16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kondisi Umum Penanaman Pisang Tanduk dilakukan di kebun petani Desa Kopo, Cisarua Bogor. Ketinggian lokasi penanaman adalah 920 m dpl dengan curah hujan tahunan 3 767 mm/tahun. Suhu rata-rata berkisar 21.3oC, sedangkan kelembaban rata-rata berkisar 85% (Lampiran 1). Menurut Harti et al. (2007), kelembaban udara yang sesuai untuk penanaman Pisang Rajabulu adalah >60%. Nakasone and Paull (1998) menyatakan kisaran suhu untuk penanaman pisang adalah 15-38oC Ketinggian tempat yang sangat sesuai untuk penanaman Pisang Rajabulu <800 m dpl, sedangkan ketinggian tempat yang cukup sesuai untuk tanaman Pisang Rajabulu berkisar 800 – 1 000 m dpl. Curah hujan yang sangat sesuai untuk penanaman Pisang Rajabulu berkisar 1 500 – 2 500 mm/tahun, sedangkan curah hujan 1 250-3 000 mm/tahun tergolong cukup sesuai untuk pertanaman Pisang Rajabulu (Harti et al, 2007). Lahan yang digunakan merupakan lahan bekas pertanaman sayuran. Kriteria tanah yang sangat sesuai untuk penanaman Pisang Rajabulu yaitu pH tanah berkisar 5.6-7.5 dengan kandungan C-organik >1.5% (Harti et al., 2007). Berdasarkan kriteria iklim dan tanah menunjukkan bahwa lokasi yang digunakan cukup sesuai untuk pertanaman Pisang Tanduk. Tabel 2. Data Analisis Tanah Aspek
Metode
Nilai
Status
pH
H2O
4.8
Masam
pH
KCl
4.1
Masam
C-Organik (%)
Walkley & Black
1.76
Rendah
N (%)
Kjeldahl
0.13
Rendah
14
Sedang
C/N P2O5 (ppm)
Bray 1
28.3
Sangat Tinggi
K2O (ppm)
Morgan
67.3
Sangat Tinggi
Sumber : Hasil Analisis Tanah, Balit Tanah Bogor (2010)
17
Rata-rata kecepatan angin sebesar 2.4 km/jam. Saat 11 BST, kecepatan angin mencapai 6.0 km/jam yang menyebabkan sebagian besar tanaman yang dibudidayakan
secara
tradisional
rebah.
Angin
yang
kencang
diduga
menyebabkan transpirasi yang lebih cepat dan merusak daun. Sebagian besar daun pada pertanaman robek karena terkena angin (Gambar 1).
Gambar 1. Daun Pisang Tanduk Robek Terkena Angin Sanitasi lahan pertanaman Pisang Tanduk SOP pola monokultur pada 3-5 BST tidak terawat dengan baik karena tidak ada pekerja. Tidak adanya pekerja dikarenakan mendekati hari Raya Idul Fitri 2010. 2010. Hal ini menyebabkan adanya serangan hama seperti Erionota thrax atau penggulung daun pisang (Gambar 2a). Upaya yang dilakukan untuk mengatasi serangan hama dengan dengan sanitasi lahan (Gambar 2b), dengan sanitasi yang baik serangan hama dapat dikendalikan. a
b
Gambar 2. Serangan Erionota thrax (a), Sanitasi Lahan (b)
18
Tabel 3. Rekapitulasi Uji-t antar Sistem Budidaya Perlakuan Pengamatan
Lingkar Batang
Tradisional vs SOP Monokultur *
Tradisional vs SOP Tumpangsari *
SOP Monokultur vs SOP Tumpangsari tn
Tinggi Tanaman
*
*
tn
Jumlah Daun
*
*
tn
Bobot Tandan
*
*
tn
Bobot per Sisir
*
*
tn
Bobot perBuah
*
*
tn
Jumlah Sisir per Tandan Jumlah Buah per Sisir Kekerasan Buah
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Edible portion
tn
tn
tn
Padatan Total Terlarut Total Asam Tertitrasi Panjang Buah
*
*
tn
tn
tn
tn
*
*
tn
Diameter Buah
*
*
tn
Keterangan :
tn tidak nyata * nyata
Pertumbuhan Lingkar Batang Penerapan SOP pada umur 1 hingga 3 BST tidak mempengaruhi lingkar batang tanaman Pisang Tanduk. Pada umur 4 BST, penerapan SOP pola monokultur berpengaruh nyata terhadap lingkar batang tanaman Pisang Tanduk. Penerapan SOP pola monokultur berpengaruh sangat nyata pada lingkar batang tanaman Pisang Tanduk pada 5 hingga 9 BST. Lingkar batang tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP pola monokultur lebih besar 2.16 kali lipat dibandingkan tanaman tradisional. Rata-rata pertambahan lingkar batang tanaman
19
tradisional sebesar 2.94 cm per bulan, sedangkan lingkar batang yang dibudidayakan sesuai SOP bertambah 7.91 cm tiap bulan (Tabel 4). Tabel 4. Perbandingan Lingkar Batang Antar Sistem Budidaya Pisang Tanduk (Musa sp., AAB Group) Lingkar Batang (cm)
Perlakuan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
------------------------------------BST----------------------------------Tradisional
10.7
13.9
18.2 20.3
22.2
26.7
29.3
33.2
37.2
SOP Monokultur
11.9
16.6
29.9 37.7
46.6
55.9
66.8
72.6
83.1
tn
tn
**
**
**
**
**
10.7
13.9
18.2 20.3
22.2
26.7
29.3
33.2
37.2
SOP Tumpangsari
9.7
15.6
32.6 39.1
48.4
58.8
75.7
72.8
88.5
Uji-t SOP Monokultur
tn 11.9
16.6
29.9 37.7
46.6
55.9
66.8
72.6
83.1
SOP Tumpangsari
9.71
15.6
32.6 39.1
48.4
58.8
75.7
72.8
88.5
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Uji-t Tradisional
Uji-t Keterangan :
tn
tn
**
tn
*
**
tn
**
**
**
**
**
tn tidak nyata * nyata ** sangat nyata
