6
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan Wolf dalam Munir (2008) menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang terorganisasi sehingga dapat diterapkan untuk pemecahan masalah. Selain itu, pengetahuan menurut Turban et al (Munir,2008) merupakan informasi yang telah dianalisis dan diorganisasi sehingga dapat dimengerti dan digunakan untuk memecahkan masalah serta mengambil keputusan. Menurut Drucker dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006), pengetahuan merupakan informasi yang terstruktur dan terpakai secara merata dan digunakan untuk memberikan arahan agar terjadi proses transformasi (proses kerja) yang efisien dan efektif, sekaligus informasi itu dibutuhkan untuk pengendalian hasil. Pengertian pengetahuan lainnya dikemukakan oleh Davenport dan Prusak yaitu pengetahuan atau knowledge bukanlah data, bukan pula informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Data dan informasi merupakan bahan baku yang diolah oleh aksi atau tindakan menjadi pengetahuan (Munir,2008). Menurut Probst, Raub, dan Romhardt dikutip dari Munir (2008), pengetahuan adalah keseluruhan kognisi dan keterampilan yang digunakan oleh manusia untuk memecahkan masalah dan kapasitas untuk melakukan tindakan yang efektif. Davidson dan Voss dalam Munir (2008) mengatakan bahwa mengelola knowledge merupakan cara organisasi mengelola karyawan dan berapa lama menghabiskan waktu untuk menggunakan teknologi informasi. Selain itu, knowledge
merupakan pengetahuan, pengalaman, informasi faktual dan
pendapat para pakar. Pengetahuan juga dianggap sebagai sumber dari daya saing. Menurut Liebowitz dan Beckam dalam Munir (2008) menyatakan bahwa keahlian merupakan penggunaan pengetahuan secara pantas dan tepat untuk memecahkan masalah, meningkatkan kinerja, dan mencapai hasil luar biasa. Orang yang banyak pengetahuan belum tentu dapat menggunakan
7
secara efektif pengetahuan-pengetahuan itu tanpa pengalaman terus menerus, menerapkan pengetahuan tersebut dan mengakumulasi hasil pembelajarannya dalam bentuk pengetahuan baru yang berkualitas. Apabila keahlian-keahlian yang ada di organisasi dikombinasikan menjadi kemampuan untuk menghasilkan barang atau jasa atau proses dengan kualitas prima, maka kombinasi keahlian itu disebut sebagai kapabilitas organisasi. Proses inilah yang menjadi suatu hierarki pengetahuan menurut Liebowitz dan Beckam. Adapun struktur hierarki pengetahuan tersebut dapat dilihat dari gambar berikut : Kapabilitas Organisasi
Keahlian
Pengetahuan
Informasi
Data
Simbol
Gambar 1. Hierarki pengetahuan (Liebowitz dan Beckam dalam Munir, 2008) 2.1.1 Data, Informasi dan Pengetahuan Pemahaman antara data, informasi, dan pengetahuan lebih mudah diperoleh bila dilihat dari nilai hierarkinya. Data pada dasarnya berupa simbol-simbol, fakta-fakta, angka-angka, grafik, peta, atau hasil observasi. Informasi adalah data yang telah ditambahkan makna tertentu. Informasi merupakan kumpulan data yang terkait dengan penjelasan, interpretasi, yang
8
ada hubungannya dengan materi atau objek, peristiwa, atau proses tertentu. Data
berubah
menjadi
informasi
ketika
data
telah
melalui
pengkategorisasian, penyaringan, atau penyusunan. Adapun pengetahuan, yaitu informasi yang telah dievaluasi, disusun dan dikelola serta diberi tujuan (Sangkala, 2007). Perbedaan antara data, informasi dan pengetahuan terletak pada masalah derajat kedalamannya. Pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang lebih mendalam dibandingkan informasi, apalagi data. Menurut Maholtra dalam Munir (2008) pengetahuan berasal dari informasi, seperti informasi berasal dari data. Apabila informasi menjadi pengetahuan, manusia harus melakukannya secara virtual. Adapun cara transformasi informasi menjadi pengetahuan dapat dilakukan dengan cara seperti berikut : 1. Pembandingan (comparison), yaitu membandingkan situasi saat ini dengan situasi yang pernah dihadapi dulu. 2. Konsekuensi (consequences), yaitu membicarakan dampak yang disebabkan oleh informasi yang baru diterima terhadap keputusan yang diambil. 3. Hubungan (connection), yaitu hubungan antara informasi mengenai halhal pada waktu lalu dengan informasi mengenai suatu hal yang baru dimiliki. 4. Percakapan (conservation), yaitu pendapat dan pandangan orang-orang akan informasi yang didapat. 2.1.2 Komponen Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil pembelajaran dalam menghadapi suatu masalah yang unik dalam situasi dan kondisi yang unik pula. Oleh karena itu, pemahaman mengenai pengertian pengetahuan perlu ditingkatkan dengan cara mengetahui komponen-komponen kunci dari pengetahuan. Menurut Devenport dan Prusak dalam Munir (2008), komponen kunci dari pengetahuan terdiri atas pengalaman, kebenaran, penalaran, petunjuk-praktis (rule-of-thumbs), nilai-nilai, serta keyakinan (belief).
