : jumlah debit tersedia
166
Tabel Jarak : jarak antar intake Tabel Mesin : jumlah mesin pertanian tersedia Tabel PolaTnm : perkiraan panen Tabel Sarana : jenis dan ketersediaan sarana produksi pertanian
Proses -
Buat tabel penilaian untuk masing-masing parameter dan data
-
Jumlah penilaian (V) dari setiap kriteria sumberdaya untuk mendapat total penilaian (tot) dari setiap petak tersier dengan rumus : m
tot = ∑ Vn
/40/
n =1
Informasi keluaran Tabel NilaiGol : Intake, golongan hasil algoritma greedy •
Model perencanaan sistem irigasi golongan yang didasarkan pada metode Algoritma Genetik merupakan inti dari sistem optimisasi dan proses analisisnya berlangsung secara iteratif. Pengguna sistem pendukung keputusan ini yaitu panitia irigasi menetapkan skenario pola tanam, parameter spasial, lingkungan, biaya tenaga kerja dan alat mesin pertanian. Berdasarkan spesifikasi masukan data, model perencanaan sistem irigasi golongan memproses data-data tersebut dengan cara mencari alokasi golongan untuk mendapatkan keuntungan tertinggi. Alokasi yang terjadi sebelum men capai kondisi berhenti akan menjadi input untuk iterasi berikutnya.
Data Masukan Tabel Kromosom : Generasi, kromosom, nilai gen menyatakan luas golongan
Proses -
Interpretasi kromosom ke dalam bentuk prosentase dan prioritas (P&P)
-
Penggunaan prosedur dala m Algoritma Genetik yang meliputi operator : seleksi, crossover, mutasi
167
-
Masing-masing operator menggunakan teknik tertentu, yaitu seleksi menggunakan teknik elitist, crossover menggunakan teknik uniform, mutasi menggunakan teknik reciprocal exchange
Informasi Keluaran Tabel Kromosom : Generasi, kromosom, nilai gen menyatakan luas golongan •
Model perhitungan keuntungan yang berfungsi menyatukan seluruh informasi yang berasal dari model perencanaan sistem irigasi golongan dan menyediakan fasilitas analisis alokasi golongan yang dihasilkan oleh model perencanaan. Terdapat 3 dimensi yang dihasilkan oleh sistem pendukung keputusan yaitu penentuan harga jual komoditas, rekomendasi pemilihan pola tanam yang tepat dan perhitungan keuntungan. Tahap pertama adalah menghitung produksi yang dihasilkan. Setelah jumlah produksi didapat, kemudian dilakukan perhitungan keuntungan dari setiap petak tersier berdasarkan hasil penjualan dan perhitungan biaya. Hasil yang diperoleh merupakan keuntungan kotor (gross margin ) untuk wilayah dari petak tersier tersebut. Kecocokan, jumlah produksi dan analisis keuntungan yang dilakukan pada setiap petak tersier merupakan basis data yang digunakan untuk menilai alokasi lahan tersebut pada golongan yang diuji.
Data Masukan -
Tabel Kromosom : Kromosom, nilai gen yang menyatakan luas golongan
-
Tabel Buruh : periode, biaya
-
Tabel ButuhAirIrigasi : periode, kebutuhan air irigasi, biaya
-
Tabel HargaKmdti : jenis tanaman, harga jual
-
Tabel Mesin : jenis, biaya operasional
-
Tabel Sarana : jenis sarana produksi, kebutuhan, satuan
Proses -
hitung jumlah hasil panen di wilayah tersebut menggunakan rumus Doorenbos-Kassam (Akhand, 1995) dari persamaan /36/
168
-
hitung jumlah keuntungan wilayah (NB) berdasarkan selisih pendapatan dengan biaya yang harus dikeluarkan menggunakan persamaan /35/
Informasi Keluaran Tabel Kromosom : kromosom, keuntungan •
Model sistem informasi geografis menyediakan seluruh informasi mengenai parameter spasial terhadap sistem pendukung keputusan. Parameter spasial meliputi posisi jaringan irigasi, letak petak tersier serta jarak bangunan bagi untuk petak tersier dari sumber air. Sistem informasi geografis juga menyediakan fasilitas visualisasi mengenai rencana pembagian golongan dari petak tersier dalam bentuk peta. Selain itu, sistem informasi geografis juga membantu dalam proses interpretasi keluaran (output) sebagai bagian dari fasilitas visualisasi tersebut. Hasil akhir optimisasi diberikan ke sistem pendukung keputusan untuk divisualisasikan dalam komponen sistem informasi geografis dan dilakukan analisis untuk mendapatkan penentuan harga jual komoditas, rekomendasi pola tanam terpilih serta perhitungan keuntungannya.
