BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Penetapan zonasi dalam pengelolaan taman nasional didasarkan pada suatu kriteria yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1998. Taman Nasional Baluran merupakan salah satu dari lima Taman Nasional yang dikukuhkan pertama kali pada tahun 1980. Pembangunan T. N. Baluran di Indonesia merupakan perwujudan upaya nyata pemerintah dalam menangani kawasan konservasi. Dalam hal ini menyangkut perlindungan dan pengawetan secara mutlak terhadap tipe-tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis, serta pemanfaatan secara terkendali dari ekosistem dan keanekaragaman jenis tersebut sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat luas secara lestari (Anonim, 1986). Dengan luas 25.000 Ha, T. N. Baluran memiliki bermacam-macam tipe ekosistem mulai dari ekosistem pantai hingga pegunungan. Di dalam kawasan T. N. Baluran terdapat keanekaragaman jenis satwa liar, antara lain banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), kerbau liar (Bubalus bubalis), serta babi hutan (Sus verrocosus) (Anonimus, 1986). Satwa lain
1
2 yang terdapat di wilayah ini meliputi kelompok burung, satwa melata, dan sebagainya. Keberadaan satwa liar terutama satwa liar herbivora yang hidup di T. N. Baluran sangat tergantung kepada daya dukung habitatnya, antara lain dukungan makanan, sumber air dan tempat berlindung. Satwa liar herbivora melakukan aktivitas makan biasanya pada daerah padang rumput. Setyawati dan Mochtar (1992) mengemukakan bahwa padang rumput (savana) merupakan tempat bagi satwa herbivora melakukan aktivitas hariannya, terutama dalam mencari makan. Hijauan yang ada termasuk jenis-jenis rumput dan tumbuhan bawah lainnya merupakan sumber pakan bagi satwa herbivora. Salah satu savana yang dimanfaatkan oleh satwa herbivora untuk melakukan aktivitas makan harian di T. N. Baluran adalah Savana Bekol. Jenis vegetasi yang ada antara lain alang-alang (Imperata cylindrica), lamuran (Dichantium carisocum), merakan (Heteropogon contorcus), gajian (Schlerachne punctata) dan pilang (Acacia leocophloea). Ekosistem savana dapat dibagi menjadi dua sub tipe yaitu: a. Savana daerah datar dengan tanah alluvial muda hitam yang dikenal dengan Savana Bekol. Merupakan habitat berbagai jenis satwa liar seperti banteng, kerbau liar, babi hutan, merak dan ayam hutan. b. Savana daerah bergelombang dengan batu-batu besar yang berserakan. Ekosistem savana mempunyai nilai lebih dibanding ekosistem lain pada T. N. Baluran karena keunikannya, fungsinya, keindahannya dan nilai ilmiahnya. Alikondra
3 (1987) mengungkapkan 4 alasan tentang nilai penting ekosistem savana bagi T. N. Baluran: 1. Merupakan bentuk ekosistem yang khas yang meliputi 40% luas kawasan dan hanya terdapat di T. N. Baluran. 2. Merupakan pusat kehidupan berbagai satwa liar terutama mamalia besar yang dilindungi. 3. Merupakan panorama alam yang unik dan indah dengan 5 tipe ekosistem dan pantai, mampu menarik minat pengunjung. 4. Obyek yang sangat penting untuk penelitian dan pendidikan. Ekosistem savana di T. N. Baluran terdiri atas 4 lokasi yaitu: Balanan, Bekol, Talpat dan Lempuyang. Pada awalnya Savana Bekol merupakan padang rumput yang baik bagi satwa herbivora, tetapi daya dukung Savana Bekol mengalami penurunan karena produktivitas rerumputan savana menurun. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya ruang tumbuh dan ruang hidup rerumputan karena invasi tumbuhan Acacia nilotica. Pada tahun 1969 A. nilotica ditanam pada bagian tepi Savana Bekol yang berbatasan dengan hutan musim. Penanaman ini ditujukan sebagai sekat bakar, karena sifat A. nilotica yang tahan api, namun pada akhirnya penanaman A. nilotica ini memberikan dampak yang merugikan bagi kehidupan satwa liar herbivora karena pada tahun 1980 tanaman ini mulai meluas pertumbuhannya ke arah tengah Savana Bekol dan hingga saat ini diperkirakan seluruh Savana Bekol telah tertutup oleh A. nilotica.