Penerapan SOP pola tumpangsari tidak mempengaruhi lingkar batang Pisang Tanduk 1 dan 2 BST. Penerapan SOP pola tumpangsari mempengaruhi pertumbuhan lingkar batang Pisang Tanduk pada 3-9 BST (Tabel 4). Pertumbuhan lingkar batang tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan dengan SOP pola tumpangsari lebih baik dibandingkan dengan tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Lingkar batang tanaman Pisang yang dibudidayakan sesuai SOP pola tumpangsari 2.17 kali lebih besar dibandingkan lingkar batang tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Rata-rata pertambahan lingkar batang tanaman tradisional sebesar 2.94 cm per bulan, sedangkan lingkar batang yang dibudidayakan sesuai SOP pola tumpangsari bertambah 8.75 cm tiap bulan. Pertumbuhan lingkar batang yang baik akan menyebabkan tanaman lebih kokoh sehingga tidak mudah rebah saat terkena angin kencang.
20
Pertumbuhan lingkar batang tanaman pisang yang dibudidayakan dengan SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari lebih cepat dibandingkan dengan lingkar batang tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional (Gambar 3). Pada pengamatan 3 BST dan seterusnya, pertumbuhan lingkar batang tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan dengan SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari jauh melampaui pertumbuhan lingkar batang tanaman pisang yang dibudidayakan secara tradisional. Akan tetapi, perlakuan SOP pola tumpangsari dan SOP pola monokultur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam penambahan lingkar batang tanaman Pisang Tanduk (Gambar 3 ).
100.00
88.5
90.00
Lingkar Batang (cm)
80.00
83.1
70.00 60.00 50.00 40.00 37.2
30.00 20.00 10.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bulan Setelah Tanam
Tradisional
SOP Monokultur
SOP Tumpangsari
Gambar 3. Pertumbuhan Lingkar Batang Pisang Tanduk (Musa sp., AAB Group) pada Beberapa Sistem Budidaya.
21
Tinggi Tanaman Penerapan SOP tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman Pisang Tanduk 1 dan 2 BST, mulai berpengaruh nyata pada tinggi tanaman Pisang Tanduk 3 BST. Pada umur 4 hingga 9 BST, penerapan SOP pola monokultur berpengaruh sangat nyata meningkatkan tinggi tanaman Pisang Tanduk. Penerapan SOP pola monokultur dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman 2.4 kali lipat lebih besar dibandingkan tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Pertambahan tinggi tanaman sebesar 12.2 cm per bulan pada tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Rata-rata pertambahan tinggi tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP pola monokultur sebesar 32.12 cm per bulan (Tabel 5). Tabel 5. Perbandingan Tinggi Tanaman Antar Sistem Budidaya Pisang Tanduk (Musa sp., AAB Group) Tinggi Tanaman (cm)
Perlakuan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
-----------------------------------BST----------------------------------Tradisional
24.5
37.6
53.9
63.6
SOP Monokultur
37.5
49.0
105.6
138.1
tn
tn
*
**
**
Tradisional
24.5
37.6
53.9
63.6
74.9
SOP Tumpangsari
28.9
48.0
109.8
143.7
Uji-t
tn
tn
**
**
SOP Monokultur
37.5
49.0
105.6
138.1
SOP Tumpangsari
28.9
48.0
109.8
143.7
Uji-t
tn
tn
tn
tn
Uji-t
Keterangan :
74.9
89.7
96.7
115.8
133.6
162.8 213.5
257.3
291.2
326.6
**
**
**
**
89.7
96.7
115.8
133.6
169.9 227.3 275.7
314.0
352.7
**
**
**
162.8 213.5
257.3
291.2
326.6
169.9 227.3
275.7
314.0
352.7
tn
tn
tn
**
tn
**
tn
tn tidak nyata * nyata ** sangat nyata
Penerapan SOP tidak mempengaruhi tinggi tanaman Pisang Tanduk umur 1 dan 2 BST. Penerapan SOP pola tumpangsari sangat berpengaruh pada tinggi tanaman Pisang Tanduk 3 hingga 9 BST. Rata-rata tinggi tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP dengan pola tumpangsari lebih besar 2.45 kali lipat dibandingkan tinggi tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara
22
tradisional. Rata pertambahan tinggi tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional sebesar 12.2 cm per bulan, sedangkan pertambahan tinggi tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP pola tumpangsari sebesar 35.9 cm (Tabel 5). Pertumbuhan tinggi tanaman Pisang Tanduk dapat dilihat pada gambar 4. Peningkatan tinggi tanaman dimulai dari 2 BST hingga 9 BST. Penerapan SOP pola monokultur tidak berbeda nyata dengan SOP pola tumpangsari pada parameter tinggi tanaman. Rata-rata tinggi tanaman pada tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP dengan pola tumpangsari lebih baik daripada SOP pola monokultur. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata pertambahan tinggi tanaman SOP pola monokultur sebesar 32.12 cm per bulan sedangkan pertambahan tinggi tanaman SOP pola tumpangsari 35.9 cm per bulan.
