BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Dari pengertian tersebut, maka bentuk pemanfaatan dalam kawasan taman nasional hanya untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Terkait dengan pariwisata, Fandeli dan Nurdin (2005) menyatakan bahwa pariwisata di taman nasional dapat menjadi sebuah faktor kunci dalam mendukung konservasi warisan alam dan warisan budaya. Pariwisata dapat menghasilkan pendapatan dari biaya masuk dan pelayanan jasa serta pajak-pajak lokal atau sumber lainnya. Pendapatan ini dapat digunakan secara langsung untuk membantu memenuhi atau mengimbangi biaya-biaya konservasi, mempertahanankan tradisi budaya dan menyediakan pendidikan. Hal tersebut tentu dapat terealisasi jika Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah serius dalam mengelola sektor pariwisata, apalagi jika pemerintah menempatkan sektor pariwisata sebagai sektor ekonomi andalan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pariwisata yang dikembangkan dalam kawasan taman nasional khususnya dan kawasan konservasi pada umumnya adalah pariwisata yang berbasis alam utamanya ekowisata. Pengembangan ekowisata (pariwisata alam) di taman nasional
2
dapat memanfaatkan zona pemanfaatan1. Dalam pengelolaannya, partisipasi atau peranserta masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Diana Conyers dalam Hadiwijoyo (2012) menyebutkan bahwa terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat merupakan unsur yang sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, tanpa kehadirannya, program-program pembangunan pariwisata tidak akan berjalan secara optimal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan pariwisata apabila masyarakat dilibatkan dalam setiap tahapan atau prosesnya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan monitoring. Ketiga, merupakan suatu hak demokrasi apabila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri, artinya masyarakat mempunyai hak untuk turut serta dalam menentukan dan merencanakan jenis pembangunan atau kegiatan apa yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal demikian juga tertera dalam dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 19 ayat 2, bahwa setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas yakni menjadi pekerja/buruh; konsinyasi; dan/atau pengelolaan. Taman Nasional Wakatobi (TNW) adalah salah satu taman nasional laut di Indonesia, memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati yang sangat tinggi dan sekaligus menjadi destinasi wisata bahari. Sedikitnya terdapat delapan
1
Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungann lainnya.
3
sumberdaya hayati penting yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah yakni terumbu karang, padang lamun, mangrove, SPAGs (Spawning Aggregations Sites/lokasi pemijahan ikan, burung pantai/laut, cetacean (paus dan lumba-lumba), penyu dan ikan ekonomi penting (Sopari, dkk., 2014). Selain sumber daya alam tersebut, keberagaman warisan budaya juga menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Wakatobi. Wakatobi awalnya ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam laut melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 462/Kpts-II/1995 tepatnya tanggal 4 September 1995. Kemudian melalui SK Menhut No.393/Kpts-VI/1996 ditingkatkan statusnya menjadi taman nasional dan ditetapkan sebagai Taman Nasional Wakatobi (TNW) pada tanggal 19 Agustus 2002 melalui SK Menhut No.7651/Kpts-II/2002 dengan luas kawasan 1.390.000 ha terdiri dari 97% lautan dan 3% daratan berupa pulau-pulau (Balai TNW, 2008). Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2003 Kepulauan Wakatobi resmi menjadi daerah otonom sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Wakatobi memiliki letak dan luas sama persis dengan letak dan luas wilayah TNW. Istilah Wakatobi diambil dari singkatan empat pulau utama yang ada di wilayahnya, yakni Pulau Wangi-Wangi (WA), Pulau Kaledupa (KA), Pulau Tomia (TO) dan Pulau Binongko (BI). Selain keempat pulau tersebut, kawasan ini memiliki pulau-pulau kecil di sekitarnya yang berpenghuni, salah satunya adalah Pulau Kapota. Pulau Kapota sama seperti pulau-pulau lainnya di Indonesia, memiliki keanekaragaman sumberdaya alam maupun budaya yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata (Feronika, 2011; Rafika, 2011). Namun,
4
ekosistem penyangganya sangatlah rawan dibanding dengan pulau lainnya. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat masih melakukan penambangan pasir secara liar, menangkap ikan dengan menggunakan alat yang dilarang oleh pemerintah seperti bom, racun sianida yang dapat merusak ekosistem di sekitarnya. Daerah yang menjadi destinasi wisata sekaligus sebagai wilayah konservasi, sudah sepantasnya dikelola dengan tepat karena dikhawatirkan terjadi perbedaan asumsi dasar antar sektor dalam mengelola potensi sumber daya alam. Pengelolaan kawasan wisata harusnya tidak hanya memperhatikan dari sisi fisik, namun juga secara sosial-budaya. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata di Wakatobi diarahkan pada prinsip-prinsip ekowisata2. Pengelolaan ekowisata di Taman Nasional Wakatobi umumnya dan di Pulau Kapota pada khususnya melibatkan beberapa sektor. Tidak hanya balai TNW, tetapi juga Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi serta kelembagaan adat setempat. Beberapa sektor ini masing-masing memiliki kepentingan untuk menjadikan Pulau Kapota sebagai aset yang dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak. Organisasi-organisasi dibuat untuk memperkuat kelembagaan dan merealisasikan kebijakan-kebijakan masing-masing sektor. Dari lembaga yang dibentuk disinyalir bahwa masyarakat lokal terlibat di dalamnya. Namun, seringkali keterlibatan masyarakat hanya bersifat partikular dalam proses pengelolaan ekowisata. Masyarakat lokal sebagai komponen penting harusnya tidak dinegasikan dalam setiap tahapan pengembangan ekowisata karena masyarakat merupakan ujung tombak dalam kelestarian sumber daya alam yang 2
Prinsip-prinsip ekowisata ini terpapar jelas pada Visi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wakatobi (RIPPDA, 2008).
