HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang adalah salah satu kebutuhan penting dalam peternakan. Fungsi utama kandang adalah untuk menjaga supaya ternak tidak berkeliaran dan memudahkan pemantauan serta perawatan ternak. Terdapat banyak jenis kandang, baik berdasarkan tipe maupun bahan yang digunakan untuk membuat kandang tersebut, sedangkan penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan. Secara tidak langsung, kandang juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas hasil peternakan. Lantai adalah pembatas bangunan bagian bawah kandang ternak. Lantai kandang sangat penting karena menjadi tempat berpijak dan berbaring ternak sehingga dapat berdiri kokoh dan tegak, berbaring dan istirahat dengan nyaman yang kemudian akan berpengaruh terhadap performa produksi. Lantai kandang yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dari bambu, kawat dan lantai tertutup beralaskan sekam. Pembuatan kandang dan lantai sangat memiliki pengaruh terhadap suhu dan kelembaban sehingga layak untuk digunakan oleh ternak. Suhu dalam kandang selama penelitian berlangsung berkisar antara 22-32,8 °C dengan suhu pagi 22-26 °C (06.00 WIB), siang 30-32,5 °C (12.00 WIB) dan sore 2432,8 °C (16.00 WIB). Kelembaban kandang juga cukup tinggi pada pagi hari 90%99%, siang hari 82%-90% dan sore hari 50%-80%. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lukefahr dan Cheeke (1990) bahwa pertumbuhan kelinci dapat mencapai optimal pada kondisi lingkungan dengan suhu 18 °C dan tingkat kelembaban 70%. Suhu kandang yang tinggi ini disebabkan oleh konstruksi kandang yaitu bagian atap kandang yang terbuat dari asbes sehingga sangat mudah menyerap panas pada waktu siang hari dan menyebarkan panas tersebut keseluruh ruangan kandang. Konsumsi Pakan Pakan kelinci yang diberikan selama pemeliharaan adalah pellet. Pellet sebagai bentuk massa dari bahan pakan atau ransum yang dibentuk dengan cara menekan dan memadatkan melalui lubang cetakan secara mekanis. Konsumsi pakan kelinci diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang diberikan pada kelinci dan zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak. Kebutuhan zat-zat makanan bagi ternak 16
yang sedang tumbuh akan bertambah sejalan dengan pertambahan bobot tubuh yang dicapai sampai batas umur dimana tidak terjadi lagi pertumbuhan. Rataan konsumsi pakan kelinci dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Konsumsi Pakan (Pelet) Kelinci Selama Pemeliharaan Konsumsi Pakan
Perlakuan
(g/ekor/hari)
P1 (Bambu)
66,60 ± 5,95
P2 (Sekam)
68,29 ± 6,25
P3 (Kawat)
69,56 ± 5,64
Rataan
68,15 ± 5,65
Rataan konsumsi pakan (pellet) kelinci setiap hari pada masing-masing perlakuan P1, P2 dan P3 adalah 66,60; 68,29 dan 69,56 gram/ekor/hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsumsi pakan (pelet) yang diberikan tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan pemberian pakan diberikan sesuai dengan kebutuhan kelinci dan tidak ad libitum. Penggunaan jenis lantai kandang tidak menurunkan konsumsi pakan sehingga penggunaan jenis lantai kandang bambu, sekam dan kawat ini dapat digunakan untuk pemeliharaan kelinci lokal. Konsumsi Zat Makanan Konsumsi zat makanan merupakan bahan-bahan penting berupa nutrisi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Rataan konsumsi zat makanan kelinci berdasarkan BK=100% dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Konsumsi Zat Makanan Kelinci Berdasarkan BK=100% Peubah
P1 (Bambu)
P2 (Sekam)
P3 (Kawat)
Rataan
(g/ekor/hari)
Bahan Kering
58,04 ± 5,22
59,50 ± 5,39
60,58 ± 4,92
59,37 ± 4,92
Protein Kasar
11,08 ± 0,97
11,31 ± 1,04
11,53 ± 0,94
11,31 ± 0,22
Serat Kasar
17,52 ± 1,56
17,97 ± 1,64
18,30 ± 1,49
17,93 ± 0,39
17
Konsumsi zat makanan sehari-hari dapat dilihat dengan mengamati konsumsi bahan kering,
konsumsi protein kasar dan konsumsi serat kasar. Konsumsi zat
