7
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Akhir Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin yang kata bendanya, Adolescentia yang berarti “tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Mighwar 2006). Remaja akhir (Late Adolescence) adalah individu yang berada pada kisaran umur 18-21 tahun (Santrock 2002). Mahasiswa jika dilihat dari umur terbagi kedalam dua kategori, yaitu kategori remaja akhir (18-21 tahun) dan kategori dewasa awal (22-28 tahun) (Monks et al. 2001). Oleh karena itu, mahasiswa TPB masih termasuk kedalam kategori remaja akhir. Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu: minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman baru, terbentuknya idensitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan tumbuh dinding yang memisahkan pribadinya dengan masyarakat umum (Santrock 2002). Havighurst (1953) dalam Hurlock (1980) menyatakan bahwa setiap tahap kehidupan mempunyai tugas-tugas tertentu yang harus dilakukan individu. Tugas setiap tahap disebut sebagai tugas perkembangan (developmental task). Apabila individu
berhasil
melaksanakan
tugas-tugas
perkembangan
selanjutnya.
Kegagalan pada tugas tersebut dapat mengakibatkan persaan kurang bahagia, penolakan dari masyarakat dan kesulitasn dalam melaksanakan tugas-tugas selanjutnya. Menurut Havighurst (1953) dalam Hurlock (1980), terdapat sepuluh tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu: membina hubungan dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin, menerima peranan sosialnya sebagai laki-laki atau perempuan, menerima keadaan jasmaninya dan mampu menggunakan secara efektif, mencapai kemandirian emosi dari orang tua dan orang dewasa lain, mencapai kemandirian ekonomi, mampu memilih serta mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan, mempersiapkan diri untuk membina perkawinan dan rumah tangga, memiliki kemampuan intelektual serta konsepsi yang dibutuhkan untuk menjadi anggota masyarakat yang berhasil, memiliki keinginan serta usaha untuk
8
berperilaku yang bertanggung jawab secara sosial, dan memiliki serangkaian nilai serta sistem etika sebagai asas perilaku. Pada dasarnya, kesepuluh tugas perkembangan masa remaja tersebut adalah penyesuaian terhadap segala aspek kehidupannya.
Kemandirian Definisi kemandirian Mandiri merupakan salah satu ciri utama kepribadian yang dimiliki oleh seseorang yang telah dewasa dan matang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), mandiri merupakan keadaan seseorang yang telah mampu berdiri sendiri serta tidak bergantung kepada orang lain. Namun, seorang individu tidak dengan mudah begitu saja untuk dapat mencapai sifat kemandirian. Seseorang
harus
melalui
proses-proses
tertentu
untuk
dapat
mencapai
kemandirian. Menurut Masrun et al. (1986) dalam Patriana (2007), kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan, serta berkeinginan untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu memengaruhi lingkungannya, mempunyai rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri, menghargai keadaan diri sendiri, dan memperoleh kepuasan dari usahanya. Steinberg (1999) menyatakan bahwa kemandirian merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh seseorang dimana tidak bergantung pada orang tua maupun lingkungan luar dan lebih banyak mengandalkan potensi serta kemampuan yang dimiliki. Awal kemandirian individu dimulai pada masa remaja. Pada masa ini, ketergantungan seorang individu terhadap orang tuanya yang merupakan simbol dari masa kanak-kanak mulai terlepas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan salah satu indikator kedewasaan seseorang yang ditandai dengan kemampuannya dalam melakukan segala sesuatu sendiri tanpa harus bergantung dengan orang lain.