5
menjadi daya tarik wisata. Adat dan budaya mereka sudah ada jauh sebelum campur tangan pihak TNW dan Dinas Pariwisata masuk. Penting untuk disoroti adalah bagaimana pola pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Kapota dan bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Kapota Taman Nasional Wakatobi haruslah dibentuk secara ideal dengan menempatkan keterlibatan masyarakat secara menyeluruh. Penelitian ini ingin mengetahui tingkat partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan ekowisata. Berdasarkan yang terpapar dalam uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pola pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Kapota Taman Nasional Wakatobi? 2) Seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Kapota Taman Nasional Wakatobi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini yaitu: 1) Mendeskripsikan pola pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Kapota Taman Nasional Wakatobi. 2) Mengetahui seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Kapota Taman Nasional Wakatobi.
6
1.4 Manfaat penelitian Merujuk pada tujuan penelitian, maka sekurang-kurangnya penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Manfaat Teoritis; Diharapkan hasil penelitian ini akan memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan kepariwisataan, khususnya terkait dengan pengelolaan ekowisata. 2) Manfaat Praktis; Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak terkait yang berkepentingan dalam pengembangan ekowisata bahari, khususnya di dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi.
1.5 Keaslian Penelitian Kajian partisipasi masyarakat telah banyak dilakukan seperti yang terdapat di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada yakni sebanyak 131 sampai pada Januari 2015. Untuk mahasiswa kajian pariwisata sekitar 20 orang yang telah meneliti tentang partisipasi masyarakat. Namun, berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian dengan tema seperti ini belum pernah dilakukan di Taman Nasional Wakatobi khususnya di Pulau Kapota. Beberapa penelitian di Taman Nasional Wakatobi yang berkaitan dengan tema ini, yakni: Pertama, penelitian Awang (2010) tentang studi kebijakan
partisipatif
pengelolaan
Taman
Nasional
Wakatobi
pasca
pembentukan Kabupaten Wakatobi. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi disharmonisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Konflik kepentingan
7
dan kewenangan terjadi pada fungsi perizinan bidang pariwisata, kelautan dan perikanan, serta pemanfaatan zonasi TNW. Kedua, penelitian Udu (2012) tentang pengembangan pariwisata dan hilangnya tanah-tanah sara di Wakatobi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode etnografi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa beberapa tanah adat/sara di Wakatobi sudah di luar kontrol adat, sehingga potensi konflik terbuka yang berhubungan dengan tanah adat. Selain itu, hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa beberapa pantai milik adat/sara sudah dijual secara pribadi dan dikembangkan menjadi resort. Di sisi lain, terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat mengenai zonasi laut yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Wakatobi. Selanjutnya, penelitian Marwan (2014) tentang studi ekonomi politik: Pengelolaan Pariwisata di Kabupaten Wakatobi. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara serta studi pustaka. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemerintah memiliki
peran
memperkenalkan
sentral pariwisata
dalam
pengembangan
Wakatobi,
pemerintah
pariwisata. melakukan
Untuk promosi
membangun bandara udara serta melakukan upaya-upaya peningkatan sumber daya manusia. Selain itu, pemerintah melakukan perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya melalui Taman Nasional Wakatobi. Meskipun beberapa penelitian tersebut dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi, akan tetapi secara spesifik untuk di Pulau Kapota belum ditemukan suatu penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari pada khususnya.