HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Agroforestri dan Keanekaragaman Jenis Praktek agroforestri secara luas umumnya berlangsung di lahan-lahan tegalan, yaitu lahan kering dengan bentuk lapangan datar sampai berbukit yang lahannya sudah tidak sesuai untuk tanaman sawah. Lahan tegalan dengan status tanah milik lokasinya berada dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggal (kurang dari 1 km), kalaupun lebih jauh biasanya masih berada dalam satu wilayah desa. Praktek agroforestri juga dilakukan di lahan pekarangan di sekitar lingkungan rumah tinggal. Dalam penelitian ini, praktek agroforestri akan dibatasi pada agroforestri yang dilakukan di lahan tegalan tersebut. Jenis-jenis pohon penyusun tegakan agroforestri dengan pola kebun campuran di Kertayasa relatif lebih beragam dibandingkan dengan tegakan agroforestri pola tegakan murni di Pecekelan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 15 dan 16. Ditemukan sebanyak 62 jenis pohon yang menyusun tegakan agroforestri kebun campuran dan hanya ditemukan 25 jenis pohon yang menyusun tegakan agroforestri murni. Jenis-jenis tersebut hanya pada jenis yang tergolong pohon berkayu, belum memperhitungkan jenis pisang dan bambu serta jenis lain berbentuk herba atau tanaman semusim yang juga ditemukan di kedua lokasi penelitian.
Di bawah tegakan atau pada lahan tegalan yang masih terbuka,
biasanya lahan masih ditanami dengan tanaman pangan (ubikayu) dan tumbuhan rempah/obat.
Penggunaan lahan untuk tanaman semusim terutama dilakukan
pada saat lahan baru dibuka atau tanaman pohon masih berumur muda. Pada tegakan murni di Pecekelan, kehadiran atau frekuensi relatif spesies sengon (P. falcataria) dan kopi (Coffea robusta) mencapai 50% dari seluruh jenis pohon yang ditemukan. Jenis lain yang ditemukan adalah nangka, mahoni, suren, waru, petai dan kelapa. Sepuluh jenis dominan yang menyusun agroforestri murni tersebut sudah mencapai lebih 80% dari total frekuensi jenis yang ditemukan. Tegakan agroforestri murni lebih menonjol dengan asosiasi jenis sengon dan kopi, karena praktek agroforestrinya terutama berorientasi untuk menghasilkan kayu sengon sekaligus buah kopi. Pada pola kebun campuran di Kertayasa, kehadiran atau frekuensi jenis pohon relatif lebih tersebar ke dalam beberapa jenis, terutama
63
jenis sengon, mahoni, kopi, puspa, kayu afrika, nangka, petai dan cengkeh. Jenisjenis tersebut umumnya memiliki frekuensi kehadiran yang tidak terlalu jauh berbeda. Dibandingkan dengan di Pecekelan, agroforestri kebun campuran di Kertayasa selain untuk
penghasil kayu dengan jenis yang beragam, juga
dikombinasikan dengan jenis penghasil buah atau hasil non kayu lain. Namun demikian di beberapa tempat juga ditemukan agroforestri murni dengan jenis sengon yang cenderung monokultur. Di Kertayasa jenis kopi walaupun dominan ditemukan tetapi saat ini hanya dimanfaatkan sebagai penghasil kayu bakar bukan untuk menghasilkan buah. Tabel 15 Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Pecekelan No.
Jenis
Nama Ilmiah
Hasil/manfaat
Frekuensi relatif (%) Per plot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Total
Kopi Sengon Nangka Mahoni Suren Waru Cengkeh Petai Kelapa Secang Durian Melinjo Jenitri Rambutan Jengkol Duku Alpukat Kapuk Randu Limus Petai Cina Sungkai Damar Jambu Kayu Manis Sirsak
Coffea robusta Paraserianthes falcataria Artocarpus heterophyllus Swietenia macrophylla Toona surenii Hibiscus sp, Eugenia aromatica Parkia speciosa Cocos nucifera Gliricidia sepium Durio zibethinus Gnetum gnemon Elaeocarpus angustifolius Nephellium lappaceum Phithecelobium jiringa Lansium domesticum Persea americana Ceiba pentandra Mangifera foetida Leucaena leucocephala Peronema canescens Agathis loranthifolia Eugenia sp, Cinnamomum zeylanicum Annona muricata
buah, kayu kayu buah, kayu kayu kayu kayu buah, kayu buah buah, kayu daun, kayu buah, kayu buah kayu buah buah buah, kayu buah kayu buah buah, daun kayu kayu buah kulit kayu buah
Per milik
23,56 23,56 8,16 5,74 4,83 4,83 4,53 4,53 3,32 3,32 2,42 1,81 1,51 1,51 1,21 0,91 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,30 0,30 0,30 0,30
14,58 14,58 9,72 6,94 6,25 6,25 4,86 6,25 6,94 2,78 2,08 1,39 3,47 2,08 2,08 1,39 1,39 1,39 0,69 0,69 1,39 0,69 0,69 0,69 0,69
100,00
100,00
64
Tabel 16. No. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Kertayasa
Jenis Pohon
Nama Ilmiah
Hasil/Manfaat
2 Sengon Mahoni Kopi Puspa Kayu Afrika Nangka Petai Cengkeh Huru Jengkol Alpukat Tisuk Rambutan Limus Akasia Aren Ki Harupat Duku Bintinu Kelapa Ramanten Suren Calik Angin Pocol Sampang Dadap Ki Bodas Ki Taleus Mangga Durian Harendong Kapuk Randu Ki Jangkar Mareme Pala Pisitan Monyet Sasah Talingkup Cokelat Jambu Batu Jambu Monyet Ki Hujan Ki Pare Manggis Mara Tangkil
3 Paraserianthes falcataria Swietenia macrophylla Coffea robusta Schima wallichii Maesopsis eminii Artocarpus heterophyllus Parkia speciosa Eugenia aromaticum Litsea glutinosa Pithecellobium jiringa Persea americana Hibiscus macrophyllus Nephelium lappaceum Mangifera foetida Acacia auriculiformis Arenga pinnata Rapanea hasseltii Lansium domesticum Melochia umbellata Cocos nucifera Toona sureni Evodia aromatica Erithryna variegara Homalium tomentosum Notaphoebe umbelliflora Mangifera indica Durio zibethinus Astronia spectabilis Ceiba pentandra Glochidion arborescens Myristica fragrans Dysoxylum nutans Aporosa frutescens Claoxylon polot Theobroma cacao Psidium guajava Anacardium occidentale Samanea saman Glochidion capitatum Garcinia mangostana Macaranga rhizinoides Gnetum gnemon
4 kayu kayu buah, kayu kayu kayu buah, kayu buah buah, kayu kayu buah buah kayu buah buah, kayu kayu nira kayu buah kayu buah, kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu buah buah, kayu kayu kayu kayu kayu buah kayu kayu kayu buah buah buah kayu kayu buah kayu buah, daun
Frekuensi Relatif (%) Per plot Per milik 5 6 8,55 5,85 8,18 5,85 7,82 5,56 6,73 5,56 6,55 5,26 6,18 5,26 4,91 4,97 4,55 4,39 4,00 3,80 3,82 4,39 3,45 4,09 2,73 2,05 2,36 2,92 2,00 2,63 1,64 2,05 1,64 2,34 1,45 1,75 1,45 2,05 1,27 1,46 1,27 1,46 1,27 2,05 1,27 1,17 1,09 0,88 1,09 1,46 0,91 1,46 0,73 0,58 0,73 1,17 0,73 1,17 0,73 0,88 0,55 0,58 0,55 0,58 0,55 0,29 0,55 0,88 0,55 0,88 0,55 0,88 0,55 0,88 0,55 0,58 0,55 0,88 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,29 0,36 0,29
65
Tabel 16 (lanjutan) 1 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 Total
2 Picung Harendong Raja Huru Batu Huru Sereh Jajambean Ki Malela Ki Cehay Ki Heras Ki Hiang Ki putat Ki Teja Pipadali Salam Simpur Sirsak Pelawan
3 Pangium edule Astronia macrophylla Litsea sp, Litsea sp, Podocarpus blumei Vitex pubescens Albizzia procera Planchonia valida Cinnamomum iners Eugenia polyantha Dillenia eximia Annona muricata Tristania maingayi
4 buah kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kulit kayu daun kayu buah kayu
5 0,36 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 100,00
6 0,58 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 100,00
Tabel 17 Karakteristik umum pola agroforestri di Desa Pecekelan dan Kertayasa Parameter
Karakteristik Tegakan Agroforestri Ds. Pecekelan Ds. Kertayasa
Komposisi jenis
Cenderung lebih homogen dominan jenis sengon dan kopi, sedikit jenis lain
Jenis campuran (banyak jenis) kombinasi daur pendekmenengah, dan pohon buahbuahan
Stratifikasi tajuk
Pohon penaung tetapi tajuk berlapis
Tajuk berlapis multi strata
Pola tanam
Menyesuaikan dengan pola naungan sengon terhadap kopi. Permudaan alami dan buatan.
Tidak tergantung dengan kehadiran jenis lain. Sebagian dengan permudaan alami.
Macam hasil utama
Terutama kayu sengon dan buah kopi, tanaman semusim.
Terutama kayu kombinasi daur pendek & menengah, kayu bakar, tanaman pangan
Tindakan pengelolaan
Lebih intensif (olah tanah, penanaman, pemeliharaan trubus, ada pemeliharaan/ perlindungan hama penyakit, pemupukan kopi, penyiangan, perbaikan teras dll)
Kurang intensif (olah tanah minimal tanpa pemeliharaan teras, permudaan alami dan trubusan, sedikit/tanpa pupuk, sedikit penyiangan/dangir).
Ciri lingkungan fisik
Lapangan sedikit miringbergelombang ringan (<25%), tanah lebih subur
Topografi miring-sangat curam (>100%), tanah kurang subur
Penguasaan lahan
Rata-rata pemilikan lebih luas
Rata-rata pemilikan lebih sempit
66
Keanekaragaman jenis yang terdapat di kedua lokasi penelitian, terutama di Kertayasa termasuk tinggi apabila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh beberapa penelitian lain. Ginoga et al. (2002) melaporkan hanya terdapat masingmasing 11 jenis dan 28 jenis pohon yang menyusun agroforestri di Tasikmalaya dan Ciamis. Sementara itu Roshetko et al. (2001) melaporkan pada praktek agroforestri kebun di pekarangan (homegarden) yang telah berumur 12-17 tahun di Lampung, terdapat 45 jenis pohon, dengan komposisi jenis penghasil non kayu yang lebih dominan. Di Pecekelan dan Kertayasa walaupun praktek agroforestri dilakukan pada bentang lahan yang relatif sama, tetapi di kedua lokasi penelitian ini terdapat perbedaan dalam cara-cara pengelolaannya. Perbedaan meliputi cara penyiapan lahan, pemilihan jenis, cara penanaman dan intensitas pemeliharaan dan pemanfaatan hasil. Tabel 17 di atas menunjukkan beberapa perbedaan praktek yang diterapkan di kedua lokasi penelitian tersebut. Memperhatikan karakteristik praktek agroforestri yang diperlihatkan di kedua
lokasi penelitian di atas, maka untuk uraian selanjutnya praktek
agroforestri di Pecekelan dianggap sebagai pewakil dari praktek agroforestri murni (pohon penaung) dan agroforestri di Kertayasa sebagai pewakil praktek agroforestri dengan pola kebun campuran. Ciri-ciri Tempat Tumbuh Tegakan Agroforestri Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, praktek agroforestri yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah agroforestri yang berada pada lahan kering yang dalam sistem tataguna lahan desa diklasifikasi sebagai lahan tegalan. Lahan tegalan dalam wilayah penelitian menempati areal terluas masing-masing hingga 40% dan 75% dari luas keseluruhan wilayah Desa Pecekelan dan Kertayasa. Lahan tegalan umumnya permukaan lahannya miring hingga berbukit, bahkan di Kertayasa hingga mencapai lapangan dengan kemiringan >100%. Tegakan agroforestri tumbuh pada tempat dengan ketinggian antara 600-900 m dpl dan dengan curah hujan di atas 3.000 mm/tahun. Kedua wilayah penelitian termasuk tipe iklim B (menurut Schmidt & Ferguson) dengan 2-3 bulan kering dalam setahun, namun wilayah Pecekelan memiliki intensitas hujan yang jauh
67
lebih tinggi hingga 26 mm/hari hujan, dibandingkan dengan daerah Kertayasa yang hanya 17 mm/hari hujan. Berdasarkan hasil pengamatan lapang, tegakan agroforestri di Pecekelan tumbuh di atas tanah andosol sedangkan di Kertayasa pada tanah latosol dan podsolik (klasifikasi tanah menurut Puslittan 1983). Tanah andosol adalah tanah yang terbentuk dari hasil letusan gunung api, khususnya yang berwarna abu-abu. Desa Pecekelan masih berada dalam wilayah gunung api Gunung Sumbing. Di lapangan solum tanah andosol sangat dalam dan stratifikasi lapisan horison tidaklah nampak, tanahnya relatif sangat remah.
Tanah andosol cenderung
memiliki bobot isi tanah yang sangat rendah dan nilai permeabilitas yang tinggi (sangat sarang). Tanah andosol menyerap air banyak, KTK (kapasitas tukar kation) yang tinggi dan banyak mengandung bahan organik. Tanah ini karena berada pada tahap pelapukan tingkat menengah maka memiliki kadar debu yang tinggi dengan persediaan unsur hara yang cukup. Tanah latosol terbentuk dari bantuan asam menengah, memiliki ciri warna kemerah-merahan atau kekuningan.
Tanah dikuasai oleh liat kaolinit dan
berbagai oksida besi dan oksida aluminium yang terhidrat sampai tingkat yang berbeda-beda. Lasotol yang telah tercuci berlebihan dan bersifat asam menjadi oksisol yang terjadi pada daerah dengan curah hujan tinggi. Latosol mempunyai KTK yang agak rendah,sehingga keberadaan unsur haranya yang tersimpan sangat tergantung pada keberadaan bahan organiknya. Tanah podsolik memiliki sifat seperti tanah latosol, tetapi tanah ini semakin dalam horisonnya makin dikuasai unsur liat, sehingga tanahnya cenderung padat dan tidak dapat meloloskan air. Tanah podsolik cenderung lebih asam. Tabel 18 menyajikan keterangan tentang tapak dan sifat-sifat tanah yang terukur di lokasi penelitian di Pecekelan dan Kertayasa. Terdapat perbedaan sifat fisik dan kimia tanah di kedua lokasi penelitian atas dasar hasil analisis tanah. Tanah di Pecekelan mampu menyimpan air lebih banyak dan kondisinya lebih sarang jika dibandingkan dengan tanah di Kertayasa,
dicerminkan dari
kadar air yang lebih tinggi dan kerapatan bulk (bulk density) yang lebih rendah (sangat nyata, p <0,01).
Kedua lokasi penelitian berbeda tekstur tanahnya.
Tanah di Pecekelan bertekstur lempung, dimana lebih 40% tanahnya mengandung
68
unsur debu, dan sisanya berupa pasir dan liat dengan proporsi yang hampir sama. Sebaliknya tanah di Kertayasa bertekstur liat, karena lebih 65% tanahnya mengandung liat dengan sangat sedikit unsur pasir (< 6%), yang menyebabkan tanahnya lebih padat dan sedikit menahan air. Tabel 18 Beberapa sifat tanah dan ciri tempat tumbuh tegakan agroforestri di Desa Pecekelan dan Desa Kertayasa Sifat-sifat Tanah & Ciri Tapak Tumbuh
Lokasi Ds Pecekelan
Lokasi Ds Kertayasa
Kedalaman 0-10 cm
Kedalaman 10-20 cm
57,78 (8,66)
58,48 (2,90)
43,54 (4,51)
42,25 (4,53)
0,70 (0,10)
0,68 (0,05)
0,96 (0,12)
0,92 (0,12)
Pasir (%)**
29,85 (8,21)
29,01 (9,51)
5,94 (2,77)
4,00 (1,81)
Debu (%)**
43,55 (8,09)
48,83 (7,78)
26,29 (8,87)
28,99 (11,37)
Liat (%)**
26,61 (9,81)
22,16 (5,60)
67,77 (10,90)
67,02 (11,53)
pH H2O**
4,9 (0,21)
5,07 (0,30)
4,50 (0,25)
4,48 (0,17)
pH KCl**
3,92 (0,22)
4,14 (0,29)
3,64 (0,22)
3,56 (0,16)
C-organik (%)**
3,52 (1,02)
2,44 (0,47)
2,44 (0,55)
1,56 (0,32)
N total (%)*
0,29 (0,06)
0,24 (0,04)
0,23 (0,04)
0,20 (0,08)
11,94 (2,28)
10,23 (0,81)
10,59 (1,35)
10,08 (1,95)
0,54 (0,25)
0,39 (0,20)
0,31 (0,38)
0,23 (0,29)
7,7 (1,4)
6,8 (1,4)
4,1 (1,8)
3,3 (0,5)
24,86 (5,09)
22,05 (3,31)
20,82 (5,59)
17,90 (5,44)
70,5 (11,4)
51,8 (6,6)
66,5 (11,2)
49,8 (7,9)
Kedalaman 0-10 cm
Kedalaman 10-20 cm
Sifat Fisik Tanah* Kadar Air ((%)** Bulk Density (g/cm3)**
Sifat Kimia Tanah*
tn
C/N Rasio
K total (ppm)tn P tersedia (Bray1) (ppm)** tn
KTK (me/100 g)
*
Kandungan C (ton/ha)
Macam tanah (Puslittan 1983, FAO 1974)
Andosol / Andosol
Latosol & Podsolik / Ferrasol & Acrisol
Kemiringan lapang
15 – 40 % (landai – curam)
15 – 55 % (landai-sangat curam)
Altitude (m dpl)
765 – 890
800 – 910
Curah hujan & hari hujan 4.293 mm/tahun (167 hari) 3.076 mm/tahun (184 hari) Tipe Iklim (Scmidt & Ferguson) B (Q=33%) B (Q=22%) Nilai rata-rata dari 9 dan 11 contoh lokasi pengambilan contoh tanah. Angka dalam tanda kurung menyatakan simpangan baku. ** : berbeda sangat nyata (p <0,01), * : berbeda nyata (p <0,05), tn : tidak berbeda nyata (p>0,05), dari uji beda antar lokasi.
