Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012 Journal Of Economic Management & Business Volume 13, Nomor 1, Mei 2012 ISSN: 2301-4717 Hal. 1-11
karakteristik pusat pertumbuhan ekonomi aceh
harry hasan masyrafah dan Wahyuddin Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Pendahuluan Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam menopang perekonomian Aceh. Sektor ini memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian, sedangkan sektor-sektor lain yang terkait dengan ketersediaan cadangan migas di sepanjang pantai timur Aceh semakin menurun. Pada tahun 2000, sektor pertanian tercatat menyumbang 17,68 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto Aceh atas dasar harga berlaku dan kontribusi sektor ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai 27,4 persen pada tahun 2009. Sektor ini jika dibandingkan dengan tingkat nasional memiliki kontribusi yang lebih kecil, terhitung sebesar 15 persen dari PDRB nasional. Rekonstruksi telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan tetapi tidak berkesinambungan. Sektor-sektor yang terkait erat dengan rekonstruksi pada beberapa tahun belakangan ini tercatat meningkat tajam, seperti sektor bangunan, sektor transportasi dan sektor perdagangan secara rata-rata meningkat lebih dari 20 persen pada tahun 2006, tetapi terjadi penurunan pada tahun berikutnya. Kegiatan rekonstruksi Aceh yang umumnya berakhir pada tahun 2008 berdampak terhadap penurunan kinerja sektor-sektor yang terkait. Sektor bangunan mencatat pertumbuhan negatif sebesar 0,9 persen, sedangkan sektor jasa dan transportasi tercatat masingmasing sebesar 1,2 dan 1,4 persen. Setelah rekonstruksi berakhir, pertumbuhan ekonomi Aceh yang berkelanjutan hanya dapat dilakukan dengan menstimulasi sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB. Pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah di negara berkembang dan maju menyebabkan pertumbuhan di daerahdaerah sekitar pusat pertumbuhan ikut meningkat. Pemerintah menyediakan dan memusatkan perhatian khusus terhadap
sarana-sarana pendukung perekonomian pada daerah yang ditetapkan berdasarkan analisis yang memadai sebagai pusatpusat pertumbuhan ekonomi. Adanya fokus penyediaan infrastruktur dan fasilitas ekonomi terhadap daerah yang ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan akan mendorong terciptanya efisiensi ekonomi yang berkesinambungan. Tingkat pertumbuhan ekonomi Aceh terlihat pada daerah-daerah yang relatif berdekatan dengan Provinsi Sumatera Utara sebagai pusat perekonomian di Sumatera. Berdasarkan data resmi dari BPS, pada tahun 2006 menunjukkan bahwa Banda Aceh sebagai ibukota provinsi memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika dibandingkan dengan kabupaten disekitarnya, seperti Aceh Besar dan Aceh Jaya. Hal yang sama juga terjadi di kabupaten Aceh tenggara yang memiliki pertumbuhan yang relatif tinggi dan memiliki jarak yang relatif dekat dengan Provinsi Sumatera Utara, tetapi jarak yang relatif dekat tidak menyebabkan daerah disekitarnya ikut berkembang seperti kabupaten Gayo Lues, kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Penetapan pusat aktivitas dan pertumbuhan ekonomi pada beberapa Kabupaten/Kota yang mempunyai potensi secara tepat akan memperkecil kesenjangan perekonomian antar daerah. Pembangunan sarana publik yang mendukung perekonomian hendaknya lebih dipusatkan pada daerah yang menjadi pusat-pusat perekonomian yang diharapkan dapat memberikan efek positip terhadap daerah disekitarnya/daerah satelit (trickling down effect). Daerah satelit dapat menjadi daerah pendukung bagi daerah pusat aktifitas perekonomian, misalnya daerah yang menjadi pemasok bahan baku dan industri pendukung. Tingkat pertumbuhan ekonomi Aceh terlihat pada daerah-daerah yang relatif berdekatan dengan Provinsi Sumatera Utara sebagai pusat perekonomian di Sumatera. Berdasarkan data resmi dari
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
BPS, pada tahun 2006 menunjukkan bahwa Banda Aceh sebagai ibukota provinsi memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika dibandingkan dengan kabupaten disekitarnya, seperti Aceh Besar dan Aceh Jaya. Hal yang sama juga terjadi di kabupaten Aceh tenggara yang memiliki pertumbuhan yang relatif tinggi dan memiliki jarak yang relatif dekat dengan Provinsi Sumatera Utara, tetapi jarak yang relatif dekat tidak menyebabkan daerah disekitarnya ikut berkembang seperti kabupaten Gayo Lues, kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Penetapan pusat aktivitas dan pertumbuhan ekonomi pada beberapa Kabupaten/Kota yang mempunyai potensi secara tepat akan memperkecil kesenjangan perekonomian antar daerah. Pembangunan sarana publik yang mendukung perekonomian hendaknya lebih dipusatkan pada daerah yang menjadi pusat-pusat perekonomian yang diharapkan dapat memberikan efek positip terhadap daerah disekitarnya/daerah satelit (trickling down effect). Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu : (i) Menganalisis pusat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh selama 5 tahun terakhir, (ii) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Aceh; (iii) Merekomendasikan daerah-daerah alternatif sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Aceh berdasarkan tinjauan sumber daya ekonomi dan faktor-faktor lain yang relevan; (iv) Merekomendasikan langkahlangkah yang dapat diambil oleh pemerintah dalam mendorong pusat pertumbuhan perekonomian kewilayahan. Tinjauan Pustaka Dalam konteks keruangan, terdapat beberapa konsep pembangunan wilayah yang telah diperkenalkan. Weber (1909) yang menciptakan konsep lokasi industri, Christaller (1966) yang menerapkan konsep “central place”, dan Perroux (1955)
dengan konsep “growth pole”. Konsep tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan, dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dianggap berhasil dilaksanakan dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh negara maupun wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti adalah konsep growth pole (kutub pertumbuhan). Konsep-konsep ekonomi wilayah ini pada kenyataanya memiliki beberapa persamaan. Weber menyatakan bahwa pelaku ekonomi (industrialis) akan menetapkan pusat industri berdasarkan biaya-biaya terendah terhadap input (bahan mentah) dan output (produk)serta biaya tenaga kerja yang terendah. Christaller (1966) mencoba menjelaskan trend tentang pemukiman penduduk, urbanisasi, besaran daerah dan lokasi. Christaller menyatakan bahwa daerah yang menjadi pusat perdagangan memiliki daya tarik tertentu dan pola tertentu (seperti jumlah penduduk dan sumber daya minimum dalam melakukan perdagangan yang efektif). Kedua teori berdasarkan ukuran-ukuran ke-efektifitasan ekonomi dalam menentukan daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Terdapat beberapa konsep dasar dalam “growth pole”. Menurut Perroux (1955) serta diperbaharui oleh Glasson (1977) konsepkonsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik berkaitan dengan teori growth pole, didefinisikan sebagai (a) Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaanperusahan propulsip yang besar, yang termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. (b) Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading industries mendorong polarisasi dari unitunit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan, (c) Konsep “spread effect” atau “trickling down effect” menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas propulsip dinamik
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
dari kutub pertumbuhan akan memencar keluar dan memasuki ruang di sekitarnya. Strategi ini secara khusus didasarkan pada asumsi bahwa daerah atau lokal bisa mencari alternatif bagi posisi pasar mereka dengan menawarkan insentif dan subsidi bagi pembangunan baru. Pertumbuhan dihasilkan melalui kenaikan penerimaan pajak dan kenaikan output ekonomi yang melebihi biaya dari insentif dan subsidi. Beberapa tahap yang biasanya dilakukan dalam penciptaan kutub pertumbuhan adalah; Pertama, proyek-proyek yang dapat dirasionalkan pada basis kontribusinya terhadap basis ekonomi biasanya menerima dukungan kuat dari kelompok masyarakat. Kedua, membuat keterkaitan sekelompok proyek terkait dalam bagian berbeda dari suatu daerah bisa digunakan untuk mendorong program pengembangan basis ekonomi yang sering menjadi satu-satunya cara untuk mengakses barang-barang di daerah perkotaan yang didesentralisasi. Ketiga, sejumlah pendekatan menggunakan strategi substitusi impor untuk mencapai pengembangan dalam basis ekonomi. Dalam perkembangannya, teori Growth Pole telah dikritisi dari manfaat yang tidak lengkap. Kritik ini memberi kontribusi pada konflik pertumbuhan antara “balanced vs unbalanced. Beberapa ahli ekonomi wilayah mendiskusikan bahwa konsep growth pole menjadi penyebab ketidakseimbangan wilayah. Seperti Stohr dan Todtling (1977) menyusun suatu studi kasus dan menyimpulkan bahwa strategi growth pole tidak dapat membawa pembangunan ke wilayah belakangnya (hinterland). Strategi
