HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit Karakteristik fisik silase diamati setelah silase dibuka. Parameter yang dilihat pada pengamatan ini, antara lain: warna, aroma silase, tekstur (Saun & Heinrichs (2008), perhitungan silase yang menggumpal (terkontaminasi jamur), dan tingkat kerusakan silase ransum komplit setelah tiga minggu dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit Parameter
Perlakuan T
D
Warna
Hijau agak kecoklatan
Hijau kekuningan
Aroma
Asam dan ammonia
Asam
Tekstur
Lepas dan menggumpal
Lepas danada sedikit menggumpal
Silase menggumpal(Kg)
3,5
0,003
Kerusakan(%)
9,00
2,59
Keterangan: T: silase ransum komplit pada silo Trench, D: silase ransum komplit pada silo Drum
Warna Silase Pengamatan silase ransum komplit berbasis hijauan rumput gajah dan daun rami pada kedua silo menunjukkan warna yang berbeda, yaitu hijau kekuningan dan hijau agak kecoklatan. Perlakuan D memiliki warna yang lebih mendekati warna asal bahan yaitu: hijau kekuningan,sehingga digolongkan pada silase berkualitas baik sekali, sedangkan perlakuan T memiliki warna hijau agak kecoklatan, sehingga silase yang dihasilkan termasuk silase berkualitas baik. Saun dan Heinrichs (2008) yang menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik akan memiliki warna seperti bahan asalnya. Selain itu kadang pada silase juga ditemukan sedikit warna putih, seperti silase pada perlakuan D. Menurut Saun & Heinrichs (2008) bahwa warna silase menunjukkan permasalahan yang terjadi selama proses fermentasi dan warna putih pada silase menunjukkan adanya
pertumbuhan jamur. Besarnya kontaminasi silase oleh jamur dapat dilihat pada Tabel 10. Berikut ini adalah gambar silase ransum komplit pada silo trench dan silo drum (Gambar 5 & 6).
Gambar 5. Silase pada T1, T2, dan T3
Gambar 6. Silase pada D1, D2, dan D3
Aroma Silase Pada pengamatan aroma, perlakuan D termasuk dalam silase berkualitas sangat baik, yaitu memiliki aroma asam khas silase. Aroma ini dihasilkan dari aktivitas fermentasi oleh bakteri asam laktat, sedangkan silase pada perlakuan T termasuk dalam silase berkualitas baik, karena pada perlakuan T terdapat aroma asam dan amonia. Aroma amonia ini disebabkan oleh adanya aktivitas fermentasi bakteri
Clostiridia. Bakteri ini menyebabkan terjadinya proteolisis dan sebagai salah satu indikator terjadinya proteólisis adalah terbentuknya amonia. Bakteri ini dapat berkembang jika keadaan anaerob terganggu (Saun & Heinrichs, 2008).
Tekstur dan Silase yang Menggumpal Salah satu karakteristik fisik silase berkualitas baik yakni bertekstur utuh (lepas) (Haustein, 2003). Penilaian parameter tekstur dikaitan dengan parameter jumlah silase yang menggumpal, agar penilaian karakteristik fisik (parameter tekstur) dapat dijelaskan secara kuantitatif. Pada pengamatan karakteristik parameter tekstur silase, perlakuan D memiliki tekstur dominan lepas dan ada sedikit bagian yang menggumpal sebesar 0,003Kg dari total silase yang disimpan (100Kg). Pada perlakuan T, juga terdapat tekstur yang agak menggumpal dengan proporsi rata-rata sebesar 3,5Kg dari total silase yang disimpan (350Kg) dan bagian silase lainnya memiliki tekstur lepas. Saun & Heinrichs (2008), menyatakan bahwa terjadinya penggumpalan dan keberadaan lendir disebabkan oleh adanya aktivitas organisme pembusuk. Keadaan ini dapat terjadi, apabila ada udara yang masuk ke dalam silo sehingga aktivitas metabolisme organisme berjalan lagi. Perlakuan T memiliki jumlah silase yang menggumpal lebih besar daripada perlakuan D. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi mikroorganisme aerob pembusuk lebih besar pada perlakuan T. Besarnya kontaminasi tersebut dipengaruhi oleh tingginya keadaan anaerob yang terganggu. Perlakuan T memiliki bentuk permukaan silo yang tidak merata yang menyebabkan keadaan anaerob yang ideal agak sulit terjadi. Bentuk permukaan silo juga menentukan besarnya peluang terjadinya kontak antara silase dengan oksigen selama ensilase. Bunker silo dengan bentuk permukaan yang tidak teratur dan tidak merata memiliki peluang lebih luas, kontak dengan oksigen pada bagian permukaan silase, sehingga kesempatan lebih besar pada peningkatan aktivitas mikroba (Saun & Heinrichs, 2008).
