9 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas tentang remaja dan resiliensi. Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja, rentang usia remaja, perubahan yang terjadi pada masa remaja dan permasalahan yang dihadapi remaja.
Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian
resiliensi, faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Remaja Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja serta rentang usia remaja. Dalam sub-sub bab perubahan yang terjadi pada masa remaja akan dibahas perubahan fisik, perubahan kognitif dan perubahan psikososial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang permasalahan yang dihadapi remaja. Pengertian dan Karakteristik Remaja Remaja atau dalam bahasa Inggris disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu bereproduksi (Ali dan Asrori 2009). Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental. emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget, yang mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa usia di mana terjadi integrasi individu ke dalam kelompok masyarakat dewasa yang mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas (Hurlock 1993). Menurut Steinberg (1993) masa remaja merupakan suatu masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, mereka menjadi individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya sendiri dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan perkawinan. Masa
remaja
merupakan
masa
yang
sangat
penting
dalam
perkembangan individu karena merupakan jembatan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini disebut sebagai masa peralihan karena individu yang berada pada masa ini akan meninggalkan sikap dan tingkah laku yang biasa ditampilkan pada masa kanak-kanak dan mulai belajar menyesuaikan diri dengan tata cara hidup orang dewasa (Ali dan Asrori 2009).
10 Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa.
Hal tersebut dikemukakan oleh Erikson, yang diacu dalam Hurlock
(1993) yang menamakan proses tersebut sebagai proses pencarian diri sendiri. Monks (1989) diacu dalam Ali dan Asrori (2009) juga mengungkapkan hal senada yaitu bahwa remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase ‘topan dan badai”. Fase topan dan badai (storm and stress) ini juga digunakan oleh Stanley Hall yang terkenal sebagai bapak studi ilmiah remaja. Konsep Hall tentang remaja ditandai sebagai masa goncangan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati (Santrock 2003). Beberapa karakteristik remaja adalah (1) keadaan emosi yang labil (2) sikap menentang dan orang lain maupun orang dewasa lainya (3) pertentangan dalam
dirinya
menjadi
sebab
pertentangan
dengan
orang
tuanya
(4)
eksperimentasi atau keinginan yang besar dari remaja untuk melakukan kegiatan orang dewasa yang dapat ditampung melalui saluran ilmu pengetahuan (5) eksplorasi atau keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar yang sering disalurkan melalui penjelajahan atau petualangan (6) banyaknya fantasia atau khayalan dan bualan (7) kecenderungan membentuk kelompok dan melakukan kegiatan berkelompok (Gunarsa dan Gunarsa, 1995).
Rentang Usia Remaja Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Batas usia tidak dirinci dengan jelas dan terdapat beberapa
perbedaan dalam menentukan rentang usia remaja. Menurut Atkinson (1983), remaja berada dalam rentang usia 12 sampai dengan akhir belasan tahun ketika pertumbuhan jasmani hampir selesai, sedangkan menurut Hurlock (1981) usia remaja adalah 12 – 18 tahun. Menurut Monks (2000), rentang usia remaja adalah antara 12 sampai dengan 21 tahun, sedangkan menurut Stanley Hall, remaja berada dalam rentang usia 12 – 23 tahun (Santrock, 2003).
Seifert dan Hoffnung (1987)
menyatakan usia remaja berkisar antara 12 – 20 tahun. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, terlihat bahwa usia permulaan remaja adalah sama yaitu 12
11 tahun, namun ada perbedaan dalam menentukan usia akhir dalam rentang masa remaja (Desifa, 2010). Sedikit berbeda, Davidoff mengatakan bahwa rentang usia remaja berada dalam kisaran 13 – 18 tahun yang ditandai dengan perubahan yang pesat dalam dimensi fisik (tubuh), kematangan seksual, kemampuan kognitif serta harapan dan permintaan dari keluarga, teman dan masyarakat yang juga berbeda dari sebelumnya (Davidoff 1981).
Perubahan yang Terjadi Pada Masa Remaja Pada masa remaja inilah terjadi perubahan yang pesat, baik perubahan secara fisik, kognitif maupun sosial emosional (Seifert dan Hoffnung 1987). Begitu pula menurut Papalia, Olds dan Feldman (2008) bahwa masa remaja merupakan masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif dan psikososial. Perubahan dalam perkembangan seorang remaja merupakan hasil dari proses biologis (fisik), kognitif dan sosial yang saling terjalin secara erat. Proses sosial membentuk proses kognitif, proses kognitif mengembangkan atau menghambat proses sosial dan proses biologis juga mempengaruhi proses kognitif. Oleh karenanya semua itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari diri seorang manusia yang terintegrasi, yang hanya mempunyai satu badan dan satu jiwa yang saling tergantung (Santrock 2003). Perubahan yang terjadi pada remaja, antara lain adalah: 1) perubahan fisik, 2) perubahan kognitif dan 3) perubahan psikososial. Perubahan fisik. Pada aspek fisik, seorang anak yang mulai memasuki periode
remaja,
ditandai
dengan
terjadinya
pubertas.
Pubertas
ini
mengakibatkan pertumbuhan pada tinggi dan berat badan, perubahan pada bentuk dan proporsi tubuh serta kematangan organ seksual. Perubahan fisik pada masa pubertas termasuk pertumbuhan payudara, tumbuhnya bulu ketiak dan bulu pubik, perubahan suara yang lebih berat serta perkembangan otot-otot. Selain itu, kematangan organ reproduksi mengakibatkan terjadinya menstruasi pertama kali pada wanita serta produksi sperma pada pria (Papalia et al. 2008). Produksi menyebabkan
kelenjar timbulnya
hormonal jerawat
bagi pada
sementara bagian
remaja
wajah
juga
yang
dapat
seringkali
menimbulkan kegelisahan, terutama pada remaja putri. Pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja sangat membutuhkan zat-zat pembangun yang diperoleh dari makanan sehingga remaja pada umumnya memiliki nafsu makan yang tinggi (Ali
12 dan Asrori 2009).