Dalam hal sifat kimia tanah, perbedaan yang sangat nyata (p <0,01) terjadi pada keasaman tanah (pH), dimana tanah di Kertayasa cenderung lebih asam. Tanah Pecekelan mengandung lebih banyak bahan organik (sangat nyata, p
69
<0,01), kadar N-total (nyata, p <0,05), dan kadar P-tersedia yang lebih tinggi (sangat nyata, p <0,01). Namun tidak terdapat perbedaan dalam kandungan Ktotal dan KTK (tidak nyata, p>0,05). Kadar N-total yang tinggi di Pecekelan mungkin disebabkan umur agroforestri yang sudah berlangsung lama di Pecekelan dibandingkan dengan di Kertayasa. Memperhatikan kondisi tempat tumbuh dan ciri-ciri fisik dan kimia tanah yang dimiliki kedua lokasi penelitian di atas, maka dari sisi kualitas tempat tumbuh, tempat tumbuh agroforestri tegakan murni di Desa Pecekelan lebih baik daripada tempat tumbuh agroforestri kebun campuran di Desa Kertayasa. Kondisi tempat tumbuh ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan sejarah pengelolaan agroforestri di kedua lokasi penelitian. Agroforestri di Desa Pecekelan telah berlangsung lebih dari 30 tahun yang lalu, sedangkan di Desa Kertayasa berkembang belakangan tetapi sudah berumur lebih 20 tahun. Kandungan karbon tanah yang cukup tinggi yang terdapat di kedua lokasi penelitian ini memberikan indikasi telah berlangsungnya dekomposisi karbon yang cukup lama dari vegetasi pohon berkayu, yang akan berbeda dengan lahan yang tidak bervegetasi. Kondisi pengelolaan agroforestri di kedua lokasi penelitian ini tidak bisa sepenuhnya dijadikan sebagai baseline untuk pengelolaan proyek aforestasi/ reforestasi, karena aforestasi/reforestasi di mulai pada kondisi lahan yang terdegradasi atau tanpa vegetasi, yang dari kualitas tempat tumbuh akan lebih rendah dari kualitas tempat tumbuh di kedua lokasi penelitian ini.
Struktur Horizontal Tegakan Agroforestri Struktur tegakan mencakup struktur tegakan vertikal, struktur tegakan horizontal dan struktur spasial. Struktur tegakan vertikal memperlihatkan susunan tegakan atas dasar adanya stratifikasi ketinggian tajuk, sedangkan struktur horizontal menunjukan distribusi pohon berdasarkan ukuran diameter pohon yang menyusun
tegakan.
Struktur
tegakan
spasial
menyatakan
sifat
pola
pengelompokkan dan distribusi jenis dalam ruang tumbuh. Dalam penelitian ini struktur tegakan yang dimaksudkan adalah struktur tegakan horizontal.
70
Walaupun pada awalnya tegakan agroforestri dibangun melalui penanaman buatan yang terjadi dalam pengelolaan hutan tanaman, namun struktur tegakan akhirnya sangatlah berbeda dengan hutan tanaman.
Hutan tanaman yang
dibangun dengan menetapkan daur yang akan mengatur masa penanaman dan panen secara teratur umumnya akan membentuk tegakan seumur dan memiliki struktur tegakan yang mendekati bentuk distribusi simetris atau mendekati simetris (Husch et al. 2003; Davis et al. 2001). Struktur tegakan agroforestri cenderung mengarah mendekati struktur tegakan tegakan tidak seumur (unevenaged stands), dimana distribusi pohonnya akan membentuk kurva mendekati bentuk huruf J-terbalik (Meyer 1952 dalam Davis et al. 2001). Struktur tegakan semacam ini terjadi pada hutan yang terjadi secara alami (hutan alam). Struktur tegakan agroforestri yang cenderung mengarah pada kurva huruf J-terbalik tersebut sangat erat kaitanya dengan cara pengelolaan tegakan yang umum dilakukan petani. Walaupun tegakan agroforestri dibangun lewat penanaman, tetapi petani sangat jarang menerapkan tebang habis dalam pemanenan kayunya. Penebangan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu dilakukan dengan
memilih
beberapa pohon yang telah mencapai ukuran tertentu sesuai permintaan pasar atau sudah mencapai ukuran yang ekonomis, atau karena sudah menghalangi pertumbuhan pohon yang dinaunginya. Tebang habis dilakukan apabila akan dilakukan peremajaan pohon kopi atau apabila mutu trubusan sudah tidak terlalu baik lagi. Pada tunggak sisa penebangan akan tumbuh tunas-tunas baru (trubusan) yang akan menggantikan pohon yang sudah ditebang, atau secara sengaja ditanam pohon baru untuk mengoptimalkan ruang yang kosong di antara tegakan yang sudah ada. Dengan praktek demikian, maka konsep daur tunggal untuk tanaman menjadi kabur karena penanaman atau penebangan dalam bidang yang sama bisa dilakukan kapan saja, dan sebagai gantinya setiap individu pohon memiliki masa daurnya sendiri. Pengelolaan agroforestri sebagaimana ditunjukkan oleh kedua lokasi penelitian di atas sebetulnya adalah bentuk adaptasi yang dilakukan petani untuk mengatasi masalah keterbatasan pemilikan lahan yang sempit dan memperoleh
71
hasil dalam waktu yang lebih singkat dari berbagai kombinasi jenis dan hasil tanpa harus menunggu semua pohon mencapai umur tebangnya. Tabel 19 berikut menyajikan nilai-nilai parameter k dan a dari persamaan:
N = ke − aD , dimana N = jumlah pohon menurut kelas diameter pohon (pohon/ha), D= kelas diameter pohon mulai diameter 5 cm ke atas (cm), k dan a masing-masing parameter yang menyatakan k = jumlah pohon pada kelas diameter pohon terkecil, dan a = kemiringan garis kurva, menyatakan laju pengurangan jumlah pohon secara logaritmik setiap meningkat kelas diameter pohon.
Tabel tersebut juga menunjukkan nilai rata-rata rasio Q, yang
menyatakan rasio pengurangan jumlah pohon untuk kelas diameter pohon yang berurutan.
Pohon yang dianalisis adalah pohon berkayu yang bisa mencapai
ketinggian 2,5 m lebih, tidak termasuk tanaman kopi. Tabel 19 Nilai konstanta untuk koefisien model persamaan struktur horizontal tegakan pola agroforestri murni dan agroforestri kebun campuran Agroforestri Murni Umur (tahun)
k
a
Agroforestri Kebun-Campuran rasio Q
Umur (tahun)
k
a
Rasio Q
1-2
2709
0,234
3,21
1-2
2675
0,226
3,09
3-4
5217
0,225
3,08
3-4
4915
0,240
3,32
5-6
5125
0,200
2,72
5-6
6897
0,221
3,02
7-8
1681
0,137
1,98
7-8
5720
0,205
2,79
9-10
278
0,059
1,34
9-10
2424
0,144
2,05
11-12
342
0,056
1,32
11-12
1678
0,121
1,84
k= jumlah pohon pada kelas diameter terkecil, a= kemiringan garis, laju pengurangan jumlah pohon secara logaritmik setiap meningkat kelas diameter, dari persamaan: N = ke − aD , dimana N= jumlah pohon setiap kelas diameter (pohon/ha), D= kelas diameter pohon mulai diameter 5 cm ke atas (cm). Q= diminution ratio (ratio pengurangan jumlah pohon setiap peningkatan kelas diameter pohon).
Nilai k yang besar menunjukkan kondisi tegakan dengan jumlah pohon yang cenderung rapat pada kelas diameter pohon yang terkecil. Sedangkan nilai a atau Q yang besar menunjukkan semakin cepatnya jumlah pohon berkurang apabila kelas diameter pohonnya bertambah. Gambar 7 memperlihatkan perbandingan rata-rata struktur tegakan agroforestri dengan pola tegakan murni dan pola kebun-
72
campuran atas dasar persamaan struktur tegakan yang dinyatakan dalam Tabel 19 tersebut.
2500
(pohon/ha)
kerapatan tegakan
2000
1500
1000
500
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
diameter ( c m) 2th
4th
6th
8th
10th
12th
(a)
2500
kerapatan tegakan (pohon/ha)
2000
1500
1000
(b)
500
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
diameter (cm) 2th
4th
6th
8th
10th
12th
(b)
Gambar 7.
Perbandingan model struktur tegakan horizontal agroforestri pola tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b) pada berbagai umur tegakan
73
Secara rata-rata persamaan struktur horizontal tegakan pada Tabel 19 tersebut menunjukkan bahwa pohon berukuran kecil yang menyusun agroforestri kebun-campuran cenderung lebih rapat dibandingkan dengan agroforestri tegakan murni, bahkan tegakan yang rapat tersebut akan
terus dipertahankan hingga
tegakan berumur dewasa. Adanya perbedaan kedua struktur tegakan pada tegakan murni dan kebun campuran dapat dijelaskan sebagai berikut. Kondisi tegakan yang rapat dan berdiameter kecil bisa disebabkan karena petani selalu membiarkan banyaknya permudaan alami, termasuk tunas trubusan yang tumbuh menjadi pohon kecil baru atau petani secara sengaja melakukan penanaman tanpa harus memperhatikan pohon yang ternaungi.
Hal ini terjadi karena kebun-
campuran cenderung dikelola tidak intensif dengan curahan waktu yang terbatas sehingga membentuk tegakan campuran dengan dominasi pohon berkayu. Selain itu tegakan agroforestri umumnya menempati lahan dengan bentuk lapangan yang miring yang membatasi penggunaan jenis tanaman pertanian semusim. Sebaliknya petani yang mengelola tegakan murni sekaligus pohon penaung cenderung akan mengurangi tegakan pohon berukuran kecil apabila tegakan semakin dewasa, karena mereka juga berkepentingan untuk memelihara produksi pohon kopi yang bisa terganggu apabila pohon yang menaungi kopi terlalu rapat. Semakin tidak intensif pengelolaan tanaman kopi maka tegakan pohonnya akan semakin rapat. Nilai rasio Q yang lebih tinggi untuk struktur horizontal tegakan agroforestri kebun-campuran menjelaskan bahwa hanya sebagian kecil pohon-pohon yang bisa meningkat diameternya dan berpindah ke kelas diameter pohon berikutnya. Hal ini bisa terjadi karena rendahnya riap individu diameter pohon yang menyusun agroforestri akibat kondisi tapak tumbuh yang lebih jelek, terlalu rapat atau karena digunakannya jenis pohon yang lebih beragam dengan daur yang juga bervariasi. Tabel 20 berikut dapat membantu untuk lebih memperjelas perbandingan kondisi tegakan agroforestri murni dan kebun campuran. Secara umum pohon-pohon pada agroforestri kebun campuran lebih rapat tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang lebih kecil. Sebaliknya tegakan murni kondisinya lebih jarang, tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang lebih besar.
74
Tabel 20 Kondisi rata-rata dimensi tegakan agroforestri murni dan kebun campuran* Umur tegakan (tahun)
Agroforestri Murni Jumlah Diameter Luas pohon rata-rata bidang (pohon/ha) (cm) dasar (m2/ha)
Agroforestri Kebun-Campuran Jumlah Diameter Luas pohon rata-rata bidang (pohon/ha) (cm) dasar (m2/ha)
1-2
629
8,8
4,67
1.161
7,9
7,13
3-4
1.098
11,5
13,75
1.678
9,2
13,30
5-6
995
11,8
14,17
1.801
10,3
17,82
7-8
906
12,8
15,67
1.831
11,3
21,27
9-10
700
16,3
20,75
1.563
12,0
22,51
11-12
750
17,2
25,05
1.625
12,7
27,96
* dimensi tegakan dibatasi untuk pohon berdiameter 5 cm ke atas.
Walaupun ada kesamaan dalam besarnya luas bidang dasar tegakan, tetapi kedua pola agroforestri ini berbeda dalam struktur tegakannya. Luas bidang dasar yang tinggi pada pola tegakan murni disebabkan oleh diameter individu pohon yang lebih besar sedangkan pada kebun-campuran disebabkan oleh tegakan yang rapat walaupun diameter individu pohonnya kecil. Tegakan agroforestri pada pola tegakan murni dan kebun-campuran apabila diperbandingkan dengan tegakan normal yang terdapat dalam tabel hasil tegakan P. falcataria (Suharlan et al. 1975) cenderung memiliki luas bidang dasar tegakan yang lebih tinggi tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang jauh lebih rendah. Tetapi hal ini bisa terjadi karena luas bidang dasar yang tinggi pada tegakan agroforestri lebih disebabkan oleh banyaknya pohon-pohon berdiameter kecil yang tidak terjadi pada tabel hasil normal yang disusun untuk tegakan seumur. Memperhatikan adanya perbedaan ini maka untuk perkiraan hasil tegakan untuk tegakan agroforestri tidak bisa mengabaikan begitu saja bentuk struktur tegakannya. Keragaman Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Fungsi Alometrik Biomassa Pohon Besarnya potensi serapan karbon praktek agroforestri ditentukan melalui besarnya persediaan biomassa yang terdapat dalam tegakan penyusun agroforestri
75
tersebut.
Biomassa bisa bersumber dari pohon-pohon penyusun tegakan,
tanaman/tumbuhan di bawah tegakan, tumbuhan bawah, tunggak, serasah kasar dan bahan organik tanah. Dalam penelitian ini biomassa yang diperhitungkan hanya biomassa yang berada di atas permukaan tanah, tidak termasuk biomassa dari akar pohon dan bahan organik tanah. Umumnya biomassa pohon ditentukan secara tidak langsung melalui persamaan alometrik yang disusun untuk menduga biomassa pohon. Beberapa persamaan alometrik telah dikembangkan oleh Brown et al. (1989); Brown (1997); Ketterings et al. (2001) untuk jenis-jenis pohon di hutan tropis. Dalam penelitian ini, model alometrik pendugaan biomassa pohon untuk jenis sengon disusun secara khusus, karena sengon adalah pohon yang dominan ditanam dalam agroforestri di kedua lokasi penelitian dan belum tersedia persamaan alometrik biomassanya. Sebanyak 30 buah pohon sengon dari berbagai ukuran dipilih sebagai pohon contoh untuk menyusun persamaan alometrik pendugaan biomassa pohon sengon. Jumlah pohon tersebut cukup memadai untuk syarat penyusunan sebuah persamaan biomassa jenis pohon tertentu, sebagaimana disarankan MacDikken (1997). Beberapa peneliti menggunakan jumlah pohon contoh yang bervariasi dari 19-22 contoh (Wiant 1977 dalam Ter-Mikaelian & Korzukhin 1997), dan sampai sebanyak 30-100 contoh sebagaimana disarankan McDikken (1997). Ketterings et al. (2001) menggunakan 29 pohon contoh dari berbagai jenis di hutan tropis sekunder untuk menyusun persamaan alometrik yang bisa berlaku lebih umum, menggunakan variabel kerapatan kayu. Jumlah contoh yang relatif besar hingga > 100 pohon dilakukan oleh Brown (1997) yang diperlukan untuk menyusun alometrik biomassa pohon yang berlaku secara umum untuk jenis-jenis hutan tropis. Diskripsi 30 pohon contoh tersebut dan hasil perhitungan nilai biomassa masing-masing pohon diringkas pada Tabel 21. Pohon contoh mencakup pohon dengan diameter 6,2–43,8 cm, tetapi pohon contoh terbanyak berada dalam kelas diameter 15–25 cm, yang merupakan ukuran pohon terbanyak yang ditemukan di lokasi agroforestri. Dimensi pohon diukur pada saat pohon masih berdiri, sedangkan bobot bagian-bagian pohon dihitung dengan menimbang seluruh pohon setelah pohonnya ditebang. Biomassa bagian-
76
bagian pohon dinyatakan dalam bobot kering, yang dihitung dari hasil penimbangan bobot basah bagian pohon dan penetapan kadar air yang dihitung dari contoh uji yang ditentukan di laboratorium. Tabel 21 Karakteristik 30 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa sengon (P. falcataria) Dimensi pohon
Kisaran
Diameter dbh (cm) Tinggi total (m) Tinggi bebas cabang (m) Luas tajuk (m2) Biomassa batang (kg) Biomassa cabang (kg) Biomassa ranting (kg) Biomassa daun (kg) Biomassa total (kg)
Rata-rata
6,2 – 43,8 9,5 – 30,5 5,5 – 18,0 8,29 – 143,07 10,2 – 632,0 0,7 – 105,0 0,6 – 41,0 0,8 – 27,6 12,3 – 803,6
Simpangan baku 8,04 6,0 2,8 37,34 136,2 27,5 9,8 5,8 177,5
20,53 18,5 9,5 82,36 133,9 24,0 10,0 7,3 175,3
Simpangan baku rataan 1,47 1,10 0,5 6,82 24,9 5,0 1,8 1,1 32,4
Tabel 22 menunjukkan rata-rata kerapatan kayu dan kadar air dari pohon contoh. Kerapatan kayu bagian batang yang diperoleh dari penelitian ini relatif masih berada dalam selang nilai kerapatan kayu sengon yang dipublikasikan Martawijaya et al. (1989), yang nilainya berkisar antara 0,24–0,29 kg/dm3. Tabel 22 Kerapatan kayu dan kadar air rata-rata pohon contoh sengon (P. falcataria)* Batang
Cabang
Ranting
Daun
Kerapatan kayu (kg/dm3)
0,279 (0,04)
-
-
-
Kadar air (%)
60,83 (7,78)
71,27 (11,24)
114,94 (15,9)
173,47 (16,7)
* Nilai rata-rata dari 30 pohon contoh. simpangan baku.