9
Aspek-Aspek kemandirian Steinberg (1999) membedakan kemandirian atas tiga aspek, yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy), kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy), dan kemandirian nilai (value autonomy). Kemandirian emosional merupakan aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional remaja dengan orang tua. Menurut Steinber & Silverberg (1986) dalam Steinberg (2001), terdapat 4 komponen kemandirian emosi pada remaja, yaitu: 1.) “de-idealized”, pada tingkatan ini remaja memiliki kemampuan untuk tidak mengidealkan orang tua; 2.) parent as people, remaja memiliki kemampuan untuk memandang orang tua sebagai orang lain pada umumnya; 3.) non-dependency, remaja lebih bersandar pada kemampuan sendiri daripada membutuhkan bantuan orang tua; dan 4.) individuated, remaja berperilaku untuk bertanggung jawab terhadap hubungannya dengan orang tua. Kemandirian tingkah laku, yaitu suatu kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang ada. Terdapat 3 komponen kemandirian perilaku pada remaja, yaitu: 1.) memiliki kemampuan mengambil keputusan; 2.) memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain; 3.) dan memiliki self reliance, rasa percaya diri Steinberg (2001). Kemandirian nilai adalah kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang hal yang benar dan salah, serta tentang hal apa saja yang penting dan apa yang tidak penting. Terdapat 3 komponen perubahan kemandirian nilai pada remaja, yaitu: 1.) abstrack belief, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak; 2.) principle belief, keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada hal yang bersifat prinsip; 3.) independent belief, keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang diajarkan oleh orang tua atau orang dewasa lainnya.
10
Penyesuaian Diri Definisi penyesuaian diri Penyesuaian diri dengan kata lain adaptasi, merupakan tingkah laku manusia yang dipandang sebagai suatu reaksi terhadap berbagai tekanan dan tuntutan lingkungan tempat tinggalnya. Penyesuaian diri adalah suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar tercipta hubungan yang lebih sesuai antara kondisi diri dengan kondisi lingkungannya (Fatimah 2006). Seorang ahli lainnya Hurlock (1972) dalam Gunarsa dan Gunarsa (1989) menjelaskan bahwa bilamana seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap orang lain secara umum ataupun terhadap kelompoknya, dan ia memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan, berarti ia diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Penyesuaian diri individu merupakan suatu kondisi yang terdapat suatu ancaman atau situasi yang membahayakan keberadaan, kenyamanan, maupun kesejahteraan diri individu (Baum 1985). Sementara itu Fahmi (1982), mendefinisikan penyesuaian diri adalah suatu proses dinamika yang memiliki tujuan untuk mengubah tingkah laku seseorang agar terjadi kesesuaian antara individu dan lingkungannya. Schneiders (1964) dalam Gunarsa dan Gunarsa (1989) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaiakan diri sesuai dengan keinginan yang dapat diterima oleh lingkungan. Jadi, penyesuaian diri adalah reaksi seseorang terhadap rangsangan-rangsangan dari dalam diri sendiri maupun reaksi seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya. Aspek-aspek penyesuaian diri Menurut Fatimah (2006) pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya tentang siapa dirinya, mengetahui tentang siapa dirinya, mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, serta mampu bertindak
11
objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian diri pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, menghindar dari kenyataan ataupun tanggung jawab serta tidak ada rasa kecewa dan tidak percaya pada kemampuan yang dimiliki oleh dirinya. Penyesuaian sosial merupakan proses saling memengaruhi yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat serta tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya sehingga membuat manusia mengetahui jika penyesuaian sosial merupakan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain dan kelompok sesuai dengan keinginan dari dalam dan tuntutan lingkungan. Kriteria penyesuaian diri yang baik, salah satunya yaitu adanya kesesuaian antara norma yang berlaku di dalam kelompok dengan sikap serta tingkah laku yang nyata. Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan setiap kelompok yang dimasukinya. Pada penyesuaian diri yang baik, seseorang memperlihatkan sikap yang sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, mau berpartisipasi, dan dapat menjalankan peranannya dengan baik dalam suatu kelompok. Adanya rasa puas dan bahagia karena dapat turut mengambil bagian dalam aktivitas kelompoknya ataupun hubungannya dengan teman atau orang dewasa. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri menurut Fatimah (2006) baik internal maupun eksternal dapat dikelompokkan sebagai berikut: faktor fisiologis, psikologis, faktor perkembangan dan kematangan, faktor lingkungan, serta faktor budaya dan agama. Faktor fisiologis, yaitu kondisi fisik yang dapat memengaruhi kualitas penyesuaian diri. Struktur jasmani seseorang merupakan kondisi yang utama bagi tingkah laku dan merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Faktor psikologis juga memengaruhi kemampuan dalam penyesuaian diri individu meliputi: faktor pengalaman, faktor belajar, determinasi diri, dan faktor konflik. Faktor pengalaman, yakni pengalaman tertentu mempunyai makna dalam penyesuaian diri. Pengalaman yang menyenangkan cenderung akan menimbulkan
12
proses penyesuaian diri yang baik, sebaliknya pengalaman traumatik akan cenderung menimbulkan penyesuaian diri yang salah. Faktor belajar merupakan suatu dasar yang fundamental serta proses modifikasi tingkah laku yang berlangsung sepanjang hayat dan diperkuat dengan kematangan yang akan membentuk perkembangan kepribadian. Determinasi diri, yaitu faktor kekuatan yang mendorong untuk mencapai taraf penyesuaian yang tinggi dan atau merusak diri serta berperan dalam pengedalian arah dan pola penyesuaian diri. Faktor konflik, yakni pandangan seseorang terhadap konflik yang dialaminya. Cara individu dalam mengatasi konflik dapat memengaruhi penyesuaian dirinya. Faktor perkembangan dan kematangan, yakni dalam proses perkembangan diperoleh melalui proses belajar, serta kematangan individu dalam melakukan respon dan hal ini juga menentukan pola penyesuaian dirinya. Faktor lingkungan yang berpengaruh kuat terhadap penyesuaian diri seseorang adalah sebagai berikut: pengaruh lingkungan keluarga, pengaruh hubungan dengan orang tua, hubungan saudara, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Pengaruh lingkungan keluarga adalah faktor yang sangat penting karena keluarga merupakan media sosialisasi bagi anak. Lingkungan keluarga merupakan wadah pembentukan proses sosialisasi dan interaksi sosial yang pertama dan utama bagi individu, yang kemudian hasil sosialisasi tersebut dikembangkan di lingkungan dan masyarakat. Pengaruh hubungan dengan orang tua, positif terhadap proses penyesuaian diri anak remaja. Beberapa pola hubungan yang dapat memengaruhi penyesuaian diri, yaitu menerima (acceptance), menghukum dan disiplin yang berlebihan, memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan, serta penolakan. Hubungan saudara, sangat memengaruhi anak remaja dalam penyesuaian dirinya. Hubungan saudara yang penuh persahabatan, saling menghormati dan mengasihi, berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang lebih baik, begitu pun sebaliknya. Lingkungan masyarakat, yakni keadaan tempat dimana seseorang berada yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala tingkah laku yang menyimpang bersumber dari pergaulan yang salah dan terlalu bebas di kalangan remaja. Lingkungan sekolah,
13
berperan sebagai media sosialisasi yang memengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral anak remaja dengan pendidikan yang diterima oleh remaja akhir pada saat SMA sebagai bekal bagi proses penyesuaian diri mereka di perguruan tinggi. Faktor terakhir yang memengaruhi penyesuaian diri adalah faktor budaya dan agama, yakni tempat individu berada dan berinteraksi sesuai kultur dan tata cara kehidupan keagamaan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam proses penyesuaian diri seseorang.
Stres Definisi Stres Stres merupakan hubungan antara individu dengan lingkungannya, dimana individu merasa bahwa situasi tidak menguntungkan atau mengancam dirinya (Atkinson et al. 1999). Lazarus dalam Greenberg (2002) mendefinisikan stres sebagai “a whole spectrum of factors (stimulus, response, cognitive appraisal of threat, coping styles, psychological defenses, and the social milieu)” Stres merupakan akumulasi dan keterlibatan dari berbagai faktor, yaitu stimulus, respon, penilaian kognitif dari sebuah ancaman, gaya koping, pertahanan psikologis, dan lingkungan sosial. Mason dalam Greenberg (2002) dengan mendefinisikan stres dalam beberapa cara yang berbeda, yaitu pertama, the stimulus merupakan definisi orang kebanyakan mengenai stressor. Kedua, the response merupakan definisi orang kebanyakan mengenai stress reactivity. Ketiga, the whole spectrum of interacting factors, merupakan definisi stres dari Lazarus. Dan yang terakhir the stimulusresponse interaction. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stres merupakan akumulasi dari suatu kondisi dimana seseorang merasakan ketidaknyamanan terhadap individu lain atau lingkungan yang ada disekitarnya. Sumber Stres Sumber stres adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologik non-spesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stress reaction acute (reaksi