400.00 352.6
Tinggi Tanaman (cm)
350.00 326.5
300.00 250.00 200.00
133.5
150.00 100.00 50.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bulan Setelah Tanam Tradisional
SOP Monokultur
SOP Tumpangsari
Gambar 4. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Pisang Tanduk (Musa sp., AAB Group) pada Beberapa Sistem Budidaya.
23
Jumlah Daun Penerapan SOP tidak berpengaruh pada jumlah daun tanaman Pisang Tanduk 1 BST, namun sangat mempengaruhi jumlah daun tanaman Pisang Tanduk pada 2 hingga 9 BST (Tabel 6). Jumlah daun yang dihasilkan oleh tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP monokultur maupun SOP tumpangsari lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang dibudidayakan secara tradisional. Tabel 6. Perbandingan Jumlah Daun Antar Sistem Budidaya Pisang Tanduk (Musa sp., AAB Group) Jumlah Daun
Perlakuan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
-----------------------------------BST----------------------------------Tradisional
3
3
4
4
4
4
4
5
5
SOP Monokultur
3
7
8
6
8
8
8
8
9
Uji-t
tn
**
**
**
**
**
**
**
**
Tradisional
3
3
4
4
4
4
4
5
5
SOP Tumpangsari
3
7
8
7
8
7
7
7
8
Uji-t
tn
**
**
**
**
**
**
**
**
SOP Monokultur
3
7
8
6
8
8
8
8
9
SOP Tumpangsari
3
7
8
7
8
7
7
7
8
Uji-t
tn
Keterangan :
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn tidak nyata * nyata ** sangat nyata
Jumlah daun berkaitan dengan kerapatan tanam. Kerapatan tanam yang tepat akan menghasilkan jumlah daun yang baik. Kerapatan tanam berkaitan dengan efisiensi penggunaan cahaya matahari. Pada kerapatan tanam yang tepat cahaya matahari dapat terserap secara optimal. Jumlah daun tanaman pisang yang dibudidayakan dengan SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari tidak berbeda nyata. Pertumbuhan jumlah daun tanaman Pisang Tanduk ditunjukkan pada gambar 5.
Jumlah Daun
24
10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bulan Setelah Tanam Tradisional
SOP Monokultur
SOP Tumpangsari
Gambar 5. Pertumbuhan Jumlah Daun Pisang Tanduk (Musa sp., AAB Group) pada Beberapa Sistem Budidaya Produksi Pisang Tanduk yang dibudidayakan menggunakan SOP mulai berbunga pada 9-10 BST, sedangkan Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional mulai berbunga pada 13 BST (Tabel 7). Umur panen berkisar 105-110 HSA untuk pisang yang dibudidayakan sesuai SOP. Tabel 7. Persentase Waktu Berbunga Tanaman Pisang Tanduk pada Beberapa Sistem Budidaya Perlakuan
Tradisional SOP Monokultur SOP Tumpangsari
Waktu Berbunga (BST) 9 10 11 12 13 -------------------------------- % -------------------------------16 33 50 50 75 25 -
Tahapan pembungaan Pisang Tanduk ditandai dengan munculnya daun bendera. Daun terakhir mulai menggulung, kemudian jantung pisang keluar dari bagian tengah. Pada saat jantung pisang mulai merunduk, pembrongsongan buah
25
harus segera dilakukan. Pembrongsongan buah bertujuan mencegah timbulnya
hama atau penyakit pada buah pisang (Gambar 6).
a
b
c
d
Gambar 6. Tahapan Pembungaan Pisang Tanduk (a) Daun Bendera Muncul, (b) Jantung Pisang Menjulang ke Atas, (c) Jantung Pisang Merunduk, (d) Pembrongsongan pada Buah Pisang Tanduk Antesis terjadi saat jantung buah berada di dalam plastik brongsong, sehingga diperlukan pembukaan pengikat plastik brongsong untuk membuang kelopak daun Pisang Tanduk. Pada umumnya dilakukan pemotongan jantung buah saat buah normal terakhir melengkung ke atas (Harti et al, 2007). Pemotongan jantung buah tidak dilakukan pada Pisang Tanduk. Saat antesis tidak ada jantung yang tersisa, sehingga tidak diperlukan diperlukan pemotongan jantung buah
(Gambar 7).
