HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan
Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi (Tillman et al., 1998). Menurut Aregheore (2005), konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktivitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak. Konsumsi bahan kering pakan yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan Konsumsi Bahan Kering Perlakuan P1 P2 P3 P4
Konsumsi (gram/ekor/hari) 741,2±37,2 785,1±64,4 746,3±45,4 761,4±31,1
Konsumsi/BB (%) 2,90 2,99 2,88 2,95
Keterangan : P1 = bungkil kelapa dan urea, P2 = bungkil kelapa dan bungkil kedelai, P3 = bungkil kelapa dan tepung ikan, dan P4 = bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan.
Pakan sumber serat dari tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering (P>0,05). Tidak adanya perbedaan konsumsi bahan kering menunjukkan bahwa palatabilitas dari keempat macam pakan yang diberikan sama. Palatabilitas yang sama dikarenakan secara fisik pakan yang diberikan memiliki tekstur yang sama. Hal ini didukung oleh pernyataan Pond et al. (1995), bahwa tekstur dari bahan pakan yang diberikan dapat mempengaruhi palatabilitas pakan. Pakan juga cenderung memiliki kandungan bahan kering yang sama sehingga konsumsi bahan kering tidak berbeda. Yulistiani (2010) menyatakan bahwa domba yang mendapatkan pakan berbasis tongkol jagung cenderung memiliki konsumsi bahan kering yang sama karena bentuk fisik dan bahan kering yang hampir sama. Kisaran konsumsi bahan kering pada penelitian ini adalah sebesar 741,2- 758,1 g/ekor/hari. Standar NRC (2006) menyebutkan bahwa, domba pada fase penggemukan dengan bobot badan 20-30 kg, akan mengkonsumsi bahan kering sebanyak 690-1240 g/ekor/hari. Jika dibandingkan dengan NRC terlihat bahwa konsumsi bahan kering domba masih berada dalam standar. Hal berbeda terjadi
dimana konsumsi bahan kering domba pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Yulistiani (2010) yang menyatakan bahwa, konsumsi bahan kering domba yang mendapatkan pakan berbasis tongkol jagung adalah sebesar 1092-1240 g/ekor/hari. Kisaran konsumsi bahan kering domba berdasarkan bobot badan adalah 2,88% - 2,99% bobot badan. Kisaran konsumsi bahan kering yang disarankan NRC (2006) untuk ternak domba dengan bobot badan 20-30 kg adalah sebesar 3,44% - 4,14% bobot badan. Berdasarkan bobot badan, konsumsi bahan kering pada penelitian ini jauh di bawah standar NRC (2006). Konsumsi bahan kering pada penelitian ini juga lebih rendah jika dibandingkan dengan Yulistiani (2010), yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering domba yang mendapatkan pakan berbasis tongkol jagung adalah 4,17% bobot badan. Rendahnya konsumsi bahan kering domba diduga karena tongkol jagung mengandung serat kasar yang tinggi. Kandungan serat kasar yang tinggi pada bahan pakan menyebabkan keambaan bahan pakan tinggi, sehingga dapat menurunkan konsumsi. Menurut Toharmat et al. (2006), jenis pakan yang memiliki kandungan serat yang tinggi dapat menurunkan konsumsi bahan kering. Jumlah nutrien pakan yang dikonsumsi oleh ternak yang terdiri dari konsumsi protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), dan Total Digestible Nutrient (TDN) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rataaan Konsumsi Nutrien Pakan Perlakuan
Peubah P1
P2
P3
P4
--------------------------g/ekor/hari--------------------------- Konsumsi Protein Kasar
111,6±5,6b
Konsumsi Lemak Kasar
40,8±2,0a
26,9b±2,2
24,8c±1,5
22,4d±0,9
Konsumsi Serat Kasar
108,1±5,4
110,4±9,1
104,1±6,3
105,0±4,3
Konsumsi BETN
431,8±21,7
449,9±36,9
424,7±25,8
455,1±18,6
Konsumsi TDN
149,2a±12,2 109,7b±6,7
116,5b±4,8
525,1±26,3ab 565,0a±46,4 508,1b±30,9 544,9b±22,2
Keterangan : 1) P1 = bungkil kelapa dan urea, P2 = bungkil kelapa dan bungkil kedelai, P3 = bungkil kelapa dan tepung ikan, dan P4 = bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan. 2) Superskrip pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada P <0,05.