9
1. Pengalaman (Experience) Pengalaman merujuk pada apa yang pernah dilakukan dan apa yang pernah dialami di masa lalu. Pengetahuan terus berkembang melalui pengalaman, pelatihan, buku-buku yang dibaca, nasihat-nasihat mentor dan pembelajaran informal di dalam maupun di luar organisasi. Pengalaman memberikan perspektif historis dalam memandang dan memahami suatu situasi yang baru. 2. Kebenaran mendasar (Ground Truth) Kebenaran mendasar merujuk pada mengetahui apa yang benarbenar terjadi dan apa yang tidak terjadi. Dengan menghadapi berbagai kebenaran mendasar selama menjalani kehidupan, manusia terus mengubah pengetahuannya. 3. Penalaran (Judgement) Pengetahuan dapat membuat manusia menalar dan memodifikasi pengetahuan yang telah dimiliki sebagai respon terhadap situasi dan informasi-informasi baru yang diperoleh. 4. Petunjuk-praktis (Rule of Thumb) dan Intuisi (Intuition) Petunjuk praktis adalah tindakan manusia yang terbentuk dan berkembang dari pengalaman coba-coba dan observasi dalam waktu panjang. Hal ini akan membentuk solusi jalan pintas untuk masalahmasalah baru yang mirip dengan masalah-masalah terdahulu yang telah pernah berhasil dipecahkan. Sedangkan intuisi adalah keahlian-keahlian yang telah dipadatkan, sulit dipisah-pisahkan karena seolah-olah telah menjadi kesatuan. 5. Nilai-Nilai (Value) dan Keyakinan (Belief) Nilai-nilai serta keyakinan orang-orang yang berada di dalam dan luar organisasi sangat mempengaruhi pengetahuan organisasi. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai serta keyakinan mempengaruhi pemikiran dan tindakan manusia. 2.1.3 Jenis-Jenis Pengetahuan Nonaka diacu Munir (2008) menyatakan bahwa pengetahuan dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu tacit knowledge (pengetahuan implisit) dan
10
explicit knowledge (pengetahuan eksplisit). Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan sangat sulit untuk diformalisasikan, sulit dikomunikasikan, atau dibagi dengan orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa tubuh, pengalaman fisik, petunjuk praktis termasuk ke dalam jenis pengetahuan terbatinkan. Tacit knowledge juga merupakan pengetahuan yang sangat bersifat pribadi dan juga sangat susah dibentuk. Tacit knowledge memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi teknis yang mencakup berbagai macam keterampilan atau keahlian yang sulit diformulasikan. Dimensi ini sangat subjektif dan pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tersebut sangat bersifat pribadi, intuitif, dugaan dan inspirasi yang muncul dari pengalaman. Kedua, dimensi kognitif yang terdiri dari kepercayaan, persepsi, idealisme, nilai-nilai, emosi dan mental model sehingga dimensi ini tidak mudah diartikulasikan. Pengetahuan eksplisit disebut sebagai pengetahuan yang dapat diekspresikan dalam kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk formula ilmiah, spesifikasi, prosedur operasi standar, bagan, manualmanual, dan prinsip-prinsip universal (Sangkala, 2007). Pengetahuan eksplisit dapat diteruskan dari satu individu ke individu lain secara formal dan sistematis. Perbedaan mendasar antara kedua jenis pengetahuan dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 2. Perbedaan antara dua jenis pengetahuan Pengetahuan Tacit (Subjektif)
Pengetahuan Explisit (Objektif)
• Knowledge of experience (tubuh)
• Knowledge of rationality (pikiran)
• Simultaneous knowledge (di sini dan
• Sequential knowledge (di sana dan saat
saat ini) • Analog knowledge
itu) • Digital knowledge (teori)
Sumber : Nonaka & Takeuchi dalam Munir (2008)
Munir (2008) menyatakan bahwa pengetahuan juga dapat dibedakan berdasarkan tipenya, yaitu declarative (knowledge about), procedural (know-how), causal (know-why), conditional (know-when), dan relational (know-with). Pengetahuan ini berguna untuk pemetaan dan pengelolaan knowledge di organisasi. Namun, untuk kepentingan audit pengetahuan
11