Masa pubertas dan menarche (menstruasi pertama)
seringkali dideskripsikan sebagai peristiwa utama dalam sejarah kehidupan remaja.
Secara mendasar, pandangan ini mengisyaratkan bahwa perubahan
pada masa puber dan kejadian-kejadian seperti menarche menyebabkan perbedaan tubuh yang menuntut perubahan yang cukup bermakna dalam konsep diri, yang mungkin dapat menyebabkan krisis identitas (Santrock 2003). Perubahan kognitif. Perubahan dari masa kanak-kanak menjadi remaja akan
membuat
perubahan
pada
kemampuan
kognitifnya
diungkapkan oleh Piaget sebagai tahap formal operational.
yang
sering
Pada tahap ini,
remaja membangun kapasitasnya untuk menggunakan alasan-alasan ilmiah dan menjelaskan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam membuktikan sebuah hipotesis serta menjelaskan sesuatu yang sifatnya abstrak. Hasilnya, pemikiran dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah jauh lebih baik ketimbang beberapa tahun sebelumnya saat masih berada dalam tahap concreteoperational (Hall 1983).
Menurut teori Moral Reasoning Kohlberg, remaja
berada dalam tahapan perkembangan Conventional Stage dimana moral yang baik tercapai jika seseorang disukai oleh orang lain (interpersonal conformity) dan jika moral baik tersebut sah atau legal sesuai dengan hukum atau aturan yang berlaku (law and order) (Hastuti 2008).
Pada tahapan ini, remaja
cenderung untuk mendukung konvensi sosial, mendukung status quo dan melakukan hal yang benar untuk mematuhi peraturan atau untuk membuat orang lain merasa senang (Papalia et al. 2008). Perubahan psikososial.
Menurut teori perkembangan psiko-seksual
yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dikenal adanya 5 tahapan yaitu: (1) oral, (2) anal, (3) phallic, (4) laten, (5) genital. Dalam hal ini remaja termasuk ke dalam tahapan kelima, yaitu tahapan genital yang berlangsung mulai masa puber yang ditandai dengan keinginan seksual yang mulai bangkit (Seifert dan Hoffnung 1987).
Adapun berdasarkan tahapan psiko-sosial dari Erik Erikson
yang dikenal dengan Erikson’s the Psychosocial Stages, remaja termasuk dalam tahapan identity versus identity confusion. Pada tahap ini remaja berada dalam tahapan pencarian identitas diri dengan mengintegrasikan beragam identitas yang mereka bawa sejak masa anak-anak menjadi suatu identitas yang semakin lengkap. Dalam tahap perkembangan ini, sebagian besar remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang
13 tua. Remaja mendapatkan sumber afeksi, simpati, pengertian dan bimbingan moral dari teman sebayanya (Papalia et al. 2008). Berdasarkan teori belajar sosial (social learning theory) dari Albert Bandura, dinyatakan bahwa anak-anak belajar bersosialisasi melalui pengamatannya pada orang lain. Melalui belajar dengan melakukan observasi ini (imitasi atau meniru), anak secara kognitif mempresentasikan tingkah laku orang lain yang kemudian tingkah laku ini diadopsi ke dalam tingkah laku dirinya sendiri. Dalam perkembangan sosial ini diperlukan adanya self efficacy, yaitu kepercayaan akan adanya kemampuan diri untuk menghasilkan hal-hal yang positif. Selain itu diperlukan juga kepercayaan diri (confidence) dengan cara meyakinkan diri sendiri untuk dapat mengatasi atau melakukan suatu tindakan (Puspitawati 2009).
Bagi seorang remaja yang
sedang dalam masa pencarian identitas diri, kepercayaan diri dan memahami jati diri memegang peranan yang amat penting agar kelak dapat memainkan peran sosial yang positif dalam masyarakat (Hastuti 2008).
Banyak kasus
menunjukkan bahwa anak remaja yang kehilangan jati diri akan melakukan perbuatan yang antisosial untuk menunjukkan eksistensi dirinya agar diakui oleh lingkungannya (Puspitawati 2009). Kemampuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menghadapi situasi atau tantangan yang sulit yang ditemui remaja dalam rentang kehidupannya. Dalam hal ini diperlukan sebuah proses adaptasi yang kemudian dikenal dengan resiliensi. Permasalahan yang dihadapi Remaja Adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh remaja dan juga perubahan lingkungan yang menuntut remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan dapat membuat remaja mengalami kebingungan yang pada
awalnya
hanyalah
permasalahan
pribadi,
namun
akhirnya
dapat
berkembang menjadi masalah sosial. Santrock (2003) menyebut sebuah istilah abnormal behaviour atau tingkah laku abnormal yang berarti sebuah tingkah laku yang mal-adaptif serta berberbahaya dan bukan sekedar tingkah laku yang berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Tingkah laku seperti ini tidak
mampu mendukung kesejahteraan, perkembangan dan pemenuhan masa remaja. Tingkah laku mal-adaptif antara lain seperti bunuh diri, mengalami depresi, memiliki keyakinan yang aneh dan tidak rasional, menyerang orang lain (berkelahi/tawuran), mengalami ketergantungan pada obat-obatan terlarang. Tingkah laku abnormal seperti ini mempengaruhi kemampuan remaja untuk
14 dapat berfungsi secara efektif dan juga dapat membahayakan orang lain (Santrock 2003). Permasalahan lain yang kerap terjadi adalah konflik dengan orang tua. Konflik yang paling sering terjadi dalam keluarga biasanya ditemui pada saat anak dalam keluarga tersebut berada di awal masa remaja ketika emosi negatif mencapai puncaknya.
