HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kemasan Kemasan memiliki fungsi untuk menjaga produk yang dikemas agar tetap dalam keadaan baik hingga dikonsumsi. Pada produk hortikultura, pengemasan diharapkan dapat memperpanjang masa simpan serta mempertahankan kesegaran hingga pada saat dikonsumsi. Banyak jenis kemasan yang digunakan untuk mengemas buah, salah satunya kemasan plastik. Penggunaan kemasan plastik semakin luas karena berbagai kelebihannya seperti ringan, serbaguna, murah namun juga fleksibel dalam penggunaannya, akan tetapi salah satu keterbatasan dengan kemasan plastik yang pada akhirnya untuk dibuang adalah kemasan plastik ini sangat sedikit didaur ulang sehingga akhirnya dikembangkan plastik yang mudah terurai yang dikenal dengan bioplastik. Penggunaan bioplastik mulai populer di masyarakat dimana kemasan berbahan dasar pati ini juga telah dikembangkan dalam berbagai bentuk sesuai penggunaannya, salah satunya fruit bag. Kemasan plastik fruit bag mulai banyak digunakan terutama oleh para konsumen kelas menegah ke atas yang senang berbelanja di pasar swalayan. Pada awalnya kemasan jenis ini hanya digunakan sebagai wadah produk hortikultura dari pasar swalayan hingga ke rumah konsumen. Dengan alasan kepraktisan, konsumen juga menyimpan produk hortikultura langsung dengan kemasan tersebut ke dalam lemari pendingin. Pada penelitian ini digunakan kemasan bioplastik ecoplast yang terbuat dari kombinasi polimer sintetik dengan komposisi pati tapioka sekitar 60% dan plastik HDPE sebagai pembanding. Kemasan HDPE dan bioplastik yang digunakan memiliki luas yang sama yaitu 250 400 mm2 dengan ketebalan sebesar 45 μm. Informasi mengenai ukuran dimensi kemasan ini dapat digunakan untuk menghitung nilai densitas masing-masing kemasan. Nilai densitas diperoleh dari pembagian berat plastik terhadap volume (perkalian panjang, lebar dan tebal plastik). Perhitungan densitas HDPE dan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari hasil perhitungan, densitas bioplastik (75.56-77.00 g/cm3) lebih kecil daripada densitas HDPE (84.89-86.78 g/cm3), dimana nilai densitas yang rendah menunjukkan struktur amorf (tidak teratur) lebih banyak sedangkan densitas yang lebih tinggi memiliki struktur kristalin yang lebih besar. Allcock dan Lampe (1981) mengatakan densitas menunjukkan kerapatan rantai suatu polimer, dimana polimer dengan struktur yang teratur (kristalin) cenderung mempunyai kerapatan rantai yang lebih besar karena rantai mampu berdekatan dalam jarak yang dekat (lebih rapat) sehingga densitasnya pun lebih besar. Polimer dengan stuktur yang tidak teratur (amorf) cenderung mempunyai densitas yang rendah karena jarak rantai yang jauh sehingga lebih renggang. Sifat mekanik dan fisik dari polimer sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya. Sifat-sifat mekanik yang dipengaruhi oleh derajat kristalinitas adalah kekakuan (stiffness), kekerasan (hardness), dan keuletan (ductility), sedangkan sifat fisik adalah sifat optik dan kerapatan (density) dari polimer. Raynasari (2012) telah melakukan pengujian terhadap sifat fisik dan mekanik dari kemasan yang digunakan dalam penelitian ini yang terangkum pada Tabel 6.
23
Tabel 6 Karakteristik kemasan yang digunakan Karakteristik Kemasan Kekuatan Tarik (MPa) Sifat Mekanik Elongasi (%) Permeabilitas Uap Air (g/m2/24 jam) Sifat Fisik
HDPE MD CD MD CD
Bioplastik
74.29 48.14 292.46 445.45
16.75 6.35 114.21 656.54
21.56
13.10
Morfologi Permukaan
Sumber : Raynasari (2012) Sifat mekanik diperlukan dalam melindungi produk dari faktor-faktor mekanis, seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), getaran, serta benturan. Sebagai bahan kemasan, plastik harus memiliki kekuatan tarik maupun perpanjangan putus (elongasi) yang baik karena hal ini akan berpengaruh pada kekuatan terhadap kontak fisik dengan benda lain dan kekuatan terhadap menahan beban dari produk selama dikemas sehingga plastik tidak mudah sobek dan lebih tahan lama. Kuat tarik merupakan ukuran besarnya gaya yang dapat ditahan sebelum lembaran plastik rusak atau putus. Biasanya pada lembaran plastik yang dihasilkan terbentuk orientasi film yang disebut machine direction (MD) dan cross-machine direction (CD). MD adalah orientasi rantai molekul yang searah dengan arah mesin sedangkan CD melintang dengan arah mesin. Sifat mekanik pada orientasi MD berbeda dengan CD karena ikatan molekul MD yang sejalan dengan arah mesin menjadikannya lebih baik daripada orientasi CD. Perbedaan orientasi CD dan MD pada plastik dapat dilhat pada Gambar 3.
Cross machine direction Machine direction
Gambar 3 Orientasi film plastik (Syarief et al. 1989) Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai kuat tarik bioplastik lebih rendah daripada HDPE yang disebabkan adanya campuran pati pada matriks polimernya sehingga kekuatan ikatan antar polimernya menjadi lemah. Baik pada bioplastik maupun HDPE nilai kuat tarik pada orientasi MD menunjukkan hasil yang lebih baik daripada CD yang menunjukkan plastik tidak mudah patah.
Pengukuran kuat tarik biasanya diikuti juga dengan pengukuran perpanjangan putus (elongasi) yang menunjukkan elastisitas dari plastik. Semakin tinggi nilai perpanjangan putus (elongasi) maka plastik tersebut semakin elastis sehingga bahan dapat ditarik lebih mulur. Dari Tabel 6 dapat dilihat persen elongasi bioplastik pada orientasi MD lebih rendah daripada HDPE namun menunjukkan nilai yang lebih besar pada orientasi CD. Ini menunjukkan bioplastik lebih elastis apabila diberi beban yang lebih besar sehingga tidak mudah sobek/putus. Polimer dengan kekuatan tarik dan perpanjangan putus (elongasi) yang tinggi tergolong ke dalam jenis polimer yang kuat dan liat. Apabila suatu bahan memiliki kuat tarik yang tinggi namun tidak diimbangi dengan perpanjangan putus yang tinggi maka akan cenderung menghasilkan plastik yang mudah patah (brittle). Kemasan HDPE memiliki kekuatan tarik dan persen elongasi lebih besar daripada bioplastik yang menjadikan kemasan ini lebih kuat dan liat sehingga tidak mudah patah (brittle). Bioplastik memiliki kekuatan tarik yang rendah tetapi memiliki persen elongasi tinggi pada orientasi CD sehingga lebih elastis (fleksibel) yang menjadikan bioplastik lebih kuat untuk menahan beban. Sifat fisik plastik dapat diketahui dengan mengukur permeabilitas uap air dan mengamati morfologi permukaan plastik. Permeabilitas uap air berkaitan dengan ketahanan plastik sebagai barrier bagi kemasan. Permeabilitas plastik ditentukan dengan mengukur transmisi uap air/gas atau permean yang melewati plastik uji. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas menyangkut proses pemindahan larutan dan difusi dimana larutan berpindah dari satu sisi film dan selanjutnya berdifusi ke sisi lainnya setelah menembus film tersebut. Semakin besar nilai permeabilitasnya maka akan menunjukkan plastik tersebut semakin mudah dilewati uap air/gas (Krochta 2007). Dari hasil pengukuran WVTR bioplastik 21.56 g/m2/24 jam lebih besar daripada HDPE 13.10 g/m2/24 jam ini menunjukkan bioplastik memiliki kemampuan lebih besar untuk melewatkan air dalam bentuk uap daripada HDPE. Nilai WVTR dipengaruhi oleh densitas plastik dimana plastik dengan densitas yang lebih besar memiliki area kristalin yang lebih banyak sehingga lebih rapat yang menyebabkan gas tidak mudah keluar masuk melalui kemasan. Hal sebaliknya terjadi pada kemasan bioplastik yang memiliki densitas lebih kecil yang mengindikasikan struktur amorf (tidak beraturan) lebih mendominasi penyusunnya sehingga kemasan ini lebih renggang dan mudah untuk dilewati oleh uap air dan gas lainnya. Dari Tabel 6 menunjukkan morfologi permukaan HDPE lebih homogen daripada bioplastik hal ini dipengaruhi karena pada bioplastik terdapat pati yang terikat pada matriks polimer sehingga terbentuk gelembung-gelembung yang diduga granula pati. Granula pati terlihat tersebar dengan ukuran yang beragam dimana pati yang berukuran kecil dapat menyebabkan penurunan sifat mekanik bioplastik karena terjadinya ikatan rantai polimer dengan granula berukuran kecil sehingga kekuatan plastik untuk menerima tarikan menjadi lebih rendah dengan perpanjangan putus yang besar.
25
Aplikasi Bioplastik Untuk Kemasan Produk Hortikultura Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) Dari Produk Hortikultura Respirasi merupakan proses metabolisme utama pada produk hortikultura yang dapat menyebabkan perubahan mutu dan kimia pada produk hasil panen. Respirasi terjadi pada semua organisme hidup termasuk juga pada tumbuhan, termasuk pada produk hortikultura yang telah dipisahkan dari tempat tumbuhnya. Respirasi merupakan suatu reaksi pemecahan bahan organik yang komplek menjadi lebih sederhana dengan melepaskan energi. Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah sebagai berikut : C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 675 kal Laju respirasi biasanya dinyatakan dalam laju konsumsi O2 dan laju produksi CO2. Dalam proses respirasi, produk hortikultura memerlukan oksigen (O2) untuk memecah bahan-bahan organik dan menghasilkan CO2, uap air dan panas. Semakin banyak oksigen yang diperlukan untuk respirasi maka CO2 yang dihasilkan dari proses respirasi ini juga akan meningkat begitu juga dengan uap air dan panas. Untuk mengetahui kecepatan laju respirasi pada produk hortikultura ini biasanya digunakan perhitungan terhadap perubahan gas O2 atau CO2 pada interval waktu tertentu. Laju respirasi diantara produk hortikultura berbeda satu sama lainnya sehingga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu golongan klimakterik dan nonklimakterik. Pada produk hortikultura yang termasuk golongan klimakterik ditandai dengan adanya proses yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk hortikultura golongan non-klimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan karena proses respirasi pada produk berjalan lambat (Winarno 2002). Buah golongan klimakterik memiliki karakteristik dengan adanya puncak aktivitas respirasi selama pematangan yang menunjukkan kualitas buah siap untuk dikonsumsi dimana puncak respirasi ini bervariasi pada tiap-tiap buah. Sebaliknya pada buah golongan non-klimakterik hanya menunjukkan penurunan bertahap pada proses respirasi selama pematangan dengan pola yang berbeda tergantung dari masing-masing buah. Respirasi untuk golongan non-klimakterik juga memiliki hubungan antara tingkat respirasi yang tinggi dengan umur simpan yang pendek (Tucker et al. 1993). Buah golongan non-klimakterik tidak menunjukkan proses pematangan setelah dipanen dan pola respirasinya akan berubah menjadi lambat setelah pemanenan. Istilah klimakterik hanya melibatkan peningkatan respirasi buah ditinjau dari produksi CO2 (Villavicencio et al. 2001). Dari Lampiran 2 dan Lampiran 3 menunjukkan selama masa penyimpanan rerata laju konsumsi O2 pada tomat (0.056-1.057 mlO2/kg.jam) lebih rendah daripada rerata laju konsumsi O2 pada paprika (0.059-0.982 mlO2/kg.jam). Begitu juga dengan rerata laju produksi CO2 pada tomat (0.008-0.412 mlCO2/kg.jam) lebih rendah daripada rerata laju produksi CO2 pada paprika (0.015-0.513 mlCO2/kg.jam). Laju respirasi (konsumsi O2 dan produksi CO2) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, umumnya tergantung pada 2 faktor, yaitu (1) faktor dari dalam seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, besar-kecilnya komoditas dan ada tidaknya kulit penutup alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis
0.36 0.32 0.28 0.24 0.20 0.16 0.12 0.08 0.04 0.00
Laju Produksi CO2 (ml/kg.jam)
Laju Konsumsi O2 (ml/kg.jam)
dari jaringan dan (2) faktor dari luar yang meliputi: suhu, konsentrasi O2 dan CO2, zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan pada produk. Kedua faktor ini saling berinteraksi apakah saling mendukung ataupun sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam Lampiran 2a menunjukkan jenis plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O2 tomat namun suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap laju konsumsi O2. Dari uji lanjut Duncan menunjukkan laju konsumsi O2 tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik dan laju konsumsi O2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya. Dari hasil analisis sidik ragam 3a juga menunjukkan jenis plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO2 tomat sedangkan suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju produksi CO2 tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan laju produksi CO2 tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik dan laju produksi CO2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya. Gambar 4 menunjukkan laju konsumsi O2 dan produksi CO2 pada tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Buah yang dikemas dengan bioplastik baik dari laju konsumsi O2 ataupun dari laju produksi CO2nya lebih tinggi daripada yang dikemas dengan HDPE. Ini dipengaruhi oleh densitas dari kemasan dimana bioplastik memiliki densitas yang cenderung lebih rendah yang mengindikasikan dominasi struktur amorf yang lebih besar sehingga ikatan antar molekul penyusunnya lebih renggang daripada HDPE. Dengan keadaan yang lebih renggang ini menyebabkan kemampuan bioplastik untuk dilewati oleh O2 dan CO2 lebih mudah. Hal ini berbeda dengan kemasan HDPE yang densitasnya lebih kecil sehingga O2 dan CO2 yang terdapat di dalam kemasan konsentrasinya lebih besar akibat lebih rapatnya molekul penyusun HDPE.
