TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja ( adolescence) menunjukkan suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa, yang ditandai oleh perubahanperubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini dibedakan atas tiga, yaitu usia 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir (Mar’at 2009). Masa remaja merupakan masa pencarian identitas dimana sering terjadi trial and error. Pada masa ini remaja mengalami tekanan yang hebat dari teman sebaya dan media khususnya yang berkaitan dengan body image. Remaja membutuhkan gizi yang tinggi dan pemilihan makanan selama masa remaja sangat mempengaruhi kesehatan, baik saat ini maupun untuk masa yang akan datang (Sizer & Whitney 2000). Remaja adalah periode pematangan pikiran dan tubuh. Seiring dengan pertumbuhan fisik pada masa pubertas terjadi perkembangan emosional dan intelektual yang sangat cepat. Pada masa remaja awal, remaja memiliki karakteristik sebagai berikut: sibuk dengan citra tubuh, menghormati orang dewasa dan cemas tentang hubungan peer. Remaja pada tahap ini bersedia untuk melakukan atau mencoba sesuatu yang membuat mereka terlihat lebih baik dan meningkatkan citra tubuh mereka (Mahan & Escoot 2004). Masa remaja merupakan periode penting dimana berlangsung perubahan biologis, sosial dan kognitif. Remaja memiliki kebutuhan gizi yang khusus karena memiliki pertumbuhan yang cepat (massa tubuh, massa lemak, mineralisasi tulang) dan perubahan kedewasaan yang berhubungan dengan masa pubertas. Survei gizi yang dilakukan menunjukkan bahwa banyak remaja tidak memenuhi rekomendasi diet yang sesuai untuk kelompok usia mereka dan memiliki asupan makanan yang kurang kalsium, besi, riboflavin, vitamin A dan vitamin C serta beberapa remaja memiliki masalah dengan kelebihan pola makan dan obesitas (Bowman & Russell 2001). Remaja adalah suatu periode di mana terjadi kematangan seksual dan tubuh mencapai bentuk dewasa yang sudah tetap. Suatu kecenderungan kearah pertambahan tinggi dan berat badan. Masalah medis pada masa remaja meliputi kelebihan dan kekurangan gizi, kadang-kadang berhubungan dengan kebiasaan
makan yang ditentukan oleh tekanan sosial bukannya oleh tidak adanya makanan yang memadai di rumah (Behrman 1988). WHO (2005) menyatakan bahwa kerangka konseptual dan faktor penyebab masalah gizi pada remaja adalah kurang konsumsi pangan, faktor gaya hidup, penyakit infeksi dan masalah kesehatan lainnya. Kurang konsumsi pangan disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor psikologi dan faktor sosial ekonomi. Faktor psikologi adalah pola makan, kebiasaan makan, gangguan makan dan faktor sosial ekonomi seperti akses terhadap pangan dan ketersediaan pangan. Kurang konsumsi pangan menyebabkan kekurangan zat gizi makro dan mikro serta berbagai penyakit kronik yang menyertainya. Karakteristik Keluarga Keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (BKKBN 2009). Karakteristik keluarga remaja putri dalam penelitian ini terdiri dari: besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan pendapatan orangtua. Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang bahkan persepsi terhadap suatu masalah (Sumarwan 2004). Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan
6
mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang dalam menerima informasi (Hidayat 2004 dalam Fitriadini 2010). Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pendidikan orangtua juga berpengaruh terhadap tingkat pemahaman terhadap perawatan kesehatan, higiene dan kesadaran terhadap kesehatan anak dan keluarga (Sukandar 2007). Pekerjaan Orangtua Bekerja dimaksudkan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan dalam suatu jangka waktu tertentu dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk menghasilkan/mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa, maupun ide (Santrock 2007). Pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik seseorang yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dan akhirnya akan mempengaruhi pendapatan yang diterimanya (Sumarwan 2004). Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima (Suhardjo 1989). Pendapatan Orangtua Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari hasil pekerjaan yang dilakukannya. Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Penurunan daya beli akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan (Sukandar 2007). Status ekonomi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, hal ini dapat terlihat saat anak dengan sosial ekonomi tinggi tentunya pemenuhan kebutuhan gizinya sangat cukup baik dibandingkan anak dengan sosial ekonomi rendah (Hidayat 2004 dalam Fitriadini 2010). Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo 1993). Pengetahuan diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan non-formal.
Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh (Camire & Dougherty 2005 dalam Emilia 2008). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi seseorang. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati & Fachrurozi 1992 dalam Khomsan et al. 2007). Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1985). Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi. 3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Individu yang memiliki pengetahuan yang baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan, sehingga konsumsi pangan mencukupi kebutuhan (Nasoetion & Khomsan 1995). Menurut Williams (1993) dalam Khomsan et al (2007), masalah yang menyebabkan gizi salah adalah tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Pada usia belasan masih sering dijumpai pengertian yang kurang tepat mengenai kontribusi gizi dari berbagai makanan. Oleh karena itu timbullah penyakit gizi salah yang merugikan kecerdasan dan produktivitas. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara terstruktur dengan kuesioner. Menurut Madanijah (2004), kedalaman pertanyaan disesuaikan dengan karakteristik responden. Jawaban dinilai dengan skor yaitu tahu/tidak tahu, kurang tepat/tahu dengan tepat, tidak tahu/kurang tahu/tahu. Penilaian tingkat pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan cara: a. Nilai/skor setiap jawaban dijumlahkan b. Pengkategorian tingkat pengetahuan gizi adalah: •
Baik : >80% jawaban benar
8
•
Cukup : 60-80% jawaban benar
•
Kurang: <60% jawaban benar. Kebiasaan Makan Makanan merupakan kebutuhan vital yang diperlukan oleh seluruh tubuh
makhluk hidup. Bagi manusia makanan tidak hanya berfungsi untuk mengenyangkan, tetapi yang lebih penting lagi adalah fungsinya dalam memelihara kesehatan tubuh melalui manfaat zat-zat gizi yang terkandung didalamnya. Untuk memperoleh kesehatan tubuh yang optimal, perlu diketahui kualitas susunan makanan yang baik dan jumlah makanan yang seharusnya dimakan (Harper et al. 1985). Kebiasaan makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan seseorang khususnya remaja yang membutuhkan asupan gizi yang cukup dalam perkembangannya (Wirakusumah 1994). Kebiasaan makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan, tata cara makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan, distibusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi terhadap makanan dan cara memilih bahan pangan. Kebiasaan makan akan tercermin dalam cara-cara seseorang memilih makanan beragam sesuai dengan golongan etnik dimana seseorang tersebut berasal atau berada (Suhardjo 1989). Menurut Wirakusumah (1994) kebiasaan makan keluarga menjadi contoh bagi generasi muda dalam keluarga tersebut. Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti lingkungan budaya, alam serta populasi. Kebiasaan makan dipengaruhi oleh lingkungan khususnya budaya, secara umum sulit untuk diubah. Kebanyakan orang membatasi makanan yang mereka makan sesuai dengan yang mereka sukai atau nikmati. Nasution dan Khomsan (1995) menyatakan bahwa remaja telah mempunyai pilihan sendiri terhadap makanan yang disenangi. Pada masa remaja kebiasaan makan telah terbentuk. Para ahli antropologi berpendapat bahwa kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga tersebut yang disebut gaya hidup (life style). Kebiasaan makan yang salah satu akan mempengaruhi konsumsi pangan, terutama dalam hal ini penyerapan zatzat gizi yang terkandung dalam makanan. Apabila zat-zat gizi yang diserap tidak
memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, maka dalam jangka panjang hal tersebut akan berpengaruh terhadap status gizi (Suhardjo 1989). Kebiasaan Sarapan Pagi Sarapan adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas yang lain pada hari itu. Melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian (Khomsan 2002). Kebiasaan sarapan sangat penting karena semua makanan yang berasal dari makan malam, sesudah kirakira empat jam meninggalkan lambung, sehingga lambung sudah tidak terisi lagi sampai pagi hari (Suhardjo 1989). Menurut Khomsan (2002) terdapat dua manfaat sarapan, yaitu: Pertama, sarapan dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Dengan kadar gula darah yang normal, gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya berbagai proses fisiologis dalam tubuh. Kebiasaan Konsumsi Buah dan Sayur Salah satu sumber bahan pangan yang baik untuk memperoleh zat gizi adalah buah dan sayur (Hardinsyah & Martianto 1988). Buah dan sayur disarankan untuk dikonsumsi oleh seseorang dalam piramida kesehatan. Menurut (Drapeau et al. 2004), konsumsi buah dan sayuran dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa lapar dan tidak menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya. Buah dan sayur dapat menjadi makanan selingan yang sangat baik karena mengenyangkan rendah lemak, serta kaya akan vitamin yang diperlukan oleh tubuh. Kebiasan Mengonsumsi Fast Food dan Soft Drink Obesitas terutama berkaitan dengan pola makan. Fast food (makanan cepat saji), snack, dan soft drink termasuk jenis makanan tidak sehat yang bisa memicu overweight dan obesitas. Fast food merupakan jenis makanan dengan kandungan lemak dan atau kalori tinggi, namun rendah gizi terutama protein yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan (Aini 2008). Fast food (makanan cepat saji) semakin menjamur dimana-mana, hal ini disukai konsumen karena kepraktisannya. Fast food mengandung gula dan
0
lemak tinggi, tetapi kandungan seratnya rendah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kestler (1995) bahwa sebagian besar fast food tinggi kandungan kalori, lemak, garam, dan gulanya, akan tetapi rendah kandungan gizinya. Kebiasaan mengonsumsi fast food yang berlebihan dan tidak dikombinasikan dengan buah dan sayuran segar sebagai sumber serat telah memicu berbagai macam penyakit (Wirakusumah 2007). Fast food yang popular saat ini terdiri dari hamburger, kentang goreng (french fries), pizza, doughnuts, fried chicken , dan hot dogs . Kebiasaan mengonsumsi pangan yang nutrisinya kurang, seperti fast food dapat menganggu status gizi seseorang karena dapat menyebabkan obesitas, resiko terkena hipertensi dan penyakit degeratif lain. Hal ini karena fast food umumnya tinggi kalori, lemak dan garam, tetapi miskin zat gizi yang lain. Seperti halnya fast food, minuman ringan ( soft drink) terbukti memiliki kandungan gula yang tinggi sehingga berat badan akan cepat bertambah bila mengonsumsi minuman ini. Obesitas dapat dicegah sejak dini. Obesitas pada anak dapat berkelanjutan hingga dewasa dan sulit diatasi (Aini 2008). Kebiasaan Mengonsumsi Camilan Menurut Wirakusumah (1994), kebiasaan mengonsumsi camilan dapat menjadi baik, namun dapat berdampak buruk pula. Apabila camilan yang diasup baik seperti cracker gandum, buah-buahan, dan lain-lain, dapat menyumbangkan sejumlah zat gizi yang signifikan tanpa menurunkan selera makan utama. Namun apabila camilan yang dikonsumsi tinggi lemak, tinggi gula namum rendah zat gizi, maka akan berakibat buruk salah-satunya adalah risiko overweight dan obesitas. Penilaian Konsumsi Makanan Penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok. Penilaian konsumsi makanan secara umum bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Sedangkan secara lebih khusus bertujuan antara lain untuk menentukan tingkat kecukupan konsumsi pangan nasional dan kelompok masyarakat, menentukan status kesehatan dan gizi keluarga dan individu, menentukan pedoman kecukupan makanan dan program pengadaan pangan, sebagai dasar perencanaan dan program pengembangan gizi, sebagai
