TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang umumnya dimulai pada usia dua belas atau tiga belas tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai. Perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan. Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia, Olds & Feldman 2008). Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2008), peralihan dari anak-anak menuju dewasa meliputi perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan kepribadian dan sosial. Tugas utama seorang remaja adalah pencarian identitas atau jati diri yang meliputi kepribadian seksual dan pekerjaan. Secara umum masa remaja ditandai dengan fase pubertas, yaitu suatu proses saat seseorang mencapai kematangan seksual dan memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Matangnya sistem reproduksi pada remaja laki-laki ditandai dengan mimpi basah (noctoral emissions) dan pada remaja perempuan mengalami menstruasi pertama (menarche). Perubahan ini biasanya terjadi tiga tahun lebih cepat pada remaja perempuan daripada remaja laki-laki. Masa awal remaja ialah suatu periode ketika konflik dengan orangtua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perubahan biologis, pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan dan harapanharapan pada orangtua (Santrock 2007). Papalia, Olds dan Feldman (2008) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja berada di pertigaan antara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisispasi dalam masyarakat dewasa. Tugas
10
penting yang dihadapi para remaja ialah mengembangkan persepsi identitas diri (sense of individual identity). Mencari identitas diri mencakup hal memutuskan apa yang penting dan patut dikerjakan serta memformulasikan standar tindakan dalam mengevaluasi perilaku dirinya dan juga perilaku orang lain. Hal ini mencakup juga perasaan harga diri dan kompetensi diri (Atkinson et al 1983). Atkinson juga mengemukakan suatu studi yang menemukan bahwa sebagian besar mahasiswa perguruan tinggi tahun pertama masih berjuang dengan masalah pembentukan identitas, tetapi dalam tahun terakhir banyak masalah yang dapat diatasi. Kecerdasan Emosional Emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman 2004). Menurut Goleman (2004), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, atau emosi sedih yang mendorong seseorang untuk berperilaku menangis. Shapiro (1998) menyatakan bahwa istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan Salovey (1990) untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain adalah empati, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat. Menurut Salovey dan Mayer (1990) dalam Shapiro (1998), kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan emosi sendiri dan orang lain, serta menggunakan emosi tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional dimiliki oleh seseorang sejak lahir. Perkembangan kecerdasan emosional dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya seperti keluarga, lingkungan bermain, sekolah, dan sebagainya. Menurut Goleman (2004), kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi
11
kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Lebih lanjut Goleman (2004) menjelaskan, dengan kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang ia harus mampu menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, mengatur suasana hati, mengatur kehidupan emosi dengan inteligensi, serta menjaga keselarasan emosi dengan pengungkapannya. Selanjutnya Goleman (2004) membagi kecerdasan emosional ke dalam lima kemampuan utama, yaitu kesadaran emosi diri, pengelolaan emosi diri, kemampuan memotivasi diri, kemampuan empati, dan seni membina hubungan. Kesadaran Emosi Diri Kesadaran emosi diri adalah kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Kesadaran diri merupakan kemampuan mengenali perasaan dan menyusun kosakata untuk perasaan itu dan melihat kaitan antara gagasan, perasaan dan reaksi, mengetahui kapan pikiran atau perasaan menguasai keputusan, melihat akibat pilihan alternatif dan menerapkan pemahaman ini pada keputusan tentang suatu masalah. Kesadaran diri juga dapat berupa kemampuan mengenali kekuatan serta kelemahan dan melihat diri sendiri dalam sisi yang positif tetapi realistis (Goleman 2004). Pengelolaan Emosi Diri Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, dimana hal ini sangat bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur
diri
sendiri,
melepaskan
kecemasan,
kemurungan
atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. Pengelolaan emosi ini juga berarti kemampuan menahan diri terhadap kepuasan berlebihan dan dapat mengendalikan dorongan hati (Goleman 2004). Kemampuan Memotivasi Diri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri serta untuk berkreasi. Seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam
12
menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya, menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif, dan bertindak secara efektif apabila memiliki kemampuan untuk memotivasi diri. Individu yang memiliki kemampuan memotivasi tinggi akan memiliki daya juang atau semangat yang lebih tinggi dalam mencapai citacita dan tidak mudah putus asa serta memiliki kepercayaan yang tinggi dalam menghadapi dan memecahkan masalah (Goleman 2004). Kemampuan Empati Kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengenali emosi orang lain. Menurut Goleman (2004), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kepada emosi diri sendiri semakin terampil membaca perasaan. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Goleman (2004) menyatakan, berempati lebih dari sekedar bersimpati pada orang lain, berempati adalah menempatkan diri pada posisi orang lain secara emosional. Empati juga digunakan sebagai salah satu syarat untuk membangun hubungan dengan orang lain. Seni Membina Hubungan Kemampuan
dalam
membina
hubungan
merupakan
keterampilan
mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan,
dan
keberhasilan
antar
pribadi.