HDPE
Bioplastik
Jenis Plastik
Gambar 4
0.36 0.32 0.28 0.24 0.20 0.16 0.12 0.08 0.04 0.00 HDPE Bioplastik Jenis Plastik
(a) (b) Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat, dan (b) laju produksi CO2 tomat
Konsentrasi O2 dan CO2 yang rendah di dalam bioplastik juga dipengaruhi oleh bahan utama penyusun plastik tersebut. Pada kemasan bioplastik, pati merupakan bahan utama penyusun yang dapat bereaksi dengan O2 dan hasil respirasi yaitu CO2, dan uap air yang terdapat pada bagian dalam kemasan. Dengan kemampuan yang demikian menjadikan konsentrasi O2 dan CO2 di dalam
27
kemasan bioplastik lebih rendah daripada di dalam kemasan HDPE. Dengan konsentrasi O2 yang lebih rendah di dalam kemasan bioplastik menjadikan konsumsi O2 tomat untuk melakukan reaksi respirasi juga lebih kecil sehingga respirasi tomat di dalam kemasan bioplastik berlangsung lebih lambat. Kondisi seperti ini mengindikasikan laju respirasi buah yang dikemas dengan bioplastik dapat diminimalisir sehingga penurunan kualitas tidak berlangsung dengan cepat. Selain pengaruh jenis plastik yang menyebabkan keterbatasan O2 sehingga laju respirasi yang terjadi lebih lambat juga dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan. Pada awal penyimpanan tomat laju respirasi cenderung lebih cepat karena masih tersedianya substrat untuk dipecah menjadi komponen yang lebih sederhana. Laju respirasi tomat ditinjau dari laju konsumsi O2 dan produksi CO2 selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5. 0.80
0.60 0.40 0.20 0.00 3
6
9
12
15
18
Penyimpanan (Hari)
Gambar 5
21
Laju Produksi CO2 (ml/kg.jam)
Laju Konsumsi O2 (ml/kg.jam)
0.80
0.60 0.40 0.20 0.00 3
6
9
12
15
18
Penyimpanan (Hari)
(a) (b) Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) laju produksi CO2 tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
Pengukuran laju respirasi biasanya dilihat dari perubahan laju produksi CO 2 selama penyimpanan. Pola perubahan laju respirasi ini berbeda antara buah golongan klimakterik dan golongan non-klimakterik. Tomat merupakan golongan klimakterik dengan pola respirasi mengalami penurunan produksi CO2 hingga memasuki fase klimakteriknya yang ditandai dengan adanya peningkatan produksi CO2 sebelum akhirnya kembali menurun yang merupakan awal dari fase senescence. Sampaio et al. (2007) melaporkan buah mombin kuning sebagai golongan klimakterik dari pola respirasinya. Pada saat memasuki fase pra-klimakterik buahbuahan golongan klimakterik mengalami laju respirasi yang rendah, kemudian mengalami peningkatan drastis hingga mencapai respirasi maksimum (klimakterik maksimum) yang diikuti dengan penurunan akitifitas respirasi yang diindikasikan sebagai senescence. Laju respirasi produk hortikultura biasanya dihitung berdasarkan analisa produksi CO2 atau konsumsi O2 per berat produk dalam waktu tertentu. Beberapa teknik dapat digunakan untuk menghitung gas produk yang dianggap sebagai respirasi. Hal yang mesti diperhatikan pada saat mengukur respirasi adalah untuk tidak menyimpan produk terlalu lama dalam tempat tertutup karena dapat
21
menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen dan peningkatan CO2 yang akan mempengaruhi laju respirasi selanjutnya. Oleh karena perubahan konsentrasi O2 yang terjadi lebih kecil daripada konsentrasi O2 di udara, umumnya respirasi lebih mudah diketahui dari laju produksi CO2 (Bower et al. 1998). Dari Gambar 5 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara tomat yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE dari perubahan laju produksi CO2 selama penyimpanan. Pada hari penyimpanan ke-3, laju produksi tomat yang dikemas dengan HDPE (0.299 ml/kg.jam) lebih besar daripada tomat yang dikemas dengan bioplastik (0.151 ml/kg.jam). Keduanya mengalami penurunan laju produksi CO2 sebelum akhirnya mengalami peningkatan pada hari yang berbeda. Tomat yang dikemas dengan HDPE mulai mengalami penurunan laju produksi CO2 penyimpanan ke-6 (0.120 ml/kg.jam) kemudian secara bertahap mengalami peningkatan laju produksi CO2 antara hari penyimpanan ke-12 dan 15. Diduga antara hari penyimpanan tersebut tomat yang dikemas dengan HDPE mengalami fase klimakteriknya karena penyimpanan pada hari ke-18 laju produksi tomat mengalami penurunan yang merupakan awal dari fase senescence. Pada tomat yang dikemas dengan bioplastik penurunan laju produksi CO2 terjadi pada hari penyimpanan ke-9 (0.018 ml/kg.jam). Pada hari penyimpanan berikutnya secara bertahap laju produksi tomat yang dikemas dengan bioplastik mengalami peningkatan hingga akhir penyimpanan pada hari ke-21. Ini menandakan hingga akhir penyimpanan tomat yang dikemas dengan bioplastik belum mengalami puncak klimakteriknya karena laju produksi CO2nya belum menunjukkan penurunan yang merupakan awal dari fase senescence. Dapat disimpulkan tomat yang dikemas dengan bioplastik dapat menunda tahapan pematangan tomat hingga hari ke-21. Perbedaan puncak klimakterik dari produksi CO2 pada tomat yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE dipengaruhi oleh ketersediaan gas O2 dimana semakin banyaknya jumlah gas O2 respirasi juga akan berlangsung dengan cepat yang menyebabkan produksi CO2 meningkat. Ketersediaan gas O2 di dalam kemasan bioplastik lebih sedikit daripada HDPE karena O2 tersebut juga bereaksi dengan bahan bioplastik (pati). Kondisi seperti ini tidak terjadi pada tomat yang dikemas dengan HDPE, dimana HDPE memiliki sifat inert (tidak bereaksi dengan produk yang dikemas) sehingga seluruh gas O2 yang terdapat di dalam kemasan digunakan untuk berlangsungnya respirasi tomat selama penyimpanan. Selain karena bereaksi dengan bahan utama penyusun kemasan, kecepatan respirasi tomat di dalam kemasan juga dipengaruhi oleh densitas kemasan itu sendiri. Bioplastik memiliki densitas lebih besar yang mengindikasikan struktur penyusunnya lebih renggang sehingga mampu melewatkan gas dari kemasan ke lingkungan atau sebaliknya sehingga komposisi gas di dalam kemasan diharapkan tetap stabil. Hal sebaliknya terjadi pada kemasan HDPE. Berbeda dengan tomat yang merupakan golongan klimakterik, paprika yang mewakili golongan non-klimakterik selama penyimpanan tidak mengalami peningkatan produksi CO2 hingga akhirnya menuju fase senescence. Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 2b menunjukkan jenis plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O2 paprika namun suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju konsumsi O2 paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kemasan HDPE
29
0.36 0.32 0.28 0.24 0.20 0.16 0.12 0.08 0.04 0.00
Gambar 6
Laju Produksi CO2 (ml/kg.jam)
Laju Konsumsi O2 (ml/kg.jam)
berbeda nyata dengan bioplastik terhadap laju konsumsi O2 dan laju konsumsi O2 berbeda nyata selama penyimpanan. Hasil sidik ragam Lampiran 3b menunjukkan jenis plastik, suhu dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO2 paprika namun interaksi tiap perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap laju produksi CO2 paprika. Uji lanjut Duncan menghasilkan perbedaan terhadap laju produksi CO2 antara paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Hasil uji lanjut Duncan terhadap laju produksi CO2 paprika pada suhu penyimpanan 5 dan 10 0C tidak memberikan perbedaan tetapi keduanya berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 15 0C. Dan laju produksi CO2 paprika berbeda nyata selama penyimpanan. Gambar 6 menunjukkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih tinggi laju konsumsi O2 dan produksi CO2nya daripada paprika yang dikemas dengan menggunakan bioplastik. Kondisi seperti ini sama seperti pada tomat dimana dipengaruhi oleh bahan utama penyusun bioplastik yang dapat bereaksi dengan gas yang terdapat dalam kemasan dan densitas bioplastik yang lebih kecil daripada HDPE sehingga kelebihan gas tertentu di dalam kemasan bioplastik dapat dengan mudah keluar masuk melalui lapisan bioplastik.