Data Input Tabel NilaiGol : Intake, golongan Tabel Jarak : Intake, jarak antar intake
Proses -
Transform format basis data tekstual ke basis data spasial
-
Pilih informasi yang akan ditampilkan menggunakan Structured Query Language (SQL) sebagai berikut : SELECT Intake, Golongan FROM NilaiGol N, Jarak J WHERE N.Intake = J.Intake
169
Informasi Keluaran Tampilan tiap intak e dengan label golongan masing-masing untuk setiap musim tanam
Sistem Manajemen Dialog Sistem Manajemen Dialog merupakan salah satu komponen dari paket program SIMPERA yang menyediakan sarana komunikasi antara pengguna dengan sistem. Komponen ini akan mempermudah pengguna untuk berinteraksi dengan sistem dimana masukan dibutuhkan berupa data dan parameter. Sedangkan keluaran sistem berupa teks, tabel dan gambar yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta mudah dipahami. Untuk memudahkan penggunaan sistem, disusun daftar pilihan (menu) sedemikian rupa sehingga pengguna yang tidak terbiasa dengan sistem komputerpun dapat menjalankan sistem ini. Gambar 53 menyajikan susunan struktur daftar pilihan (menu) SIMPERA.
Submenu File Subsubmenu Pilih Database menyediakan fasilitas untuk mencari dan memilih database Irigasi. Untuk memudahkan penggunaan saat penelitian ini dilakukan, database Irigasi sudah tersimpan secara default pada direktori C:\My Documents\S3\Disertasi-Asli\Program Subsubmenu Isi Musim Tanam menyediakan fasilitas untuk memasukkan waktu musim tanam yang akan dioptimisasi Subsubmenu Isi Data Lahan mempunyai beberapa tab untuk memasukkan dan merubah data yang berkaitan dengan lahan tempat budidaya. Tab Detil menyediakan fasilitas pemasukan data pemilik lahan dan sifat fisika tanah. Selain itu informasi mengenai hasil perhitungan kebutuhan air tanaman, hujan efektif, kebutuhan untuk pengolahan tanah dan besar debit dari setiap sumber air juga disajikan pada tab Detil. Tab Budidaya menyediakan fasilitas untuk memasukkan data mengenai pola tanam, golongan, tanggal mulai menanam, jenis padi atau palawija yang ditanam serta sarana produksi pertanian yang dibutuhkan. Tab Perkolasi/Efisiensi menyediakan fasilitas untuk memasukkan data perkolasi pada
170
setiap tahap pertumbuhan tanaman, besarnya kehilangan air di jaringan irigasi serta memberikan informasi mengenai besarnya efisiensi pada saluran air. Tab Lingkungan menyediakan fasilitas untuk memasukkan data iklim untuk perhitungan evapotranspirasi acuan (ETo).
Menu Utama
Run
File
Display
Pilih Database
Penentuan Golongan
Kebutuhan Air Irigasi
Isi Musim Tanam
Irigasi Rotasi
Rencana Tanam
Isi Data Lahan
Estimasi Produksi
Isi Data Tanaman
Irigasi Rotasi
Keluar
Hapus Pola Tanam Gambar 53. Struktur menu SIMPERA
Subsubmenu Isi Data Tanaman mempunyai 2 tab untuk memasukkan dan merubah data yang berkaitan dengan spesifikasi tanaman yang dibudidayakan. Tab Detil menyediakan fasilitas untuk memasukkan detil tanaman padi dan palawija yang dibudidayakan meliputi tahap perkembangan menurut umur, faktor tanaman (Kc) dan faktor response tanaman terhadap kondisi air (ky). Tab Sarana menyediakan fasilitas untuk memasukkan standar jumlah sarana produksi pertanian yang dibutuhkan untuk melakukan proses budidaya, harga beli sarana produksi serta harga jual komoditi padi dan palawija.
