HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sejarah Kelompok Tani Catur Makaryo Kelompok Tani Catur Makaryo merupakan kelompok usaha pertanian yang memiliki peranan penting dalam pengembangan dan kemajuan pertanian di desa Imogiri, Yogyakarta. Kelompok tani ini menjadi tempat bagi para petani berbagi informasi dan pengalaman, serta bekerjasama dalam rangka mensejahterakan desa. Kelompok ini bernama Catur Makaryo yang dalam bahasa Jawa berarti “empat pihak yang berusaha”. Empat pihak tersebut adalah: Dusun Karang Tengah, Dusun Karang Rejek, Kesultanan Yogyakarta dan Perusahaan Yarsilk. Kelompok Tani Catur Makaryo yang terbentuk tahun 2006 ini diketuai oleh Bapak Sogiyanto. Jumlah anggota petani yang tergabung dalam kelompok tani catur makaryo kurang lebih 300 anggota petani, namun tidak semuanya menjadi anggota aktif.
Gambar 4. (a). Papan Nama Sekretariat Kelompok Tani Catur Makaryo, (b). Penunjuk Arah Desa Wisata yang Menjadi Salah Satu Program Kelompok Tani Catur Makaryo Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani ini diantaranya adalah pelatihan, penyuluhan dari pemerintah dan perusahaan swasta, rapat bersama serta kegiatan simpan pinjam. Selain itu beberapa keluarga petani menyediakan home stay bagi wisatawan yang ingin menginap dan menikmati suasana desa. Sebanyak kurang lebih 300 petani mendapat bantuan dari Sultan berupa penyediaan lahan seluas 1.000-2.000 m2 tiap petani. Lahan tersebut hanya boleh digunakan untuk pertanian dengan status hukum kepemilikan lahan tetap milik
14
sultan. Petani dibebaskan dalam menanam komoditi pertanian, namun sejak tahun 2006 petani secara serentak menanam pohon jambu mete sebagai komoditas utama. Pohon jambu mete ini dimanfaatkan terutama untuk penghasil kacang mete. Selain itu juga dihasilkan sirup dari buah jambu mete dan bahan pewarna alami. Saragih dan Haryadi (2003), juga menyatakan tanaman jambu mete tergolong tanaman yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan meliputi buah sejatinya menghasilkan kacang mete, buah semu dapat diolah menjadi aneka makanan dan minuman termasuk diantaranya adalah cuka, kulit biji yang menghasilkan minyak laka yang digunakan berbagai industri, kulit ari jambu mete yang dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak yang bergizi tinggi, kulit kayu jambu mete yang dapat digunakan sebagai bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna, akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut, daun jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, sedangkan daun yang tua dapat dimanfaatkan sebagai obat luka bakar. Pohon jambu mete inilah yang menjadi media hidup ulat sutera emas C. trifenestrata. Ulat sutera ini belum populer dibudidayakan (diternakan di dalam kandang). Petani/masyarakat pada umumnya menganggap ulat ini sebagai hama yang seringkali dibasmi. Hal berbeda ditemukan di Imogiri, petani justru membiarkan ulat ini hidup liar di kebun jambu mete mereka. Petani Catur Makaryo (Imogiri) menyadari ulat ini memiliki nilai ekonomis ketika kokonnya dikumpulkan dan dijual. Petani di kelompok tani Catur Makaryo pun mendapat tambahan penghasilan dari usaha sampingan mereka mengumpulkan kokon. Lokasi Kelompok Tani Lokasi kelompok tani Catur Makaryo berada di desa Karang Tengah, Kecamatan Imogiri, Yogyakarta. Kecamatan Imogiri memiliki luas wilayah 5.448,69 ha. Desa Karang Tengah memiliki luas wilayah 287,77 ha yang terdiri atas lahan sawah seluas 115,70 ha dan lahan kering seluas 34,62 serta bangunan pekarangan seluas 75,84 ha dan 61,61 ha lahan lainnya. Wilayah Kecamatan Imogiri sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pleret dan Jetis, Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dlingo, Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Panggung Kabupaten Gunungkidul, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Jetis dan Pundong (Imogiri Dalam Angka, 2010).
15
Desa Imogiri termasuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 0,2-440,1 mm yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Suhu udara rata-rata di o
o
Yogyakarta tahun 2000 menunjukkan angka 26,2 C dengan suhu maksimum 35 C o
dan suhu minimum 20 C. Kelembaban udara tercatat 31%-97%, tekanan udara antara 1.006,0–1.013,3 mb, dengan arah angin antara 001–240 derajat dengan kecepatan angin antara 01 sampai dengan 30 knot (BMKG, 2010). Struktur Organisasi Susunan kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo terdiri atas delapan orang pengurus inti organisasi dari kurang lebih 40 orang anggota. Anggota kelompok tani ini adalah petani jambu mete yang ada di dusun Karang Tenggah dan Karang Rejek. Ketua H.Sogiyanto
Sekretaris Bahroni
Humas Jazimah
Budidaya Tanamana Badarudin
Bendahara Juwahir
Pengendalian Hama Wiyono
Pemasaran Barowi
Keamanan Jumadi
Gambar 5. Susuan Kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo Habitat Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Suplai makanan yang cukup merupakan salah satu syarat mutlak bagi pertumbuhan dan perkembangan populasi serangga. Unsur-unsur yang menentukan dalam hal faktor makanan secara keseluruhan adalah kuantitas dan kualitas. Kuantitas atau banyak sedikitnya suplai makanan sangat mempengaruhi dan menentukan besarnya populasi sejenis hama serangga. Kualitas makanan menentukan tahap perkembangan populasi serangga karena gizi makanan
16