Akan tetapi konflik akan semakin intens pada
pertengahan masa remaja (Papalia, Olds dan Feldman 2008).
Dalam
penelitiannya, Aufseeser, Jekjelek dan Brown (2006) menyatakan bahwa remaja usia 15 tahun paling sering ditemukan kesulitan dalam hal menceritakan hal-hal yang mengganggu dirinya pada ayah maupun ibunya.
Resiliensi Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian resiliensi, faktorfaktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Lingkungan keluarga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi dibahas juga dalam subsub bab tersendiri dengan mempertimbangkan kedalaman dan keluasan variabel ini. Dalam sub-sub bab penelitian tentang resiliensi juga akan dibahas tentang penelitian berdasarkan jenis kelamin dan juga penelitian yang berlatar belakang budaya. Pengertian Resiliensi Resiliensi didefinisikan dengan beberapa cara yang berbeda. definisi
resiliensi
meliputi
kapasitas
untuk
menghadapi
kesanggupan untuk menghadapi berbagai kesulitan.
Semua
tantangan
dan
Sebagian besar definisi
menekankan bahwa resiliensi bukan sekedar atribut yang menetap, tetapi merupakan sebuah proses yang dipengaruhi oleh keputusan harian (Masten 2001 diacu dalam LaFromboise et al. 2006). Menurut Kalil (2003), resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam menghadapi situasi yang sulit Definisi ini tidak hanya berimplikasi pada tindakan individu menghadapi situasi sulit agar memperoleh
kesejahteraan,
namun
juga
bagaimana
individu
tersebut
menunjukkan kompetensinya dalam menghadapi kesulitan atau tantangan tersebut. Resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan mengembalikan diri dari kesulitan dan perubahan yang terjadi kepada fungsi sebelumnya dan bergerak
15 maju menuju perbaikan. Orang yang dikatakan resilien dapat mengatasi dan beradapatasi secara efektif terhadap tekanan dan tantangan yang dihadapi serta belajar dari pengalamannya agar dapat mengelola sebuah situasi secara efektif, dan mampu mengatasi tekanan dan tantangan di masa yang akan datang. Tabel 1. Definisi resiliensi menurut beberapa sumber Teori Gail Wagnild and Heather Young
Sumber
Definisi
Wagnild, G., & Young, H. (1993). Development and psychometric evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2), 165-178
Keberhasilan seseorang untuk mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan
Montheit & Gilboa
Hutapea EA. 2010. Gambaran resiliensi pada mahasiswa perantau tahun pertama perguruan tinggi di asrama UI: menggunakan resilience scale. Tesis UI
Karakteristik seseorang untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap situasisituasi berat dalam hidupnya
Michael Ungar
Ungar M. 2008. Resilience across culture. British Journal of Social Work 38, 218-235
Kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula
Ariel Kalil
Kalil A. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc
Sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam mengahadapi situasi sulit dan bergerak menuju perbaikan
Edith Grothberg
Grothberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children. The Hague: Benard van Leer Voundation http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb9
Kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi bahkan menjadi lebih kuat dalam tekanan hidup yang sulit
Bonnie Benard
Benard B. 2004. The Foundations of the Resiliency Framework From Research to Practice http://www.resiliency.com/htm/
Kemampuan untuk bangkit kembali dari kondisi yang sulit
Froma Walsh
Walsh, F. (2006) Strengthening Family Resilience (Second Edition). New York: The Guilford Press http://winnebago.uwex.edu/files/201 1/03/FR-KeystoResilience.pdf
kemampuan untuk pulih dari kesulitan dan melakukan perubahan positif untuk mengatasi tantangan secara lebih efektif
Menurut Ungar (2008), resiliensi memiliki makna sebagai suatu kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula.
resiliensi dapat dipahami dengan pemahaman
sebagai berikut, pertama, mengarahkan (navigate) sumberdaya fisik, psikologi dan
sosial
budaya
untuk
mempertahankan
kesejahteraan
dan
kedua,
16 merundingkan (negotiate) sumberdaya yang dimiliki tersebut untuk memperoleh sesuatu yang bermakna secara budaya. Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk. Dari sejumlah definisi yang ada, definisi resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan dalam situasi yang kurang menguntungkan atau penuh tekanan dan menjalani hidup secara positif bahkan lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi itu sendiri dapat diprediksi dengan memperhatikan faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini pernah dilakukan oleh Kaya (2007) pada siswa sekolah dasar di Regional Boarding Elementary School Ankara.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Barankin dan Khanlou (2009) ada dua hal yang harus diperhatikan untuk memahami resiliensi.
Kedua faktor tersebut adalah faktor
resiko (risk factor) dan faktor protektif (protective factor).
Faktor protektif
merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalisir bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Faktor protektif juga membantu melindungi anak dan remaja dari efek-efek negatif faktor resiko. Faktor resiko terdapat pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat, yang merupakan prediktor awal dari sebuah hasil yang tidak menguntungkan dan sesuatu yang membuat orang menjadi rentan (Kaplan 1999) atau variabel yang mengarah
pada
ketidakmampuan
(Rutter
1990)
atau
mediator
yang
menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah (Luthar 1999 yang diacu dalam Kalil 2003).
Alimi (2005) menyatakan bahwa faktor resiko adalah variabel-
variabel yang secara langsung bisa memperbesar dosis potensi resiko bagi individu dan sekaligus meningkatkan kemungkinan berkembangnya perilaku dan gaya hidup yang mal-adaptif. Beberapa hal yang termasuk dalam faktor resiko adalah: kemiskinan (status sosial ekonomi yang rendah), ketidaknyamanan akibat perubahan fisik yang terjadi, penerimaan yang rendah dari peers, efek kumulatif dari ketidakberuntungan, adanya hambatan dalam perkembangan. Secara umum, Gizir (2004) mengelompokkan faktor resiko menjadi tiga kelompok besar berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yaitu yang berasal
17 dari individu, keluarga dan lingkungan. Faktor resiko yang berasal dari individu antara lain seperti kelahiran prematur, penyakit kronis atau kejadian buruk yang dialami dalam kehidupannya.