Tingkat Kerusakan Silase Hasil pengamatan terhadap parameter tingkat kerusakan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan silase pada perlakuan T lebih tinggi sebesar 9,00% daripada perlakuan D yang hanya 2,59%. Tingginya tingkat kerusakan silase disebabkan oleh adanya organisme pembusuk (maggot) atau jamur yang merusak bagian permukaan silase pada perlakuan. Organisme pembusuk dapat hidup apabila ada udara (Oksigen) yang masuk ke dalam silo, baik karena bentuk permukaan silo, kerenggangan penutup terpal atau karena proses pemapatan yang kurang baik. Secara umum, jenis silo yang berbeda berpengaruh terhadap penilaian parameter karakteristik fisik dari silase ransum komplit. Besar nilai kerusakan kedua perlakuan masih dalam kisaran kerusakan yang dapat ditoleransi, seperti yang dilaporkan Church & Pond (1988) bahwa pada proses ensilasi, besar kerusakan yang dapat ditoleransi akibat pembusukan adalah sekitar 4-12%. Namun, secara ekonomis kerusakan silase akan berdampak kurang baik pada biaya produksi, sehingga perlu dilakukan langkah antisipasi terjadinya kerusakan silase, salah satunya, dengan melakukan pemapatan yang baik dan memastikan silase dalam keadaan tanpa udara.
Karakteristik Fermentatif Silase Ransum Komplit Hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase ransum komplit diperlihatkan pada Table 11. Ada beberapa parameter yang diamati antara lain: kadar bahan kering (%), kehilangan bahan kering (%), VFA (Volatile Fatty Acid), kadar protein kasar (%), NH3, perombakan protein kasar (%), WSC (Water soluable carbohydrate), dan perhitungan Nilai fleigh.
Nilai pH Silase Pada penilaian karakteristik fermentatif silase, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda (trench silo dan drum silo) tidak berpengaruh nyata pada nilai pH yang dihasilkan. Nilai pH pada kedua perlakuan kurang dari 4,4 dan masih tergolong kisaran pH silase yang baik. Menurut McDonald (1973) kisaran pH yang optimal untuk proses pengawetan dalam pembuatan silase yaitu sekitar 3,8-4,4.
Besarnya nilai pH ini dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat terlarut (WSC) dalam bahan pakan yang akan digunakan oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam organik dan dipengaruhi oleh kandungan protein yang mempengaruhi kapasitas buffer silase (Chen & Weinberg, 2008). Apabila kadar WSC bahan awal silase tinggi, maka subrat yang dibutuhkan bakteri asam laktat untuk memproduksi asam organik semakin banyak dan pH asam akan cepat dicapai. Berbeda pengaruhnya jika menggunakan bahan silase dengan kandungan protein kasar yang cukup tinggi, maka pencapaian pH akan menjadi lebih lambat, karena kapasitas buffer silase menjadi lebih besar, sehingga pH menjadi sulit untuk turun (Despal et al., 2011). Hal tersebut menjadi salah satu alasan penggunaan bahan hijauan silase yang dikombinasikan dengan bahan aditif lainnya untuk menghasilkan silase ransum komplit yang berkualitas baik. Berikut ini adalah table hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase ransum komplit, diperlihatkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Pengamatan Karakteristik Fermentatif Silase Ransum Komplit Parameter
Perlakuan T
D
4,38 ± 0,10
3,60 ± 0,54
22,07b ± 0,46
28,89a ± 1,19
8,05 ± 2,72
5,12 ± 2,62
10,56 a ± 0,46
3,74 b ± 1,19
17,24 ± 6,97
19,03 ± 4,82
NH3 (mM)
0,81 ± 0,40
0,84 ± 0,11
Perombakan PK (%)
4,69 ± 0,91
4,56 ± 1,04
WSC (%)
2,20a ± 0,12
1,37b ± 0,08
NF
74,00 ± 3,92
118,78 ± 21,51
pH Kadar Bahan Kering (%) VFA (mM) Kehilangan BK (%) Kadar Protein Kasar (%)
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05)