171
Subsubmenu Hapus Pola Tanam menyediakan fasilitas untuk menghapus data pola tanam dari musim tanam terdahulu yang sudah tidak diperlukan lagi.
Submenu Run Subsubmenu Penentuan Golongan menyediakan fasilitas untuk melakukan optimisasi penentuan golongan pemberian air dengan metode Algoritma Genetik. Informasi yang dihasilkan meliputi pendapatan, biaya-biaya, keuntungan, dan konfigurasi golongan pemberian air yang ditampilkan dalam bentuk tabel ataupun menggunakan Sistem Informasi Geografis. Subsubmenu Irigasi Rotasi menyediakan fasilitas untuk menghitung besar debit air, kehilangan air pada saluran irigasi, waktu pengisian dan waktu penggenangan petak tersier serta waktu penghentian penyaluran air ke petak tersier pada sistem irigasi rotasi.
Submenu Display Subsubmenu
Kebutuhan
Air
Irigasi
menyediakan
fasilitas
untuk
menampilkan kebutuhan air irigasi dari setiap petak tersier berdasarkan skenario pola tanam yang dipilih. Menu ini hanya dapat dijalankan bila proses penentuan golongan sudah dilakukan. Subsubmenu Rencana Tanam menyediakan fasilitas untuk menampilkan rencana tanam dari setiap petak tersier meliputi musim tanam rendeng dan musim tanam gadu serta luas target tanam berdasarkan hasil optimisasi. Menu ini hanya dapat dijalankan bila proses penentuan golongan sudah dilakukan. Subsubmenu Estimasi Produksi menyediakan fasilitas untuk menampilkan perkiraan hasil produksi padi atau palawija dari setiap petak tersier. Metode perhitungan menggunakan faktor respons tanaman terhadap kondisi ketersediaan air (Doorenbos & Kassam 1997). Menu ini hanya dapat dijalankan bila proses penentuan golongan sudah dilakukan. Subsubmenu Irigasi Rotasi menyediakan fasilitas untuk menampilkan hasil perhitungan waktu penyaluran air dan waktu penghentian penyaluran air ke petak tersier.
172
Submenu Keluar Pilihan ini merupakan fasilitas untuk mengakhiri pelaksanaan program dan kembali ke window
Operasionalisasi Pro gram SIMPERA Paket program SIMPERA diimplementasikan dalam bentuk program komputer dengan menggunakan bahasa pemrograman berorientasi Object Oriented yang telah tersedia di pasar. Paket program ini dapat dijalankan dengan komputer pribadi IBM Pentium I atau yang setara, memory sebesar 32 MB dan sistem operasi Windows. Program terdiri dari beberapa model yaitu model inisialisasi, model penentuan luas golongan, model perencanaan sistem irigasi golongan dan model perhitungan keuntungan. Penerapan program SIMPERA di lapangan
akan
berbentuk
sistem
jaringan
komputer
terdistribusi
yang
menghubungkan panitia irigasi di tingkat kecamatan, Pemerintah Daerah Tingkat II (kabupaten) dan Pemerintah Daerah Tingkat I (propinsi). Pemasangan (instalasi) program SIMPERA dilakukan di setiap kantor kecamatan yang telah mempunyai peralatan komputer. Bagi kecamatan yang belum mempunyai peralatan komputer, pengoperasian SIMPERA dapat dilakukan di kecamatan terdekat yang telah mempunyai peralatan tersebut. Selain itu, paket program yang sama juga perlu dipasang di kantor kabupaten dan propinsi. Alasan pemilihan kantor kabupaten dan propinsi sebagai tempat pemasangan SIMPERA adalah untuk memudahkan koordinasi antar instansi-instansi yang tergabung dalam kepanitiaan irigasi. Penggunaan jaringan komputer secara on-line bertujuan agar dinamika rencana pemberian air irigasi dapat diikuti sampai pada saat-saat terakhir sebelum rencana tersebut dimulai. Basisdata IRIGASI akan disimpan pada tingkat kecamatan dan kabupaten secara berjenjang untuk meminimalisasi lalulintas data dan mempertahankan kinerja sistem secara menyeluruh. Administrator Basisdata diperlukan untuk mengelola basisdata IRIGASI di tingkat propinsi dan kabupaten. Pada tingkat kecamatan cukup menggunakan tenaga operator komputer yang telah diberi otoritas untuk memasukkan data yang diperlukan. Secara berjenjang, otoritas tersebut akan menjadi semakin tinggi pada pengguna di tingkat kabupaten
173
maupun pada pengguna di tingkat propinsi. Gambar 54 menyajikan diagram alir rencana operasional SPK SIMPERA.