organisasi digunakan kategorisasi pengetahuan berdasarkan tingkatan yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu, pengetahuan inti (core knowledge), pengetahuan lanjut (advanced knowledge) dan pengetahuan inovatif (innovative knowledge). Pengetahuan inti (core knowledge) merupakan tingkat dan cakupan pengetahuan yang dibutuhkan hanya untuk sekedar dapat beroperasi dalam industri atau lingkungan di mana organisasi berada. Dalam skala industri, pengetahuan inti diperlukan sebagai penghalang masuk industri karena pengetahuan ini pasti dan harus dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang bermain dalam industri yang bersangkutan. Pengetahuan lanjut atau advanced knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki perusahaan dan ingin dipertimbangkan sebagai pemain tangguh dalam industrinya atau organisasi nirlaba yang ingin mempunyai kinerja prima. Pengetahuan ini dapat membuat perusahaan melakukan serangan dalam
persaingan
karena
setiap
perusahaan
memiliki
perbedaan
pengetahuan. Perbedaan inilah yang membuat perusahaan dapat melakukan diferensiasi. Pengetahuan inovatif (innovative knowledge) merupakan pengetahuan yang membuat perusahaan mampu menjadi pemimpin dalam persaingan. Pengetahuan ini membuat perusahaan melakukan diferensiasi yang sangat berarti dibandingkan para pesaingnya. Pengetahuan ini juga dapat mengubah basis persaingan dalam industri. Selain itu, menurut Machluop dalam Munir (2008) meyatakan bahwa ada tiga jenis pengetahuan yaitu knowing that, knowing what, dan knowing how. Knowing that berhubungan dengan pengetahuan
proporsi
seperti
kebenaran
(truth).
Knowing
what
menggambarkan bahwa kebanyakan orang merasa mengetahui tentang suatu hal yang kompleks sebenarnya hanya mengetahui sebagian saja dari keseluruhan pengetahuan tersebut. Sedangkan knowing how merupakan jenis pengetahuan dimiliki organisasi karena berhubungan dengan kemampuan melakukan suatu tugas atau kegiatan. Know why merupakan level pengetahuan yang dapat membuat seseorang mampu memanfaatkan
12
pengetahuan-pengetahuan di tingkat know-what dan know how untuk menghasilkan penyempurnaan-penyempurnaan dan inovasi. 2.1.4 Penciptaan Pengetahuan Faktor budaya memegang peran sangat penting dalam mendukung proses penciptaan knowledge organisasi dan keberhasilan knowledge management di organisasi. Berbagi knowledge berarti setiap anggota organisasi menyadari pentingnya knowledge bagi organisasi, bersama-sama ingin membangun knowledge organisasi, serta rela membagai ilmunya dengan anggota lain. Adapun strategi membangun budaya knowledge sharing di dalam diri SDM organisasi menurut Setiarso et al (2009) adalah sebagai berikut : 1. Merumuskan budaya knowledge sharing di organisasi 2. Membangun rasa saling percaya di antara SDM organisasi 3. Adanya sistem penghargaan (reward) untuk karyawan yang banyak melakukan aktivitas berbagi knowledge. 4. Rotasi kerja 5. Menyediakan sarana atau media dalam melakukan aktivitas berbagi knowledge. 6. Adanya dukungan dari pemimpin dan jajaran manajemen akan penerapan knowledge management. Menurut Nonaka dan Takeuchi (Munir, 2008), terdapat empat proses penciptaan
(kreasi)
pengetahuan
yaitu
sosialisasi
(Socialization),
eksternalisasi (Externalization), kombinasi (Combination), dan internalisasi (Internalization). Keempat proses penciptaan ini sering disebut sebagai spiral
SECI
yang
menunjukkan
semakin
sering
proses
konversi
pengetahuan, semakin mendalam pemahaman yang bersangkutan. a. Sosialisasi (Socialization) Sosialisasi adalah konversi pengetahuan tacit ke pengetahuan tacit dengan cara proses sharing dan melalui interaksi serta pengalaman langsung Proses ini digunakan untuk menekankan pada pentingnya kegiatan bersama antara sumber pengetahuan dan penerima pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan tacit. Selain itu, proses sosialisasi
13
dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dengan mengubah tacit knowledge para trainer manjadi tacit knowledge para karyawan (Setiarso et al, 2009). b. Eksternalisasi (Externalization) Eksternalisasi merupakan pengartikulasian pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit melalui proses dialog dan refleksi. Pengetahuan tacit diekspresikan dan diterjemahkan menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototype sehingga dapat dimengerti oleh semua pihak. c. Kombinasi (Combination) Merujuk pada konversi pengetahuan dari pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan eksplisit. Proses ini mengkombinasikan berbagai explicit knowledge yang berbeda untuk disusun ke dalam sistem knowledge
management.
