30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Fisika – Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik fisika – kimiawi perairan di lokasi pengamatan (rata-rata dan simpangan baku) Parameter Fisik Kimia Suhu (oC) Salinitas (‰) pH Kecerahan (%) Kedalaman (cm)
Nama Stasiun Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
28,93 ± 0,80 30,67 ± 0,49 30,47 ± 0,52 30 ± 0,38 31,07 ± 1,62 29,27 ± 0,46 29 ± 0 30 ± 0 8,73 ± 0,09 8,6 ± 0 8,6 ± 0 8,6 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 29,93 ± 16,97 31,53 ± 9,45 14 ± 5,07 20,27 ± 7,69
Suhu pada keempat stasiun pengamatan memperlihatkan nilai kisaran ratarata sebesar 28,93 ± 0,80 oC sampai dengan 30,67 ± 0,49 oC (Tabel 6). Stasiun 1 memiliki nilai rata-rata suhu terendah sebesar 28,93 ± 0,80 oC. Stasiun 2 memiliki nilai rata-rata suhu tertinggi sebesar 30,67 ± 0,49 oC. Organisme perairan memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Dari hasil suhu yang diperoleh di keempat stasiun tersebut masih berada pada kisaran normal yang mendukung kehidupan organisme perairan sebesar 30 – 35 oC (Effendi, 2003). Menurut Nybakken (1988) suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat. Effendi (2003) menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan meningkatkan
31
kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi, 2003). Salinitas pada keempat stasiun pengamatan memperlihatkan kisaran nilai rata-rata sebesar 29 ± 0 ‰ sampai dengan 31,07 ± 1,62 ‰ (Tabel 6). Nilai ratarata salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 31,07 ± 1,62 ‰. Stasiun 3 memiliki rata-rata salinitas terendah yang sama ditiap plot pengambilan data yaitu sebesar 29 ± 0 ‰. Stasiun 2 memiliki nilai rata-rata salinitas sebesar 29,27 ± 0,46 ‰. Stasiun 4 memiliki rata-rata nila salinitas sama ditiap plot pengambilan data sebesar 30 ± 0 ‰. Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993). Gastropoda yang hidupnya berpindah-pindah seperti halnya bulu babi mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah sehingga dapat bertahan dari kematian (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos termasuk bulu babi adalah 15 ‰-35 ‰. Oleh karena itu kisaran salinitas yang terdapat pada ke empat stasiun pada penelitian ini masih tergolong normal. Nilai pH pada lokasi pengamatan memiliki kisaran nilai rata-rata sebesar 8,6 ± 0 sampai dengan 8,73 ± 0,09 (Tabel 6). Nilai pH pada tiga stasiun pengamatan memiliki nilai rata-rata sama sebesar 8,6 ± 0 yaitu pada stasiun 2,
32
stasiun 3, dan stasiun 4. Stasiun 1 memiliki nilai kisaran pH tertinggi sebesar 8,73 ± 0,09. Kisaran nilai rata-rata pH pada ke empat stasiun tersebut memiliki nilai yang tinggi untuk biota perairan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5 (Effendi, 2003). pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan, perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Tingkat kecerahan perairan pada semua stasiun pengamatan adalah 100 % pada semua kedalaman (Tabel 6). Nilai rata-rata kedalaman pada semua stasiun pengamatan berkisar 14 ± 5,07 cm sampai dengan 31,53 ± 9,45 cm, hal ini berarti penetrasi cahaya dapat mencapai dasar perairan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya fotosintesis yang baik untuk lamun sehingga akan mendukung kehidupan bulu babi sebagai salah satu avertebrata yang memakan daun lamun secara langsung (McRoy dan Helfferich, 1980). Stasiun 2 memiliki nilai rata-rata kedalaman tertinggi sebesar 31,53 ± 9,45 cm. Stasiun 3 memiliki nilai rata-rata kedalaman terendah sebesar 14 ± 5,07 cm. Kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988). Menurut Aziz (1993) bulu babi dapat ditemukan mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m, bahkan ditemukan juga bulu babi hingga kedalaman 5000 m (Suwignyo et al. 2005).