HDPE Bioplastik Jenis Plastik
0.36 0.32 0.28 0.24 0.20 0.16 0.12 0.08 0.04 0.00 HDPE Bioplastik Jenis Plastik
(a) (b) Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika, dan (b) laju produksi CO2 paprika
Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya. Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan rantai lurus sedangkan pada daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang. Kombinasi struktur amorf dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang akan dihasilkan. Plastik yang lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat fisik plastik yang fleksibel sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik yang memiliki densitas tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi (Equistar 2004) Laju respirasi juga dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dari produk. Semakin lama waktu penyimpanan menunjukkan semakin banyak komponen komplek dari produk terdegradasi yang digunakan sebagai substrat pada respirasi. Respirasi terus berlangsung selama penyimpanan hingga memasuki fase senescence yang ditandai dengan tidak adanya lagi substrat untuk tetap disintesa. Dari Gambar 7 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara paprika ditinjau dari perubahan laju produksi CO2 selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan
0.80
Laju Produksi CO2 (ml/kg.jam)
Laju Konsumsi O2 (ml/kg.jam)
laju produksi CO2 paprika yang dikemas dengan HDPE (0.342 ml/kg.jam) lebih besar daripada bioplastik (0.126 ml/kg.jam). Paprika yang dikemas dengan bioplastik mengalami penurunan produksi CO2 (0.020 ml/kg.jam) pada hari penyimpanan ke-9 sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mengalami penurunan produksi CO2 (0.069 ml/kg.jam) pada hari penyimpanan ke-12. Namun setelah mengalami penurunan produksi CO2, keduanya mengalami peningkatan kembali pada hari penyimpanan berikutnya. Peningkatan ini diduga karena aktivitas mikroorganisme yang ditandai dengan adanya miselium cendawan pada pangkal buah. Aktivitas mikroorganisme ini berlangsung dengan cepat hingga pada hari penyimpanan ke-18 produksi CO2 paprika yang dikemas dengan bioplastik lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE karena paprika yang dikemas dengan bioplastik sebagian sudah mengalami kebusukan dan berair.
0.60 0.40 0.20 0.00 3
6
9
12
15
Penyimpanan (Hari)
18
21
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 3
6
9
12
15
18
21
Penyimpanan (Hari)
(a) (b) Gambar 7 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik (), dan (b) laju produksi CO2 paprika yang dikemas HDPE HDPE (○) dan bioplastik () Dari pola respirasi tersebut dapat disimpulkan paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12 sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mulai memasuki tahap senesecence pada hari penyimpanan ke-15. Berbeda dengan tomat, laju produksi CO2 paprika yang dikemas dengan HDPE yang densitasnya lebih besar memiliki waktu yang lebih lama menuju senescence (12 hari) daripada paprika yang dikemas dengan bioplastik (9 hari) yang densitasnya lebih kecil. Paprika merupakan buah golongan non-klimakterik dimana selama penyimpanan laju produksi CO2nya hanya mengalami penurunan hingga fase senescence. Dengan kondisi demikian menjadikan jumlah O2 di dalam kemasan tidak semuanya digunakan untuk melakukan respirasi karena buah golongan nonklimakterik tidak mengalami perubahan menuju kondisi optimalnya selama penyimpanan. Namun produksi CO2 dan uap air tetap dihasilkan dari reaksi respirasi sehingga O2, CO2 dan uap air yang terdapat pada bioplastik akan bereaksi dengan dengan pati sebagai bahan utama penyusun kemasan ini. Semakin lama reaksi ini berlangsung mengakibatkan bioplastik kehilangan
31
performanya untuk melindungi produk yang menyebabkan paprika yang dikemas dengan bioplastik lebih cepat menuju fase senescence. Laju produksi CO2 pada paprika selain dipengaruhi jenis plastik dan lama penyimpanan, suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap laju produksi CO2 paprika. Suhu sangat berpengaruh pada cepat atau tidaknya laju respirasi karena pada suhu tinggi dapat menyebabkan proses pemecahan komponen komplek seperti karbohidrat dapat berlangsung lebih cepat. Rataan produksi CO2 pada paprika yang disimpan pada suhu 15 oC lebih tinggi (0.192 ml/kg-jam) daripada laju produksi paprika yang disimpan pada suhu 5 oC (0.102 ml/kg-jam) dan suhu 10 oC (0.119 ml/kg-jam). Hal ini sesuai dengan Wills (1989) yang mengemukakan setiap peningkatan suhu 10 oC maka laju respirasi meningkat 2 kali lipat, tetapi pada suhu di atas 35 oC laju respirasinya menurun karena aktivitas enzim terganggu sehingga menghambat difusi oksigen. Perubahan Fisikokimia Perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika yang dikemas dengan menggunakan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu penyimpanan (5, 10 dan 15 oC) selama 21 hari merupakan pengaruh dari reaksi respirasi dimana terjadi degradasi senyawa makromolekul komplek. Semakin cepat laju respirasi terjadi menandakan pemecahan makromolekul komplek cenderung lebih cepat yang mengakibatkan perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika selama penyimpanan berlangsung lebih cepat sehingga waktu yang diperlukan menuju senescence lebih singkat. Respirasi dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan kimia dan fisik buah, seperti pati menjadi gula sehingga buah terasa manis, perubahan warna sehingga lebih menarik, melunaknya buah dan perubahan lainnya yang diharapkan hingga pada batas tertentu. Akan tetapi semakin lamanya penyimpanan menyebabkan produk hortikultura mengalami kemunduran kualitas secara keseluruhan. Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan (3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air dan energi (Syarief dan Hariyadi, 1993). Berbagai macam perubahan yang terjadi saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada saat respirasi berlangsung terjadi pemecahan pati dan terbentuk gula-gula yang lebih sederhana yang dikonversikan menjadi asetil CoA yang nantinya akan digunakan pada jalur metabolisme lainnya. Proses ini berlangsung terus menerus dengan kecepatan yang tergantung pada kondisi lingkungan hingga tidak adanya lagi substrat yang bisa digunakan. Pada kondisi seperti ini biasanya buah telah memasuki fase senescence (busuk) sehingga mengalami penurunan kualitas. Penurunan Bobot Penurunan bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran produk hortikultura. Selama penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi trasnpirasi yaitu penguapan air dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan dan kelayuan. Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang terjadi selama penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan makromolekul kompleks menghasilkan air dalam bentuk uap.
Berat rata-rata pada awal penyimpanan tomat sebesar 513.878 g dan paprika sebesar 516.542 g. Pada akhir penyimpanan, yaitu pada hari ke-21 berat rata-rata tomat menjadi 488.505 g dan paprika menjadi 469.832 g. Ini menunjukkan persentase susut bobot tomat yang berkurang selama penyimpanan (0.0641.043%) lebih rendah daripada persentase susut bobot paprika yang berkurang (0.063-14.905%) yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 4a menunjukkan hanya lama penyimpanan berpengaruh terhadap persentase penurunan bobot dari tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan penurunan bobot tomat pada awal penyimpanan berbeda pada setiap harinya. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 4b juga menunjukkan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap penurunan bobot paprika sedangkan jenis plastik, suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh. Hasil analisis uji lanjut Duncan menunjukkan penurunan bobot paprika pada awal penyimpanan berbeda nyata dengan akhir penyimpanan. Gambar 8 menunjukkan penurunan bobot yang merupakan persentase bobot akhir dari tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Tomat yang dikemas dengan menggunakan bioplastik mulai mengalami penurunan bobot pada hari penyimpanan ke-9 (98.893%) lebih besar daripada tomat yang dikemas dengan menggunakan HDPE (99.165%). Penurunan bobot lebih besar pada tomat yang dikemas dengan bioplastik terus terjadi hingga akhir penyimpanan (hari ke-21).
Penurunan Bobot (%)
100
100
95
95
90
90
85
85 0
3
6 9 12 15 Penyimpanan (Hari)
18
21
0
3
6 9 12 15 Penyimpanan (Hari)
18
(a) (b) Gambar 8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik () Kondisi ini dipengaruhi oleh karakteristik plastik terhadap permeabilitas uap air, dimana selama penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi transpirasi yaitu penguapan air dari permukaan buah yang menyebabkan kekeringan dan kelayuan. Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang terjadi selama penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan makromolekul kompleks menghasilkan air dalam bentuk uap. Uap air yang terbentuk ini akan lebih mudah melewati kemasan bioplastik karena kemasan ini
21
33
memiliki nilai permeabilitas yang lebih tinggi (21.56 g/m2/24 jam) daripada HDPE (13.10 g/m2/jam) yang mengindikasikan bioplastik memiliki kemampuan untuk melewatkan uap air dari dalam kemasan lebih besar daripada HDPE. Permeabilitas juga berkaitan erat dengan densitas (kerapatan) dari kemasan. Pendapat tersebut didukung oleh Equistar (2004) dimana permeabilitas plastik dapat dipengaruhi oleh struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik lebih tahan terhadap permeabilitas gas dan uap air sedangkan daerah amorf lebih mudah untuk ditembusi oleh molekul uap air dan gas. Nunes (2008) mengatakan persentase penurunan susut bobot tomat yang disimpan pada suhu 15 oC (2%) lebih tinggi daripada suhu penyimpanan 20 oC (2.5%) tetapi pada tomat yang disimpan dibawah suhu 15 oC susut bobot yang terjadi kurang dari 1%. Tomat yang dipanen pada tingkat kematangan maturegreen yang disimpan pada suhu 12 oC selama 4 minggu mengalami kehilangan bobot 9.8% dengan kenampakan tomat semakin menurun yang ditandai dengan adanya keriput, kisut pada kulit dan kehilangan kecerahan. Paprika yang dikemas dengan bioplastik mengalami penurunan pada hari ke-9 (99.208%) lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE (99.406%). Setelah hari penyimpanan ke-12, penurunan bobot paprika yang dikemas dengan HDPE (94.680%) lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan bioplastik (98.661%). Penurunan bobot secara drastis yang terjadi pada paprika yang dikemas dengan HDPE diduga karena komposisi udara di dalam kemasan tersebut. Paprika yang dikemas dengan HDPE pada hari penyimpanan ke-15 mengalami akumulasi CO2 hasil dari proses respirasi lebih besar daripada CO2 di dalam kemasan bioplastik sehingga lebih memungkinkan terjadinya respirasi anaerobik di dalam kemasan HDPE daripada bioplastik. Kondisi seperti ini mengakibatkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih cepat mengalami kebusukan dan berair serta beraroma tajam hingga mengalami penurunan bobot yang drastis. Penelitian Manolopoulou et al. (2010) juga menghasilkan pola penurunan bobot paprika yang sama dimana plastik dengan densitas lebih rendah (LDPE) menghasilkan nilai susut bobot yang lebih tinggi dibandingkan plastik dengan densitas yang lebih besar (MDPE). Pada akhir penyimpanan, paprika pada suhu 10 oC yang dikemas dengan LDPE mengalami kehilangan bobot sebesar 0.65% sedangkan paprika yang dikemas dengan MDPE sebesar 0.32%. Kehilangan air, pelunakan jaringan, pengkerutan dan chilling injury merupakan faktor utama batasan kualitas dari paprika. Paprika merupakan produk hortikultura yang berongga dimana ketebalan dindingnya sekitar 5-8 mm sehingga menjadikannya mudah mengalami pengurangan volume air dalam jumlah yang besar selama penyimpanan yang mengakibatkan produk menjadi mengkerut dan kehilangan ketegarannya. Penyimpanan pada suhu 7.5 oC dengan RH 90-95% disarankan untuk memperpanjang masa simpan maksimum paprika (3-5 minggu) dan mengurangi penguapan air yang dapat menyebabkan pengkerutan. Paprika juga dapat disimpan pada suhu 5 oC selama 2 minggu dan juga penyimpanan pada suhu rendah dapat mengurangi kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury akan muncul apabila melebihi masa simpan tersebut (Gonzalez-Aguilar 2004). Kader (1992) menjelaskan terjadinya susut bobot dikarenakan hilangnya air dalam buah dan oleh respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O. Hal ini juga dijelaskan oleh Muchtadi (1992) dimana kehilangan bobot pada buah dan
sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi yang menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut. Kekerasan Perubahan tekstur merupakan salah satu perubahan fisiologis yang terjadi sebagai akibat langsung dari kehilangan air pada produk hortikultura. Biasanya perubahan tekstur yang terjadi pada produk hortikultura selama penyimpanan adalah menurunnya tingkat kekerasan sehingga menjadi lunak kecuali pada produk tertentu seperti manggis (kulit buahnya menjadi keras). Perubahan tekstur produk yang semula keras menjadi lunak ini dikarenakan kehilangan air yang menjadikan komposisi dinding sel berubah sehingga menyebabkan menurunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun. Selain itu juga terjadi perubahan secara kimiawi pada dinding sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek dari golongan karbohidrat struktural, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Salah satu bentuk penilaian suatu produk pertanian masih layak simpan untuk dikonsumsi adalah ketika tekstur buah masih dalam keadaan cukup keras. Dari Lampiran 5 dapat dilihat nilai kekerasan tomat selama penyimpanan (1.3222.907 N) lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kekerasan paprika (2.0822.941 N). Perbedaan nilai kekerasan bisa dikarenakan faktor internal seperti perbedaan kadar air, ketebalan daging buah dan komposisi kandungan senyawa komplek penyusun dinding sel. Tucker et al. (1993) mengatakan hampir semua buah mengalami pelunakan selama tahap pematangan. Perubahan tekstur menjadi lunak (softening) pada kebanyakan buah salah satunya dapat disebabkan oleh mekanisme kehilangan tekanan turgor (loss of turgor pressure), degradasi kandungan pati atau kerusakan pada dinding sel buah. Kehilangan tekanan turgor sebagian besar merupakan proses non-fisiologis yang berhubungan dengan dehidrasi buah pascapanen. Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 5a menunjukkan jenis plastik tidak berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat sedangkan suhu dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5 oC berbeda nyata dengan 15 oC, namun keduanya tidak berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 10 0C terhadap kekerasan tomat. Hasil uji lanjut Duncan juga menunjukkan perubahan kekerasan tomat berbeda selama masa penyimpanan. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 5b terhadap perubahan kekerasan paprika menunjukkan hanya dipengaruhi oleh perlakuan lama. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perubahan kekerasan paprika berbeda nyata selama masa penyimpanan. Suhu penyimpanan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tekstur dari buah. Apabila suhu penyimpanan terlalu tinggi dapat menyebabkan proses respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat sehingga kandungan air dari buah lebih cepat mengalami penurunan yang mengakibatkan berkurangnya ketegaran buah (firmness). Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang disimpan pada suhu yang lebih rendah (5 oC) memberikan nilai cenderung lebih besar daripada tomat yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi (10 dan 15 oC). Hal ini disebabkan
35
pada suhu yang lebih tinggi respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat sehingga air yang terdapat pada produk semakin berkurang dengan cepat yang menjadikan ketegaran dari produk semakin menurun sehingga mengakibatkan nilai kekerasan dari buah juga semakin kecil. Tabel 7 Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda Suhu Penyimpanan Kekerasan (N) (⁰C) HDPE Bioplastik b 5 2.484 2.415b 10 2.206ab 2.172ab a 15 1.983 1.912a Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Menurut Gonzalez-Aguilar (2004) pelunakan buah berhubungan langsung dengan berkurangnya kadar air dalam buah. Selain itu kekerasan dapat disebabkan karena terhambatnya proses respirasi atau metabolisme sehingga perombakan karbohidrat menjadi senyawa yang larut air berkurang maka kekerasan dari produk hortikultura akan bertahan. Kitinoja dan Kader (2003) menyatakan suhu dingin sangat mempengaruhi perubahan nilai kekerasan buah. Semakin rendah suhu penyimpanan maka semakin lambat penurunan nilai kekerasan buah. Prasanna et al. (2007) mengatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pektin sendiri merupakan polimer yang tersusun dari asam galakturonat dimana secara alami pektin akan dihidrolisa oleh enzim pektinase selama proses pematangan. Hidrolisa pektin menjadi unit yang lebih sederhana dan bersifat larut dalam air akan menyebabkan perubahan tekstur buah. Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang dikemas dengan HDPE cenderung lebih tinggi daripada bioplastik terutama pada suhu yang lebih rendah. Ini disebabkan pada suhu penyimpanan yang rendah, permeabilitas uap air dari bioplastik semakin menurun sehingga proses transpirasi tidak terjadi dengan cepat dan buah tidak akan mengalami kehilangan turgor yang akan mempengaruhi kekerasan buah. Sebaliknya hal yang berbeda terjadi pada HDPE dimana permeabilitas uap air akan meningkat pada suhu penyimpanan yang rendah. Hasil penelitian Raynasari (2002) menunjukkan permeabilitas uap air bioplastik mengalami penurunan dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan dimana bioplastik yang disimpan selama 30 hari pada suhu 3-7 oC (13.852819.1088 g/m2/24 jam) lebih kecil daripada suhu -10-(-6) oC (16.7208-20.5416 g/m2/24 jam). Permeabilitas uap air HDPE meningkat dengan menurunnya suhu penyimpanan dimana pada suhu 3-7 oC (11.0088-16.7208 g/m2/24 jam) namun lebih kecil daripada suhu penyimpanan -10-(-6) oC (13.3752-19.1088 g/m2/24 jam). Menurunnya permeabilitas uap air bioplastik disebabkan granula pati yang merupakan bahan utama penyusun bioplastik mengalami pembengkakkan hingga akhirnya pecah yang menyebabkan terjadinya ikatan kuat antara molekul penyusun bioplastik sehingga mengakibatkan molekul uap air semakin sulit dapat melewati kemasan ini. Dari Gambar 9 dapat dilihat perubahan morfologi permukaan kedua jenis plastik yang dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Terlihat dengan jelas semakin rendah suhu penyimpanan mengakibatkan semakin banyak granula pati yang
berukuran besar jadi pecah. Ini dapat dilihat dari hasil uji SEM terhadap morfologi permukaan bioplastik pada suhu 10-(-6) oC terdapat granula pati dengan ukuran lebih kecil yang tersebar diseluruh permukaan bioplastik. Hasil uji SEM terhadap morfologi permukaan HDPE menunjukkan permukaan homogen yang mengindikasikan tidak terjadinya perubahan apabila disimpan pada suhu rendah.
24-28
Suhu Penyimpanan (oC) 3-7
(-10)-(-6)
Bioplastik
HDPE
Gambar 9 Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x) (Raynasari 2012) Dengan berubahnya ukuran partikel pati penyusun bioplastik pada suhu rendah menyebabkan kemampuannya untuk melindungi produk menurun. Kemampuan ini semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan dimana menyebabkan semakin banyak granula pati yang mengalami kerusakan pada suhu yang terlalu rendah. Selama penyimpanan proses respirasi terus berlangsung dimana lajunya akan terjadi lebih cepat pada suhu penyimpanan yang tinggi sehingga menyebabkan perubahan secara kimiawi lebih cepat terjadi pada dinding sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek. Gambar 10 menunjukkan perubahan kekerasan pada tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Perubahan kekerasan tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE memiliki nilai yang hampir sama. Selama penyimpanan nilai kekerasan tomat cenderung menurun berbeda dengan paprika yang cenderung mengalami kenaikan. Pada awal penyimpanan daging buah paprika masih dalam keadaan segar dimana dinding sel belum mengalami pelunakan. Daging buah paprika ini memiliki ketebalan sekitar 5-8 mm dengan bagian dalamnya yang berongga dengan tekstur daging paprika dalam keadaan segarnya adalah renyah. Dan ini berbeda dengan daging buah tomat yang lebih tebal dengan tekstur yang bersifat juicy. Peningkatan nilai kekerasan yang terjadi pada paprika disebabkan berkurangnya tekanan turgor akibat berkurangnya air pada permukaan buah. Dengan berkurangnya tekanan turgor menjadikan konsistensi paprika berubah sehingga pada saat dilakukan uji kekerasan, daging buah paprika menjadi liat
37
Kekerasan (N)
(hampir seperti jeli) yang menjadikan probe rheometer susah untuk menembus daging buah sehingga nilai tekanan yang terlihat pada display lebih besar nilainya. Tucker et al. (1993) mengatakan kehilangan turgor sebagian besar bukan dikarenakan oleh proses fisiologi. 3.00
3.00
2.50
2.50
2.00
2.00
1.50
1.50 1.00
1.00 0
3
6
9
12
15
Penyimpanan (Hari)
18
21
0
3
6 9 12 15 Penyimpanan (Hari)
18
(a) (b) Gambar 10 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik () Peningkatan nilai kekerasan pada paprika juga dikemukan oleh Hasanah (2009) dimana selama penyimpanan 21 hari tanpa diberi perlakuan pencelupan dalam larutan edible coating nilai kekerasan paprika meningkat. Pada awal penyimpanan nilai kekerasan paprika sebesar 3.483 (50g/mm.s) atau setara dengan 1.742 N sedangkan pada akhir penyimpanan yaitu hari ke-21 nilai kekerasan paprika sebesar 6.667 (50g/mm.s) atau setara dengan 3.334 N. Berbeda dengan paprika, nilai kekerasan tomat cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan nilai kekerasan tomat selama penyimpanan disebabkan karena terjadinya kehilangan air dari tomat dan juga terdegradasinya senyawa struktural pembentuk dinding sel. Nilai kekerasan tomat yang mengalami penurunan selama penyimpanan juga ditemukan pada hasil penelitian Musaddad (2002) dimana pada saat awal penyimpanan rerata nilai kekerasan tomat berkisar 0.41 MPa (8.050 N). Setelah disimpan selama 20 hari tanpa dilapisi edible khitosan, pada suhu kamar (28-30 oC) kekerasan tomat menjadi 0.18 MPa (3.534 N) dan pada suhu dingin (9-12 oC) menjadi 0.21 MPa (4.123 N). Perbedaan kecenderungan nilai kekerasan yang terjadi pada tomat dan paprika dapat dikarenakan perbedaan ketebalan dinding sel dan komposisi karbohidrat struktural (pembangun) dinding sel. Dari Tabel 1 dan Tabel 4 dapat dilihat nilai dietary fiber paprika lebih besar daripada tomat sehingga diduga efek seperti jeli pada dinding sel selama penyimpanan lebih dominan terjadi pada paprika. Winarno (2002) mengemukakan secara kimiawi dinding sel tersusun dari senyawa-senyawa yang sangat komplek, antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding
21
sel tanaman, terletak pada bagian tengah lamella dinding sel. Sifat terpenting dari pektin adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental. Pada waktu buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat sedangkan jumlah zat pektat seluruhnya menurun, akibatnya akan melemahkan ikatan dinding sel sehingga ketegaran buah akan berkurang. Dalam proses pengembangan dan pematangan, tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan oleh perubahan dinding sel dan perubahan tersebut akan mempengarui firmness dari buah. Sjaifullah et al. (1996) menyatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Kerja enzim pektinesterase adalah mengubah protopektin menjadi pektin yang larut dalam air dan/atau enzim α- amilase dan βamilase bekerja lebih cepat pada suhu tinggi. Salah satu enzim yang memotong ikatan glikosidik pada polisakarida adalah enzim α-amilase yang terdapat pada jaringan tanaman. Mekanisme pemotongan ikatan α, 1-4 pada molekul amilosa dimulai dengan cara mendegradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa. Proses tersebut terjadi secara acak dan cepat yang diikuti dengan penurunan viskositas sel secara drastis yang menyebabkan kekerasan buah menjadi berkurang. Perubahan Warna Sebagai parameter visual, umumnya konsumen cenderung melakukan penilaian pertama terhadap tingkat kematangan buah melalui warna. Perubahan warna merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu pematangan. Perubahan warna terjadi akibat sintesis dari pigmen tertentu, seperti karatenoid dan flavonoid, disamping terjadinya perombakan klorofil. Perombakan klorofil menyebabkan pigmen karotenoid yang sudah ada namun tidak nyata menjadi nampak. Perubahan warna yang terjadi pada buah-buahan sering dijadikan sebagai kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan mentah ataupun matangnya suatu buah. Warna pada buah-buahan disebabkan oleh pigmen yang umumnya dibedakan atas 4 kelompok yaitu klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid (Winarno 2002). Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan dari tomat dan paprika dimana nilai L* berkisar antara 0 (hitam) hingga 100 (putih). Dari Lampiran 6 dapat dilihat selama 21 hari penyimpanan perubahan nilai L* tomat (43.731-50.453) lebih tinggi daripada perubahan nilai L* paprika (34.508-45.387) dimana kisaran angka tersebut mengindikasikan bahwa tomat lebih cerah daripada paprika. Dari Lampiran 7 menunjukkan data nilai C* selama penyimpanan tomat (12.04027.771) lebih tinggi daripada nilai C* paprika (7.883-20.933) dan Lampiran 8 yang memperlihatkan perubahan ohue selama penyimpanan untuk tomat (-45.57068.453) lebih besar kisarannya daripada ohue paprika (-66.007-(-8.699)). Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6a menunjukkan jenis plastik, suhu penyimpanan dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai L* pada tomat. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7a menunjukkan jenis plastik dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat, namun lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perubahan nilai C* tomat berbeda nyata antara awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan.