Pengetahuan
dipertukarkan
dan
dikombinasikan melalui media seperti dokumen-dokumen, rapat-rapat, percakapan telepon, dan kombinasi melalui jaringan komputer. d. Internalisasi (Internalization) Merujuk pada konversi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan tacit. Semua dokumen data, informasi dan knowledge yang sudah didokumentasikan dapat dibaca oleh orang lain. Proses ini menyebabkan terjadinya peningkatan knowledge sumber daya manusia yang didukung oleh alat batu pencarian dan pengambilan dokumen. 2.2. Manajemen Pengetahuan Menurut Horwitch dan Armacost (Sangkala, 2007), mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai pelaksanaan penciptaan, penangkapan, pentransferan, dan pengaksesan pengetahuan dan informasi yang tepat ketika dibutuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, bertindak dengan cepat, serta memberikan hasil dalam rangka mendukung strategi bisnis. Di lain pihak, menurut Davidson dan Voss dalam Sangkala (2007) mengungkapkan bahwa manajemen pengetahuan sebagai sistem yang memungkinkan perusahaan menyerap pengetahuan, pengalaman, dan
14
kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja perusahaan. Manajemen pengetahuan juga merupakan suatu proses yang menyediakan cara sehingga perusahaan dapat mengenali dimana aset intelektual kunci berada, menangkap ukuran aset intelektual yang relevan untuk dikembangkan. Knowledge Transfer International (KTI) mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai suatu strategi yang mengubah asset intelektual organisasi, baik informasi yang sudah terekam maupun bakat dari para anggotanya ke dalam produktivitas yang lebih tinggi, nilai-nilai baru, dan peningkatan daya saing. Manajemen pengetahuan mampu mengajarkan kepada organisasi, dari mulai pimpinan sampai kepada karyawan mengenai bagaiman menghasilkan dan mengoptimalkan keterampilan sebagai entitas kolektif. The American Productivity and Quality Centre mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai strategi dan proses pengidentifikasian, menangkap, dan mengungkit pengetahuan untuk meningkatkan daya saing. Manajemen pengetahuan lebih terkait dengan hal-hal berbagi pengetahuan, bukan demi pengetahuan itu sendiri, tetapi lebih kepada suatu sarana untuk menemukan cara yang memungkinkan anggota perusahaan menjalankan proses bisnisnya lebih cepat, lebih baik, dan biaya yang lebih efisien. 2.2.1 Penerapan Manajemen Pengetahuan Penerapan knowledge management pada suatu organisasi merupakan proses panjang dan lama, yang mencakup perubahan perilaku semua karyawan. Upaya perubahan ini perlu sinkronisasi dengan keseluruhan strategi pelaksanaan organisasi. Menurut Birkinsaw dalam Setiarso et al (2009) menggarisbawahi tiga kenyataan yang sangat mempengaruhi berhasil tidaknya knowledge management, yaitu : a. Penerapannya tidak hanya menghasilkan knowledge baru, tetapi juga mendaur-ulang knowledge yang sudah ada. b. Teknologi informasi belum sepenuhnya dapat menggantikan funsifungsi jaringan sosial antar anggota organisasi. c. Sebagian besar organisasi tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Banyak knowledge penting yang harus ditemukan lewat
15
upaya-upaya khusus. Padahal, knowledge itu sudah dimiliki sebuah organsasi sejak lama. Sebelum menerapkan manajemen pengetahuan, beberapa dimensi perubahan perlu dipahami. Beberapa dimensi perubahan tersebut adalah : 1) dimensi
konseptual,
mengembangkan
yaitu
konstruksi
terkait yang
dengan
kemampuan
terintegrasi
untuk
organisasi
mendiskusikan
pengetahuan yang akan digunakan oleh organisasi, 2) dimensi perubahan itu sendiri, terkait dengan tingkat resistensi dan stabilitas ketika menerapkan manajemen pengetahuan. 3) aspek pengukuran, yaitu terkait dengan aspek apakah penerapan manajemen pengetahuan sudah sesuai dengan jalur yang telah ditentukan atau tidak, 4) aspek struktur organisasi, yaitu terkait dengan penyusunan peran dan tanggung jawab yang diperlukan supaya penerapan manajemen pengetahuan efektif, 5) isi pengetahuan, yaitu pandangan mengenai pengetahuan sebagai produk, 6) dimensi alat, yaitu terkait dengan ketersediaan sarana mendapatkan pengetahuan. Tiwana dalam Sangkala (2007) menyatakan sepuluh langkah strategi untuk menerapkan manajemen pengetahuan dalam organisasi, antara lain : 1. Analisis infrastruktur yang ada. 2. Mengaitkan manajemen pengetahuan dengan strategi bisnis. 