TINJAUAN PUSTAKA Remaja dan Mahasiswa Istilah remaja adolescence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1998). Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual di negara miskin berjalan lebih lama daripada di negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman 2004). Remaja merupakan salah satu periode dalam kehidupan antara pubertas dan maturitas penuh (10-21 tahun), juga suatu proses pematangan fisik dan perkembangan dari anak-anak sampai dewasa. Beberapa perubahan penting terjadi pada masa remaja. Kebutuhan pada remaja dianggap sebagai bagian yang paling unik dari siklus kehidupan. Perubahan biologi, sosial, psikologi, dan kognitif yang terjadi selama remaja dapat berdampak terhadap status gizi. Pertumbuhan fisik yang cepat mengakibatkan peningkatan kebutuhan energi dan zat gizi. Gizi yang baik diperlukan oleh remaja untuk pertumbuhan dan kesehatan (Heryanti 2009). Remaja merupakan kelompok usia yang sedang berada dalam fase pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena pada masa inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya. Bila konsumsi berbagai sumber zat gizi tidak ditingkatkan, mungkin terjadi defisiensi terutama defisiensi vitamin-vitamin. Defisiensi sumber energi akan menyebabkan kelompok remaja langsing bahkan kurus (Sediaoetama 2006). Mahasiswa
merupakan orang
yang
belajar
di
perguruan
tinggi.
Berdasarkan kisaran umur remaja diketahui bahwa mahasiswa termasuk remaja akhir menuju dewasa awal. Jika dilihat dari segi kesehatan, masa remaja merupakan masa yang paling sehat selama kehidupan. Mahasiswa adalah kalangan muda yang berumur 19-28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Sosok mahasiswa kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang
6
dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan objektif, sistematis, dan rasional. Mahasiswa (youth) adalah suatu periode yang disebutnya dengan “studenthood” (masa belajar) yang terjadi hanya pada individu yang memasuki post secondary education dan sebelum masuk kedalam dunia kerja yang menetap (Morgan dkk 1986 dalam Rahmawati 2006). Kebiasaan Makan Kebiasaan didefinisikan sebagai pola perilaku yang diperoleh dari pola praktek yang terjadi secara berulang-ulang. Sedangkan kebiasaan makan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan yang dilakukan secara berulang-ulang atau biasa disebut food consumption behavior. Namun, ada juga yang mendefinisikan sebagai tindakan manusia (what people do or what people practice) terhadap makan dan makanan yang dipengaruhi pengetahuan (what people think), dan perasaan yang dirasakan (what people feel), serta persepsi tentang suatu hal (Khumaidi 1989). Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan adalah perilaku yang berhubungan dengan makan, tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan di dalam anggota keluarga, preferensi terhadap makanan, dan cara-cara memilih bahan makanan. Kebiasaan makan seseorang merupakan kebiasaan keluarganya karena individu tersebut selama tinggal dalam keluarganya mengalami proses belajar. Proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makan ini terjadi seumur hidup, sejak anak lahir, sampai menjadi dewasa dan masih terus berlangsung selama hidupnya. Oleh karena itu, kebiasaan makan seseorang akan sangat kuat bertahan terhadap pengaruh yang mungkin dapat mengubahnya. Kebiasaan makan terbentuk dari empat komponen, yaitu (1) konsumsi makanan (pola makan) meliputi jumlah, jenis, frekuensi, dan proporsi makanan yang dikonsumsi atau komposisi makanan; (2) preferensi terhadap makanan, mencakup sikap terhadap makanan (suka atau tidak suka dan pangan yang belum pernah dikonsumsi); (3) ideologi atau pengetahuan terhadap makanan, terdiri atas kepercayaan dan tabu terhadap makanan; dan (4) sosial budaya makanan meliputi umur, asal, pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian atau pekerjaan, luas pemilikan lahan, dan ketersediaan makanan (Sanjur 1982).