ini mungkin sukses dalam mengurangi disparitas interregional, tetapi spread effect terhadap wilayah sekitarnya sangat lemah, bahkan menyebabkan terjadinya disparitas intra-regionalKonsentrasi ini di satu sisi akan didapatkan efisiensi, tetapi di pihak lain bila konsentrasi semakin besar, efisiensi sebagai hasil dari trickling dowmn effect, atau penetesan kesejahteraan pada wilayah sekitarnya ternyata tidak terjadi, bahkan sebaliknya terjadi backwash effect, penyapuan sumberdaya yang ada di sekitar pusat atau pole yang ada. Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara lain, penerapan konsep growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari, seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa (Martina, 2004). Didalam konteks Aceh, terlepas dari penerapan konsep growth pole, adalah penting untuk dahulu mengetahui sebaran perekonomian Aceh, pusat-pusat pertumbuhan perekonomian di Aceh, sekaligus memetakan disparitas pertumbuhan serta mengetahui secara lebih jelas strategi dalam memperkecil disparitas, seperti tujuan dari penelitian ini. Ketertimpangan pertumbuhan antar daerah tentunya merupakan salah satu alat ukur lainnya dalam analisis pusat pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan menggunakan Typologi Klassen seperti pada table dibawah ini, pemerintah seyogyanya dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam memperkecil disparitas ekonomi yang terjadi antar daerah yang
Tabel 1 Tipology Klassen Klassen Typology
yi > Y
yi < Y
ri > R
Kuadran I Daerah Cepat Maju dan Cepat Tumbuh Kuadran III Daerah Berkembang Cepat
Kuadran II Cepat Maju tapi tertekan
ri < R Sumber: Klassen, 2006
Kuadran IV Daerah Tertinggal
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
memiliki karakteristik ekonomi tertentu. Daerah-daerah yang terkumpul dalam suatu kuadran biasanya memiliki karakteristik domgrafi, ekonomi termasuh investasi pemerintah yang menunjukkan kemiripan ( Klassen, 2006). Tipologi Klassen aken menjadi dasar analisis dalam laporan ini. Klassen mengklasifikasikan ekonomi wilayah menjadi empat bagian, yaitu : (1) Daerah yang cepat-maju dan cepat-tumbuh; daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita diatas rata-rata regional, (2) Daerah maju tapi tertekan; yaitu daerah yang yang memiliki pendapatan perkapita lebih tinggi tapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah, (3) daerah berkembang-cepat; memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, namun pendapatan perkapita yang lebih rendah, (4) daerah yang memiliki pertumbuhan dan pendapatan perkapita yang lebih rendah dari rata-rata regionalnya, Pendekatan selanjutnya dalam melihat ketimpangan kemajuan daerah dengan menggunakan indeks Williamson. Indeks ini mengukur ketimpangan melalui perhitungan PDRB perkapita dengan kaitannya dengan jumlah penduduk. Indeks Williamson juga merupakan ukuran dalam menghitung koefisien persebaran (coffeciient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari wilayah yang dikaji. Semakin mendekati nol, semakin kecil ketimpangan daerah. Ketimpangan diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita rata-rata dari penduduk di suatu daerah. Apabila IW ( Indeks Williamson) tercatat semakin mendekati nol, ini menunjukkan semakin kecil ketimpangan distribusi pendapatan di Aceh serta semakin merata tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah. Rumus sebagai berikut;
Dimana; IW = Indeks Williamson Yi = PDRB perkapita rata-rata di Kabupaten i Y = PDRB perkapita rata-rata di Aceh Fi = Jumlah penduduk di Kabupaten I n = Jumlah penduduk di Aceh Metodologi Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Analisis dilakukanterhadap data-data kuantitatif yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti BPS , Bank Indonesia, Dinas Pekerjaan Umum dan beberapa laporan serta data resmi dari berbagai sumber-sumber resmi yang bersifat sekunder. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini sebelumnya telah di diskusikan dengan pihak-pihak terkait untuk menjamin keakuratan alat analisis yang digunakan. Penelitian ini menggunakan beberapa data seri dengan menggunakan angka konstan tahun 2000. Data-data PDRB untuk setiap kabupaten/kota serta provinsi untuk menjaga konsistensi perbandingan digunakan angka konstan 2000 ( kecuali dinyatakan lain didalam laporan ini). Beberapa analisis yang dilakukan juga menggunakan dasar-dasar teori yang telah dibahas pada tinjauan pustaka. Beberapa diskusi non-formal juga dilakukan terhadap pihak-pihak lain. Diskusi ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap objek penelitian. Diskusi ini juga sekaligus bertujuan untuk mengkonfirmasi data-data kuantitatif yang didapat. Informasi serta data-data kualitatif juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan dalam bagian akhir dalam penelitian ini. Pusat Pertumbuhan Ekonomi Pertanian merupakan sektor utama dalam perekonomian Aceh. Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Aceh pada tahun 2009 tercatat sebesar 20%, sedikit lebih besar dibandingkan dengan tingkat nasional yang terhitung sebesar 15%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian pada saat ini merupakan sektor yang paling penting dalam perekonomian Aceh. Tinggirendahnya kinerja sektor ini akan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi di Aceh. Di tingkat nasional bahkan di banyak negara berkembang dan maju, sektor industri pengolahan yang merupakan sektor andalan dalam perekonomian. Di Aceh, sektor industri hanya berkontribusi sebesar 7,93% terhadap perekonomian, Gambar 1. Terjadi pergeseran terhadap struktur ekonomi Aceh. Sektor pertanian semakin menjadi sektor penting sebagai penopang perekonomian Aceh. Sektor ini semakin memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian searah dengan menurunnya sektor-sektor lain yang terkait dengan ketersediaan cadangan migas di sepanjang pantai timur Aceh. Pada tahun 2004, sektor pertanian tercatat menyumbangkan hanya sekitar 19% dari keseluruhan PDRB Aceh. Untuk
Sektor pertambangan dan industri Jika dibandingkan dengan tahun tahun 2004, kedua sektor ini menyumbangkan sekitar 48% dari perekonomian Aceh, sedangkan pada tahun 2009 sumbangan kedua sektor ini secara total hanya tercatat sebesar 20 persen, Gambar 2. Selain penurunan cadangan migas, proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa dan tsunami serta kondisi keamanan setelah MOU Helsinki telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahna struktur ekonomi Aceh. Dimana sektor seperti, perdagangan dan jasa-jasa memiliki komposisi semakin besar dalam perekonomian. Penetapan fondasi dan arah perekonomian yang kuat dalam masa transisi menjadi semakin penting untuk menjaga momentum tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan Ekonomi Aceh terus menunjukkan tanda-tanda positif, meskipun tercatat lebih rendah pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2006 dan 2007, pertumbuhan ekonomi non migas Aceh tercatat sebesar 7%, meningkat secara signifikan, bahkan lebih tinggi dari tingkat
Gambar 1. Struktur Perekonomian Aceh, 2009 (Persentase) Sumber: BPS, Aceh Dalam Angka, 2009
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
Gambar 2 Pergeseran Struktur Perekonomian Aceh, 2004-‘08 Sumber : BPS, Aceh Dalam Angka, 2009
nasional yang tercatat sebesar 6%. Kenaikan ini diakibatkan dari usaha-usaha rehabilitasi dan rekonstruksi yang terjadi di berbagai daerah di Aceh. Sektor-sektor yang terkait langsung oleh rekonstruksi, seperti sektor bangunan, transportasi serta perdagangan dan jasa mencatat kenaikan yang signifikan. Sektor pertanian juga tercatat tumbuh sebesar 3,6% pada tahun 2007 setelah mengalami konstraksi pada tahun 2005 yang diakibatkan oleh bencana gempa dan tsunami, Tabel 2.