berpengaruh terutama pada pertumbuhan, perkembangan, kesuburan dan mortalitas (Patton, 1963 dalam Cit Manueke, 1990). Tanaman yang biasa menjadi pakan ulat sutera emas C. trifenestrata ada tiga, di antaranya daun jambu mete, daun kedondong dan daun alpukat. Situmorang (1996) menyatakan bahwa C. trifenestrata menyerang pohon jambu mete, alpukat, mangga, kenari, kedondong, kayu manis dan lain-lain. Tanaman yang diserang tidak akan mengakibatkan kematian pada pohon, tetapi tanaman akan tetap tumbuh dan bertunas kembali. Kualitas warna kokon dari daun jambu mete lebih kuning emas dibandingkan pada pohon alpukat. Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi UGM Yogyakarta (2000) menemukan larva yang diberi pakan buatan menggunakan daun jambu mete pada seluruh mete menghasilkan kokon kuning keemasan. Sedangkan larva yang diberi pakan buatan menggunakan daun kedondong pada seluruh instar menghasilkan kokon putih kekuningan. Ulat sutera emas C. trifenestrata yang terdapat pada perkebunan kelompok tani Catur Makaryo baru dapat memakan daun jambu mete pada usia pohon minimal 2-3 tahun. Total luas lahan 55 ha lahan pertanian di daerah Imogiri, baru sekitar 12 ha yang digunakan untuk budidaya ulat sutera emas. Khan (1991) menyebutkan dari hasil studi terhadap C.trifenestrata pada pohon mangga, ulat sutera ini menghabiskan waktu selama 61–125 hari untuk menyelesaikan satu kali daur hidup secara lengkap. Ulat sutera C.trifenestrata memiliki lima instar, dimana ketika memasuki instar ke 4 dan ke 5, larva dapat menyebabkan sebagian atau seluruh daun tanaman tersebut habis. Studi Laboratorium menurut Ali (1991) C.trifenestrata membutuhkan waktu 76–92 hari dalam satu siklus hidup lengkap dengan rata-rata periode larva 41 hari dan pupa 26 hari pada temperature 25 0C serta kelembaban relative sebesar 70% RH. Larva akan berkompetisi dalam mendapatkan pakan dan tempat untuk mengokon, hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya larva yang mati dan gagal dalam mencapai stadium pupa. Ulat sutera C.trifenestrata bersifat poikiloterm. Suhu tubuh sesuai dengan temperature di lingkungan eksternal (Guang, 1988). Suhu yang tidak menghalanghalangi pertumbuhan ulat itu ialah berkisar 20 0C sampai 28 0C. Di luar suhu itu baik lebih rendah ataupun lebih tinggi, ulat sutera sulit untuk bisa hidup dengan sehat. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan ulat menjadi terlalu pesat dan
17
sebaliknya bila terlalu rendah menjadi lambat pertumbuhannya. Hal ini menimbulkan gangguan keseimbangan daur siklus ulat. Pemilihan daerah yang suhunya cocok untuk pertumbuhan larva menjadi pertimbangan yang sangat penting (Katsumata, 1964). Kelembaban yang paling cocok untuk kesehatan larva ialah 75%. Larva muda lebih tahan terhadap kelembaban yang tinggi. Namun bagi larva dewasa kelembaban udara yang tinggi dapat melemahkan kesehatannya dan menimbukan gangguan (Katsumata, 1964). Kelembaban udara yang terlalu tinggi menyebabkan bibit penyakit (mikroorganisme) berkembang biak dengan subur sehingga larva mudah terkena penyakit. Ulat sutera tidak menyukai keadaan yang terlalu terang ataupun terlalu gelap, tetapi lebih suka kepada keadaan cahaya lemah (15-30 lux). Larva di dalam keadaan terang lebih aktif bergerak dibandingkan dengan keadaan gelap, ulat-ulat tersebut cepat naik ke bagian atasa daun. Keadaan pemeliharaan yang selalu gelap dan selalu terang kurang baik (Katsumata, 1994). Klasifikasi Cricula Trifenestrata Berikut adalah klasifikasi taksonomi C. trifenestrata: Kingdom
: Animalia
Filum
: Anthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Lepidoptera
Sub Ordo
: Ditrysia
Superfamili
: Bombycoidea
Famili
: Saturniidae
Sub Famili
: Saturniinae
Genus
: Cricula
Spesies
: Cricula Trifenestrata Helf.
(Stehr, 1987) Ada tujuh sub spesies C. trifenestrata, yaitu: C. trifenestrata, C. agrioides, C. Serama, C. Treadauayi, C. Kransi, (Akai, 2000a), C. Javana (Herausgeber, 1996; Akai, 2000), dan C. tenggaraensis (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Kalshoven (1981), Akai (2000) dan Kato et al. (2000) menyebutkan ngengat ini terdistribusi di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Lima diantara tujuh sub spesies Cricula trifenestrata
18
Helf terdistribusi di Indonesia, yaitu: C. trifenestrata, C. Serama, C. Kransi, (Akai, 2000), C.javana (Herausgeber, 1996; Akai, 2000), dan C. tenggaraensis (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Strain ngenggat yang ada di Maluku mempunyai kokon 1,5 kali lebih besar dibandingkan kokon yang ada di jawa (Kalshoven, 1981). Pengusahaan Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) Basarkan 21 responden yang
diwawancara, sebagian besar responden
bermata pencaharian pokok sebagai buruh pertanian (29,17 %) dan jasa (25,00 %) sedang sisanya sebagai pedagang (16,67 %), usaha industri (8,33 %) serta usaha perkebunan, usaha pertanian, pegawai negeri sipil (PNS), karyawan dan pensiunan masing-masing 4,17 %. Pengusahaan ulat sutera emas C. trifenestrata umumnya hanya merupakan mata pencaharian sambilan. Tabel 2. Distribusi Petani Berdasarkan Profesi Utama Profesi Jumlah Petani (orang) Perdagangan 4 Jasa 6 Buruh pertanian 7 Usaha Industri 2 Usaha Perkebunan 1 Usaha Pertanian 1 PNS 1 Karyawan 1 Pensiunan 1 Total 24
Persentase Petani (%) 16,67 25,00 29,17 8,33 4,17 4,17 4,17 4,17 4,17 100,00
Keseluruhan petani yang menjadikan pendapatan dari kokon ulat sutera emas sebagai pendapatan sampingan menunjukkan usaha pemanfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata tidak memerlukan energi dan waktu yang besar. Beberapa petani bahkan memiliki pekerjaan utama lebih dari satu. Pekerja wanita hanya satu dari 21 responden petani pengumpul kokon ulat sutera emas dalam keanggotaan Catur Makaryo. Alokasi waktu yang diberikan petani dalam usaha pemanfaatan kokon ulat sutera ini hanya saat proses pengumpulan kokon yang telah siap panen dari pohon dan pembersihan kokon sebelum dijual. Petani tidak melakukan pengontrolan terhadap pakan untuk ulat karena biasanya ulat akan mencari sendiri pohon disekitarnya jika pohon awal yang ditempati telah gundul daun-daunnya.
