32
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak atau sekelompok ternak selama periode tertentu dan ternak tersebut punya akses bebas pada pakan dan tempat makan. Menurut Choi & Song (2001) konsumsi BK merupakan upaya memenuhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok dan produksi. Peningkatan konsumsi bahan kering disebabkan meningkatnya kecernaan ransum, sehingga laju pengosongan isi rumen berlangsung lebih cepat. Kemampuan ternak mengkonsumsi bahan makanan merupakan hal yang perlu diperhatikan karena erat hubungannya dengan tingkat produksi ternak yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan variasi kapasitas produksi disebabkan oleh makanan pada berbagai jenis ternak ditentukan oleh konsumsi (60%), kecernaan (25%) dan konversi hasil pencernaan produk (15%). Konsumsi pakan dapat diketahui jumlah zat makanan dalam ransum untuk hidup pokok dan produksi. Tabel 7. Rataan hasil pengamatan konsumsi BK, PBB (Pertambahan Bobot Badan), efisiensi pakan sapi PO dengan perlakuan pakan yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat
P1
Konsumsi BK (kg/e/hr) 4.13± 0.62
P2
3.76± 0.60
1.00±0.13
0.27± 0.07
P3
3.88± 0.33
0.73±0.13
0.19± 0.04
P4
3.49± 0.21
0.90± 0.20
0.26± 0.05
Perlakuan
Keterangan: P1= rumput lapang komplit P2= rumput lapang jagung P3= rumput lapang dedak padi P4= rumput lapang onggok
PBB (kg/e/hr)
Efisiensi Pakan
0.97±0.06
0.24 ± 0.04
dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat
Hasil pengamatan terhadap konsumsi nutrien selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap
konsumsi
nutrien (P>0.05). Konsumsi bahan kering harian sapi PO pada penelitian 3.3%
33
dari bobot badan atau 4.7 kg. Rataan konsumsi dari semua taraf perlakuan sebesar 3.8 kg/ekor/hari. Rataan konsumsi bahan kering ini telah memenuhi kebutuhan sapi berdasarkan NRC (2000) dimana sapi dengan bobot 136 kg dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 0.9 kg diperlukan konsumsi sebesar 3.9 kg/ekor/hari. Rataan konsumsi tertinggi selama penelitian terdapat pada ternak sapi yang diberi perlakuan campuran rumput lapang, tepung daun murbei dan konsentrat komplit (P1) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, ternak sapi yang di beri perlakuan menggunakan ransum campuran rumput lapang, tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3), ransum campuran rumput lapang, tepung daun murbei dan konsentrat jagung (P2) dan ransum campuran rumput lapang, tepung daun murbei dan konsentrat onggok (P4). Hal ini menunjukkan bahwa ransum pada penelitian ini memiliki tingkat kesukaan (palatabilitas) yang sama. Perlakuan P4 memiliki tingkat kesukaan terendah karena onggok memiliki bau, rasa dan tekstur yang amba (bulky) kurang disukai oleh ternak. Pernyataan ini sesuai dengan Pond et al. (2005) bahwa palatabilitas ransum dipengaruhi oleh bau, rasa, dan tekstur ransum yang diberikan. Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan tubuh dalam berat badan adalah parameter yang paling umum digunakan dalam pengukuran pertumbuhan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah konsumsi pakan. Hal ini sangat terkait dengan nutrien yang terkandung dalam pakan dan tingkat kecernaan pakan tersebut. Ransum yang memiliki nilai nutrien tinggi dan tingkat palatabilitas yang baik dapat dengan cepat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak selama penggemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan (P>0.05) sebagaimana tergambar pada Gambar 5. Hal ini dikarenakan pemberian ransum secara iso protein pada setiap perlakuan sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata. Kebutuhan BK dan kebutuhan hidup pokok semakin meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup ternak (Kearl
1982; Parakkasi
1999)
sehingga jumlah nutrien yang tersisa untuk pertumbuhan pada sapi penelitian relatif sama.
34
Pada penelitian ini juga didapat hasil pertambahan bobot badan tertinggi pada ternak yang mendapat perlakuan P2 yaitu 1.00 kg/ekor/hari dibanding ternak yang diberi perlakuan P1 (0.97 kg/ekor/hari), P4 (0.90 kg/ekor/hari) dan P3 (0.73 kg/ekor/hari). Hal ini menunjukkan bahwa nilai pertambahan bobot badan harian sebanding dengan ransum yang dikonsumsi. Peningkatan pertambahan bobot badan pada ternak yang diberi perlakuan P2 dipengaruhi oleh nilai konsumsi yang tinggi dan ransum yang diberikan memiliki kualitas yang baik. Perlakuan P2 menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi karena jagung sangat disukai oleh ternak sehingga memiliki palatabilitas yang baik. Tingginya konsumsi pada perlakuan P2 ini karena rendahnya serat kasar jagung yang terdapat dalam pakan perlakuan. Menurut Kim et al. (2004) rendahnya serat kasar akan mempengaruhi kecepatan produksi asam lemak terbang dan sel bakteri sehingga konsumsi TDN menjadi meningkat yang mengakibatkan pertambahan bobot badan .