39
Gambar 11 menunjukkan perubahan nilai C* tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik cenderung memiliki pola yang sama. Pada awal penyimpanan nilai C* tomat baik yang dikemas dengan bioplastik ataupun HDPE cenderung mengalami peningkatan hingga penyimpanan hari ke-9. Pada hari penyimpanan selanjutnya (hari ke-12) nilai C* tomat stabil hingga akhir penyimpanan (hari ke-21). 25.0 22.5
Nilai C*
20.0 17.5 15.0 12.5 10.0 0
3
6
9 12 Penyimpanan (Hari)
15
18
21
Gambar 11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲) Hasil analisis sidik ragam Lampiran 8a memperlihatkan jenis plastik dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan ohue tomat, hanya suhu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan ohue tomat. Uji lanjut Duncan menghasilkan suhu penyimpanan 5oC tidak berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 10oC namun keduanya berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 15 oC. Tabel 8 menunjukkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat dimana pada suhu penyimpanan 5 dan 10 C masih bernilai negatif yang mengindikasikan tomat yang dikemas pada suhu tersebut masih berwarna hijau sedangkan pada suhu penyimpanan 15 oC nilai ohue bertanda positif yang menunjukkan tomat berwarna merah. Hasil penelitian ini menunjukkan penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat proses perombakan klorofil dan sekaligus memperlambat pula proses pembentukan likopen. Suhu mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan pigmen. Pada pembentukan likopen, bila suhu naik maka perubahannya akan cepat. Rendahnya nilai warna pada perlakuan suhu penyimpanan 5 oC disebabkan oleh suhu yang terlalu rendah sehingga degradasi klorofil. Nunes (2008) menyatakan pigmen buah tomat didominasi oleh karoten dan likopen, akumulasi likopen selama ripening akan menghambat biosintesa karoten sehingga menjadikan buah tomat terlihat berwarna merah. Sintesa dan perombakan likopen dipengaruhi oleh suhu, sedangkan karoten tidak. Suhu antara 30-35 oC dapat menghambat sintesa likopen.
Tabel 8 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat Suhu Penyimpanan Perubahan ⁰hue Tomat ( C) HDPE Bioplastik a 5 -22.242 -23.574a 10 -16.276a -7.854a b 15 21.965 21.910b Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Winarno (2002) menyatakan perubahan warna tomat dimulai dengan hilangnya warna hijau, dimana kandungan klorofil buah yang sedang masak dan lambat laun berkurang. Dengan dimulainya proses pematangan, pigmen kuning xantofil diproduksi. Kemudian pada tahap kematangan berikutnya pigmen merah (likopen) akan terakumulasi. Kartasapoetra (1994) menyatakan perubahan warna pada buah merupakan hasil pembongkaran klorofil akibat adanya pengaruh perubahan kimiawi dan fisiologis. Dari Tabel 8 dapat dilihat nilai ohue tomat yang dikemas dengan bioplastik lebih rendah daripada yang dikemas pada HDPE kecuali pada suhu penyimpanan 10 oC dimana tomat yang dikemas dengan bioplastik nilai ohue lebih tinggi. Ini menunjukkan tomat yang dikemas dengan bioplastik pada suhu penyimpanan 10 o C dapat menunda perubahan warna tomat untuk menjadi merah. Kondisi ini terjadi akibat perubahan sifat mekanik bioplastik pada penyimpanan suhu rendah dimana tidak hanya terjadi perubahan nilai permeabilitas juga terjadi perubahan densitas. Granula pati yang merupakan bahan utama bioplastik pada suhu rendah mengalami pembengkakkan (retrogradasi) hingga pecah yang mengakibatkan ikatan antar molekul bioplastik jadi lebih kuat yang berakibat nilai permeabilitas uap airnya jadi menurun. Oleh karena ikatan antar molekul bioplastik menjadi lebih kuat menyebabkan bioplastik menjadi kaku dan kehilangan sifat plastisnya (fleksibel) yang mengindikasikan densitasnya semakin besar yang menunjukkan kerapatan bioplastik semakin tinggi. Perubahan densitas bioplastik menjadi lebih besar mengakibatkan kerapatannya juga meningkat sehingga kemasan ini tidak dapat melewatkan panas bahan yang dikemas dan panas akibat dari proses respirasi yang tetap terakumulasi di dalam kemasan. Budiastra dan Purwadaria (1993) mengatakan secara umum tujuan dari pengemasan buah dan sayuran adalah untuk melindungi komoditas dari kerusakan mekanik, tidak menghambat lolosnya panas bahan dan panas pernapasan dari produk serta mempunyai kekuatan konstruksi yang cukup untuk mengatasi penanganan dan pengangkutan yang wajar. Perubahan warna tomat selama penyimpanan yang dikemas dengan kedua jenis kemasan pada tiaptiap suhu dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6b menunjukkan jenis plastik tidak berpengaruh terhadap nilai L* paprika namun suhu dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap nilai L* paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perubahan nilai L* pada suhu penyimpanan 5 oC paprika tidak berbeda nyata dengan perubahan nilai L* paprika yang disimpan pada suhu 10 oC, akan tetapi keduanya berbeda nyata terhadap perubahan nilai L* paprika pada suhu penyimpanan 15 oC. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7b menunjukkan perubahan nilai C* paprika hanya dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dimana uji lanjut Duncan
41
menghasilkan hanya penyimpanan hari ke-0 yang berbeda nyata dengan penyimpanan hari berikutnya. Dan analisis sidik ragam Lampiran 8b menghasilkan perubahan nilai ohue paprika juga hanya dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dimana hasil uji lanjut Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5 dan 10 oC tidak berbeda nyata namun keduanya berbeda dengan suhu penyimpanan 15 oC. Tabel 9 menunjukkan nilai L* pada suhu penyimpanan 15 oC lebih besar daripada suhu penyimpanan 5 oC dan 10 oC. Ini menandakan paprika yang disimpan pada suhu 15 oC memiliki tingkat kecerahan yang lebih besar sehingga dapat diindikasikan penyimpanan paprika pada suhu ini mulai mengalami perubahan komposisi pigmen yang diikuti dengan nilai ohue yang juga besar. Tabel 9 Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L* dan o hue paprika Perubahan warna paprika Suhu Penyimpanan Nilai L* Nilai ohue (⁰C) HDPE Bioplastik HDPE Bioplastik a a a 5 39.126 38.583 -52.488 -52.822a a a a 10 39.329 40.260 -54.602 -56.558a b b b 15 41.345 41.623 -31.926 -34.529b Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Nyanjage et al. (2005) mengatakan kehilangan warna hijau terjadi dengan cepat pada penyimpanan suhu kamar yang disebabkan oleh peningkatan kerusakan klorofil dan sintesa pigmen β-karoten dan likopen yang terjadi selama proses pematangan. Penyimpanan buah golongan non-klimakterik pada suhu rendah seperti paprika dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas sehingga dapat mempertahankan warna hijau paprika lebih lama. Dari Tabel 9 dapat dilihat nilai ohue paprika baik yang dikemas dengan HDPE ataupun bioplastik masih menunjukkan ohue negatif yang menandakan paprika masih tetap berwarna hijau pada tiga tingkatan suhu tersebut. Namun paprika yang dikemas dengan bioplastik pada ketiga suhu penyimpanan cenderung lebih rendah daripada paprika yang dikemas dengan HDPE. Ini menunjukkan paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai mengalami perubahan warna hijau paprika. Hal ini terjadi akibat perubahan karakteristik bioplastik pada suhu rendah sehingga mempengaruhi produk yang dikemas. Hasil pengamatan perubahan warna paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE pada ketiga suhu penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 10. Gambar 12 menunjukkan perubahan warna paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan berdasarkan perubahan nilai L*dan C*. Dapat dilihat bahwa pola perubahan nilai L* dan C* paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik cenderung sama. Pada awal penyimpanan paprika masih berwarna hijau ditandai dengan nilai a* negatif tetapi nilai L* dan b* paprika positif. Nilai L* paprika pada awal penyimpanan masih cenderung stabil, namun begitu memasuki hari penyimpanan ke-9 nilai L* paprika mengalami penurunan yang menunjukkan warna paprika berubah dari hijau menjadi hijau gelap. Setelah penyimpanan hari ke-12 nilai L* paprika mengalami peningkatan.