19
Tabel 3. Distribusi Petani Berdasarkan Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%) 1-2 orang 4 19,05 3 orang 9 42,86 4 orang 7 33,33 5 orang 1 4,76 Total 21 100,00 Jumlah petani sebanyak 42,86 % mempunyai tanggungan tiga orang anggota keluarga. Kemudian, 33,33 % petani memiliki tanggungan sejumlah empat orang anggota keluarga. Tanggungan petani yang cukup banyak menjadikan aspek penghasilan tambahan penting bagi petani. Luas lahan yang dimiliki petani pengumpul kokon ulat sutera emas rata-rata 1.500 m2. Sebagian besar petani memilik luas lahan 1.000 m2 atau 2.000 m2, hanya satu orang yang memiliki luas lahan sampai 3.000 m2. Walaupun luasan lahan yang dimiliki petani hampir sama, namun jumlah pohon jambu mete yang dimiliki petani cukup bervariasi, mulai dari 25 batang sampai 210 batang. Hal ini karena tidak semua petani menanami lahan yang mereka miliki dengan pohon jambu mete. Sebagian petani menjadikannya sebagian lahannya sebagai lahan tumpang sari yang berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan sandang pangannya sehari-hari. Tabel 4. Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Jumlah pohon Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%) 25-50 9 42,86 50-100 5 23,81 100-150 6 28,57 150-210 1 4,76 Total 21 100,00 Persentase petani yang memiliki jumlah pohon paling banyak (25-50 batang pohon) sebesar 42,86 %. Artinya, mayoritas petani yang berjumlah 42,86 % memiliki pohon jambu mete berkisar antara 25-50 batang pohon. Sedangkan 4,76% petani memiliki 150-210 batang pohon. Rata-rata petani memiliki jumlah pohon kurang lebih 79 batang pohon. Lahan yang digunakan oleh petani pengumpul kokon ulat sutera emas merupakan lahan milik kesultanan keraton Jogja yang diserahkan pada rakyat untuk dijadikan lahan produktif. Petani tidak dibebani dengan biaya sewa ataupun pajak. Pihak Kesultanan Keraton mempersilahkan menggunakan lahan untuk pertanian.
20
Petani hanya dapat mengelola dalam bentuk pertanian dan tidak dapat mendirikan rumah di lahan tersebut. Hal ini yang membuat luasan lahan yang dipakai petani luasnya hampir sama satu sama lain. Hampir semua petani pengumpul kokon ulat sutera emas yang diwawancarai pernah mengalami setidaknya satu kali panen kokon sutera emas. Pemanenan berkisar pada bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Jumlah kokon sekali panen berkisar antara 0,5-10 ons. Tabel 5.Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Panen Kokon Jumlah Panen Kokon Jumlah Petani Persentase Petani (%) 0,5 - 3 ons 11 52,38 4 - 7ons 5 23,81 8 - 10ons 5 23,81 Total 21 100,00 Kurang
intensifnya
penggarapan
lahan
diduga
disebabkan
oleh
mengelompoknya tenaga kerja di bawah umur 25 tahun (Tabel 6) yang cenderung kurang tertarik pada pekerjaan menggarap lahan pertanian. Tabel 6. Penduduk Desa Karang Tengah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Akhir Tahun 2009 Kelompok Umur (1) 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 – 74 75 + Kecamatan / District
Laki-laki (2) 228 223 232 274 193 172 224 192 160 131 94 90 94 70 61 53 2.493
Perempuan (3) 211 224 240 261 220 191 223 218 183 164 89 99 116 115 77 53 2.684
Jumlah (4) 439 447 473 534 414 364 447 410 343 295 184 189 210 184 138 106 5.177
21
Hasil wawancara dengan salah satu petani pengelola kebun menunjukkan bahwa ulat sutera C. trifenestrata tidak memberikan efek buruk pada tanaman. Pohon jambu mete yang daun-daunnya habis dimakan ulat sutera C. trifenestrata tidak mati, namun pohon akan kembali bersemi. Saragih dan Haryadi (2003) menyatakan bahwa tanda tanaman jambu mete diserang oleh hama ulat kipat (Cricula trifenestrata) adalah daun-daun yang tidak utuh dan terdapat bekas gigitan. Bahkan pada serangan yang hebat daun dapat habis sama sekali, tetapi tidak menyebabkan tanaman mati. Buah jambu mete hasil panen dari pohon yang diserang ulat sutera C. trifenestrata justru memiliki kualitas yang lebih baik. Buah menjadi lebih besar dan mengkilap. Jika ulat menyerang daun saat musim berbuah atau berbunga, mungkin hal ini akan mempengaruhi pada penurunan produktivitas. Hal ini karena ulat bisa ikut memakan bunga dan daun ataupun keberadaan ulat yang memakan habis daun-daun akan mengganggu proses fotosintesis. Kenyataan di lapang menunjukkan keberadaan ulat ini tidaklah terus menerus ada di pohon jambu mete. Kedatangan ulat ini hanya di musim-musim tertentu dimana biasanya terjadi saat sebelum musim berbunga pohon jambu mete. Peralihan musim penghujan ke musim kemarau, sekitar bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus merupakan bulan kedatangan ulat. Ulat yang menyerang tanaman bukan saat musim berbunga atau berbuah akan menjadikan tanaman dapat tetap beproduksi secara optimal. Sehingga keberadaan ulat ini bukan hama bagi petani. Petani justru diuntungkan dengan keberadaan ulat sutera C. trifenestrata di tanaman jambu mete mereka. Selain kualitas buah menjadi lebih baik, petani juga menjadi lebih hemat dalam penggunaan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh petani Catur Makaryo tidak sebanyak penggunaan pestisida pada tanaman jambu mete pada umumnya. Pestisida yang digunakan petani hanya pestisida yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah daerah. Sistem Produksi Sistem produksi adalah bagian dari manajemen operasional. Kata produksi secara umum dapat diartikan sebagai proses membuat suatu produk dari berbagai bahan lain. Sedangkan arti sistem adalah method of planning atau cara merencanakan yang berkaitan dengan membuat produk. Proses kegiatan yang mengubah bahan baku menjadi bahan lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi disebut proses