26
a
b
c
d
Gambar 7. Tahapan Pembrongsongan Pisang Tanduk (a) Pembrongsongan pada Buah, (b) Pengikatan Plastik Brongsong ke Pangkal Tandan, (c) Pembuangan Kelopak Daun, (d) Kelopak Daun yang Telah Jatuh
Bobot Tandan, Bobot per Sisir dan Bobot per Buah
Rata-rata bobot tandan pisang yang dibudidayakan secara tradisional, SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari berturut-turut 6.46 kg, 14.95 kg dan
14.13 kg. Tabel 8 menunjukkan bahwa penerapan SOP mempengaruhi bobot tandan, bobot per sisir dan bobot per buah. Bobot tandan Pisang Tanduk yang dihasilkan dari sistem budidaya sesuai SOP lebih besar 2.31 kali lipat
27
dibandingkan bobot tandan tradisional. Penerapan SOP pada penanaman Pisang Tanduk dapat meningkatkan bobot per buah sebesar 93.42% dibandingkan bobot per buah tanaman tradisional. Bobot per sisir Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP lebih besar 2.4 kali dibandingkan bobot per sisir Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Tabel 8. Perbandingan Produksi Pisang Tanduk pada Sistem Budidaya Tradisional dan Sistem Budidaya SOP Pola Monokultur
Perlakuan Tradisional SOP Monokultur Uji-t Tradisional SOP Tumpangsari Uji-t SOP Monokultur SOP Tumpangsari Uji-t Keterangan :
Bobot Tandan (Kg) 6.4 14.9 ** 6.4 14.1 * 14.9 14.1 tn
Komponen Produksi Jumlah Bobot Jumlah Sisir per per Sisir Buah per Tandan (Kg) Sisir 2.3 2.5 9.0 2.0 6.6 14.0 tn * tn 2.3 2.5 9.0 2.3 5.5 13.1 tn * tn 2.0 6.6 14.0 2.3 5.5 13.1 tn tn tn
Bobot per Buah (g) 232.7 454.3 ** 232.8 445.9 ** 454.3 445.9 tn
tn tidak nyata * nyata ** sangat nyata
Perlakuan SOP pola monokultur tidak berbeda nyata dengan perlakuan SOP pola tumpangsari (Tabel 8). Rata-rata bobot tandan, bobot per sisir dan bobot per buah Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP pola monokultur tidak berbeda dengan SOP pola tumpangsari. Rata-rata bobot tandan, bobot per sisir dan bobot per buah Pisang Tanduk hampir sama pada sistem budidaya SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman tanaman sela tidak mengganggu produksi pisang.
Jumlah Sisir per Tandan dan Jumlah Buah per Sisir Penerapan SOP tidak mempengaruhi jumlah sisir per tandan dan jumlah buah per sisir tanaman pisang Tanduk (Tabel 8). Rata-rata jumlah sisir yang dihasilkan dari sistem budidaya tradisional maupun sistem budidaya sesuai SOP sebanyak 2 sisir. Jumlah buah per sisir tidak dipengaruhi oleh penerapan SOP,
28
jumlah buah per sisir pada pisang tanduk sebanyak 9-14 buah. Jumlah buah per sisir lebih dipengaruhi oleh genom dari tanaman Pisang Tanduk (Robinson, 1996).
Kualitas Kualitas Kimia Pisang Tanduk Penerapan SOP tidak mempengaruhi kualitas kimia Pisang Tanduk berupa kekerasan buah, asam total tertitrasi serta edible part. Penerapan SOP mempengaruhi padatan terlarut total buah Pisang Tanduk (Tabel 9). Pisang yang dibudidayakan secara tradisional memiliki nilai padatan terlarut total yang lebih tinggi 1.1 kali lipat dari perlakuan lainnya. Tabel 9. Perbandingan Kualitas Kimia Pisang Tanduk pada Sistem Budidaya Tradisional dan SOP Pola Monokultur Kualitas Kimia Perlakuan
Kekerasan Buah
PTT
TAT
29.48 26.85 tn 29.48 29.99 tn 26.85 29.99 tn
31.44 27.71 ** 31.44 27.81 ** 27.71 27.81 tn
14.71 14.62 tn 14.71 12.09 tn 14.62 12.09 tn
Tradisional SOP Monokultur Uji-t Tradisional SOP Tumpangsari Uji-t SOP Monokultur SOP Tumpangsari Uji-t Keterangan :
Edible Part (%) 69.17 70.88 tn 69.11 70.98 tn 70.81 70.98 tn
tn tidak nyata * nyata ** sangat nyata
Kualitas Fisik Pisang Tanduk Penerapan SOP mempengaruhi kualitas fisik buah yaitu panjang dan diameter buah. Panjang buah Pisang Tanduk yang dihasilkan dari sistem budidaya SOP pola monokultur lebih besar 1.33 kali lipat dibandingkan sistem budidaya tradisional, sedangkan diameter buah mencapai 1.39 kali lipat lebih besar dibandingkan sistem budidaya tradisional (Tabel 10).