18
43
16
41
Nilai C*
Nilai L*
42
40
14 12
39
10
38
8 6
37 0
3
6
9
12
15
Penyimpanan (Hari)
18
21
0
3
6
9
12
15
18
21
Penyimpanan (Hari)
(a) (b) Gambar 12 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L* paprika yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) nilai C* paprika yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲) Sama halnya dengan tomat, perubahan warna pada paprika juga terjadi sebagai akibat terdegradasinya klorofil atau terjadi perombakan klorofil selama penyimpanan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan tingkat kecerahan pada paprika. Pada awal penyimpanan paprika masih berwarna hijau, ini mengindikasikan pigmen dominan yang ada pada paprika berwarna hijau dimana klorofil belum terdegradasi. Semakin lama penyimpanan maka akan terjadi perombakan klorofil sehingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning. Nunes (2008) mengatakan nilai L* pada paprika cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan walaupun nilai L* perubahan yang terjadi sedikit. Paprika yang disimpan pada suhu 0, 5,10 dan 15 oC menunjukkan perubahan warna dari warna hijau terang menjadi hijau gelap (kusam) selama penyimpanan, namun beberapa paprika yang disimpan pada suhu 20 oC menunjukkan perubahan warna dari hijau menjadi semburat kuning pada hari penyimpanan ke-10 dan akan berubah menjadi kuning keseluruhan pada hari penyimpanan ke-20. Warna yang ada pada buah ditimbulkan oleh keberadaan pigmen yang dikandungnya. Buah akan menampilkan warna-warna yang menarik yang ditunjukkan oleh fisikokimia dari pigmen. Sebagai salah satu secondary plants products, pigmen-pigmen warna dihasilkan melalui serangkaian proses yang juga melibatkan hasil dari proses primer yaitu respirasi. Sebagai tahapan pada respirasi, jalur glikolisis, menghasilkan ATP dan Acetyl CoA. Kedua produk ini yang akan digunakan dalam pentose phosphate pathway (PPP), yaitu jalur rangkaian proses yang akan membentuk pigmen-pigmen warna pada buah (Tucker et al. 1993). Total Padatan Terlarut (TPT) Buah-buahan dan sayuran menyimpan karbohidrat untuk persediaan bahan dan energi. Persediaan ini digunakan untuk melaksanakan aktivitas sisa hidupnya. Oleh karena itu dalam proses pematangan, kandungan gula dan karbohidrat selalu berubah (Winarno 2002). Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan refraktometer dimana bagian terbesar dari pengukuran TPT ini adalah total kandungan gula dalam buah sehingga nilai TPT yang diukur dalam satuan oBrix
43
ini dianggap sebagai gambaran banyaknya kandungan gula pada produk yang diamati. Dari Lampiran 11dapat dilihat bahwa rataan nilai TPT tomat selama penyimpanan (3.70-4.46 oBrix) jauh lebih besar bila dibandingkan dengan rataan nilai TPT paprika (3.21-4.19 oBrix). Perbedaan nilai TPT dari kedua produk hortikultura ini dipengaruhi oleh komposisi kimia yang berbeda. Nilai TPT pada tiap-tiap produk hortikultura dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat (pati) dan kecepatan laju respirasi. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11a menunjukkan jenis plastik dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai TPT tomat akan tetapi lama penyimpanan berpengaruh terhadap nilai TPT tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai TPT tomat pada penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan nilai TPT pada hari penyimpanan ke-21 dimana pada awal penyimpanan nilai TPT (3.944 oBrix) lebih rendah daripada akhir penyimpanan (4.316 oBrix). Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11b menunjukkan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap nilai TPT paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-9 berbeda nyata dengan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-18. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Permatasari (2009) dimana total padatan terlarut secara umum akan meningkat seiring pertambahan waktu penyimpanan. Hal ini disebabkan hidrolisis pati menjadi glukosa, fruktosa dan sukrosa. Setelah mengalami peningkatan, total padatan terlarut akan mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan karena gula yang terbentuk dari hasil perombakan pati kembali digunakan sebagai substrat respirasi untuk menghasilkan energi. Gambar 13 menunjukkan perubahan total padatan terlarut tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Pada tomat yang dikemas dengan bioplastik nilai TPTnya lebih rendah daripada tomat yang dikemas dengan HDPE karena laju respirasi tomat yang dikemas dengan HDPE berlangsung lebih cepat dimana fase klimakteriknya antara hari penyimpanan ke12 dan 15. Tomat yang dikemas dengan bioplastik produksi CO2nya mulai mengalami peningkatan setelah hari penyimpanan ke-9. TPT paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola yang sama dimana mengalami penurunan pada hari penyimpanan ke-9 dan 15. Secara umum TPT tomat dan paprika cenderung mengalami peningkatan selama penyimpanan walaupun juga terjadi penurunan. Peningkatan nilai total padatan terlarut ini disebabkan adanya pengaruh respirasi yang mendegradasi komponen kompleks yang terdapat pada produk yang disimpan menjadi komponen yang sederhana. Penurunan nilai TPT pada hari penyimpanan ke-12 (tomat) dan hari penyimpanan ke-9 dan 15 (paprika) bisa jadi disebabkan karena komposisi komponen komplek tidak sama seperti pada awal penyimpanan dimana sudah terjadi akumulasi gula-gula sederhana yang kemudian digunakan kembali pada reaksi respirasi selanjutnya. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hasanah (2009) pada paprika yang disimpan pada suhu 15 oC tanpa perlakuan pencelupan edible coating. Pada awal penyimpanan nilai TPT paprika sebesar 3.82 oBrix setelah penyimpanan selama 3 hari nilainya turun menjadi 3.53 oBrix akan tetapi kembali meningkat pada penyimpanan hari ke-6 (3.80 oBrix). Dan pada penyimpanan hari ke-9 dan 12
TPT ( Brix)
stabil dengan nilai 3.67 oBrix sebelum akhirnya mengalami peningkatan secara bertahap hingga akhir penyimpanan (4.70 oBrix). 4.40
4.40
4.20
4.20
4.00
4.00
3.80
3.80
3.60
3.60
3.40
3.40
3.20
3.20 0
3
6
9
12
15
Penyimpanan (Hari)
18
21
0
3
6
9
12
15
18
21
Penyimpanan (Hari)
(b) (a) Gambar 13 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan Total Padatan Terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik () Hal ini sesuai dengan Winarno (2002) yang mengatakan total padatan terlarut buah akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan dan akan terus menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama penyimpanan, komponen gula yang terurai semakin banyak sehingga gula yang merupakan komponen utama bahan total padatan terlarut akan semakin menurun. Peningkatan total gula disebabkan oleh terjadinya akumulasi gula sebagai hasil dari degradasi pati, sedangkan penurunan total gula disebabkan karena sebagian gula digunakan untuk berlangsungnya proses respirasi. Menurut Apandi (1984) selama penyimpanan sukrosa dapat mengalami hidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa dan selanjutnya akan menjadi substrat dalam proses respirasi. Perubahan ini terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan lama penyimpanan. Suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim invertase yang berperan dalam pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Selain berpengaruh terhadap aktivitas enzim invertase, pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi juga akan memicu laju respirasi sehingga akan semakin banyak gula yang dikonsumsi dalam proses respirasi. Akumulasi sukrosa pada suhu penyimpanan dingin dimungkinkan karena secara relatif aktivitas enzim invertase lebih tinggi dibandingkan penggunaannya dalam proses respirasi. Sampaio et al. (2007) mengatakan total padatan terlarut berkaitan erat dengan total asam dari buah dimana selama proses pematangan, terjadi peningkatan progresif total padatan terlarut sebagai akibat dari transformasi polisakarida menjadi gula. Semakin banyak terjadinya pemecahan polisakarida tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan keasaman sehingga terjadinya peningkatan ratio total padatan terlarut terhadap asam. Vitamin C Vitamin C atau yang dikenal juga dengan sebutan asam askorbat merupakan mikro-nutrien yang dibutuhkan tubuh manusia agar semua metabolisme tubuh
45
tetap berlangsung. Oleh karena tubuh manusia tidak bisa memproduksi atau menyimpan vitamin C, sumber vitamin C utama adalah buah dan sayur. Tomat dan paprika merupakan salah satu buah yang memiliki kandungan vitamin C tinggi. Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dan hampir terdapat pada semua sayuran dan buah-buahan (Winarno, 2002). Dari data perubahan vitamin C selama masa penyimpanan Lampiran 12 menunjukkan rerata kandungan vitamin C tomat (63.067-183.333 mg/100 g) lebih rendah daripada kandungan vitamin C paprika (156.933-309.467 mg/100g). Menurut Winarno (2002), vitamin C mudah sekali rusak karena pengaruh alkali, enzim, intensitas cahaya, panas, oksidator dan katalis Cu dan Fe. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 12a menunjukkan jenis plastik dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat akan tetapi lama penyimpanan berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kandungan vitamin C berbeda nyata pada hari penyimpanan tertentu. Sama halnya dengan tomat, hasil analisis sidik ragam Lampiran 12b menunjukkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan tidak dipengaruhi oleh jenis plastik dan suhu penyimpanan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap kandungan vitamin C paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kandungan vitamin C paprika berbeda nyata pada hari penyimpanan tertentu. Lama penyimpanan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kandungan vitamin C produk hortikultura selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan selama penyimpanan respirasi terus terjadi, dimana akan terbentuk gula-gula sederhana yang bertindak sebagai prekursor dalam pembentukan vitamin C. Peningkatan kandungan vitamin C biasanya akan terjadi seiring lamanya waktu penyimpanan akan tetapi apabila substrat pembentukan vitamin C tidak lagi tersedia maka kandungan vitamin C akan mengalami penurunan. Gambar 14 menunjukkan perubahan kandungan vitamin C tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama masa penyimpanan. Tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola perubahan kandungan vitamin C yang sama selama penyimpanan walaupun secara umum nilai vitamin C tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik sedikit lebih besar daripada HDPE. Dari Gambar 14 juga terlihat perbedaan perubahan kandungan vitamin C dari tomat dan paprika selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan nilai rataan kandungan vitamin C tomat dan paprika hampir sama yaitu sebesar 170.87 mg/100 g bahan untuk tomat dan 171.60 mg/100 g bahan untuk paprika. Selama masa penyimpanan kandungan vitamin C tomat cenderung mengalami penurunan sedangkan kandungan vitamin C paprika cenderung mengalami peningkatan. Dari Tabel 1 dan 3 juga diketahui kandungan vitamin C paprika lebih tinggi (127.7 mg/100 g) daripada kandungan vitamin C tomat (23.4 mg/100 g), hal ini yang menyebabkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan jauh lebih besar mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kandungan vitamin C tomat selama penyimpanan. Penyebab lainnya kecenderungan penurunan kandungan vitamin C tomat bisa jadi disebabkan tidak cukupnya lagi substrat untuk pembentukan vitamin C.