Faktor resiko yang berasal dari keluarga antara
lain seperti penyakit yang dialami orang tua, perceraian atau perpisahan orang tua, orang tua tunggal, dan ibu yang masih remaja, sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain adalah status sosial ekonomi yang rendah, peperangan, kesulitan ekonomi dan kemiskinan. Faktor protektif dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal (Benard 1995 yang diacu dalam Alimi 2005).
Faktor internal adalah ketrampilan dan
kemampuan sehat yang dikuasai individu, sedangkan faktor eksternal adalah karakteristik tertentu dari lingkungan yang dapat menjadikan individu mampu menghindar dari tekanan hidup dan mampu bertahan kendati berada dalam kondisi beresiko tinggi. Faktor protektif internal terdiri atas (1) kompetensi sosial (ketrampilan sosial dan empati), (2) ketrampilan menyelesaikan masalah (membuat keputusan dan berpikir kritis), (3) otonomi (self esteem, self efficacy, locus of control), (4) memiliki tujuan. Faktor eksternal yang dimaksud adalah berupa kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat dan harapan yang tinggi dari lingkungan (Benard 1995, diacu dalam Alimi 2005). Menurut Sun dan Stewart (2007), faktor internal atau karakteristik individu yang berpengaruh pada resiliensi, terdiri atas (1) komunikasi dan kerjasama; (2) self-esteem; (3) empati; (4) help seeking behavior; dan (5) tujuan dan aspirasi, sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah: (1) dukungan keluarga; (2) dukungan sekolah; (3) dukungan masyarakat; (4) autonomy experience; (5) hubungan dengan teman sebaya; (6) partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dan (7) dukungan teman sebaya. California Healthty Kids Survey menggunakan The Resilience and Youth Development Module (RYDM) untuk mengukur faktor internal (personal strength) dan faktor ekstenal (developmental support and opportunities). Faktor internal terdiri atas 18 item dibangun untuk mengukur 6 aspek inti yang terdapat dalam Benard’s Resilience Model (Benard & Slade 2009, diacu dalam Furlong et al 2009). Asset internal dalam Resilience and Youth Development Module adalah (1) kerjasama dan komunikasi,(2) self efficacy, (3) empati, (4) problem solving, (5) self-awareness, (6)
tujuan dan aspirasi.
Faktor eksternal dalam RYDM
18 meliputi hubungan yang baik, harapan yang tinggi dan partisipasi dalam aktivitas di rumah, sekolah, teman sebaya dan masyarakat. Dengan demikian secara garis besar, dapat dikatakan bahwa faktor protektif yang mempengaruhi resiliensi terbagi menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu (faktor individu), sedangkan faktor eksternal (faktor di luar individu), yaitu keluarga dan lingkungan (sekolah, teman sebaya dan masyarakat). Pada Tabel 2 disajikan beberapa pendapat ahli mengenai faktor yang mempengaruhi resiliensi. Penelitian
ini
akan
menggunakan
faktor
internal
dan
eksternal
berdasarkan acuan dari Resilience and Youth Development Module (Austin et al. 2010). Ada enam faktor internal, yaitu: kerjasama dan komunikasi, self-efficacy, empati, kemampuan memecahkan masalah, self-awareness dan memiliki tujuan dan aspirasi. Kerjasama dan komunikasi yaitu kompetensi sosial yang mengarah pada fleksibilitas dalam menjalin hubungan, kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan orang lain, mampu saling bertukar informasi dan gagasan serta mengekspresikan perasaan pada orang lain.
Kemampuan individu untuk
bekerjasama dan berkomunikasi ini dapat menjadi sebuah kekuatan dalam membentuk hubungan yang baik (caring relationship).
Sebaliknya, kurangnya
kompetensi sosial ini dapat menyebabkan terjadi kriminalitas, penyakit mental dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Self-efficacy
berhubungan
dengan
kepercayaan
seseorang
akan
kompetensi yang dimilikinya untuk membuat sesuatu yang berbeda, seperti kemahirannya dalam melakukan pekerjaan dan kemampuan untuk bekerja dengan baik. Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan peduli
pada
perasaan orang lain dan apa yang dialami orang lain. Empati ini merupakan akar dari moralitas dan rasa menghormati.
Daniel Goleman (1995) menyatakan
bahwa “Empathy is the single human quality that leads individuals to override self-interest and act with compassion and altruism.”
Penelitian pada bayi
menemukan bahwa bayi berusia dua tahun sudah dapat mengetahui bahwa perasaan orang lain mungkin saja berbeda dengan dirinya.
Kurangnya rasa
empati berhubungan dengan banyaknya tindakan plagiat, bullying, mengganggu orang lain dan bentuk kekerasan lainnya.
1. Kesempatan untuk berpartisipasi 2. Hubungan yang hangat 3. Harapan yang tinggi
Faktor Eksternal (lingkungan):
Faktor Internal (individu): 1. Kompetensi Sosial (ketrampilan sosial dan empati) 2. Ketrampilan menyelesaikan masalah (membuat keputusan dan berpikir kritis) 3. Otonomi (self esteem, self efficacy, locus of control) 4. Memiliki tujuan (optimisme, motivasi untuk berprestasi, minat, keyakinan)
Bonnie Benard Faktor Protektif ada dua yaitu internal dan eksternal
3. I Can Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan, mencari hubungan yang dapat dipercaya, keterampilan berkomunikasi, mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain, kemampuan memecahkan masalah.
2. I Have Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Faktor I Have terdiri dari memberi semangat agar mandiri, struktur dan aturan rumah, Role Models, adanya hubungan.