29
Panjang dan diameter buat terendah didapat dari tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Hal ini diduga disebabkan oleh kurangnya suplai hara serta sanitasi kebun yang kurang sehingga pertumbuhan vegetatif menjadi lambat. Pertumbuhan vegetatif yang lambat akan menyebabkan produksi menjadi berkurang. Panjang buah Pisang Tanduk yang dihasilkan dari sistem budidaya SOP pola tumpangsari lebih besar 1.27 kali lipat dibandingkan sistem budidaya tradisional, sedangkan diameter buah mencapai 1.35 kali lipat lebih besar dibandingkan sistem budidaya tradisional (Tabel 10). Kualitas kimia dan fisik buah Pisang Tanduk antara SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari tidak berbeda nyata (Tabel 10). Tabel 10. Perbandingan Kualitas Fisik Pisang Tanduk pada Budidaya Tradisional dan SOP Pola Monokultur Perlakuan Tradisional SOP Monokultur Uji-t Tradisional SOP Tumpangsari Uji-t SOP Monokultur SOP Tumpangsari Uji-t Keterangan :
tn tidak nyata * nyata ** sangat nyata
Sistem
Kualitas Fisik Panjang Buah Diameter Buah ------------------------------cm--------------------------28.61 3.42 38.32 4.77 ** ** 28.61 3.42 36.49 4.64 ** ** 38.32 4.77 36.49 4.44 tn tn
30
Pembahasan Pertumbuhan tanaman yang menerapkan SOP pola monokultur maupun tumpangsari lebih baik daripada tanaman dengan sistem budidaya tradisional. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk kandang dan pupuk anorganik pada sistem budidaya SOP. Pupuk kandang merupakan salah satu sumber hara terutama N yang dapat memperbaiki sifat kimia, biologi dan fisik tanah. Pemberian pupuk kandang di awal penanaman akan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dari tanaman Pisang. Hasil penelitian Muslihat (2003) menyimpulkan bahwa pemberian pupuk kandang 20 ton/ha dapat meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman Abaca (Musa textilis Nee). Pertumbuhan tanaman merupakan proses bertambahnya ukuran sel. Makin cepat sel membelah dan memanjang (membesar) semakin cepat tanaman meninggi. Pertumbuhan tersebut berhubungan dengan kandungan unsur hara N dalam tanah yang merupakan unsur penting dalam pertumbuhan tanaman Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kesuburan tanah, penggunaan bibit unggul, jarak tanam, ketersediaan hara dan pemeliharaan kebun yang baik. Faktor pertumbuhan tersebut harus disediakan secara optimal untuk memperoleh hasil maksimum (Harjadi, 1979). Menurut Muslihat (2003), pemberian pupuk kandang 20 ton/ha menjadikan tanah seimbang secara fisik, kimia maupun biologi. Secara fisik, pupuk kandang membentuk agregat tanah yang mantap. Keadaan ini terkait dengan porositas dan aerasi dalam tanah yang mempengaruhi perkembangan akar. Secara kimia, pupuk kandang sebagai bahan organik dapat menyerap bahan yang bersifat racun seperti alumunium (Al), besi (Fe), dan Mangan (Mn) serta dapat meningkatkan pH tanah. Secara biologi, pemberian pupuk kandang ke dalam tanah akan memperkaya jasad organisme dalam tanah. Organisme tersebut dapat membantu penguraian bahan organik sehingga tanah lebih cepat matang. Pada awal penanaman, pupuk kandang dicampur dengan agensia hayati. Dosis pemberian per lubang tanam 30 g agensia hayati per 3 kg pupuk kandang. Desmawati (2006) melaporkan penggunaan jamur antagonis tidak menghambat pertumbuhan tanaman bahkan dapat meningkatkan produksi dan ketahanan tanaman terhadap stres lingkungan beberapa tanaman hortikultura. Soesanto dan
31
Rahayuniati (2009) menyatakan bahwa penyuntikan dan perendaman jamur supernatan khususnya Trichoderma mampu meningkatkan ketahanan biokimia Pisang terhadap penyakit layu fusarium. Perendaman bibit dengan jamur antagonis memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pisang. Pengaturan jarak tanam dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Jarak tanam berkaitan dengan kompetisi tanaman dalam mendapatkan hara dan cahaya matahari. Hasil penelitian Athani et al. (2009) menyimpulkan kerapatan tanaman berpengaruh pada peningkatan tinggi tanaman Pisang cv. Rajapuri, kenaikan tinggi tanaman terjadi pada umur 1-7 BST kemudian mengalami penurunan pertumbuhan tinggi pada 10 BST. Kerapatan tanam juga mempengaruhi bobot tandan Pisang cv. Rajapuri. Jarak tanam 2.4 m x 2.4 m menghasilkan rata-rata bobot tandan tertinggi sebesar 6.72 kg, sedangkan produktivitas tertinggi sebesar 24 ton/ha didapat dari penggunaan jarak tanam 1.2 m x 1.5 m. Tanaman pisang dengan budidaya tradisional tumbuh tidak terlalu tinggi. Tanaman pisang dengan sistem budidaya tradisional ditanam dengan jarak tanam tidak beraturan. Populasi tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional relatif lebih sedikit dibandingkan tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP. Jumlah tanaman yang dibudidayakan secara tradisional sebanyak 1 100 tanaman/ha, sedangkan jumlah tanaman yang dibudidayakan secara SOP sebanyak 1 600 tanaman/ha. Langdon et al. (2008) menyatakan peningkatan kerapatan tanaman pisang (Musa spp., AAAB) mengakibatkan adanya kompetisi cahaya yang menyebabkan tanaman menjadi lebih tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata laju pertambahan tinggi tanaman yang dibudidayakan secara tradisional sebesar 12.2 cm tiap bulan. Ratarata laju pertambahan tinggi tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP 34.04 cm tiap bulan. Rata-rata laju penambahan tinggi tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP lebih besar 2 kali lipat dibandingkan tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional (Gambar 8).