7
Kebiasaan Sarapan Peranan dan Manfaat Sarapan Seseorang sebaiknya makan utama beberapa kali dalam sehari. Secara kuantitas dan kualitas rasanya sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi apabila hanya dari satu atau dua kali makan sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan tidak bisa makan sekaligus dalam jumlah banyak. Hal inilah yang menyebabkan makan dilakukan secara frekuentif yakni 3 kali sehari termasuk makan pagi (Khomsan 2002). Pembagian waktu makan utama dalam sehari meliputi makan pagi (sarapan), siang, dan malam. Sarapan adalah suatu kegiatan penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada hari tersebut, mengingat tubuh tidak mendapatkan makanan selama sekitar 10 jam sejak malam hari. Melakukan sarapan dapat menyumbang 25% dari kebutuhan total energi harian (Khomsan 2002). Ketika
tidur
di
dalam
tubuh
tetap
berlangsung
oksidasi
untuk
menghasilkan tenaga yang diperlukan untuk menggerakkan jantung, paru-paru, dan alat-alat tubuh lainnya. Oksidasi ini akan mempengaruhi kadar glukosa di dalam darah sehingga ketika bangun di pagi hari kadar glukosa darah sudah berkurang. Untuk menaikkan kadar glukosa darah, maka tubuh akan mengambil cadangan hidrat arang dan bila cadangan tersebut habis, maka tubuh akan mengambil dari cadangan lemak. Dalam keadaan seperti ini tubuh tidak akan melakukan pekerjaan dengan baik, sehingga sarapan sangat dianjurkan (Suhardjo 1989). Khomsan (2002) menyatakan bahwa dengan melakukan sarapan dapat menyumbang 25% dari kebutuhan total energi harian. Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00, namun waktu ini bukan acuan keharusan. Sebagai bagian dari pola makan, sarapan dapat disesuaikan dengan ritme dimulainya aktivitas pagi hari. Sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi orang dewasa, sarapan dapat memelihara ketahanan fisik, mempertahankan daya tahan saat bekerja dan meningkatkan produktivitas kerja. Sarapan juga dapat meningkatkan konsentrasi belajar, menyerap pelajaran sehingga prestasi belajarnya pun menjadi lebih baik (Depkes 1996). Menurut Khomsan (2002) terdapat dua manfaat dari sarapan. Pertama, sarapan dapat menyediakan karbohidrat untuk meningkatkan kadar gula darah, sehingga tenaga dan konsentrasi menjadi lebih baik. Kedua, sarapan memberikan kontribusi zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral dari
8
beragam pangan yang dikonsumsi saat sarapan. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya berbagai proses fisiologis dalam tubuh. Proporsi asupan pangan pagi hari berkorelasi negatif dengan asupan pangan total selama sehari. Asupan makanan yang banyak pada malam hari akan berakibat pada meningkatnya glukosa yang disimpan sebagai glikogen. Aktivitas fisik pada malam hari yang rendah menyebabkan glikogen disimpan dalam bentuk lemak (Kusumaningsih 2007). Penelitian yang dilakukan pada Sekolah Menengah Atas di sebuah distrik pedesaan di bagian selatan Norwegia yang dipublikasikan pada Nutrition Journal tanggal 7 Desember 2006. Penelitian diikuti oleh 54 responden berusia 15 tahun dibagi menjadi dua kelompok terdiri dari kelompok kontrol (kelompok yang tidak diberi intervensi sarapan di sekolah selama 4 bulan) dan kelompok intervensi (kelompok yang diberi intervensi sarapan di sekolah selama 4 bulan), hasilnya adalah kelompok intervensi memiliki Indeks Massa Tubuh (status gizi) yang lebih baik setelah diberi intervensi sarapan dibandingkan dengan kelompok kontrol, selain itu frekuensi asupan makan siang pada kelompok kontrol khususnya lakilaki mengalami kenaikan, dan para guru melaporkan pada kelompok intervensi perilaku sosial serta perhatian terhadap mata pelajaran yang diberikan mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa kebiasaan sarapan memiliki dampak besar terhadap kesehatan (Anne et al. 2006). Makanan Sarapan Jenis makanan untuk sarapan dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan dan akan lebih baik bila terdiri dari makanan sumber tenaga, sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang (Depkes 1996). Makan pagi seyogyanya mengandung unsur empat sehat lima sempurna. Ini berarti kita benar-benar telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala aktivitas dengan nutrisi yang lengkap. Hanya saja masalahnya seringkali sayur tidak bisa tersedia secara instan, sehingga makan pagi yang disediakan tanpa sayuran. Namun hal ini tidak menjadi masalah karena fungsi sayuran sebagai penyumbang vitamin dan mineral bisa digantikan oleh buah (Khomsan 2002). Minum susu di pagi hari sangat baik karena susu selain sebagai sumber vitamin dan mineral juga kaya akan lemak, apabila kita mengkonsumsi lemak maka akan relatif lebih tahan lapar. Di dalam tubuh lemak dicerna lebih lama daripada karbohidrat dan protein. Sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari nasi, sayur/buah, lauk pauk dan susu, dapat memenuhi kebutuhan