33
4.2 Karakteristik Fisika – Kimiawi Substrat Dasar Karakteristik fisika dan kimiawi substrat dasar di setiap stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik fisika – kimiawi substrat di lokasi pengamatan Nama Stasiun
pH H2O
KCl
7,5 7,5 7,6 7,6
6,8 6,8 6,9 6,9
R
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
R
Walkley & Black C-org (%) 0,4 0,48 0,32 0,08
Bray I
HCl 25 %
P (ppm) 3,3 31,8 3,5 33,4 3,5 35,1 3 30,1
Fraksi
NO3
Pasir Debu Liat (ppm) (%) 92,29 2,31 5,4 310 93,77 2,11 4,12 616,9 94,94 1,7 3,36 620 95,99 1,14 2,87 616,9
Fraksi substrat yang dihasilkan ada 3 yaitu pasir, debu, dan liat. Fraksi pasir mendominasi ke empat stasiun pengamatan, diikuti oleh fraksi liat dan yang terkecil adalah nilai dari fraksi debu (Tabel 7). Fraksi pasir stasiun 4 memiliki nilai fraksi tertinggi sebesar 95,99 %, dan fraksi pasir terkecil terdapat pada stasiun 1 sebesar 92,29 %. Untuk stasiun 2 fraksi pasir sebesar 93,77 % dan stasiun 3 sebesar 95,99 %. Fraksi liat memiliki nilai semakin kecil dari stasiun 1 ke stasiun 4. Stasiun 1 memiliki nilai sebesar 5,40 %, stasiun 2 sebesar 4,12 %, stasiun 3 sebesar 3,36 %, dan stasiun 4 sebesar 2,87. Sedangkan untuk fraksi debu stasiun 1 memiliki nilai sebesar 2,31 %, stasiun 2 sebesar 2,11 %, stasiun 3 sebesar 1,70 %, dan stasiun 4 sebesar 1,14 %. Bulu babi merupakan biota yang menyukai substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang (Dobo, 2009). Pada umumnya masing-masing jenis dari bulu babi memiliki habitat yang spesifik, seperti Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau pasir berlumpur yang banyak ditumbuhi lamun dengan kedalaman antara 0,5 – 20 m (Radjab, 2001).
34
Hasil pengukuran nitrat pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 7) nilai nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 620 ppm, dan terendah pada stasiun 1 sebesar 310 ppm. Untuk stasiun 2 dan stasiun 4 nilai kandungan nitratnya sama sebesar 616,9 ppm. Nilai fosfat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 35,10 ppm, dan terendah pada stasiun 4 sebesar 30,10 ppm. Nilai nitrat pada substrat di lokasi penelitian tinggi, hal tersebut dikarenakan substratnya kaya akan bahan organik yang menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Semakin tinggi kandungan bahan organik dalam substrat maka nilai nitratnya akan semakin tinggi. Sampai saat ini belum ada standar baku yang pasti mengenai nitrat di substrat. Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Effendi, 2003). Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi, 2003). Oleh karena itu nitrat dan fosfat dibutuhkan oleh organisme perairan termasuk lamun dan bulu babi untuk kelangsungan hidupnya. Hasil dari analisis data substrat juga menghasilkan kandungan C organik dan pH substrat. Hasil C organik pada keempat lokasi penelitian (Tabel 7) memiliki nilai tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,48 % dan terkecil pada stasiun 4 sebesar 0,08 %. Nilai pH substrat yang menggunakan H 2 O tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan stasiun 4 dengan nilai yang sama sebesar 7,60 dan terkecil terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 2 dengan nilai yang sama juga sebesar 7,50. Nilai pH
35
yang menggunakan KCl tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan stasiun 4 dengan nilai sama sebesar 6,90 dan terkecil terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 2 dengan nilai yang sama juga sebesar 6,80. C organik di perairan berasal dari tumbuhan atau biota akuatik, baik yang hidup atau mati dan menjadi detritus. Mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan dari suatu rangkaian reaksi biokimia yang kompleks. Pada reaksi katabolisme, makrobenthos merombak bahan organik dan dipecah untuk menghasilkan energi berupa makanan yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhannya (Effendi, 2003). Nilai pH substrat yang semakin tinggi akan menaikkan nilai alkalinitas (basa) dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas, sedangkan larutan yang bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif (Effendi, 2003). Oleh karena itu C organik dan pH dalam substrat perairan diperlukan oleh organisme akuatik untuk kelangsungan hidupnya.