makanan selaras dengan konsumsi pakan dan tidak dipengaruhi penggunaan jenis lantai kandang sehingga lantai kandang bambu, sekam dan kawat layak untuk digunakan dalam pemeliharaan kelinci lokal. Konsumsi Bahan Kering Konsumsi bahan kering kelinci pada penelitian berkisar 6% dari bobot badan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan dengan lantai kandang P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering (P>0,05) (Tabel 5). Penelitian Muhidin (2004) menunjukkan konsumsi bahan kering yang diberikan sebanyak 151,27 g/ekor/hari dan lebih tinggi dari penelitian ini. Hal ini disebabkan pakan diberikan secara ad libitum dan menghasilkan pertambahan bobot badan sebanyak 18,22 g/ekor/hari, sedangkan penelitian ini disesuaikan dengan kebutuhan bahan kering berdasarkan NRC (1977) dan Ensminger (1991) yaitu kebutuhan bahan kering kelinci muda berkisar 5,4%-6,2%. Kebutuhan ini juga sudah sesuai menurut Templeton (1968), yang menyatakan kelinci membutuhkan bahan kering 5,8%-6,7% dari bobot hidup setiap harinya. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan jenis lantai kandang bambu, sekam dan kawat dapat digunakan untuk pemeliharaan kelinci lokal karena tidak menurunkan konsumsi bahan kering. Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan dan rendahnya pertambahan bobot badan (Anggorodi, 1990). Suhu kandang pada saat kelinci dipelihara selama penelitian berlangsung berkisar antara 22-32,8 °C. Pagi 22-26 °C, siang 30-32,5 °C dan sore 24-32,8 °C. Suhu ini tidak sesuai dengan suhu lingkungan optimal pada kelinci yaitu 21 °C sehingga menyebabkan kelinci menjadi stres dan dapat menyebabkan kematian. Konsumsi Protein Kasar Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi protein (P>0,05) (Tabel 5). Rataan konsumsi protein kasar harian untuk masing-masing perlakuan P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 11,08; 11,31 dan 11,53 g/ekor/hari. Persentase protein kasar yang dikonsumsi adalah 16,58%. Rataan konsumsi protein kasar tidak berbeda jauh 18
jika dibandingkan dengan penelitian Iman (2005) yaitu 16,27% dengan pemberian rumput 60% dan konsentrat 40%. Konsumsi protein sudah sesuai kebutuhan untuk kelinci yang sedang tumbuh yaitu sebesar 16% (Benerjee, 1982). Hal ini juga sesuai dengan kebutuhan protein kasar menurut Church (1991) yaitu berkisar 10%-20%. Penggunaan jenis lantai kandang yang berbeda seperti bambu, sekam dan kawat dapat digunakan untuk pemeliharaan karena tidak menurunkan konsumsi protein pada kelinci lokal. Namun, bahan baku dalam pembuatan lantai kandang harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada di daerah tersebut sehingga lebih meminimalkan biaya pembuatan. Konsumsi Serat Kasar Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap konsumsi serat kasar (P>0,05). Rataan konsumsi serat kasar dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu untuk masing-masing perlakuan P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 17,52; 167,97 dan 18,30 g/ekor/hari. Persentase serat kasar yang dikonsumsi adalah 26,31%. Konsumsi rataan serat kasar tidak sesuai dengan kebutuhan untuk kelinci yang sedang tumbuh menurut NRC (1977) yaitu berkisar 10-12%. Hal ini dapat disebabkan karena komposisi bahan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan serat kasar untuk kelinci yang sedang tumbuh. Kebutuhan serat kasar ini juga tidak sesuai menurut Lebas et al. (1968) yang menyatakan kebutuhan serat kasar berkisar 10%-20 %. Akan tetapi, perlakuan jenis kandang yang berbeda tidak menurunkan konsumsi serat kasar dalam pemeliharaan kelinci lokal sehingga penggunaan lantai kandang dari bambu, sekam dan kawat masih dapat digunakan.
Performa Produksi Penampilan ternak bisa diamati dengan melihat produksi ternak yaitu dengan melihat pertambahan bobot badannya. Nilai pertambahan bobot badan yang tinggi menunjukkan bahwa ternak dapat berproduksi dengan baik. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), selama proses pertumbuhan, ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik, pemberian pakan, suhu, kemampuan beradaptasi dan lingkungan. Performa produksi yang terdapat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan bobot badan (1520 g/ekor) untuk mencapai kelinci fryer 19
tidak sesuai menurut Ozimba dan Lukefahr (1991) yang menyatakan bahwa untuk mencapai kelinci fryer bobot badan sebesar 2047 g/ekor. Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh nyata terhadap performa produksi. Bobot awal, bobot akhir, konversi pakan dan mortalitas terdapat pada Tabel 6.