Angka dalam tanda kurung menyatakan
Rata-rata komponen biomassa terbesar pohon sengon berasal dari bagian batang (76%), diikuti dengan bagian cabang (14%), ranting (6%) dan daun (4%). Bagian kulit dianggap menjadi bagian dari batang, sedangkan bunga dan buah menjadi satu bagian dengan kelompok daun.
Ada tendensi meningkatnya
proporsi biomassa yang berasal dari bagian batang dan cabang dengan bertambah besarnya diameter pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8.
77
% terhadap total pohon
100% 80% 60% 40% 20% 0% < 10 cm
10 - 20 cm
20 - 30 cm
> 25 cm
diameter pohon Batang
Cabang
Ranting
Daun
Gambar 8. Perbandingan proporsi rata-rata bagian batang, cabang, ranting dan daun terhadap total biomassa bagian atas pohon sengon pada berbagai ukuran diameter pohon. Beberapa pustaka secara konsisten menunjukkan bahwa lebih dari 75% biomassa pohon bagian atas berasal dari bagian batangnya, bahkan persentase biomassa bagian batang meningkat sampai lebih dari 80% untuk pohon dari jenis konifer dengan bentuk percabangan yang monopodial sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran biomassa pohon menurut bagian-bagian jaringan pohon pada beberapa jenis pohon hutan tanaman* Jenis, Lokasi Tectona grandis, Brazil Tectona grandis, Jawa Tengah Swietenia macrophylla, Jawa Barat Acacia mangium, Sumatera Selatan Pinus merkusii, Jawa Barat Paraserianthes falcataria, Jawa Barat
Persentase biomassa (%) pada Batang Cabang Ranting Daun 75,3 19,3 1,5 3,8
Sumber Kraenzel et al. (2003) Hendri (2001)
78,9
14,5
5,9
0,6
78,0
16,9
2,5
2,6
79,9
10,7
4,7
5,0
82,7
11,5
3,8
2,0
Adinugroho (2002) Wicaksono (2004) Hendra (2002)
76,4
13,7
5,7
4,2
-
*Data diolah kembali. Biomassa yang berasal dari jaringan reproduktif (buah, bunga) diabaikan.
Antar peubah dimensi pohon dan antar peubah biomassa pohon atau bagian jaringan pohon bukanlah peubah yang saling bebas atau berdiri sendiri. Tabel 24
78
menyatakan nilai-nilai korelasi sederhana antar peubah-peubah dimensi pohon, biomassa pohon dan bagian jaringan pohon. Tabel 24 Matriks korelasi sederhana hubungan antara beberapa peubah dimensi pohon dan biomassa bagian jaringan pohon sengon (P. falcataria) D D Htot Hbc Ltjk Bbtg Bcab Brtg Bdn Btot
1,00 -
Dimensi pohon Htot Hbc 0,86 1,00 -
0,53 0,62 1,00 -
Ltjk
Bbtg
0,88 0,79 0,59 1,00 -
0,94 0,77 0,46* 0,85 1,00 -
Biomassa bagian pohon Bcab Brtg Bdn Btot 0,92 0,74 0,37* 0,89 0,96 1,00 -
0,93 0,74 0,41* 0,83 0,95 0,96 1,00 -
0,94 0,78 0,59 0,89 0,93 0,88 0,87 1,00 -
0,94 0,77 0,45* 0,87 0,99 0,97 0,96 0,93 1,00
* korelasi nyata (p< 0.05), selainnya korelasi sangat nyata (p <0.01). Btot = biomassa total, Bbtg = biomassa batang, Bcab = biomassa cabang, Brtg = biomassa ranting, Bdn = biomassa daun (masing-masing dalam kg/pohon), D = diameter pohon (cm), Htot = tinggi total (m), Hbc = tinggi bebas cabang (m) dan Ltjk = luas tajuk (m2).
Tabel 24 tersebut memperlihatkan bahwa diameter pohon berkorelasi sangat nyata (p <0,01) dengan tinggi total pohon dan luas tajuk. Diameter pohon juga berkorelasi sangat nyata (p <0,01) dengan total biomassa pohon dan biomassa seluruh jaringan pohon (batang, cabang, ranting dan daun).
Matriks korelasi
antar peubah tersebut memberikan petunjuk bahwa untuk menjelaskan keragaman biomassa pohon atau bagian-bagian jaringan pohon, secara tidak langsung dapat diwakili oleh hanya sedikit peubah dimensi pohon saja. Persamaan alometrik yang menyatakan hubungan biomassa pohon atau bagian jaringan pohon dengan dimensi pohon diperiksa lewat empat buah persamaan, mencakup alometrik yang menggunakan satu peubah dimensi pohon (diameter pohon) dan dua peubah dimensi pohon (diameter dan tinggi pohon). Persamaan model 1 adalah persamaan yang paling umum dan banyak dirujuk peneliti (Zianis & Menccucini 2004; Ter-Mikaelian & Korzukhin 1997; Brown 1997) dan telah ditunjukkan secara konsisten merupakan model yang dapat memenuhi persyaratan ketelitian sekaligus kepraktisan.
Persamaan model 2
adalah persamaan polinom ordo dua sebagaimana diusulkan Brown (1997) untuk alometrik biomassa pohon di hutan tropis.
Persamaan model 3 merupakan
79
persamaan dengan dua peubah sebagai perluasan model 1 dengan menambahkan peubah tinggi pohon. Persamaan model 4 dengan dua peubah diameter pohon (D) dan tinggi (H) dalam hubungan linear D2H, adalah analog dengan rumus hitung volume pohon V = ¼ Π D2H, dimana Π = bilangan pi (3,14). Seluruh modelmodel hipotetik di atas digunakan untuk menduga biomassa pohon sengon dan biomassa pada bagian-bagian jaringan pohon sengon. Tabel 25 berikut menyajikan seluruh persamaan alometrik yang dihasilkan berikut ringkasan statistik untuk dasar pemilihan persamaan regresi yang terbaik. Persamaan regresi terbaik secara statistik ditunjukkan oleh koefisien determinasi R2% yang tinggi, statistik F yang besar, kesalahan baku nilai dugaan (s) dan PRESS yang kecil. Untuk pendugaan biomassa pohon menunjukkan bahwa persamaan model 1 umumnya secara konsisten menjadi persamaan alometrik yang terbaik dari ketiga model lain yang diusulkan. Persamaan tersebut konsisten bukan hanya untuk pendugaan biomassa total (bagian atas) pohon, tetapi juga untuk pendugaan biomassa bagian jaringan pohon sengon (batang, cabang, ranting dan daun). Walaupun demikian, persamaan model lain yang diusulkan masih cukup terandalkan untuk dipakai menduga biomassa pohon. Persamaan model 1 dapat memenuhi syarat asumsi kenormalan sisaan, ragam sisaan yang konstan dan terdistribusi normal. Persamaan pendugaan biomassa pohon yang menggunakan satu peubah diameter pohon (model 1 dan 2) sudah cukup terandalkan untuk menduga biomassa pohon.
Persamaan model 1 dengan hanya satu peubah penduga
diameter pohon memberikan ketelitian yang tinggi dibandingkan dengan model 3 dan model 4 yang menyertakan dua peubah penduga (diameter dan tinggi pohon). Penambahan peubah tinggi pohon hanya memberikan sumbangan keragaman yang kecil dan cenderung tidak nyata (p >0,05) untuk peningkatan ketelitian pendugaan biomassa pohon, yang dicerminkan oleh nilai R2 yang cenderung tetap atau hanya sedikit meningkat. Untuk keperluan penelitian ini, persamaan model 1 untuk selanjutnya akan dipakai untuk menduga biomassa pohon sengon yang terdapat di kedua lokasi penelitian.
80
Tabel 25 Beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon dan biomassa bagian jaringan pohon Sengon (P. falcataria) Model
R2
Persamaan
F
s
PRESS
97,1
919,96
0,0706
0,1530
Biomassa total pohan 1
LogBtot = - 1,239 + 2,561 logD 2
2
Btot = - 15,81 - 2,686 D + 0,507 D
96,8
399,00
32,80
63509
3
LogBtot = - 1,279 + 2,407 logD + 0,192 logH
97,2
457,78
0,0708
0,1664
4
Btot = 6,812 + 0,0158 D2H
96,9
837,53
32,02
31224
Biomassa batang 1
LogBbtg = - 1,061 + 2,3426 logD
96,0
670,43
0,0879
0,2786
2
Bbtg = 12,4 - 4,22 D + 0,430 D2
96,8
408,55
25,25
28124
3
LogBbtg = - 1,20 + 1,99 logD + 0,478 logH
96,5
375,73
0,0833
0,2662
4
Bbtg = 4,353 + 0,0121 D2H
97,3
1009,6
22,78
16751
94,4
472,35
0,1356
0,6338
89,4
114,02
9,270
7026,3
Biomassa cabang 1
LogBcab = - 2,786 + 3,031 logD 2
2
Bcab = - 9,234 + 0,075 D + 0,0656 D
3
LogBcab = - 2,833 + 2,917 logD + 0,154 logH
94,4
229,18
0,1377
0,6858
4
Bcab = - 0,856 + 0,00233 D2H
88,2
209,74
9,601
3310,9
93,7
416,84
0,1189
0,4915
90,6
130,01
3,103
487,16
Biomassa ranting 1
LogBrtg = - 2,390 + 2,496 logD 2
2
Brtg = - 2,161 + 0,053 D + 0,0229 D
3
LogBrtg = - 2,374 + 2,535 logD – 0,053 logH
93,7
201,17
0,121
0,5449
4
Brtg = 1,169 + 0,000828 D2H
88,5
214,71
3,375
372,93
Biomassa daun 1
LogBdn = - 1,840 + 2,010 logD
93,2
381,11
0,100
0,3379
2
Bdn = - 1,886 + 0,219 D + 0,0097D2
90,7
131,34
1,830
136,13
3
LogBdn = - 1,878 + 1,916 logD + 0,126 logH
93,2
185,20
0,1015
0,3568
4
Bdn = 2,125 + 0,000488 D2H
87,3
193,03
2,095
146,72
Btot = biomassa total, Bbtg = biomassa batang, Bcab = biomassa cabang, Brtg = biomassa ranting, Bdn = biomassa daun (masing-masing dalam kg/pohon), D = diameter pohon (cm), H = tinggi total pohon (m), R2 = koefisien determinasi (%), F = statistik F uji koefisien regresi, s = kesalahan baku, PRESS = predicted residual sum of square. Nilai s dan PRESS dalam model 1 dan 3 dalam bentuk transformasi log.
81
Perbandingan dengan Persamaan Alometrik Biomassa Lain Penggunaan Persamaan Alometrik Sengon (P. falcataria). Penyusunan persamaan alometrik sengon ditujukan untuk mengetahui sampai sejauhmana bias penaksiran biomassa pohon apabila digunakan persamaan alometrik jenis pohon yang sudah ada atau pendekatan dari persamaan alometrik yang lain.
Untuk
perbandingan digunakan persamaan alometrik sengon yang disusun di Sumatera (Sugiarto 2001 dalam Hariah et al. 2001a), di Kerala, India (Kumar et al. 1998) dan di Filipina (Kawahara et al. 1981 dalam Magcale-Macandong & Delgado 2002). Gambar 9 memperlihatkan kurva yang memperbandingkan persamaan alometrik sengon yang diperoleh melalui penelitian ini (sengon_jabar) dengan tiga persamaan alometrik sengon lain yang diperoleh dari studi di wilayah Sumatera (sengon_sumatera),
India
(sengon_india)
dan
Filipina
(sengon_filipina).
Persamaan alometrik sengon yang dihasilkan melalui penelitian ini cenderung memberikan dugaan biomassa pohon yang lebih kecil dibandingkan dengan persamaan alometrik untuk sengon di Sumatera dan India, tetapi masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan persamaan alometrik untuk sengon di Filipina.
Perbedaan dalam pendugaan biomassa sengon akan semakin besar
apabila diameter pohon yang diukur semakin besar.
Perbedaan ini bisa
disebabkan oleh perbedaan dalam pola pertumbuhan sengon di lokasi penelitian karena kondisi tempat tumbuh dan cara pengelolaan pohonnya, yang akan mempengaruhi pertumbuhan, arsitektur pohon dan nilai kerapatan kayunya. Bentuk yang berbeda dari persamaan-persamaan alometrik sebagaimana ditunjukkan di atas mengindikasikan pentingnya untuk mengembangkan persamaan alometrik jenis pohon yang berlaku lokal atau hanya dipakai dalam wilayah yang terbatas.
82
Perbandingan persamaan alometrik sengon 1100
B = 0.0538D2.6818 1000
B = 0.027D2.83 (R2=81,6%)
900
biomassa pohon (kg)
800
B = 0.0579D2.5596 (R2=97,1%)
700
B = 0.0557D2.532 (R2=98,0%)
600
500
400
sengon_india sengon_sumatera sengon_jabar sengon_filipina
300
200
100
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
diameter pohon (cm)
Gambar 9. Perbandingan kurva persamaan alometrik biomassa pohon sengon yang disusun pada lokasi yang berbeda. Penggunaan Persamaan Ketterings. Persamaan Ketterings (Ketterings et al. 2001) sebagaimana dikemukakan pada Tabel 6 dalam Metode Penelitian dapat dipakai untuk menduga biomassa pohon jenis tertentu melalui nilai kerapatan kayunya. Persamaan ini dipakai sebagai jalan tengah untuk menentukan biomassa pohon apabila jenis pohon tersebut belum memiliki persamaan alometrik biomassanya, tetapi sudah diketahui nilai kerapatan kayunya. Penggunaan rumus Ketterings sangat membantu untuk menduga biomassa pohon untuk hutan Indonesia yang masih sangat sedikit memiliki persamaan alometrik biomassa pohon, sementara data kerapatan kayu untuk jenis tertentu sudah banyak tersedia. Gambar 10 memperlihatkan perbandingan besarnya dugaan biomassa pohon/tegakan bagian atas pada agroforestri dengan pola tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b) yang dihitung dengan menggunakan rumus alometrik biomassa jenis dan dengan rumus Ketterings. Dugaan biomassa tegakan dihitung untuk seluruh satuan contoh tegakan yang ada.
Titik-titik yang tersebar
menunjukkan plot data dugaan biomassa pohon untuk seluruh satuan contoh yang dihitung dengan rumus alometrik jenis dan rumus Ketterings, sedangkan garis lurus dalam gambar menunjukkan garis hubungan antara dugaan biomassa
83
tegakan yang dihitung dengan kedua pendekatan tersebut. Sedangkan garis lurus putus-putus menunjukkan jika pendugaan biomassa dengan kedua pendekatan memberikan hasil yang sama.
(a)
(a)
(b)
(b) Gambar 10. Perbandingan pendugaan biomassa tegakan bagian atas pada agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b) yang dihitung menggunakan persamaan alometrik jenis (sumbu mendatar) dan persamaan Ketterings (sumbu tegak).
84
Gambar 10 tersebut menunjukkan bahwa penggunaan rumus Ketterings cenderung menghasilkan dugaan biomassa tegakan yang lebih besar dibandingkan dengan memakai persamaan alometrik jenis (koefisien regresi 1,26 dan 1,17 yang berbeda dari 1,0). Perbedaan ini sangat berarti dan nyata secara statistik (p<0,01). Perbedaan yang cukup besar terjadi untuk pendugaan biomassa pada pola agroforestri murni dan cenderung berkurang untuk pendugaan biomassa pada kebun-campuran. Persediaan Karbon Menurut Sumber Biomassa dan Variasinya Persediaan karbon yang terdapat dalam tegakan agroforestri ditentukan dengan mengkonversi persediaan biomassa yang berasal dari bagian pohon dengan faktor konversi sebesar 0,5 (IPCC 2000, MacDicken 1997).
Faktor
konversi tersebut bermakna bahwa 50% dari bobot kering biomassa mengandung karbon. Sedangkan untuk penentuan potensi karbon untuk biomassa selain pohon (tumbuhan bawah, serasah, nekromassa) menggunakan faktor konversi 0,4 sebagaimana disarankan Hairiah et al. (1999). Persediaan karbon pada praktek agroforestri dibedakan atas karbon yang berasal dari biomassa pohon hidup, biomassa tumbuhan bawah (semak, herba, tanaman semusim), serasah kasar (daun kering dan potongan ranting kayu kering), dan nekromassa (tunggak dan pohon/batang kayu mati). Jumlah seluruh persediaan karbon tersebut disebut karbon dari biomassa total bagian atas permukaan tanah, atau selanjutnya disebut karbon total saja. Persediaan karbon dinyatakan dalam satuan luas yang diperoleh dari penjumlahan seluruh karbon biomassa dalam luasan satu hektar. karbon
Persediaan
dideskripsikan dengan membedakannya menurut umur tegakan.