4.3. Kepadatan Bulu babi Bulu babi yang dijumpai di Pulau Sapudi terdiri dari 8 jenis, yaitu Echinothrix diadema, Diadema setosum, Diadema savignyi, dan Echinothrix calamaris dari famili Diadematidae, Mespilia globulus dan Temnopleurus alexandri dari famili Temnopleuridae, Tripneustes gratilla dari famili Toxopneustidae, dan Echinometra mathaei dari famili Echinometridae. Nama lokal bulu babi di Pulau Sapudi adalah ka’sekka’ (Lampiran 3). Kepadatan bulu babi yang dijumpai pada tiap stasiun pengamatan didominasi oleh jenis bulu babi Diadema setosum dengan kepadatan rata-rata 14,51 ± 10,83 dan Echinometra mathaei dengan kepadatan rata-rata 7,56 ± 7,14 (Gambar 10).
36
18,00
Kepadatan Bulu Babi (ind/m²)
16,00 14,00 Stasiun 1
12,00 10,00
Stasiun 2
8,00
Stasiun 3
6,00 Stasiun 4 4,00 2,00 0,00 Ed
Dse
Dsa
Ec
Em
Tg
Mg
Ta
Jenis Bulu Babi
Gambar 10. Kepadatan (rata-rata dan simpangan baku) bulu babi pada tiap stasiun pengamatan, Ed=Echinothrix diadema, Dse=Diadema setosum, Dsa=Diadema savignyi, Ec=Echinothrix calamaris, Em=Echinometra mathaei, Tg=Tripneustes gratilla, Mg=Mespilia globulus, dan Ta=Temnopleurus alexandri Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 1 ditemukan pada jenis Echinometra mathaei sebesar 5,08 ± 3,26 ind/m2 dan terendah pada jenis Tripneustes gratilla sebesar 2,25 ± 1,16 ind/m2. Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 2 ditemukan pada jenis Diadema setosum sebesar 12,70 ± 12,48 ind/m2 dan terendah pada jenis Echinothrix calamaris sebesar 1,33 ± 0,58 ind/m2. Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 3 ditemukan pada jenis Echinometra mathaei sebesar 7,56 ± 7,14 ind/m2 dan terendah pada jenis Echinothrix diadema sebesar 1,00 ± 0,00 ind/m2. Kepadatan rata-rata bulu babi tertinggi pada stasiun 4 ditemukan pada jenis Diadema setosum sebesar 14,51 ± 10,83 ind/m2 dan terendah pada jenis Echinothrix calamaris sebesar 1,50 ± 0,71 ind/m2 (Lampiran 4).
37
Kepadatan rata-rata jenis bulu babi Echinothrix diadema di Pulau Sapudi berkisar antara 1,00 ± 0,00 ind/m2 sampai dengan 3,00 ± 2,00 ind/m2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 1 (Lampiran 5). Kepadatan jenis bulu babi Diadema setosum di Pulau Sapudi berkisar antara 2,67 ± 2,08 ind/m2 sampai dengan 14,51 ± 10,83 ind/m2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 4. Kepadatan jenis bulu babi Diadema savignyi di Pulau Sapudi berkisar antara 2,88 ± 1,13 ind/m2 sampai dengan 4,50 ± 2,07 ind/m2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 1. Kepadatan jenis bulu babi Echinothrix calamaris di Pulau Sapudi berkisar antara 1,50 ± 0,71 ind/m2 sampai dengan 1,33 ± 0,58 ind/m2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 2. Kepadatan jenis bulu babi Echinometra mathaei di Pulau Sapudi berkisar antara 2,50 ± 0,71 ind/m2 sampai dengan 7,56 ± 7,14 ind/m2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 3. Kepadatan jenis bulu babi Tripneustes gratilla di Pulau Sapudi berkisar antara 1,50 ± 0,58 ind/m2 sampai dengan 2,44 ± 1,24 ind/m2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 2. Kepadatan jenis bulu babi Mespilia globulus di Pulau Sapudi berkisar antara 1,80 ± 0,45 ind/m2 sampai dengan 3,14 ± 1,57 ind/m2, kepadatan tertinggi berada pada stasiun 1. Kepadatan jenis bulu babi Temnopleurus alexandri di Pulau Sapudi sebesar 2,00 ± 0,82 ind/m2. Tingginya kepadatan Diadema setosum di Pulau Sapudi ini diduga berkaitan dengan habitatnya yang cocok yang didominasi oleh karang mati dan rubble dengan substratnya yang agak keras seperti pasir kasar. Begitupun makanan yang mendukung seperti alga bentik yang terdapat di karang mati dan rubble (Setiawan, 2010).