14
stres akut) adalah gangguan sementara yang muncul pada seorang individu tanpa adanya gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari. Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang memainkan peranan dalam terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya (Sriati 2008). Gejala Stres Stres yang dimiliki oleh setiap orang tentunya berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala stres yang dialami oleh individu berdasarkan keadaan fisik maupun emosional. Menurut Sriati (2008), gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari. Gejala-gejala yang dialami oleh seseorang dalam keadaan stres dapat ditunjukkan secara fisik maupun emosional (Wilkinson 1989 dalam Hernawati 2006). Gejala stres secara fisik dapat meliputi pusing, mual, badan pegal-pegal, jantung berdetak cepat, dab bertambahnya berat badan. Secara emosional, gejala stres yang timbul meliputi lemas, perasaan sensitif, tertekan, tegang, cepat marah, dan sulit untuk berkonsentrasi (Mccubbin 1987 dalam Astuti 2007). Tingkat Stres Tingkat stres dapat diprediksi berdasarkan kerentanan seseorang terhadap stres yang dapat diukur dengan melihat gejala-gejala stres yang dimilikinya (Sunarti 2005). Selye (1956) dalam Putri (2011) menyatakan bahwa rendah tingginya stres dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sumber stres (stressor), frekuensi paparan stres, dan intensitas reaksi fisik dan emosi yang disebabkan oleh stressor. Stres pada Mahasiswa Baru Stres yang dihadapi oleh mahasiswa baru menurut Syofia (2010) dalam Abbas (2011) diantaranya yaitu perubahan gaya hidup, tekanan untuk mendapatkan nilai yang tinggi, tugas yang menumpuk, relasi dengan orang, serta penyakit. Perubahan gaya hidup dapat terjadi ketika seseorang yang memasuki tahap remaja akhir menjadi mahasiswa dan dituntut untuk mandiri. Keadaan yang menuntut untuk tidak seperti halnya ketika masih berada di bangku sekolah yang
15
semua kebutuhan masih diurus oleh orang tua. Selain itu, tekanan nilai tinggi yang ingin diraih juga termasuk menjadi sumber stres pada mahasiswa. Tugas yang menumpuk menjadi beban kuliah yang menjadi tuntutan akademis di kampus. Hal yang dapat menjadi salah satu penyebab stres pada mahasiswa ialah terkait dengan relasi atau pertemanan, perasaan kesepian (sendiri), serta penyakit. Penelitian Terdahulu Greenberg (2002) mengemukakan bahwa terdapat salah satu hasil penelitian mengenai “College Chronic Life Stress Survey” oleh Towbes dan Cohen pada tahun 1996. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa mahasiswa cenderung mudah untuk berada dalam tingkatan stres yang kronis. Hal ini disebabkan oleh pengalaman dan kemampuan mahasiswa dalam mengatur perubahan perkembangan yang terjadi dalam dirinya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hernawati (2006) menunjukkan bahwa terdapat tiga kategori tingkatan stres yang dialami oleh mahasiswa tingkat perisapan bersama (TPB), yaitu stres tingkat tinggi, stres tingkat sedang, dan stres tingkat ringan. Tingkat stres yang dimiliki oleh mahasiswa TPB tahun akademik 2005/2006 baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berada pada kategori tinggi. Hasil penelitian Herawati (2007) mengenai hubungan penyesuaian diri dengan tingkat stres pada narapidana di lembaga pemasyarakatan Lamongan menunjukkan bahwa stres merupakan reaksi psikologis dan fisiologis terhadap suatu stimulus sehingga dapat menimbulkan perasaan tidak enak serta ketidak seimbang yang diakibatkan oleh adanya harapan serta tuntutan yang tidak sesuai dengan kemampuan. Narapidana yang mampu untuk menyesuaikan diri dengan baik maka tingkat stresnya rendah, sebaliknya jika narapidana tidak mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik maka stresnya tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2005) mengenai hubungan kemandirian dengan penyesuaian diri pada Siswi Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta menunjukkan bahwa faktor kemandirian memberikan sumbangan efektif terhadap penyesuaian diri sebesar 67,1% sisanya 32,9% adalah faktor lain di luar kemandirian. Hal ini berarti kemandirian memiliki peranan yang cukup besar dalam penyesuaian diri siswi.