32
a
b
Gambar 8. Tinggi Tanaman Pisang Tanduk (a) SOP Umur 10 BST, (b) Tradisional Umur 8 BST Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh sanitasi kebun yang baik. Pemeliharaan yang perlu dilakukan adalah membersihkan gulma dan memotong daun yang kuning atau mengering. Kondisi kebun yang tidak bersih dapat menyebabkan timbulnya serangan hama dan penyakit (Harti et al., 2007). Gulma dan hama penyakit tanaman akan mempengaruhi secara langsung pengurangan
hasil panen tanaman Pisang Tanduk. Penelitian Masanza et al. (2005) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara sanitasi lahan dengan tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun dan bobot tandan pada pisang (Musa spp., AAA-EA). Penerapan sanitasi yang baik
akan menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak mendapatkan sanitasi. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata laju pertambahan lingkar batang yang dibudidayakan secara tradisional sebesar 2.94 cm tiap bulan. Rata-rata laju penambahan lingkar batang yang dibudidayakan sesuai SOP sebesar 8.33 cm tiap
bulan. Rata-rata pertambahan rtambahan lingkar batang yang dibudidayakan sesuai SOP lebih besar 2 kali lipat dibandingkan tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional (Gambar 9).
33
a
b
Gambar 9. Lingkar Batang Pisang Tanduk (a) SOP umur 8 BST, (b) Tradisional umur 7 BST Pertumbuhan vegetatif tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP lebih baik dibandingkan tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional memiliki pertumbuhan vegetatif yang lambat terutama lingkar batang. Lingkar batang yang kuat menyebabkan tanaman lebih kokoh dan tidak mudah rebah saat terkena angin kencang. Pada penelitian ini, sebagian sebagian besar tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional rentan rebah saat angin kencang (Gambar 10). Persentase tanaman Pisang Tanduk yang rebah pada budidaya tradisional sebesar 65%. Hal tersebut menyebabkan menyebabkan beberapa tanaman Pisang Tanduk tidak dapat
dipanen buahnya.
Gambar 10. Tanaman Pisang Tanduk yang Dibudidayakan secara Tradisional Rentan Rebah saat Terkena Angin Kencang
34
Pertumbuhan vegetatif tanaman Pisang Tanduk berkorelasi positif dengan peningkatan produksi Pisang Tanduk. Tinggi tanaman, lingkar batang dan jumlah daun yang dihasilkan dari penanaman secara budidaya lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan pisang yang dibudidayakan secara tradisional. Bobot tandan Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara SOP juga mengalami peningkatan sebesar dua kali lipat dibandingkan bobot tandan Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Pertumbuhan vegetatif tanaman pisang juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara. Al Harthi dan Al Yahyai (2009) menyatakan pemupukan NPK berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman pisang khususnya tinggi tanaman dan luas daun. Selain itu, NPK juga mempengaruhi produksi pisang khususnya bobot tandan dan bobot per buah pisang (Musa acuminata Colla, Cavendish cv. “Williams”). Menurut Tandon (1991), efisensi penggunaan hara N berkisar antara 20-40 %, P 5-20% dan K 50-100 %. Efisiensi penggunaan hara tergantung dari varietas, pertumbuhan dan potensi produksi. Kebutuhan hara tanaman berkisar 500 - 1 000 N + P2O5 + K2O kg/ha/tahun. Kebutuhan hara K pada tanaman pisang lebih tinggi karena K mempengaruhi produksi serta kualitas buah pisang. Pertumbuhan vegetatif yang baik akan mempengaruhi produksi tanaman terutama bobot tandan. Jumlah daun berkorelasi positif dengan bobot tandan. Daun merupakan organ utama yang berfungsi dalam fotosintesis karena di dalam daun terdapat pigmen yang berperan dalam menyerap cahaya matahari. Cahaya matahari mempengaruhi proses fotosintesis. Wirnas et al., (2005) menyatakan peningkatan jumlah daun mengakibatkan peningkatan bobot tandan. Penerapan SOP menghasilkan jumlah daun 1.7 kali lipat lebih banyak dibandingkan sistem budidaya tradisional. Peningkatan jumlah daun diduga dapat meningkatkan bobot tandan. Salah satu sistem budidaya yang banyak mempengaruhi bobot tandan adalah pemupukan. Hasil penelitian Weerasinghe dan Premalal (2002) menunjukkan bahwa pemberian pupuk K dapat meningkatkan bobot buah dan bobot tandan pisang (Musa spp., AAB Group). Mostafa (2005) menyatakan bahwa pemberian pupuk K berpengaruh pada peningkatan bobot tandan. Pemupukan NPK mempengaruhi produksi pisang khususnya bobot tandan dan
35
berat per buah (Al-Harthi dan Al-Yahyai, 2009 ; Memon et al. 2010). Penerapan SOP pada penanaman Pisang Tanduk dapat menghasilkan rata-rata bobot tandan sebesar 14 kg. Rata-rata bobot tandan Pisang Tanduk yang dihasilkan dari budidaya tradisional sebesar 6 kg. Penerapan SOP pada penanaman Pisang Tanduk dapat meningkatkan bobot tandan sebesar 2.31 kali lipat dari bobot tandan Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Pada umumnya bobot per buah mencapai sekitar 300-320 g (PKBT, 2009). Penerapan SOP pada penanaman Pisang Tanduk dapat menghasilkan rata-rata
bobot per buah 380-490 g, sedangkan bobot per buah yang dihasilkan dari sistem budidaya tradisional berkisar 200-250 g. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerapan SOP pada penanaman Pisang Tanduk dapat meningkatkan bobot per buah sebesar 93.42% dibandingkan bobot per buah tanaman tradisional.