Grotberg 1. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi
2. Faktor Keluarga: Hubungan yang dekat, kepedulian, perhatian, pola asuh yang hangat, hubungan yang harmonis 3. Faktor Masyarakat: Perhatian dari lingkungan, aktif dalam organisasi kemasyarakatan
Masten & Coastworth Ada 3 faktor pelindung: 1.Faktor individu Kemampuan intelektual, sociable, self confident, self efficacy, memiliki bakat
Faktor internal: 1. Kerjasama dan komunikasi 2. Self efficacy 3. Empati 4. Problem solving 5. Self awareness 6. Tujuan dan aspirasi
RYDM Ada 2 komponen yang mempengaruhi resiliensi yaitu aset internal dan asset eksternal.
1. Dukungan keluarga 2. Dukungan sekolah Faktor eksternal: 3. Dukungan 1. Hubungan yang masyarakat baik 4. Autonomy . 2. Harapan yang experience tinggi 5. Hubungan . 3. Partisipasi dengan teman . Dari keluarga, teman, sebaya 6. Partisipasi dalam sekolah dan masyarakat kegiatan 7. Dukungan teman sebaya
Faktor eksternal:
Sun &Stewart Faktor individu: 1. Komunikasi dan kerjasama 2. Self esteem 3. Empati 4. Help seeking behavior 5. Tujuan dan aspirasi
19
19
20 Kemampuan
memecahkan
masalah
adalah
kemampuan
untuk
merencanakan, memberdayakan, berpikir kritis dan kreatif serta menggunakan perspektif yang beragam sebelum mengambil keputusan atau melakukan tindakan. Penelitian tentang resiliensi menunjukkan adanya identitas problem solving yang secara konsisten terlihat pada orang-orang dewasa yang sukses. Self-awareness adalah kemampuan untuk mengetahui dan memahami diri sendiri. Self-awareness merupakan tanda orang yang sukses yang memiliki perkembangan yang sehat. Kemampuan ini juga termasuk pada pemahaman bahwa pemikiran yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan perasaannya. Dalam hal ini pula, seseorang memiliki kesadaran akan kekuatan dan tantangan yang dihadapinya. Tujuan dan aspirasi mengarah kepada mimpi, visi, rencana yang dimiliki seseorang untuk fokus pada masa depannya, serta memiliki ekspetasi (harapan) yang tinggi pada dirinya. Tujuan dan aspirasi merupakan motivasi intrinsik yang dimiliki oleh individu yang menuntunnya pada makna dari kehidupan yang dijalaninya.
Penelitian yang dilakukan oleh National Longitudinal Study of
Adolescent Health (1999), diacu dalam Austin et al (2010) mengidentifikasikan bahwa individu yang memiliki tujuan dan aspirasi akan membangun hubungan mendalam (deep connectedness) yang merupakan sebuah kekuatan pelindung dari perilaku negatif.
Perilaku negatif yang
dimaksud antara lain adalah
kehamilan usia remaja, putus sekolah, tekanan emosional, bunuh diri, kekerasan dan keterlibatan dengan alkohol atau obat-obatan terlarang. Faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi faktor eksternal keluarga dan faktor eksternal lingkungan.
Faktor eksternal
keluarga akan dibahas tersendiri dalam sub bab lingkungan keluarga, sedangkan faktor eksternal lainnya, yaitu sekolah, teman sebaya dan masyarakat dilihat berdasarkan kesempatan untuk dapat berpartisipasi (participation) dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat (caring relationship) dan harapan yang tinggi (high expectations) dari lingkungan kepada individu (Austin 2010).
Lingkungan Keluarga Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai tingkat hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi dan hubungan darah (Rice & Tucker, 1986). Menurut Burges dan Locke dalam Puspitawati (2009), ada 4 ciri keluarga yaitu: (a) keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan
21
oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orang tua dan anak) atau adopsi; (b) anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga; (c) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial; (d) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama pembangunan sumber daya manusia.
Pertama adalah karena dalam keluargalah, seorang individu
tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat bahkan pemimpi negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung (Sunarti 2008). Sehubungan dengan kesehatan reproduksi remaja (KRR) diketahui bahwa akses remaja terhadap peningkatan pengetahuan tentang masalah reproduksi lebih banyak diperoleh dari media elektronik, media cetak dan teman sebaya dibandingkan dari orang tua atau keluarga, padahal pesan tentang kesehatan reproduksi remaja dari orang tua dinilai lebih baik karena mengikutsertakan nilai moral dan agama (Sunarti 2008). Orang tua sebagai pengasuh anak akan memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan anak.
Orang tua yang permisif akan
menghasilkan anak yang memiliki regulasi emosi yang rendah, pemberontak, menunjukkan tingkah laku yang antisocial dan memiliki ketahanan yang rendah dalam menghadapi hal-hal yang menantang, sementara itu orang tua yang otoritatif akan menghasilkan anak bahagia, memiliki rasa percaya diri, memiliki regulasi emosi dan kemampuan sosial yang baik (Brooks 2001). Moos dan Moos (2009) membagi lingkungan keluarga dalam 3 dimensi utama dan 10 sub skala.
Tiga dimensi yang dimaksud adalah dimensi
hubungan, perkembangan personal dan sistem pemeliharaan.