22
Jumlah konsumsi bahan kering merupakan faktor penentu yang paling penting untuk menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Menurut Aregheore (2005), konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktivitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak. Konsumsi nutrien pakan juga dipengaruhi oleh kualitas makanan dan kebutuhan energi ternak, semakin baik kualitas makanannya, semakin tinggi konsumsi pakan ternak (Parakkasi, 1999).
Konsumsi Protein Kasar (PK) Protein merupakan zat makanan yang penting bagi pertumbuhan ternak dan juga merupakan bagian terpenting dari jaringan-jaringan tubuh hewan. Konsumsi protein kasar pakan erat kaitannya dengan pertambahan bobot badan yang dikehendaki setiap hari, serta jumlah dan kualitas pakan yang diberikan (Parakkasi, 1999). Konsumsi protein kasar pakan yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Konsumsi protein kasar pakan P2 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan P1, P3, dan P4. Pakan P2 dengan sumber protein kombinasi dari bungkil kelapa dan bungkil kedelai menyebabkan konsumsi protein kasar lebih tinggi dibandingkan dengan pakan P1, P3, dan P4. Tingginya konsumsi protein pada P2 juga dikarenakan kandungan protein kasar yang lebih tinggi jika dibandingkan antara pakan P1, P3, dan P4 (Tabel 8). Tingginya kadungan protein kasar pada pakan P2 diduga karena kombinasi sumber protein dari bungkil kelapa dan bungkil kedelai. Hal ini juga berkaitan dengan konsumsi bahan kering yang tidak berbeda. Sudarman et al. (2008) menyatakan bahwa, konsumsi protein sangat erat kaitannya dengan konsumsi bahan kering sehingga pada penelitian ini, pakan yang memiliki kandungan protein kasar tinggi akan lebih tinggi pula konsumsi protein kasarnya. Kisaran konsumsi protein kasar pada penelitian ini adalah 109,7-149,2 g/ekor/hari. Standar NRC (2006) menyebutkan bahwa, domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan konsumsi protein kasar sebesar 70-122 g/ekor/hari dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 100-200 g/ekor/hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, konsumsi protein kasar domba yang mendapat pakan dengan kombinasi beberapa sumber protein masih masuk dalam kisaran standar NRC (2006). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi protein kasar domba yang mendapatkan pakan
23
sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi beberapa sumber protein sudah tercukupi.
Konsumsi Lemak Kasar (LK) Lemak merupakan zat tidak larut air, bahan organik yang larut dalam pelarut organik (Parakkasi, 1999). Lemak dapat mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya juga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Toha et al., 1999). Konsumsi lemak kasar pakan yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Konsumsi lemak kasar pakan P1 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan P2, P3, dan P4. Pakan sumber serat dari tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein mempengaruhi konsumsi lemak kasar. Konsumsi lemak kasar paling banyak adalah domba yang diberi pakan P1 dengan sumber protein kombinasi dari bungkil kelapa dan urea, kemudian pakan P2 dengan pakan kombinasi bungkil kelapa dan bungkil kedelai, selanjutnya pakan P3 dengan pakan kombinasi bungkil kelapa dan tepung ikan, dan yang paling sedikit adalah pakan P4 dengan kombinasi bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan. Tingginya konsumsi lemak kasar pakan P1 disebabkan pakan P1 memiliki kandungan lemak kasar lebih tinggi dibandingkan P2, P3, dan P4 (Tabel 8). Kandungan lemak yang tinggi pada pakan P1 berasal dari persentase penggunaan bungkil kelapa yang cukup tinggi. Kisaran konsumsi lemak kasar pada penelitian ini adalah 22,4-40,8 g/ekor/hari. Tingginya konsumsi lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Toha et al., 1999). Konsumsi lemak kasar juga dapat dipengaruhi oleh sifat kimia pakan, yaitu salah satunya kandungan asam lemak tak jenuh dalam perlakuan. Konsumsi lemak kasar domba menurut Haddad dan Younis (2004) dalam pakan untuk domba awwasi jantan lepas sapih pada periode pembesaran yaitu sebesar 59 g/ekor/hari.