Keterangan: P1= rumput lapang komplit P2= rumput lapang jagung P3= rumput lapang dedak padi P4= rumput lapang onggok
dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat
Gambar 5. Pertambahan bobot badan ( ) dan konsumsi pakan ( ) yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat
35
Pertambahan bobot badan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 0.73-1 kg/ekor/hari. Hasil ini sebanding dengan laporan Rianto et al. (2007) bahwa sapi PO jantan yang diberi pakan hay rumput gajah, ampas tahu dan umbi kayu mampu mencapai pertambahan bobot badan sebesar 1.09 kg. Pertambahan bobot badan pada penelitian masih sesuai dengan standar NRC (2000) sapi dengan bobot badan 136 kg membutuhkan BK 3.9% untuk menghasilkan pertambahan bobot badan 0.9 kg. Efisiensi Pakan Efisiensi pakan adalah perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Nilai efisiensi pakan memiliki arti penting dalam manajemen produksi ternak sapi pedaging sehingga sering digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Efisiensi pakan merupakan kebalikan dan konversi pakan, semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit. Menurut McDonald et al. (2002), penggunaan pakan oleh ternak akan semakin efisien bila jumlah pakan yang dikonsumsi rendah namun menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Dengan kualitas pakan yang baik maka ternak akan tumbuh lebih cepat dan lebih efisien penggunaan pakannya. Perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap efisiensi pakan (Tabel 6). Nilai efisiensi pakan pada penelitian ini adalah perlakuan P1 sebesar 0.10, P2 sebesar 0.11, P3 sebesar 0.08 dan P4 sebesar 0.10. Efisiensi pakan terendah terdapat pada perlakuan P3 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi) sebesar 0.08 artinya setiap 1 kilogram ransum menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 0.08 kg. Rendahnya efisiensi pada perlakuan P3 ini disebabkan tingginya serat kasar pada dedak padi yang terdapat pada pakan perlakuan. Dedak padi mengandung lignin suatu zat komplek dari bagian tanaman seperti kulit gabah yang sangat sulit dicerna (Anggorodi 1999). Ikatan lignin merupakan penghambat kecernaan dinding sel tanaman. Semakin banyak lignin terdapat dalam dinding sel maka koefisien cerna ransum tersebut semakin rendah. Hal ini senada dengan
36
pernyataan Parakkasi (1999) bahwa pertambahan serat kasar dalam ransum akan menurunkan bobot badan. Income Over Feed Cost (IOFC) Nilai ekonomi pakan perlakuan yang diukur adalah analisis pendapatan yang dihitung berdasarkan Income Over Feed Cost (IOFC). Suatu perusahaan pada umumnya mempunyai tujuan mendapat keuntungan (profit oriented). IOFC dihitung karena≥
70% biaya produksi berasal dari pakan
sehingga dapat
diketahui apakah ransum yang digunakan cukup ekonomis atau tidak. Menurut Boediono (2002), penerimaan adalah penerimaan produsen dari hasil penjualan outputnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Kasim (2002) menyatakan bahwa IOFC dapat dihitung melalui pendekatan penerimaan dari nilai pertambahan bobot badan ternak dengan biaya ransum yang dikeluarkan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan bobot badan selama penggemukan, konsumsi pakan dan harga pakan. Pertambahan bobot badan yang tinggi belum tentu menjamin keuntungan yang tinggi, tetapi biaya pakan yang rendah diikuti dengan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik akan menghasilkan keuntungan yang maksimal. Ternak sapi yang diberi ransum perlakuan menggunakan tepung daun murbei tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai IOFC. Dari Tabel 8. diperoleh nilai IOFC perlakuan P1 (Rp.13.840 per ekor/hari), P2 (Rp. 16.251 per ekor/hari), P3 (Rp. 7.352 per ekor/hari) dan P4 (Rp. 10.837 per ekor/hari). Ransum perlakuan P2 memiliki nilai IOFC tertinggi sebesar Rp. 16.251 per ekor/hari. Dengan demikian ransum perlakuan P2 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung) memiliki nilai ekonomis yang paling besar. Berdasarkan segi kepraktisan, maka pemberian tepung daun murbei ini relatif mudah dilakukan, karena hanya mencampurkan pada pakan utamanya misalnya jagung, dedak padi dan onggok saja. Hasil ini dapat
menjadi
dasar
pemilihan
ransum
P1,
P2,
P3
dan
P4
untuk
diimplementasikan. Pertimbangan penerapan ransum penelitian di lapangan adalah ketersediaan daun murbei dan bahan pakan lainnya. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan palatabilitas daun murbei, antara lain dengan pemberian daun
37
murbei segar atau penambahan bahan lain pada campuran daun murbei kering yang dapat mengurangi debu.