9
akan vitamin dan mineral. Berikut disajikan daftar kandungan gizi beberapa jenis makanan sarapan (Khomsan 2002). Tabel 1 Kandungan gizi sarapan per 100 g Sarapan
Energi (kkal)
Protein (g)
Beras
335
6.2
Mie
339
10.0
Ayam goreng
300
34.2
Abon
212
18.0
Telur dadar
251
16.3
Burger
276
12.8
Kornet
241
16.0
Sosis
452
14.5
Tahu
68
7.8
Tempe
149
18.3
Pada saat sarapan sebaiknya mengkonsumsi makanan lengkap yakni yang mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Menurut Depkes (2001) konsep makan pagi yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan pemberian makanan sebagi berikut: 1) Sumber karbohidrat, yaitu nasi, roti, makaroni, kentang, tepung beras, tepung maizena, tepung kacang hijau, jagung, singkong, dan ubi. 2) Sumber protein, yaitu susu, daging, ikan, ayam, hati, tahu, tempe, keju, kacang hijau, dan lain-lain. 3) Sumber vitamin dan mineral, yaitu dari sayuran seperti wortel, bayam, kangkung, labu siam, buncis, buah-buahan: misalnya pepaya, jambu biji, air jeruk, melon, alpukat, dan lain-lain. Fungsi-fungsi dari zat gizi antara lain sebagai berikut (Depkes 2001): 1) Karbohidrat berfungsi sebagai sumber tenaga, 2) Protein berfungsi sebagai sumber pembangun, 3) Lemak berfungsi sebagai sumber tenaga dan pelarut vitamin A, D, E, dan K, 4) Vitamin berfungsi sebagai sumber pengatur, 5) Mineral berfungsi sebagai zat pengatur dan zat pembangun, 6) Air berfungsi dalam proses pencernaan makanan. Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi.
10
Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2009). Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga. Konsumsi pangan keluarga dapat dilihat dari aspek kuantitas dan kualitasnya. Aspek kuantitas berkaitan dengan jumlah zat gizi yang dianjurkan, sedangkan aspek kualitas berkaitan dengan keragaman dan jenis konsumsi pangan dan nilai mutu gizinya (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama (2006) konsumsi makanan adalah faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang. Konsumsi makanan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi (Sanjur 1982). Menurut Kusharto dan Sa’adiyah (2006) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, informasi tentang jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Survei diet atau penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supariasa et al. 2001). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM), dan Daftar Peyerapan Minyak (Supariasa et al. 2001). Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah metode mengingat-ingat 24 jam (recall method). Prinsip
11
dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam lalu. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Metode food recall adalah metode penilaian konsumsi pangan, dimana pewawancara menanyakan apa yang telah dikonsumsi oleh responden. Wawancara dilakukan berdasarkan suatu daftar pertanyaan atau kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Ditanyakan dengan lengkap apa yang telah dikonsumsi ketika makan pagi, siang, malam, dan selingan atau makanan kecil di luar waktu makan. Tanggal dan waktu makan serta besar porsi setiap makanan dicatat dengan teliti. Hasil pencatatan wawancara kemudian diolah, dikembalikan kepada bentuk bahan mentah dan dihitung zat-zat gizinya berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang berlaku. Jumlah masing-masing zat gizi dijumlahkan dan dihitung rata-rata konsumsi setiap hari (Sediaoetama 2006). Kecukupan Energi dan Zat Gizi Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya (Sediaoetama 2006). Pada saat remaja kebutuhan zat gizi meningkat karena terjadinya proses pertumbuhan yang cepat dan aktivitas fisik yang tinggi (Almatsier 2009). Oleh karena itu, kebutuhan gizi harus tercukupi secara baik. Tingkat kecukupan zat gizi individu dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupannya. Kecukupan zat gizi secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.