sarana pendidikan gizi masyarakat, khususnya golongan yang beresiko, menentukan perundang-undangan yang berkenaan dengan makanan, kesehatan gizi masyarakat (Supariasa et al. 2001). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode-metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain metode food frequency, dietary history, telephone, dan food list. Sedangkan metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lainnya. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain metode food recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan ( food weighing), food account, inventory method, dan pencatatan (household food records) (Gibson 1990). Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2006). Menurut Katahn (1987) dalam Novikasari (2003), kegiatan fisik cukup besar pengaruhnya terhadap kestabilan berat badan. Semakin aktif seseorang melakukan aktivitas fisik, energi yang diperlukan semakin banyak. Tubuh yang besar memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan tubuh yang kecil untuk melakukan kegiatan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (80%) dari peserta melaporkan bahwa aktivitas fisik dapat mengendalikan berat badan mereka (Malinauskas et al. 2006). Angka kebutuhan individu disesuaikan dengan aktivitas fisik (FAO/WHO/UNU/2001). Aktivitas fisik dan Angka Metabolisme Basal (AMB) merupakan komponen utama yang
2
menentukan kebutuhan energi. AMB dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan (Almatsier 2006). Body Image Body image merupakan perasaan, pencitraan, perilaku seseorang yang berhubungan dengan tubuhnya. Pengidentifikasian adanya gangguan body image dapat dilakukan secara persepsi, subyektif dan perilaku (Heinberg et al. 1996). Body image mengacu pada perasaan positif atau negatif dan persepsi diri mengenai ketertarikan fisik. Persepsi body image berbeda satu dengan yang lainnya bergantung tingkat kematangan, perubahan yang terjadi menurut waktu, situasi dan pengalaman satu dengan yang lainnya (Mandleco 2004). Kebanyakan remaja putri mengacu pada konsep tubuh ideal yang umum yaitu kurus dan tinggi dalam membangun citra dirinya. Hasil penelitian pada mahasiswa putri di Jepang dan Cina menunjukkan bahwa meskipun prevalensi mahasiswa yang kelebihan berat badan sangat rendah, tetapi mayoritas subyek perempuan di kedua negara memiliki keinginan untuk menjadi lebih kurus (Sakamaki Ruka et al. 2005). Ukuran tubuh yang ideal bagi seorang wanita identik dengan langsing. Jika seorang wanita memiliki tubuh yang langsing, maka dia memiliki tubuh yang indah yang diantaranya ditandai dengan perut yang rata, pinggang yang tidak berlipat, paha dan betis yang kencang, dan pergelangan tangan yang berukuran sedang (untuk wanita berukuran 13.97 – 16.51 cm). Bagi sebagian besar wanita tubuh yang indah adalah impian. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan impian tersebut maka wanita berusaha keras untuk menjadikan tubuh ideal (Insintos 1997). Rini (2004) menjelaskan bahwa sebenarnya berat badan ideal bisa diwujudkan dengan mengonsumsi energi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan sehingga tidak ada penimbunan energi dalam tubuh dalam bentuk lemak, atau sebaliknya penggunaan lemak tubuh sebagai sumber energi kurang. Persepsi tubuh merupakan suatu hal yang abstrak dan tidak dapat diukur secara langsung. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen yang dapat mengkongkretkan persepsi tubuh sehingga dapat diukur secara langsung. Figure Rating Scale (FRS) dikembangkan oleh Stunkard et al. pada tahun 1983. FRS terdiri dari sembilan skema gambar yang memiliki interval dari sangat kurus dengan skor 1 sampai sangat gemuk dengan skor 9. Skala tersebut digunakan untuk mengukur persepsi tubuh. Remaja putri yang menjadi contoh dalam penelitian ini diminta memilih nomor mana yang sesuai dengan persepsinya.
Hasil penelitian Dewi (2010) menyatakan bahwa FRS merupakan metode pengukuran persepsi tubuh yang lebih efektif dibandingkan dengan alat ukur lain bila dilihat dari kemudahan contoh dalam memahami pertanyaan, tingkat kesulitan menjawab pertanyaan, dan penggunaan waktu.