Tabel 8. Hasil perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC) dan R-C ratio sapi PO dengan perlakuan pakan yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat Perlakuan
Peubah
P1
Penerimaan PBHH(Rp)*
P2
33 833,3
P3
P4
35 000,0
25 666,7
31 500,0
1 832
1 964
1 707
1 398
18 261,8
17 650,3
16 030,5
12 120,6
13 840±3.792
16 251±4.395
11 185± 2.845
10 837± 4.993
2.29±0.294
2.57±0.315
1.81±0.646
2.59±0.619
Biaya pembuatan ransum (Rp/kg) Pengeluaran (Rp)** IOFC (Rp/ekor/hari) R-C ratio Keterangan: *) Harga jual sapi yang berlaku pada saat penelitian Rp. 35.000,-/kg bobot hidup **) Koefisien harga pakan dalam bentuk as fed yang berlaku pada saat penelitian: Rumput 150/kg; Jagung kuning Rp. 4.000,-/kg; Bungkil kedelai Rp. 8.000,-/kg; Bungkil kelapa Rp. 2.500,-/kg; Onggok Rp. 1.200,-/kg; Tepung daun murbei Rp. 4200,-/kg; Tetes Rp. 2.500,-/kg; Garam Rp. 2.000,-/kg; Urea Rp. 2.000,/kg; Premix Rp. 15.000,-/kg; DCP Rp. 25.000,-/kg
R-C Ratio Bishop & Toussaint (1979) serta Makin et al. (1980) menyatakan salah satu cara menilai efisien atau tidaknya suatu usaha adalah dengan tetapan "Revenue Cost Ratio", yang merupakan nisbah antara penerimaan usaha dengan pengeluaran usaha. Usaha temak dikatakan efisien atau menguntungkan jika nilai R-C ratio lebih dari 1, sebaliknya jika R-C ratio kurang dari 1 maka usaha tersebut tidak efisien atau merugikan (Teken & Asnawi 1983). Perlakuan tidak mempengaruhi R-C ratio. Hasil analisis ekonomi masingmasing perlakuan pakan yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat pada sapi PO secara rinci ditampilkan pada Tabel 6. Total biaya pembuatan ransum adalah perlakuan P1 sebesar Rp 1 832/kg, perlakuan P2 sebesar Rp 1 964/kg, perlakuan P3 sebesar Rp 1 707/kg dan perlakuan P4 sebesar Rp 1 398/kg, terendah terdapat pada perlakuan P4 dan tertinggi pada perlakuan P2. Hasil perhitungan R-C ratio mulai dari terendah sampai tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar 1.81, perlakuan P1 sebesar 2.29, perlakuan P2 sebesar 2.57
38
dan perlakuan P4 sebesar 2.59 terendah terdapat pada perlakuan P3 dan tertinggi pada perlakuan P4. Analisis estimasi pendapatan perhari pada perlakuan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa daun murbei dan konsentrat onggok) lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan PBBH yang dihasilkan tidak berbeda dengan perlakuan yang lain dan biaya pembuatan ransum yang paling murah. Pendapatan kotor yang dicapai sebesar Rp. 19.379,4/ekor/hari, hasil ini lebih tinggi dari pendapatan usaha penggemukan sapi yang menggunakan pakan tongkol jagung terfermentasi yaitu sebesar Rp. 3.824/ekor/hari (Umiyasih et al. 2007). Nilai R-C ratio pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 masing-masing sebesar 2.29, 2.57, 1.81 dan 2.59 masih sangat menguntungkan karena memiliki nilai R-C ratio > 1 maka perlakuan ransum semacam ini secara ekonomis masih menguntungkan. Nilai R-C ratio pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Amalia et al. (2003) yang menggunakan ransum tongkol jagung fermentasi yang dicampur dengan dedak padi dengan perbandingan 1: 3 yang memiliki nilai R-C ratio sebesar 1.08. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Nilai kecernaan untuk setiap makanan atau setiap ekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: komposisi kimiawi, pengolahan makanan, jumlah makanan yang diberikan dan jenis hewan. Salah satu faktor yang harus dipenuhi dalam bahan makanan adalah tingginya daya cerna bahan makanan tersebut, dalam arti bahwa makanan itu harus mengandung zat makanan yang dapat diserap dalam saluran pencernaan. Zat makanan yang terkandung didalam bahan makanan tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian besar akan dikeluarkan lagi melalui feses karena tidak tercerna dalam saluran pencernaan. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering (P<0.05). Kecernaan bahan kering yang paling tinggi terdapat pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung urea (P2), sedangkan nilai kecernaan terendah pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3) (P<0.05).
39
Kecernaan bahan kering (KCBK) P2 tidak berbeda dengan perlakuan P1 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit) dan perlakuan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok), namun nilai KCBK P3 berbeda dengan P1 dan P4. Nilai KCBK yang tidak signifikan antara P1, P2 dan P4 menunjukkan tepung daun murbei dapat digunakan sebagai substitusi konsentrat baik dengan konsentrat komplit, jagung maupun onggok. Histogram nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik disajikan dalam Gambar 6.