22
produksi. Proses produksi adalah kegiatan-kegiatan memproses pengolahan input menjadi output (Pawirosentono, 2007). Hal ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 6. Input
Proses
Output
Ulat Sutera C. trifenestrata
Kokon siap dipakai Kokon di bersihkan Pupa siap pakai
Kebun jambu mete
Kokon dan pupa dipisahkan
Ulat yang telah menjadi kokon
Kokon dikumpulkan
Peralatan (gunting, keranjang, timbangan)
Pupuk organik
Kotoran ulat
Gambar 6. Kegiatan Satu Tahap Proses Produksi Sistem produksi merupakan proses transformasi nilai tambah dari input yang mana menjadi output yang melibatkan komponen struktural dan fungsional yang berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional (Gaspersz, 2005). Komponen struktural dari system produksi adalah bahan baku, mesin dan peralatan, tenaga kerja, modal, energi, informasi, tanah, dan lain-lain. Sedangkan komponen fungsional adalah supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi, kepemimpinan, dan semua yang berhubungan dengan manajemen dan organisasi. Suatu sistem produksi akan selalu berada pada suatu lingkungan, sehingga aspek-aspek lingkungan seperti perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah dan sosial ekonomi akan mempengaruhi sistem produksi. Input Alat-alat yang digunakan dalam proses pembudidayaan kokon ulat sutera emas C.trifenestrata meliputi keranjang, timbangan, gunting, dan karung. Jumlah keranjang yang biasa dimiliki petani berkisar 1-2 buah per keluarga petani. Rata-rata petani memiliki dua buah gunting, satu timbangan dan 4 buah karung. Alat-alat
23
tersebut merupakan alat-alat yang sama yang digunakan petani dalam memelihara jambu mete. Pada proses produksi kokon, alat-alat tersebut hanya digunakan saat proses pemanenan kokon ulat sutera emas tiba. Sistem pemanfaatan kepompong yang diadopsi kelompok tani Catur Makaryo Imogiri merupakan budidaya yang mengedepankan ekosistem alami, sehingga ulat dibiarkan hidup secara liar di pohon-pohon jambu mete milik petani. Sehingga bisa dikatakan petani tidak mengeluarkan biaya peralatan untuk pembudidayaan (secara liar) ulat sutera emas C.trifenestrata. Petani di daerah Imogiri hanya mengandalkan air hujan untuk menunjang keberlangsungan hidup pohon jambu mete. Pohon yang menjadi bahan makanan ulat ini tumbuh subur di perkebunan kelompok tani catur makaryo. Pemanfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata yang dianggap sebagai hama justru berdampak positif bagi budidaya jambu mete itu sendiri. Pemanfaatan ulat sutera emas yang dikumpulkan kokonnya oleh petani menjadikan penggunaan insektisida lebih berkurang. Insektisida hanya digunakan saat pohon jambu mete yang di umur 2-3 tahun belum dihinggapi/dimakan oleh ulat sutera emas dibandingkan jika pada kondisi normal, petani biasanya menggunakan insektisida 2-3 kali. Proses Petani-petani yang tergabung dalam kelompok tani Catur Makaryo memanfaatkan limbah kokon ulat sutera emas C. trifenestrata yang secara liar terdapat di kebun jambu mete milik mereka. Secara umum mereka tidak menerapkan perlakuan secara khusus, petani hanya memanfaatkan kepompong yang secara alami hidup pada pohon jambu mete untuk dikumpulkan dan dijual. Ulat C. trifenestrata dibiarkan hidup ada pohon-pohon jambu mete milik mereka, sehingga petani mendapatkan penghasilan tambahan selain dari penghasilan utama jambu mete sendiri. Tanaman jambu mete yang diserang oleh ulat sutera C. trifenestrata tidak akan mengakibatkan kematian pada pohon, pohon akan tetap tumbuh dan bertunas kembali. Buah yang dihasilkan dari pohon yang diserang ulat ini justru lebih baik dibandingkan buah yang dihasilkan dari pohon yang tidak diserang ulat C. trifenestrata. Buah menjadi lebih besar dan mengkilap.
24
Pada proses pembudidayan ulat C.trifenestrata, petani Imogiri masih suka dengan membiarkan ulat-ulat ini liar di alam secara alami, bukan dengan pengelolaan yang intensif. Bibit ulat datang dengan sendirinya pada musim-musim tertentu. Biasanya terjadi saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, yaitu sekitar bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Bibit ulat ini sebagian besar berasal dari telur yang menempel pada daun-daun jambu mete di sekitar kebun. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu fase siklus ulat sutera emas dari telur menjadi kupu-kupu (hingga kokon dapat diambil) kurang lebih 45 hari, sedangkan penelitian di Bangladesh menunjukkan daur hidup C. trifenestrata diselesaikan dalam 61-125 hari dengan lima instar larva (Hug et al., 1991).