Meskipun terus meningkat, pertumbuhan perekonomian Aceh tercatat melambat pada tahun 2008. Searah dengan melambatnya usaha-usaha rekonstruksi pada tahun 2008, perekonomian Aceh hanya tumbuh sebesar 1.9% pada tahun 2008, meskipun terlihat kembali meningkat pada tahun 2009. Sektor-sektor yang terkait dengan rekonstruksi tercatat melambat. Sektor transportasi pada tahun 2008 hanya mencatat pertumbuhan sekitar 1.4 persen, sedangkan jasa tercatat sebesar 1.2%. Sedangkan sektor
Tabel 2 Pertumbuhan Perekonomian Aceh, 2004 - 2008 PDRB Produksi Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Penggalian dan Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Telekomunikasi Keuangan Jasa PDRB PDRB Non Migas Sumber : BPS, Aceh Dalam Angka, 2009
Pertumbuhan (%) 2004 6.0 -24 -17.8 19.5 0.9 -2.6 3.6 19.4 20.1 -9.6 1.8
2005 -3.9 - 2.6 -22.3 -2.0 -16.1 6.6 14.4 -9.5 9.7 -10.1 1.2
2006 1.5 -2.6 -13.2 12 48.4 7.4 10.9 11.7 4.4 1.6 7.7
2007 3.6 -21.6 -10.1 23.7 13.9 1.7 10.9 6.0 14.3 -2.5 7
2008* 0.8 -44.7 -4.2 12.7 -0.9 4.6 1.4 5.2 1.2 -8.3 1.9
2009** 3,09 -49.24 -6.06 27.07 3.16 3.28 4,86 9,61 4,68 -5.58 3.92
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
pertambangan tercatat terus menurun, hal ini disebabkan turunnya produksi migas di sepanjang pantai timu Aceh secara signifikan. Kinerja sektor pertanian berkaitan erat dengan kinerja perekonomian secara keseluruhan. Terdapat banyak tantangan pada sektor pertanian. Bencana Tsunami yang mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan produktif, pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, ketergantungan terhadap iklim tanpa didukung sarana irigasi yang memadai adalah beberapa tantangan utama yang menyebabkan produktifitas dari sektor pertanian terlihat berfluktuatif. Kondisi keamanan yang semakin kondusif tentunya berpengaruh terhadap pertumbuhan di sektor pertanian. Pada tahun 2009, sektor pertanian meningkat sebesar 3%, akan tetapi tingkat pertumbuhan ini masih lebih rendah dari tahun 2004, yang terhitung sebesar 6%. Gambar 3. Sarana publik pendukung sektor pertanian merupakan salah satu dari banyak tantangan dalam mendorong pertumbuhan sektor pertanian lebih tinggi. Sarana infrastruktur seperti irigasi, akses terhadap pusat-pusat produksi pertanian serta akses terhadap pasar merupakan beberapa hal
utama yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Data–data menunjukkan keterbatasan infrasturktur pertanian berdampak luas terhadap menurunnya produktifitas pertanian. Penyediaan sarana infrastruktur pokok seperti irigasi yang memadai akan dapat mendorong pertumbuhan sektor pertanian lebih tinggi. Perekonomian Aceh perlu tumbuh lebih cepat sehingga dapat setara dengan tingkat nasional. Dibandingkan dengan pendapat perkapita nasional, Aceh masih tertinggal dengan rata-rata provinsi lain. Pada tahun 2008, pendapatan perkapita Aceh tercatat sebesar Rp 7,7 juta sedangkan Aceh RP 6 juta. Meskipun tercatat pertumbuhan ekonomi yang baik pada beberapa tahun belakangan ini, akan tetapi jika dibandingkan dengan tingkat nasional, celah pendapatan per kapita antara Aceh dan Nasional terhitung semakin besar. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan kebijakan-kebijakan dan strategi khusus yang menjadi stimulant pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Dengan tingkat pengangguran sebesar 9 persen pada tahun 2009, penciptaan lapangan kerja masih merupakan tantangan utama. Masalah ini sepertinya akan terus terjadi sebagaimana Aceh masih terus
Gambar 3. Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Pertanian Sumber: BPS, Aceh Dalam Angka, 2009
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
Gambar 4. Pendapatan Perkapita Aceh (Non Migas, konstan, 2000) Sumber : BPS, Diolah
Gambar 5 Tingkat Pengangguran Aceh, 2004-2008 Sumber : BPS, Aceh Dalam Angka, 2009
10
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Gambar 6 Komposisi Tenaga Kerja Aceh, 2004-’08. Sumber : BPS, Aceh Dalam Angka, 2009
berupaya keras untuk menarik investasi demikian juga usaha rekonstruksi yang akan berakhir tentunya akan menambah jumlah angka pengangguran pada tahun mendatang. Meskipun angka pengangguran tidak melonjak tinggi ditengah perlambatan ekonomi Aceh, data ketenaga kerjaan menunjukkan sebanyak 50,000 orang keluar dari angkatan kerja, hal ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Aceh semakin langka. Pada tahun 2009, angka pengangguran pada tingkat nasional tercatat sebesar 8%, jauh lebih rendah dari Aceh, Gambar 5. Pertanian masih merupakan sektor terbesar dalam menyerap tenaga kerja, lebih dari 50 persen dari angkatan kerja. Meskipun jumlah ini terus menurun, komposisi pekerja di sektor ini masih lebih tinggi dibandingkan tingkat nasional yang tercatat sebesar 41 persen. Hal ini juga menunjukkan terbatasnya pilihan lapangan pekerjaan di Aceh. Di sisi lain, terdapat peningkatan yang berarti terhadap jumlah tenaga kerja di sektor jasa dan industri kecil, yang juga disebabkan dari besarnya bantuan terhadap sektor UKM pada massa rekonstruksi, Gambar 6.
Mendorong investasi swasta merupakan salah satu prioritas utama dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Dimana melalui investasi swasta lapangan pekerjaan baru dapat tercipta, demikian juga peningkatan produktivitas serta terjadinya proses transfer of knowledge. Penanganan yang menyeluruh terhadap issue keamanan dan solusi yang kreatif terhadap keterbatasan terhadap pasokan sumber daya listrik di Aceh adalah faktor penting yang dapat mendorong investasi. Perdagangan Ekspor non migas terus meningkat pada tahun 2008. Aceh banyak memiliki potensi ekspor yang berbasis sumber daya alam, meskipun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Ekspor komoditas kopi tercatat meningkat tajam pada tahun 2008, tercatat bernilai sebesar US$20 juta meningkat sebesar 31% dari tahun 2007. Nilai perdagangan perikanan juga tercatat meningkat sebesar 73% dari tahun 2007. Ekspor perikanan Aceh dibandingkan tahun 2000 masih tercatat rendah. Hal ini sebahagian dikarenakan berkurngnya sarana tangkap perikanan laut yang lebih memadai, sedangkan investasi
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
11
Gambar 7 Ekspor Aceh, 2000-2008 Sumber : BPS, Aceh Dalam Angka, 2009
swasta terhadap sarana-sarana baru semakin berkurang. Gambar 7. Ekspor komoditas pertanian semakin meningkat akan tetapi tercatat masih dalam volume yang relatif rendah. Dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki, peningkatan ekspor Aceh yang berkelanjutan seharusnya terfokus pada peningkatan produktivitas pertanian, yang merupakan keunggulan komparatif Aceh. Rantai pemasaran yang panjang dan keterbatasan akses langsung pasar mancanegara merupakan tantangan lain dari dari ekspor komoditas Aceh yang menyebabkan disparitas harga yang besar. Sektor perdagangan domestik semakin memiliki kontribusi yang semakin besar di Aceh, akan tetapi di dominasi oleh barang jadi yang berasal dari luar Aceh. Meskipun tidak terdapat data perdagangan langsung, indikator perdagangan dapat dilihat dari jumlah bobot barang keluar-masuk seperti pada Gambar 8. Perdagangan barang jadi yang memiliki nilai tambah yang lebih besar daripada barang mentah di Aceh di dominasi oleh barang-barang dari luar Aceh. Perdagangan domestik yang berorientasi kedalam seperti terlihat pada cenderung rentan terhadap guncangan ekonomi.