Keterangan: Superskip yang berbeda pada histogram yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) P1= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit P2= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung P3= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi P4= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok
Gambar 6. Kecernaan bahan kering ( ) dan bahan organik ( ) pakan yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat Nilai KCBK yang pada P1 (65.35%), P2 (67.70%) dan P4(61.49%) tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa tepung daun murbei dapat digunakan sebagai bahan campuran konsentrat baik dengan konsentrat komplit, jagung maupun onggok. Berdasarkan uji Duncan dapat dilihat bahwa P2 mempunyai nilai kecernaan bahan kering yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain (Gambar
40
4.). Hal ini terjadi karena tepung daun murbei memberikan efek yang baik pada pakan konsentrat jagung sehingga pada P2 memberikan kecernaan bahan kering lebih tinggi dibandingkan P1, P4 dan P3. Hasil pengamatan produksi VFA rumen P2 menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya (Tabel 9). Penggunaan tepung daun murbei pada konsentrat dedak padi (P3) menyebabkan penurunan nilai KCBK dibandingkan dengan perlakuan P2, P1 dan P4, hal ini disebabkan tingginya serat kasar pada dedak padi sehingga senyawa DNJ pada daun murbei bekerja memperlambat laju metabolisme dan hidrolisis nutrien dalam tubuh ternak. Breitmeier (1997) menyatakan senyawa DNJ dapat menghambat
hidrolisis oligosakarida
menjadi monomer-monomernya. P3
memiliki kombinasi tepung daun murbei dan dedak padi mengandung karbohidrat mudah tercerna (RAC) yang lebih sedikit, sehingga akan menghasilkan bahan kering yang lebih rendah. Arai et al. (1998) menyatakan bahwa DNJ dapat menghambat hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida. Kecernaan Bahan Organik (KCBO) Nilai potensial bahan makanan untuk menyediakan zat-zat makanan tertentu dapat ditentukan dengan analisis kimia, tetapi nilai sebenarnya bagi ternak hanya dapat ditentukan setelah mengalami kehilangan yang tidak dapat dihindari yang terjadi selama pencernaan, penyerapan, dan metabolisme (Mc.Donald et al. 2002). Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa ternak tidak dapat memanfaatkan semua zat-zat makanan yang terdapat dalam pakan. Nilai manfaat suatu pakan dapat diketahui melalui percobaan penentuan daya cernanya pada ternak, karena analisis kimia hanya menggambarkan nilai suatu pakan tanpa nilai manfaatnya (Anggorodi 1999). Perlakuan berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan organik (P<0.05). Pada Gambar 4. terlihat bahwa kecernaan bahan organik ransum tertinggi pada perlakuan P2 sebesar 70.96% dan terendah pada perlakuan P3 sebesar 55.99% (P<0.05). Perbedaan kecernaan bahan organik ini berhubungan dengan komposisi kimia dari pakan perlakuan yang dapat mempengaruhi daya cerna pakan. Selain itu daya cerna dari suatu pakan tergantung pada keseimbangan dari zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya.
41
Kecernaan bahan organik (KCBO) P2 tidak berbeda dengan perlakuan P1 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit) dan perlakuan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok). Hasil ini menunjukkan bahwa ransum perlakuan P1, P2 dan P4 mampu menyediakan energi dan protein yang optimal bagi pertumbuhan mikrobial rumen sehingga kecernaan nutrien meningkat. Namun nilai KCBK P3 berbeda dengan P1, P2 dan P4. Rendahnya kecernaan bahan organik (KCBO) P3 yang mengandung dedak padi disebabkan kandungan anti nutrisi berupa silika sehingga mikroba rumen kesulitan mencerna bahan pakan tersebut. Kandungan serat kasar pada perlakuan P3 ini sebesar 14.70%. Tingginya serat pada perlakuan P3 karena ransum banyak mengandung dedak padi yang memiliki kandungan lignin. Ikatan lignin merupakan penghambat kecernaan dinding sel tanaman, suatu zat kompleks dari bagian tanaman seperti kulit gabah yang sangat sulit dicerna (Anggorodi 1999). Semakin banyak lignin terdapat dalam dinding sel maka koefisien cerna ransum tersebut semakin rendah, sehingga ketersedian energi dan protein kurang optimal bagi pertumbuhan mikroba rumen mengakibatkan kecernaan bahan organik lebih rendah. Perry et al. (2003) menjelaskan bahwa bahan pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi akan menurunkan nilai kecernaan zat-zat makanan lainnya karena untuk mencerna serat kasar diperlukan banyak energi. Kecernaan Protein Kasar Perlakuan tidak berbeda nyata terhadap kecernaan protein kasar (P>0.05). Kecernaan PK tertinggi terdapat pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa daun murbei dan konsentrat komplit (P1) sedangkan kecernaan PK terendah terdapat pada sapi yang mendapatkan perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa
daun murbei dan
konsentrat onggok (P4). Kecernaan Protein Kasar pada perlakuan P4 cenderung lebih rendah dibanding dengan P1, P2 dan P3 karena kandungan protein bahan pakan memang rendah yaitu 11.64% sehingga menghasilkan kecernaan protein kasar yang lebih rendah dari yang lain (Tabel 9). Penelitian Yulistiani et al. (2007) degradasi protein tepung daun murbei akan sangat efisien bagi produksi mikroba rumen jika
42
disuplementasi dengan karbohidrat yang mudah terfermantasi dalam rumen. Hal ini sesuai dengan data kecernaan protein kasar yang tidak berbeda antar perlakuan baik P1, P2, P3 dan P4. Perlakuan P1 yang mengandung campuran jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, onggok dan dedak padi memiliki kandungan korbohidrat yang mudah terfermentasi oleh rumen.