Gambar 7. Siklus Hidup Ulat Sutera Emas C. trifenestrata
Daur Hidup Cricula Trifenestrata Biasanya ulat sutera C. trifenestrata sudah dapat memakan daun pohon jambu mete yang berumur tiga tahun atau lebih. Berikut penjelasan lebih rinci terkait siklus hidup ulat sutera emas C. trifenestrata yang hidup secara liar di kebun jambu mete:
25
Telur. Telur-telur yang dihasilkan oleh induk betina diletakan berderet rapih dalam dua sampai tiga lapisan pada tepi permukaan bawah daun. Jumlah telur yang diletakkan bervariasi dari 53-380 butir. Penetasan telur biasanya terjadi pada pagi hari (Lubis, 1999). Telur berbentuk oval atau lonjong dan berwarna putih kekuningan saat baru diletakkan induknya. Kemudian setelah beberapa hari warna telur berubah menjadi semakin gelap atau putih kelabu. Selama 10 hari telur berkembang dan pada hari ke-8 telur mulai berwarna kelabu gelap dengan ujung anteriornya terdapat titik kecil yang disebut mikrofil dan telur agak pipih. Jumlah telur mencapai 200-325 butir per induk dengan fertilitas tinggi. Telur menetas setelah tujuh hari. Stadia telur sekitar 8-11 hari (Direktorat Bina Perlindungan Tanamana, 1995).
Gambar 8. Telur Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Banyak telur yang dihasilkan namun terdapat beberapa telur yang tidak menetas karena di dalam telur tersebut tidak terdapat embrio. Warna telur yang tidak menetas tidak pernah berubah sejak awal diletakkan oleh induk sampai saatnya penetasan tetap berwarna putih kekuningan. Telur-telur tersebut akhirnya mengempes dan kering. Pengakuan bagian pengontrol kebun kelompok tani Catur Makaryo, pak Jumadi (wawancara langsung) menyebutkan telur-telur kosong yang tidak pernah menetas ini merupakan telur-telur yang dihasilkan tanpa pembuahan dengan imago (ngengat) jantan. Imago betina yang tidak dibuahi akan tetap menghasilkan telur, tetapi tidak dapat menetas karena tidak mempunyai embrio.
26
Larva.
Larva keluar dari telur dengan cara memecahkan cangkang telurnya,
kemudian larva/ulat akan memakan cangkangnya. Cangkang yang dimakan tersebut merupakan sumber nutrisi pertama yang diperoleh larva. Larva dapat memakan cangkangnya sampai habis namun ada juga larva yang tidak memakan cangkangnya sampai habis. Situmorang (wawancara langsung), menyebutkan kebiasaan makan cangkang telur ini akan memberikan ketahanan pada ulat-ulat tersebut. Saat istirahat tubuh larva memendek sampai setengah panjang tubuh semula. a.
Larva Instar I Larva yang baru keluar dari telurnya hingga mengalami pergantian kulit yang
pertama disebut larva instar I. Larva kecil ini berwarna kuning bersih dengan panjang tubuh kurang lebih 3 mm, kepala hitam, tubuhnya diliputi seta pendek.
Gambar 9. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar I Menjelang hari kelima atau keenam panjang larva bertambah mencapai 10 mm dengan warna kuning pucat. Ulat mulai memakan daun muda dari bagian bawah secara bergerombol. Larva juga memenuhi kebutuhan airnya dari embun pagi dan curahan hujan. Hal ini terlihat ketika mulut larva memasukkan air tersebut dengan sesekali memutar kepalanya. Larva lebih aktif makan pada malam hingga pagi hari sebelum matahari memancarkan panasnya. Larva yang masih sangat kecil ini sangat rentan terhadap predator seperti semut, laba-laba, cicak dan sebagainya. Larva yang sudah mulai tumbuh mencapai ukuran 10 mm larva kemudian memendekkan tubuhnya sehingga warnanya menjadi lebih kuning kecoklatan kusam.
27
Keadaan ini menandakan bahwa larva instar I ini siap untuk berganti kulit menuju instar II. Selama masa ini larva diam dan tidak makan, hanya sekali-sekali menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah. Waktu yang diperlukan larva C.trifenestrata untuk berkembang sampai instar II adalah 5-6 hari. b.
Larva Instar II Larva mengalami molting pertama yang menjadi penanda masa instar II.
Panjang larva pada instar ini mencapai 12 mm pada awal instar II dan 17 mm pada akhir instar II. Bagian kepala larva lebih terang, warna tubuh kuning tua, tubuh larva mulai memiliki rambut-rambut yang mulai jelas berwarna putih kertas dan panjang, dan tubuh terlihat lebih gemuk. Larva instar II berlangsung 5-7 hari. Larva mulai banyak makan dan gerakan larva lebih lincah. Di akhir instar II, larva memendekkan tubuhnya untuk berganti kulit menuju instar berikutnya, dan seperti biasanya larva ini tidak makan dan tidak bergerak.
Gambar 10. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar II c.
Larva Instar III
Larva instar III ditandai dengan perubahan pada warna dan ukuran larva. Kepala mulai berwarna merah bata dan tubuh tampak bergaris hitam-merah-kuning dengan diselimuti rambut-rambut panjang berwarna putih. 28
Gambar 11. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar III Ukuran tubuhnya lebih panjang daripada instar II, yaitu berkisar 17-25 mm pada akhir instar III. Instar III berlangsung 4-6 hari. d.
Larva Instar IV
Gambar 12. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar IV Larva instar IV berlangsung setelah pergantian kulit yang ketiganya, tubuh makin besar dan warnanya makin jelas. Panjang tubuh mencapai 60 mm pada akhir instar IV. Larva bertubuh gemuk, warnanya mencolok, berselang-seling warna
29
merah-hitam-kuning, terlihat titik-titik pada segmen tubuhnya, kepala berwarna merah bata. Larva tidak hanya memakan daun muda tetapi juga daun tua dan hanya menyisakan ibu tulang daunnya saja. Butiran kotoran larva ini berukuran sebesar kepalanya. Larva memakan banyak daun dengan tujuan untuk menyiapkan energi untuk menghadapi masa pupa yang cukup lama. Larva instar IV berlangsung selama 5-7 hari. e.