12
Tabel 2 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja dan dewasa awal Zat Gizi
Perempuan (tahun)
Laki-laki (tahun)
13-15
16-18
19-29
13-15
16-18
19-29
2350
2200
1900
2400
2600
2550
57
55
50
60
65
60
1000
1000
800
1000
1000
800
Besi (mg)
26
26
26
19
15
13
Vit A (RE)
600
600
500
600
600
600
Vit E (mg)
15
15
15
15
15
15
Vit B1 (mg)
1.1
1.1
1.0
1.2
1.3
1.3
Vit C (mg)
65
75
75
75
90
90
Folat (mg)
400
400
400
400
400
400
Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (mg)
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) Energi Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total. Selain itu, energi juga diperlukan untuk fungsi lain seperti mencerna, mengolah, dan menyerap makanan dalam alat pencernaan (Soekirman 2000). Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Gejala yang ditimbulkan adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat, dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi. Kelebihan energi dapat menyebabkan kegemukan dan menyababkan gangguan dalam fungsi tubuh. Makanan sumber energi diantaranya didapatkan dari sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian, dan gula murni (Almatsier 2009). Protein Protein adalah salah satu sumber energi bersama-sama dengan karbohidrat dan lemak. Protein berfungsi sebagai zat pembangun, berfungsi dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati (Sediaoetama 2006). Kekurangan protein biasanya diikuti dengan kekurangan energi. Dibutuhkan peningkatan konsumsi bahan makanan hewani dan nabati sumber protein yang baik seperti telur, daging, ikan, kerang, dan kacangkacangan. Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas (Almatsier 2009). Menurut Khumaidi (1989) kecukupan protein akan terpenuhi apabila kecukupan energi telah terpenuhi karena
13
sebanyak apapun protein akan dibakar menjadi panas dan tenaga apabila cadangan energi masih dibawah kebutuhan. Besi Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang essensial bagi tubuh. Zat besi terutama diperlukan dalam hemopobesis (pembentukan darah) yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb) (Sediaoetama 2006). Kekurangan zat besi dapat menurunkan kekebalan individu, sehingga sangat peka terhadap serangan bibit penyakit. Hal ini berhubungan erat dengan menurunnya fungsi enzim pembentuk antibodi (Suhardjo & Kusharto 1988). Kekurangan zat besi juga dapat berpengaruh negatif terhadap fungsi otak yaitu menurunnya daya konsentrasi atau daya ingat. Sumber zat besi diperoleh dari makanan hewani seperti daging, ayam, ikan, telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah (Almatsier 2009). Vitamin A Sumber vitamin A terdapat di dalam pangan hewani seperti hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya) dan mentega, sedangkan karoten terdapat di dalam sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan seperti pepaya, nangka masak, dan jeruk. Vitamin A termasuk kedalam vitamin larut lemak yang berfungsi dalam proses penglihatan, metabolisme umum, dan proses reproduksi. Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, berperan dalam pembentukan sel darah merah yang kemungkinan melalui interaksi dengan besi (Almatsier 2009). Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan tulang gigi. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan Xerophtalmia yaitu sekresi air mata berhenti sehingga bola mata menjadi kering (Suhardjo & Kusharto 1988). Vitamin C Vitamin C termasuk kedalam vitamin larut air yang berfungsi dalam mekanisme imunitas dalam rangka daya tahan tubuh terhadap berbagai serangan penyakit dan toksin. Pada umumnya tubuh menahan vitamin C sangat sedikit. Kelebihan vitamin C dibuang melalui air kemih. Salah satu fungsi vitamin C berkaitan dengan pembentukan kolagen yang berperan dalam penyembuhan luka, patah tulang, perdarahan di bawah kulit, dan perdarahan gusi. Sumber vitamin C umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam diantaranya jeruk, nenas, pepaya, dan tomat (Almatsier 2009). Kekurangan vitamin C menyebabkan timbulnya penyakit
14
skorbut yang ditandai dengan gusi bengkak dan berdarah, rasa sakit dan kaku pada sendi-sendi, tulang rapuh, pendarahan lapisan di bawah kulit, dan kelemahan otot-otot (Suhardjo & Kusharto 1988). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah kegiatan yang menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegiatan fisik seperti berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik menentukan energi yang berbeda menurut lamanya intensitas dan sifat kerja otot (FKM-UI 2007). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik seperti berjalan kaki, berenang, dan naik sepeda pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur (Kosnayani 2007). Wirakusumah (2003) menyatakan bahwa berolahraga secara teratur dengan memperhatikan kontinuitas, frekuensi (sebaiknya 3-4 kali seminggu), durasi (30-45 menit setiap kali berolahraga), intensitas (olahraga harus menghasilkan keringat tanpa terengah-engah serta tidak menimbulkan perasaan lelah tetapi menimbulkan perasaan segar), gerakan (kombinasi gerakan yang dinamis yang tidak telampau cepat, regangan/stretching, gerakan melayukan lengan, serta menggeletarkan jari-jari tangan serta gerakan pernapasan), dan jenis olahraga (renang atau bersepeda secara perlahan-lahan, treadmill atau jogging, dan senam). Biasakan berlari kaki sedikitnya 3 kali seminggu selama paling sedikit 30 menit. Kendala saat memulai berolahraga biasanya adalah adanya perasaan malu atau tidak terbiasa karena di sekitar rumah jarang orang yang melakukan aktivitas olahraga. Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang (Wirakusumah 2003). Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur mempunyai dampak positif yang dapat dikategorikan menjadi: 1) Fisiologi/Biologi, yaitu pengaturan dan pengurangan berat badan dan lemak tubuh, pemeliharaan lean musle mass, pengontrolan tekanan darah, perbaikan profil lipid darah, pengontrolan glukosa darah, peningkatan kapasitas respirasi dan kardiovaskuler, dan perbaikan lainnya yang terkait dengan penurunan massa tulang; 2) Psikososial, yaitu meningkatnya image dan harga diri, turunnya depresi, stress, dan insomnia, penurunan konsumsi obat, dan peningkatan sosialisasi dalam populasi; 3) Kognitif, yaitu memberikan hasil yang lebih baik dalam berkonsentrasi, daya ingat, respon, dan
15
aspek kognitif keseluruhan, serta penurunan resiko penyakit Parkinson’s dementia, senile dementia dan Alzheimer’s; 4) Industri dan pekerjaan, yaitu penurunan dan pergantian pekerja, peningkatan image perusahaan, dan penurunan biaya perawatan kesehatan, absensi kerja, serta stress karena kerja, 5) Sekolah, yaitu perbaikan aspek akademik dan hubungan antara orangtua dan guru, turunnya absensi dan resiko gangguan perilaku, pencegahan terhadap kenakalan anak, alkoholik, dan penyalahgunaan zat kimia, serta peningkatan rasa tanggung jawab (Freire 2005 dalam Armandi 2010). Menurut FAO/WHO/UNU (2001) aktivitas fisik adalah variabel utama setelah Angka Metabolisme Basal (AMB) atau basal metabolic rate (BMR) dalam penghitungan pengeluaran energi. Menurut Almatsier (2009) AMB dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam tingkat aktivitas fisik atau physical activity (PAL) yang merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus (FAO/WHO/UNU 2001) sebagai berikut: PAL = ∑(PAR x alokasi waktu tiap aktivitas)/24 jam Keterangan : PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PAR : Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu) Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut : 1) Sangat ringan dengan nilai PAL <1.4; 2) Ringan dengan nilai PAL 1.40-1.69; 3) Sedang dengan nilai PAL 1.70-1.99; 4) Berat dengan nilai PAL >1.99 (FAO/WHO/UNU 2001). Seseorang dikatakan beraktivitas ringan (sedentary) bila tidak banyak melakukan kerja fisik, tidak dianjurkan berjalan jauh, umumnya menggunakan alat transportasi, tidak latihan atau berolahraga secara teratur, menghabiskan waktu senggangnya dengan duduk dan berdiri dengan sedikit bergerak. Pada kategori sedang adalah orang yang tidak terlalu banyak menggunakan energi, namun lebih banyak mengeluarkan energi daripada yang beraktivitas ringan. Kemungkinan juga adalah orang yang tergolong beraktivitas ringan namun memiliki waktu untuk beraktivitas sedang hingga berat yang teratur seperti jogging, berlari, dan aerobik yang dapat meningkatkan PAL dari 1.55 (ringan) menjadi 1.75 (sedang). Kategori berat adalah orang yang tergolong beraktivitas berat bila orang tersebut dalam kesehariannya melakukan aktivitas yang
16
mengeluarkan banyak energi seperti berenang dan menari selama 2 jam, mencangkul, berjalan kaki dengan beban yang berat (FAO/WHO/UNU 2001). Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang tersebut bisa diukur dan dinilai. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik ataukah tidak baik (Riyadi 2006). Supariasa et al. (2001) menyatakan status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Status gizi dipengaruhi oleh faktor langsung seperti intake makanan dan status kesehatan. Kedua faktor tersebut saling tergantung satu sama lainnya. Kemudian determinan tidak langsung dari status gizi, yaitu ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi 2001). Menurut Supariasa et al. (2001) ada beberapa cara yang digunakan untuk menilai status gizi, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung, yaitu penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung, yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. IMT (Indeks Massa Tubuh) atau status gizi berdasarkan umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik yang dapat digunakan pada remaja. Keuntungan mendapatkan IMT berdasarkan umur yaitu dapat digunakan untuk remaja muda. IMT berhubungan dengan kesehatan dan dapat dibandingkan dengan baik terhadap hasil pemeriksaan laboratorium atau pengukuran lemak tubuh. Selain menggabungkan indeks BB/TB dengan umur, indikator ini juga telah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total bagi mereka yang berada di atas persentil yang normal. Indikator ini juga memberikan data dengan kualitas tinggi dan berkesinambungan dengan indikator yang direkomendasikan untuk dewasa (Heryanti 2009). Indeks massa tubuh (IMT) diperoleh berdasarkan perhitungan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m) kuadrat, sehingga diperoleh satuan untuk IMT adalah kg/m2.