Pembedaan persediaan karbon menurut umur tegakan diperlukan untuk mengetahui trend perkembangan persediaan karbon sampai batas umur tertentu yang dapat dipertahankan. Pembedaan atas umur tegakan ini sangat relatif, karena secara umum agroforestri tidak mengikuti daur tanaman yang jelas (seperti halnya hutan tanaman) sehingga jadwal pengelolaannya tidak bisa diketahui dengan pasti. Untuk pendekatan, umur tegakan ditentukan dengan melihat umur rata-rata pohon
85
yang ukurannya dominan saat dilakukan pengukuran dan mencocokkannya dengan penjelasan petani tentang riwayat pengelola lahan tersebut. Rata-rata persediaan karbon total
Persediaan karbon total tegakan.
tegakan agroforestri berkisar antara 15,4– 80,2 tonC/ha atau rata-rata 45,4 tonC/ha untuk agroforestri pola tegakan murni dan antara 10,4–73,8 tonC/ha atau rata-rata 41,1 tonC/ha untuk agroforestri pola kebun-campuran.
Secara rata-rata tidak
terdapat perbedaan yang nyata antara persediaan karbon total kedua agroforestri tersebut (t = -1,48; p = 0,198).
Gambar 11 memperlihatkan trend peningkatan
persediaan karbon menurut umur tegakan di kedua pola agroforestri tersebut dan perbandingan persediaan karbon menurut sumber biomassanya.
100 Kandungan karbon (tonC/ha)
Kandungan karbon (tonC/ha)
100 80 60 40 20
80 60 40 20 0
U1-2
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10 U11-12
U1-2
U3-4
Cphn
Cherba
Clitter
U5-6
U7-8
U9-10 U11-12
umur (tahun)
umur (tahun) Cnekro
(a)
Cphn
Cherba
Clitter
Cnekro
(b)
Gambar 11. Perkembangan persediaan karbon menurut umur tegakan pada pola agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b). Karbon total yang terdapat pada tegakan agroforestri sebagian besar (93%) berasal dari biomassa pohon, diikuti dengan biomassa serasah (6%), tumbuhan bawah (hampir 1%), dan nekromassa (sangat kecil). Kedua praktek agroforestri baik tegakan murni maupun kebun-campuran memiliki karakteristik sumber karbon yang hampir sama. Persediaan karbon pohon.
Sumber karbon terbesar dalam praktek
agroforestri berasal dari pohon yang menyusun agroforestri tersebut, baik pohon yang tajuknya berada di lapisan atas maupun pohon di bawah tajuk. Persediaan karbon pohon hidup rata-rata mencapai 42,3 tonC/ha dengan kisaran 13,4–76,1 tonC/ha untuk agroforestri tegakan murni dan rata-rata 38,5 tonC/ha dengan
86
kisaran 8,5–70,8 tonC/ha untuk agroforestri kebun-campuran.
Walaupun
persediaan karbon pohon pada tegakan murni sedikit lebih tinggi dari karbon pada kebun-campuran, namun kedua praktek agroforestri tersebut belum menunjukan perbedaan persediaan karbon pohon yang nyata (t = 1,50; p = 0,193). Walaupun persediaan karbon pada tegakan murni dan kebun-campuran sebagaimana disebutkan di atas relatif tidak berbeda, tetapi dari sisi struktur tegakan (pohon-pohon penyusun) kedua pola agroforestri di atas relatif berbeda. Agroforestri tegakan murni umumnya lebih didominasi jenis pohon sengon dengan sedikit pohon penghasil kayu yang lain, sedangkan pola kebun-campuran terdapat lebih banyak jenis, mencakup jenis daur pendek (sengon, kayu afrika, tisuk), daur sedang sampai panjang (mahoni, puspa), dan pohon buah-buahan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bahasan tentang struktur tegakan agroforestri, jumlah pohon pada kebun-campuran cenderung lebih rapat tetapi dengan rata-rata ukuran pohon yang lebih kecil, sebaliknya pada tegakan murni jumlah pohon lebih sedikit tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang lebih besar.
Terdapat perbedaan pula dalam intensitas pemanfaatan kayu.
Pada
tegakan murni, jenis sengon dimanfaatkan lebih intensif untuk penghasil kayu sekaligus untuk mengurangi tingkat naungan yang berlebihan terhadap pohon kopi, sebaliknya pada kebun-campuran pemanfaatan kayu sedikit lebih rendah karena terbatasnya pilihan pohon yang siap ditebang dengan daur pendek dan masih adanya pohon daur panjang dan pohon buah-buahan.
Komposisi
persediaan karbon yang berasal dari pohon berdaur pendek, menengah/panjang dan pohon buah-buahan masing-masing 50%, 32% dan 13%. Dilihat dari pengaruh komposisi jenis dan bentuk pemanfaatan hasil yang ada di kedua lokasi penelitian, maka agroforestri dengan kebun-campuran secara potensial cenderung akan memiliki persediaan karbon yang lebih besar tetapi dengan laju serapan karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan agroforestri dengan tegakan murni. Jenis yang lebih beragam pada kebun-campuran yang mengkombinasikan hasil kayu dengan daur pohon yang berbeda dan pohon penghasil buah (non kayu) akan menunda petani untuk melakukan penebangan pohon dalam waktu yang lebih singkat. Namun demikian, cadangan karbon yang lebih rendah saat ini pada kebun-campuran (di Kertayasa) diperkirakan
87
disebabkan oleh pengaruh tempat tumbuh (kesuburan tanah) yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi tegakan murni (di Pecekelan). Persediaan karbon pohon dari praktek agroforestri di kedua pola agroforestri sebagaimana diuraikan di atas relatif tidak berbeda dengan praktek agroforestri di Ciamis yang dilaporkan oleh Ginoga et al. (2002) yang mencapai 41,6–85,3 tonC/ha, tetapi jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan praktek agroforestri di Tasikmalaya yang dilaporkan oleh penulis yang sama, yang hanya menyimpan 19,5–25,1 tonC/ha. Kedua agroforestri yang dilaporkan tersebut dengan dominasi jenis P. falcataria. Di Manupali, Filipina kebun kayu dengan jenis P. falcataria yang telah berumur 10 tahun dapat menyimpan karbon hingga 72 tonC/ha pada tanah dengan kualitas rendah dan bisa mencapai 112 tonC/ha pada tanah dengan kualitas terbaik (SANREM 2003). Beer et al. (1990) melaporkan agroforestri dengan pohon penaung jenis Theobroma cacao–Erythrina poeppigiana di Costa Rica yang berumur 10 tahun mampu menghasilkan persediaan karbon hingga 60 tonC/ha. Beberapa penelitian lain melaporkan kemampuan penyimpanan karbon yang jauh lebih rendah, sebagaimana dilaporkan Kursten & Burschel (1993) untuk sistem yang sama hanya 7-25 tonC/ha atau Jensen (1993) di Jawa pada sistem kebun pekarangan yang hanya menyimpan 16 tonC/ha.
Roshetko et al. (2002) melaporkan
agroforestri dengan pola kebun pekarangan di Lampung yang telah berumur 13 tahun menyimpan karbon pohon 35 tonC/ha, tetapi umumnya didominasi oleh jenis penghasil non kayu. Dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan yang lain sebagaimana dilaporkan Hairiah (1997), penyimpanan karbon agroforestri dengan tegakan murni dan kebun-campuran di kedua lokasi penetian ini hanya sedikit lebih rendah daripada hutan sekunder berumur >30 tahun yang mencapai 86 tonC/ha, dan masih jauh di bawah kondisi agroforest kompleks yang klimaks berumur >30 tahun yang mencapai 101 tonC/ha. Tetapi agroforestri di kedua lokasi penelitian masih memungkinkan bertambah akumulasi karbonnya untuk jangka waktu yang lebih lama tergantung pada pengelolaannya. Persediaan karbon pohon kopi. Karbon dari pohon mencakup biomassa yang berasal dari pohon yang menyusun lapisan tajuk utama dan pohon di bawah
88
naungan. Pohon di bawah naungan di kedua lokasi agroforestri umumnya adalah tanaman kopi.
Biomassa pohon di bawah naungan (pohon kopi) mencapai
masing-masing 16% dan 10% dari total biomassa pohon pada agroforestri murni dan kebun-campuran. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman kopi di antara tanaman pohon utama merupakan sumber karbon yang penting pula dalam sistem agroforestri di kedua lokasi penelitian. Gambar 12 memperlihatkan bahwa persediaan karbon dari tanaman kopi di bawah naungan dengan pola tegakan murni rata-rata hampir dua kali lebih tinggi pada agroforestri dengan kebun-campuran.
Pada tegakan murni, karbon dari
tanaman kopi berkisar antara 4,5–12,0 tonC/ha dengan rata-rata 7,3 tonC/ha, sementara itu di kebun-campuran berkisar antara 2,0–9,7 tonC/ha dengan rata-rata 4,3 tonC/ha. Terdapat perbedaan yang nyata persediaan karbon dari tanaman kopi pada kedua pola agroforestri tersebut (t = 3,0; p < 0,05). Persediaan karbon tanaman kopi pada tegakan murni relatif beragam menurut perkembangan umur tegakannya, sedangkan pada kebun-campuran karbon kopi cenderung meningkat dengan meningkatnya umur tegakan. Perlu diketahui di Pecekelan tanaman kopi sebagian dipelihara dan dikelola dengan baik untuk menghasilkan buah kopi, sementara di Kertayasa dibiarkan tumbuh alami dan sebagian besar dimanfaatkan untuk penghasil kayu bakar.
Persentase karbon dari tanaman kopi yang
cenderung tetap tinggi pada tegakan murni menunjukkan bahwa kehadiran pohon kopi sebagai tanaman di bawah naungan pohon sengon tetap menjadi prioritas utama dalam sistem agroforestri di sana (Gambar 13). Dari sisi persediaan karbon, karbon yang berasal dari tanaman kopi pada pola tegakan murni sangat penting, karena umumnya kopi dirawat dan cenderung dipertahankan.
Pengurangan persediaan hanya terjadi karena pemangkasan
setelah masa kopi berbuah selesai.
Sebaliknya pada kebun-campuran, kopi
cenderung dibiarkan dan dibeberapa tempat batang kopi ditebang untuk dijual sebagai kayu bakar.
89
14 12 PC
10
KY
8 6 4 2 0 U 1- 2
U3- 4
U5- 6
U7- 8
U 9 - 10
U 11- 12
um ur ( t ahun)
% karbon kopi vs pohon
Gambar 12. Perbandingan persediaan karbon tanaman kopi pada agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) pada berbagai umur tegakan.
25% 20% 15% 10% 5% PC
KY
0% U 1-2
U 3-4
U 5-6 U 7-8 umur (tahun)
U 9-10 U 11-12
Gambar 13. Perbandingan persentase karbon tanaman kopi terhadap total persediaan karbon pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (KY) pada berbagai umur tegakan. Persediaan karbon tanaman kopi dari agroforestri pada tegakan murni di Pecekelan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kebun kopi sistem naungan (kopi multistrata) yang mencapai 18,4 tonC/ha atau dibandingkan dengan kopi monokultur yang mencapai 23 tonC/ha di Sumatera (Noordwijk et al. , 2002). Persediaan karbon serasah kasar. Serasah kasar yang berada di atas permukaan tanah di bawah tegakan merupakan persediaan karbon yang penting dalam praktek agroforestri. Persediaan karbon yang berasal dari serasah kasar rata-rata mencapai 6% dari biomassa total karbon. Serasah terutama berasal dari
90
guguran daun pohon, daun kering dan potongan kayu kecil dari hasil pemangkasan pohon kopi, dan bahan organik kasar sisa-sisa pembersihan lahan. Agroforestri dengan tegakan murni memiliki persediaan karbon dari serasah yang sedikit lebih tinggi karena pemeliharaan tanaman kopi dan pengolahan tanah relatif lebih sering dilakukan, namun secara statistik belum terdapat beda yang nyata antara karbon serasah pada tegakan murni dan kebun-campuran tersebut (t=1,19; p=0,287).
Agroforestri dengan tegakan murni rata-rata memiliki
persediaan karbon dari serasah kasar mencapai 2,8 tonC/ha dengan kisaran dari 1,8–4,5 tonC/ha. Sedangkan agroforestri kebun-campuran sedikit lebih rendah dengan persediaan karbon rata-rata 2,3 tonC/ha dengan kisaran 1,8–2,9 tonC/ha (Gambar 14). Ada tendensi meningkatnya persediaan karbon serasah dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Persediaan karbon serasar kasar di kedua lokasi penelitian ini masih sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan agroforestri kebun-pekarangan di Pakuan Ratu, Lampung yang mencapai 2,0 tonC/ha sebagaimana dilaporkan Roshetko et al. (2002).
5. 0
4. 0
PC
KY
3. 0
2. 0
1. 0
U1-2
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10
U11-12
umur (t ahun)
Gambar 14. Perbandingan persediaan karbon serasah kasar pada berbagai umur tegakan pada agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY). Persediaan karbon tumbuhan bawah. Persediaan karbon yang bersumber dari tumbuhan bawah dan kayu mati (nekromassa) relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan karbon dari sumber yang lain (Gambar 15).
Karbon
tumbuhan bawah rata-rata hanya mencapai 0,3 tonC/ha dan 0,2 tonC/ha, untuk
91
agroforestri dengan tegakan murni dan kebun-campuran, jumlah ini tidak sampai 1% dari persediaan total karbon. Selain jumlahnya kecil keberadaan tumbuhan bawah juga sangat dinamis karena jumlahnya dapat berubah dalam waktu yang sangat pendek (kurang dari satu tahun). Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dilakukan pada saat puncak musim kemarau, sehingga jumlah yang dikemukakan diperkirakan adalah jumlah minimal, kondisinya akan berbeda apabila diukur di musim penghujan.
0 .8 0 0 .7 0 0 .6 0 0 .5 0
PC
KY
0 .4 0 0 .3 0 0 .2 0 0 .10 U 1- 2
U3-4
U5- 6
U7- 8
U 9 - 10
U 11- 12
um ur ( t ahun)
Gambar 15. Perbandingan persediaan karbon tumbuhan bawah pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY). Tumbuhan bawah umumnya adalah vegetasi alami rumput dan semak, sangat sedikit tanaman budidaya. Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan lahan di bawah naungan pohon dengan tanaman semusim belum dilakukan dengan optimal. Penggunaan tanaman pertanian semusim hanya dilakukan ketika lahan baru dibuka di tahun-tahun awal penanaman, dan selanjutnya tidak dilakukan lagi. Nekromassa atau kayu kering yang terdiri dari sisa tunggak dan sisa-sisa kayu jumlahnya relatif paling kecil, selain itu variasi keberadaannya sangat tinggi, sehingga cenderung tidak stabil untuk diukur. Persediaan karbon organik tanah. Karbon organik tanah ditentukan dari kadar C-organik dari hasil analisis tanah, diperhitungkan sampai kedalaman tanah 30 cm.
Tidak terdapat perbedaan yang nyata persediaan karbon tanah pada
agroforestri dengan tegakan murni dan kebun-campuran yang diambil pada berbagai perkembangan umur tegakan.
Rata-rata kandungan karbon tanah
92
masing-masing 61,6 tonC/ha (CV=21%) dan 59,8 tonC/ha (CV=16%).
Pada
kedalaman tanah antara 0-10 cm, memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman 10-30 cm (Gambar 16).
Persediaan karbon
organik tanah yang cukup tinggi di kedua lokasi agroforestri ini menunjukkan bahwa pengelolaan agroforestri telah berlangsung cukup lama, sehingga terjadi akumulasi karbon yang tinggi di dalam tanah.
80.0
kandungan karbon (tonC/ha)
70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 PC
PN 0-10 cm
Gambar 16.
10-30 cm
Persediaan karbon tanah pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (PN).
Persediaan karbon organik tanah sebagaimana dinyatakan di atas relatif tinggi jika dibandingkan dengan besarnya persediaan karbon tegakan bagian atas permukaan tanah. Namun kandungan karbon tanah yang tinggi ini terjadi sebagai akibat pengelolaan agroforestri yang sudah berlangsung cukup lama di lokasi penelitian (lebih 25 tahun). Persediaan karbon tanah di kedua pola agroforestri tersebut relatif tidak berbeda dengan kandungan karbon tanah pada agroforestri kebun-campuran di Pakuan Ratu, Lampung yang mencapai 60,8 tonC/ha sebagaimana dilaporkan Roshetko et al. (2002). Berbeda dengan kondisi di kedua lokasi penelitian di atas, lahan agroforestri kebun-campuran di Lampung sebelumnya adalah hasil konversi dari hutan alam. Memperhatikan seluruh persediaan karbon yang berasal dari kedua pola agroforestri dalam penelitian ini, maka secara rata-rata sebaran persediaan biomassa karbon di atas permukaan tanah menurut sumber biomassanya untuk
93
agroforestri dengan pola tegakan murni dan kebun-campuran adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 26. Rata-rata persediaan karbon di atas permukaan tanah sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 26 tersebut adalah gambaran rata-rata tegakan dari tegakan yang berumur muda sampai dewasa, sehingga bisa disebut rata-rata persediaan karbon pada umur tengah tegakan (5-6 tahun). Dalam keadaan yang sebenarnya, agroforestri bisa dikelola dengan jangka waktu yang relatif lebih lama sehingga mampu menghasilkan persediaan karbon tegakan yang jauh lebih tinggi. Tabel 26 Rata-rata sebaran persediaan karbon di atas permukaan tanah menurut sumber biomassanya pada agroforestri murni dan kebun-campuran
Sumber karbon Karbon pohon utama Karbon tanaman kopi Karbon tumbuhan bawah Karbon serasah & nekromassa Jumlah Karbon organik tanah
Agroforestri Murni tonC/ha 34,96 7,32 0,29 2,82 45,39 61,60
% 77,0 16,1 0,7 6,2 100,0
Agroforestri KebunCampuran tonC/ha % 35,10 84,4 3,93 9,5 0,27 0,6 2,28 5,5 41,58 100,0 59,80
Dari berbagai perbandingan yang telah dikemukakan di atas, terdapat ragam yang tinggi dalam kemampuan persediaan karbon dari berbagai pola agroforestri. Ragam yang tinggi dalam sistem agroforestri ini tergantung pada beberapa faktor mencakup umur, struktur tegakan dan cara sistem tersebut dikelola.