Larva Instar V Panjang larva berkisar 60-75 mm. Seta atau rambut-rambut yang menutupi
tubuhnya juga bertambah panjang dan berwarna putih. Larva instar V sangat rakus, daun yang dimakan tidak hanya daun yang tua namun daun yang sangat muda masih dimakan. Peningkatan intensitas memakan daun disebabkan karena pada larva instar terakhir ini merupakan persiapan untuk menghadapi fase pupa dimana fase tanpa makan dengan aktivitas fisiologi yang besar, sehingga diperlukan makanan cadangan yang cukup besar sebagai sumber energi.
Gambar 13. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata pada Stadium V Larva mulai mencari daun dari ranting lain bahkan sampai pindah secara bergerombol mencari pohon lain. Larva instar V berlangsung selama 4-9 hari. Akhir dari instar V adalah berubahnya bentuk ulat menjadi pupa yang diawali dengan pembentukan kokon.
30
Stadium Pra Pupa. Larva instar V diakhiri dengan memendeknya tubuh dan larva mulai mengeluarkan cairan kuning emas yang mula-mula diletakkan di pangkal ibu tulang daun untuk kemudian ditarik ke helaian daun. Tahapan selanjutnya dibuat suatu anyaman benang-benang tipis yang berlapis-lapis dan setelah satu hari terbentuklah suatu kokon berwarna kuning emas. Jalinan benang-benang untuk pembenukan kokon terjadi mula-mula ke arah horizontal atau membentuk garis yang panjang kemudian garis-garis yang pendek. Larva yang telah menyelesaikan pembuatan kokonnya, ulat tidak bergerak selama beberapa hari, berkisar 3-5 hari. Stadium ini disebut stadium pra pupa. Stadium Pupa. Larva dalam kokon kemudian berganti kulit menjadi pupa. Proses pengelupasan kulit ini diawali dari anterior yang robek dan larva menggerakgerakkan bagian tubuhnya untuk melepaskan kutikula lama. Hari berikutnya kulit pupa sudah mengeras dan warnanya sudah kecoklatan. Pupa akan bergerak jika disentuh. Semakin hari warna pupa menjadi lebih gelap serta garis-garis calon sayap, calon antena, calon mata, calon anus sudah mulai kelihatan jelas, dan terdapat bercak-bercak hitam.
Gambar 14. Stadium Pupa Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Stadia pupa dalam keadaan normal berlangsung antara 21-26 hari, tetapi apabila keadaan tidak menguntungkan dapat sampai 2-3 bulan (Direktorat Bina Perlindungan Tanamana, 1995). Kepompong berbentuk jala yang rapat berwarna
31
kuning emas. Selain menghasilkan sutera yang berkilau keemasan dan filamen yang berpori, serat yang dihasilkan juga memberikan efek halus jika tersentuh kulit. Filamen tunggal berwarna kuning pada kokon ditutupi materi yang tidak berwarna. Materi tersebut adalah protein serisin. Pigmen kuning yang berada dalam protein fibroin merupakan bagian utama dalam filamen kokon (Kato et al., 2000) Imago. Imago C. trifenestrata ini disebut ngengat. Ciri morfologi ngengat yaitu seluruh tubuhnya diselimuti sisik-sisik halus berwarna coklat yang cukup tebal. Ngengat berwarna coklat muda agak kemerahan dengan garis melintang secara horizontal di tengah sayap. Sayap depan terdapat tiga spot transparan (fenestrate) sehingga disebut trifenestrata. aktif malam hari dan tertarik pada cahaya lampu. Imago jantan muncul dari pupa yang berukuran kecil sehingga imago jantan juga mempunyai ukuran yang lebih kecil daripada imago betina serta berwarna lebih muda dari imago betina. Ngengat memilki rentan sayap antara 61,6–84,2 mm. Ngengat berumur sekitar 1-5 hari dan mulai bertelur pada hari kedua.