17
Secara umum status gizi diukur secara antropometri yang artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa et al. 2001). Tabel 3 Status gizi menurut WHO (2007) 2
IMT (kg/m ) <18.5 18.5-24.9 25.0-29.9 30.0-39.9 >40.0
Status gizi Kurus Normal Gizi lebih Obes Sangat Obes
Peningkatan IMT berhubungan dengan penurunan aktivitas fisik jangka panjang, dimana antara IMT dan aktivitas fisik memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Kurang aktivitas fisik dapat meningkatkan IMT. Peningkatan IMT juga berhubungan dengan peningkatan resiko dari kondisi orthopaedic, CVD (cardiovaskuler disease), dan diabetes tipe II yang dapat menurunkan kemampuan untuk beraktivitas/latihan (Weiss et al. 2007). Faktor Sosial Ekonomi Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi sehingga ada hubungan antara jenis kelamin dan status gizi. Perbedaan jenis kelamin memiliki peran dalam perilaku penurunan berat badan. Remaja putri lebih aktif dalam perilaku penurunan berat badan dibandingkan dengan remaja putra. Banyak remaja putri menganggap dirinya kegemukan sehingga melakukan penurunan berat badan dengan cara yang tidak sehat seperti diet yang berlebihan, puasa menggunakan laksatif, dan memuntahkan makanan (Shills et al. 2006). Uang Saku Pada remaja yang memiliki uang saku, Mardayanti (2008) menyatakan bahwa remaja yang telah diberi kepercayaan untuk mengelola uang sakunya sendiri untuk memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri keuangannya dan lebih bebas untuk menentukan apa yang dimakan. Rata-rata uang saku yang diterima untuk makanan sebesar 34.7%, untuk bukan makanan sebesar 60.7%, dan sisanya 4.6%. Pengeluaran untuk pangan yang lebih banyak tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan karena kadang-kadang perubahan yang terjadi pada kebiasaan makan adalah harga pangan yang tinggi (Suhardjo 1989).
18
Alokasi uang saku yang dikeluarkan bukan untuk makanan tetapi untuk transportasi, membeli hadiah, buku, dan pakaian. Semakin besar uang saku yang diterima tidak mempengaruhi konsumsi energi dan zat gizi (Mardayanti 2008). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prabandari (2010) tentang alokasi uang saku pada mahasiswa menyimpulkan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka semakin besar uang saku yang diterima oleh mahasiswa. Pendidikan Orang Tua Pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi keluarga untuk mendukung pengetahuan seseorang dalam menerima informasi yang pada akhirnya dapat membentuk perilakunya dan merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan keadaan gizi anak. Rahmawati (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Pendidikan dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dalam berbagai hal. Misalkan pekerjaan tersedia, seseorang yang memiliki pendidikan biasanya dapat masuk ke golongan pekerjaan yang diupah lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak memiliki pendidikan (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi khususnya tentang makanan yang baik untuk kesehatan. Tetapi pendidikan yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan yang memadai tentang gizi (Suhardjo 1989). Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Selain itu, menurut Madanijah (2004) terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pekerjaan Orang Tua Jenis pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan yang diterima. Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima. Ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarga. Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan rumah tangga. Faktor kesibukan
19
ibu, khususnya yang bekerja seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat sarapan (Suhardjo 1989). Penelitian yang dilakukan Rohayati (2001) pada anak sekolah di propinsi NTT, diketahui bahwa pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan anak. Hal ini disebabkan karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu untuk keluarga. Pendapatan Orang Tua Martianto dan Ariani (2004) menjelaskan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging. Pendapatan menentukan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan mengakibatkan terjadinya perubahanperubahan dalam susunan makanan. Menurut Firlie (2001) pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli. Besar Keluarga Menurut Berg (1986) besar keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar jika daripada pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi. Sediaoetama (2006)
20
menyatakan bahwa pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi pemenuhan gizi anggota keluarga terutama keluarga miskin. Suhardjo et al. (1988) menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi dari keluarga tersebut.