Vitamin C (mg/100 g)
300
300
250
250
200
200
150
150
100
100
50
50 0
3
6
9
12
Penyimpanan (Hari)
15
18
21
0
3
6
9
12
15
18
Penyimpanan (Hari)
(a) (b) Gambar 14 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yangg dikemas HDPE (○) dan bioplastik () Nunes (2008) mengatakan kandungan asam askorbat akan mengalami peningkatan pada tomat yang disimpan pada suhu 20 oC akan tetapi setelah 8 hari mulai mengalami penurunan. Untuk tomat yang disimpan pada suhu 4 atau 10 oC kandungan asam askorbat mengalami peningkatan pada awal penyimpanan akan tetapi kemudian mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kandungan asam askorbat bisa mengalami penurunan setelah mencapai puncak kandungan tertingginya. Meskipun kandungan asam askorbat tomat setelah panen mengalami peningkatan pada masa penyimpanannya tetapi tidak semua tingkat kematangan tomat pada saat pemanenan mengalami peningkatan kandungan asam askorbat. Selain itu pemasakan buah pada suhu tinggi bisa menyebabkan penurunan asam askorbat karena oksidasi. Terjadinya perubahan parameter sensori pada paprika juga menunjukkan perubahan komposisi yang tergantung dari kondisi penanganan pascapanen. Pada saat paprika disimpan pada suhu dingin kisaran 0-3 oC, asam askorbat meningkat 17% daripada paprika yang disimpan pada suhu 10 0C. Begitu juga pada suhu penyimpanan 7 0C selama 20 hari, asam askorbat mengalami peningkatan tetapi setelah penyimpanan selama 35 hari mulai mengalami penurunan (GonzalezAguilar 2004). Peningkatan kandungan vitamin C pada paprika juga dilaporkan pada penelitian Hasanah (2009) dimana vitamin C paprika yang tidak dilapisi edible coating (kontrol) yang disimpan pada suhu 15 oC pada awal penyimpanan sebesar 36.80 mg/100 g bahan. Setelah disimpan selama 21 hari vitamin C paprika menjadi 111.89 mg/100 g bahan. Vitamin C pada produk hortikultura disintesa dari heksosa, dimana kandungan heksosa akan meningkat selama penyimpanan sehingga kandungan vitamin C dari produk hortikultura juga akan meningkat. Meningkatnya kandungan vitamin C selama fase pematangan buah terjadi akibat adanya pembentukan vitamin C yang berasal dari substrat glukosa 6-PO4-. Pembentukan vitamin C ini terjadi pada jalur pentosa pospat (pentose phosphate pathway) dan melibatkan senyawa intermediet lakton 6-PO4- (Hasanah 2009). Penurunan kadar vitamin C selama penyimpanan disebabkan karena jumlah substrat pembentuk
21
47
vitamin C kemungkinan sudah tidak tersedia dan akibat pengaruh lingkungan internal dan eksternal (suhu dan intensitas matahari pada saat pertumbuhan buah). Penelitian Toor dan Savage (2006) menghasilkan akumulasi asam askorbat dalam jumlah yang sedikit selama penyimpanan pada tiga tingkatan suhu 25, 7 dan 15 oC. Secara keseluruhan tidak terjadi kehilangan kandungan asam askorbat selama penyimpanan. Total asam tertitrasi yang tinggi mempengaruhi terhadap stabilnya kandungan asam askorbat dari buah. Dan buah dengan kandungan total asam tertitrasi yang tinggi menghasilkan kandungan vitamin C yang relatif stabil selama penyimpanan. Interaksi Kemasan dengan Lingkungan Selama penyimpanan perubahan tidak hanya terjadi pada produk yang dikemas tetapi juga terhadap kemasan itu sendiri yang menyebabkan kemasan kehilangan performa terbaiknya sehingga fungsinya untuk menjaga kualitas produk tidak tercapai. Oleh karena fungsi utama kemasan untuk menjaga produk yang dikemas agar tetap dalam kondisi baik menjadikan kemasan harus memiliki sifat barrier. Dengan sifat tersebut menjadikan kemasan sebagai bahan pertama yang berinteraksi apabila terjadinya perubahan lingkungan selama penyimpanan berlangsung. Perubahan yang dialami oleh kemasan dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang menunjukkan kemampuan kemasan untuk menjaga produk yang dikemasnya ataupun disebabkan pengaruh dari produk yang mengindikasikan kemampuan kemasan untuk menjaga komponen produk tetap dalam kondisi baik. Pada waktu dan kondisi tertentu kemasan masih dapat menunjukkan performa terbaiknya, namun hingga batasan tertentu kemasan tidak dapat menjaga produk dengan baik. Perubahan yang dapat terjadi pada kemasan selama penyimpanan adalah permeabilitas dan sorpsi (scalping). Permeabilitas menunjukkan kemampuan suatu luasan kemasan untuk dapat dilewati oleh gas dan uap air, sedangkan sorpsi merupakan kemampuan kemasan untuk tetap menjaga komponen utama produk yang dikemas. Mekanisme kedua perubahan ini berlangsung secara bersamaan dimana pada saat kemasan berinteraksi dengan produk yang dikemas (scalping) maka kemampuan kemasan untuk melewatkan bahan (permeabilitas) menjadi semakin rendah. Permeabilitas Yam (2007) mengatakan pemahaman dasar terhadap proses perembesan gas (permeasi) dapat menjelaskan sifat barrier dari suatu polimer. Molekul permean akan bergerak melewati barrier dalam proses yang bertahap. Proses diawali dengan tabrakan antara molekul dan permukaan polimer, kemudian molekul tersebut akan menyebar dan beradsorpsi ke dalam polimer. Didalam polimer, permean menyebar dan berdifusi secara acak dimana energi kinetik termalnya akan mempertahankan molekul untuk tetap bergerak di antara cabang polimer. Difusi acak ini menunjukkan molekul permean akan bergerak dari sisi polimer yang kontak dengan permean berkonsentrasi tinggi menuju sisi kontak dengan permean berkonsentrasi rendah. Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme permeabilitas seperti pada Gambar 15.
CO2
Uap Air
O2
O2
Packaging O2
CO2
CO2
Uap Air
CO2
Gambar 15 Mekanisme permeabilitas kemasan Kemasan yang digunakan pada penelitian ini telah diuji permeabilitas uap airnya oleh Raynasari (2012) pada berbagai tingkatan suhu penyimpanan selama selang waktu tertentu. Dari hasil pengujian awal didapatkan nilai permeabilitas uap air bioplastik lebih besar (21.56 g/m2/24 jam) daripada kemasan HDPE (13.10 g/m2/24 jam). Baik bioplastik ataupun HDPE kemudian disimpan pada tiga tingkatan suhu yaitu 24-28 oC yang mewakili suhu ruang, 3-7 oC yang mewakili suhu dingin dan (-10)-(-6) oC yang mewakili suhu freezing. Kedua jenis kemasan ini diamati perubahan nilai permeabilitas uap airnya hingga hari ke-30. Hasil dari pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari Permeabilitas Uap Air (g/m2.24 jam) Kemasan Suhu 24-28 oC Suhu 3-7 oC Suhu (-10)-(-6) oC HDPE 16.719 13.739 16.719 Bioplastik 18.486 16.122 18.989 Sumber : Raynasari (2012) Pengujian awal yang dilakukan Raynasari (2012) terhadap permeabilitas kemasan menunjukkan kemampuan bioplastik untuk melewatkan uap air lebih tinggi daripada HDPE, dikarenakan bahan utama penyusun bioplastik yaitu pati yang bersifat hidrofilik. Perpindahan uap air lebih mudah terjadi pada bagian yang bersifat hidrofilik yang terdapat pada bioplastik. Krochta (2007) mengatakan permeabilitas uap air tergantung pada perbandingan bahan yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik dalam formulasi film. Film dari polisakarida mempunyai ketahanan yang rendah terhadap uap air. Dari Tabel 10 dapat dilihat permeabilitas uap air bioplastik cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan pada berbagai tingkatan suhu penyimpanan. Hal ini dikarenakan pati yang menyusun matriks plastik tersebut mengalami retrogradasi pada suhu rendah yang menyebabkan granula pati yang
49
awalnya berukuran besar menjadi serbuk sehingga terbentuk ikatan kuat antara molekul penyusun bioplastik. Semakin kuatnya ikatan yang terbentuk menjadikan uap air semakin susah melewati kemasan bioplastik pada suhu yang lebih rendah. Selain itu, akibat terbentuknya ikatan kuat tersebut menjadikan bioplastik kehilangan sifat plastisnya yang mengindikasikan daerah kristalin bioplastik semakin mendominasi dan menyebabkan densitas semakin besar. Semakin besarnya densitas bioplastik ini menunjukkan kerapatan bioplastik semakin besar yang menyebabkan tidak hanya uap air yang susah untuk melewati kemasan ini tetapi juga oksigen dan karbondioksida. Dengan kondisi demikian menjadikan bioplastik mengalami penurunan performanya pada suhu rendah karena tidak terjadi kondisi modifikasi pasif di dalam kemasan sehingga produk yang dikemas tidak dapat dilindungi dengan baik. Equistar (2004) mengatakan permeabilitas plastik dapat dipengaruhi oleh struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik lebih tahan terhadap permeabilitas gas dan uap air, sedangkan daerah amorf lebih mudah ditembusi oleh molekul uap air dan gas. Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya. Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan rantai lurus sedangkan pada daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang. Kombinasi struktur amorf dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang akan dihasilkan. Plastik yang lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat fisik plastik yang fleksibel sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik yang memiliki densitas tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi. Oleh karena kemasan HDPE memiliki ikatan hidrofobik yang lebih besar menjadikan kemasan ini lebih rendah nilai permeabilitas uap airnya pada saat pengujian awal. Namun selama penyimpanan nilai permeabilitas uap air HDPE mengalami peningkatan seiring dengan rendahnya suhu penyimpanan yang mengindikasikan semakin mudahnya uap air dapat melewati kemasan tersebut. Ini dikarenakan rusaknya ikatan lurus pada matriks penyusun HDPE yang menyebabkan daerah kristalin semakin berkurang jumlahnya sehingga densitas kemasan ini semakin rendah. Dengan demikian kerapatannya menurun yang menyebabkan ikatan penyusun kemasan HDPE menjadi lebih renggang. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap permeabilitas adalah suhu dan kelembaban. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Pada beberapa jenis kemasan meningkatnya RH menyebabkan meningkatnya nilai permeabilitas yang dikarenakan terbentuknya gugus hidroksil (-OH) yang terdapat pada polimer. Polietilen (dengan densitas tinggi ataupun rendah), diketahui memiliki sifat barrier yang baik terhadap air sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban (Cooksey 2004). Selama penyimpanan tomat dan paprika pada ketiga suhu juga dilakukan pencatatan terhadap nilai RH cold storage. Nilai RH pada suhu 5 oC antara 8588%, suhu 10 oC antara 80-85% dan pada suhu 15 oC sekitar 77-80%. Nilai kelembaban yang tinggi pada cold storage juga dapat menyebabkan terjadinya perubahaan permeabilitas kemasan tersebut. Dalam kondisi kelembaban yang tinggi, air terabsorpsi ke dalam polimer dan berinteraksi dengan ikatan polar untuk menggembungkan struktur polimer
(Yam 2007). Alasan ini yang menyebabkan pecahnya granula pati penyusun matriks bioplastik yang awalnya berukuran besar menjadi ukuran kecil bahkan pada suhu yang semakin rendah berbentuk serbuk-serbuk halus. Pada awalnya granula menyerap air di lingkungan hingga mengalami pembengkakkan. Semakin lama masa penyimpanan menyebabkan pati yang membengkak semakin banyak menyerap air sehingga pada waktu tertentu granula ini menjadi pecah. Granula pati yang pecah tersebut menjadi ukuran kecil yang kembali menyerap air di lingkungan. Semakin lama masa simpan dan semakin rendah suhu penyimpanan menjadikan semakin banyak granula pati yang pecah sehingga terbentuk serbuk di seluruh permukaan bioplastik. Perubahan morfologi permukaan bioplastik dan HDPE dapat dilihat pada Gambar 9. Sorption (scalping) Krochta (2007) menjelaskan sorpsi merupakan kemampuan bahan penyusun kemasan untuk menyerap komponen utama dari produk tanpa memindahkan komponen tersebut ke lingkungan selama penyimpanan. Tingkat sorpsi kemasan ini tergantung pada sifat produk yang dikemas dan materi bahan pengemas. Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme terjadinya sorpsi pada kemasan selama penyimpanan seperti pada Gambar 16.