Gambar 15. Stadium Imago Ulat Sutera C. trifenstrata Mobilitas ngengat rendah pada hari pertama kemunculannya. Hari kedua ngengat jantan mulai aktif bergerak dan menemukan betina kemudian melakukan kopulasi atau perkawinan. Betina dapat didatangi lebih dari satu jantan, namun yang berhasil kopulasi hanya dari satu jantan saja. Ngengat betina yang tidak kawin juga
32
bertelur meskipun tidak menetas. Hal ini dinilai merugikan dalam sudut pandang manajemen pembudidayaan. Banyak betina yang telurnya tidak dibuahi maka kokon yang dihasilkan juga akan jauh lebih sedikit. Sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan inovasi teknologi untuk membuat semacam bank sperma C. trifenestrata. Sehingga tidak ada ngengat betina yang bertelur namun tidak menetas, karena kosong tidak dibuahi. Secara alami pada hari berikutnya setelah kopulasi betina akan bertelur dan meletakkan telurnya pada pinggir daun pakan dengan rapih. Betina akan bertelur selama kurang lebih dua hari dan setelah itu akan mati. Salah satu faktor yang mempengaruhi siklus hidup ngengatnya adalah kelembaban dengan rata-rata 63%77% dan suhu udara. Proses pengumpulan kokon dilakukan saat pupa telah berubah menjadi kupukupu. Kokon yang telah kosong diambil dari pohon dengan menggunakan gunting atau dengan langsung melepaskan kokon-kokon yang menempel pada daun dengan tangan. Saat pemanenan kepompong petani seringkali melibatkan anggota keluarganya. Kokon yang terkumpul kemudian dibersihkan dari sisa-sisa pupa dengan cara menggunting satu sisi bagian kokon dan mengeluarkan sisa-sisa pupa. Kokon yang terkumpul di setiap petani di kumpulkan ke pengelolah kebun untuk ditimbang ulang lalu kemudian langsung disalurkan ke perusahaan pengolah sutera. Selama proses pemanenan atau pengusahaan ulat, petani tidak begitu banyak menghabiskan waktu. Petani hanya mengalokasikan tujuh jam dalam satu siklus hidup ulat sutera C.trifenestrata. Siklus hidup C.trifenestrata yang dicapai dalam waktu 61-125 hari semestinya dapat menghasilakan empat kali panen kokon dalam satu tahun. Hal ini dapat diwujudkan dengan aplikasi teknologi dalam system budidaya yang intensif, misalnya dengan system koleksi telur. Kehadiran ulat secara alami saat peralihan musim, setidaknya akan menghasilkan satu sampai dua kali panen kokon. Output Ulat sutera yang dibiarkan hidup liar menunjukkan produktivitasnya yang sangat bergantung dengan alam. Satu tahun proses produksi dapat terjadi dua kali panen, tetapi jika cuaca buruk kadang hanya satu kali panen. Rata-rata jumlah kokon
33
yang dihasilkan saat panen berkisar 2-10 ons, dengan rata-rata 5 ons kokon per petani. Hasil pengusahaan pembudidayaan ulat sutera ini berupa kokon yang telah kosong, pupa dan kotoran ulat. Kokon yang kosong dibersihkan dan dijual ke perusahaan yang telah bekerjasama dengan kelompok tani Catur Makaryo. Seringkali terdapat permintaan terhadap pupa dari kokon ulat sutera emas, sehingga sebagian petani juga menjual pupa yang ada di dalam kokon. Pupa ini biasanya dimanfaatkan untuk bahan kosmetik. Baik kokon maupun pupa dijual ke perusahan yang sama, yaitu perusahaan Yarsilk. Sedangkan kotoran ulat yang jumlahnya cukup banyak dijadikan pupuk alami oleh petani. Belum pada taraf komersial petani tetap mendapatkan keuntungan darinya. Kotoran ini biasanya dikumpulkan di pangkal akar pohon, sehingga menjadi pupuk alami bagi pohon jambu mete. Harga kokon per kilogramnya dihargai senilai Rp 180.000,00 per kg, sedangkan harga pupa per kg dihargai Rp 50.000,00. Nilai Ekonomi Nilai ekonomi dari usaha tani pemanfaatan kepompong sutera emas dihasilkan dari beberapa perhitungan. Perhitungan tersebut meliputi : total biaya (biaya tetap + biaya variable), pemasukan, keuntungan, R/C rasio, BEP dan payback periode. Biaya Investasi Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membangun usaha. Biaya investasi dalam pemnfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata pada kenyataannya merupakan alat-alat investasi yang sama yang digunakan petani pada budidaya jambu mete. Peralatan produksi yang digunakan untuk pembudidayaan ulat sutera C. trifenestrata sampai pengumpulan kokon merupakan peralatan yang telah dimiliki dan digunakan petani untuk produksi jambu mete, sehingga dalam perhitungan kedepan, alat-alat tersebut dihargai sesuai perbandingan Persentase pemakaiannya. Tabel 7. Nilai Investasi dari Alat-alat yang Dipakai Petani Beban Biaya Alat Rata-Rata per Petani (Rp) Kelompok Tani (Rp) Keranjang 5.821 122.250 Timbangan 39.381 827.000 Gunting 6.036 126.750 Total 51.238 1.076.000
34
Total nilai investasi dari pemanfaatan pengumpulan kokon kelompok tani senilai Rp 1.076.000,00. Jika dikonversi menjadi nilai investasi per orang petani, maka nilai investasi menjadi Rp 51.238,00 per petani. Biaya Operasional Biaya operasional adalah biaya produksi yang harus dikeluarkan setiap satu periode produksi. Biaya tersebut yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Tabel 8. Biaya Penyusutan Untuk Pengumpulan Kokon Ulat Sutera Nilai Harga Rata-Rata/Petani Total harga barang investasi Umur Penyusutan Per Alat Biaya Penyusutan Total Biaya penyusutan
Alat-alat investasi Keranjang Timbangan 11.893 39.381 261.643 827.000 2 tahun 5 tahun 130.821 165.400
Gunting 15.000 315.000 3 tahun 105.000 42.000
Total biaya tetap yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo hanya bersumber dari biaya penyusutan. Total biaya penyusutan tersebut senilai Rp 395.275,00. Sedangkan biaya tidak tetap yang harus disiapkan kelompok tani tiap panennya senilai Rp 42.000,00 untuk pembelian karung. Biaya Total atau Total Cost(TC) Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan ulat sutera dan pengumpulan kokon. Biaya total atau Total Cost ini merupakan total biaya produksi yang dikeluarkan untuk biaya operasinoal. Tabel 9. Total Cost yang Dikeluarkan Oleh Petani Pengumpul Kokon Per Tahun Biaya Biaya Operasional Biaya Tetap Biaya Tidak Tetap Total Biaya
Kelompok Tani
Per Petani
395.275 42.000 437.275
18.823 2.000 20.823
35