Dimensi
hubungan (relationship) merupakan evaluasi lingkungan keluarga dalam hal hubungan antar anggota keluarga yang terdiri dari 3 sub skala yaitu: (1) Kohesi (cohesion) yang menunjukkan komitmen dan dukungan antaranggota keluarga; (2) Ekspresif (expressiveness) yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung, dan (3) Konflik (conflict) yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga
22 mengungkapkan secara terbuka perasaan tidak senang, kemarahan dan ketidaksetujuannya. Dimensi perkembangan personal (personal growth) merupakan evaluasi lingkungan
keluarga
dalam
hubungannya
dengan
pertumbuhan
dan
perkembangan pribadi yang terdiri atas 5 sub skala yaitu: (1) Kebebasan (independence) berarti tingkat dimana anggota keluarga memiliki ketegasan dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri; (2) Orientasi untuk berprestasi (achievement orientation) berhubungan dengan aktivitas anggota keluarga yang mengarah pada pencapaian prestasi atau berkompetisi; (3) Orientasi pada intelektual dan budaya (intelectual-cultural orientation) berhubungan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan politik, kemasyarakatan, budaya dan intelektual; (4) Orientasi pada rekreasi aktif (active-recreational orientation) berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan rekreasi; (5) Penanaman moral agama (moral-religion emphasis) berhubungan dengan etika, nilai-nilai dan moral agama dalam keluarga Dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) berhubungan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dan aturan dalam keluarga. Dimensi ini terdiri atas dua sub skala, yaitu: (1) Organisasi (organization) yaitu tingkat perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga dan (2) Kontrol (control) yaitu seberapa banyak peraturan dan prosedur digunakan dalam kehidupan keluarga.
Perkembangan Resiliensi pada Individu Sesungguhnya tidak ada alasan sederhana yang menjelaskan mengapa seseorang begitu ulet dan tangguh (resilien), sementara yang lainnya tidak demikian padahal mereka hidup dan dibesarkan dalam situasi dan lingkungan yang sama.
Faktor resiko dan faktor pelindung ini tidak terbentuk di ruang
hampa ataupun bersifat independen satu sama lain. Resiliensi ini terbentuk dari hubungan saling mempengaruhi antara karakteristik individu, karakteristik keluarga dimana individu ini hidup di dalamnya dan karakteristik lingkungan baik fisik maupun sosial. Contohnya, tinggal dengan orang tua yang utuh merupakan faktor pelindung bagi anak atau remaja.
Namun jika salah satu orang tua
bertindak kasar, maka tinggal dengan orang tua akan menjadi faktor resiko dan sebaliknya, tidak tinggal dengan orang tua akan menjadi faktor pelindung (Barankin dan Khanlou 2009).
23
Lingkungan yang berperan secara signifikan dalam perkembangan individu adalah lingkungan mikrosistem yang mencakup keluarga, sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Kebutuhan psikologis pada individu dapat terpenuhi dengan adanya dukungan yang memadai dari lingkungan berupa hubungan yang hangat, peraturan dan batasan, dukungan untuk mandiri, dukungan untuk berprestasi dan role model yang positif (Kalil 2003). Bronfenbrener, pencetus teori ekologi menyatakan bahwa lingkungan sosiokultural anak sangat mempengaruhi perkembangan anak. Lingkungan itu dimulai dari lingkungan yang sangat dekat dengan anak yaitu hubungannya dengan keluarga, meluas pada teman sebaya, sekolah, dan masyarakat; bagaimana pengalaman yang anak alami dalam lingkungan-lingkungan tersebut; bagaimana interaksi antara lingkungan-lingkungan itu mempengaruhi anak dan kemudian meluas pada bagaimana kebudayaan dalam lingkungan tempat tinggal anak mempengaruhi perkembangannya.
Teori ekologi Bronfrenbrenner ini
merupakan suatu pandangan sosiokultural tentang perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan, dari mulai lingkungan yang terdekat dan berinteraksi secara langsung sampai lingkungan yang sangat luas. Kelima sistem dalam teori ekologi
Bronfenbrenner
adalah:
mikrosistem,
mesosistem,
eksosistem,
makrosistem dan kronosistem (Santrock 2003). Bronfenbrenner (2002) menyatakan bahwa mikrosistem adalah tempat dimana individu tinggal, termasuk di dalamnya yaitu keluarga (orang tua), teman sebaya, tetangga, kehidupan sekolah.
Sistem ini membantu perkembangan
seorang anak melalui interaksi secara langsung. Mesosistem meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa konteks. Hubungan ini dapat terbentuk dari kehidupan sekolah dengan kehidupan yang ada dalam keluarga atau juga tetangga sekitarnya. Sebagai contoh, lingkungan teman sebaya dapat mempengaruhi tingkah laku individu di sekolahnya atau bahkan juga mempengaruhi hubungan individu tersebut dengan keluarganya. Eksosistem yaitu sebuah sistem dimana terjadi interaksi tidak langsung antara individu dengan setting sosial lainnya dimana individu tidak memiliki peran aktif di dalamnya, namun memiliki dampak pada individu tersebut.
Misalnya
kebijakan yang ada di lingkungan tempat bekerja orang tua, akan memberikan dampak pada anak.
Atau pengalaman kerja istri dapat mempengaruhi
hubungannya
suami
dengan
dan
atau
anaknya.
Makrosistem
meliputi
kebudayaan dimana individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku,
24 keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Contohnya adalah ideologi, agama, etnik. Sistem
yang
kelima
dalam
teori
ekologi
bronfenbrenner
adalah
kronosistem yang meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris.
Dengan
kata lain, sistem ini merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman individu semasa hidupnya termasuk kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan dan transisi dalam kehidupan serta sejarah individu itu sendiri. Misalnya, dengan mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan (Hetherington 1989, diacu dalam Bronfenbrenner 2002). Resiliensi berhubungan dengan sumber-sumber faktor pelindung dan peningkatan kesehatan yang mencakup kesempatan yang dimiliki oleh individu, hubungan kekerabatan keluarga yang erat dan kesempatan individu dan orang tua dalam mendapatkan dukungan dari lingkungan masyarakat (Wolfe & Mash 2005, diacu dalam Nurfadillah 2006). Hal ini sejalan dengan teori ekologi yang menekankan bahwa seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan dimana ia berada. Faktor resiko yang saling terkait dan bertumpuk-tumpuk semakin memudahkan berkembangnya permasalahan dan akan semakin menyulitkan individu untuk mendapatkan pijakan yang positif dalam rangka membalikkan keadaan negatif menjadi potensi yang menguntungkan bagi dirinya.