kemasan
Gambar 16 Mekanisme sorpsi kemasan Pada produk hortikultura yang mengalami respirasi dengan menghasilkan sejumlah konsentrasi gas CO2 juga memerlukan sifat kemasan dengan sorpsi tinggi sehingga tidak terjadi akumulasi CO2 yang memungkinkan terjadinya respirasi anaerob. Dengan mengemas produk hortikultura menggunakan plastik diharapkan terjadinya perubahan atau modifikasi konsentrasi CO2 dan O2 sekitar produk di dalam kemasan, dimana konsentrasi CO2 akan terus meningkat dan O2 menurun akibat interaksi dan respirasi produk yang dikemas dan permeabilitas bahan kemasan terhadap kedua gas tersebut. Menurut Zagory dan Kader (1997), buah dan sayur segar masih melakukan respirasi sehingga membutuhkan kemasan yang memungkinkan terjadinya permeasi oksigen dan keluarnya karbondioksida pada jumlah yang sesuai dengan produk yang dikemas. Terjadinya mekanisme sorpsi komponen produk oleh kemasan sangat dipengaruhi oleh bahan penyusun kemasan tersebut. Bahan utama penyusun bioplastik merupakan pati yang dapat menyerap kelebihan konsentrasi oksigen dan karbondioksida serta uap air sehingga terjadinya keseimbangan di dalam kemasan bioplastik. CO2 dan uap air yang dihasilkan dari respirasi juga dapat memecah ikatan makromolekul pati penyusun bioplastik. Semakin lama masa simpan produk hortikultura yang dikemas dengan menggunakan bioplastik
51
mengakibatkan pemecahan makromolekul penyusun bioplastik menjadi lebih sederhana. Dengan kondisi seperti ini dapat mengakibatkan bioplastik kehilangan performanya untuk melindungi produk. Selain itu pemecahan makromolekul pati menjadi CO2, H2O dan O2 dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme. Namun kemampuan bioplastik tersebut tidak bekerja dengan baik pada penyimpanan suhu rendah. Karakteristik pati penyusun matriks bioplastik akan mengalami perubahan apabila disimpan pada suhu rendah yang menyebabkan terbentuknya ikatan kuat antar molekul pati sehingga tidak mampu lagi menyerap gas yang berlebihan di dalam kemasan. Pada kondisi jenuh seperti ini, kondisi di dalam kemasan akan didominasi oleh konsentrasi CO2 sehingga kemungkinan respirasi anaerob lebih besar terjadi. Ikatan kuat yang terbentuk tersebut juga menjadikan kemasan bioplastik semakin rapat sehingga gas dengan BM lebih tinggi (CO2) susah melewati kemasan ini dibandingkan dengan gas yang memiliki BM lebih rendah (O2 dan H2O dalam bentuk uap). Siracusa et al. (2008) mengatakan penentuan barrier properties pada polimer tertentu merupakan hal penting yang dapat menentukan masa simpan produk yang dikemas. Secara umum plastik relatif lebih permeabel terhadap molekul kecil. Uap air dan oksigen merupakan dua hal utama yang harus diperhatikan dalam aplikasi kemasan, karena dapat mengalami perpindahan dari dalam atau keluar lingkungan melalui dinding matriks kemasan yang menghasilkan perubahan terus menerus terhadap mutu produk yang dikemas dan umur simpan. Permeabilitas CO2 juga merupakan faktor penting pada pengemasan MAP karena dapat mengurangi permasalahan utama yang berhubungan dengan produk segar. Laju respirasi produk segar merupakan hal penting dalam merancang MAP sehingga dapat ditentukan penggunaan kemasan yang sesuai. Penentuan Umur Simpan Umur simpan adalah periode waktu bagi sebuah produk hingga produk tersebut tidak dapat lagi diterima secara sensorik, nutrisi dan keamanannya. Penentuan umur simpan produk hortikultura dapat didasarkan pada beberapa parameter namun umumnya parameter yang diuji biasanya merupakan parameter yang paling cepat tidak dapat diterima oleh konsumen. Dalam menentukan umur simpan dilakukan beberapa langkah kegiatan antara lain : (1) menentukan batas penurunan dari parameter yang dijadikan acuan, (2) menentukan parameter mutu kritis, (3) menentukan batas kritis dari parameter yang diamati, (4) menentukan laju penurunan mutu (berdasarkan mutu kritis) untuk setiap perlakuan, dan (5) menentukan umur simpan produk yang dikemas untuk setiap perlakuan. Untuk menentukan umur simpan tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE pada tiga tingkatan suhu (5, 10 dan 15 oC) digunakan salah satu dari metode akselerasi, yaitu metode Arrhenius. Labuza (1982) mengatakan metode Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius sehingga dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan. Pada model Arrhenius, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi
laju reaksi berbagai senyawa kimia yang akan semakin mempercepat pula penurunan mutu produk. Penentuan umur simpan pada penelitian ini menggunakan metode Arrhenius ordo 0 karena kinetika reaksi ordo 0 lebih mewakili terjadinya perubahan terhadap parameter yang diamati. Parameter yang diamati adalah perubahan warna dan kekerasan pada tomat, pada paprika adalah perubahan kekerasan yang disebabkan oleh kepekaan sifat produk terhadap air dan udara yang menyebabkan terjadinya perubahan kimia. Syarief et al. (1989) menyatakan sifat alamiah atau sifat produk dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal sangat mempengaruhi umur simpan produk yang dikemas. Untuk menganalisisi penurunan mutu dengan metode akselerasi diperlukan beberapa pengamatan yaitu harus adan parameter yang diukur seperti pengukuran kimiawi (daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C), uji organoleptik (cita rasa, tekstur, warna) dan uji mikrobiologi (total mikroba). Untuk satu produk yang diuji tidak semua parameter melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen. Tomat Parameter yang dijadikan acuan penentuan umur simpan pada tomat adalah warna dimana kebiasaan konsumen untuk mengosumsi tomat adalah pada keadaan warna merah maksimal dengan tekstur yang lunak sehingga diperoleh tomat bersifat juicy. Oleh karena itu perubahan warna tomat dijadikan parameter mutu yang dianggap paling sesuai untuk menentukan umur simpan tomat Perubahan warna pada tomat selama penyimpanan dapat dilihat dari perubahan nilai a* (-60 (hijau) menjadi +60 (merah)) dan perubahan nilai b* ((-60 (biru) menjadi +60 (kuning)) sehingga batas mutu kritis untuk tomat yang digunakan adalah rasio a*/b*. Nunes (2008) mengatakan peningkatan nilai a* yang diukur dengan kromameter berkaitan erat dengan sintesa likopen, dimana rasio a*/b* merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kandungan likopen dan juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan tomat. Pada tingkat kematangan breaker, nilai rasio a*/b* berkisar 0 atau negatif (meratanya warna hijau) namun kandungan karotenoid yang tidak menunjukkan perbedaan. Pada indeks kematangan merah, likopen dan konsentrasi β-karoten akan meningkat secara bertahap. Batu (2003) telah menglasifikasikan indeks warna tomat berdasarkan rasio a*/b* dimana mature green (-0.59-(-0.47)), breaker (-0.47-(0.27)), turning (-0.270.08), pink (0.08-0.60), light red (0.60-0.95) dan merah (0.95-1.21). Berdasarkan laporan tersebut maka batas mutu kritis yang digunakan untuk menentukan umur simpan yang digunakan adalah 1.21 dimana pada ratio a*/b* dengan nilai tersebut tomat dianggap telah berubah menjadi merah sempurna. Penentuan umur simpan tomat berdasarkan perubahan warna tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu dapat dilihat pada Lampiran 13 dan Lampiran 14. Hasil perhitungan penentuan umur simpan menunjukkan perbedaan umur simpan tomat pada ketiga suhu penyimpanan dimana semakin tinggi suhu penyimpanan menunjukkan semakin singkat umur simpannya.
53
Dari Tabel 11 dapat dilihat tomat yang dikemas dengan HDPE mengalami perubahan warna menjadi merah sempurna memerlukan waktu yang lebih lama daripada tomat yang dikemas dengan bioplastik terlebih pada suhu rendah. Hal ini dikarenakan bioplastik mengalami perubahan sifat fisiknya pada suhu rendah akibat terjadinya retrogradasi pati bahan penyusun utama bioplastik. Akibat retrogradasi ini menyebabkan ukuran granula pati besar menjadi serbuk sehingga terbentuknya ikatan kuat antara molekul penyusun bioplastik yang menjadikan kemasan ini lebih rapat. Dengan kondisi kemasan yang lebih rapat menjadikan pertukaran gas di dalam kemasan bioplastik pada suhu rendah semakin susah sehingga CO2 hasil respirasi terakumulasi di dalam kemasan ini yang memungkinkan terjadinya respirasi anaerob lebih besar. Tabel 11 Umur simpan tomat berdasarkan rasio a*/b* Kemasan 5 oC 10 oC 106 hari 51 hari HDPE 83 hari 49 hari Bioplastik
15 oC 25 hari 29 hari
Dengan kondisi demikian menjadikan tomat yang dikemas dengan bioplastik tidak sesuai apabila disimpan pada suhu rendah. Hal ini dapat dilihat pada tomat yang dikemas dengan bioplastik pada suhu penyimpanan 15 oC memiliki umur simpan yang lebih lama daripada yang dikemas dengan HDPE. Pada suhu penyimpanan 15 oC bioplastik berada dalam performa terbaiknya sehingga perubahan karakteristiknya tidak terjadi begitu besar. Lamanya terjadi perubahan warna merah sempurna pada tomat yang disimpan pada suhu yang lebih rendah juga dapat mengindikasikan terjadinya chilling injury. Dari foto perubahan warna tomat selama penyimpanan (Lampiran 9) dapat dilihat baik tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada suhu 5 oC tidak mengalami perubahan warna menjadi merah hingga hari penyimpanan ke-21. Nunes (2008) mengatakan tomat kelompok immature green dan mature green lebih sensitif terhadap suhu dingin daripada tomat kelompok pink atau light-red. Tomat kelompok pink atau light-red jika disimpan lebih dari 2 minggu dibawah suhu 10 oC atau lebih lama 6-8 hari pada suhu 5 oC akan mengalami chilling injury. Chilling injury merupakan indikasi kegagalan untuk mematangkan dan perubahan warna dan citarasa yang tidak diharapkan, pelunakan terlalu cepat, pitting pada permukaan, biji berwarna coklat dan meningkatnya bagian yang busuk. Pada tomat kelompok immature green dan mature green dapat disimpan sampai 14 hari pada suhu 12.5-15 oC tanpa mengalami permasalahan utama seperti penurunan citarasa dan perubahan warna. Paprika Sama halnya dengan tomat, parameter yang dijadikan acuan untuk menentukan umur simpan paprika juga berdasarkan perubahan warna. Frank et al. (2001) mengatakan sejumlah atribut paprika dapat mempengaruhi preferensi konsumen, termasuk warna, ukuran, bentuk dan kandungan gizi. Warna merupakan atribut utama untuk memilih paprika. Warna hijau pada paprika adalah warna yang paling disukai (80%), sedangkan merah (10%) dan kuning (8%) hanya digunakan untuk menghias makanan.
Walaupun selama pengamatan nilai a* paprika tetap bernilai negatif yang menandakan paprika tetap berwarna hijau, namun hijau paprika antara perlakuan tetap saja berbeda sehingga yang digunakan adalah nilai ohue. Nilai hue dapat mendeskripsikan warna murni dimana menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa warna. Paprika yang disimpan pada suhu 0, 5, 10 dan 15 oC menunjukkan perubahan warna dari warna hijau terang menjadi hijau gelap (kusam) selama penyimpanan, namun beberapa paprika yang disimpan pada suhu 20 oC menunjukkan perubahan warna dari hijau menjadi semburat kuning pada hari penyimpanan ke-10 dan akan berubah menjadi kuning keseluruhan pada hari penyimpanan ke-20 (Nunes 2008). Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa selama penyimpanan warna hijau paprika akan semakin kuat (hijau gelap) sehingga batas kritis yang digunakan untuk menentukan umur simpan paprika adalah nilai ohue yang memiliki tanda negatif lebih besar, yaitu -78.542. Penentuan umur simpan paprika berdasarkan perubahan ohue paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu dapat dilihat pada Lampiran 15 dan Lampiran 16. Tabel 12 Umur simpan paprika berdasarkan perubahan nilai ohue Kemasan 5 oC 10 oC HDPE 69 hari 43 hari Bioplastik 56 hari 38 hari
15 oC 27 hari 22 hari
Tabel 12 menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan menunjukkan umur simpan paprika semakin singkat dimana pada suhu yang lebih tinggi reaksi berbagai senyawa kimia berlangsung lebih cepat. Paprika yang dikemas dengan bioplastik memiliki masa simpan cenderung lebih singkat daripada yang dikemas dengan HDPE. Kondisi seperti ini juga dipengaruhi oleh laju respirasi paprika dimana paprika yang dikemas dengan bioplastik (hari ke-12) lebih cepat memasuki fase senescence daripada paprika yang dikemas dengan HDPE (hari ke15) sehingga perubahan komposisi warna (pigmen) juga akan berlangsung dengan cepat. Tucker et al. (1993) mengatakan sebagai salah satu secondary plants products, pigmen-pigmen warna dihasilkan melalui serangkaian proses yang juga melibatkan hasil dari proses primer yaitu respirasi. Sebagai tahapan pada respirasi, jalur glikolisis, menghasilkan ATP dan Acetyl CoA. Kedua produk ini yang akan digunakan dalam pentose phosphate pathway (PPP), yaitu jalur rangkaian proses yang akan membentuk pigmen-pigmen warna pada buah.