1
MULAI
Rapat P3A dan Panitia Irigasi Desa
Data Panen, Saprodi, buruh dari petani
Rekapitulasi Rencana Tanam Tk Desa. Penyampaian Rekap ke Rapat Panitia Irigasi Kecamatan
Ketersediaan Saprodi/Alsin dari Dinas Pertanian
Ketersediaan air/jaringan irigasi dari PJT II
1
Rekapitulasi Rencana Tanam Tk. Kecamatan. Pemasukan Rekap ke SIMPERA Optimisasi Rencana Tanam Tk. Kecamatan
YA
Rubah Data ? TIDAK
Penyampaian Rencana Tanam Kecamatan Ke Rapat Panitia Irigasi Kabupaten. Rekapitulasi Rencana Tanam Kabupaten
Penyampaian Rencana Tanam Kabupaten Ke Rapat Panitia Irigasi Propinsi. Rekapitulasi Rencana Tanam Propinsi
Pengesahan Rencana Tanam Propinsi oleh Gubernur. Pengesahan pemberian air irigasi oleh PJT II
SELESAI
Gambar 54. Rencana operasional SPK SIMPERA
174
Untuk memakai sistem pendukung keputusan SIMPERA, pengguna harus menyiapkan data-data pendukung yang meliputi data jaringan irigasi, tanaman dan lahan. Tahap pertama adalah memasukkan data mengenai jaringan irigasi dan tanaman. Untuk memasukkan data jaringan irigasi diperlukan peta jaringan irigasi secara lengkap yang menyebutkan bangunan irigasi mana saja yang terdapat pada saluran primer, sekunder maupun primer yang ada di wilayah pengamat Cikarang. Data mengenai jarak antar bangunan irigasi juga harus dimasukkan karena data tersebut akan berpengaruh terhadap proses penentuan golongan dari masingmasing petak tersier. Tahap penyiapan data dilakukan pada saat pertemuan panitia irigasi dimulai dari tingkat yang terendah yaitu desa. Untuk itu seluruh stakeholder yang terkait yaitu petani diwakili P3A, Ulu -ulu dan aparat desa harus duduk bersama membicarakan rencana tanam untuk desa tersebut. Secara umum, wilayah pertanian untuk tingkat desa meliputi satu atau beberapa unit petak tersier dimana satu petak tersier tidak terbagi untuk dua atau lebih desa. Hal ini untuk mempermudah koordinasi dan konflik yang terjadi saat pelaksanaan musim tanam. Hasil rapat di tingkat desa harus dilaporkan ke tingkat kecamatan untuk direkapitulasi bersama dengan laporan dari desa lainnya yang masih berada dalam satu wilayah kecamatan. Laporan-laporan tersebut kemudian diinputkan ke SIMPERA. Menu pemasukan data yang digunakan adalah untuk mengisi basisdata Lahan. Proses pemasukan data dapat berlangsung secara rutin yang artinya berlangsung sesuai dengan jadwal pemasukan data yang telah ditetapkan sebelumnya, misalkan sepanjang bulan Agustus-September untuk musim tanam rendeng dan bulan Pebruari-Maret untuk musim tanam gadu. Selain itu, proses pemasukan data juga dilakukan apabila terdapat perubahan -perubahan data yang dapat mempengaruhi penentuan golongan yang sudah ditetapkan. Akan tetapi perubahan-perubahan tersebut sedapat mungkin dilakukan paling lambat 1 (satu) hari sebelum musim tanam golongan yang bersangkutan dimulai. Proses optimisasi dilakukan setelah data-data yang dibutuhkan telah dimasukkan ke basisdata IRIGASI di setiap kecamatan. Gambar 55 menyajikan arsitektur jaringan komputer SPK SIMPERA yang saling menghubungkan beberapa panitia
175
irigasi dengan tingkat yang berbeda-beda, sedangkan Gambar 56 menyajikan diagram alir model SIMPERA yang dijalankan pada saat proses optimisasi di tingkat kecamatan.