Kadar Bahan Kering (BK), Kehilangan BK , dan Kadar VFA (Volatile Fatty Acid) Berdasarkan tabel 11. jenis silo yang berbeda berpengaruh nyata pada besarnya nilai bahan kering (BK) yang dihasilkan (P<0,05). Nilai BK yang diperoleh pada perlakuan T sebesar 22,07b ± 0,46% dan pada perlakuan D sebesar 28,89a ± 1,19%. Perbedaan nyata pada kadar bahan kering silase yang dihasilkan akan mempengaruhi perhitungan besarnya kehilangan bahan kering. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil uji sidik ragam pada parameter kehilangan bahan kering, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda berpengaruh nyata pada kehilangan BK (P<0,05). Kehilangan BK pada perlakuan T sebesar 10,56
a
±
0,46%, sedangkan pada perlakuan D sebesar 3,74 b ± 1,19 %. Kadar BK yang dihasilkan pada perlakuan T lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar BK pada perlakuan D. Begitu pula dengan perhitungan kehilangan BK yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk silo dapat mempengaruhi kadar bahan kering silase yang dihasilkan. Perlakuan T memiliki permukaan silo yang lebih luas dan tidak teratur, sehingga memungkinkan terjadinya kontak dengan udara yang lebih besar sehingga proses ensilase terganggu dan terjadi penguraian bahan kering yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan D yang memiliki permukaan silo yang lebih teratur, sehingga proses ensilase di dalam silo berlangsung lebih optimal dan menghasilkan bahan kering silase yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Saun & Heinrichs (2008) bunker silo dengan bentuk permukaan yang tidak teratur dan tidak merata memiliki peluang lebih luas, kontak dengan oksigen pada bagian permukaan silase, sehingga peningkatan aktivitas metabolisme mikroba lebih besar. Kadar bahan kering (BK) yang dihasilkan dari silase ransum komplit pada kedua silo juga dipengaruhi oleh BK bahan awal silase. Penambahan sumber karbohidrat dengan bahan kering tinggi, seperti dedak halus, pollard, jagung halus, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa, menghasilkan BK bahan awal silase sebesar 32, 63%. Target BK bahan silase ini sudah sesuai dengan rekomendasi Cavallarin et al. (2005) yaitu minimal 32%. Silase yang baik, memiliki kadar air hijauan sebesar 60%–70%. Hal ini dimaksudkan agar kandungan karbohidrat terlarut air bahan tinggi, sehingga BAL
dapat tumbuh dengan baik menghindari pertumbuhan jamur dan mikroba merugikan, menurunkan kehilangan bahan kering (BK), dan protein kasar (PK) selama ensilasi (Nishino et al., 2003). Selain itu, semakin tinggi air yang dihasilkan selama ensilase, maka kehilangan BK semakin meningkat. Peningkatan level aditif diduga memacu aktivitas fermentasi sehingga menyebabkan produksi air juga meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan kehilangan BK silase sehingga kandungan BK silase menurun. Selain itu, kehilangan BK juga dapat disebabkan oleh proses respirasi yang terlalu lama. Proses respirasi dapat terus terjadi apabila masih terdapat oksigen (udara). Banyaknya VFA pada silase menggambarkan indikator perombakan bahan organik (Ørskov & Ryle, 1990). Nilai VFA pada perlakuan T sebesar 8,05 ± 2,72 mM, sedangkan pada perlakuan D sebesar 5,12 ± 2,62 mM. Pada parameter ini, jenis silo yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata pada produksi VFA. Hal ini diperkiran bahwa perombakan bahan kering silase,tidak hanya dihasilkan dalam bentuk VFA silase, namun juga dalam bentuk energi panas yang pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran panas yang hilang selasa ensilase., seperti yang dilaporkan oleh Sidarta et al., (2010), bahwa pada proses fermentasi dan respirasi, materi-materi organik dihidrolisis menjadi molekul yang lebih kecil, CO2, H2O, dan energi.