Perbankan Kredit semakin meningkat dan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kredit pada tahun 2009 tercatat lebih dari Rp 12 trilliun, meningkat tajam dari tahun sebelumnya, yang juga mengakibatkan peningkatan LDR yang lebih tinggi. Aktivitas rekonstruksi dan sisa anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten kota juga berkontribusi terhadap tingginya tingkat simpanan pada perbankan di Aceh. Peningkatan jumlah simpanan di Aceh juga di dorong oleh bertambahnya cabang-cabang baru dari bank-bank swasta di Aceh. Meskipun tercatat meningkat, ternyata pertumbuhan kredit di Aceh belum dinikmati oleh UMKM. Peningkatan kredit yang disalurkan oleh perbankan di Aceh yang tercatat sebesar 34 % ternyata tidak di ikuti oleh peningkatan kredit di sektor UMKM. Bahkan jika dibandingkan dengan tahun 2006, pangsa UMKM terhadap kredit semakin mengecil. Pada tahun 2009, pangsa UMKM tercatat sebesar 63%, lebih kecil daripada tahun 2006 sebesar 66%. Hal ini menunjukkan bahwa akses permodalan terhadap masih merupakan tantangan utama
12
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Ribu Ton
200 180 160 140 120
Muat
100
Bongkar
80 60 40 20 2005
2006
2007
2008
Gambar 8. Jumlah Muatan Bongkar Muat Bandara Sultan Iskandar Muda Sumber: PT. Angkasa Pura Tabel 3 Kinerja Perbankan Aceh, 2005-2008 Indikator (Rp. Milyar)
2005
2006
2007
2008
2009
Asset
16,463.2
27,403.9
23,301.5
28,559.9
29,207.6
Dana Pihak Ketiga
13,850.5
21,928.1
18,304.9
20,463.6
19,506.48
3,599.2
4,598.0
6,573.9
9,382.6
12,600
Laba / Rugi
-6.3
371.0
490.8
607.4
685,68
LDR Aceh (%)
26.0
21.0
35.9
45.9
64.59
LDR Nasional (%)
64.7
64.7
69.2
69.8
77
Kredit
Sumber : Bank Indonesia Tabel 4 Pertumbuhan Kredit UMKM Aceh, 2006-‘09 Tahun
Kredit (Juta Rp)
Pertumbuhan Total Kredit (%)
UMKM (Juta Rp)
Pertumbuhan UMKM (%)
Pangsa UMKM
2006
4,598,035
27.75
3,069,812
37.40
66.76
2007
6,573,891
42.97
4,152,379
35.26
63.16
2008
9,382,586
42.73
6,082,328
46.48
64.83
2009
12,600,046
34.29
8,016,820
31.81
63.63
Sumber : Bank Indonesia
bagi UMKM untuk berkembang, Tabel 3. Kredit di sektor Pertanian ( termasuk perkebunan) tercatat sangat rendah demikian juga di sektor produktif lainnya. Meskipun terdapat peningkatan kredit di sektor ini pada tahun 2009, jika dibandingkan pada tahun 2005, kredit di sektor pertanian masih terbilang rendah daripada sektor konstruksi yang meningkat pesat pada tahun 2009. Rendahnya pertumbuhan di sektor ini diakibatkan resiko yang oleh banyak perbankan dianggap relatif tinggi daripada
sektor lainnya. Dibandingkan dengan sektor-sektor lain, seperti konstruksi yang meningkat pesat pada tahun tahun 2009. Kredit produktif seperti di sektor industri juga tercatat menurun pada tahun 2009, tercatat sebesar 4,71% pada tahun 2009, yang pada tahun 2005 terhitung sebesar 12,83%, Tabel 4. Diperlukan terobosan-terobosan baru dalam skema kredit pada sisi supply juga peningkatan kapasitas manajemen usaha pada sisi demand. Dari paparan
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
diatas, terdapat berbagai tantangan dalam meningkatkan kredit UMKM, seperti diperlukannya skema-skema baru dalam kredit UMKM yang dapat menstimulasi pertumbuhan UMKM. Pada sisi demand, pengelolaan unit usaha UMKM yang lebih profesional yang dapat meminimkan resikoresiko usaha juga sangat diperlukan dalam mendapatkan akses pendanaan yang lebih mudah dan murah. Gambaran Umum Sebaran Ekonomi Banyak daerah di Aceh mencatat tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara rata-rata tingkat pertumbuhan Aceh dari tahun 2003 hingga 2008 tercatat sebesar 3,9%, masih jauh lebih rendah dari tingkat nasional yang tercatat sebesar 5,6%. Meskipun demikian beberapa daerah di Aceh mencatat tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Aceh Tenggara, secara rata-rata mencatat pertumbuhan sebesar 13,78%, sedangkan Aceh Timur yang relatif dekat dengan provinsi tetangga mencatat pertumbuhan yang masih dibawah rata-rata daerah lain di Aceh, Gambar 9. Meski pertumbuhan ekonomi tercatat tinggi, sebagian besar daerah di Aceh memiliki pertumbuhan pendapatan perkapita yang relatif lambat. Daerah-
13
daerah yang termasuk tumbuh relative lambat (pendapatn per kapita) adalah daerah-daerah yang memiliki pendapatan perkapita lebih rendah daripada rata-rata Aceh. Pendapatan perkapita rata-rata dari tahun 2003 hingga 2008 di Aceh tercatat sebesar Rp5,2 juta. Hanya terdapat lima kabupaten di Aceh yang dapat dikategorikan tumbuh dengan cepat. Kota Lhokseumawe merupakan daerah yang tumbuh paling cepat sejak tahun 2003 hingga tahun 2008, dengan pendapatan perkapita tercatat sebesar Rp9,86 juta. Sedangkan Simeulu tercatat sebagai daerah yang memiliki PDRB perkapita yang terendah, Gambar 10. Sumbangan perekonomian Aceh sebahagian besar dari pesisir timur Aceh dan Banda Aceh. Sumbangan terbesar perekonomian Aceh disumbangkan dari Aceh Utara sebesar 11% (tanpa migas) yang didominasi oleh sektor industri nonmigas. industri pupuk dan beberapa bahan kimia tercatat mendominasi sektor industri. Kedua industri ini sangat tergantung dengan pasokan gas sebagai salah satu bahan dasarnya. Pada masa mendatang, kontribusi Aceh Utara terhadap perekonomian Aceh akan terus mengecil, searah dengan berkurangnya pasokan gas terhadap kedua industri ini, Gambar 11.
Pantai Timur Aceh merupakan daerah
Gambar 9 Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata, 2003-2008 (konstan,2000) Sumber : BPS, Diolah
14
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Gambar 11 Sumbangan Perekonomian Aceh 2003-’08 tanpa migas (konstan, 2000) Sumber : BPS, Diolah Tabel 6 Perubahan Kontribusi Ekonomi, 2003-’08 ( Beberapa Kabupaten, konstan, 2000) Kabupaten
Share 2003
Share 2008
Perubahan
Aceh Barat
5%
5%
Aceh Barat Daya
3%
2%
0% 0%
Aceh Besar
9%
8%
-1%
Aceh Jaya
2%
1%
-1%
Kab. Aceh Pidie
6%
6%
1%
Kab. Aceh Selatan
5%
5%
0%
Kab. Aceh Singkil
2%
2%
0%
Kab. Aceh Tamiang
5%
4%
-1%
Kab. Aceh Tengah
4%
4%
0%
Kab. Aceh Tenggara
2%
3%
1%
Kab. Aceh Timur
7%
6%
0%
Kab. Aceh Utara
12%
11%
-1%
Kab. Bener Meriah
3%
3%
0%
Kab. Bireuen
9%
9%
0%
Kab. Simeulue
1%
1%
0%
Kota Banda Aceh
7%
10%
3%
Kota Langsa
4%
3%
0%
Kota Lhokseumawe
7%
7%
0%
Kota Sabang
1%
1%
0%
Kota Subulussalam
2%
1%
-1%
Sumber : BPS, Diolah
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
penyumbang perekonomian terbesar terhadap perekonomian Aceh, tercatat sebesar 68%. Sedangkan daerah pantai Barat menyumbangkan sebesar 20%, sedangkan daerah tengah (hinterland) Aceh tercatat sebesar 12%. Meskipun secara umum, sektor pertanian masih mendominasi struktur ekonomi,hal ini juga diakibatkan terdapat beberapa industry besar di sepanjang pantai timur Aceh. Sarana infrastruktur yang lebih baik serta populasi yang lebih banyak juga faktor lain dari besarnya kontribusi daerah pantai timur terhadap perekonomian Aceh secara keseluruhan Terjadi sedikit pergeseran terhadap sumbangan perekonomian Aceh dari sisi kewilayahan. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2008, sumbangan perekonomian dari berbagai daerah di Aceh tidak banyak berubah, kecuali Kota Banda Aceh dan Kabupaten Pidie. Kontribusi kedua daerah ini terhadap keseluruhan perekonomian Aceh meningkat sebesar 3% dan 1%. Sedangkan sumbangan Aceh Utara tercatat menurun sebesar 1%. Daerah pantai barat dan tengah dari Aceh meski tercatat lebih rendah, pada masa jangka panjang akan menjadi penyumbang ekonomi yang besar searah dengan pergeseran sumbangan ekonomi. Kontribusi Kota Banda Aceh tercatat semakin besar terhadap perekonomian Aceh keseluruhan. Meskipun masih jauh lebih rendah daripada Kabupaten Aceh Utara (11%), dari tahun 2003 hingga tahun 2008, sumbangan Kota Banda Aceh terhadap perekonomian tercatat meningkat sebesar 3%. Usaha-usaha rekonstruksi serta skala perdagangan yang lebih besar di ibukota provinsi Aceh merupakan salah satu penyebab meningkatnya sumbangan kota Banda Aceh terhadap ekonomi Aceh. Sedangkan sumbangan kota Lhokseumawe sebagai kota industri, tercatat tetap sebesar 7%. Tingkat pertumbuhan ekonomi