a
b
c
Gambar 11. Bobot per Buah Pisang Tanduk pada Sistem Budidaya (a) Tradisional, (b) SOP Pola Monokultur, (c) SOP Pola Tumpangsari Sistem budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah buah per sisir dan jumlah sisir per tandan. Robinson (1996) menyatakan jumlah sisir per tandan dan jumlah buah per tandan dipengaruhi oleh genom dari tanaman. Pisang Tanduk tergolong AAB Group yang memiliki jumlah sisir lebih sedikit daripada genom AAA. PKBT (2009) menambahkan rata-rata jumlah sisir Pisang Tanduk adalah dua atau tiga sisir. Rata-rata jumlah buah per sisir berkisar 11-13 buah. Pada penelitian ini, penerapan SOP pada penanaman Pisang Tanduk menghasilkan menghasilkan rata-
36
rata jumlah buah per sisir sebanyak 12-14 buah. Jumlah buah per sisir Pisang Tanduk yang dihasilkan dari budidaya tradisional sebanyak 9-11 buah. Kualitas komoditi hortikultura segar merupakan kombinasi dari ciri-ciri,
sifat, dan nilai harga yang mencerminkan nilai total komoditi. Bagi petani sebagai produsen, kualitas dilihat pada aspek potensi hasil tinggi, tahan penyakit, mudah dipanen, dan tahan bilamana dikirim jauh. Bagi konsumen aspek kualitas yang diutamakan berupa kualitas penampilan. penampilan. Selain itu nilai rasa dan kandungan gizi juga merupakan aspek kualitas yang dipersyaratan (Santoso, 2010). Salah satu aspek yang mempengaruhi kualitas buah Pisang Tanduk adalah
sistem budidaya. Penggunaan sistem budidaya yang tepat dan benar dimulai dari penggunaan bibit unggul hingga pemeliharaan yang baik akan menciptakan lingkungan tumbuh yang baik untuk tanaman Pisang Tanduk sehingga dapat menghasilkan buah yang berkualitas. Penampilan fisik Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP lebih mulus dibandingkan dengan Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional (Gambar 12).
a
b
c
Gambar 12. Penampilan Fisik Buah Pisang Tanduk (a) Sistem Budidaya Tradisional, (b) SOP Pola Monokultur (c) SOP Pola Tumpangsari Sistem budidaya tradisional menghasilkan nilai padatan total terlarut yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Hal ini berlawanan dengan penelitian
Ganeshamurthy et al. (2010) yang menyimpulkan bahwa pupuk K berpengaruh terhadap padatan total terlarut serta asam total tertitrasi. Nilai padatan total terlarut serta asam total tertitrasi tertinggi diperoleh dari pemupukan K 480 g/tanaman.
Barakat et al. (2011) menambahkan penggunaan penggunaan pupuk organik dapat
37
meningkatkan kandungan padatan total terlarut, sedangkan kandungan asam total tertitrasi tertinggi didapat dari perlakuan tanpa pupuk. Menurut Ganeshamurthy et al. (2010) kalium berperan penting dalam tanaman pisang. Kalium diperlukan untuk aktivasi lebih dari 60 enzim yang terlibat dalam pembentukan karbohidrat, translokasi gula, produksi, kualitas ketahanan terhadap penyakit serta permeabilitas sel. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan sistem budidaya
khususnya pemupukan mempengaruhi panjang dan diameter pisang. Mostafa (2005) melaporkan pemupukan N dan K menghasilkan panjang dan diameter buah yang optimal. Weerasinghe dan Premalal (2002) menambahkan pemupukan K berpengaruh terhadap panjang, diameter buah serta bobot bobot per buah. Penerapan SOP menghasilkan panjang buah Pisang Tanduk 1.3 kali lipat lebih besar dibandingkan panjang buah yang dibudidayakan secara tradisional. Diameter buah Pisang Tanduk yang dihasilkan dari budidaya sesuai SOP 1.35 kali lebih besar
dibandingkan buah yang dibudidayakan secara tradisional (Gambar 13). a
b
c
Gambar 13. Perbandingan Panjang Buah Pisang Tanduk (a) Sistem Budidaya Tradisional, (b) SOP Pola Monokultur, (c) SOP Pola Tumpangsari
38
Analisis Usahatani Tingkat efektifitas penggunaan sistem budidaya perlu diketahui dengan melakukan analisis ekonomi usahatani. Peubah yang digunakan dalam menganalis usahatani meliputi keuntungan dan R/C rasio. Keuntungan diperoleh dari penerimaan dikurangi biaya pengeluaran. Penghitungan R/C rasio didapatkan dari penerimaan dibagi biaya pengeluaran. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi Pisang Tanduk secara tradisional sebesar Rp. 3 060 000 per ha. Total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp. 6 000 000 per ha. Keuntungan yang didapat sebesar Rp. 2 940 000 per ha. R/C rasio Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional sebesar 1.96. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi Pisang Tanduk sesuai SOP pola monokultur sebesar Rp. 37 345 500 per ha. Total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp. 44 800 000 per ha. Keuntungan yang didapat dari sistem budidaya SOP pola monokultur sebesar Rp. 7 454 500 per ha. R/C rasio Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP monokultur sebesar 1.20 (Lampiran 3). Tabel 11. Analisis R/C Rasio Beberapa Sistem Budidaya Pisang Tanduk Penerimaan Sistem Budidaya
