TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh’ atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, (2) 1518 tahun termasuk masa remaja pertengahan, dan (3) 18-21 tahun termasuk remaja akhir (Monks, Knoers & Haditono 1994). Remaja membutuhkan kecukupan gizi yang khusus, karena waktu remaja merupakan periode yang rawan, hal ini disebabkan pertama karena remaja membutuhkan zat gizi dan energi yang besar untuk pertumbuhan yang cepat. Kedua ialah pada remaja terjadi perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yang mempengaruhi asupan zat gizi. Ketiga ialah karena pada umumnya remaja banyak berpartisipasi pada olah raga, dan biasanya banyak melakukan diet ketat (Rickert 1996). Pada saat remaja kebutuhan gizi meningkat karena terjadinya proses pertumbuhan yang cepat dan aktivitas fisik yang tinggi (Almatsier 2003). Oleh karena itu sebaiknya kebutuhan gizi tercukupi secara baik. Pengetahuan Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Pengetahuan gizi menjadi andalan yang menentukan konsumsi pangan. Individu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan, sehingga konsumsi pangan mencukupi kebutuhan (Natoadmodjo 1993). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya. Pengetahuan gizi yang tidak memadai, kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik, serta pengertian yang kurang tepat mengenai kontribusi gizi dari berbagai makanan akan menimbulkan gizi salah yang dapat merugikan kecerdasan dan produktivitas (Irawati, Damanhuri & Fachrurrozi 1992). Informasi pangan dapat diperoleh dari iklan, promosi, pengalaman masa lalu, keluarga, maupun pengaruh orang-orang terkemuka atau terpandang dalam masyarakat (Suhardjo et al. 1988). Setelah informasi didapat, konsumen akan
6
memproses informasi tersebut. Pada suatu keadaan tertentu, kadang-kadang konsumen merasa perlu untuk memperoleh informasi tambahan agar dapat mengevaluasi alternatif merek atau menentukan produk yang akan dibeli, informasi yang penting akan disimpan dalam ingatan. Faktor-faktor yang mendorong konsumen untuk memperoleh informasi tambahan adalah tingginya keterlibatan konsumen, tingginya resiko yang akan ditanggung, rendahnya pengetahuan terhadap produk, rendahnya tekanan waktu, mahalnya harga produk dan keanekaragaman produk (Assael 1992). Menurut Sumarwan (2003), pengetahuan konsumen adalah semua informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai macam produk dan jasa, serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk dan jasa tersebut dan informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen. Memahami pengetahuan konsumen penting bagi pemasar karena apa yang dibeli, berapa banyak yang dibeli, dimana membeli, dan kapan membeli, akan tergantung kepada pengetahuan konsumen mengenai hal-hal tersebut. Pengetahuan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian. Ketika konsumen memiliki pengetahuan yang lebih banyak, maka ia akan lebih baik dalam mengambil keputusan, ia akan lebih efisien dan lebih tepat dalam mengolah informasi dan mampu me-recall informasi dengan baik. Pengetahuan produk adalah kumpulan berbagai macam informasi mengenai produk. Pengetahuan ini meliputi kategori produk, merek, terminologi produk, atribut atau fitur produk, harga produk dan kepercayaan mengenai produk. Peter dan Olson (1999) dalam Sumarwan (2003) menyebutkan bahwa konsumen memliki tingkat pengetahuan pruduk yang berbeda. Pengetahuan ini meliputi kelas produk (product class), bentuk produk (product form), merek (brand), model/fitur (model/features). Peter dan Olson (1999) dalam Sumarwan (2003) juga membagi tiga jenis pengetahuan produk, yaitu pengetahuan tentang karakterisik atau atribut produk, pengetahuan tentang manfaat produk, dan pengetahuan tentang kepuasan yang diberikan produk. Pengetahuan atribut produk adalah bahwa seorang konsumen akan melihat suatu produk berdasarkan kepada karakterisktik atau ciri atribut dari produk tersebut. Seorang konsumen mungkin memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyebutkan karakterisktik atau atribut dari produk-produk tersebut. Hal ini disebabkan konsumen memiliki pengetahuan yang berbeda mengenai produk tersebut. Pengetahuan mengenai atribut tersebut akan
7
mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen. Pengetahuan yang lebih banyak mengenai atribut suatu produk akan memudahkan konsumen untuk memilih produk yang akan dibelinya. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap belum menunjukkan suatu tindakan namun menunjukkan suatu kecenderungan bertindak (Notoatmodjo 2003). Sikap mengandung komponen kepercayaan, emosi atau evaluasi, dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam pembentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peran yang penting. Pengetahuan akan mendorong untuk berpikir sehingga terbentuk suatu keyakinan atau kepercayaan tertentu. Adanya keyakinan tersebut kemudian mendorong seseorang untuk mengambil sikap atau posisi tertentu terhadap suatu objek. Menurut Sumarwan (2004), sikap adalah ungkapan perasaan konsumen tentang suatu obyek, terkait suka atau tidak suka. Sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap atribut atau manfaat dari obyek tersebut. Sikap memiliki tiga unsur, yaitu kognitif (kepercayaan terkait obyek), afektif (perasaan terkait obyek), dan konatif (kecenderungan untuk bertindak). Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap seseorang dapat diramalkan perbuatannya. Sikap mengarahkan tindakan secara langsung. Sikap secara positif akan mondorong orang untuk menerima dan mengadopsinya menjadi tindakan (praktik), sedangkan sikap negatif cenderung menimbulkan praktik yang juga negatif semacam menghindar, menolak, atau menjauhi (Notoatmodjo 2003). Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia agar dapat hidup sehat (Harper et al. 1986). Semakin beragam bahan pangan yang dikonsumsi maka akan semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh sehingga dapat meningkatkan mutu gizinya. Konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau beragam. Ada tiga hal yang harus mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang
8
tersedia dan diproduksi, pendapatan, dan tingkat pengetahuan gizi (Wulandari 2000). Konsumsi pangan tingkat individu atau pereorangan dapat dilakukan antara lain dengan metode recaIl 24 jam dan metode frekuensi makanan (food frequency). Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini enumerator meminta agar responden mengingat-ingat secara terperinci apa yang telah dikonsumsi selama 1-3 hari terakhir tersebut. Untuk keperluan ini digunakan alat bantu misalnya ukuran-ukuran rumah tangga, model pangan, dan sebagainya untuk menentukan perkiraan-perkiraan konsumsi pangan yang lebih mendekati. Cara ini relatif cepat dan murah tetapi mengandung subyektivitas tinggi dan menimbulkan kesalahan sistematik (Suhardjo 1989). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. Sedangkan metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun (Supariasa, Bakri & Fajar 2001). Konsumsi makanan diartikan sebagai jumlah makanan yang dinyatakan dalam bentuk energi dan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral). Konsumsi makanan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi. Konsumsi makanan adalah faktor yang mempengaruhi langsung terhadap keadaan gizi seseorang (Sediaoetomo 1996). Sanjur (1982) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga. Frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Frekuensi makan diukur dalam satuan kali perhari, kali per minggu, maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang yang memilki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi memiliki daya beli tinggi sehingga dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998).
9
Secara umum tujuan survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Berdasarkan jenis data terdapat dua jenis data yaitu kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makanan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Kebiasaan makan merupakan cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, dan sosial budaya (Sanjur 1982). Sedangkan menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan seperti tata krama makan, distribusi makan antar anggota keluarga. Kebiasaan makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan atau susunan hidangan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota. Kebiasaan makan anak remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain teman sebaya, keadaan emosional, pelaksanaan diet, penurunan berat badan, lingkungan termasuk snack dan fast food, dan pengetahuan gizi remaja. Kebiasaan makan remaja sangat khas dan berbeda jika dibandingkan dengan usia lainnya, kebiasaan makan mereka seperti 1) tidak makan, terutama makan pagi atau sarapan, 2) kegemaran makan snack dan kembang gula, 3) mereka cenderung memilih-milih makanan, ada makanan yang disukai dan ada makanan yang tidak disukai (Suhardjo 1989). Mie Menurut Purnawijayanti (2002) mie instan adalah produk mie kering yang siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Dalam pembuatan mie instan, setelah terbentuk mie segar, dilanjutkan dengan
proses
pengukusan,
pembentukan,
dan
pengeringan.