Kemampuan
sosial
memungkinkan seseorang membentuk hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, serta membuat orang lain merasa nyaman. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Kemampuan membina hubungan ditandai dengan kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan
13
lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia (Goleman 2004). Kematangan Sosial Manusia sebagai makhluk sosial, senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya dalam masyarakat. Sosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri terhadap kehidupan sosial, yaitu bagaimana seharusnya seseorang hidup di dalam kelompoknya, baik dalam kelompok primer (keluarga) maupun kelompok sekunder (masyarakat). Proses sosialisasi dan interaksi sosial dimulai sejak manusia lahir dan berlangsung terus hingga ia dewasa atau tua. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan sosial merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial dimulai dari tingkat yang sederhana dan terbatas sampai pada tingkat yang luas dan kompleks. Semakin dewasa dan bertambah usia, tingkat hubungan sosial juga berkembang menjadi amat luas dan kompleks (Fatimah 2006). Teori psikologi telah mengungkapkan bahwa manusia tumbuh dan berkembang dari masa bayi ke masa dewasa melalui beberapa langkah, tahapan, dan jenjang. Kehidupan seseorang pada dasarnya merupakan kemampuan berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sosial budayanya. Pada proses interaksi sosial ini, faktor intelektual dan emosional mengambil peran yang sangat penting. Proses sosial tersebut merupakan proses sosialisasi yang menempatkan anak-anak sebagai individu yang secara aktif melakukan proses sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi. Sebab, manusia tumbuh dan berkembang di dalam konteks lingkungan sosial budaya. Lingkungan itu dapat dibedakan atas lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Lingkungan sosial memberi banyak pengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak, terutama kehidupan sosiopsikologis (Fatimah 2006). Menurut Goleman (2007), kematangan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda. Terdapat dua unsur kecerdasan sosial, yaitu kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kesadaran sosial adalah kemampuan untuk dapat merasakan keadaan batiniah seseorang sampai memahami perasaan dan pikirannya. Kemampuan kesadaran sosial meliputi empati dasar, kemampuan mendengarkan, ketepatan empatik, dan
14
pengertian sosial. Sementara itu fasilitas sosial adalah kemampuan yang bertumpu pada kesadaran sosial untuk memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif. Fasilitas sosial meliputi sinkroni, presentasi diri, pengaruh, dan kepedulian. Sinkroni memungkinkan seseorang untuk bergerak atau berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal. Goleman menjelaskan bahwa singkroni adalah batu fondasi yang menjadi landasan dibangunnya aspek-aspek lain. Presentasi diri merupakan kemampuan menampilkan diri sendiri untuk menghasilkan kesan yang dikehendaki. Pengaruh melibatkan pengungkapan diri dengan cara yang menghasilkan hasil sosial yang diinginkan, seperti membuat orang merasa nyaman. Sementara kepedulian adalah merasa peduli terhadap kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Hatch dan Gardner (Goleman 2006) mengemukakan dasar-dasar kecerdasan
sosial
terdiri
dari
kemampuan
mengorganisir
kelompok,