15
wilayah tidak merata. Meskipun usahausaha rehabilitasi-rekonstruksi di Aceh terkonsentrasi di hanya beberapa daerah di Pantai Barat dan Timur Aceh, beberapa daerah diluar wilayah rekonstruksi mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Aceh Tenggara dari tahun 2003 hingga 2008 mencatat pertumbuhan tertinggi, secara rata-rata tercatat sebesar 13,78%, diikuti oleh Kota Sabang dan Kota Banda Aceh sebesar 13,71% dan 11,97%. Sedangkan Aceh Jaya dan Aceh Barat mencatat pertumbuhan yang lebih rendah, Gambar 12. Pertumbuhan ekonomi lebih tinggi tercatat di daerah tengah dari provinsi Aceh. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2008, secara rata-rata daerah tengah Aceh khususnya Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara mencatat pertumbuhan lebih dari 10%, meskipun tidak terjadi banyak usaha-usaha rehabilitasi dan rekonstruksi. Perekonomian kedua daerah ini ditopang oleh sektor pertanian (sub-sektor perkebunan). Beberapa komoditas unggulan yang berasal dari daerah ini yaitu kopi, kakao dan karet menjadi komoditas utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kota Sabang juga mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi,tercatat hampir sebesar 14%. Meskipun daerah tengah dari provinsi Aceh mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada daerah lain, pendapatan perkapita daerah ini masih lebih rendah. Aceh tenggara yang mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi memiliki pendapatan perkapita yang paling rendah dari kabupaten lain di Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak sertamerta harus searah dengan tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita, karena tergantung dari jumlah penduduk di suatu daerah. Didalam jangka panjang dan di beberapa daerah;
16
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Gambar 12 Rata-rata Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Aceh, 2003-’08 ( Konstan, 2000) Sumber : BPS- Diolah
Gambar 13 Pendapatan Perkapita Aceh ( 2003-’08, konstan 2000) Sumber : BPS- Diolah
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
pertumbuhan pendapatan perkapita melebihi dari pertumbuhan ekonomi. Pendapatan perkapita di Aceh Tenggara tercatat tumbuh hanya sebesar 2,68% dari tahun 2003 hingga tahun 2008. Sedangkan Nagan Raya mencatat pertumbuhan pendapatan perkapita yang termasuk tinggi, hampir sebesar 7%. Kota Lhokseumawe tercatat sebagai daerah yang mengalami pertumbuhan pendapatan perkapita tertinggi, hampir sebesar 10%, Gambar 13. Pendapatan Perkapita tumbuh sebesar 18% dari tahun 2003 hingga tahun 2008. Secara rata-rata laju pertumbuhan perkapita Aceh selama lima tahun (2003-2008) tercatat sebesar 3%. Beberapa daerah kabupaten mencatat tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita rata-rata tinggi secara berarti. Kabupaten Aceh Tengah mencatat laju pertumbuhan perkapita tertinggi (20032008) sebesar 21%, sedangkan Banda Aceh tercatat sebesar 15%. Kedua daerah ini mengalami lonjakan pendapatan perkapita tertinggi pada tahun 2005. Menentukan kategori wilayah dalam strategi pembangunan ekonomi Aceh menjadi semakin penting. Kebijakan pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari konsep
17
kewilayahan. Berdasarkan berbagai analisis diatas, strategi pembangunan ekonomi hendaknya berdasarkan beberapa prisnip dasar; yaitu meningkatkan atau menjaga tingkat pertumbuhan , serta pertumbuhan yang bertujuan memperkecil ketinggalan melalui strategi serta kebijakan-kebijakan khusus. Pusat Pertumbuhan Ekonomi dan Klassen Sebahagian dari Aceh merupakan daerah yang berkembang dengan cepat. Terhitung sebanyak 14 kabupaten yang memiliki karakteristrik yang termasuk ke kuadran III yaitu; daerah yang memiliki pertumbuhan yang relatif lebih tinggi dari rata-rata Aceh, namun memiliki pendapatan perkapita yang lebih rendah. Sedangkan terhitung hanya empat kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Aceh juga tidak memiliki daerah yang cepat maju tapi tertekan; yaitu daerah yang memiliki pertumbuhan yang lebih rendah namun memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi, Gambar 14. Banda Aceh yang merupakan ibu kota provinsi termasuk daerah yang termasuk dalam kuadran I. Beberapa daerah lainnya seperti Aceh Besar, Lhokseumawe, Nagan Raya dan Aceh Barat juga daerah yang
Gambar 14 Aceh - Tipology Klasen Sumber : BPS- Diolah
18
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Gambar 15 Tipologi Klassen Aceh, 2003-’08 ( Konstan 2000) Sumber : BPS- Diolah
Gambar 16 Indeks Williamson Aceh, 2003-2008 Sumber : BPS- Diolah
Gambar 17 Komposisi Jalan Aceh, 2008 Sumber : Dinas Cipta Marga, 2008
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
masuk kuadran I. Sedangkan Aceh selatan, Subulussalam, Aceh Timur dan Aceh Jaya termasuk daerah yang dianggap tertinggal atau kuadran IV. Karakter ekonomi Aceh berdasarkan Klassen secara kewilayahan tersebar. Beberapa daerah di Pantai Barat Aceh termasuk daerah yang dikategorikan cepat maju dan cepat tumbuh, meskipun mencatat pertumbuhan yang relatif rendah daripada daerah-daerah lain, seperti Nagan Raya dan Aceh Barat. Daerah-daerah yang termasuk kuadran I lainnya adalah; Banda Aceh, Lhokseumawe dan Aceh Besar. Sedangkan Aceh tenggara yang mencatat laju pertumbuhan tertinggi termasuk kuadran ke III, dimana tingkat pertumbuhan nya meskipun tinggi tapi memiliki pendapatan perkapita yang masih rendah dari rata-rata Aceh. Indeks Williamson Pendekatan selanjutnya dalam melihat ketimpangan kemajuan daerah dengan menggunakan indeks Williamson. Indeks ini mengukur ketimpangan melalui perhitungan PDRB perkapita dengan kaitannya dengan jumlah penduduk. Indeks Williamson juga merupakan ukuran dalam menghitung koefisien persebaran (coffeciient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari wilayah yang dikaji. Ketimpangan kemajuan daerah Aceh pada tahun 2008 sedikit meningkat. Pada tahun 2008, indeks Williamson tercatat pada 0,013, sedikit meningkat dari tahun 2005 yang tercatat sebesar 0.0124. Terjadi peningkatan indeks yang berarti pada tahun 2006, yang diakibatkan oleh tingginya aktifitas rekonstruksi di beberapa daerah yang terkena bencana tsunami. Pada tahun 2008, indeks Williamson tercatat sedikit meningkat diakibatkan banyak dari daerah pesisir timur tumbuh cepat yang didorong oleh sektor perdagangan dan jasa.