Praktek
agroforestri yang potensial untuk menyimpan karbon adalah sistem agroforestri dengan tanaman tahunan yang memberikan kesempatan pertumbuhan pohon secara penuh dan komponen berkayu merupakan bagian yang terpenting dari keseluruhan biomassanya (Albrecht & Kandji 2003).
94
Ketelitian Pendugaan Persediaan Karbon dan Pengembangan Metode Inventarisasi Karbon Sumber Karbon dan Ketelitian Pendugaannya Inventarisasi karbon adalah bagian penting dalam siklus proyek karbon, karena beberapa tahap mekanisme proyek seperti penentuan garis dasar (baseline), validasi, monitoring dan verifikasi untuk pengakuan besarnya serapan karbon yang dihasilkan proyek memerlukan kegiatan inventarisasi karbon dalam prosesnya. Kegiatan inventarisasi karbon memerlukan persyaratan mencakup tingkat kesalahan yang diperkenankan dan menjadi acuan untuk menentukan teknik inventarisasi yang paling mungkin dengan keterbatasan sumberdaya yang ada (terutama biaya monitoring karbon).
Penyelenggaraan proyek karbon hutan
sebagaimana diatur dalam IPCC (2003),
mensyaratkan tingkat ketelitian
pendugaan karbon dengan kesalahan maksimum 10% pada tingkat kepercayaan 95%. Uraian sebelumnya telah menunjukkan bagaimana distribusi sumber persediaan karbon tegakan agroforestri, beserta dinamika perubahannya yang terjadi sejalan dengan meningkatnya umur atau pertumbuhan tegakan. Besarnya persediaan karbon yang diperlihatkan dalam uraian tersebut akan meyakinkan untuk kepentingan validasi dan verifikasi apabila memiliki selang pendugaan yang kecil sehingga tingkat kepercayaannya tinggi. Sebaliknya informasi itu bisa menjadi tidak berarti apabila berasal dari pendugaan dengan selang pendugaan yang besar.
Gambar 17 menunjukkan besarnya koefisien variasi (CV) yang
dihasilkan dari pendugaan rata-rata persediaan karbon untuk setiap sumber biomassa karbon yang diukur. Berdasarnya besarnya persediaan karbon yang terdapat dalam biomassa, pohon penyusun tegakan agroforestri adalah sumber karbon terpenting yang perlu diinventarisasi.
Pohon utama mencakup lebih 80% dari total seluruh biomassa
bagian atas permukaan tanah.
95
160% 140% CV (%)
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% U1 - 2
U3 -4
U5 -6
U7 - 8
U9 - 1 0 U1 1 - 1 2
u m u r ( ta h u n ) C to tA G
Cp h n
Ch e rb a
C litte r
(a)
80%
CV (%)
60%
40%
20%
0% U1 -2
U3 -4
U5 -6
U7 -8
U9-10
U1 1 -1 2
U m u r ( ta h u n ) C to tA G
Cp h n
Ch e rb a
C litte r
(b) Gambar 17. Keragaan koefisien variasi persediaan karbon menurut umur tegakan pada agroforestri tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b). Untuk praktek agroforestri tegakan murni, pendugaan persediaan karbon pohon memiliki koefisien variasi berkisar antara 15-81 % dengan rata-rata 31%. Ada kecenderungan meningkatnya koefisien variasi untuk pendugaan agroforestri yang berumur lebih muda.
Informasi ini menunjukkan bahwa untuk
menghasilkan tingkat ketelitian yang sama untuk menaksir karbon pohon, diperlukan intensitas sampling yang lebih tinggi pada tegakan yang berumur muda dibandingkan dengan yang berumur tua. Pada pola kebun-campuran, koefisien variasi berkisar antara 18-61% dengan rata-rata 31%. Koefisien variasi yang tinggi tidak berhubungan dengan perkembangan umur tegakan.
96
Koefisien variasi yang dihasilkan untuk pendugaan karbon pohon dari penelitian ini relatif jauh lebih tinggi dari CV yang dinyatakan oleh Hamburg (2000) yang berkisar dari 5–10%. Namun demikian beberapa hasil penelitian di hutan/kebun milik atau agroforestri skala kecil cenderung menghasilkan CV yang tinggi. Specht & West (2003) menunjukkan bahwa CV pendugaan karbon pohon mencapai 40% pada kebun kayu berumur 2 tahun dan cenderung akan menurun hingga mencapai 5% ketika tegakan berumur 10 tahun. Obyek penelitiannya adalah kebun kayu di lahan pertanian di New South Wales, Australia. Penelitian Roshetko et al. (2001) pada homegarden agroforestri di Lampung, Indonesia juga menghasilkan CV yang tinggi hingga mencapai 60% untuk pendugaan karbon bagian atas permukaan tanah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa praktek agroforestri memiliki keragaman yang tinggi, mencakup penggunaan jenis tanaman, pengaturan penanaman, dan cara-cara pemanfaatan hasilnya. Keragaman ini yang menyebabkan pendugaan karbon pohon pada agroforestri yang berskala kecil akan menghasilkan CV yang besar.
Dengan demikian untuk menghasilkan
pendugaan persediaan karbon pohon yang teliti untuk agroforestri maka diperlukan satuan contoh yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem pertanaman yang monokultur untuk tingkat ketelitian yang sama. Persediaan karbon dari serasah yang mencapai 6% dari total karbon bagian atas cukup penting sebagai sumber persediaan karbon. Namun pendugaan karbon serasah cenderung juga memiliki CV yang tinggi (39%), sehingga menjadi masalah untuk mengukurnya. Selain itu serasah adalah karbon yang berasal dari biomassa mati yang dalam waktu yang relatif singkat akan terdekomposisi, sehingga persediaan karbonnya tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama. Walaupun demikian, jumlah serasah yang besar dalam agroforestri memberikan dampak yang positif untuk meningkatkan persediaan karbon yang berasal dari bahan organik tanah. Tumbuhan bawah memiliki porsi yang sangat kecil sumbangannya terhadap persediaan karbon (kurang dari 1%), walaupun tumbuhan bawah adalah bagian yang penting dalam praktek agroforestri baik di tegakan murni maupun kebuncampuran. Tumbuhan bawah bisa mencakup tanaman pangan, tumbuhan obat dan vegetasi alami berbentuk rumput dan herba. Tumbuhan bawah kehadirannya
97
memiliki variasi yang tinggi, dan sangat tergantung dengan kondisi musim, naungan dan tingkat pengelolaan yang diterapkan. Pada pola tegakan murni, pengukuran tumbuhan bawah menghasilkan CV yang jauh lebih tinggi (87%) dibandingkan dengan pola kebun-campuran (32%) yang menunjukan bahwa pengelolaan lahan di bawah tegakan lebih intensif dilakukan di tegakan murni dibandingkan dengan di kebun-campuran. Selain itu kehadiran tumbuhan bawah tidak dapat dipertahankan lebih lama karena sangat dipengaruhi dengan tingkat naungan pohon yang ada di atasnya. Walaupun Brown (1999a) menyarankan untuk memasukan tumbuhan bawah sebagian sumber karbon yang penting diukur dalam sistem agroforestri, mungkin hal ini hanya relevan apabila penggunaan tanaman di bawah tegakan agroforestri menjadi bagian yang sama penting dari seluruh praktek agroforestri. Terdapat kecenderungan tingginya koefisien variasi yang terjadi dalam pendugaan persediaan karbon yang berasal dari tumbuhan bawah dan serasah, termasuk di luar agroforestri, sebagaimana dilaporkan Roshetko (2002) untuk agroforestri di Lampung, Indonesia dan Tiepolo et al. (2002) pada berbagai strata vegetasi hutan untuk proyek karbon di Parana, Brazil. Pengaruh Intensitas Sampling dan Luas Satuan Contoh Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan nilai CV yang tinggi untuk menduga persediaan karbon agroforestri. Variasi yang tinggi bisa disebabkan oleh ragam yang tinggi di dalam unit lahan yang sama atau juga ragam yang tinggi antar unit lahan. Terdapat kecenderungan diperlukannya contoh yang lebih banyak atau intensitas sampling yang besar untuk menghasilkan tingkat
ketelitian
yang
diinginkan
dalam
proyek
karbon
agroforestri.
Kecenderungan intensitas sampling yang tinggi akan berimplikasi meningkatnya biaya inventarisasi karbon. Hal ini dapat menyebabkan inventarisasi karbon pada agroforestri menjadi lebih mahal dibandingkan dengan proyek serapan karbon lain (misalnya hutan tanaman) yang akan mengurangi daya tarik proyek karbon agroforestri.
98
Gambar 18 menunjukkan hasil simulasi pengaruh penggunaan intensitas sampling yang berbeda terhadap besarnya kesalahan sampling relatif (persentase terhadap nilai rata-rata) untuk pendugaan persediaan karbon tegakan agroforestri. 40%
Kesalahan Sampling
30%
20%
10%
0% 10
20
30
40
50
60
70
Intensitas Sampling (%) U1-2
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10
U11-12
Gambar 18. Hubungan antara pengaruh intensitas sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri. Gambar 18 menunjukkan bahwa pada intensitas sampling hingga mencapai 25% dari total populasi masih menunjukkan kesalahan sampling yang tinggi (beberapa masih di atas 20%).
Kesalahan sampling akan berkurang dengan
meningkatkan contoh hingga 50%, tetapi beberapa tegakan cenderung tetap memiliki kesalahan sampling yang tinggi sekalipun intensitas sampling ditingkatkan. Simulasi tersebut disusun atas dasar satuan contoh berbentuk bujur sangkar ukuran 10x10 m. Hanya beberapa saja yang mampu mencapai kesalahan sampling di bawah 10%. Fenomena ini menunjukkan bahwa tegakan agroforestri cenderung memiliki ragam populasi yang tinggi yang akan mempengaruhi teknik sampling yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat kesalahan yang disyaratkan. Pada Gambar 19 ditunjukkan pengaruh luas satuan contoh yang berbeda terhadap kesalahan sampling yang dihasilkan.
Penggunaan satuan contoh
berukuran 10x10 m cenderung akan menghasilkan kesalahan sampling yang tinggi, tetapi memperbesar satuan contoh hingga berukuran 10x30 m tidak
99
seluruhnya akan menjamin berkurangnya kesalahan sampling.
Memperbesar
ukuran contoh hingga berukuran 10x30 m masih menghasilkan kesalahan sampling hingga 15%. Hal ini menunjukkan betapa beragamnya sifat populasi unit lahan agroforestri. Memperbesar ukuran satuan contoh tidak secara otomatis akan memperkecil ragam karena satuan contoh yang terlalu besar memungkinkan sampling jatuh dalam wilayah pemilikan atau pengelolaan yang berbeda, yang menyebabkan beragam pula kondisi tegakannya. 35
Kesalahan Sampling (%)
30 25 20 15 10 5 0 10x10
10x20
10x30
Luas Plot (m2) U1-2
Gambar 19.
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10
U11-12
Hubungan antara pengaruh luas satuan contoh dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri.
Implikasi Metode Inventarisasi Karbon pada Tegakan Agroforestri Simulasi yang memperhitungkan besarnya intensitas sampling dan luas satuan contoh menunjukkan bahwa pendugaan karbon pada agroforestri cenderung menghasilkan tingkat kesalahan sampling yang tinggi. Hal ini bisa menyebabkan diragukannya setiap informasi kemampuan agroforestri dalam menyediakan karbon.
Target tingkat kesalahan yang dibatasi tidak boleh lebih
dari 10% (pada tingkat kepercayaan 95%) untuk prosedur sampling untuk keperluan monitoring proyek karbon hutan (IPCC 2005) akan menjadi masalah yang bisa mempengaruhi daya tarik masuknya kegiatan agroforestri untuk proyek karbon.
100
Melihat sifat populasi tegakan agroforestri yang cenderung beragam, maka seharusnya ada pilihan lain yang dilakukan selain hanya membatasi tingkat kesalahan untuk menyatakan besarnya kemampuan persediaan karbon tegakan agroforestri. Hal ini sejalan dengan saran Hamburg (2002) untuk tidak hanya menggunakan batas tingkat ketelitian tertentu dalam menduga perubahan karbon dari proyek berbasis hutan, tetapi haruslah ada pengurangan karbon dalam jumlah tertentu secara seimbang untuk menentukan jumlah persediaan karbon yang benar-benar meyakinkan. Untuk mengatasi masalah keragaman yang cenderung tinggi sehingga menghasilkan kesalahan sampling yang tetap tinggi dalam tegakan agroforestri, maka pengukuran dan monitoring persediaan karbon harus menetapkan setiap unit lahan pemilikan sebagai unit terkecil penilaian. Semakin banyak unit lahan pemilikan yang dicakup dalam wilayah proyek, semakin banyak unit penilaian yang diperlukan. Pendekatan pengukuran karbon di atas sangat baik dari sisi ketelitian hasil pengukuran namun cenderung akan membuat tidak efisiennya pengukuran karbon apabila harus dilakukan oleh pihak ketiga di luar pengelola proyek. Hasil observasi lapang selama penelitian ini menunjukkan bahwa petani pemilik lahan umumnya memiliki kemampuan untuk mengetahui sumberdaya agroforestri yang dimilikinya.
Hal yang bisa dilakukan sendiri oleh pemilik lahan mencakup
misalnya mengukur luas lahan, mendaftarkan jenis dan pemilikan tanaman, mengukur dimensi pohon serta mencatat pohon-pohon yang dimanfaatkan selama periode waktu tertentu. Dengan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada tersebut, maka melalui pelatihan singkat dan pendampingan yang tepat tidaklah terlalu sulit bagi petani pengelola agroforestri untuk memahami cara-cara pengukuran atau rencana monitoring karbon yang diinginkan dalam skema proyek karbon. Hal ini jelas sangat nyata akan mereduksi biaya inventarisasi karbon dan akan meningkatkan kapasitas petani agar lebih bertanggungjawab terhadap implikasi setiap bentuk pengelolaan agroforestri yang dilakukannya. Bentuk satuan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalur persegi panjang. Jalur terbagi atas plot bujur sangkar berukuran 10x10 m sebagai unit terkecil pengukuran. Dibandingkan dengan rata-rata luas pemilikan lahan
101
petani, satu unit terkecil pengukuran (plot) minimal telah mencakup 10% dari luas pemilikan. Apabila petani ambil bagian dalam proses pengukuran dan monitoring karbon, maka intensitas sampling yang jauh lebih tinggi masih dimungkinkan dilakukan untuk memperoleh tingkat ketelitian yang disyaratkan tanpa peningkatan yang nyata dalam biaya inventarisasinya. Keuntungan lain menjadikan unit lahan pemilikan sebagai unit penilaian adalah memungkinkannya dilakukan pencatatan secara permanen terhadap persediaan dan perubahan karbon mengikuti jangka waktu kontrak proyek karbon. Pencatatan
secara
permanen
untuk
setiap
unit
pemilikan
lahan
akan
mempermudah proses verifikasi untuk pengakuan terjadinya serapan karbon melalui kegiatan agroforestri yang akan dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga bisa menekan secara nyata biaya verifikasi yang harus ditanggung pengelola/ pengembang proyek. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Pendugaan persediaan karbon tegakan agroforestri dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui pendekatan stuktur tegakan, fungsi hasil/pertumbuhan tegakan dan pendekatan dimensi rata-rata tegakan. Pendekatan Struktur Tegakan Struktur tegakan yang dimaksudkan disini adalah bagaimana pohon-pohon penyusun tegakan agroforestri terdistribusi berdasarkan sebaran diameter pohonnya. Dalam pokok bahasan struktur tegakan agroforestri sebelumnya telah ditunjukkan bahwa tegakan agroforestri memiliki struktur tegakan yang spesifik mendekati struktur tegakan yang berbentuk hutuf J-terbalik.
Model struktur
tegakan yang disajikan pada Tabel 19 dalam uraian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara besarnya laju pengurangan jumlah pohon dengan meningkatnya umur rata-rata tegakan agroforestri tersebut. Kurva struktur tegakan yang menyatakan distribusi pohon pada berbagai kelas diameter pada dasarnya juga bisa dipakai secara tidak langsung untuk mengetahui besarnya luas bidang dasar tegakan dan volume tegakan (Clutter et al. 1983).