38
4.4 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bulu babi Dari hasil perhitungan, keanekaragaman bulu babi pada keempat lokasi penelitian umumnya memiliki nilai keanekaragaman rendah yaitu H’ < 1 (Lampiran 6), hal ini terjadi karena jumlah jenis dari bulu babi yang relatif sedikit dan proporsi jumlah kepadatan yang sedikit yang menyusun komunitas. Keanekaragaman bulu babi pada lokasi pengamatan berkisar antara 0,42 – 0,73 (Gambar 11).
0,90 0,80
Indeks H', E dan C
0,70 0,60
H'
0,50 E
0,40 0,30
C
0,20 0,10 0,00 Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Gambar 11. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi bulu babi (C)
Nilai indeks keseragaman pada lokasi pengamatan berkisar antara 0,47 – 0,80. Stasiun 1 (0,80) memiliki komunitas stabil, stasiun 2 (0,54) dan stasiun 3 (0,56) memiliki komunitas labil, dan stasiun 4 (0,47) berada pada komunitas tertekan. Nilai indeks dominansi pada lokasi pengamatan berkisar antara 0,21 –
39
0,53. Stasiun 1 (0,21), stasiun 2 (0,44), dan stasiun 3 (0,46) memiliki dominansi rendah dengan kriteria 0,00 < C ≤ 0,50, sedangkan untuk stasiun 4 (0,53) memiliki dominansi sedang dengan kriteria 0,50 < C ≤ 0,75 (Magurran, 1988). Hal ini menandakan bahwa komunitas bulu babi di Pulau Sapudi berada dalam kondisi yang relatif stabil dengan dominansi yang rendah (Dobo, 2009).
4.5 Vegetasi Lamun Komunitas lamun biasanya terdapat dalam area yang luas dan rapat.Vegetasi lamun di Pulau Sapudi termasuk vegetasi campuran (mixed seagrass beds), hal ini terlihat adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa transek kuadrat pengambilan data. Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang lamun vegetasi campuran (Nienhuis et al. 1989). Lamun yang ditemukan di Pulau Sapudi terdiri dari 5 jenis (Lampiran 7) yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis (Famili Hydrocharitaceae), Syringodium isoetifolium dan Cymodocea rotundata (Famili Potamogetonaceae). Hingga kini, tercatat ada kurang lebih 12 jenis lamun di perairan Indonesia, yang termasuk dalam 7 genus dan 2 famili (Azkab, 2006). Jenis lamun Thalassia hemprichii paling mendominasi kerapatan lamun di stasiun 1 dan stasiun 3 (Gambar 12). Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 1 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 142,82 ± 96,95 ind/m2 dan terendah pada jenis Cymodocea rotundata sebesar 56,50 ± 0,71 ind/m2.
40
180,00
Kerapatan Jenis Lamun (ind/m²)
160,00 140,00 120,00
Stasiun 1
100,00
Stasiun 2
80,00 60,00
Stasiun 3
40,00
Stasiun 4
20,00 0,00 Th
Ea
Si
Cr
Ho
Jenis Lamun
Gambar 12. Kerapatan (rata-rata dan simpangan baku) jenis lamun pada tiap stasiun pengamatan, Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata, Ho=Halophila ovalis.
Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 2 ditemukan pada jenis Enhalus acoroides sebesar 89,50 ± 60,10 ind/m2. Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 3 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 99,85 ± 50,84 ind/m2dan terendah pada jenis Enhalus acoroides sebesar 24,13 ± 11,98 ind/m2. Kerapatan rata-rata lamun tertinggi pada stasiun 4 ditemukan pada jenis Syringodium isoetifolium sebesar 132,67 ± 71,51 ind/m2 dan terendah pada jenis Enhalus acoroides sebesar 35,93 ± 22,49 ind/m2. Kerapatan rata-rata jenis lamun Thalassia hemprichii di Pulau Sapudi berkisar antara 87,14 ± 20,82 ind/m2 sampai dengan 142,82 ± 96,95 ind/m2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 1 (Lampiran 8). Kerapatan rata-rata jenis lamun Enhalus acoroides di Pulau Sapudi berkisar antara 24,13 ± 11,98 ind/m2 sampai dengan 89,50 ± 60,10 ind/m2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 2. Kerapatan rata-rata jenis lamun Syringodium isoetifolium di Pulau Sapudi berkisar
41
antara 67,00 ± 1,41 ind/m2 sampai dengan 132,67 ± 71,51 ind/m2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 4. Kerapatan rata-rata jenis lamun Cymodocea rotundata di Pulau Sapudi berkisar antara 56,50 ± 0,71 ind/m2 sampai dengan 86,50 ± 14,85 ind/m2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 3. Kerapatan ratarata jenis lamun Halophila ovalis di Pulau Sapudi berkisar antara 48,00 ± 16,97 ind/m2 sampai dengan 53,00 ± 8,49 ind/m2, kerapatan tertinggi berada pada stasiun 3. Kerapatan rata-rata lamun terendah ditemukan di stasiun 2, hal ini diduga karena sedikitnya jenis lamun yang terukur pada plot pengambilan data di stasiun tersebut. Pada stasiun 2 ditemukan satu jenis lamun saja yaitu jenis lamun Enhalus acoroides dengan kerapatan rata-rata sebesar 89,50 ± 60,10 ind/m2. Sedikitnya jenis lamun yang ditemukan pada stasiun 2 juga disebabkan oleh jenis substratnya. Lokasi stasiun 2 didominasi oleh substrat hamparan karang mati, dan rubble yang memungkinkan lamun sulit tumbuh. Menurut Kiswara (1994) lamun dapat tumbuh pada dasar lumpur, pasir, dan kerikil karang diantara karang hidup, cekungan batu karang maupun pada dasar dan lumpur di bawah naungan bakau. Hal lain bisa juga disebabkan karena lamun tidak terlindung pada saat air surut (Dahuri et al, 1996). Persentase penutupan lamun di Pulau Sapudi berkisar antara 26,19 % sampai dengan 32,17 %. Persentase penutupan lamun tertinggi di setiap stasiun pengamatan ditemukan pada stasiun 1, sedangkan persentase penutupan lamun terendah ditemukan pada stasiun 2 (Gambar 13).
42
Persentase Penutupan Lamun (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Nama Stasiun
Gambar 13. Persentase penutupan lamun di Pulau Sapudi, Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata, Ho=Halophila ovalis. Persentase penutupan lamun pada stasiun 1 sebesar 32,17 % (Lampiran 9), dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Persentase penutupan lamun pada stasiun 2 sebesar 26,19 %, dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Enhalus acoroides. Persentase penutupan lamun pada stasiun 3 sebesar 29,29 %, dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata. Persentase penutupan lamun pada stasiun 4 sebesar 30,25 %, dan jenis lamun yang mendominasi adalah jenis lamun Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium. Rata-rata kerapatan dan persentase penutupan lamun terendah ditemukan pada stasiun 2, hal ini dimungkinkan lamun kurang tumbuh subur pada lokasi tersebut.