Total Cost yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo untuk usaha pemanfaatan kepompong sutera emas senilai Rp 437.275,00. Jika dihitung dalam skala per petani, Total Cost nya menjadi Rp 20.823,00 per petani. Penerimaan atau Total Revenue (TR) Penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh dari hasil penjualan hasil produksi. Penerimaan yang diperoleh oleh petani adalah dari hasil penjualan kokon ulat sutera C. trifenestrata dan pupa-nya. Harga 1 kg kokon Rp 180.000,00 dan harga 1 kg pupa Rp 50.000,00. Dalam satu siklus petani-petani Catur Makaryo mampu mengumpulkan kurang lebih 7 kg kokon dan 10 kg pupa, dimana satu siklus yang dialami petani sama dengan satu tahun. Sehingga pendapatan kelompok tani menjadi sebesar Rp 1.260.000,00 untuk penjualan kokon dan Rp 500.000,00 untuk penjualan pupa. Total penerimaan dari kokon dan pupa sebesar Rp 1.760.000,00. Penerimaan rata-rata petani dari penjualan kokon dan pupa kurang lebih senilai Rp 83.809,00 per petani. Keuntungan Keuntungan merupakan selisih penerimaan dengan total biaya produksi. Keuntungan = Penerimaan – Total biaya produksi Budidaya ulat sutera emas= Rp 1.760.000,00 – Rp 437.275,00 = Rp 1.322.725,00 Keuntungan total kelompok tani Catur Makaryo untuk pemanfaatan sampah kokon ulat sutera emas C. trifenestrata senilai Rp 1.322.725,00 dalam sekali panen. Jika dikonversi per satuan petani, maka keuntungan yang didapat petani senilai Rp 62.986,00 per petani. R/C Ratio Analisis R/C ratio merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dinyatakan layak jika nilai R/C ratio lebih besar dari satu (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan lebih besar. R/C Ratio budidaya ulat sutera emas C. trifenestrata
36
R/C ratio
= = Rp 1.760.000,00 Rp 437.275,00 = 4,025
Nilai R/C ratio budidaya emas ulat sutera C. trifenestrata 4,025. Artinya, setiap penambahan biaya sebesar Rp 1,00 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 4,00. Jika dikonversi per seorangan petani, R/C RatioBudidaya ulat sutera C. trifenestrata per petani pun memiliki nilai yang sama, yaitu 4,025. Karena total pendapatan per petani (Rp 83.809,00) dibagi total biaya produksi per petani (Rp 20.823,00) juga akan menghasilkan nilai 4,025. Payback Periode (PP) Analisis payback periode (PP) untuk mengetahui lama waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi yang ditanamkan atau berapa lama investasi yang ditanamkan akan kembali. Dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Payback Periode
= (Biaya (investasi) /keuntungan) x tahun
Budidaya ulat
= (Rp 1.076.000,00/ Rp 1.322.725,00) x tahun = 0,813 tahun
Pada budidaya ulat sutera emas biaya investasi dapat dikembalikan pada waktu 0,813 tahun. Atau 10 bulan. Potensi Pengembangan Kokon Ulat Sutera C. trifenestrata R/C ratio budidaya ulat sutera emas mencapai 4,025. Usaha ini layak diusahakan karena R/C rationya lebih dari 1. Payback period budidaya ulat sutera emas 0,813 artinya modal akan sangat cepat kembali, hanya dalam waktu 10 bulan. Jika diakumulasikan pendapatan petani dalam satu tahun, pendapatan petani dari mengumpulkan kokon memang tidak memiliki nilai yang besar. Tetapi potensinya besar, dan dari sisi kelayakan juga sangat layak. Kondisi nilai ekonomi yang kecil dikarenakan petani belum optimal dalam proses pembudidayaan ulat sutera ini. Petani belum menerapkan teknologi dan ilmu budidaya itu sendiri. Pemanfaatan kepompong ulat sutera yang hanya bergantung dengan kondisi alam membuat kontinuitas pengadaan produk tidak menentu dan jumlah produksi yang jauh lebih
37
sedikit jika dibandingkan pengumpulan kepompong menggunakan teknologi budidaya yang intensif. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa keberadaan kelompok tani yang mengumpulkan kokon ulat sutera emas C. trifenestrata tidaklah merugikan bagi budidaya utama petani yang memiliki komoditi jambu mete. Keberadaan ulat di pohon jambu mete justru dapat menghasilkan buah yang lebih berkualitas. Petani telah mendapat tambahan penghasilan hanya dengan memanfaatkan limbah kokon ulat sutera emas yang hadir secara alami di kebun jambu mete. Potensi dari pengembangan ulat sutera emas ini cukup menjanjikan, jika petani mau menerapkan teknologi dan ilmu budidaya yang tepat untuk pembudidayaan ulat sutera ini sehingga nilai dari produktivitas panen kepompong tentu akan menjadi lebih besar. Petani juga dapat mengubah alur produksi. Pemanfaatan kepompong emas menjadi barang jadi akan jauh meningkatkan pendapatan petani dibandingkan petani menjual mentah kepompongnya.
Gambar 16. Bros Bunga dari Kepompong Ulat Sutera C.trifenestrata Jika dalam satu kilogram kokon terdapat kurang lebih 7.000 lembar kokon. Maka untuk menghasilkan barang jadi seperti bros bunga saja hanya membutuhkan kurang lebih 20 lembar kokon. Sehingga satu kilogram kokon dapat menghasilkan kurang lebih 350 bros bunga dari kokon ulat sutera emas. Harga satu buah bros kepompong yang biasa di jual oleh perusahaan Yarsilk di Jogja senilai Rp 25.000,00 /pcs. Sehingga total nilai pemasukan dari 350 bros senilai Rp 8.750.000. Asumsi sebanyak 5% mengalami kerusakan atau produk cacat, maka nilainya pun masih
38
cukup tinggi, Rp 8.312.500,00. Dibandingkan dengan nilai penjualan satu kilogram kokon mentah senialai Rp 100.000,00 /kg maka pemanfaatan kokon menjadi barang jadi atau setengah jadi menjadi sangat potensial bagi peta. Belum lagi pengolahan kokon ke bentuk-bentuk lain yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan bros. Seperti, kalung, kotak esklusif, vas bunga, tas pesta dan lain sebagainya. Banyak sekali aksesoris kreatif yang dapat dihasilkan dari pengolahan kepompong ulat sutera emas C. trifenestrata ini.
Gambar 17. Kotak dan Kalung dari Kepompong Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Usaha pemanfaatan kokon menjadi barang jadi juga dapat membantu membuka lapangan kerja baru bagi petani dan masyarakat sekitar. Hal ini tentu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat setempat dan pada akhirnya mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat setempat.
39