3. Mendesain infrstruktur manajemen pengetahuan. 4. Mengaudit asset dan sistem pengetahuan yang ada. 5. Mendesain tim manajemen pengetahuan. 6. Menciptakan blueprint manajemen pengetahuan. 7. Pengembangan sistem manajemen pengetahuan. 8. Prototype dan uji coba. 9. Pengelola perubahan, kultur dan struktur penghargaan. 10. Evaluasi kinerja, mengukur ROI dan perbaikan sistem manajemen pengetahuan. 2.2.2 Aktivitas dan Pentingnya Manajemen Pengetahuan pada Organisasi Tannebaum dalam Sangkala (2007) menjelaskan mengenai beberapa karekteristik aktivitas manajemen pengetahuan yang terdiri dari :
16
1. Pengembangan database organisasi mengenai pelanggan, masalah yang bersifat umum dan pemecahannya. 2. Mengenali para ahli internal, memperjelas apa yang mereka ketahui, dan mengembangkan kamus yang menjelaskan sumber daya internal kunci dan mengenali bagaimana menemukannya. 3. Mendapatkan dan menangkap pengetahuan dari para ahli untuk disebarkan ke yang lain. 4. Mendesain struktur pengetahuan yang membantu mengelola informasi dalam suatu cara yang dapat di akses dan siap diaplikasikan. 5. Menciptakan forum bagi orang-orang yang ada di dalam perusahaan untuk berbagi pengalaman dan ide. 6. Memanfaatkan groupware sehingga memungkinkan berbagai macam orang di lokasi yang berbeda dapat berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama, dan mencatat informasi di dalam suatu domain pengetahuan yang telah dipilih. 7. Bertindak untuk mengenali, mempertahankan talenta orang-orang yang memiliki pengetahuan yang diperlakukan di dalam bidang kegiatan utama bisnis. 8. Mendesain pelatihan dan aktivitas pengembangan lainnya untuk menilai dan membangun pengetahuan internal. 9. Menerapkan praktik penghargaan, pengakuan dan promosi yang mendorong berlangsungnya kegiatan berbagi informasi antaranggota maupun antarunit di dalam organisasi. 10. Membantu pekerjaan serta meyediakan alat-alat yang mendukung kinerja sehingga memungkinkan setiap orang menilai dan menerapkan pengetahuan apabila diperlukan. 11. Memaknai database pelanggan, produk, transaksi, atau hasil dengan mengenali kecenderungan dan menggali informasi sebanyak mungkin. 12. Mengukur modal intelektual di dalam upaya mengelola pengetahuan yang lebih baik. 13. Menangkap dan menganalisis informasi yang terkait dengan perhatian pelanggan, pilihan-pilihan dan kebutuhan dari lapangan, front line atau
17
personil bagian pelayanan didorong untuk mampu memahami dengan lebih baik terhadap kecenderungan pelanggan. Knowledge management yang sukses tidak hanya karena komputer yang impresif, tetapi sebaiknya ditinjau dari ketiga komponen yang kritis, yaitu : a. Alur knowledge yang benar dan sumber yang dilimpahkan ke organisasi/institusi. b. Teknologi tepat yang disimpan dan dapat mengkomunikasikan knowledge tersebut. c. Budaya tempat kerja yang benar, sehingga karyawan termotivasi untuk memanfaatkan knowledge. Saat ini, banyak perusahaan atau praktisi meyakini bahwa knowledge management telah menjadi faktor penentu keberhasilan perusahaan dan merupakan suatu hal yang penting dengan alasan sebagai berikut : 1. Era ekonomi yang baru akan mengacu pada era ekonomi pengetahuan. Daya saing perusahaan lebih ditentukan oleh tingkat pengetahuan yang dapat diinstitusionalkan menjadi disiplin organisasi dan pengetahuan yang digunakan oleh perusahaan itu sendiri bersumber dari manusia. 2. Efektivitas
knowledge
management
dipengaruhi
oleh
kualitas
lingkungan kerja yang kondusif untuk terjadinya proses berbagi pengetahuan dan pemaknaan sebuah informasi yang dihasilkan oleh manajemen informasi. Sedangkan teknologi informasi berperan untuk mempermudah pertumbuhan
proses
belajar,
pengetahuan
sehingga
organisasi
dan
dapat
mengakselerasi
pada
akhirnya
akan
mempercepat kinera perusahaan. 3. Menurut Amidon dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006) knowledge management merupakan kesimpulan akhir dari berbagai konsep manajemen dan merupakan sebuah konsep baru yang bersifat menyeluruh dan utuh yang fokus pada penciptaan dan implementasi pengetahuan dalan organisasi.