Gambar 1 Penilaian persepsi tubuh metode Figure Rating Scale (FRS) Status Gizi
Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan serta terjadinya infeksi, trauma, dan faktor metabolik yang mungkin terjadi karena adanya patologi (Riyadi 1995). Status gizi seseorang merefleksikan seberapa jauh kebutuhan fisiologis akan nutrisi telah dapat dipenuhi (Hammond 2000 dalam Patriasih et al. 2009). Bila zat gizi dikonsumsi dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan metabolisme, maka perkembangan yang baik, menjaga kesehatan, mendukung aktivitas fisik, dan membantu mencegah terjadinya penyakit. Sebaliknya bila zat gizi dikonsumsi dalam jumlah terlalu banyak atau sedikit, maka tubuh akan beradaptasi untuk mencapai keadaan homeostatik sehingga fungsi fisiologis tetap terjaga. Bila keadaan kelebihan atau kekurangan ini berlangsung lama akan berakibat pada terjadinya gangguan pada fungsi tubuh dan timbulnya penyakit. Penilaian status gizi idealnya dilakukan dengan memperhatikan riwayat medis, asupan gizi, pengukuran antropometri, serta data hasil analisis laboratorium. Dalam penelitian ini, status gizi diukur berdasarkan penilaian antropometri berat badan dan tinggi badan (Patriasih et al. 2009). Metode antropometri melibatkan pengukuran fisik dan komposisi tubuh aktual. Pengukuran yang dilakukan dengan metode antropometri relatif lebih cepat, mudah, dan terpercaya (WHO 1995 dalam Gibson 2005).
4
Pengukuran tubuh manusia telah digunakan dalam praktek ilmu medis dan penelitian selama berabad-abad. Tekhnik pengukuran yang paling banyak digunakan adalah pengukuran berat dan tinggi, yang sering digabungkan sebagai Indeks Massa Tubuh (IMT, dalam kg/m2) untuk menunjukkan status gizi seseorang. IMT digunakan untuk mengkategorikan underweight, berat badan normal, kelebihan berat badan, dan obesitas (Wells et al. 2007). Overweight clan Obesitas
Kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Kegemukan adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat pertumbuhan lemak, untuk pria dan wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh (Rimbawan & Siagian 2004). Menurut data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 terdapat 2.1 persen kasus kelebihan berat badan atau obesitas berdasarkan indeks massa tubuh terhadap umur (IMT/U) pada penduduk berusia 16-18 tahun di Provinsi Jawa Barat. Faktor keturunan dapat mempengaruhi terjadinya kegemukan. Pengaruhnya sendiri sebenarnya belum jelas, tetapi memang ada bukti yang mendukung fakta bahwa keturunan merupakan faktor penguat terjadinya kegemukan. Dari hasil penelitian gizi di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa anakanak dari orangtua normal mempunyai 10% peluang menjadi gemuk. Peluang itu akan meningkat menjadi 40-50% bila salah satu dari orangtuanya menderita obesitas, dan akan meningkat lagi menjadi 70-80% bila kedua orangtuanya menderita obesitas (Wirakusumah 1994). Obesitas merupakan salah satu faktor utama yang memicu munculnya berbagai penyakit tidak menular termasuk hipertensi, stroke, dan diabetes mellitus (kencing manis). Peningkatan kasus-kasus penyakit yang dipicu oleh obesitas tersebut tentunya akan menambah beban pemerintah dan masyarakat (Siswono 2009). Beberapa studi menunjukkan bahwa obesitas pada masa kanak-kanak diikuti dengan akibat serius di masa dewasa (Guillaume Michèle 1999). Prevalensi obesitas yang terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9.4% pada National Health and Nutrition Examination Survey/NHANES I (19711974) menjadi 14.5% pada NHANES II (1976-1980), 22.5% pada NHANES III (1988-1994), dan 30% pada survey tahun 1999-2000. Angka obesitas pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Berdasarkan karakteristik masalah obesitas cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di
perkotaan, berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang lebih tinggi pula (Riskesdas 2010). Individu gemuk yang ingin menurunkan berat badan sebaiknya memiliki modifikasi gaya hidup yang melibatkan diet, olahraga dan perubahan perilaku lainnya (Bacon & Aphramor 2010).