I N Kecamatan 1
T E R
I
N Kecamatan 2
N
E T
T Kabupaten A
E R
I
N N E Kecamatan 3
T T
E
Propinsi
R N
Kabupaten B
E Kecamatan 4
T Gambar 55. Arsitektur jaringan komputer SPK SIMPERA
176
Mulai
Data Spasial, Parameter Lingkungan, Biaya, Buruh
Inisialisasi Luas Golongan (Peluang Kejadian)
Parameter Algoritma Genetik
Penentuan Luas Golongan (Algoritma Greedy) Perencanaan Irigasi Golongan (Algoritma Genetik)
Perhitungan Keuntungan
Tidak
Konvergen ? Ya
Solusi Optimum
Selesai Gambar 56. Diagram alir model SIMPERA
Dengan menggunakan program komputer yang sama untuk setiap kecamatan, maka format pemasukan data akan menjadi seragam. Nilai domain dari spesifikasi pengkodean setiap bangunan irigasi serta petak tersier harus ditentukan terlebih dahulu agar saat pemasukan data tidak dipersalahkan oleh
177
program komputernya. Hal ini akan meningkatkan konsistensi penulisan kodekode tersebut pada saat pelaporan. Tabel 41 menyajikan informasi mengenai spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak berupa sistem operasi komputer yang dibutuhkan untuk proses optimisasi dan pembuatan laporan rekapitulasi rencana tanam.
Tabel 41. Spesifik asi perangkat keras dan perangkat lunak KANTOR
KOMPUTER
INSTANSI Propinsi
Server IBM
MEMORY
MEMORY
SISTEM
PRIMER
SEKUNDER
OPERASI
Min. 512 MB
Min. 40 GB
Windows
(atau setara) Kabupaten
Server IBM
NT Min. 256 MB
Min. 20 GB
(atau setara) Kecamatan
Client IBM
Windows NT
Min. 128 MB
Min. 10 GB
(atau setara)
Windows Client
Komputer pada setiap kantor instansi diperlengkapi perangkat komunikasi yang terdiri dari kartu Local Area Network, modem 56 KB dan jalur komunikasi melalui saluran telepon biasa atau melalui dedicated line. Paket program SIMPERA dapat memberikan informasi kepada pengguna tentang budi daya tanaman menyangkut kebutuhan air irigasi, curah hujan, debit air tersedia, kebutuhan sarana produksi pertanian, jumlah produksi, harga komoditi dan pendapatan wilayah; sistem irigasi golongan meliputi tataletak jaringan irigasi, jadwal musim tanam dan pemberian air irigasi, golongan dan luas petak tersier serta jumlah pemberian air irigasi untuk setiap golongan; faktor penunjang meliputi jumlah tenaga kerja dan alat mesin pertanian. Informasi tersebut diperoleh dengan memproses data yang terdapat dalam sistem manajemen basis data menggunakan rumusan yang terdapat dalam sistem manajemen basis model. Sistem Pendukung Keputusan akan mengirim informasi kembali ke Algoritma Genetik yang terdiri dari informasi nilai kondisi kromosom dan informasi lainnya seperti prosentase luasan lahan yang dialokasikan untuk setiap
178
golongan. Informasi ini digunakan untuk menentukan apakah kromosom anak mempunyai fungsi yang identik dengan kromosom yang sudah ada. Kromosom dengan fungsi identik berarti mempunyai alokasi lahan yang sama dengan kromosom lainnya walaupun secara genetik mereka berbeda. Hal ini akan mengurangi keragaman genetik dari populasi tersebut. Untuk itu bila suatu kromosom anak diidentifikasi mempunyai fungsi yang identik, kromosom tersebut akan dihapus.