Kadar Protein Kasar (PK), Kadar NH3, dan Perombakan PK Pada Tabel 11. diketahui bahwa jenis silo yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein kasar silase yang dihasilkan. Kadar protein kasar perlakuan T sebesar 17,24 ± 6,97% dan pada pada perlakuan D sebesar 19,03 ± 4,82%. Kadar protein kasar yang dihasilkan masih sesuai dengan target kadar protein kasar ransum awal (16%), yaitu sebesar 19,16% (%BK). Kadar NH3 silase diperlihatkan pada tabel 11. Nilai degradasi protein dalam bentuk NH3 pada silase ini juga tidak dipengaruhi oleh jenis silo yang berbeda. Perlakuan T menghasilkan silase dengan kadar NH3 sebesar 0,81 ± 0,40 mM, sedangkan pada perlakuan D sebesar 0,84 ± 0,11 mM. Perombakan protein pada T sebesar 4,69 ± 0,91% dan pada D sebesar 4,56 ± 1,04%. Menurut Os et al., (1996), banyaknya NH3 pada silase menggambarkan
indikator perombakan bahan organik protein. Silase dikategorikan berkualitas baik jika degradasi protein kurang dari 4,1% (Zamudio et al. 2009). Tingginya degradasi protein pada kedua silo dapat disebabkan oleh tingginya kadar protein kasar bahan yang diensilasi sehingga menyebabkan kapasitas buffer menjadi tinggi, pH menjadi sulit turun dan membuka peluang lebih besar bagi mikroba perombak protein untuk berkembang.
Kadar WSC ( Water Soluble Carbohydrat ) Berdasarkan hasil uji sidik ragam, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda memberikan pengaruh nyata pada kadar WSC perlakuan, kadar WSC untuk perlakuan T yaitu 2,20a ± 0,12 dan perlakuan D sebesar 1,37b ±0,08. Nilai WSC pada perlakuan D lebih rendah dibandingkan perlakuan T, hal ini dikarenakan bakteri asam laktat pada perlakuan D lebih banyak menggunakan WSC untuk memproduksi asam organik, sehingga pada pengamatan nilai WSC pada perlakuan D lebih rendah, hal ini dibuktikan juga dengan nilai pH perlakuan D sebesar 3,60 ± 0,54 yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan T sebesar 4,38 ± 0,10. Namun secara umum, nilai WSC pada penelitian ini cukup rendah jika dibandingkan dengan penelitian Despal et al., (2011) kadar WSC berkisar pada 3,4% untuk silase beraditif. Selain itu, hampir seluruh hasil penilaian parameter karakteristik fermentatif silase dipengaruhi oleh alat yang digunakan untuk mengukur kadar bahan kering yaitu oven dengan suhu tinggi (105 C), kecuali pengukuran parameter pH. Penggunaan oven dengan suhu tinggi (105 C) pada saat pengeringan silase, dapat menyebabkan adanya perubahan secara kimiawi dari bahan kering dan protein (Dumont, et al., 2005). Sehingga menyebabkan angka yang diperoleh dari parameter-parameter tersebut lebih rendah dari standar yang ada.
Nilai Fleigh (NF) atau Fleigh Point Parameter lain yang menentukan kualitas silase yaitu nilai fleigh (NF). Nilai fleigh merupakan indeks karakteristik fermentasi silase berdasarkan nilai BK dan pH dari silase (Idikut et al., 2009). Berikut ini adalah kisaran nilai fleigh
menurut Idikut et al., (2009), jika nilai fleigh berada pada nilai (>85) dinyatakan silase yang dihasilkan berkualitas baik sekali, 60 - 80 baik, 40 - 60 cukup baik, 20 40 sedang dan kurang baik jika mempunyai NF <20 (Idikut et al., 2009). Pada perhitungan NF dengan komponen BK dan pH pada masing-masing perlakuan (dapat dilihat di Tabel 9.), diketahui bahwa silase pada perlakuan T berkualitas baik dan pada perlakuan D berkualitas baik sekali. Berdasarkan NF, silase pada perlakuan T (NF = 74,00 ± 3,92) tergolong berkualitas baik, dan silase pada perlakuan D (NF=118,78 ± 21,51) tergolong berkualitas sangat baik. Nilai fleigh pada perlakuan D melebihi angka 100, .namun nilai fleigh yang melebihi angka 100 juga ditemukan oleh Idikut et al., (2009). Tingginya nilai fleigh disebabkan oleh tingginya BK silase dan rendahnya nilai pH silase yang dicapai, seperti yang diperlihatkan dari rumus perhitungan NF = 220 + (2 x BK(%) – 15) - (40 x pH).