18
2.3. Faktor-Faktor Pendukung Manajemen Pengetahuan Takeuchi dan Nonaka dalam Sangkala (2007) menyatakan bahwa enabling
condition/context
merupakan
suatu
ruang
yang
dapat
menumbuhkembangkan munculnya hubungan antaranggota organisasi atau semacam konteks organisasi yang dapat berbentuk ruang, maya, mental atau mungkin gabungan ketiganya. Hal ini dalam konteks penciptaan pengetahuan penting karena pengetahuan merupakan sebuah dinamika, hubungan, dan berdasarkan tindakan manusia, tergantung kepada situasi dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Oleh karena itu, organisasi harus menyediakan kondisi yang memungkinkan karyawan dengan mudah terdorong dan termotivasi menciptakan pengetahuan. Menurut Handzic dan Zhou (2005), enabler dari penerapan manajemen pengetahuan adalah konfigurasi faktor lingkungan organisasi dan teknologi. Konfigurasi knowledge management tersebut sering disebut sebagai faktor pencipta dan proses terlaksananya iklim pengetahuan dalam suatu organisasi. Adapun enabler tersebut terdiri dari : budaya organisasi, kepemimpinan,
struktur
organisasi,
pengukuran
kinerja
dan
ICT
(Information and Communication Technology). Sangkala (2007) menyatakan enabler condition atau faktor kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan dapat dipicu oleh tiga faktor utama, yaitu orang (sosial), organisasi, dan teknologi. Faktor manusia dalam penciptaan pengetahuan berfokus pada upaya bagaimana memicu orang untuk melakukan apa yang dapat dilakukannya, berfokus pada kemungkinan tingkat keterampilan, dan peran karyawan yang dapat dilakukan dalam organisasi. Kondisi sosial yang seharusnya tercipta dan dibangun terusmenerus oleh organisasi untuk mendorong penciptaan pengetahuan yaitu perhatian, penilaian, pemberdayaan, kepercayaan, otonomi, pengungkitan kompetensi dan pekerja atau aktivis manajemen. Kondisi organisasi yang dapat menciptakan pengetahuan adalah organisasi yang berkarakter pembelajar. Organisasi pembelajar mampu melahirkan
pengetahuan-pengetahuan
baru,
memiliki
kemapuan
19
memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan. Setiap organisasi memiliki tujuan yang ingin dicapai. Strategi untuk menciptakan pengetahuan terlihat di dalam upaya organisasi menyusun langkah-langkah mendapatkan, menciptakan, mengakumulasi dan menggali pengetahuan.aktivitas tersebut merupakan tugas organisasi mengaitkan tujuan organisasi dengan pikiran dan perilaku karyawan. Berbagi pengetahuan dalam suatu organisasi, membutuhkan waktu yang cukup banyak. Oleh karena itu, organisasi harus membantu aktivitas berbagi pengetahuan dengan memberi kemungkinan waktu yang tidak terlalu kaku sehingga karyawan memiliki ruang yang cukup untuk mampu merefleksikan, membingkai isu-isu, dan belajar dari berbagai kompetensi baru. Menurut Sangkala (2007), beberapa unsur penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam membentuk kondisi organisasi yang berkarakter pembelajar, yaitu : fluktuasi dan kekacauan kreatif yang yang merangsang organisasi untuk berinteraksi dengan lingkungan luar, sistem yang terintegrasi ke dalam proses pekerjaan sehari-hari, redudansi yang berarti terjadinya tumpang tindihnya informasi mengenai aktivitas bisnis, tanggung jawab
manajemen,
dan
organisasi
secara
keseluruhan.
Redudansi
menghasilakan pembelajaran karena bercampurnya informasi dari setiap persepsi individu. Cara ini membantu anggota organisasi memahami kegiatannya dan berbagai perspektif, membuat pengetahuan organisasi lebih cair dan lebih mudah dipraktikkan, menanamkan visi pengetahuan, mengelola percakapan; mengglobalkan pengetahuan local, ukuran sebagai patokan dalam menilai dan mengukur setiap aktivitas pengetahuan, pejuang pengetahuan, iklim keterbukaan, keperluan yang beragam, komunitas, kolaborasi dan dialog. Berdasarkan penelitian Albers (2009), unsur kondisi organisasi seperti keterbukaan, kolaborasi, dialog/komunikasi, waktu belajar, mengelola percakapan, dan mengglobalkan pengetahuan lokal yang dipaparkan oleh Sangkala, termasuk faktor budaya pengetahuan yang mempengaruhi
20
kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan. Sedangkan kondisi teknologi informasi dan komunikasi hanyalah sebagai fasilitator dalam berbagi dan menciptakan pengetahuan untuk menghubungkan orang dengan orang lain serta untuk mengeksplisitkan pengetahuan. Tabel 3. Penggabungan dan peringkasan indikator kunci kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan menurut Chong dan Choi No. 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
Factor Employee training Employee involment Teamwork
Employee empowerment Top management leadership and commitment Removal of organizational constraints Information system infrastructure Knowledge based performance measurement Knowledge friendly culture
10.