Tampilan Program SIMPERA Setelah dipasang (install) pada masing-masing komputer pengguna, program SIMPERA dapat dijalankan dengan melakukan clicking icon SIMPERA yang terdapat pada dekstop atau menu Start Run. Tampilan judul SIMPERA disajikan pada Gambar 57.
Gambar 57. Tampilan judul SIMPERA
179
Langkah berikutnya adalah menampilkan menu utama dengan memilih (click) perintah LANJUT. Gambar 58 menyajikan tampilan menu utama SIMPERA.
Gambar 58. Tampilan menu utama SIMPERA
Pada menu utama, pengguna memilih basisdata IRIGASI pada folder yang ditentukan dengan cara melakukan clicking pada menu File dan memilih submenu Pilih Database seperti disajikan pada Gambar 59.
Gambar 59. Memilih submenu Pilih Database
Bila basisdata IRIGASI sudah terpilih, SIMPERA akan mengeluarkan pesan konfirmasi seperti disajikan pada Gambar 60.
180
Gambar 60. Pesan konfirmasi pemilihan basisdata IRIGASI
Langkah berikutnya adalah menentukan musim tanam sebagai masukan untuk pola tanam dengan cara memilih menu Isi Musim Tanam seperti disajikan pada Gambar 61.
Gambar 61. Pemilihan submenu Isi Musim Tanam
Pada form Isi Tahun Musim Tanam, masukkan data tahun Musim Tanam seperti disajikan pada Gambar 62.
181
Gambar 62. Pengisian Tahun Musim Tanam
Langkah berikutnya adalah memasukkan data lahan dan rencana tanam dengan memilih submenu Isi Data Lahan seperti disajikan pada Gambar 63.
Gambar 63. Pemilihan submenu Isi Data Lahan
Untuk memasukkan data rencana tanam, informasi mengenai wilayah harus dimasukkan terlebih dahulu seperti disajikan pada Gambar 64.
182
Gambar 64. Pemilihan informasi wilayah
Pemasukan data rencana tanam dilakukan setelah pemilihan wilayah. Gambar 65 menyajik an tampilan untuk memasukkan data rencana tanam dengan cara memilih tab Periode.
Gambar 65. Tampilan untuk memasukkan data rencana tanam
183
Untuk melihat data rencana tanam yang telah dimasukkan dilakukan dengan cara memilih (click) perintah Lihat Pola Tanam seperti disajikan pada Gambar 66.
Gambar 66. Tampilan rencana tanam
Untuk memasukkan data pemilik lahan, data fisika tanah, data mengenai evapotranspirasi, hujan efaktif, kebutuhan air untuk olah tanah serta data debit air untuk masing-masing sumber dilakukan dengan memilih tab Detail seperti disajikan pada Gambar 67.
Gambar 67. Pemasukan atau menampilkan data tanah dan iklim
184
Untuk memasukkan atau melihat data pemilik lahan dilakukan dengan cara memilih perintah Lihat Data Pemilik seperti disajikan pada Gambar 68.
Gambar 68. Pemasukan atau menampilkan data pemilik lahan
Untuk memasukkan atau menampilkan data perkolasi dan efisiensi dilakukan dengan cara memilih tab Perkolasi/Efisiensi seperti disajikan pada Gambar 69.
Gambar 69. Pemasukan atau menampilkan data Perkolasi/Efisiensi
185
Untuk memasukkan atau melihat data iklim dan curah hujan dilakukan dengan cara memilih tab Lingkungan seperti disajikan pada Gambar 70.
Gambar 70. Pemasukan atau melihat data iklim dan curah hujan
Untuk memasukkan data tanaman terlebih dahulu submenu Isi Data Tanaman harus dipilih melalui menu File seperti disajikan pada Gambar 71.
Gambar 71. Tampilan untuk memilih submenu Isi Data Tanam
186
Untuk memasukkan atau melihat detil tanaman meliputi umur tanaman, faktor tanaman, dan faktor respons tanaman dilakukan dengan cara memilih tab Detil seperti disajikan pada Gambar 72.