Proses
pengeringan dapat dilakukan dengan menggoreng mie dalam minyak ataupun menggunakan udara kering panas. Mie instan umumnya dikemas per porsi penyajian, lengkap dengan minyak sayur, bumbu, cabai kering, dengan atau tanpa penambahan sayuran kering. Mie instan mengandung karbohidrat akan
10
tetapi diperlukan tambahan sayuran segar sebagai sumber vitamin, dan telur atau daging sebagai sumber proteinnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Universitas Indonesia, Jakarta oleh Wulansari (1999) menunjukkan bahwa konsumsi mie instan oleh mahasiswa memberikan kontribusi energi yang berkisar antara 3.85%-20.14% dengan rata-rata sebesar 9.64% dan kontribusi protein antara 4.19%-21.22% dengan rata-rata sebesar 9.44% dari rata-rata kecukupan gizi contoh. Terlihat dalam hal ini bahwa kisaran dan rata-rata kontribusi kedua zat gizi tersebut yang berasal dari mie instan dapat dikatakan relatif sama. Angka yang diperoleh menunjukkan sumbangan energi dan protein mie instan dalam pemenuhan kecukupan energi dan protein responden dapat dikatakan masih relatif kecil (< 50%). Susu Secara alamiah yang dimaksud dengan susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponenkomponennya atau ditambah dengan bahan-bahan lain. Hewan yang susunya digunakan sebagai bahan makanan adalah sapi perah, kerbau, unta, kambing perah (kambing etawa), dan domba (Hidiwiyoto 1993). Komposisi susu dapat sangat beragam tergantung beberapa faktor, akan tetapi angka rata-rata untuk semua jenis kondisi dan jenis sapi perah adalah lemak 3.9%, protein 3.4%, laktosa 4.8%, abu 0.72%, air 87.10%, dan bahanbahan lain dalam jumlah sedikit seperti sitrat, enzim-enzim, fosfolipid, vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Produk – produk susu terdiri dari susu homogeny, susu skim dan krim, susu kental manis, susu kental tidak manis atau susu diuapkan, susu kering, yoghurt, keju, es krim, dan mentega (Buckle et al. 1985). Menurut Khomsan (2002) susu dikenal sebagai minuman sumber kalsium. Oleh karena itu membiasakan diri minum susu akan memberikan dampak positif bagi kesehatan terutama untuk mencegah osteoporosis (kerapuhan tulang). Penilitan AS menunjukkan bahwa apabila kita minum 2 gelas susu sehari dimana satu gelas setara dengan 200 cc, maka susu tersebut menyumbangkan energi 10-16% dan menyumbang protein 25-44%. Kontribusi susu terhadap energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
11
Tabel 1 Kontribusi dua gelas susu
Umur (th) 4–9 10 – 19 (pria) 10 – 19 (wanita) 20 – 59 (pria) 20 – 59 (wanita)
Energi (%) 16 12 15 10 13 Minuman Ringan
Protein (%) 44 25 32 30 34
Minuman ringan (soft drink) pertama kali diperkenalkan oleh Joseph Priestley dari Inggris pada tahun 1772 dengan nama sparkling water, kemudian dengan berbagai penelitian lanjutan muncul minuman berkarbonat. Bisnis minuman ringan dimulai pada tahun 1806 oleh Benjamin Sillomon, seorang professor kimia di sekolah tinggi Yale di kota Connecticut. Dia memperkenalkan minuman berkarbonat yang dikemas dalam botol. Tahun 1830–1866 minuman soda dengan berbagai macam flavor menjadi populer, dan jenis flavor yang digunakan adalah cola, lemon-lime, orange, ginger ale, root beer, dan anggur. Pada tahun 1886 seorang apoteker dan pendiri confenderate solder, John Styth Pemberton menjadikan minuman tersebut menjadi favorit dengan menambahkan ekstrak dari cocoa. Minuman cola adalah minuman yang paling populer sampai sekarang (Ensminger, Konlade & Robson 1994). Minuman ringan didefinisikan sebagai minuman penyegar umumnya mengandung atau tidak mengandung karbonat, pemanis, asam, flavor alami atau buatan (Ensminger, Konlade & Robson 1994). Menurut Thorner dan Herberg (1978), minuman ringan adalah minuman tidak beralkohol yang mengandung gula, essen atau konsentrat buah yang dicampur dengan air tanpa atau mengandung karbondioksida. Klasifikasi jenis minuman ringan terdiri dari tiga kategori, yaitu: 1. Minuman bergas (carbonated), jenis minuman ini mengandung gula, asam, flavor, dan konsentrat. 2. Minuman tidak bergas (non carbonated), jenis minuman ini mencakup sari buah dan teh. 3. Minuman gas yang tidak mengandung gula, asam atau essen (sparkling water), seperti air soda. Konsumsi minuman ringan (soft drink) adalah komponen lain yang belum banyak diteliti di Indonesia, sementara di Amerika dan negara-negara Eropa penelitian tersebut telah banyak dilakukan. Menurut survey pada tahun 1998 yang dilakukan oleh Centre for Science in The Public Interest (CSPI) dalam