Pendekatan ini juga yang akan dipakai untuk pendugaan persediaan
102
karbon tegakan, karena besarnya biomassa dapat didekati dengan dimensi diameter pohon atau luas bidang dasar pohon, maka dengan demikian kurva struktur tegakan seharusnya juga bisa mencerminkan persediaan karbon tegakan yang bersangkutan. Dalam model struktur tegakan N = ke−aD yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya,
distribusi
jumlah
pohon
menurut
kelas
diameter
pohon
direpresentasikan oleh nilai parameter a dan k dari model persamaan struktur tegakan tersebut. Nilai-nilai parameter tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai peubah bebas untuk menjelaskan keragaman persediaan karbon tegakan dengan bentuk struktur tegakan tertentu. Dari seluruh nilai parameter a dan k, terdapat hubungan korelasi yang sangat nyata (p <0,01) antara besarnya nilai a dan k, yaitu masing-masing 0,81 dan 0,68 untuk agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran. Suatu tegakan dengan nilai k yang tinggi akan diikuti dengan nilai a yang cenderung tinggi pula (korelasi positif). Tabel 27 menyatakan model matematik atau persamaan regresi untuk menduga potensi persediaan karbon melalui struktur tegakan pada agroforestri murni dan kebun-campuran. Potensi persediaan karbon mencakup karbon total, karbon pohon (dengan dan tanpa pohon kopi), dan karbon dari biomassa hidup. Tabel tersebut menunjukan bahwa pendugaan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan analisis regresi linear yang menggunakan peubah bebas dari parameter struktur tegakan a dan k cukup terandalkan. Lewat persamaan tersebut ditunjukkan bahwa peubah a dan k masing-masing berkontribusi nyata terhadap peubah tak bebas persediaan karbon (t hitung nyata, p <0.05). Untuk pendugaan persediaan karbon praktek agroforestri dengan pola tegakan murni, persamaan yang menggunakan peubah struktur tegakan cukup terandalkan untuk menjelaskan keragaman persediaan karbon (koefisien determinasi R2 hampir 80%).
Namun kemampuan persamaan tersebut lebih
rendah apabila dipakai untuk menerangkan keragaman persediaan karbon pada agroforestri dengan pola kebun-campuran (koefisien determinasi R2 hanya mencapai 60%).
103
Tabel 27 Persamaan matematik pendugaan potensi karbon melalui peubah struktur tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran R2(%)
Model
F
S
PRESS
Agroforestri Murni Karbon total CtotAG = 87,2 + 0,00453 k - 361 a
79,7
35,43**
8,89
1958,16
Karbon pohon & kopi Cstand&kopi = 82,7 + 0,00446 k - 350 a
79,9
35,78**
8,52
1790,52
Karbon pohon tanpa kopi Cstand = 71,4 + 0,00411 k - 315 a
79,3
34,47**
7,76
1602,93
Karbon hidup Chidup = 82,9 + 0,00451 k - 350 a
80,2
36,8**
8,41
1750,08
Agroforestri Kebun-Campuran Karbon total CtotAG = 101 + 0,00284 k - 370 a
60,2
12,86**
11,60
3513,77
Karbon pohon & kopi Cstand&kopi = 97,3 + 0,00264 k - 358 a
60,7
13,16**
11,15
3260,36
Karbon pohon tanpa kopi Cstand = 82,8 + 0,00277 k - 308 a
55,4
10,54**
10,18
2827,04
Karbon hidup Chidup = 97,4 + 0,00267 k - 357 a
60,5
13,02**
11,17
3265,06
** hasil uji F sangat nyata (p <0,01). Uji t untuk parameter k dan a juga menunjukkan hasil yang nyata (p <0,05).
Berkurangnya
kemampuan
persamaan
tersebut
untuk
menjelaskan
persediaan karbon pada agroforestri kebun-campuran disebabkan oleh lebih beragamnya jenis pohon pada pola kebun-campuran, sehingga jumlah dan distribusi pohon dalam tegakan tidak dapat dijadikan ukuran tunggal yang menjelaskan keragaman persediaan biomassa/karbon dalam tegakannya. Model pendugaan persediaan karbon tegakan melalui pendekatan struktur tegakan dapat dipakai untuk kepentingan praktis dengan tingkat ketelitian yang lebih rendah, dimana informasi tegakan hanya tersedia dalam bentuk data distribusi pohon berdasarkan ukurannya dengan distribusi mengikuti bentuk kurva huruf J-terbalik. Tegakan terdiri dari jenis pohon yang hampir homogen atau jenis tersebut memiliki laju pertumbuhan yang relatif sama. Pendekatan lewat struktur tegakan akan berkurang keterandalannya apabila pohon-pohon yang ada terdistribusi di luar model tersebut atau ada tegakan campuran yang terdiri banyak jenis dengan laju pertumbuhan jenis yang bervariasi.
104
Pendekatan Peubah Tegakan Peubah-peubah tegakan yang bisa dikenali sebagai ciri tegakan seumur mencakup umur, diameter rata-rata, tinggi rata-rata, kerapatan dan luas bidang dasar tegakan. Peubah tersebut biasa dipakai untuk mencirikan tegakan seumur (Husch et al. 2003). Sebagian dari peubah tersebut dipakai misalnya untuk mengetahui persediaan volume tegakan
(Clutter et al. 1983, Vanclay 1994).
Pendekatan tersebut juga diduga dapat dipakai untuk menjelaskan keragaman persediaan karbon yang terdapat dalam tegakan, karena karbon tegakan pada dasarnya juga diturunkan dari penjumlahan biomassa/karbon seluruh pohon yang menyusun tegakan.
Peubah tegakan yang diperhatikan mencakup umur tegakan,
kerapatan pohon (tidak termasuk pohon kopi), diameter rata-rata pohon (berdiameter 5 cm ke atas) dan luas bidang dasar tegakan (tidak termasuk pohon kopi). Tabel 28 menyajikan matriks korelasi sederhana antara peubah-peubah tegakan dengan persediaan karbon pada agroforestri pola tegakan murni dan kebun-campuran. Tabel 28 Matriks korelasi sederhana hubungan antara peubah tegakan dengan persediaan karbon tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran U
Agroforestri Murni N D
BA
Agroforestri Kebun-Campuran U N D BA
CtotAG
0,91**
-0,08
0,88**
0,93**
0,87**
0,16
0,86**
0,89**
Cstankp
0,88**
-0,07
0,87**
0,93**
0,87**
0,16
0,85**
0,88**
Cstand
0,90**
-0,02
0,87**
0,95**
0,85**
0,28
0,83**
0,94**
Clive
0,88**
-0,06
0,88**
0,93**
0,87**
0,16
0,85**
0,88**
U
1
-0,28
0,85**
0,78**
1
0,06
0,83**
0,79**
N
-
1
-0,38
0,25
-
1
-0,21
0,53*
D
-
-
1
0,78**
-
-
1
0,68**
BA
-
-
-
1
-
-
-
1
CtotAG = karbon total, Cstankp = karbon pohon dan kopi, Cstand = karbon pohon tanpa kopi, Clive = karbon hidup (semua dalam tonC/ha), U = umur tegakan (tahun), N = kerapatan pohon (pohon/ha), D = diameter rata-rata tegakan (cm), dan BA = luas bidang dasar tegakan (m2/ha). ** : korelasi sangat nyata (p<0,01), * : korelasi nyata (p<0,05).
Secara konsisten persediaan karbon agroforestri berkorelasi sangat nyata (p <0.01) dengan umur tegakan, diameter rata-rata dan luas bidang dasar tegakan,
105
tetapi tidak berkorelasi (p >0.05) dengan kerapatan tegakan.
Antar peubah
tegakan sendiri terdapat korelasi yang sangat nyata (p < 0.01), yaitu antara umur tegakan dengan diameter rata-rata dan luas bidang dasar tegakan, serta antara diameter rata-rata dengan luas bidang dasar tegakan.
Memperhatikan tabel
matriks korelasi sederhana tersebut, keragaman persediaan karbon tegakan seharusnya dapat dijelaskan hanya dengan sedikit peubah tegakan. Hubungan antara persediaan karbon tegakan dan peubah tegakan diperiksa dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan metode semua kemungkinan regresi (all possible regression) (Draper & Smith 1991). Tabel 29 menyajikan sebagian persamaan regresi yang diajukan dan statistik yang diperlukan untuk pemilihan persamaan regresi terbaik dengan berbagai peubah bebas yang disertakan dalam persamaan.
Persamaan regresi terbaik secara
statistik ditunjukkan oleh R2 yang tinggi, statistik F yang besar, serta nilai kesalahan baku dan PRESS yang kecil. Dengan menggunakan semua kombinasi persamaan regresi yang mungkin dihasilkan, persamaan regresi yang menggunakan dua peubah bebas, yaitu luas bidang dasar tegakan dan kerapatan tegakan merupakan persamaan yang paling efisien. Persamaan tersebut secara konsisten memiliki nilai R2 yang terbesar, F hitung terbesar, kesalahan baku (s) dan PRESS yang terkecil. Sebagai contoh, penggunaan persamaan tersebut untuk pendugaan persediaan karbon total untuk agroforestri baik untuk tegakan murni maupun kebun-campuran mampu menjelaskan keragaman karbon total hingga 96% dan 93%.
Keterandalan
persamaan ini relatif sama apabila pendugaan persediaan karbon menggunakan seluruh peubah tegakan. Pemeriksaan asumsi melalui plot peluang normal dan plot sisaan baku terhadap nilai-nilai pengamatan menunjukkan dipenuhinya syarat asumsi kenormalan sisaan, ragam sisaan yang konstan dan terdistribusi normal. Pendugaan persediaan karbon yang hanya menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan tidak memerlukan lagi peubah umur tegakan dan diameter rata-rata tegakan. Peubah umur tegakan dan diameter rata-rata tegakan cukup diwakili/digantikan oleh peubah luas bidang dasar tegakan, karena antar peubah-peubah tersebut terdapat korelasi yang sangat nyata (multikolinearitas). Peubah kerapatan tegakan walaupun tidak nyata berkorelasi dengan persediaan
106
karbon, tetapi peubah ini memberikan sumbangan keragaman yang sangat nyata (t hitung sangat nyata, p< 0.01) apabila digunakan secara bersama-sama dengan peubah luas bidang dasar tegakan. Tabel 29 Peubah bebas
Persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon melalui peubah tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran R2(%)
Model
F
s
PRESS
Agroforestri Murni Karbon total atas tanah 4
CtotAG = 11,1 + 0,418 U - 0,020 N 0,50 D + 3,42 BA
96,2
101,22
4,08
441,90
3
CtotAG = 5,64 + 0,466 U - 0,017 N + 3,19 BA
96,2
141,93
3,98
408,49
2
CtotAG = 6,60 - 0,019 N + 3,41 BA
96,1
220,78
3,90
374,92
1
CtotAG = - 7,38 + 3,13 BA
86,0
116,50
7,19
1293,8
1
CtotAG = 5,81 + 5,91 U
82,1
87,13
8,13
1579,3
Karbon pohon & kopi 4
Cstankp = 12,0 + 0,425 U - 0,020 N 0,78 D + 3,41 BA
96,2
101,42
3,93
419,22
3
Cstankp = 3,50 + 0,499 U - 0,016 N + 3,05 BA
96,1
139,90
3,86
395,65
2
Cstankp = 4,53 - 0,018 N + 3,29 BA
96,0
216,62
3,80
370,43
1
Cstankp = - 8,55 + 3,03 BA
86,5
121,44
6,81
1168,0
1
Cstankp = 4,29 + 5,69 U
82,1
86,87
7,84
1474,3
Karbon pohon tanpa kopi 4
Cstand = 5,31 + 0,843 U - 0,014 N 0,767 D + 2,90 BA
98,6
273,89
2,17
144,92
3
Cstand = - 3,04 + 0,916 U - 0,010 N + 2,54 BA
98,4
358,14
2,19
144,95
2
Cstand = - 1,14 - 0,014 N + 2,99 BA
98,0
450,12
2,38
144,82
1
Cstand = - 11,3 + 2,78 BA
90,9
188,77
5,02
655,98
1
Cstand = 0,73 + 5,19 U
84,9
106,44
6,46
1000,7
Karbon hidup 4
Clive = 10,2 + 0,446 U - 0,018 N 0,62 D + 3,32 BA
96,5
111,29
3,73
381,84
3
Clive = 3,51 + 0,505 U - 0,015 N + 3,03 BA
96,5
154,78
3,65
359,62
2
Clive = 4,56 - 0,017 N + 3,28 BA
96,4
238,85
3,60
334,01
1
Clive = - 8,12 + 3,03 BA
87,3
130,85
6,55
1082,0
1
Clive = 4,86 + 5,67 U
82,2
87,63
7,77
1444,4
107
Tabel 29 (lanjutan) Peubah bebas
R2(%)
Model
F
s
PRESS
Agroforestri Kebun-Campuran Karbon total atas tanah 4
CtotAG = 2,3 + 0,425 U - 0,011 N + 0,95 D + 2,53 BA
92,7
47,73
5,28
1341,0
3
CtotAG = 11,7 + 0,441 U - 0,014 N + 2,77 BA
92,7
67,30
5,13
738,61
2
CtotAG = 12,9 - 0,015 N + 2,97 BA
92,6
105,70
5,01
689,12
1
CtotAG = - 2,10 + 2,36 BA
79,3
68,93
8,13
1631,0
1
CtotAG = 8,07 + 5,36 U
76,3
57,84
8,70
1851,2
Karbon pohon & kopi 4
Cstankp = 9,7 + 0,41 U - 0,013 N + 0,08 D + 2,65 BA
91,6
41,09
5,48
1361,5
3
Cstankp = 10,5 + 0,412 U - 0,013 N + 2,67 BA
91,6
58,43
5,30
782,79
2
Cstankp = 11,6 - 0,015 N + 2,86 BA
91,5
92,01
5,17
733,88
1
Cstankp = - 3,00 + 2,27 BA
78,1
64,27
8,09
1624,3
1
Cstankp = 6,70 + 5,16 U
75,4
55,26
8,57
1788,2
Karbon pohon tanpa kopi 4
Cstand = - 5,5 - 0,147 U - 0,006 N + 1,09 D + 2,28 BA
95,3
75,24
3,63
613,78
3
Cstand = 5,30 - 0,129 U - 0,009 N + 2,55 BA
95,1
104,54
3,56
339,07
2
Cstand = 4,94 - 0,009 N + 2,50 BA
95,1
166,18
3,46
313,01
1
Cstand = - 4,13 + 2,13 BA
88,5
138,24
5,17
641,06
1
Cstand = 7,37 + 4,45 U
72,1
46,61
8,04
1519,9
Karbon hidup 4
Clive = 7,0 + 0,451 U - 0,012 N + 0,38 D + 2,55 BA
91,8
42,05
5,41
1353,9
3
Clive = 10,7 + 0,457 U - 0,013 N + 2,650 BA
91,8
59,72
5,24
766,27
2
Clive = 12,0 - 0,015 N + 2,86 BA
91,7
93,75
5,12
718,68
1
Clive = - 2,61 + 2,27 BA
78,3
64,79
8,05
1606,9
1
Clive = 7,04 + 5,16 U
75,8
56,40
8,49
1757,5
U = umur tegakan (tahun), N = jumlah pohon (pohon/ha), D = diameter rata-rata pohon (cm), BA = luas bidang dasar rata-rata tegakan (m2/ha), CtotAG= karbon total di atas tanah, Cstankp = karbon tegakan dengan kopi, Cstand = karbon tegakan (tanpa kopi), Clive = karbon dari biomassa hidup (masing-masing dalam tonC/ha). Pohon yang diperhitungkan berdiameter 5 cm ke atas (tanpa jenis kopi). R2= koefisien determinasi (%), F = statistik F uji koefisien regresi, s = kesalahan baku, dan PRESS = predicted residual sum of square.
108
Pendugaan persediaan karbon dengan pendekatan peubah tegakan mampu menerangkan keragaman persediaan karbon tegakan agroforestri yang lebih baik apabila dibandingkan dengan pendekatan yang menggunakan peubah struktur tegakan.
Peubah yang paling berperan dalam pendugaan persediaan karbon
tegakan adalah luas bidang dasar tegakan. Bidang dasar tegakan ditentukan dari penjumlahan seluruh luas bidang dasar pohon yang menyusun tegakan. Karena biomassa atau karbon pohon ditentukan oleh diameter/luas bidang dasar pohon, maka sudah seharusnya kalau terdapat hubungan yang erat antara luas bidang dasar tegakan dengan biomassa atau karbon tegakan. Pendekatan Fungsi Pertumbuhan Tegakan Publikasi tentang kemampuan hutan untuk penyimpan karbon biasanya ditunjukkan dalam bentuk kurva atau persamaan matematik yang menyatakan hubungan
antara
persediaan
karbon
dengan
waktu
pertumbuhan
atau
perkembangan hutan. Kurva atau persamaan pertumbuhan persediaan karbon ini merupakan faktor penting untuk menilai kemampuan suatu hutan atau bentuk pengelolaan ekosistem tertentu sebagai penyerap karbon, karena akan diikutsertakan dalam perhitungan manfaat proyek karbon (carbon accounting) (Cacho et al. 2002). Kurva atau persamaan pertumbuhan karbon tersebut dapat dianalogikan dengan kurva pertumbuhan tegakan yang biasa dilakukan untuk analisis pertumbuhan dan hasil dalam manajemen hutan konvensional, khususnya untuk hutan-hutan seumur atau homogen (Clutter at al. 1983).
Kurva
pertumbuhan karbon dalam tegakan tersebut dihasilkan dengan menggangap adanya hubungan yang kuat antara perkembangan pertumbuhan persediaan karbon dengan waktu atau masa daur tegakan. Dalam tegakan agroforestri telah ditunjukan sebelumnya bahwa pohonpohon terdistribusi pada setiap kelas diameternya membentuk kurva J-terbalik yang biasanya ditemukan dalam hutan tidak seumur. Pengelolaan tegakan dengan tebang pilih dan permudaan yang mengabaikan daur menyebabkan faktor umur tegakan bukan menjadi satu-satunya faktor yang dominan lagi yang menentukan perkembangan karbon tegakan.
109
Pendekatan dengan fungsi pertumbuhan tegakan menggunakan model fungsi pertumbuhan yang disarankan dalam Clutter (1987); van Laar (1991); van Laar & Akca (1997).