Gambar 72. Pemasukan atau melihat data tanaman
Setelah data tanaman dan data lahan dimasukkan ke basisdata IRIGASI, langkah berikutnya adalah melakukan proses optimisasi untuk menentukan golongan dengan memilih submenu Penentuan Golongan melalui menu Run yang disajikan pada Gambar 73.
Gambar 73. Tampilan untuk memilih submenu Penentuan Golongan
187
Proses optimisasi dilakukan dengan memasukkan data jumlah kromosom dan generasi dan memilih skenario optimisasi. Proses optimisasi dimulai dengan memilih (click) perintah Inisialisasi seperti diperlihatkan pada Gambar 74.
Gambar 74. Hasil proses optimisasi penentuan golongan
Detil mengenai hasil penentuan golongan dilakukan dengan cara memilih (click) perintah Golongan disajikan dalam Gambar 75. Sedangkan untuk melihat melalui sistem informasi geografis (SIG) dilakukan dengan memilih Lihat Peta seperti terlihat pada Gambar 76.
Gambar 75. Tampilan hasil proses optimisasi penentuan golongan
188
Gambar 76. Tampilan hasil penentuan golongan menggunakan SIG
Untuk melihat jumlah kebutuhan air irigasi pada petak tersier, pengguna memilih submenu Kebutuhan Air Irigasi pada menu Display seperti disajikan pada Gambar 77.
Gambar 77. Pilihan untuk menampilkan kebutuhan air irigasi
189
Hasil dari pilihan submenu Kebutuhan Air Irigasi disajikan seperti pada Gambar 78.
Gambar 78. Tampilan Kebutuhan Air Irigasi untuk setiap petak tersier
Untuk melihat estimasi hasil produksi dari perhitungan rumus Doorenbos dan Kassam (1979), pengguna memilih submenu Estimasi Produksi dari menu Display seperti disajikan pada Gambar 79.
Gambar 79. Pilihan submenu Estimasi Produksi
190
Hasil dari pilihan submenu Estimasi Produksi untuk setiap periode per petak tersier disajikan seperti pada Gambar 80.
Gambar 80. Tampilan Estimasi Produksi untuk setiap periode per petak tersier
Apabila ketersediaan air kurang dari kebutuhan irigasi, panitia irigasi memberlakukan sistem irigasi rotasi. Perhitungan untuk irigasi rotasi dilakukan dengan memilih submenu Irigasi Rotasi dari menu Run seperti disajikan pada Gambar 81.
Gambar 81. Pilihan submenu Irigasi Rotasi
Setelah form Proses Irigasi Irigasi ditampilkan, pengguna menekan tombol perintah PROSES untuk melakukan perhitungan irigasi rotasi. Setelah perhitungan, ditampilkan pesan perhitungan selesai seperti disajikan pada Gambar 82.
191
Gambar 74. Form untuk memproses Irigasi Rotasi
Gambar 82. Proses perhitungan irigasi rotasi
Untuk melihat hasil perhitungan irigasi rotasi pengguna memilih submenu Irigasi Rotasi dari menu Display seperti disajikan pada Gambar 83.
Gambar 83. Pemilihan submenu Irigasi Rotasi dari menu Display
Untuk melihat hasil dari perhitungan irigasi rotasi pengguna memilih periode yang akan ditampilkan dari combo-box Pilih Periode Yang Akan Dilihat seperti disajikan pada Gambar 84.
192
Gambar 84. Pilihan untuk menampilkan hasil perhitungan irigasi rotasi Bila ingin melihat hasil perhitungan irigasi rotasi untuk bagian hulu atau hilir, pengguna memilih tombol Display Hulu atau Display Hilir. Hasil perhitungan ditampilkan sesuai dengan pilihan pengguna seperti disajikan pada Gambar 85.
Gambar 85.Tampilan hasil perhitungan irigasi rotasi
193
Untuk mengakhiri SIMPERA, pengguna memilih menu Keluar untuk menghentikan eksekusi SIMPERA dan menekan tombol Yes seperti disajikan pada Gambar 86.
Gambar 86. Mengakhiri program SIMPERA