12
menunjukkkan bahwa remaja mengkonsumsi 64.5 galon (244.15 liter) minuman ringan/tahun. Jumlah ini merupakan tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan tahun 1978. Sebanyak 75 % remaja laki-laki minum soda 12 ons (0.35 liter) perhari sementara 2/3 remaja perempuan minum 2 kaleng/hari. Remaja juga mengkonsumsi minuman ringan 2 kali lipat lebih banyak dari konsumsi susu. Menurut direktur CSPI kebanyakan remaja menjadikan minuman ringan sebagai minuman utama dan menyediakan 15-20% kebutuhan kalori/hari (Yule A 2002). Berdasarkan penelitian Arofah dan Hertanto (2007) tentang konsumsi soft drink pada remaja SMU N 5 Semarang diketahui bahwa minuman ringan memberi kontribusi 7.1% dari total pemasukan energi, pemanis buatan ditambahkan untuk memenuhi selera rasa yang digemari remaja, tambahan pemanis ini mencapai 7 hingga 14%, diantaranya fruktosa dan sukrosa. Tingginya kadar pemanis buatan ini meningkatkan asupan kalori pada remaja. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Menurut Riyadi (2001), faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Status gizi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu melalui penilaian konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis. Setiap cara penilaian status gizi tersebut melengkapi cara yang lainnya, dengan demikian membantu dalam penyediaan indikator tambahan untuk mendukung penilaian yang lebih lengkap (Riyadi 1995). Antropometri sudah digunakan pada remaja dalam konteks yang berhubungan dengan status gizi dan kesehatan. Indeks Massa Tubuh (IMT) direkomendasikan sebagai dasar indikator antropometri untuk kekurusan (thinness) dan overweight pada masa remaja. BB/U dianggap tidak informatif atau menyesatkan bila tidak ada informasi tentang TB/U. Pendekatan konvensional terhadap kombinasi penggunaan BB/U dan TB/U untuk menilai massa tubuh dianggap aneh dan memberikan hasil yang bias. Data referensi BB/TB memiliki keuntungan karena tidak memerlukan informasi tentang umur
13
kronologis. Tetapi, hubungan BB/TB berubah secara dramatis menurut umur dan menurut status kematangan seksual selama remaja (Riyadi 2001). Karena berbagai keterbatasan tersebut, IMT menurut umur (IMT/U) direkomendasikan
sebagai indikator terbaik untuk remaja.
Indikator ini
memerlukan informasi tentang umur. Indikator ini juga sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan indikator ini juga sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Indeks Massa Tubuh diukur dengan menggunakan rumus IMT=BB/TB 2 (kg/m2). Menurut WHO (2007) status gizi remaja dapat dikategorikan menjadi sangat kurus (z < -3 SD), kurus (-3 SD ≤ z ≤ -2 SD), normal (-2 SD ≤ z ≤ +1 SD), overweight (+1 SD ≤ z ≤ +2 SD), dan obese (z > +2 SD). Istilah obesitas dan overweight seringkali dianggap sama. Sebenarnya kedua istilah tersebut tidak sama. Obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Sedangkan, overweight merupakan suatu kondisi dimana perbandingan berat badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan (Mahan et al. 2000). Perbedaan overweight dan obesitas terutama karena perbedaan komposisi tuubuh. Obesitas merupakan suatu kelebihan lemak tubuh, sedangkan overweight berkaitan dengan berat badan yang melebihi standar dan tidak selalu berhubungan dengan kelebihan lemak, karena komponen tubuh tidak hanya lemak tetapi juga protein, mineral dan air (Riyadi 1993). Pada dasarnya penyebab kegemukan/gizi lebih adalah faktor-faktor seperti psikologis atau psikomotorik, pendidikan dan pengetahuan gizi, aktivitas fisik, kelainan endokrin (hormon), intake makanan yang melebihi kebutuhan, faktor ekonomi dan keturunan (Suyono 1986). Menurut Wirakusumah (1994) intake makanan yang melebihi kebutuhan dapat disebabkan antara lain karena banyak makan ketika menghadapi stress atau depresi dan akibat perilaku/kebiasaan makan yang salah, antara lain ketika memilih makanan, mengolah makanan, kebiasaan ngemil, melupakan makan pagi, makan dengan tergesa-gesa, makan secara berlebihan, frekuensi makan yang tidak teratur, dan terkadang menghindari nasi.