Konsumsi Serat Kasar (SK) Domba membutuhkan serat pakan yang cukup untuk aktivitas dan fungsi rumen yang normal. Serat pakan mengalami degradasi oleh mikroba yang berperan sebagai penyedia energi untuk mendukung hidup pokok, pertumbuhan, laktasi, dan
24
reproduksi. Konsumsi serat kasar pakan yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Pakan sumber serat dari tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein tidak mempengaruhi konsumsi serat kasar (P>0,05). Hal ini disebabkan kandungan serat kasar pakan antar perlakuan hampir sama (Tabel 8). Sumber serat kasar dan persentase penggunaan tongkol jagung yang sama dapat menyebabkan konsumsi serat tidak berbeda. Konsumsi bahan kering yang tidak berbeda nyata juga berpengaruh terhadap konsumsi serat kasar, sehingga konsumsi serat kasar antara pakan tidak berbeda. Hal ini didukung Toharmat et al. (2006) yang menyatakan bahwa, kandungan serat kasar dan proporsi bahan penyusun pakan sumber serat yang sama menyebabkan konsumsi serat kasar yang sama pula. Serat pakan sebagai sumber energi erat kaitannya dengan proporsi penyusun komponen serat seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Tongkol jagung mengandung NDF yang cukup tinggi, terlihat dari jumlah komponen fraksi serat dinding sel yaitu selulosa 45,88% (Aregheore, 1995), hemiselulosa 26,16%, dan lignin 7% (Perry et al., 2003). Kebutuhan serat kasar dalam pakan domba belum ditetapkan secara jelas dalam standar kebutuhan nutrisi. Kisaran konsumsi serat kasar hasil penelitian ini adalah 104,1-110,4 g/hari. Kecukupan konsumsi serat kasar akan berpengaruh pada asupan nutrisi sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada pertumbuhan. Menurut Toharmat et al. (2006), jenis pakan kaya serat dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering yang selanjutnya mempengaruhi konsumsi nutrien.
Konsumsi Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) BETN merupakan fraksi karbohidrat selain serat kasar yang umumnya mudah tercerna, antara lain pati dan gula. Konsumsi BETN yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Pakan sumber serat dari tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein tidak mempengaruhi konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen (P>0,05). Hal ini disebabkan kandungan BETN dalam pakan antar perlakuan hampir sama (Tabel 8). Konsumsi bahan kering yang tidak berbeda nyata juga berpengaruh terhadap konsumsi BETN, sehingga konsumsi serat kasar antara pakan tidak berbeda.
25
Kisaran konsumsi BETN hasil penelitian ini adalah 424,7-455,1 g/hari. Konsumsi BETN erat kaitannya dengan kecukupan energi. Pemenuhan kebutuhan energi diarahkan pada pemenuhan energi untuk hidup pokok dan kebutuhan energi untuk produksi. Menurut Pond et al. (1995), secara umum nutrisi yang paling membatasi dalam nutrisi ternak domba adalah energi. Konsumsi BETN pada pakan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi beberapa sumber protein berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan.
Konsumsi Total Digestible Nutrien (TDN) Total Digestible Nutrient (TDN) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah dari zat-zat makanan yang dapat dicerna oleh hewan, yang merupakan jumlah dari semua zat-zat makanan organik yang dapat dicerna seperti protein, lemak, serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Konsumsi TDN yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil dari perhitungan berdasarkan rumus Hartadi et al. (1997) diketahui kandungan TDN dalam pakan P1, P2, P3 dan P4 masing-masing adalah 70,85%; 71,96%; 68,06%; dan 71,56% (Tabel 8). Konsumsi TDN pakan P2 nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada P1, P3, dan P4. Faktor pakan dan komposisi pakan sebagai penyebab konsumsi TDN pakan P2 nyata lebih tinggi daripada P1, P3, dan P4. Pakan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi sumber protein dari bungkil kelapa dan bungkil kedelai pada pakan P2 menyebabkan nutrien pakan lebih tinggi dibandingkan pakan P2, P3, dan P4, terutama karena bungkil kedelai yang digunakan mengandung protein kasar yang tinggi. Kisaran konsumsi TDN pada penelitian ini adalah 508,0-565,0 g/ekor/hari. Standar NRC (2006) menyebutkan bahwa, domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan konsumsi protein kasar sebesar 550-990 g/ekor/hari dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 100-200 g/ekor/hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, hanya konsumsi TDN domba yang mendapat pakan P2 yang masuk dalam kisaran standar NRC, sedangkan domba yang mendapat pakan P1, P3, dan P4 masih berada di bawah standar NRC. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan konsumsi TDN domba pada belum tercukupi, kecuali pada domba yang mendapatkan pakan P2.
