TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Taman Nasional menurut pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pada ayat 14, diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan,
menunjang budidaya,
pariwisata dan
rekreasi
(Pristiyanto, 2005). Kriteria Penetapan Kawasan Taman Nasional (TN) adalah sebagai berikut: Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami: 1. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami. 2. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh. 3. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. 4. Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka
mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Pengelolaan taman nasional dapat memberikan manfaat antara lain: ekonomi dapat dikembangkan sebagai kawasan yang mempunyai nilai ekonomis, sebagai contoh potensi terumbu karang merupakan sumber yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi sehingga membantu meningkatkan pendapatan bagi nelayan, penduduk pesisir bahkan devisa negara. 1. Ekologi, dapat menjaga keseimbangan kehidupan baik biotik maupun abiotik di daratan maupun perairan. 2. Estetika, memiliki keindahan sebagai obyek wisata alam yang dikembangkan sebagai usaha pariwisata alam/bahari. 3. Pendidikan dan penelitian, merupakan obyek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian. 4. Jaminan masa depan keanekaragaman sumber daya alam kawasan konservasi baik di darat maupun di perairan memiliki jaminan untuk dimanfaatkan secara batasan bagi kehidupan yang lebih baik untuk generasi kini dan yang akan datang (Departemen Kehutanan, 1986). Kawasan taman nasional dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman nasional dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaan taman nasional sekurangkurangnya memuat tujuan pengelolaan dan garis besar kegiatan yang menunjang
upaya
perlindungan,
pengawetan
dan
pemanfaatan
kawasan
(Departemen Kehutanan, 1986).
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) UNESCO menetapkan kawasan TNGL sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004 sekaligus sebagai cagar biosfer pada tahun 1981. Kawasan ini sangat penting bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya. Sebagai kawasan hutan alami di Pulau Sumatera bagian Utara, TNGL sebagai jantung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sekitar tahun 1980-an ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai Taman Nasional dengan luas kawasan 802.485 ha, TNGL terletak di dua provinsi, yaitu Sumatera Utara seluas 213.985 ha dan di Aceh seluas 588.500 ha. Melalui Surat Keputusan (SK) Menhut No. 227/Kpts-II/1995 yang kemudian diperkuat dengan Keppres No. 33 tahun 1998, TNGL di samping berfungsi sebagai suaka margasatwa, suaka alam dan taman wisata, kawasan taman nasional sekaligus merupakan daerah penyangga dan daerah tangkapan air dari beberapa sungai yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Terdapat paling sedikit 22 sungai besar yang berasal dari dalam kawasan TNGL. Hampir 80 persen topografi kawasan memiliki kelerengan di atas 40 persen sehingga kondisi alamnya
sangat
rentan
terhadap
erosi
apabila
terjadi
penggundulan
hutan/pembukaan wilayah hutan disaat curah hujan tinggi (Balai TNGL, 2006). Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu taman nasional yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi yang terletak di wilayah Sumatera bagian Utara. Selain itu TNGL merupakan hulu dari sepuluh
daerah aliran sungai yang mensuplai air untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Namun keadaan terkini TNGL mengalami degradasi dan deforestrasi akibat perambahan hutan dan alih guna lahan di beberapa lokasi (Waruwu, 1984). Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 6186/Kpts-II/2002 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Balai Taman Nasional menyelenggarakan fungsi: 1. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan taman nasional 2. Pengelolaan taman nasional 3. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional 4. Perlindungan, pegamanan dan penanggulangan kebakaran taman nasional 5. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya 6. Kerjasama pengelolaan taman nasional 7. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 30 menyebutkan bahwa kawasan pelestarian alam (termasuk di dalamnya taman nasional) mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pristiyanto, 2005). Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan
pantai, pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain (Balai TNGL, 2008).
Sistem Perencanaan Perencanaan merupakan bagian penting dari siklus manajemen. Kualitas perencanaan, sangat ditentukan oleh kualitas data dan informasi, serta terkait dengan isu-isu strategis apa saja yang akan dimasukkan sebagai bagian dari intervensi, lalu dimasukkan ke dalam salah satu tolok ukur kegiatan dalam perencanaan
tersebut.