Tabel 9. Kecernaan protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan BETN pakan yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat Peubah
Perlakuan P1
P2
P3
P4
Kecernaan PK (%)
74.49±3.52
72.91±2.87
72.09±5.89
71.29±4.47
Kecernaan SK (%)
61.87±7.46a
63.11±5.49a
39.08±11.83b
59.51±5.02a
Kecernaan LK (%)
59.54±10.51a
59.13±10.99a
75.43±12.93a
44.73±14.54b
74.29±4.55a
76.18±5.63a
62.62±6.75b
72.93±5.16a
Kecernaan BETN (%)
Keterangan: Superskip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) P1= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit P2= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung P3= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi P4= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok PK= Protein Kasar , SK= Serat Kasar, LK= Lemak Kasar, BETN= Bahan ektrak tanpa Nitrogen
Kecernaan Serat Kasar Perlakuan nyata (P<0.05) mempengaruhi kecernaan serat kasar. Kecernaan serat kasar yang paling tinggi terdapat pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung (P2), sedangkan nilai kecernaan terendah pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3) (P<0.05). Kecernaan serat kasar P2 tidak berbeda dengan perlakuan P1 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit) dan perlakuan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat
43
berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok), namun nilai serat kasar P3 berbeda dengan P1 dan P4. Kecernaan serat paling tinggi terdapat pada sapi yang diberi perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung (P2), sedangkan yang paling rendah terdapat pada sapi yang diberi perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3). Tingginya kecernaan serat pada sapi yang diberi perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung (P2) diduga karena berkembangnya bakteri pencerna serat dalam rumen dengan baik dan didukung banyaknya serat dalam pakan. Kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada sapi ditentukan oleh kandungan zat makanan pakan dan aktivitas mikroba rumen terutama bakteri serta interaksi dari kedua faktor tersebut (Putra 1999). Kandungan serat yang terdapat dalam daun murbei lebih mudah didegradasi dibandingkan serat pada konsentrat yang berbahan bijibijian. Sumber serat perlakuan P3 berasal dari dedak padi (35.7% dari total serat kasar pakan) yang banyak mengandung silika, sehingga mengakibatkan sulit mencerna pakan. Astuti & Sastradipraja (1999) menyatakan
ternak yang
mengkonsumsi pakan yang mengandung silika memiliki kecernaan yang rendah. Berbeda dengan P2 sumber serat berasal dari jagung (35.58% dari total serat kasar pakan) yang merupakan sumber serat sehingga menghasilkan kecernaan serat pakan yang lebih baik. Kecernaan Lemak Kasar Perlakuan pakan tepung daun murbei dengan kombinasi konsentrat yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan lemak kasar. Kecernaan lemak kasar yang paling tinggi terdapat pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3), sedangkan nilai kecernaan terendah diperoleh pada sapi dengan perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok (P4) (P<0.05). Kecernaan lemak kasar P3 tidak berbeda dengan perlakuan P1 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit) dan perlakuan P2 (rumput lapang dan pakan
44
konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung), namun nilai lemak kasar P4 berbeda dengan P1 dan P2. Penggunaan tepung daun murbei pada pakan nyata menurunkan kecernaan lemak kasar pakan. Hal ini ditandai dengan kecernaan lemak kasar pakan yang berbeda nyata pada setiap perlakuan. Kecernaan lemak kasar paling tinggi terdapat pada sapi yang diberi perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3), karena kandungan nutrisi dedak padi banyak mengandung lemak kasar membuat mikroorganisme tidak berjalan baik dalam fermentasi sehingga aktivitas lipase tidak mampu mendegradasi lemak kasar. Kecernaan lemak yang paling rendah terdapat pada sapi yang diberi perlakuan perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok (P4) karena nutrien pada onggok memenuhi kecukupan nutrisi mikroorganisme sehingga fermentasi berjalan baik dengan adanya aktivitas lipase sebagai pendegradasi lemak kasar (Wiseman et al. 1990). Kecernaan BETN Perlakuan nyata (P<0.05) berpengaruh terhadap kecernaan BETN dimana perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung (P2) memiliki nilai tertinggi dibanding perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3), perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok (P4) dan perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit (P1) yaitu sebesar 76.18% banding 62.62%, 72.93% dan 74.29%. Seperti diketahui perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung (P2) memiliki kandungan BETN dan protein tinggi yang masing-masing berperan sebagai kerangka karbon dan sumber NH 3 serta energi untuk mendukung sintesis protein mikroorganisme rumen. Kandungan protein dan BETN yang seimbang akan berperan sebagai kerangka karbon dan sumber NH3 serta energi untuk mendukung sintesa protein mikroorganisme rumen (Andrew et al. 1995)
45
Retensi Nitrogen Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein adalah menghitung nilai neraca nitrogen. Semakin tinggi nilai retensi nitrogen, semakin sedikit nitrogen yang terekskresi ke urine sehingga kualitas protein ransum semakin baik karena sebagian besar protein ransum yang tercerna dapat terdeposit ke dalam tubuh. Hasil sidik ragam memperlihatkan perlakuan nyata (P<0.05) berpengaruh terhadap retensi nitrogen. Retensi nitrogen yang paling tinggi terdapat pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa
tepung daun murbei dan konsentrat komplit (P1)
sedangkan nilai kecernaan terendah pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok urea (P4) (P<0.05). Tabel 10. Retensi nitrogen, NPU dan nilai biologis pakan yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat Perlakuan Peubah P1
P2
P3
P4
(gram/ekor/hari)
58.80±9.58a
44.24±4.97b
42.38±3.99bc
33.44±8.73c
NPU (%)
55.04±10.43
46.07±2.85
43.42±3.13
38.10±8.41
Nilai Biologis (%)
73.59±10.75
63.36±6.26
60.65±7.84
53.05±9.18
Retensi Nitrogen
Keterangan: Superskip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) P1= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit P2= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung P3= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi P4= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok
Retensi nitrogen P1 berbeda nyata dengan perlakuan P2 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung), P3 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak
46
padi) dan perlakuan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok) namun nilai retensi nitrogen P2 tidak berbeda dengan P3 dan nilai retensi P3 tidak berbeda dengan P4 (Tabel 10). Kualitas protein ransum P1 yang tinggi dimungkinkan oleh kandungan asam amino yang lengkap pada daun murbei dan banyaknya kandungan protein murni yang lebih tinggi. Seluruh jenis asam amino terkandung dalam daun murbei, bahkan ± 95% protein kasar yang teranalisis adalah protein murni (Machii et al. 2002). Meskipun mikroba selulolitik mampu menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen utama, protein murni (true protein) dalam ransum selalu lebih unggul dibandingkan dengan urea dalam memacu kecernaan fraksi serat pakan (McAllister et al. 1994). Hasil penelitian mengungkapkan tepung daun murbei dapat digunakan bersama dengan sumber karbohidrat seperti jagung, dedak padi dan onggok, sehingga kecernaan serat pakan dapat lebih baik. Nilai retensi nitrogen pada penelitian ini berkisar antara 33.44-58.80 gram/ekor/hari. Penelitian Yan et al. (2007) pada sapi potong yang diberi silase hijauan memiliki retensi nitrogen sebesar 37±18.6 gram/ekor/hari. Neraca nitrogen yang dihasilkan pada penelitian ini bernilai positif artinya nilai nitrogen yang masuk lebih tinggi disbanding nilai nitrogen yang keluar. Neraca nitrogen bernilai positif menandakan bahwa ada protein yang ditimbun dalam tubuh. Mc Donald et al. (2002) menyatakan bahwa protein tersebut tidak hanya digunakan untuk hidup pokok tetapi dapat
digunakan untuk produksi dan pertumbuhan
protein jaringan tubuh. NPU (Net Protein Utilization) Nilai NPU sebagai rasio dari nitrogen teretensi dan nitrogen terkonsumsi yang semakin tinggi maka kualitas protein pakan akan semakin baik . Hasil sidik ragam memperlihatkan perlakuan tidak berpengaruh terhadap retensi nilai NPU. Berdasarkan Tabel 8 nilai NPU konsentrat berupa
perlakuan P1 (rumput lapang dan pakan
tepung daun murbei dan konsentrat komplit), P2 (rumput
lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung), P3 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa
tepung daun murbei dan
konsentrat dedak padi) dan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok) tidak berbeda nyata (P>0.05).