merundingkan perpecahan, mengelola hubungan pribadi, dan kemampuan analisis sosial. Goleman (2007) menjelaskan bahwa keterampilan sosial seseorang akan matang apabila memiliki kemampuan empati dan manajemen diri yang baik. Kemampuan untuk mendapat perhatian melalui cara yang secara sosial diterima merupakan kematangan sosial sebagai prestasi perkembangan sosialnya. Kemampuan untuk bersama-sama dalam suatu pertemanan dan kelompok merupakan manifestasi kematangan emosional dan sosial. Hal tersebut merupakan hasil dari serangkaian keterampilan mengetahui dan memenuhi harapan-harapan sosial yang diembankan kepadanya, disertai dengan kemampuan mengelola emosi yang tepat kepada orang-orang di sekitarnya (Sunarti 2004). Erikson dalam Fatimah (2006) mengemukakan bahwa perkembangan remaja sampai jenjang usia dewasa melalui delapan tahapan. Perkembangan remaja berada pada tahap keenam dan ketujuh, yaitu masa menemukan jati diri. Dalam hal ini, Erikson berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh pengaruh sosiokultural. Kebutuhan untuk dapat diterima oleh lingkungan bagi setiap individu merupakan suatu hal yang sangat mutlak sebagai makhluk sosial. Kelley et al dalam Sears et al (1985) mengemukakan beberapa faktor yang berhubungan dengan suatu hubungan, yaitu keyakinan, perasaan, dan perilaku.
15
Studi-studi kontemporer tentang remaja menunjukkan hubungan yang positif dengan teman sebaya diasosiasikan dengan penyesuaian sosial yang positif. Menurut Fatimah (2006), pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Penetapan pilihan kelompok yang diikuti, didasari oleh berbagai pertimbangan, seperti moral, ekonomi, minat, dan kesamaan bakat dan kemampuan. Masalah yang umum dihadapi oleh para remaja dan paling rumit adalah faktor penyesuaian diri. Sering terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut yang disebabkan oleh menonjolnya kepentingan pribadi masing-masing. Sekalipun demikian di dalam kelompok itu terbentuk suatu persatuan dan rasa solidaritas yang kuat yang diikat oleh nilai dan norma kelompok yang telah disepakati bersama. Nilai positif dalam kehidupan kelompok adalah tiap-tiap anggota belajar berorganisasi, memilih pemimpin, dan mematuhi peraturan kelompok. Kehidupan sosial pada jenjang usia remaja yang di dalamnya termasuk mahasiswa ditandai oleh menonjolnya fungsi intelektual dan emosional. Mereka dapat mengalami hubungan sosial yang bersifat tertutup ataupun terbuka seiring dengan masalah pribadi yang dialaminya (Fatimah 2006). Keadaan ini oleh Erikson (Lefton 1982 dalam Fatimah 2006) dinyatakan sebagai krisis identitas diri. Proses pembentukan identitas diri dan konsep diri merupakan sesuatu yang kompleks. Konsep diri ini tidak hanya terbentuk dari bagaimana remaja percaya tentang keberadaan dirinya, tetapi juga dari bagaimana orang lain menilai tentang keberadaan dirinya. Sears et al (1985) menyatakan bagi banyak mahasiswa, ketegangan yang muncul pada awal kuliah di perguruan tinggi yang bercampur dengan kesepian sementara disebabkan perpisahan dengan teman dan keluarga, serta kecemasan tentang kehidupan sosial yang baru. Mahasiswa memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengatasi kesepian bila mereka memulai tahun kuliahnya dengan harapan positif bahwa mereka akan berhasil mendapatkan teman dan bila mereka mempunyai penilaian yang baik mengenai kepribadian dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, optimisme dan harga diri yang tinggi merupakan unsur signifikan dalam usaha menciptakan kehidupan sosial yang memuaskan di perguruan tinggi. Perkembangan sosial dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
16