Benchmarking
11.
Knowledge structure
Research Choi (2000), Mody et al (2002), Garavan et al (2000), Hung et al (2005, Hwang(2003), Moffett et al (2003) and Salleh and Goh (2002) Bhatt(2002), Binney (2001), Choi(2000), Hall (2001), Hung et al (2005), Moffett et al (2003) and Ryan and Prybutok (2001) Choi (2000), Civi (2000), Geraint (1998), Greengard (1998), Has (2002), Mohrman et al (1996), Phillips (1994), and Ryan and Prybutok (2001) Anahotu (1998), Bhatt (2002), Choi (2000), Martinez (1998), Senge (1991), Verespej (1999) and Moffett et al (2003) Abell and Oxbrow (1999), Choi (2000), Civi (2000), Davenport et al (1998), Kalling (2003), Moffett et al (2003), Pemberton et al (2002), Ryan and Prybutok (2001) and Salleh and Goh (2002) Bonaventura (1997), Choi (2000), Clarke and Rollo (2001), Demarest (1997), McCune (1999), and McDermott and O’Dell (2001) Bhatt (2001), Bontis et al (2000), Choi (2000), Davenport et al (1998), Kotorov and Hsu (2001), McCambell et al (1999), Moffett et al (2003) and Ryan and Prybutok (2001) Choi (2000), Bassi and Van Buren (1999), Beijerse (2000), Carneiro (2001), Gooijer (2000), Martines (1998), Moffett et al (2003) and Pearson (1999) Choi (2000), Greengard (1998), Gupta et al (2000), Jager (1999), McDermott and O’Dell (2001), Ribiere (2001), Ryan and Prybutok (2001), Skyrme and Amidon (1997), and Wild et al (2002) Choi (2000), Davis (1996), Day and Wendler (1998) and O’Dell and Grayson (1998) Choi (2000), Davenport and Klahr (1998), Greco (1999), Hsieh et al (2002), Ulrich (1998) and Wenge and Snyder (2000)
Source : Chong and Choi (2005)
Menurut jurnal Chong dan Choi (2005), kunci kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan terdiri dari sebelas indikator yang merupakan faktor-faktor penting keberhasilan implementasi knowledge management. Sebelas indikator tersebut didapat dari peringkasan dan pengelompokkan prinsip-prinsip knowledge management yang banyak disarankan oleh peneliti, praktisi dan konsultan. Penggabungan dan peringkasan indikator kunci kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan dapat dilihat pada
21
Tabel 3. Penggabungan dan peringkasan ini dilakukan karena aliran penelitian tentang knowledge management masih merupakan suatu teori yang baru. Belum ada penelitian yang jelas mendefinisikan batas-batas dan kerangka tentang knowledge management karena knowledge management melibatkan hampir setiap bidang bisnis. Sehingga, faktor-faktor keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan yang diusulkan terfragmentasi dan beragam. Ada sebelas indikator kunci kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan yang digunakan oleh Chong dan Choi dalam penelitiannya. Adapun indikator tersebut adalah pelatihan, keterlibatan karyawan, kerja tim dan kepercayaan, pemberdayaan karyawan, kepemimpinan manajemen puncak, sistem informasi, pengukuran kinerja, budaya pengetahuan, benchmarking (pembandingan), struktur pengetahuan dan penghapusan batasan organisasi. 2.4. Penelitian Terdahulu Choi (2000) melakukan penelitian mengenai studi empiris faktor yang mempengaruhi
keberhasilan
implementasi manajemen
pengetahuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan manajemen pengetahuan. Adapun faktor-faktor penting yang diteliti oleh Choi antara lain pelatihan karyawan, keterlibatan karyawan, kerja sama, pemberdayaan karyawan, kepemimpinan manajemen puncak dan komitmen, batasan organisasi, infrastruktur sistem informasi, pengukuran kinerja, iklim kepercayaan, benchmarking, dan struktur pengetahuan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang tercatat dalam database klien Organisasi Gallup. Metode penelitian yang digunakan adalah survei cross sectional, analisis dekriptif, analisis regresi multiply dan uji t. Hasil
penelitian
Choi
(2000)
menyatakan
bahwa
organisasi
menanggapi dan menyadari akan pentingnya KM dalam hal kinerja organisasi mereka saat ini dan masa depan. Sebagian besar organisasi melihat bisnis mereka sebagai pengetahuan intensif. Teknologi informasi
22