47
Nilai NPU yang paling tinggi terdapat pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit (P1), sedangkan nilai kecernaan terendah pada sapi yang mendapat perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok urea (P4) (P>0.05). Hasil penelitian ini mengungkapkan nilai retensi nitrogen tidak jauh berbeda. Jumlah nitrogen yang tereksresi ke urin sama, sehingga kualitas protein ransum sama baiknya, karena sebagian besar protein ransum yang tercerna dapat terdeposit ke dalam tubuh (Syahrir 2009). Meskipun tidak berbeda nyata, kualitas ransum P1 yang tinggi dimungkinkan oleh kandungan asam amino yang lebih lengkap yang terdapat dalam tepung daun murbei dan konsentrat komplit dibandingkan dengan ransum P4 kandungan asam amino diperoleh dari tepung daun murbei dan konsentrat onggok saja. Nilai Biologis Nilai biologis merupakan rasio dari nitrogen teretensi dan nitrogen tercerna, semakin tinggi nilai biologis maka kualitas protein pakan semakin baik. Berdasarkan Tabel 9, nilai biologis perlakuan P1 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa
tepung daun murbei dan konsentrat komplit), P2 (rumput
lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung), P3 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa
tepung daun murbei dan
konsentrat dedak padi) dan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok) tidak berbeda (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun murbei yang dicampur dengan konsentrat komplit, jagung, dedak padi maupun onggok masih mengandung protein yang berkualitas baik. Nilai biologis pada penelitian ini berkisar antara 53.05-73.59%. Berdasarkan nilai biologis perlakuan P1 sebesar 73.59%, perlakuan P2 sebasar 63.36%, perlakuan P3 sebesar 60.65% dan perlakuan P4 sebesar 53.05%. Walaupun tidak berbeda nyata kualitas protein ransum P1 yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino yang lengkap yang terdapat pada bahan penyusun pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit. Muir et al. (1998) menyatakan pakan yang memiliki asam amino yang lengkap menghasilkan nilai biologis yang baik.
48
Kadar Amonia Konsentrasi NH 3 rumen merupakan salah satu cara untuk menilai fermentabilitas protein pakan dan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikroba rumen, juga merupakan salah satu kunci bagi sintesis protein mikroba rumen. Apabila kandungan protein pakan rendah atau protein pakan tahan degradasi, maka konsentrasi ammonia rumen akan rendah dan sintesis mikroba rumen terhambat yang pada akhirnya pemecahan karbohidrat menjadi lambat. Sebaliknya apabila konsentrasi ammonia yang dilepas dari sumber nitrogen bukan protein (misalnya: urea) terlalu cepat dan melebihi kecepatan penggunaannya oleh mikroba rumen, maka ammonia akan terakumulasi dalam darah sehingga dapat mengakibatkan racun (toxic) bagi ternak (Rule et al. 1986). Tabel 11. Amonia rumen, VFA total dan alantoin urin pakan yang mengandung tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat Perlakuan Peubah N- NH3 (mM)
P1
P2
P3
P4
8.10±4.80
11.30±6.22
9.30±4.30
13.30±5.70
80.52±5.62
123.70±64.64
100.43±39.34
98.71±28.04
0.29±0.12
0.83±0.25
0.87±0.44
1.83±0.28
VFA Total (mM) Alantoin Urin (g/h)
Keterangan: P1= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit P2= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung P3= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi P4= rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok
Konsentrasi
amonia
rumen
dari
masing-masing
perlakuan
tidak
memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Pada Tabel 11 terlihat bahwa kadar amonia ransum dari yang tertinggi sampai terendah pada perlakuan P4 sebesar 13.30 mM, P2 sebesar 11.30 mM, P3 sebesar 9.30 mM dan P1
49
sebesar 8.10 mM (P>0.05). Fenomena ini menunjukkan bahwa tepung daun murbei mampu meredam laju pelepasan NH
3
dari kompleks konsentrat komplit,
konsentrat jagung, konsentrat dedak padi, dan konsentrat onggok, sehingga pasokan NH dalam rumen dapat terkendali. Perbedaan diantara sumber protein 3
dalam ransum menghasilkan perbedaan kadar amonia, menggambarkan tingkat degradasi protein ransum yang berbeda-beda seperti yang dilaporkan oleh Kanjanapruthipong et al. (2002). Tidak ada perbedaan konsentrasi amonia antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki tingkat degradasi protein yang sama dan efisiensi penggunaan amonia yang sama. Konsentrasi amonia yang dihasilkan dari keseluruhan perlakuan berkisar antara 10.81- 13.93 mM. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM. Konsentrasi amonia terendah dihasilkan dari perlakuan P3, meskipun konsentrasi amonia tersebut tidak berbeda nyata dengan P1, P2 dan P4. Hal ini menunjukkan bahwa ransum perlakuan P4, P2, P3, dan P1 memiliki
kadar urea yang tidak jauh