lain keluarga, status sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental, terutama emosi dan inteligensi. Self-Esteem Self-Esteem diperlukan seseorang dalam menjalin suatu hubungan. Selfesteem adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri, disebut juga harga diri atau gambaran diri (Santrock 2003). Bustanova (2008) menyatakan bahwa selfesteem adalah penilaian seseorang secara umum terhadap dirinya sendiri, baik berupa penilaian positif maupun penilaian negatif yang akhirnya menghasilkan perasaan bahwa diri berharga dan berguna dalam menjalani kehidupan. Individu dengan self-esteem yang tinggi akan mampu mengekspresikan diri dengan baik serta percaya pada persepsi dan dirinya sendiri. Harter dalam Brooks (2001) menyatakan dua hal yang mempengaruhi selfesteem, yaitu: 1) dukungan dan perlakuan positif yang diterima dari orangtua pada tahun-tahun pertama, dan 2) hal terpenting terbentuknya self-esteem adalah pada usia delapan tahun, dimana menurut teori psikososial Erikson pada masa itu anak berada pada tahap industry vs inferiority. Pada tahap industry vs inferiority, anak mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan. Jika anak gagal melewati tahap ini dengan baik, maka akan timbul perasaan yang memandang dirinya tidak produktif dan tidak kompeten (Santrock 2007). Menurut Erikson dalam Megawangi (2007), konsep diri yang positif atau bagaimana remaja menilai dirinya, akan meningkatkan tingkat kepercayaan diri (self-esteem) remaja. Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya (Fatimah 2006). Papalia, Olds dan Feldman (2008) mengemukakan bahwa sepanjang masa remaja, sebagian besar harga diri berkembang dalam konteks hubungan dengan teman sebaya, khususnya yang berjenis kelamin sama. Sejalan dengan pandangan Giligan, harga diri pria tampaknya dikaitkan dengan pergulatan prestasi individual, sedangkan harga diri wanita lebih tergantung pada koneksi dengan orang lain. Beberapa peneliti menyatakan bahwa remaja perempuan memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Harga diri dan kepercayaan
17
remaja perempuan cukup tinggi hingga usia 11 atau 12 tahun dan kemudian cenderung menurun. Prestasi Akademik Prestasi akademik merupakan salah satu ukuran tingkat inteligensi. Prestasi akademik dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu (Ridwan 2008). Wechler dalam Fatimah (2006) merumuskan inteligensi sebagai keseluruhan kemampuan individu dalam berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Lebih lanjut, Fatimah menjelaskan bahwa daya pikir seseorang berkembang sejalan dengan pertumbuhan syaraf otaknya. Karena daya pikir menunjukkan fungsi otak, kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya secara baik. Aktivitas otak yang disadari seperti berpikir (thinking), menjelaskan (reasoning), membayangkan (imagining), mempelajari kata (learning words) dan menggunakan bahasa (using language) berhubungan dengan berkembangnya aspek kognitif (Webster 1993 dalam Hastuti 2006). Menurut Piaget dalam Papalia, Olds dan Feldman (2008), perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal. Mappiare (1982) dalam Fatimah (2006), menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi perkembangan inteligensi sebagai berikut: a. Bertambahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang, sehingga ia mampu berpikir reflektif. b. Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan dalam memecahkan masalah sehingga seseorang dapat berpikir rasional. c. Adanya kebebasan berpikir, sehingga mendorong keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah
18
secara keseluruhan, dan keberanian memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar. Ketiga kondisi tersebut sesuai dengan dasar-dasar dari teori Piaget mengenai perkembangan inteligensi. Dalam pandangan Piaget (Santrock 2003), remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru. Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat memberikan kepuasan emosional dan dapat diukur dengan alat atau tes tertentu. Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu. Pada tingkat perguruan tinggi, pencapaian hasil belajar atau prestasi akademik dapat dilihat dari indeks prestasi yang diperoleh setiap semesternya (Abdullah 2008).