19
Analisis Infrastruktur Infrastruktur merupakan tantangan utama dari pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat nasional maupun daerah. Meskipun beberapa jenis infrastruktur penting seperti jalan nasional dan provinsi di Aceh sedikit lebih baik dari tingkat nasional akan tetapi jalan kabupaten yang seringkali merupakan sarana penting dalam menjangkau pusatpusat sumber daya ekonomi masih merupakan tantangan utama. Jalan kabupaten merupakan sarana infrastruktur utama untuk penunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Banyak studi yang menekankan tentang pentingnya sarana jalan yang merupakan akses terhadap pusat pusat kegiatan ekonomi lokal. Komposisi jalan kabupaten terhadap keseluruhan sarana jalan di Aceh tercatat sebesar 80%, sedangkan jalan nasional dan provinsi hanya sebesar 10%. Hal ini menekankan bahwa kondisi jalan kabupaten merupakan salah satu faktor utama dalam perekonomian Aceh, Gambar 17. Hanya 17% dari jalan kabupaten dalam kondisi baik. Kondisi jalan nasional yang merupakan jalan strategis yang menghubungkan antar ibukota provinsi sebahagian besar tercatat dalam kondisi baik, sedangkan jalan provinsi dan jalan kabupaten yang menghubungkan antar kabupaten dalam kondisi rusak tercatat sebesar 38% dan 32%. Kedua jalan ini merupakan sarana infrastruktur yang penting dalam perekonomian karena merupakan akses terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi wilayah, antar kecamatan dan antar pusat kegiatan lokal, Tabel 8. Daerah di sepanjang pantai timur memiliki cakupan jalan kabupaten yang relatife luas dibandingkan daerah di wilayah barat dan tengah. Secara rata-rata Aceh memiliki 0.23 Km jalan kabupaten untuk setiap Km persegi wilayah. Cakupan jalan kabupaten tertinggi tercatat untuk kota
20
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Tabel 8 Kondisi Jalan Aceh, 2008. Kondisi
Jenis Jalan
Baik
Sedang
Rusak
Nasional
65%
17%
18%
Provinsi
26%
36%
38%
Kabupaten
17%
51%
32%
Rata-Rata
35%
35%
30%
Sumber : Dinas Cipta Marga, 2008
Gambar 18 Cakupan Jalan Kabupaten (Km /Km2), 2008. Sumber : Dinas Bina Marga, 2008 Tabel 9 Konsumsi Tenaga Listrik Aceh (KwH), 2003 – 2008 Tahun
Rumah Tangga
Bisnis
Industry
Umum
Jumlah
2003
342,022,912
60,359,439
54,755,503
54,750,212
511,888,066
2004
468,074,699
81,723,803
47,728,290
103,957,975
701,484,767
2005
466,927,660
84,760,046
35,387,874
111,856,460
698,932,040
2006
556,573,698
123,859,946
34,996,169
123,802,759
839,232,572
2007
653,588,117
188,789,919
41,778,331
138,654,090
1,022,810,457
2008
730,554,372
203,632,565
43,223,454
141,653,482
1,119,063,873
Sumber : PLN Aceh
21
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
banda Aceh sebesar 5,4Km untuk setiap Km persegi, sedangkan cakupan terendah ditempati oleh Aceh Jaya dan Gayo Lues. Ketenagalistrikan Infrastruktur penting lainnya adalah ketersediaan tenaga listrik yang mencukupi khususnya dalam memacu investasi di bidang industri. Pertumbuhan konsumsi tenaga listrik meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di Aceh. Konsumsi tenaga listrik Aceh meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2008 jika dibandingkan dengan tahun 2003. Komposisi konsumsi tenaga listrik didominasi oleh konsumen rumah tangga, secara rata-rata terhitung sebesar 67%. Konsumsi listrik untuk industri tercatat menurun, sedangkan untuk kalangan bisnis tercatat semakin meningkat sejak tahun 2006. Ketenagalistrikan secara nasional merupakan tantangan utama dalam pertumbuhan ekonomi termasuk di Aceh. Meskipun secara rata-rata cakupan pelayanan listrik rumah tangga di Aceh telah
mencapai 89% namun keberlangsungan pasokan listrik di Aceh masih menjadi masalah. Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah menyatakan bahwa frekuensi pemadaman listrik di Aceh memburuk signifikan dalam dua tahun terakhir. Secara rata-rata, responden menyatakan bahwa pemadaman listrik terjadi enam kali dalam seminggu. Hal ini menunujukkan kondisi yang lebih buruk daripada hasil TKED Aceh 2008 di mana listrik hanya padam rata-rata empat kali dalam seminggu. Sarana Irigasi Cakupan layanan irigasi terlihat sedikit lebih rendah, secara rata-rata sebesar 61%, dibandingkan dengan tingkat nasional sebesar 68%. Beberapa daerah masih tercatat jauh lebih rendah daripada daerah lain. Struktur perekonomian yang didominasi oleh pertanian, mestinya memiliki sarana irigasi yang memadai untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kabupaten Aceh Jaya tercatat memiliki sarana irigasi yang mencukupi dibandingkan daerah lain.
Tabel 10 Sarana Irigasi Aceh, 2008 Daerah
Luas Potensial Areal Pertanian (Ha)
Kab. Simeulue Kab. Aceh Singkil Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Tenggara Kab. Aceh Timur Kab. Aceh Tengah Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Besar Kab. Pidie Kab. Bireun Kab. Aceh Utara Kab. Aceh Barat Daya Kab. Gayo Lues Kab. Aceh Tamiang Kab. Nagan Raya Kab. Aceh Jaya Kab. Bener Meriah Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Jumlah Sumber : Dinas Pertanian Aceh, 2008
27403 18093 25833 17621 42677 9438 26908 31370 39466 25190 41738 17142 8451 27741 18133 5348 10187 223 10 2223 2196 351895
Luas Areal Irigasi (Ha) 4700 1000 11329 10813 14222 3430 7437 17076 40931 15377 33127 12418 6147 2422 14218 15643 4650 0 (na) (na) 0 214940
Cakupan Pelayanan Irigasi (%) 17% 6% 44% 61% 33% 36% 28% 54% 104% 61% 79% 72% 73% 9% 78% 293% 46% 0% 0% 0% 0% 61%
22
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Karakteristik Pertumbuhan Karakteristik pertumbuhan ekonomi tentunya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sesuai dengan tipologi Klassen yang juga bertujuan untuk menjaga pertumbuhan dan mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi diperlukan kebijakan-kebijakan yang bersifat sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Bagian ini akan menelaah karakteristik pertumbuhan ekonomi tiap-tiap daerah sesuai kuadran Klassen. Kuadran I Lhokseumawe merupakan daerah yang menempati urutan teratas dalam kuadran I. Daerah-daerah pada Tabel 10 adalah daerahdaerah yang memiliki pendapatan perkapita rata-rata lebih tinggi dari Aceh serta tingkat pertumbuhan diatas rata-rata Aceh dari tahun 2003 hingga tahun 2008. Daerahdaerah ini dikategorikan sebagai daerah yang cepat tumbuh dan cepat maju. Nagan Raya yang termasuk daerah baru pemekaran juga termasuk dari daerah dalam kuadran I.
Struktur serta pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah kuadran I lebih berbasiskan kepada sektor perdagangan dan jasa. Secara rata-rata pada tahun 2003 hingga tahun 2008 sumbangan sektor pertanian dibeberapa daerah yang masih berbasiskan pertanian seperti Aceh Barat dan Aceh Besar mencatat pertumbuhan yang sangat kecil di sektor ini. Namun memiliki pertumbuhan yang tinggi secara signifikan pada sektor perdagangan dan jasa. Usaha rekonstruksi serta kondisi keamanan yang lebih kondusif merupakan salah satu penyebab tingginya pertumbuhan di sektor-sektor ini. Kota Banda Aceh bahkan mencatat pertumbuhan yang signifikan pada sektor perdagangan, secara rata-rata dari tahun 2003 hingga tahun 2008 sektor ini tercatat meningkat sebesar 63%. Nagan Raya mencatat pertumbuhan di sektor pertanian yang cukup signifikan. Sedikit berbeda dengan karakteristik struktur ekonomi di daerah pada kuadran I, pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian sedikit lebih tinggi dari sektor
Tabel 11 Kuadran I,Klassen (Rata-rata 2003-2008, Konstant 2000=100) Kabupaten
Pendapatan Percapita (Rp Juta)
Pertumbuhan Ekonomi ( %)
Lhokseumawe
9.86
4.66
Banda Aceh
7.94
11.97
Nagan Raya
6.78
6.55
Aceh Besar
5.94
5.40
Aceh Barat
5.90
4.19
Aceh
5.72
3.92
Sumber : BPS, Diolah Tabel 11 Karakteristik Ekonomi Kuadran I (2003-2008, Konstant 2000=100) Pertumbuhan Ekonomi (%)
Komposisi Pertanian (%)
Pertumbuhan
4.66
17
Banda Aceh
Komposisi Perdagangan & Jasa (%)
Pertumbuhan Perdagangan & Jasa (%)
2
57
7 / 57
11.97
7
-4
52
63 / 3
Nagan Raya
6.55
50
6
36
5/5
Aceh Besar
5.40
34
1
36
17 / 13
Aceh Barat
4.19
29
-1
48
8/9
3.92
24
2
22
3/9
Kabupaten Lhokseumawe
Aceh Sumber : BPS, Diolah
Pertanian (%)
23
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
perdagangan dan jasa. Pertumbuhan yang signifikan didapat dari sub-sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Sub sektor perkebunan pada tahun 2008 tercatat tumbuh sebesar 20% dibandingkan pada tahun 2006. Di Kabupaten Nagan Raya juga terdapat dua buah pabrik pengolahan CPO. Sektor industry ini tercatat tumbuh sebesar 10% pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2006. Daerah pada kuadran I, cenderung memiliki sarana infrastruktur yang lebih baik dari rata-rata di Aceh. Dilihat dari kondisi jalan kabupaten dalam kondisi baik dan sedang, kota Lhokseumawe menduduki tempat tertinggi dengan memiliki jalan kabupaten dalam kondisi baik dan sedang sebesar 98%, sedangkan Aceh Barat, memiliki persentase yang paling rendah, bahkan dibawah rata-rata Aceh, yang tercatat sebesar 70%, Tabel 12. Pertumbuhan pengalokasian kredit tumbuh relatif rendah, namun demikian komposisi yang besar diberikan pada jenis kredit investasi dan modal kerja. Dibandingkan rata-rata Aceh, pertumbuhan ekonomi di Kuadran I, masih sedikit
lebih rendah. Pertumbuhan kredit di Lhokseumawe tercatat sebesar 25%, lebih kecil dari rata-rata Aceh, akan tetapi alokasi terhadap kredit produktif jauh lebih tinggi, sebesar 55%. Secara keseluruhan pertumbuhan kredit rata-rata di daerahdaerah Kuadran I tercatat sebesar 30%, akan tetapi memiliki komposisi yang besar pada kredit investasi dan modal kerja sebesar 45%. Tabel 13. Kuadran III Langsa tercatat sebagai daerah yang memiliki pendapatan perkapita tertinggi dibandingkan dengan daerah lain pada kuadran III. Daerah yang termasuk pada kuadran ini adalah daerah yang memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada rata-rata Aceh, tetapi memiliki pendapatan perkapita rata-rata dibawah Aceh. Daerah pada kuadran III ini dapat juga disebut sebagai daerah yang berkembang cepat. Meskipun Langsa memiliki pendapatan perkapita tertinggi, akan tetapi mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil dibandingkan Aceh Tenggara, Tabel 14. Pertanian merupakan sektor utama
Tabel 12 Pertumbuhan Ekonomi dan Infrastruktur Jalan – Kuadran I Rata-rata Pertumbuhan (%) Ekonomi 2003-’08.