berbeda. Kadar urea pada konsentrat perlakuan P4 sebesar 1.5%, P2 sebesar 1.2%, P3 sebesar 1% dan P1 sebesar 0.5% masing-masing menghasilkan kadar amonia sebesar 13.30 mM, 11.30 mM, 9.30 mM dan 8.10 mM. Hal ini sesuai dengan penelitian Hassan dan Ishida (1990) bahwa penambahan urea pada fermentasi daun kelapa sawit akan semakin meningkatkan kandungan N-NH 3 (3% urea kandungan N-NH 3 nya 0,58 sedangkan pada 6% urea kandungan N-NH 3 nya 1,12). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi level urea yang diberikan akan meningkatkan kandungan N-NH 3 . VFA Total Rumen Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrien seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Pada
sistem pencernaan, bahan
makanan mengalami perombakan bentuk dan sifat-sifat fisik dan kimianya melalui proses pencernaan mekanik di mulut, pencernaan mikroba (fermentatif) di rumen serta pencernaan enzimatik dengan bantuan enzim dalam saluran
50
pencernaan pasca rumen. Pencernaan fermentatif merupakan usaha merombak senyawa yang komplek menjadi bahan mudah diserap dengan bantuan mikroba rumen dan menghasilkan asam lemak volatile (Volatile Fatty Acids/ VFA). Hasil pencernaan fermentatif karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia. VFA merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat berupa asam asetat, propionat dan butirat, serta gas CH 4 dan CO 2 sebagai hasil samping (Arora 1989). Secara umum, semakin tinggi konsentrasi VFA mengindikasikan proses fermentasi semakin efektif, meskipun demikian konsentrasi VFA yang terlampau tinggi dapat berdampak mengganggu keseimbangan sistem rumen. Perlakuan tidak berpengaruh terhadap produksi VFA dalam rumen (P>0.05) dimana perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat komplit (P1) memiliki nilai terendah dibanding perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok (P4), perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat dedak padi (P3) dan perlakuan rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat jagung (P2) yaitu sebesar 80.52 mM banding 98.71 mM, 100.43 mM dan 123.70 mM. Keempat perlakuan ini tidak jauh berbeda seperti pada penelitian France & Dijkstra (2005) yaitu kisaran normal VFA antara 70 sampai 130 mM. Konsentrasi VFA total berkisar 60 – 120 mM (Waldron et al. 2002). Nilai tersebut masih berada pada kisaran konsentrasi VFA yang menunjang kondisi optimal sistem rumen. Produksi VFA yang semakin meningkat seiring dengan penggunaan daun murbei dalam ransum yang semakin tinggi, sampai level 37.5% dalam ransum (P0 sampai P3) mengindikasikan adanya peran murbei dalam meningkatkan kualitas fermentasi rumen (Syahrir 2009). Pada perlakuan P2 memiliki konsentrasi VFA paling tinggi disebabkan adanya sinkronisasi C dan N antara DNJ dalam tepung daun murbei dengan karbohidrat mudah tercerna (RAC) pada konsentrat jagung sehingga memberi efek positif pada perkembangan bakteri rumen. Energi awal, bakteri rumen pencerna serat kasar akan mencerna RAC pada konsentrat jagung terlebih dahulu kemudian mencerna serat kasar pada tepung daun murbei dan rumput lapang
51
untuk menghasilkan VFA serta gas CH 4 dan CO 2 sebagai hasil sampingan (Saddul et al. 2005). DNJ pada perlakuan P2 memperlambat proses hidrolisis pakan dalam rumen, sehingga ketersediaan RAC menjadi lebih seimbang dan membuat kondisi rumen tetap stabil dalam fermentasi yang mengakibatkan terbentuknya VFA yang lebih banyak. Pada perlakuan P1 konsentrasi VFA total sama dengan hasil penelitian Sutardi (1980) yaitu sebesar 80-160 mM hal ini diduga karena komposisi DNJ dan RAC sudah seimbang sehingga menghasilkan VFA yang hampir sama dan tidak berbeda dengan perlakuan P4, P3 dan P2. Produksi VFA yang tidak berbeda pada setiap perlakuan merupakan cerminan efisiensi penggunaan amonia oleh bakteri untuk sintesis protein mikroba dan pertumbuhan. Selanjutnya bakteri tersebut akan mencerna pakan untuk memproduksi VFA yang akan digunakan sebagai sumber energi untuk induk semang dan sumber karbon untuk bakteri. Alantoin Urin Alantoin dalam urin dapat mengestimasi besarnya penyedia protein mikroba rumen terhadap induk semangnya (Chen et al. 1992). Jika ekskresi alantoin dalam urin tinggi sebagai indikasi bahwa protein banyak yang diserap oleh mikroba rumen dan terjadi proses katabolisme. Meningkatnya pertumbuhan bakteri rumen tercermin dari meningkatnya sintesis protein mikroba. Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi Alantoin urin (P>0.05). Produksi alantoin urin perlakuan P4 tidak berbeda nyata (P>0.05) dibanding perlakuan P3, P2 dan P1, yaitu 1.83 g/h banding 0.87, 0.83 dan 0.29 g/h. Perlakuan P4 (rumput lapang dan pakan konsentrat berupa tepung daun murbei dan konsentrat onggok) mendukung perkembangan mikroba rumen yang baik untuk proses fermentasi dengan indikator ekskresi alantoin urin yang lebih tinggi dibandingkan ransum rumput lapang dan tepung daun murbei. VFA total yang diperoleh dari ransum P4 tidak berbeda nyata dengan ternak yang diberi perlakuan P3, P2 dan P1, namun kadar alantoin urin ransum P4 memiliki nilai terendah yang menggambarkan rendahnya perkembangan bakteri rumen dan akan berdampak pada tingkat degradasi pakan yang menjadi rendah pula. Hal tersebut diduga karena murbei berpotensi sebagai bypass protein sehingga sebagian protein kasar dicema di pasca rumen yang menyebabkan kecernaan di rumen menjadi
52
rendah dan berakibat terhambatnya perkembangan mikroba rumen (Kimura et al. 2004).