Biaya
Produksi
Produksi
Tandan (Kg)
Harga Jual (Kg)
Total
Produksi Tandan (Kg)
R/C Rasio
Tradisional
3 060 000
6 000
1 000
6 000 000
1.96
SOP Monokultur
37 345 500
22 400
2 000
44 800 000
1.20
SOP Tumpangsari
60 163 000
22 400
2 000
44 800 000
75 450 000
2.00
Biaya produksi tanaman yang dibudidayakan sesuai SOP lebih besar dibandingkan tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional. Persentase terbesar (60%) biaya produksi tanaman Pisang Tanduk berasal dari pemupukan. Tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional tidak menggunakan pupuk sehingga biaya produksi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan budidaya Pisang Tanduk sesuai SOP. Dosis pemupukan pada tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP masih memungkinkan untuk
39
diturunkan sesuai status hara tanah yang didapat dari analisis tanah pada lokasi penanaman. Dilihat dari waktu berbunga, tanaman yang dibudidayakan secara tradisional lebih lambat berbunga dibandingkan tanaman Pisang tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP. Umur panen tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP berkisar 12 BST sedangkan Pisang Tanduk yang dibudidayakan secara tradisional dapat dipanen pada 16 BST. Lama waktu berbunga akan menyebabkan perputaran uang lebih lama. Rata-rata pendapatan yang diperoleh dari budidaya tradisional sebesar Rp. 183 750 per bulan, sedangkan pendapatan yang diperoleh dengan penerapan SOP pola monokultur sebesar Rp. 621 200 per bulan. Untuk meningkatkan pendapatan dapat dilakukan penanaman tanaman sela diantara tanaman pisang. Penanaman sayuran sebagai tanaman sela pada Pisang Tanduk sejak awal tanam hingga 5 BST. Sayuran yang ditanam meliputi kol, caisim, wortel dan bawang daun. Sayuran caisim, wortel dan bawang daun diasumsikan dipanen dua kali, sedangkan kol dipanen satu kali. Penerimaan yang diperoleh dari kol sebesar Rp. 1 638 000 (setara Rp. 40 950 000 per ha). Penerimaan dari bawang daun, caisim dan wortel sebesar Rp. 1 380 000 (setara Rp. 34 500 000 per ha). Dari segi ekonomis, tanaman sela dapat memberikan penerimaan tambahan selama masa tunggu panen. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi Pisang Tanduk sesuai SOP pola tumpangsari sebesar Rp. 60 163 000 per ha. Total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp. 120 250 000 per ha. Keuntungan yang didapat dari penerapan SOP pola tumpangsari sebesar Rp. 60 087 000 per ha. R/C rasio Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP tumpangsari sebesar 2.00. Pendapatan yang diperoleh dengan penerapan SOP pola tumpangsari per bulan sebesar Rp. 5 007 250 (Lampiran 4). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penanaman sayuran sebagai tanaman sela dapat meningkatkan pendapatan petani. Armiati et al. (1995) melaporkan penanaman tomat, cabai, kubis dan kacang diantara tanaman mangga dapat meningkatkan pendapatan petani. Muhammad (2006) menyatakan penanaman kentang, tomat, kubis, sawi putih serta cabai disela tanaman markisa
40
dapat memberikan keuntungan tambahan. Kentang memberikan keuntungan sebesar Rp. 2 829 000, kubis memberikan keuntungan sebesar Rp. 1 360 500 sedangkan sawi memberikan keuntungan keuntungan sebesar Rp. 130 500. Nilai B/C rasio dari kentang, kubis dan sawi berturut-turut sebesar 2.23, 2.25, dan 1.12. Penanaman sayuran disela penanaman Pisang Tanduk memiliki beberapa keuntungan yaitu menekan pertumbuhan gulma serta menambah penerimaan
petani selama masa tunggu panen. Penanaman tanaman sela dilakukan mulai awal tanam hingga 5 BST (Gambar 14 a, b, c). Penanaman tanaman sela pada umur lebih dari 5 BST kurang efektif dikarenakan tajuk tanaman Pisang Tanduk sudah
saling menutupi. (Gambar 14d). Tanaman sela yang ditaman saat 7 BST tidak tumbuh maksimal dan tidak dapat berproduksi dengan baik. Penanaman tanaman sela dilakukan tanpa menggunakan jarak tanam. Benih disebar di dalam bedengan sehingga tanaman dipanen lebih dari satu kali. Sistem sebar benih memiliki keuntungan yaitu menghindari fluktuasi harga saat panen.
a
b
c
d
Gambar 14. Penanaman Tanaman Sela diantara Pertanaman Pisang (a) Awal Tanam, (b) 2 BST, (c) 3 BST dan (d) 7 BST
41
Hasil penelitian ini menunjukkan pertumbuhan vegetatif tanaman Pisang Tanduk yang dibudidayakan sesuai SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari tidak menunjukkan perbedaan. SOP pola monokultur dan SOP pola tumpangsari menghasilkan tinggi tanaman, lingkar batang dan jumlah daun tanaman Pisang Tanduk yang tidak jauh berbeda. Rata-rata bobot tandan, bobot per sisir serta bobot per buah yang dihasilkan juga tidak jauh berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa penanaman tanaman sela tidak mempengaruhi pertumbuhan, produksi serta kualitas dari Pisang Tanduk.