Jalan Kabupaten (Baik / Sedang) - (%)
Lhokseumawe
4.66
98
Banda Aceh
11.97
83
Nagan Raya
6.55
73
Aceh Besar
5.40
89
Aceh Barat
4.19
44
Aceh
3.92
70
Kabupaten
Sumber: Dinas Bina Marga 2008, Diolah Tabel 13 Alokasi Kredit, Kuadran I Pertumbuhan Ekonomi (%)
Pertumbuhan kredit Rata-rata 2005-2008 (%)
Lhokseumawe
4.66
25
Komposisi (%) KMK/ Investasi Rata-rata 2005- 2008 55
Banda Aceh
11.97
33
49
Nagan Raya
6.55
n/a
n/a
Aceh Besar
5.40
26
34
Aceh Barat
4.19
35
42
3.92
39
41
Kabupaten
Aceh
24
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Tabel 14 Kuadran III,Klassen (Rata-rata 2003-2008, Konstant 2000=100) Pendapatan Perkapita ( Rp Juta)
Kabupaten Langsa
5.39
Bireuen
5.38
6.05
Sabang
5.21
13.71
Bener Meriah
4.85
6.67
Aceh Barat Daya
4.69
4.81
Aceh Tengah
4.68
7.67
Aceh Tamiang
4.55
4.70
Aceh Utara
4.53
4.64
Gayo Lues
4.37
8.45
4.66
Pidie Jaya
3.85
6.42
Aceh Singkil
3.16
7.35
Aceh Pidie
2.89
8.12
Aceh Tenggara
2.68
13.78
Simeulue
2.34
Aceh
Pertumbuhan Ekonomi (%)
5.58
5.72
3.92
Sumber : BPS, Diolah Tabel 15 Karakteristik Ekonomi Kuadran II (2003-2008, Konstant 2000=100) Pertumbuhan Ekonomi (%)
Komposisi Pertanian (%)
Pertumbuhan Pertanian (%)
Komposisi Perdagangan & Jasa (%)
Pertumbuhan Perdagangan/ Jasa (%)
Langsa
4.66
14
2
44
6/5
Bireuen
6.05
43
2
37
5 / 39
Sabang
13.71
19
2
44
7 / 57
Bener Meriah
6.67
63
2
18
7 / 38
Aceh Barat Daya
4.81
44
2
35
4 /24
Aceh Tengah
7.67
51
6
26
6 / 18
Aceh Tamiang
4.70
44
2
27
5 / 59
Aceh Utara
4.64
48
4
22
5 / 40
Gayo Lues
8.45
59
4
24
6 / 80
Pidie Jaya
6.42
71
3
14
3/3
Aceh Singkil
7.35
52
2
24
32 / 17
Aceh Pidie
8.12
62
3
17
4 / 76
Aceh Tenggara
13.78
60
5
23
12 / 3
Simeulue
5.58
52
0
30
5 / 54
Aceh
3.92
24
2
22
3/9
Kabupaten
Sumber : BPS, Diolah
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
dalam perekonomian pada daerah Kuadran III. Sub tanamana pangan masih merupakan komoditas utama pada daerah kuadran II ini, searah dengan struktur perekonomian Aceh secara keseluruhan, kecuali pada beberapa daerah seperti Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Daerah ini memiliki komposisi tanaman perkebunan seperti kopi dan kakao sebagai komoditas utama dan penyumbang utama dalam perekonomian, Tabel 15. Daerah-daerah di kuadran II memiliki karakteristik pertumbuhan pada sektor sekunder yang cukup tinggi. Sektor perdagangan dan jasa secara rata-rata pada daerah ini memiliki komposisi sepertiga dari perekonomian dan mencatat pertumbuhan yang sangat signifikan khususnya sektor jasa. Tingginya pertumbuhan di sektor jasa juga menyiratkan tingginya permintaan terhadap barang dan jasa di masyarakat. Tingginya pertumbuhan di sektor ini biasanya diikuti dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor lain (biasanya dari sektor pertanian). Meskipun tercatat tinggi, sektor sekunder ini tidak begitu memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pada tahun 2003 hingga tahun 2008. Pertumbuhan sektor masih pertanian berperan penting terhadap pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan,Gambar 19. Meskipun sektor ini memiliki pertumbuhan yang relative rendah dibandingkan dengan sektor perdagangan dan jasa, akan tetapi dikarenakan komposisinya yang besar terhadap struktur perekonomian, sedikit pertumbuhan di sektor ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dibandingkan sektor-sektor tertier, seperti perdagangan dan jasa, Gambar 20. Banyak daerah di kuadran II memiliki sarana jalan kabupaten yang jauh dari rata-rata tingkat Aceh, namun tetap mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Aceh Tamiang memiliki 98% jalan kabupaten dalam keadaan baik, namun pertumbuhan ekonomi masih tercatat relatif
25
rendah, sedangkan kota Sabang, mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi dengan kondisi jalan yang juga cukup baik. Pertumbuhan kredit di daerah kuadran II secara keseluruhan tercatat sebesar 38%, sedikit lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan kredit di Aceh. Kota Langsa bahkan mencatat pertumbuhan kredit yang cukup tinggi, sebesar 60%, namun memiliki pertumbuhan yang hanya sedikit lebih tinggi dari keseluruhan Aceh. Karakteristik kredit yang dikucurkan pada kuadran ini berbeda dengan kuadran I, dimana alokasi kredit investasi dan modal kerja hanya tercatat sebesar 37%, lebih rendah daripada rata-rata di Aceh, Tabel 17. Kuadran IV Aceh Jaya merupakan daerah yang paling tertinggal di Aceh. Dibandingkan dengan daerah lain di Aceh, Aceh Jaya memiliki pertumbuhan ekonomi yang negative secara rata-rata dari tahun 2003-2008, serta pendapatan perkapita yang sangat rendah dari tahun 2003 hingga tahun 2008. Daerah yang dikategorikan tertinggal adalah daerah-daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita dibawah rata-rata Aceh. Sektor primer (pertanian) mengalami pertumbuhan yang sangat rendah. Karakteristik utama dari daerah pada kuadran ini adalah bertumpunya ekonomi (hampir separuh bahkan lebih dari separuh) terhadap sektor pertanian yang juga tumbuh relative rendah. Komposisi perdagangan dan jasa meskipun tidak begitu rendah, tetapi memiliki pertumbuhan yang cukup rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Aceh. Karakteristik infrastruktur jalan kabupaten pada daerah kuadran IV tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Ratarata kondisi jalan kabupaten pada daerah ini terhitung lebih baik dari pada ratarata Aceh pada keseluruhan. Akan tetapi cakupan irigasi pada daerah ini tercatat jauh lebih rendah. Beberapa daerah di
26
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Gambar 19 Sektor Pertanian dan Pertumbuhan Ekonomi Sumber : BPS, Diolah (2003-2008, Angka constant 2000)
Gambar 20 Sektor Sekunder dan Pertumbuhan Ekonomi Sumber : BPS, Diolah (2003-2008, Angka constant 2000)
27
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
Tabel 16 Pertumbuhan Ekonomi dan Infrastruktur Jalan kabupaten – Kuadran III Rata-rata Pertumbuhan (%) Ekonomi 2003-’08.