Jika
pengalaman ini terus berlangsung maka akumulasi resiko semakin bertambah sehingga akan semakin memperburuk kondisi remaja (Davis 1999). Faktor internal yang berkembang pada individu sesuai dengan dukungan dari lingkungan maupun karakteristik pada individu yang bersifat genetik kemudian berinteraksi dengan faktor protektif eksternal untuk membentuk suatu mekanisme
perlindungan
dan
meningkatkan
resiliensi
individu
terhadap
pengaruh negatif dari faktor resiko (Craig 1999, diacu dalam Chugani 2006).
25
Gambar 1. Sistem lapisan dalam teori ekologi Bronfenbrenner (Sumber: http://www.des.emory.edu/mfp) Penelitian tentang Resiliensi Pada awalnya penelitian tentang resiliensi terfokus pada faktor resiko, defisiensi dan patologis seperti anak-anak yang lahir pada kondisi yang beresiko tinggi, yakni keluarga yang mengkonsumsi minum minuman keras, cenderung melakukan abuse terhadap anak, melakukan tindakan kriminal, pada masyarakat miskin atau pada situasi perang. Namun pada saat ini fokus riset mengenai resiliensi telah beralih dan menekankan pada identifikasi proses yang dapat meningkatkan resiliensi ketika berada dalam kondisi normatif (Davey et al. 2003). Menurut Neil (2006) diacu dalam Sanni (2009) resiliensi bukanlah suatu kebetulan yang menguntungkan, resiliensi muncul pada orang yang telah terlatih keras, mempunyai sikap yang istimewa, kemampuan kognitif yang baik, emosi dan ketetapan hati yang teguh untuk mengatasi tantangan berat. Ada beberapa faktor yang berperan dalam pengembangan resiliensi antara lain adalah social support yang termasuk di dalamnya pengaruh budaya, community support dan personal support. Budaya dan komunitas dimana seseorang itu tinggal sangat mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang.
Para remaja sadar akan
pentingnya kebudayaan sebagai tolak ukur terhadap tingkah laku sendiri. Kebudayaan
memberikan
pengaruh
pada
perkembangan
remaja.
Pada
gilirannya akan terjadi remaja yang berbeda-beda pola tingkah lakunya antara
26 satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Holaday & McPhearson 1997, diacu dalam Santrock 2003). Dukungan sosial termasuk dukungan keluarga memberikan manfaat bagi remaja antara lain meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri dengan menyediakan rasa memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri dan mengurangi stress. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima seorang remaja, semakin besar resiliensi remaja tersebut (Johnson & Johnson 1991, diacu dalam Sanni 2009). Orang tua, anak dan remaja berlatar belakang penghasilan rendah, beresiko tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental (McLoyd 1993). Kesulitan dalam adaptasi sosial dan masalah sosial dan masalah psikologis seperti depresi, rendah diri, konflik dengan teman sebaya dan kenakalan remaja lebih banyak terjadi pada remaja miskin dibanding dengan yang lebih berada (Gibbs dan Huang 1989 diacu dalam Santrock 2003). psikologis lebih sering terjadi
Meskipun masalah
pada remaja miskin, fungsi intelektual dan
psikologis mereka cukup bervariasi. Misalnya, ketika remaja miskin memperoleh prestasi di sekolah, adalah umum bila ditemukan bahwa orang tuanya berkorban cukup banyak untuk menghidupi keluarga dan mendukung keberhasilan sekolah anaknya. Hal ini dapat diartikan bahwa lingkungan keluarga yang dimiliki remaja tersebut mendukung untuk terpenuhinya hak-hak anak yang menyebabkan ia mampu untuk berprestasi walau dalam kondisi yang sulit. Menurut Werner dan Smith (1982) dalam Benard (2007), hasil penelitian longitudinal yang dilakukan selama 50 tahun tentang resiliensi di pulau Kauai, faktor protektif dalam diri individu (temperamen dan
kemampuan nalar yang
baik, self-esteem, dan internal locus control) secara konsisten cenderung memberikan dampak yang lebih besar pada kualitas koping wanita dibanding pada laki-laki.
Pada saat remaja, perempuan memiliki lebih beragam faktor
protektif seperti kemampuan memecahkan masalah, ukuran keluarga yang lebih kecil dan memiliki ibu yang “gainfully and steadily employed”.
Pada usia 17-18
tahun memiliki rencana pendidikan dan vokasional dan konsep diri yang positif menjadi faktor yang terpenting. Dalam keluarga, remaja memiliki status urutan kelahiran sebagai anak tunggal, sulung, tengah dan bungsu yang memiliki karakteristik yang berbeda.
Namun dalam penelitian Rosyidah (2010) tidak
terlihat perbedaan resiliensi remaja berdasarkan urutan kelahiran.
27
Berdasarkan hasil penelitian Yuliatin (2007), diperoleh kesimpulan bahwa subyek yang mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak ternyata mampu terhindar dari perbuatan yang menyimpang secara norma. Dengan kata lain, subyek tersebut mampu resilient dengan didukung faktor protektif resilience, berupa: pertama, faktor instrinsik, yaitu: kekuatan diri yang solid, keoptimisan, percaya diri, konsep diri yang jelas, kontrol diri yang bagus dan sensitifitas terhadap lingkungan sosial; kedua, faktor ekstrinsik, yaitu: penanaman falsafah hidup dari orang tua dan kerabat, pertemanan yang solid dan positif, aktifitas sekolah yang menyenangkan dan teladan dari seorang guru, serta komunitas yang responsif terhadap subjek.