Karakteristik Utilitas Silase Berdasarkan pengamatan utilitas silase, diketahui bahwa tidak ada pengaruh nyata dari jenis silo yang berbeda terhadap parameter yang diukur. Karakteristik utilitas silase meliputi penilaian parameter fermentabilitas rumen (nilai VFA dan NH3 cairan rumen) dan koefisien cerna (bahan kering dan bahan organik) secara in vitro yang diperlihatkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Pengamatan Karakteristis Utilitas Silase Ransum Komplit Parameter
Perlakuan T
D
VFA (mM)
201,65 ± 6,99
213,41 ± 30,66
NH3 (mM)
19,25 ± 6,47
18,81 ± 0,72
KCBK (%)
71,06 ± 1,82
73,40 ± 1,17
KCBO (%)
71,62 ± 1,67
73,25 ± 1,45
Kadar VFA ( Volatile Fatty Acid ) dan Kadar NH3 VFA. VFA (Volatile Fatty Acid) atau asam lemak terbang merupakan sumber energi utama bagi ruminansia dari proses fermentasi pakan dalam rumen (Ørskov
dan Ryle, 1990). Menurut Saun & Heinrichs (2008) konsentrasi VFA cairan rumen yang mendukung dengan pertumbuhan mikroba lebih besar dari 60 mM. Penambahan zat aditif pada silase yang mengandung daun rami berpengaruh nyata terhadap produksi VFA rumen (Safarina, 2009). Tetapi, pada Tabel 12. diketahui bahwa jenis silo yang berbeda tidak berpengaruh nyata pada konsentrasi VFA cairan rumen dari kedua perlakuan, didapat konsentrasi VFA pada perlakuan T sebesar 201,65 ± 6,99 mM dan D sebesar 213,41 ± 30,66 mM. Konsentrasi VFA yang dihasilkan pada kedua perlakuan sudah memenuhi kadar minimal VFA dalam rumen (>60mM) (Saun & Heinrichs, 2008), maka dapat dikatakan bahwa silase ransum komplit dari kedua silo tersebut tergolong pakan yang baik untuk menyediakan VFA bagi mikroba rumen. Saun & Heinrichs (2008) menambahkan bahwa VFA yang dihasilkan akan sangat bervariasi, dipengaruhi oleh
populasi bakteri,
spesies tanaman, bahan kering saat panen,
respirasi
tanaman, cuaca, dan yang paling penting adalah WSC selama penyimpanan. Kadar NH3. Kadar NH3 (Amonia) terbentuk dari proses deaminasi asam-asam amino dari metabolisme protein dan merupakan prekursor pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Amonia optimum dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Berdasarkan pengamatan utilitas, NH3 (Amonia) rumen yang dihasilkan pada perlakuan T yaitu 19,25 ± 6,47 mM, sedangkan D yaitu 18,81 ± 0,72 mM. Nilai NH3 pada kedua jenis silo masih pada kisaran optimum kadar NH3 dalam rumen. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase pada kedua perlakuan bernilai baik untuk menghasilkan NH3.
Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik ( KCBK dan KCBO ) Kecernaan silase dapat diukur dengan teknik in vitro menurut Tilley and Terry (1963). Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan (Sutardi, 1980). Kecernaan silase juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan nutrisi untuk mikroba rumen. Berdasarkan hasil pengujian KCBK, perlakuan T memiliki KCBK sebesar 71,06 ± 1,82%, sedangkan pada D sebesar 73,401±1,17%. Pola yang sama juga terjadi pada pengamatan KCBO, nilai kecernaan bahan organik perlakuan T didapatkan hasil 71,62± 1,67%, sedangkan pada D yaitu73,25±1,45 %. Nilai kecernaan tertinggi diperoleh perlakuan D. Hal
ini disebabkan oleh bentuk silo perlakuan D lebih efisien dalam menghasilkan silase yang berkualitas baik. Nilai kecernaan Silase ransum komplit yang dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah dari pada nilai kecernaan bahan organik silase daun rami beraditif jagung (73,6%) (Despal et al., 2011). Nilai yang lebih rendah ini dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi nutrisi bahan awal yang dipakai untuk membuat silase dan jenis rumen yang dipakai. Hal tersebut dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik dalam rumen. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Tillman et al., (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan antara lain komposisi pakan, jenis ternak, dan jumlah pakan yang diberikan.