Jalan Kabupaten (Baik / Sedang) (%)
Langsa
4.66
67
Cakupan Irigasi ( %) 0
Bireuen
6.05
70
61
Sabang
13.71
93
0
Kabupaten
Bener Meriah
6.67
66
46
Aceh Barat Daya
4.81
56
72
Aceh Tengah
7.67
50
36
Aceh Tamiang
4.70
98
9
Aceh Utara
4.64
78
79
Gayo Lues
8.45
49
73
Pidie Jaya
6.42
n/a
n/a
Aceh Singkil
7.35
45
6
Aceh Pidie
8.12
66
104
Aceh Tenggara
13.78
69
61
Simeulue
5.58
40
17
Aceh
3.92
70
61
Sumber: Dinas Bina Marga 2008, Diolah Tabel 17 Alokasi Kredit Kuadran II, Aceh Kabupaten
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Komposisi (%) KMK/ Investasi Rata-rata 2005- 2008
4.66
60
50
Bireuen
6.05
38
36
Sabang
13.71
25
19
Bener Meriah
6.67
n/a
n/a
Aceh Barat Daya
4.81
n/a
n/a
Aceh Tengah
7.67
39
31
Aceh Tamiang
4.70
n/a
n/a
Aceh Utara
4.64
15
87
Gayo Lues
8.45
n/a
n/a
Pidie Jaya
6.42
n/a
n/a
Aceh Singkil
7.35
44
28
Aceh Pidie
8.12
33
33
13.78
40
22
Simeulue
5.58
47
34
Aceh
3.92
39
41
Langsa
Aceh Tenggara
Pertumbuhan kredit Rata-rata 2005-2008 (%)
Sumber : Bank Indonesia, diolah
28
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
Tabel 18 Kuadran IV, Karakteristik Ekonomi Kuadran I (2003-2008, Konstant 2000=100) Pertumbuhan Ekonomi (%)
Pendapatan Perkapita ( Rp Juta)
Subulussalam
3.90%
4.90
Aceh Selatan
3.85%
5.50
Aceh Timur
3.82%
4.43
Aceh Jaya
-0.01%
3.42
5.72
3.92
Kabupaten
Aceh
Sumber : BPS, Diolah Tabel 19 Kuadran IV, (Rata-rata 2003-2008, Klassen, Konstan 2000) Pertumbuhan Ekonomi (%)
Komposisi Pertanian (%)
Pertumbuhan Pertanian (%)
Komposisi Perdagangan & Jasa (%)
Pertumbuhan Perdagangan/ Jasa (%)
Subulussalam
3.50%
63
1
20
6/6
Aceh Selatan
3.85%
40
1
35
4/9
Aceh Timur
3.82%
62
1
14
14 / 2
Aceh Jaya
-0.01%
51
-6
24
-2 / 13
5.72
24
2
22
3/9
Kabupaten
Aceh Sumber : BPS, Diolah
Tabel 20 Pertumbuhan Ekonomi dan Infrastruktur Jalan kabupaten – Kuadran IV Pertumbuhan Ekonomi (%)
Jalan Kabupaten (Baik / Sedang) - %
Cakupan Irigasi ( %)
Subulussalam
3.50%
n/a
n/a
Aceh Selatan
3.85%
76
44
Aceh Timur
3.82%
88
33
Aceh Jaya
-0.01%
74
n/a
5.72
70
61
Kabupaten
Aceh
Sumber : Dinas Bina Marga, Diolah Tabel 21 Alokasi Kredit Kuadran IV (2005-2008) Pertumbuhan Ekonomi (%)
Pertumbuhan kredit Rata-rata 2005-2008 (%)
Komposisi (%) KMK/ Investasi Rata-rata 2005- 2008
Subulussalam
3.50%
n/a
n/a
Aceh Selatan
3.85%
33
34
Aceh Timur
3.82%
31
43
Aceh Jaya
-0.01%
n/a
n/a
5.72
39
41
Kabupaten
Aceh Sumber : Bank Indonesia, diolah
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Mei 2012
kuadran IV sekarang sedang mengadakan transformasi daerahnya dari tanaman pangan ke perkebunan. Hal ini diakibatkan return yang dianggap lebih menarik di sub sector perkebunan daripada tanaman pangan. Pertumbuhan alokasi kredit di daerah kuadran ini lebih rendah dari daerah lain. Pertumbuhan rata-rata alokasi kredit di Aceh tercatat sebesar 39%, sedangkan didaerah kuadran IV ini terhitung sebesar 30-31%. Komposisi kredit produktif juga terhitung lebih rendah dari rata-rata Aceh. Kurangnya alokasi terhadap kredit produktif dapat juga merupakan salah satu penghambat pertumbuhan perekonomian pada daerah ini. Kesimpulan Perekonomian Aceh perlu tumbuh lebih cepat sehingga dapat setara dengan tingkat nasional. Dibandingkan dengan pendapat perkapita nasional, Aceh masih tertinggal dengan rata-rata provinsi lain. Pada tahun 2008, pendapatan perkapita Aceh tercatat sebesar Rp 7,7 juta sedangkan Aceh RP 6 juta. Meskipun tercatat pertumbuhan ekonomi yang baik pada beberapa tahun belakangan ini, akan tetapi jika dibandingkan dengan tingkat nasional, celah pendapatan per kapita antara Aceh dan Nasional terhitung semakin besar. Didalam konsep pembangunan ekonomi kewilayahan, menjaga tingkat pertumbuhan, memperkecil disparitas antar daerah serta mengeliminasi dampak bias dari pusat pertumbuhan adalah suatu hal yang penting. Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara lain, penerapan konsep growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari, seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan pedesaan. Didalam konteks Aceh, terlepas dari penerapan konsep growth pole, adalah penting untuk dahulu
29
mengetahui sebaran perekonomian Aceh, pusat-pusat pertumbuhan perekonomian di Aceh, sekaligus memetakan disparitas pertumbuhan serta mengetahui secara lebih jelas strategi dalam memperkecil disparitas. Dengan memakai tipologi ekonomi Klassen, banyak daerah di Aceh yang termasuk daerah berkembang cepat. Daerah-daerah ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi diatas rata-rata laju pertumbuhan, namun memiliki tingkat pendapatan perkapita yang masih dibawah rata-rata. Karakteristik antar daerah menurut tipologi Klassen juga berbeda. Beberapa karakteristik yang dilihat adalah infrastruktur jalan kabupaten, irigasi dan perbankan. Daerah yang lambat berkembang cenderung memiliki struktur perekonomian pertanian yang besar tapi tumbuh lambat. Hal ini dapat diakibatkan oleh sarana infrastruktur yang cenderung terbatas serta dukungan perbankan yang juga masih rendah. Strategi pembangunan ekonomi wilayah seharusnya mengatasi beberapa tantangan diatas. Salah satu elemen penting dari perekonomian adalah investasi swasta. Pemerintah Aceh dan Kabupaten dengan sumber daya yang ada hendaknya mengatasi beberapa tantangan diatas; seperti infrastruktur, irigasi dan mendorong lembaga keuangan melalui skema-skema baru dalam menggerakkan investasi swasta. Diperlukan perhatian khusus bagi ekonomi yang berkelanjutan. Beberapa daerah sedang melakukan transformasi basis sektor pertanian tanaman pangan menjadi perkebunan yang secara ekonomi dianggap lebih menarik dari sektor lain. Banyak daerah pada Kuadran III dan IV mulai bertransformasi dari sub sektor pertanian tanaman pangan ke sub sektor perkebunan. Transformasi yang terjadi dengan sangat cepat ini tentunya memiliki resiko-resiko dampak terhadap lingkungan hidup.
30
Harry Hasan Masyrafah dan Wahyuddin
REFERENSI Aceh Dalam Angka ( 2009), Biro Pusat Statisik Aceh, Aceh. Affendi, Anwar (2001) Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-kota Menengah dan Kecil. Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor.
Bank Indonesia (2010), Kajian Ekonomi Regional, Banda Aceh. John, Glasson.,Paul, Sitohang (1990) Pengantar Perencanaan Regional Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jorge, Garcia (December 2000) Indonesia’s Trade and Price Interventions : Pro Java and Pro Urban, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol 36 No. 3. Martina, Ken (2004). Konsep Agropolitan Sebagai Alternatif Konsep Growth Pole di Indonesia: Studi Kasus Pulau Jawa. Nagamine, Haruo (2000) Regional Development in Third World Countries – Paradigms and Operational Principles. The International Development Journal, Co. Ltd. Tokyo. Japan. Perusaaan Listrik Negara ( 2009), Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik Aceh, RUPTL, Banda Aceh. Riadi, RM (2006). Pertumbuhan dan ketimpangan Pembangunan Ekonomi Di Provinsi Riau, Universitas Riau. Stimson, Robert J, Roger R. Stough, Brian H Roberts (2006). Regional Economic Development. Berlin: Springer-Verlag. World Bank ( 2009) Aceh Growth Diagnostic, Bank Dunia. World Bank (200802009), Aceh Economic Update, Bank Dunia.