Sehubungan dengan resiliensi, hasil survey
terhadap 524 eksekutif senior dari 20 negara, dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan dianggap lebih resilien dibanding laki-laki (Wen 2010). Riset selama 30 tahun mengungkapkan bahwa individu yang resilien adalah individu yang tampak sehat, berumur panjang, jarang mengalami depresi, bahagia dan berprestasi baik di tempat kerja maupun di sekolah. Individu yang resilien dapat terlihat pada sebuah studi longitudinal yang dilakukan pada tahun 1955 terhadap 833 anak dan 698 anak diantaranya ditelusuri perkembangannya sejak masih dalam kandungan. Individu yang yang resilien antara lain dapat mengembangkan sense of efficacy dengan baik, menjadi orang dewasa yang sangat mendukung dan mau mencoba kesempatan kedua (Reivich & Shatte 2002, diacu dalam Nurfadillah 2006). Menurut Barankin dan Khanlou (2009), ciri-ciri anak yang resilien antara lain adalah mampu berempati atau dapat memahami dan bersimpati terhadap perasaan orang lain, dapat menjadi komunikator yang baik dalam memecahkan masalah, memiliki minat yang kuat di sekolah, dan berdedikasi untuk belajar, memiliki dorongan kuat untuk mencapai tujuan, selalu terlibat dalam kegiatan yang bermakna, selalu memiliki harapan dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain serta hidup dengan perasaan aman di keluarga maupun masyarakatnya.
Pengukuran Resiliensi Pengukuran resiliensi dapat dilakukan dengan beberapa alat ukur atau instrument, yaitu antara lain Baruth Protective Factors Inventory (BPFI), ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC), Resilience Scale for Adults (RSA), Adolescent Resilience Scale (ARS), Brief-Resilient Coping Scale (BRCS) dan
28 Resilience Scale (RS). Ahern (2006) melakukan perbandingan diantara alat-alat ukur resiliensi tersebut berdasarkan beberapa indicator seperti dasar teori yang digunakan, target populasi dan seting penelitian, bidang atau konstruk yang diukur serta kelebihan dan kekurangan yang dimiliki alat ukur tersebut. Perbandingan domain yang digunakan dan beberapa karakteristik lainnya yang terdapat pada beberapa alat ukur disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Hasil review yang dilakukan oleh Ahern (2006) menemukan bahwa BPFI dan BRCS tidak tepat diadministrasikan pada populasi remaja, sedangkan ARS, CD-RISC dan RSA membutuhkan studi lebih lanjut jika ingin diadministrasikan untuk remaja. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk mengukur skala resilien adalah Resilience Scale (RS) yang dikembangkan oleh Wagnild and Young karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) dinilai sebagai intrumen yang paling sesuai untuk digunakan pada berbagai jenis kelamin, kelompok etnis, dan kelompok usia (termasuk remaja); (2) banyak digunakan dalam berbagai penelitian; (3) memiliki reliabilitas yang tinggi (0.91) dan (4) memiliki kualitas pengukuran yang baik dibanding instrument lainnya (Ahern 2006). Skala Resilien atau Resilience Scale (RS) dipublikasikan tahun 1993 (Wagnild & Young, 1993) yang pada awalnya terdiri dari 50 item pertanyaan yang menggambarkan 5 karakteristik dari resilien yaitu: (1) meaningful life; (2) perseverance; (3) self reliance; (4) equanimity dan (5) coming home to yourself (existensial aloneness).
Setelah dilakukan faktor analisis, Skala Resilien ini
diindikasikan memiliki 2 faktor yaitu personal competence (yang berindikasi pada keyakinan diri, kemandirian, tekad, penguasaan, akal) dan acceptance of self and life (yang berindikasi pada adaptasi, keseimbangan, fleksibilitas, perspektif seimbang terhadap kehidupan (Wagnild & Young 1993). Skala resiliensi yang dibuat oleh Wagnild dan Young ini pernah digunakan oleh Skehil (2001) untuk melihat resiliensi remaja yang berusia 12 sampai 18 tahun.
Dalam penelitian tersebut Skehil menggunakan 15 item
pertanyaan. Pada penelitian lainnya, Skehil juga pernah menggunakan 10 item pertanyaan dari Resilience Scale ini. Skala resiliensi ini mempunyai reliabilitas 0.91 dan berkorelasi secara signifikan dengan alat ukur yang berhubungan erat dengan konstruk resiliensi (Ahern 2006). Hal tersebut membuktikan bahwa skala resiliensi yang dikembangkan oleh Wagnild dan Young ini terbukti memiliki keterandalan dan dapat mengukur resiliensi seseorang (Ardias 2008).
29
Tabel 3. Perbandingan beberapa alat ukur resiliensi berdasarkan domain Instrumen
Resilience Scale
ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC)
Baruth Protective Factor Inventory (BPFI)
Resilience Scale for Children and Adolescent (RSCA) 1. Sense of mastery 2. Sense of relatedness 3. Emotional reactivity
Domain *)
1.Personal Competence 2.Acceptance of Self and Life
1. Personal Competence 2. tolerance of negative effect 3.Positive Acceptance of change and secure relationship 4.Control 5.Spiritual Influences
1. Adaptable personality 2. Supportive environment 3. Fewer stressor 4.Compensating experiences
Reliabilitas**)
0.91
0.89
0.83
0.93
Jumlah Item **) Kelebihan **)
25
25
16
20
Dapat diaplikasikan pada berbagai usia, etnis, jenis kelamin dengan reliabitas yang baik serta banyak ditemukan dalam berbagai jenis penelitian
Diujicobakan pada populasi umum dan pada populasi klinis dan kurang tepat digunakan pada remaja
Dapat digunakan oleh para pendidik dan konselor namun kurang tepat diaplikasikan pada remaja
Spesifik digunakan untuk anak dan remaja namun tidak banyak digunakan dalam penelitian
Kualitas**)
Baik
Cukup
Kurang
---
Keterangan: *) sumber : Wagnild( 2010); **) sumber: Ahern (2006)