Fungsi ini merupakan fungsi hipotetik yang menggambarkan
perkembangan pertumbuhan yang mengikuti bentuk huruf S (kurva sigmoid). Tabel 30 menyajikan model persamaan pertumbuhan persediaan karbon tegakan yang dihasilkan melalui pendekatan analisis regresi non-linear dengan metode Levenberg-Marquardt (Seber & Wild 2003).
Sedangkan Gambar 20 dan 21
menyajikan bentuk kurva pertumbuhan persediaan karbon untuk berbagai sumber karbon dari agroforestri dengan pola tegakan murni dan kebun-campuran atas dasar persamaan matematik yang dihasilkan dalam Tabel 30 tersebut. Tabel 30
Persamaan matematik pendugaan persediaan karbon tegakan melalui fungsi pertumbuhan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran
Sumber karbon
Model
R2 (%)
F hitung
371,1**
Agroforestri Murni Karbon total
C=120,831/[1+ 8,0128*exp(-0,23264*U)]
90,6
Karbon pohon dan kopi
C=114,14/[1+8,5343*exp(-0,23891*U)]
90,7 354,3**
Karbon pohon tanpa kopi
C=92,889/[1+ 9,8563*exp(-0,26748*U)]
92,8
406,2**
Karbon hidup
C=113,872/[1+ 8,2353*exp(-0,23669*U)]
90,7
365,5**
Agroforestri Kebun-Campuran Karbon total
C=140,951/[1+7,6179*exp(-0,17459*U)]
85,2
254,5**
Karbon pohon dan kopi
C=169,933/[1+ 9,8490*exp(-0,15975*U)]
84,6
230,1**
Karbon pohon tanpa kopi
C=97,127/[1+ 6,5507*exp(-0,20081*U)]
83,4
223,3**
Karbon hidup
C=156,504/[1+ 8,9576*exp(-0,16422*U)]
84,7
236,4**
C = persediaan karbon (tonC/ha), U = umur rata-rata tegakan, R2 (%) = Koefisien determinasi, ** = uji F sangat nyata (p<0,01).
Dari kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan dapat diperkirakan besarnya perkembangan persediaan karbon dari waktu ke waktu sepanjang tegakan agroforestri masih dipertahankan dan tidak dilakukan tebang habis. Trend yang diperlihatkan menunjukkan rata-rata kemampuan tegakan agroforestri untuk menyimpan karbon dengan seluruh dinamika pengelolaan yang terjadi sepanjang pengelolaannya. Kurva hasil karbon yang digambarkan melalui persamaan pada Tabel 30 relatif lebih baik untuk menggambarkan agroforestri
110
dengan pola tegakan murni (koefisien determinasi R2 > 90%) dibandingkan dengan kurva hasil karbon agroforestri kebun-campuran (R2 ≅ 85%). Hal ini menunjukkan bahwa umur tegakan bukanlah faktor tunggal yang mempengaruhi variasi karbon tegakan.
Namun demikian untuk keperluan prediksi manfaat
proyek karbon, kurva tersebut masih cukup memadai untuk digunakan. CtotAG=(120.831)/(1+(8.01281)*exp(-(.232636)*U))
Cstankp=(114.14)/(1+(8.53433)*exp(-(.238907)*U))
100
100
#16 #16
80
#14
80
#19
#14
#12
Cstankp (tonC/ha)
CtotAG (tonC/ha)
#19
60 #17 #6
#3 #20
40
#9 #15 #10 #8 #4 #11 #5
#18 #2 #7 #13
#21
60 #12 #17 #6
#3 40
#7 #2 #18 #13
#21
20
#9 #15 #10 #4 #8 #11 #5
#20
20
#1
#1
0 0
2
4
6
8
10
12
0
14
0
2
4
6
Umur (tahun)
8
10
12
14
Umur (tahun)
(a)
(b)
Cstand=(92.8891)/(1+(9.85634)*exp(-(.267482)*U))
Clive=(113.872)/(1+(8.23526)*exp(-(.236699)*U))
100
100
#16
80
80 #14
#16 #19
60
Clive (tonC/ha)
Cstand (tonC/ha)
#14 #19 #12 #17 40
#20 #18 #7 #13 #2
20
#6
#3 #15 #10 #4 #9 #8 #5 #11
60 #12 #17 #3
40
#18 #2 #7 #13
#21
#6
#9 #15 #10 #4 #8 #11 #5
#20
20
#21
#1
#1 0
0
0
2
4
6
8
Umur (tahun)
(c)
10
12
14
0
2
4
6
8
10
12
Umur (tahun)
(d)
Keterangan: (a) : karbon total, (b) : karbon pohon & kopi, (c) : karbon pohon tanpa kopi, (d) : karbon hidup
Gambar 20. Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri murni.
14
111
CtotAG=(140.951)/(1+(7.61793)*exp(-(.174587)*U))
Cstankp=(169.933)/(1+(9.84903)*exp(-(.159746)*U))
100
100 #17 #17 80
#13 #18
#3
60
#11
Cstankp (tonC/ha)
CtotAG (tonC/ha)
80
#7 #15 #2
#14
40 #9 #1 #12 #19 #8
#16
#20 #6 #5
60
#7
#15 #2
#14
40 #9 #12 #1 #19 #8
#4
#16
#6 #20 #5
#4
20
20
#11
#13 #18
#3
#10
#10
0
0 0
2
4
6
8
10
12
0
14
2
4
6
8
10
12
14
Umur (tahun)
Umur (tahun)
(a)
(b)
Clive=(156.504)/(1+(8.9576)*exp(-(.164222)*U))
Cstand=(97.1268)/(1+(6.55069)*exp(-(.200811)*U))
100
100
#17
80
80
60
#13 #18
#3
Clive (tonC/ha)
Cstand (tonC/ha)
#17
#11
#15 #7
40 #2 #20 #5 #6
#9 #1 #12 #8 #19 #4
20
60
#11
#13
#3
#18 #7
#15 #2
#14
40
#16 #14
#16
#9 #12 #1 #19 #8
#6 #20 #5
#4
20
#10
#10
0
0
0
2
4
6
8
Umur (tahun)
(c)
10
12
14
0
2
4
6
8
10
12
Umur (tahun)
(d)
Keterangan: (a) : karbon total, (b) : karbon pohon & kopi, (c) : karbon pohon tanpa kopi, (d) : karbon hidup
Gambar 21. Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri kebuncampuran.
14
112
Tabel 31 memperlihatkan perkembangan persediaan karbon yang terjadi pada agroforestri dengan menggunakan persamaan pertumbuhan persediaan karbon tegakan yang dihasilkan sebelumnya.
Dari tabel tersebut juga dapat
ditentukan besarnya laju peningkatan persediaan karbon rata-rata (tahunan) atau laju untuk setiap penambahan umur tegakan. Tabel tersebut menunjukkan bahwa dengan praktek agroforestri dengan tegakan murni, serapan karbon hutan terbesar dicapai sampai tahun ke sembilan, sedangkan pada kebun-campuran dicapai pada tahun ke 12. Setelah tahun-tahun tersebut laju peningkatan persediaan karbon cenderung akan menurun. Tabel 31 Perkembangan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan untuk agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran
U 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Agroforestri Muni MAI CAI CtotAG Cstankp CtotAG CtotAG …..tonC/ha….. ….tonC/ha/th….. 20,03 18,14 10,02 24,23 22,09 8,08 4,19 29,05 26,66 7,26 4,82 34,48 31,84 6,90 5,44 40,49 37,60 6,75 6,01 46,97 43,85 6,71 6,48 53,80 50,46 6,72 6,83 60,80 57,24 6,76 7,00 67,79 64,03 6,78 6,99 74,58 70,61 6,78 6,80 81,02 76,84 6,75 6,44 86,97 82,58 6,69 5,95 92,34 87,73 6,60 5,37 97,09 92,27 6,47 4,75 101,22 96,19 6,33 4,13 104,75 99,51 6,16 3,53 107,72 102,30 5,98 2,98 110,20 104,60 5,80 2,48 112,25 106,49 5,61 2,05
U 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Agroforestri Kebun-Campuran MAI CAI CtotAG Cstankp CtotAG CtotAG …..tonC/ha….. ….tonC/ha/th….. 22,12 20,84 11,06 25,57 23,94 8,52 3,45 29,43 27,41 7,36 3,86 33,70 31,49 6,74 4,27 38,38 35,57 6,40 4,68 43,45 40,28 6,21 5,06 48,86 45,39 6,11 5,41 54,57 50,90 6,06 5,71 60,51 56,77 6,05 5,94 66,60 62,96 6,05 6,09 72,75 69,41 6,06 6,15 78,86 76,05 6,07 6,11 84,85 82,80 6,06 5,99 90,63 89,58 6,04 5,78 96,13 96,31 6,01 5,50 101,29 102,89 5,96 5,16 106,07 109,25 5,89 4,78 110,45 115,33 5,81 4,38 114,41 121,08 5,72 3,97
U = umur tegakan (tahun), CtotAG= karbon total di atas tanah, Cstankp = karbon tegakan dengan kopi, MAI = riap rata-rata tahunan (mean annual increment), CAI = riap tahun berjalan (current periodic increment) masing-masing dalam tonC/ha). Proyeksi hingga tahun ke 20 dengan menganggap trend kurva tetap dan tidak ada tebang habis.
Dengan pola pertumbuhan tegakan seperti itu, pengaturan tegakan (pertumbuhan dan hasil) perlu dibuat sedemikian rupa agar masa kontrak proyek karbon yang umumnya lebih panjang dari pada umur daur tanaman masih tetap menghasilkan laju serapan karbon yang tinggi.
113
Penggunaan Model Penduga Persediaan Karbon Seluruh model pendugaan persediaan karbon yang telah dibahas sebelumnya ditujukan untuk digunakan pada tingkatan tegakan, sehingga peubah bebas yang menjadi perhatian merupakan peubah-peubah yang mencirikan tegakan. Model pendugaan ini dimaksudkan sebagai alternatif lain dari pendugaan yang sebelumnya menggunakan pendekatan setiap pohon untuk menentukan persediaan karbon seluruh tegakan. Dari ketiga model pendekatan yang diusulkan dan kesesuaiannya dengan bentuk agroforestri yang ada di kedua lokasi penelitian, model pendekatan yang menggunakan peubah kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan memberikan tingkat ketelitian yang paling baik untuk pendugaan persediaan karbon tegakan. Model dengan pendekatan peubah tegakan ini dapat dipakai untuk inventarisasi karbon awal atau untuk keperluan monitoring persediaan karbon. Pengukuran kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan dapat dilakukan melalui pengukuran individu pohon dalam areal tertentu atau melalui pendekatan dengan point sampling (Husch et al. 2003). Model pendugaan persediaan karbon dengan pendekatan struktur horizontal tegakan memiliki keterandalan yang rendah, tetapi model ini selain untuk keperluan monitoring karbon dapat dipakai untuk memperkirakan perubahan persediaan karbon tegakan apabila terjadi pemanfaatan tegakan dengan memanen sejumlah pohon pada berbagai ukuran diameter pohon. Model pendugaan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan yang menyatakan adanya hubungan antara waktu dengan perkembangan persediaan karbon tegakan tidak terlalu tepat apabila digunakan untuk kepentingan inventarisasi karbon, tetapi model ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi manfaat proyek karbon melalui kegiatan agroforestri dari waktu ke waktu. IPCC (2005) menetapkan penyederhanaan metode untuk monitoring proyek karbon hutan skala kecil. Untuk pendugaan biomassa/karbon di atas permukaan tanah dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu (1) menggunakan persamaan alometrik yang sudah dilaporkan dan diterima IPCC, atau (2) menggunakan pendekatan faktor ekspansi biomassa (BEF, biomass expansion factor) dan volume tegakan. Pendekatan kedua masih memerlukan dilakukannya pengukuran
114
diameter dan tinggi pohon untuk menduga volume tegakan, yang memerlukan tambahan waktu, apabila tarif persamaan volume pohon tidak tersedia. Penggunaan model penaksiran dengan peubah tegakan untuk menggantikan pendekatan faktor ekspansi biomassa, akan membantu mengurangi biaya pengukuran apabila pola agroforestrinya sudah diketahui. Prospek Pengelolaan Agroforestri Melalui Skema Perdagangan Karbon Ditinjau dari Aspek Finansial Praktek agroforestri dengan pola tegakan yang cenderung murni atau pola kebun-campuran sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini keduanya memiliki potensi persediaan karbon yang cukup tinggi, khususnya jika dibandingkan dengan praktek sejenis yang telah dilakukan di tempat lain. Apabila dipakai rujukan kurva pertumbuhan persediaan karbon pada Tabel 31, maka selama 10 tahun kegiatan agroforestri memiliki potensi persediaan karbon bagian atas permukaan tanah mencapai 60-68 tonC/ha atau rata-rata memiliki kemampuan serapan karbon sekitar 6,0-6,8 tonC/ha/tahun.
Apabila praktek
agroforestri tersebut ikut dalam proyek MPB berskala kecil, dengan kemampuan serapan karbon yang bisa dijual (CER) maksimum setara dengan 8.000 ton CO2e per tahun (Dutschke 2004a), maka diperlukan lahan untuk agroforestri dengan luas minimal 330-360 ha. Luas lahan yang diperlukan akan bertambah apabila persediaan karbon yang dihasilkan jauh lebih rendah, demikian pula sebaliknya luas lahan akan berkurang apabila persediaan karbon dapat ditingkatkan, termasuk misalnya jika diperhitungkan karbon di bawah permukaan tanah (karbon akar dan karbon tanah). Selama ini praktek agroforestri telah memberikan manfaat finansial bagi petani yang diperoleh dari hasil tanaman yang diproduksi, mulai dari tanaman semusim, tanaman perkebunan, hasil buah-buahan dan hasil kayu.
Adanya
proyek karbon seharusnya merupakan tambahan manfaat yang akan meningkatkan kelayakan
finansial
pengelolaan
agroforestri
atau
menjadikan
kegiatan
agroforestri yang sebelumnya memiliki insentif yang rendah menjadi meningkat nilainya karena adanya kelebihan persediaan karbon yang dapat diperdagangkan. Skema penjualan karbon harusnya memberikan sumber pendapatan baru bagi
115
petani, apabila aturan dan prosedur yang dijalankan tidak membatasi akses petani terhadap hasil-hasil agroforestrinya. Walaupun telah dinyatakan praktek agroforestri memiliki potensi persediaan karbon yang tinggi, tetapi proses pengakuan terjadinya manfaat serapan karbon tersebut memerlukan proses yang panjang dan menimbulkan biaya baru yang harus ditanggung petani atau pengembang proyek karbon.
Biaya tersebut
mencakup biaya transaksi yang diperlukan untuk perancangan proyek, pendaftaran dan validasi, biaya monitoring, serta biaya verifikasi dan sertifikasi untuk pengakuan perolehan CER (Milne 1999; Cacho et al. 2003). Beberapa studi menunjukkan bahwa proyek karbon kehutanan berskala kecil cenderung tidak berpihak pada petani atau pengembang proyek. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya harga karbon, tingginya biaya transaksi dan masalah metodologi atau prosedur penentuan CER (Pedroni & Locatelli 2003; Cacho et al. 2003). Satuan Proyek, Pola Agroforestri, Komponen Biaya dan Pendapatan, serta Metode Perhitungan Karbon Untuk melihat sampai sejauhmana prospek agroforestri di lokasi penelitian apabila masuk dalam skema perdagangan karbon, dilakukan pendekatan analisis finansial untuk pengelolaan agroforestri dengan luas tertentu. Proyek karbon diasumsikan untuk memenuhi proyek berskala kecil dengan maksimum CER yang bisa dijual hingga 8.000 ton CO2/tahun atau setara 2.180 ton C/tahun (1 ton C setara dengan 3,67 ton CO2). Dengan rata-rata kemampuan serapan karbon 6,5 tonC/ha/tahun, dimana sebesar 80% bisa diakui sebagai CER yang dapat dijual, maka diperlukan lahan efektif minimal seluas 450 ha untuk proyek karbon melalui kegiatan agroforestri. Masa proyek dihitung selama 30 tahun dengan dua periode daur tanaman. Pola agroforestri yang dibangun adalah tegakan murni sengon sebagai pohon penaung untuk tanaman kopi. Beberapa asumsi yang mendasari besarnya kemampuan serapan karbon agroforestri adalah: garis dasar (baseline) proyek dianggap nol, tidak diperhitungkan emisi yang terjadi akibat pemanenan tegakan dan budidaya pertanian, dan tidak diperhitungkan tambahan persediaan karbon yang ada di bawah permukaan tanah. Biaya pembangunan agroforestri adalah biaya yang diperlukan untuk membangun tegakan (tanaman kehutanan dan pertanian) hingga mencapai masa
116
siap dipanen, yang mencakup biaya penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemupukan, perlindungan, pajak tanah serta biaya manajemen tahunan. Biaya tersebut bisa dikeluarkan setiap tahun atau hanya pada periode tertentu sesuai kebutuhan.
Biaya rata-rata pembangunan agroforestri sebesar Rp
1.630.333/ha/tahun. Untuk skema perdagangan karbon, masih diperlukan tambahan biaya berupa biaya transaksi sebesar Rp 518.519/ha/tahun.
Biaya
transaksi mencakup biaya untuk pendaftaran dan validasi proyek, biaya monitoring dan biaya verifikasi. Besarnya biaya transaksi ditentukan atas dasar pengalaman penerapan proyek karbon hutan berskala kecil di negara lain (Milne 1999).