Apabila
isu-isu
strategis
tersebut
belum
dapat
didokumentasi dan dianalisis, maka sebenarnya banyak kegiatan yang kurang jelas, sehingga sebenarnya kurang atau tidak bermanfaat (Balai TNGL, 2006) Pada saat ini, balai TNGL sudah memiliki Rencana Strategis (Renstra) untuk 2006-2010. Renstra tersebut akan dibahas dan dikonsultasikan dengan mitra kunci TNGL, baik pemerintah daerah maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan harapan, terjadi proses dialogis yang sehat dan saling memberikan masukan, dan bahkan diharapkan akan dapat diperoleh “Agenda Bersama” yang disepakati. Dengan mengkomunikasikan Renstra, maka sudah dibuka budaya baru, yaitu upaya transparansi ke publik. Bukan tidak mungkin, setelah disepakati “Agenda Bersama” tersebut, akan banyak diperoleh sinergitas kerja, karena para pihak merasa juga memiliki kepentingan terhadap suatu isu strategis tersebut. Dengan demikian, kerjasama atau kolaborasi dapat mulai dibangun secara bertahap, sambil terus melakukan proses belajar dan saling mengkoreksi atau mengevaluasi, demi kepentingan bersama. Sejauh ini, pola ini belum dikembangkan, dan akan diujicobakan dengan melakukan dialog multipihak tentang rencana strategis TNGL 2006-2010 tersebut.
Efektivitas Pengelolaan Pengelolaan TNGL sampai dengan saat ini dapat dinilai belum efektif, dan bahkan tidak efisien. Yang menjadi persoalan adalah banyak persoalan strategis, seperti illegal logging dan perambahan kawasan dan proses penegakan hukum, khususnya di Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Langkat tidak pernah dapat dituntaskan. Balai TNGL tidak berdaya menangani persoalan illegal logging dan perambahan kawasan di Kabupaten Aceh Tenggara, yang antara lain disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu kondisi keamanan yang tidak kondusif sejak 5 tahun terakhir. Logging di Aceh Tenggara baru berakhir pada Desember 2005, ketika dilakukan operasi yang dipimpin tim khusus Mabes Polri, dengan menutup seluruh kilang kayu yang walaupun memiliki ijin resmi, namun melakukan penebangan di dalam kawasan TNGL (Departemen Kehutanan, 1986). Persoalan umum lainnya, seperti tidak aktifnya kantor-kantor resort di lapangan juga merupakan isu strategis yang sangat akut. Dari 28 kantor resort di lapangan, diperkirakan hanya 30% yang masih aktif bekerja. Hal ini kemudian berkembang dengan munculnya fenomena “paper park”. Taman nasional yang hanya ada di atas peta. Di lapangan, masyarakat tidak mengetahui batas-batas kawasan taman nasional masyarakat tidak mengetahui atau apatis terhadap manfaat taman nasional bagi kehidupannya. Wawancara di lapangan juga menunjukkan bahwa masyarakat lebih mengenal hutan PPA (Perlindungan dan Pelestarian Alam) sebagai sebutan bagi TNGL. Hal ini membuktikan bahwa stafstaf di masa lalu memang lebih rajin bekerja di lapangan, yang di masa itu kawasan-kawasan taman nasional dikelola oleh setingkat direktorat, dengan nama Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA).
Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam penyelesaian persoalan taman nasional melibatkan beberapa pihak kunci, yaitu TNGL, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Efektivitas penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor komitmen dan tingkat sinergitas antar lembaga penegak hukum tersebut. Kelemahan di sisi Balai TNGL antara lain disebabkan oleh beberapa hal penting, misalnya ketidakjelasan pal batas TNGL. Hal ini disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses tata batas di lapangan, pal batas yang digeser oleh perambah, dan lemahnya pengelolaan taman nasional di tingkat lapangan. Alasan terakhir ini menyebabkan taman nasional dianggap sebagai idle land, lahan kosong, atau lahan tidur yang tidak bermanfaat, dan tidak dimiliki oleh siapapun (situasi ini disebut sebagai open access), seperti yang terjadi dalam kasus perambahan (Departemen Kehutanan, 2007). Perkembangan eks pengungsi semakin tahun semakin meningkat. Peningkatannya dapat dilihat dalam Tabel 1 dibawah ini: Tabel 1. Perkembangan jumlah eks pengungsi dan luas areal pegungsi 2000
2005
2007
Lokasi Jumlah KK
Luas Areal (Ha)
Jumlah (KK)
Luas Areal (Ha)
Jumlah (KK)
Luas Areal (Ha)
Damar Hitam
200
250
82
500
71
750
Sei Minyak
150
250
164
750
126
1,000
Jumlah
706
850
731
2,600
554
3,500
Sumber : Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser
Pengungsi Pengertian pengungsi dalam Bahasa Indonesia sebenarnya memiliki permasalahan yang unik. Pengungsi telah mencakup apa arti dari refugees dan
IDP's. Tetapi untuk mempermudah membedakan keduanya, refugees lebih sering disebut dengan pengungsi yang melintasi batas-batas negara sedangkan IDP's adalah pengungsi internal. Pembedaan ini bertujuan agar lebih jelas dalam pertanggungjawaban. Untuk lebih jelasnya, definisi dari masing-masing kata tersebut: 1. Refugees (pengungsi lintas batas) Pengungsi lintas batas adalah seseorang yang karena rasa takut yang wajar akan dianiaya, berdasarkan ras, agama, kebangsaaan, pada suatu kelompok sosial tertentu atau pandangan politik, berada diluar kebangsaannya, karena rasa takut itu
tidak
berkehendak
berada
dalan
negeri
tersebut.
Contoh: - Masyarakat Timor-Timur yang masuk ke dalam Wilayah Indonesia. Mereka masuk dalam kategori pengungsi lintas batas negara karena mereka masuk ke dalam wilayah Indonesia. - Internally Displaced Person's (pengungsi Internal) Pengungsi internal adalah orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama akibat dari, atau dalam rangka menghindari dari dampak konflik bersenjata, situasi rawan yang ditandai maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran HAM, bencana alam, atau bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional.
Contoh: -
Masyarakat Aceh yang harus mengungsi ke beberapa tempat seiring dengan meningkatnya kekerasan di Aceh.
-
Pengungsian besar-besaran etnis Madura ketika terjadi tragedi Kalimantan Tengah pada Februari 2001. Mereka meninggalkan Kalimantan Tengah menuju ke Jawa Timur dan Pulau Madura akibat tragedi tersebut (Dephut, 2008).
Tingkat Pendapatan Masyarakat Merupakan acuan yang dapat digunakan untuk melihat perekonomian masyarakat desa yang biasa menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah dengan konsep garis kemiskinan yang dikemukakan oleh Sayogyo (1997), yang didasarkan Rumah Tangga (RT) per tahun. Konsep ini mengkonversikan tingkat pendapatan masyarakat dengan dasar konsumsi beras berdasarkan harga yang ditetapkan (Sayogyo, 1997). Seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila sudah terpenuhi segala kebutuhannya bukan keinginannya. Kebutuhan dasar seseorang mencakup pada 6 hal yakni sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan. Jika kebutuhannya tersebut sudah terpenuhi maka layak orang tersebut dikatakan sejahtera walaupun berpenghasilan kurang dari US$ 2 perhari seperti standar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Seberapa banyak atau sedikitnya upah seseorang per hari tidak akan menjadi ukuran kesejehteraan jika dia belum terpenuhi 6 aspek tersebut. Kesejahteraan dapat dilihat melalui besar pendapatan yang diperoleh setiap orang. Tingkat pendapatan rata-rata per bulan dapat dikategorikan menjadi:
a. Golongan berpenghasilan rendah sebesar Rp. 0 – Rp. 600.000 b. Golongan berpenghasilan sedang Rp. 601.000 – Rp. 1.000.000 c. Golongan berpenghasilan tinggi Rp. 1.001.000 – Rp. 1.400.000 d. Golongan berpenghasilan sangat tinggi Rp. > Rp.1.400.000 (BPS, 2010). Standar kebutuhan hidup masyarakat telah diteliti oleh para ahli dimana diperlukan 320 kg beras per kapita/tahun. Diandaikan harga beras Rp 5000, maka untuk kebutuhan hidup minimal adalah 320 x 5 (diandaikan 5 anggota dalam 1 keluarga) = 1600 kg/tahun x Rp 5000 = Rp 8.000.000/12 bln = Rp 666.666/bulan. Sedangkan untuk kebutuhan hidup layak adalah sudah bisa mengesampingkan uang dimana 50% untuk pendidikan, 50% untuk kesehatan, 50% untuk sosial, 50% untuk sarana kehidupan, dan 50% untuk tabungan. Maka dapat dihitung 320 x 250% x 5 x 5000 = 20.000.000/tahun = 1.666.666/bulan (Rauf, 2001). Rendahnya tingkat pendapatan di pedesaan tidak terlepas dari produktifitas yang rendah, kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani. Aspek ekonomi desa dan peluang kerja berkaitan dekat dengan masalah kesejahteraan masyarakat desa. Ekonomi pedesaan ditentukan oleh pola berusaha dari masyarakatnya. Lapangan usaha pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan merupakan mata pencaharian pokok masyarakat pedesaan (Mubyarto, 1991).
Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mampu mengatasi masalah rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, karena berhubungan dengan pola pikir, tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan potensi alam
yang ada. Pendidikan juga dikatakan kebutuhan pokok yang penting lebih lagi untuk pedesaan. Orang-orang yang kurang memperoleh kesempatan untuk ikut serta secara penuh dan berarti dalam sosial budaya dan politik. Dalam hubungan ini dianjurkan agar sistem latihan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional (Soeroto, 1983).
Pengertian Masyarakat Sekitar Hutan Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan baik yang memanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung hasil hutan tersebut. Masyarakat sekitar hutan dalam memandang hutan sebagai ruang kehidupan yang luas, tidak hanya bermakna produksi atau ekonomi, tetapi juga sumber manfaat lainnya, baik bersifat ekologis ataupun terkait dengan aspek kultural, sehingga makna religi yang menempati kedudukan terhormat. Kepentingan masyarakat sekitar hutan yang menyangkut sendi kehidupannya itu menimbulkan komitmen yang kuat guna memanfaatkan sumber daya hutan sebaik-baiknya (FWI dan GFW, 2001). Masyarakat sekitar hutan pada umumnya merupakan masyarakat yang tertinggal, kondisi sosial ekonomi golongan masyarakat pada umumnya rendah. Akibatnya sering timbul kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengabaian kepentingan
masyarakat
(Darusman dan Didik, 1998).
dalam
kegiatan
pemanfaatan
hutan
Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Bila keadaan sosial ekonomi masyarakat baik, maka hutan pun akan aman dan kelestariannya pun dapat terjamin. Sebaliknya bila terdapat kemiskinan, kelaparan atau kekurangan pangan maka hutan akan menjadi sasaran. Dengan demikian perlu adanya pemahaman sosial ekonomi dan budaya masyarakat, karena pada dasarnya manusia adalah pemikir, perencana dan penyelenggara pelesatarian lingkungan, sehingga pada akhirnya akan menunjang pembangunan, khususnya di sektor pertanian maupun kehutanan (Waruwu, 1984). Beberapa hal penting untuk menciptakan keadaan yang baik sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan adalah menciptakan lapangan kerja yang cukup majemuk bagi masyarakat, peningkatan pendapatan dan taraf hidup, pengadaan sarana dan mewujudkan lingkungan hidup yang sehat serta peningkatan upaya bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat (Kotijah, 2006).