adalah salah satu faktor yang paling sering diimplementasikan dalam manajemen pengetahuan. Namun, kebanyakan organisasi tidak percaya bahwa seorang spesialis KM seperti Chief Knowledge Officer (CKO) atau konsultan eksternal diperlukan untuk manajemen pengetahuan yang efektif. Selain itu, studi ini menemukan bahwa kepemimpinan manajemen puncak dan komitmen serta sedikitnya batasan organisasi merupakan faktor yang penting untuk keberhasilan KM dalam hal tingkat kepentingan yang diharapkan. Mengenai tingkat implementasi, sistem informasi infrastruktur dianggap sebagai hal yang penting bagi keberhasilan KM. Kemudian, Choi juga meneliti dampak dari karakteristik demografi (jenis organisasi, pendapatan tahunan, jumlah karyawan dan waktu investasi manajemen pengetahuan) pada faktor-faktor keberhasilan KM . Faktor KM berdasarkan tingkat kepentingan tidak dipengaruhi oleh jenis organisasi, pendapatan tahunan, jumlah karyawan, dan waktu investasi pada KM. Di sisi lain, faktor KM berdasarkan tingkat implementasi secara signifikan dipengaruhi oleh berbagai jenis organisasi dan waktu investasi. Namun, pendapatan tahunan dan jumlah karyawan tidak mempengaruhi faktor KM secara signifikan. Chong (2005) melakukan penelitian mengenai faktor kritis dalam kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan pada perusahaan-perusahaan ICT di Malaysia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat persepsi dan implementasi manajemen pengetahuan dari sebelas identifikasi faktor keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan dan menguji perbedaan faktor tersebut antara bidang teknologi informasi dan komunikasi pada perusahaan yang beroperasi di Malaysia. Adapun sebelas faktor tersebut berupa pelatihan, keterlibatan karyawan, kerja tim dan kepercayaan, pemberdayaan karyawan, kepemimpinan manajemen puncak, sistem informasi,
pengukuran
kinerja,
budaya
pengetahuan,
benchmarking
(pembandingan), struktur pengetahuan dan penghapusan batasan organisasi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis faktor dan uji t. Semua faktor yang diujikan dianggap sangat penting untuk program kesuksesan penerapan manajemen, kecuali faktor penghapusan batasan organisasi. Manajer menengah pada perusahaan yang diteliti menjelaskan
23
bahwa perusahaan mereka belum berusaha untuk menghapus semua batasan ketika dilaksanakannya penerapan faktor-faktor penting manajemen pengetahuan. Oleh karena itu, Chong
pada penelitian ini tidak
mempertimbangkan
batasan
faktor
penghapusan
organisasi
untuk
melaksanakan program manajemen pengetahuan. Windarti (2010) melakukan penelitian mengenai faktor lingkungan sumber daya manusia yang mendukung manajemen pengetahuan pada PT Unilever Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan manajemen pengetahuan, menganalisis kesenjangan antara tingkat harapan dengan tingkat aktual penerapan manajemen pengetahuan serta menganalisis faktor-faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi kesuksesan impelementasi manajemen pengetahuan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif, uji t, dan regresi linear berganda dengan signifikansi alfa yang digunakan yaitu 0.05. Faktor lingkungan sumber daya manusia yang diujikan dalam penelitian ini meliputi perhatian, penilaian, pemberdayaan, kepercayaan, otonomi, pengungkitan kompetensi (pelatihan), aktivitas pengetahuan (kepemimpinan manajemen puncak). Hasil penelitian yang dilakukan Windarti menunjukkan bahwa penerapan yang manajemen pengetahuan yang diterapkan perusahaan telah sesuai dengan harapan karyawan. kesenjangan atribut yang terbesar adalah faktor pemberdayaan karyawan yaitu “Dukungan Perusahaan terhadap pencarian keahlian/keunggulan yang dimiliki karyawan”. Kesenjangan terendah adalah faktor perhatian dengan yaitu “Setiap karyawan mengenal nama, jabatan, jobdesk, dan personality rekan di luar tim”. Faktor-faktor kunci kesuksesan implementasi manajemen pengetahuan yaitu kepercayaan, otonomi, pengungkitan kompetensi, keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. Semakin rendah tingkat kepercayaan dan semakin tinggi tingkat otonomi, pengungkitan kompetensi, keterlibatan serta pemberdayaan
karyawan
maka
semakin
tinggi
tingkat
kesuksesan
implementasi manajemen pengetahuan pada PT Unilever Indonesia.