43
Kerapatan lamun di Pulau Sapudi umumnya didominasi oleh jenis lamun Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata, sedangkan persentase penutupan lamun didominasi oleh jenis lamun Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium (Gambar 12 & 13). Kerapatan dan persentase penutupan Thalassia hemprichii, bernilai tinggi berkaitan dengan kemampuan adaptasinya terhadap tipe substrat yang ada di Pulau Sapudi. Menurut Hartog (1970) Thalassia hemprichii mampu hidup dalam semua jenis substrat, bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak. Enhalus acoroides juga merupakan jenis lamun yang mampu beradaptasi terhadap semua jenis substrat di Pulau Sapudi, namun lamun jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang lebih rendah dari pada Thalassia hemprichii, hal tersebut dimungkinkan karena kondisi perairan Pulau Sapudi yang relatif dangkal pada saat surut, akibatnya jenis ini hanya tersebar pada padang lamun yang pada saat surut masih terendam air. Secara umum jenis lamun Syringodium isoetifolium memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibanding Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Namun jenis lamun ini memiliki kerapatan dan persen penutupan yang cukup tinggi pada stasiun 4. Pada stasiun 1 hanya sedikit ditemukan jenis lamun ini. Jenis lamun Syringodium isoetifolium pada stasiun 2 dan stasiun 3 tidak ditemukan. Kondisi ini terjadi karena jenis lamun Syringodium isoetifolium hanya mampu mentoleransi kekeringan dalam waktu singkat (Phillips dan Menez, 1998) dan biasanya ditemukan di antara lamun lain yang dominan (Hartog, 1970), hal tersebut bisa terlihat pada stasiun 4 yaitu Syringodium isoetifolium dapat
44
ditemukan dengan persen penutupan yang tinggi bersama Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Menurut Tomascik et al. ( 1997) jenis lamun Cymodocea rotundata mampu hidup pada daerah dangkal yang tertutup karang dan mempunyai toleransi yang tinggi pada daerah tidak terendam air (Tomascik et al., 1997). Oleh karena itu lamun jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang cukup tinggi. Jenis lamun Halophila ovalis memiliki kerapatan yang rendah dan hanya ditemukan pada stasiun 3 dan 4, namun lamun jenis ini memiliki nilai persen penutupan yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis lamun Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Jenis lamun ini ditemukan secara bersama-sama dengan Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, dan Syringodium isoetifolium. Menurut Nienhuis et al (1989) jenis lamun Halophila ovalis sering terlihat sebagai jenis pembuka yang mendiami substrat pasir.
4.6 Pola Sebaran Jenis Bulu babi Kondisi lingkungan perairan pada saat pengamatan sangat mempengaruhi pola sebaran jenis di suatu perairan. Penentuan sebaran jenis dengan menggunakan Indeks Morisita dimaksudkan untuk mengetahui sebaran jenis bulu babi yang ada di Pulau Sapudi membentuk pola seragam, mengelompok, atau acak. Jenis dengan pola sebaran seragam sangat jarang ditemukan di alam meskipun bukan tidak mungkin hal tersebut dapat terjadi. Berdasarkan hasil pengukuran Indeks Sebaran Morisita diketahui bahwa pola sebaran jenis bulu babi di Pulau Sapudi Madura memiliki pola sebaran jenis yang bersifat mengelompok dimana I d > 1 seperti tercantum pada Tabel 8 (Lampiran 10).
45
Tabel 8. Pola sebaran bulu babi di Pulau Sapudi Madura Jenis Echinoidea Echinothrix diadema Diadema setosum Diadema savignyi Echinothrix calamaris Echinometra mathaei Tripneustes gratilla Mespilia globulus Temnopleurus alexandri
N 60 60 60 60 60 60 60 60
∑x 20 249 50 7 134 55 67 8
∑x2 76 5109 218 11 1362 145 215 18
Id 8,84 4,72 4,11 5,71 4,13 1,82 2,01 10,71
Pola Sebaran Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Pola sebaran jenis ini sama di semua stasiun pengamatan dengan nilai Id berkisar antara 1,82 – 10,71. Menurut Aziz (1994) bulu babi di padang lamun dapat hidup soliter atau hidup mengelompok tergantung pada jenis dan habitatnya. Menurut Aziz (1987) bulu babi baik yang menyendiri ataupun mengelompok, hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun ke rumpun alga lainnya. Aktifitas makan ini terutama dilakukan pada malam hari. Kebiasaan bulu babi jenis tertentu untuk hidup mengelompok seperti pada marga Diadema dan Strongylocentrotus ternyata mempunyai pengaruh negatif terhadap komunitas algae dan lamun (Aziz, 1987). Ketersedian makanan dan faktor habitat sangat mempengaruhi penyebaran lokal bulu babi (Beer, 1990). Pada umumnya setiap jenis bulu babi memiliki habitat yang spesifik, seperti Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau berlumpur yang banyak ditumbuhi lamun sebagai makanannya. Jenis ini merupakan grazer penting di padang lamun (Aziz, 1994). Pola sebaran jenis mengelompok ini berarti suatu individu jenis hanya dapat ditemukan di tempat tertentu sesuai dengan preferensi habitatnya (Aziz, 1994).