Tabel 6. Performa Produksi Kelinci Parameter Produksi
Performa Produksi pada Lantai Kandang Bambu
Sekam
Kawat
Rataan
Bobot Awal (g/ekor)
856±103,34
818±60,99
98±53,10
824,00±29,46
Bobot Akhir (g/ekor)
1502,5±117,30
1434±215,71
1625±93,27
1520,50±96,76
PBBH (g/ekor/hari)
10,54±2,13
11±3,03
13,04±3,81
11,53±1,33
Konversi Pakan
5,64±0,87
5,69±1,27
5,04±1,71
5,46±0,36
Mortalitas (%)
20
0
20
13,33
Aspek genetik juga berpengaruh terhadap bobot kelinci. Jenis kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci lokal. Kelinci lokal Indonesia bertubuh kecil, bobot dewasa hanya mencapai 1,8-2,3 kg (Herman, 2000). Penggunaan jenis lantai kandang pada bambu, sekam dan kawat tidak berpengaruh terhadap performa produksi. Oleh karena itu, penggunaan jenis lantai kandang yang berbeda dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pada pemeliharaan kelinci lokal. Penggunaan dengan lantai bambu sudah umum dilakukan untuk pemeliharaan ternak kelinci karena batangnya kuat, mudah dibelah, mudah dibentuk dan ringan. Bambu untuk wilayah Bogor mudah dijangkau dan harga relatif murah sehingga banyak dimanfaatkan peternak kelinci di Bogor. Lantai dengan bambu juga mudah dibersihkan dari kotoran sehingga lebih higienis dan ternak menjadi lebih nyaman untuk tinggal. Penggunaan dengan lantai tertutup beralaskan sekam masih jarang dilakukan untuk pemeliharaan kelinci lokal, tapi hal ini tidak berpengaruh terhadap performa produksi kelinci. Hal ini disebabkan sekam diganti sekali dalam dua hari sehingga kotoran tidak berada lama di kandang dan kelinci tetap merasa nyaman tinggal di kandang.
20
Penggunaan lantai dengan kawat masih jarang dilakukan untuk pemeliharaan kelinci lokal, tapi hal ini tidak berpengaruh terhadap performa produksi kelinci. Hal ini disebabkan kotoran dan urin langsung terbuang dan tidak tinggal di kandang sehingga ternak tetap merasa nyaman untuk tinggal di kandang. Pertambahan Bobot Badan Harian Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan rataan pertambahan bobot badan harian sebesar 11,53±1,33g/ekor/hari. Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Kurniawati (2001) bahwa pertambahan bobot badan sekitar 12,780±2,741 dengan protein kasar 14%. Pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi dengan tingginya level protein yang dikemukakan oleh Soeharsono (1979) bahwa semakin tinggi level protein yang terkandung dalam pakan maka akan meningkatkan pertambahan bobot badan kelinci. Penelitian Trocino et al. (2008) bahwa kelinci Grimaud umur 36 hari menghasilkan rata-rata pertambahan bobot badan harian sekitar 7,7 g/ekor/hari pada lantai kawat dan rataan konsumsi pakan (pellet) sebanyak 26,8 g/ekor/hari yang dipelihara selama 42 hari. Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan lantai kandang P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan (P>0,05). Penggunaan dengan jenis lantai kandang berbeda ini dapat digunakan oleh peternak kelinci lokal karena tidak berpengaruh negatif terhadap pertambahan bobot badan harian. Perlakuan ini dapat diterapkan dan dapat meminimalkan biaya kandang yang disesuaikan dengan bahan baku yang terdapat di daerah masing-masing. Konversi Pakan Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi berdasarkan bahan kering setiap hari dibagi dengan pertambahan bobot badan hariannya. Hasil analisis statistik pada Tabel 6. menunjukkan perlakuan dengan lantai kandang yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap konversi pakan. Hal ini berarti ternak yang dikandangkan dengan lantai kandang yang berbeda P1 (bambu), P2 (sekam) dan P3 (kawat) memiliki konversi pakan yang sama. Rataan konversi pakan untuk ketiga perlakuan adalah 5,46. Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap penambahan bobot badan sebesar satu satuan maka dibutuhkan pakan berdasarkan bahan kering sebanyak 5,46 satuan. Penggunaan jenis lantai kandang dari kawat menurut Trocino 21