26
Pertambahan Bobot Badan (PBB) Pertambahan bobot badan merupakan salah satu indikator dari pengujian pakan. Pada umumnya pertumbuhan domba diketahui dengan cara pengukuran terhadap pertambahan bobot badan. Pengukuran bobot badan dapat menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan, dan harga (Parakkasi, 1999). Rataan pertambahan bobot badan domba disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Rataan Pertambahan Bobot Badan
Perlakuan P1 P2 P3 P4
Bobot awal (kg/ekor) 26,7±2,4 26,3±2,2 25,9±1,4 25,8±1,1
Bobot akhir (kg/ekor) 27,8±2,5 28,3±1,8 28,1±1,7 27,1±1,4
PBB(gram/ekor/hari) 39,7±5,0 73,5±22,2 75,8±16,5 43,8±29,7
Keterangan : P1 = bungkil kelapa dan urea, P2 = bungkil kelapa dan bungkil kedelai, P3 = bungkil kelapa dan tepung ikan, dan P4 = bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan.
Pakan P1, P2, P3, dan P4 tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) pada PBB domba. Hasil PBB yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 39,7-75,8 g/ekor/hari, lebih rendah dari hasil penelitian Junaidi et al. (2011), yang menyatakan bahwa PBB domba yang mendapat pakan 30% tongkol jagung berkisar antara 83-97 g/ekor/hari. Hasil penelitian juga lebih rendah jika dibandingkan dengan Yulistiani (2010), yang menyatakan bahwa PBB domba yang mendapatkan pakan berbasis tongkol jagung adalah 146,3-176,2 g/ekor/hari. Hasil penelitian ini belum mencapai target 100 g/ekor/hari. Kandungan protein kasar dan TDN pakan perlakuan (Tabel 8) telah memenuhi standar kebutuhan, namun masih menghasilkan PBB yang rendah. Konsumsi bahan kering yang lebih rendah dari standar diduga menjadi penyebab rendahnya PBB. Menurut Toha et al. (1999), konsumsi bahan kering yang rendah dipengaruhi kandungan serat kasar yang tinggi. Menurut Pond et al. (1995), secara umum nutrisi yang paling membatasi dalam nutrisi ternak domba adalah energi dan protein, sehingga rendahnya konsumsi energi dan protein juga berdampak terhadap rendahnya PBB domba.
27
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Domba Selama Penelitian dengan Pakan Sumber Serat dari Tongkol Jagung dengan Kombinasi Sumber Protein P1 = bungkil kelapa dan urea; P2 = bungkil kelapa dan bungkil kedelai; P3 = bungkil kelapa dan tepung ikan; dan P4 = bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot akhir domba mencapai kisaran 27,1-28,3 kg/ekor (Gambar 3). Ternak yang digunakan juga berumur kurang lebih 1,5 tahun, sehingga domba sudah mencapai pertumbuhan yang lambat. Hal ini dikarenakan ternak yang dipakai adalah domba yang hampir mencapai dewasa tubuh. Hasil akhir pemeliharaan menunjukkan bahwa bobot domba masih masuk dalam kisaran bobot domba lokal. Sebagai gambaran pertumbuhan bobot badan domba, (Inounu et al., 2008) menyatakan bahwa domba garut akan mencapai bobot potong 35 kg pada umur 25,07 bulan dan persilangannya akan mencapai bobot potong 35 kg pada kisaran umur 15-19 bulan. Pakan P3 menghasilkan PBB yaitu 75,8±16,5 g/ekor/hari, karena pakan P3 menggunakan kombinasi sumber protein dari bungkil kelapa dan tepung ikan. Rocha et al. (1995) menyatakan bahwa tepung ikan merupakan bahan pakan sumber ruminally undegradable protein dan kaya akan lisin dan methionin yang merupakan asam amino pembatas pada ternak ruminansia. Hal serupa juga ditunjukkan dengan pakan P2 yang menghasilkan PBB sebesar 73,5±22,2 g/ekor/hari. Menurut Sutardi (1979), perpaduan antara bungkil kelapa dan bungkil kedelai seolah-olah dapat saling menutupi kelemahan masing-masing sehingga menjadi jauh lebih baik, kemungkinan
28
bungkil kelapa yang biasanya defisien akan methionin, kelemahannya itu dapat ditutupi oleh bungkil kedelai.
Konversi Pakan Nilai konversi pakan yang kecil merupakan tujuan utama dalam pemeliharaan domba. Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu unit produksi ternak (Katangole et al., 2009). Rataan konversi pakan yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan Konversi Pakan Perlakuan P1 P2 P3 P4
Konversi Pakan 20,7±1,7 12,8±4,8 11,1±1,5 25,9±14,1
Keterangan : P1 = bungkil kelapa dan urea, P2 = bungkil kelapa dan bungkil kedelai, P3 = bungkil kelapa dan tepung ikan, dan P4 = bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan.
Hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa pakan P1, P2, P3, dan P4 yang diberikan kepada domba tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) pada konversi pakan. Hal ini dikarenakan konsumsi bahan kering pakan dan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan. Konversi pakan bergantung pada konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian (Thalib et al., 2001). Konsumsi bahan kering yang tinggi dan pertambahan bobot badan yang rendah menyebabkan nilai konversi pakan menjadi tinggi. Kisaran konversi pakan dalam penelitian ini adalah 11,1-25,9. Kisaran konversi pakan dalam penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Yulistiani (2010) yang menyatakan bahwa konversi pakan domba yang mendapatkan pakan berbasis tongkol jagung adalah 6,6-7,5. Konversi pakan juga berhubungan dengan kualitas pakan, tingginya nilai konsumsi pakan pada penelitian ini berarti kualitas pakan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi beberapa sumber protein yang berbeda memiliki kualitas pakan yang kurang. Kualitas pakan yang rendah akan menyulitkan ternak dalam mengubah pakan menjadi daging. Jika nilai konversi pakan tinggi maka keuntungan pendapatan yang diperoleh peternak akan rendah.
29
Income Over Feed Cost (IOFC) Income Over Feed Cost (IOFC) adalah salah satu cara untuk menghitung pendapatan dari peternak. Pemeliharaan domba bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang maksimal dari penjualan domba. Komponen utama yang diperhatikan dalam perhitungan ini adalah harga jual domba, harga beli domba, dan biaya pakan. Efisiensi usaha ini dapat dilihat melalui indikator pendapatan setelah dikurangi biaya pakan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai IOFC adalah jumlah konsumsi pakan dan PBB. Besarnya nilai IOFC hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC) Selama 28 Hari Pemeliharaan
Peubah
Satuan
PBB Jumlah Pakan yang Dikonsumsi Harga Pakan Pendapatan* Biaya Pakan** IOFC***
kg
P1 0,040
kg Rp/kg Rp Rp Rp
0,741 1977 55.580 41.030 14.550
Perlakuan P2 P3 0,074 0,076 0,785 2898 102.900 63.706 39.194
0,746 2786 106.120 58.217 47.903
P4 0,044 0,761 2842 61.320 60.589 731
Keterangan : 1) P1 = bungkil kelapa dan urea, P2 = bungkil kelapa dan bungkil kedelai, P3 = bungkil kelapa dan tepung ikan, dan P4 = bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tepung ikan. 2) Asumsi harga bobot hidup domba Rp 50.000/kg 3) *Pendapatan (Rp) = PBB (kg) x Harga bobot hidup (Rp/kg) x 28 hari 4) ** Biaya Pakan (Rp) = Jumlah pakan yang dikonsumsi (kg) x Harga pakan (Rp/kg) x 28 hari 5) *** IOFC (Rp) = Pendapatan (Rp) – Biaya Pakan (Rp)
Harga jual domba adalah Rp 50.000/kg setelah periode pemeliharaan. Pendapatan diperoleh dari perkalian pertambahan bobot badan dengan harga jual ternak dalam bobot hidup, sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan tersebut. Konsumsi BK rata-rata harian setiap perlakuan yaitu, P1 mengkonsumsi 741,2 g/ekor/hari, P2 mengkonsumsi 785,1 g/ekor/hari, P3 mengkonsumsi 746,3 g/ekor/hari, dan P4 mengkonsumsi 761,4 g/ekor/hari. Penelitian ini menggunakan pakan dengan harga berdasarkan bahan kering setiap jenisnya yaitu, pakan P1 seharga Rp 1.977,-/kg, pakan P2 seharga Rp 2.898,-/kg, pakan P3 seharga Rp 2.786,-/kg, dan pakan P4 seharga Rp 2.842,-/kg.
30
Pakan P3 menghasilkan nilai IOFC paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan pakan P3 menghasilkan PBB domba yang tinggi dan nilai konversi yang rendah, sesuai dengan Kasim (2002), yang menyatakan bahwa konsumsi pakan, PBB, dan harga pakan saat pemeliharaan dapat berpengaruh terhadap nilai perhitungan IOFC. Perlakuan dengan pakan P4 menghasilkan IOFC paling rendah dikarenakan PBB yang rendah dan konversi pakan yang tinggi. Perlakuan dengan pakan P1 menggunakan pakan dengan harga paling murah, namun nilai IOFC masih dibawah P2 dan P3, juga dikarenakan PBB yang rendah dan konversi pakan yang tinggi. Jadi harga pakan yang murah belum bisa mengindikasikan IOFC yang tinggi, karena masih dipengaruhi konversi pakan dan PBB.
31