46
4.7 Hubungan Antara Bulu babi dengan Lamun di Pulau Sapudi Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara bulu babi dan lamun terlihat pada Gambar 14.
0,8
Sumbu 2: 0,03479 (27,86% of Inertia)
0,6
Si
0,4
Ec
Tg 0,2
Dsa
Ed
Mg
Dse Th
0,0
Em
-0,2
-0,4
Ea
Cr
Ta
-0,6 Ho -0,8 -1,4 -1,2 -1,0 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4
Jenis Bulu Babi Jenis Lamun
Sumbu 1: 0,07442 (59,59% of Inertia)
Gambar 14. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara bulu babi dan lamun pada sumbu 1 dan 2, Ed=Echinothrix diadema, Dse=Diadema setosum, Dsa=Diadema savignyi, Ec=Echinothrix calamaris, Em=Echinometra mathaei, Tg=Tripneustes gratilla, Mg=Mespilia globulus, dan Ta=Temnopleurus alexandri. Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata, Ho=Halophila ovalis
Hasil Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence analysis) sebaran 8 jenis bulu babi pada 5 jenis lamun di lokasi penelitian (Gambar 14), menunjukkan bahwa sebarannya terpusat pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2). Informasi maksimum sebaran spasial bulu babi terhadap lamun yang dihasilkan
47
dari analisis faktorial koresponden sebesar 87,45 % dari hasil penjumlahan ragam. Sumbu 1 (F1) memiliki akar ciri dan ragam berturut-turut sebesar 0,07 (59,59 %), sedangkan sumbu 2 (F2) memiliki akar ciri dan ragam berturut-turut sebesar 0,03 (27,86 %). Karena sumbu 1 memiliki nilai ragam dan akar ciri yang lebih besar, maka informasi difokuskan pada sumbu 1 tersebut (Lampiran 11). Dari Gambar 14 terlihat bahwa bulu babi jenis Mespilia globulus (cos2 0,77) dan Echinothrix calamaris (cos2 0,80) memiliki hubungan atau asosiasi dengan lamun jenis Enhalus acoroides (cos2 0,64) dan Syringodium isoetifolium (cos2 0,71). Bulu babi dan lamun tersebut berasosiasi pada kuadran 1 (+,+). Pada kuadran 2 (−,+) terlihat bahwa bulu babi jenis Echinothrix diadema (cos2 0,50), Diadema setosum (cos2 0,88), dan Diadema savignyi (cos2 0,87) memiliki hubungan atau asosiasi dengan lamun jenis Thalassia hemprichii (cos2 0,94). Nilai cos2 yang mendekati nilai 1 terlihat lebih memiliki hubungan keterkaitan, dan yang jauh dari nilai 1 tidak memiliki keterkaitan seperti terlihat pada nilai cos2 dari Temnopleurus alexandri sebesar 0,23. Keterkaitan antara ketiga jenis bulu babi tersebut terhadap lamun Thalassia hemprichii yang memiliki kerapatan dan penutupan yang tertinggi di Pulau Sapudi dimungkinkan karena bulu babi tersebut memperoleh makanan (sebagai grazer di padang lamun) yang cukup, kondisi substratnya yang cocok serta kondisi perairan yang baik untuk kelangsungan hidupnya.