4 Secara alamiah populasi jenis tumbuhan memiliki variasi sifat fenotip ataupun genotip, hal ini terkait dengan adanya keragaman faktor luar di habitat dalam wilayah distribusi alaminya. Tumbuhan dalam menghadapi adanya faktor luar di habitat pada wilayah yang bervariasi, mengadakan respon untuk mengantisipasi adanya cekaman agar tidak menimbulkan kepunahan. Respon tumbuhan dapat bersifat genetik dan non genetik. Respon genetik dapat menyebabkan terjadinya peristiwa metamorfose, yaitu adanya perubahan bentuk dan fungsi organ tumbuhan, sedangkan respon non genetik bersifat plastis berakibat pada perubahan sifat fenotip seperti bentuk, warna, bau dan rasa (Soerianegara, 1970). Menurut Zobel dan Talbert (1984) dalam suatu jenis terdapat berbagai variasi, yaitu: variasi geografi (provenans), variasi tempat tumbuh di dalam provenans, variasi tegakan di dalam tegakan, dan variasi di dalam pohon. Variasi tersebut disebabkan oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Meskipun demikian batas antara variasi akibat faktor lingkungan dan faktor genetik tidak jelas terlihat, karenya keduanya saling mempengaruhi (Soerianegara, 1970). Ada beberapa sifat yang lebih kuat dipengaruhi oleh susunan genetik daripada sifat lainnya, dan untuk setiap pohon akan berbeda-beda. Jika pengaruh faktor genetik sangat besar, maka disebut sifat teguh (figid). Sedangkan jika peran faktor genetik sangat kecil, maka disebut sifat plastis. Adanya perbedaan morfologi terkait dengan adanya kerjasama faktor luar yang membatasi kehidupan tumbuhan di alam, antara lain unsur hara, sinar matahari, iklim dan ketersediaan air.
5 Faktor yang berpengaruh terhadap kemungkinan munculnya variasi geografi adalah persebaran suatu jenis yang luas atau dengan kata lain bahwa spesies dengan sebaran tempat tumbuh yang luas, menghasilkan lebih banyak variasi genetik dibandingkan dengan spesies yang sempit sebaran alaminya (Wright, 1976). Persebaran suatu spesies di luar sebaran alaminya dengan lingkungan yang bermacam-macam akan mampu menimbulkan terjadinya perbedaan pada tingkat spesies bahkan individu. Adanya variasi yang terdapat pada tingkat spesies ini kemudian menimbulkan konsep seperti subspesies, varietas, subvarietas, forma hingga subforma. Seperti yang dikemukakan oleh Lawrence (1964), bahwa tidak ada dua tumbuhan yang betul-betul serupa. Variasi yang terdapat pada berbagai tumbuhan merupakan akibat interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Variasi morfologi suatu spesies tumbuhan merupakan hal yang penting untuk diketahui. Studi variasi morfologi A. nilotica di Savana Bekol T. N. Baluran pada penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari status taksonomi A. nilotica berdasarkan variasi morfologi yang ditemui di lapangan agar mampu diketahui kemungkinan adanya varian baru dari A. nilotica tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Savana, sebagai salah satu habitat utama bagi satwa liar seperti banteng, kerbau dan rusa yang ada di T. N. Baluran pada awalnya tidak terlalu luas dan terpisah-pisah. Kemudian akibat kebakaran hutan di kawasan teresebut, areal savana semakin bertambah luas. Untuk mencegah penyebaran kebakaran dari Savana Bekol
6 ke hutan musim, pihak pengelola kawasan menanam A. nilotica pada tahun 1963 sebagai sekat bakar untuk menanggulangi kebakaran di hutan jati (Nazif, 1988). Pada tahun 1969 jenis ini ditanam pula di Savana Bekol juga sebagai sekat bakar dalam mencegah kebakaran padang rumput (Alikondra, 1987 dalam Suharti, 1990). Ternyata spesies ini sangat mudah tersebar di T. N. Baluran. Mulai tahun 1983 pertumbuhan A. nilotica menjadi sangat pesat, baik dari pertumbuhan pohon maupun penyebarannya sehingga mempengaruhi pertumbuhan jenis lain terutama jenis-jenis tumbuhan bawah dan juga rumput (Nazif, 1988). Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat mempengaruhi percepatan penyebaran di kawasan T. N. Baluran. Terdapat banyak faktor dan kondisi yang berpengaruh nyata terhadap terjadinya perubahan kondisi ini. Dari berbagai faktor tersebut saling berhubungan dan berkesinambungan, sehingga dirasakan sangat rumit dan sulit dalam pemecahan permasalahannya. Untuk itu, diperlukan upaya serius dan terintegrasi dalam pengelolaan invasi A. nilotica ini. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan savana yang ada di T. N. Baluran. Penelitian ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui status taksonomi A. nilotica dan juga karakteristik pertumbuhan A. nilotica. Estimasi tentang taksonomi A. nilotica di masing-masing lokasi penelitian dalam hal ini adalah padang savanna di T. N. Baluran akan memberikan informasi mengenai keragaman ciri morfologi dari A. nilotica.
7 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui variasi morfologi A. nilotica di Savana Bekol Taman Nasional Baluran. 2. Mengetahui status taksonomi A. nilotica di Savana Bekol Taman Nasional Baluran. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemungkinan adanya varian baru dari A. nilotica yang dilihat dari status taksonomi dan
klasifikasi
A.
nilotica
di
Savana
Bekol
Taman
Nasional
Baluran.