et al. (2008) pada kelinci Grimaud memiliki konversi pakan 3,49 dan lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan. Hal ini tidak sesuai menurut Church (1991) dan Lebas et al. (1986) yang menyatakan bahwa rata-rata konversi pakan untuk produksi daging kelinci adalah 3 : 1 (3 kg pakan untuk 1 kg bobot hidup). Ketiga jenis lantai kandang yang digunakan dapat digunakan sebagai alternatif dalam pemeliharaan kelinci lokal karena tidak berpengaruh negatif terhadap pertambahan bobot badan. Namun, untuk meminimalkan biaya penggunaan lantai kandang yang berbeda seperti bambu, kawat dan sekam dapat disesuaikan dengan sumber daya yang ada pada daerah tersebut. Produksi Feses Feses merupakan produk buangan saluran pencernaan hewan yang dikeluarkan melalui anus atau kloaka. Kelinci memiliki kebiasaan memakan kotorannya sendiri yang disebut dengan istilah coprophagy. Kelinci memiliki dua jenis feses yang keluar dari anusnya yang pertama feses kering keras dikeluarkan pada siang hari dan yang kedua feses yang lembek dan berlendir dikeluarkan pada malam dan pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya. Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar tumbuhan, vitamin yang terkandung dalam feses karena di dalam feses yang lembek dan berlendir tersebut mengandung banyak vitamin dan nutrisi seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam pantotenat dan niasin. Dengan memakan kembali fesesnya tersebut kelinci tidak akan kekurangan nutrisi dan vitamin karena isi saluran pencernaan berdaur kembali. Rataan produksi feses selama penelitian terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Produksi Feses Perlakuan
Produksi Feses (g/ekor/hari)
P1 (Bambu)
30,20±3,89
P2 (Sekam)
26,18±3,33
P3 (Kawat)
36,04±1,86
Rataan
30,81±5,00
22
Pada penelitian ini, hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan lantai kandang yang dikeluarkan oleh kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap produksi feses (P>0,05). Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan yaitu serat kasarnya yang tinggi 22,91% sehingga pellet yang dikonsumsi tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan PBBH tetapi banyak yang terbuang melalui feses. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Benerjee (1982) bahwa kebutuhan serat kasar untuk pertumbuhan sekitar 10%–12 %. Mortalitas Mortalitas atau kematian merupakan salah satu parameter yang sering digunakan untuk bahan evaluasi pemeliharaan setiap minggu dan sekaligus sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam suatu peternakan. Kelinci yang mati selama penelitian berjumlah dua ekor yang terdapat pada perlakuan P1 dan P3 dengan rataan persentase kematian sebesar 13,33%. Kematian kelinci pada bambu dan kawat disebabkan oleh kurangnya penanganan pada saat kelinci diare yaitu pembersihan lantai kandang yang kurang maksimal sehingga menyebabkan kotoran masih tersisa dan menyebabkan diare terus menerus dan menyebabkan kematian. Akan tetapi, pada lantai tertutup beralaskan sekam tidak ada kematian. Hal ini disebabkan oleh kotoran dan urin yang menempel pada sekam dibuang sehingga tidak ada kotoran yang tinggal di kandang. Hal ini sesuai dengan pernyataan North dan Bell (1990), tingkat mortalitas dipengaruhi oleh beberapa fakor diantaranya, bobot badan, bangsa, iklim, kebersihan lingkungan, sanitasi peralatan, kandang serta penyakit. Income Over Feed Cost (IOFC) Keuntungan Analisis Ekonomi Tujuan akhir dari pemeliharaan ternak adalah untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan pengeluaran. IOFC adalah salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan. IOFC biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan. Analisis pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga beli bakalan, harga jual kelinci dan biaya pakan selama pemeliharaan. Adkinson et al. (1993) menghitung IOFC dari selisih antara penjualan kelinci dengan pembelian kelinci umur 4 bulan
23
yang dihasilkan dengan biaya pakan. Menurut Kasim (2002), IOFC dapat dihitung melalui pendekatan penerimaan dari nilai pertambahan bobot badan ternak dengan biaya pakan yang dikeluarkan selama penelitian. Faktor yang berpengaruh penting dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan bobot badan selama penggemukan, konsumsi pakan dan harga pakan. Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik akan diikuti dengan konversi pakan yang baik pula serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan yang maksimum (Wahju, 1997). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lantai kandang bambu, sekam dan kawat tidak berpengaruh terhadap IOFC (P>0,05) dengan rataan nilai Rp. 5342,Tabel 8. Income Over Feed Cost (IOFC) Perlakuan
IOFC (Rp.)
P1 (Bambu)
6104±1417,59
P2 (Sekam)
5210±955,04
P3 (Kawat)
4712±339,16
Rataan
5342±705
Perlakuan dengan jenis lantai kandang yang berbeda tidak berpengaruh terhadap IOFC sehingga penggunaan jenis lantai yang berbeda dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pemeliharaan kelinci lokal yang dapat disesuaikan dengan bahan baku penghasil yang terdapat pada suatu daerah sehingga meminimalkan biaya kandang.
24