Dengan demikian total seluruh biaya pengelolaan agroforestri untuk
proyek karbon adalah Rp 2.148.852/ha/tahun. Pendapatan proyek diperoleh dari hasil panen agroforestri (kayu dan kopi) dan hasil penjualan jasa karbon. Produksi kayu diperoleh dari hasil penjarangan sebesar 11,6 m3/ha (setiap 2 tahun sejak tanaman umur 4 tahun) dan tebang akhir daur pada saat umur 15 tahun sebesar 194 m3/ha. Besarnya volume kayu hasil penjarangan dan tebang akhir daur diperkirakan dari model pertumbuhan tegakan. Produksi kopi rata-rata mencapai 500 kg/ha yang diperoleh mulai tahun ke 4 dan seterusnya dengan harga jual Rp 3.000/kg.
Harga jual kayu dalam bentuk pohon
yang masih berdiri rata-rata sebesar Rp 135.000/m3. Harga jual kayu dan buah kopi didasarkan pada harga rata-rata yang berlaku pada saat penelitian dilakukan. Perhitungan besarnya serapan karbon yang dapat dijual dihitung dengan dua cara, yaitu atas dasar besarnya laju rata-rata persediaan karbon dan pendekatan tCER. Laju persediaan karbon dianggap konstan setiap tahun sebesar 6,5 tonC/ha/tahun. Sedangkan dengan pendekatan t-CER, besarnya serapan karbon atas dasar kondisi persediaan karbon pada tahun tertentu (tahun dilakukannya verifikasi), yaitu sebesar 34,5 tonC/ha pada tahun ke-5 (yang absah sampai tahun ke-10), dan 67,8 tonC/ha pada tahun ke-10 (yang absah sampai tahun ke-15). Dari jumlah serapan karbon dengan kedua pendekatan tersebut, diasumsikan 80% dapat menghasilkan CER. Besarnya total karbon yang dihasilkan dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon dan pendekatan t-CER selama masa proyek 30 tahun masingmasing adalah sebesar 70.200 ton C dan 73.656 ton C.
117
Harga jual karbon bervariasi dari 15, 18 dan 21 USD/tonC (1 USD=Rp 9.300), merujuk pada harga yang dianggap wajar untuk karbon berbasis hutan. Untuk menentukan harga jual karbon dengan metode t-CER, harga ditentukan dari harga CER permanen (yang diambil dari harga proyek karbon energi) dan besarnya suku bunga yang berlaku di negara maju rata-rata 6% per tahun (Pirard 2005).
Dengan harga jual karbon dari 15, 18 dan 21 USD/tonC, maka harapan
untuk harga t-CER adalah sebesar 3,79; 4,55; dan 5,31 USD/tonC. Besarnya rata-rata biaya dan pendapatan per satuan karbon (USD/tonC) dari kegiatan agroforestri dengan pendekatan yang dipakai diringkas pada Tabel 32. Tabel 32 Rata-rata biaya dan pendapatan pengelolaan agroforestri untuk skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon dan t-CER (dalam USD/tonC) Biaya dan Pendapatan Biaya Biaya agroforestri Biaya transaksi Biaya total Pendapatan Pendapatan agroforestri Pendapatan dari CER Pendapatan total
Pendekatan laju persediaan karbon
Pendekatan t-CER
33,71 (76%) 10,72 (24%) 44,43 (100%)
32,13 (76%) 10,22 (24%) 42,35 (100%)
78,30 (85%) 14,00 (15%) 92,30 (100%)
74,63 (95%) 3,79 (5%) 78,42 (100%)
Perbandingan Besarnya NPV dan BCR Dalam Pengelolaan Agroforestri Dengan dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon Uraian berikut ini menyajikan hasil perbandingan manfaat finansial pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan karbon. Manfaat proyek diukur dari besarnya nilai NPV dan BCR.
Pengelolaan agroforestri dibedakan
atas pengelolaan agroforestri sebagaimana biasanya (tanpa CER) dan pengelolaan agroforestri yang sekaligus untuk tujuan perdagangan karbon (dengan CER). Hasil perhitungan diringkas dalam Tabel 33 untuk perhitungan karbon yang menggunakan laju rata-rata persediaan karbon dan Tabel 34 untuk yang menggunakan pendekatan t-CER. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan biaya transaksi (tetap, naik 20%, dan turun 20%), perubahan harga jual CER (15, 18
118
dan 21 USD/tonC), dan perubahan tingkat suku bunga (10%, 12% dan 14%) terhadap perolehan nilai NPV dan BCR.
Gambar 22 dan Gambar 23
memperlihatkan kecenderungan perubahan nilai NPV dan BCR karena berbagai perubahan yang diskenariokan di atas, yang dihitung dengan dua pendekatan perhitungan karbon yang berbeda. Kegiatan agroforestri yang berjalan tanpa melakukan penjualan jasa karbon (tanpa CER) masih layak secara finansial walaupun tingkat suku bunga sampai 12%/tahun. Pendapatan agroforestri cukup diperoleh dari hasil pemanenan kayu dan tanaman pertanian. Namun demikian kegiatan agroforestri saja menjadi tidak layak finansial apabila suku bunga meningkat hingga mencapai 14%/tahun. Sebaliknya, kegiatan agroforestri yang hanya mengandalkan hasil penjualan jasa karbon tidaklah cukup untuk menutupi biaya-biaya produksi. Jika kegiatan agroforestri ikut dalam skema perdagangan karbon (dengan CER), masih diperlukan tambahan biaya transaksi yang besarnya mencapai 24% dari total biaya produksi (biaya pembangunan dan pengelolaan karbon). Dengan harga karbon sebesar 15 USD/tonC dan tingkat suku bunga 10%/tahun, proyek agroforestri akan memberikan peningkatan pendapatan bersih sebesar 37%. Tambahan pendapatan bersih yang cukup nyata hingga mencapai 64% diperoleh apabila harga karbon mencapai 18 USD/tonC. Keikutsertaan agroforestri dalam skema perdagangan karbon tidaklah selalu meningkatkan pendapatan bersih, tergantung dengan besarnya harga karbon dan biaya transaksinya.
Apabila biaya transaksi naik 35% di atas biaya semula
(menjadi 30% dari total biaya produksi), maka pada harga karbon hanya 15 USD/tonC dan suku bunga 10%/tahun, ikut dalam proyek karbon justru akan mengurangi pendapatan bersih dibandingkan dengan tidak ikut sama sekali. Proyek karbon agroforestri akan menarik secara finansial apabila tambahan biaya transaksi bisa ditekan menjadi hanya sebesar 20% dari total biaya produksi. Dengan biaya transaksi yang rendah tersebut, walaupun harga karbon hanya 15 USD/tonC dan tingkat suku bunga naik hingga 14%/tahun, proyek agroforestri yang sebelumnya tidak layak menjadi layak apabila dikombinasikan dengan penjualan jasa karbon.
119
Tabel 33. Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c). Dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon.
Pengaruh Biaya Transaksi
NPV/BCR Tanpa/Dengan CER NPV
Tetap BCR
NPV Naik 20% BCR
NPV Turun 20% BCR
Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan
10
15 USD Suku bunga (%) 12
14
2,161,302 2,958,936 37% 1.25 1.27 Layak 2,161,302 2,522,387 17% 1.25 1.22 Layak 2,161,302 3,395,484 57% 1.25 1.33 Layak
838,193 1,539,160 84% 1.11 1.16 Layak 838,193 1,167,569 39% 1.11 1.12 Layak 838,193 1,910,751 128% 1.11 1.21 Layak
(93,630) 531,625 668% 0.99 1.06 Layak (93,630) 209,928 324% 0.99 1.02 Layak (93,630) 853,322 1011% 0.99 1.10 Layak
Harga CER (USD/ton C, kurs Rp 9.300/USD) 18 USD Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 3,555,011 64% 1.25 1.33 Layak 2,161,302 3,118,463 44% 1.25 1.28 Layak 2,161,302 3,991,559 85% 1.25 1.38 Layak
838,193 2,050,944 145% 1.11 1.21 Layak 838,193 1,679,353 100% 1.11 1.17 Layak 838,193 2,422,535 189% 1.11 1.26 Layak
(93,630) 978,373 1145% 0.99 1.11 Layak (93,630) 656,676 801% 0.99 1.07 Layak (93,630) 1,300,070 1489% 0.99 1.16 Layak
10
21 USD Suku bunga (%) 12
14
2,161,302 4,151,086 92% 1.25 1.38 Layak 2,161,302 3,714,538 72% 1.25 1.33 Layak 2,161,302 4,587,635 112% 1.25 1.44 Layak
838,193 2,562,728 206% 1.11 1.27 Layak 838,193 2,191,137 161% 1.11 1.22 Layak 838,193 2,934,319 250% 1.11 1.32 Layak
(93,630) 1,425,121 1622% 0.99 1.17 Layak (93,630,766) 1,103,424 1278% 0.99 1.12 Layak (93,630) 1,746,818 1966% 0.99 1.21 Layak
Keterangan : NPV dalam Rpx1000. Luas agroforestri 450 ha, dengan masa proyek 30 tahun. Biaya transaksi adalah biaya tambahan untuk terselenggaranya perdagangan karbon, mencakup biaya pendaftaran dan validasi proyek, biaya monitoring dan biaya verifikasi. Perubahan menyatakan penambahan/pengurangan nilai NPV dibandingkan dengan kegiatan agroforestri biasa (tanpa skema perdagangan karbon).
120
Tabel 34. Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c). Dihitung dengan pendekatan tCER.
Pengaruh Biaya Transaksi
NPV/BCR
NPV Tetap BCR
NPV Naik 20% BCR
NPV Turun 20% BCR
Tanpa/Dengan CER Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan
3,79 USD (dari 15 USD utk CER energi) Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 838,193 (93,630) 726,763 (398,189) (1,178,170) -66% -148% -1158% 1.25 1.11 0.99 1.07 0.96 0.86 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 290,214 (769,780) (1,499,867) -87% -192% -1502% 1.25 1.11 0.99 1.03 0.92 0.83 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 1,163,311 (26,598) (856,473) -46% -103% 1.25 1.11 0.99 1.11 0.997 0.90 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak
Harga CER (USD/ton C, kurs Rp 9.300/USD) 4,55 USD (dari 18 USD utk CER energi) Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 838,193 (93,630) 876,403 (273,875) (1,073,381) -59% -133% -1046% 1.25 1.11 0.99 1.08 0.97 0.87 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 439,855 (645,466) (1,395,078) -80% -177% -1390% 1.25 1.11 0.99 1.04 0.93 0.84 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 1,312,952 97,715 (751,684) -39% -88% -703% 1.25 1.11 0.99 1.13 1.01 0.91 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak
5,31 USD (dari 21 USD utk CER energi) Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 838,193 (93,630) 1,026,044 (149,561) (968,591) -53% -118% -934% 1.25 1.11 0.99 1.09 0.98 0.89 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 589,495 (521,152) (1,290,288) -73% -162% -1278% 1.25 1.11 0.99 1.05 0.95 0.85 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 1,462,592 222,029 (646,894) -32% -74% -591% 1.25 1.11 0.99 1.14 1.02 0.92 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak
Keterangan : NPV dalam Rpx1000. Luas agroforestri 450 ha, dengan masa proyek 30 tahun. Biaya transaksi adalah biaya tambahan untuk terselenggaranya perdagangan karbon, mencakup biaya pendaftaran dan validasi proyek, biaya monitoring dan biaya verifikasi. Perubahan menyatakan penambahan/pengurangan nilai NPV dibandingkan dengan kegiatan agroforestri biasa (tanpa skema perdagangan karbon).
5,000
1.50
4,000
1.40
3,000
1.30 BCR
NPV (Rp.juta)
121
2,000
1.20
1,000
1.10
10
12 (1,000) suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
1.00
14
10
12 0.90 suku bunga (%) 15USD/tonC 18USD/tonC 21USD/tonC
14
Tanpa CER
5,000
1.50
4,000
1.40
3,000
1.30 BCR
NPV (Rp.juta)
(a)
2,000
1.20 1.10
1,000
1.00
10
(1,000)
12
10
14
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
14
suku bunga (%)
suku bunga (%) 15USD/tonC
12 0.90 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
5,000
1.50
4,000
1.40
3,000
1.30 BCR
NPV (Rp.juta)
(b)
2,000
1.20 1.10
1,000
1.00
10
12
10
14
(1,000) suku bunga (%)
12 0.90 suku bunga (%)
15USD/tonC
18USD/tonC
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
21USD/tonC
Tanpa CER
14
(c) Gambar 22. Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga karbon dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon
122
2,500
1.30 1.20
1,500 1,000 500 10
1.10
BCR
NPV (Rp.juta)
2,000
(500) 12
1.00 10
14
12
14
0.90
(1,000)
0.80 suku bunga (%)
(1,500) suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
(a) 1.30
2,500
1.20
1,500 1,000 500 10
1.10
BCR
NPV (Rp.juta)
2,000
1.00 10
(500) 12
14
12
14
0.90
(1,000) 0.80
(1,500)
suku bunga (%)
suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
(b) 2,500
1.30
1,500
1.20
1,000
1.10
BCR
NPV (Rp.juta)
2,000
500
1.00
10
(500) 12
10
14
12
14
0.90
(1,000)
0.80
(1,500)
suku bunga (%)
suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
21USD/tonC
Tanpa CER
(c) Gambar 23. Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga karbon dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan t-CER
123
Seluruh skenario yang digambarkan di atas adalah situasi dimana perolehan karbon dihitung dengan menggunakan pendekatan laju rata-rata perubahan persediaan karbon yang konstan, dan harga karbon sesuai dengan harga CER yang berlaku untuk proyek karbon energi. Apabila perolehan karbon dihitung dengan pendekatan t-CER, sehingga harga CER yang diperoleh melalui karbon hutan berbeda dengan harga karbon yang berlaku untuk proyek energi, maka perolehan manfaat finansial dari praktek agroforestri sangatlah berbeda. Dengan pendekatan t-CER, maka harga karbon yang diperoleh melalui agroforestri hanya sebesar 3,79 USD/tonC apabila harga karbon dari proyek energi sebesar 15 USD/tonC. Dengan skenario yang sama dengan pendekatan yang pertama, penggunaan metode t-CER tidak satupun yang memberikan manfaat tambahan yang lebih baik dibandingkan dengan kegiatan agroforestri saja (NPVC < NPVNC), atau dengan kata lain penjualan karbon dengan pendekatan tCER melalui praktek agroforestri tidaklah lebih menarik dibandingkan dengan praktek agroforestri yang sudah berjalan. Hasil simulasi menunjukkan, bahwa penggunaan metode t-CER barulah akan memberikan manfaat tambahan dibandingkan dengan agroforestri biasa, apabila harga karbon proyek energi sudah mencapai 44 USD/tonC atau biaya transaksi bisa ditekan menjadi hanya 5% dari seluruh biaya pengelolaan. Implikasi Skema Perdagangan Karbon terhadap Praktek Agroforestri Seluruh simulasi yang dicontohkan di atas dilakukan dengan tetap memberikan kesempatan pengelola agroforestri memperoleh hasil dari pemanenan kayu dan hasil tanaman pertanian, bukannya menghentikannya sama sekali. Pemanenan kayu diperoleh dari hasil penjarangan dan hasil tebang habis pada akhir daur. Hal yang terpenting disini adalah adanya sejumlah persediaan karbon yang dihasilkan tidak boleh berkurang dari jumlah yang direncanakan. Hasil simulasi telah menunjukkan bahwa pengelolaan agroforestri yang semata-mata hanya mengandalkan jasa penjualan karbon saja belumlah memadai. Hal ini juga telah ditunjukkan oleh Pirard (2005), yang menghitung pendapatan dari penjualan karbon dari pengelolaan hutan tanaman akasia di Sumatera. Pada skenario harga karbon yang paling memungkinkan, penjualan karbon hanya
124
mencapai 10% dan 13% dari biaya produksi selama 30 tahun. Van Noordwijk et al. (2005) juga telah menunjukkan bahwa pada harga karbon 20 USD/tonC dan diperkirakan 50% akan digunakan untuk biaya transaksi, maka pendapatan bersih potensial yang diperoleh petani dari pengelolaan agroforestri sengon (P. falcataria) kurang dari 10% dibandingkan dengan nilai penjualan kayunya. Penggunaan pendekatan t-CER sebagai metode yang saat ini absah untuk menghitung manfaat karbon melalui proyek berbasis hutan tidaklah terlalu menarik apabila dilakukan melalui praktek agroforestri.
Tambahan manfaat
melalui penjualan jasa karbon masih terlalu kecil bagi petani atau pengembang proyek, karena rendahnya harga jual karbon yang dihasilkan dibanding dengan biaya transaksi yang diperlukan. Metode t-CER akan layak apabila harga CER permanen (harga CER dari karbon proyek energi) bisa meningkat hingga 44 USD/tonC atau biaya transaksi hanya 5% dari total biaya pengelolaan agroforestri. Memperhatikan hasil simulasi di atas, maka dalam proyek karbon agroforestri sangatlah penting untuk menekan biaya-biaya transaksi selain upaya memperoleh harga karbon yang memadai. Penekanan yang nyata terhadap biaya transaksi bisa dilakukan melalui prosedur perancangan, pendaftaran proyek, validasi, monitoring dan proses verifikasi proyek karbon yang lebih sederhana yang sesuai dengan kapasitas petani atau pengembang proyek. Sejalan dengan hasil penelitian ini, kegiatan pengukuran dan monitoring karbon dapat dilakukan dengan keterlibatan aktif petani sehingga proses monitoring yang dilakukan bisa secara nyata mengurangi biaya verifikasi oleh pihak ketiga.
Dengan keterlibatan aktif petani, petani dapat belajar untuk
mengelola tegakannya agar tetap menghasilkan persediaan karbon yang berkualitas dan mengatur pemanfaatan tegakan agroforestri secara bijaksana.