TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan Sains dan Klasisifikasi Tanah Pedologis Salah satu ciri utama pengetahuan sains adalah terkomunikasi secara baik sehingga pengetahuan tersebut dapat dibaca dan diuji setiap saat. Sebagian dari pengetahuan sains tentang tanah tercakup di dalam Klasifikasi Tanah Pedologi. Sistem klasifikasi pedologis yang dikenal luas saat ini adalah sistem Taksonomi Tanah USDA (Soil Taxonomy). Sistem ini disusun secara komprehensif dengan melibatkan banyak ahli tanah di dunia karena salah satu tujuannya adalah agar dapat mengklasifikasikan semua tanah di manapun keberadaannya. Sistem Taksonomi Tanah disusun atas dasar kelemahan dan kekurangan sistem yang lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu terkini. Beberapa kelemahan sistem lama di antaranya tidak ada kejelasan hirarkhi antara kategori rendah dan tinggi, serta tidak ada definisi yang jelas dan tepat pada masing-masing kategori. Dalam aplikasi di lapangan, dapat terjadi suatu tanah tidak dapat dikelaskan ke salah satu kategori manapun, atau bisa jadi satu tanah dapat masuk ke dalam dua kategori atau lebih yang berbeda. Di samping itu sistem klasifikasi sebelumnya tidak disusun berdasarkan adanya kemungkinan ilmu pengetahuan itu sifatnya berkembang, sehingga perubahanperubahan dan penemuan-penemuan baru di bidang tanah tidak diantisipasi (Rachim, 2003). Untuk memecahkan masalah di atas dan memenuhi semua keperluan survei tanah, maka sistem Taksonomi Tanah disusun secara komprehensif, sistematik, logik dan kuantitatif. Pembeda klasifikasi yang digunakan adalah sifat-sifat tanah hasil proses pembentukan tanah dan faktor-faktor yang sangat penting mempengaruhi proses tersebut. Ciri pembeda dapat bersifat lebih umum, tapi untuk kategori rendah adalah dipilih yang penting terhadap pertumbuhan tanaman (Soil Survey Staff, 1975). Sistem Taksonomi Tanah disusun dengan tujuan untuk survei tanah dan interpretasinya. Dengan demikian sistem ini tidak hanya sekedar memberi nama terhadap tanah, tetapi lebih jauh dapat menginterpretasi hingga manajemen/pengelolaannya. Penggunaan ciri pembeda yang kuantitatif-objektif dimaksudkan agar semua pengguna tidak melakukan interpretasi yang berbeda dan cenderung subjektif. Data sifat-
8 sifat penciri ditetapkan dengan metode analisis yang sama dan sesuai dengan sifatnya yang sistematik. Melaksanakan klasifikasi memiliki urut-urutan yang baku termasuk tatanamanya.
Untuk
lebih
memudahkan
pengkelasan
dan
diharapkan
akan
mengklasifikasikan tanah yang sama dengan hasil nama yang sama pula, maka sejak tahun 1987 sistem ini disertai dengan Buku Kunci Klasifikasi Taksonomi Tanah. Sistem Taksonomi Tanah disusun demikian rupa khususnya dalam nomenklatur bukan milik suatu negara tertentu. Semua negara dapat mengadaptasikan ke dalam bahasa masingmasing. Indonesia sejak tahun 1989 telah menetapkan Sistem Taksonomi Tanah untuk digunakan secara nasional (Rachim, 2003). Dasar penyusunan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah adalah bersifat logik, sistematik dan kuantitatif. Logik, segala sesuatu berkenaan dengan klasifikasi dapat dipahami menurut akal pikiran yang sehat. Dalam hal ini segala sesuatu dalam sistem mempunyai hubungan kausalitas, sehingga baik susunan maupun cara klasifikasi dapat dipahami melalui penalaran. Sistematik, ada keteraturan dalam segala hal menyangkut kerangka sistem maupun pelaksanaannya. Kerangka yang demikian memiliki arti dan tujuan yang jelas. Sedangkan pelaksanaan klasifikasi memiliki urut-urutan yang baku, dan tata nama dilakukan dengan kaidah-kaidah yang jelas. Sementara itu sifat kuantitatif menunjukkan bahwa penciri klasifikasi yang digunakan dalam identifikasi dan penamaan tanah memiliki besaran atau kisaran nilai yang pasti dan ditetapkan dengan metode analisis tertentu baik di lapangan maupun di laboratorium (Rachim, 2003). Pendekatan Partisipatif Partisipatif berarti partisipasi atau ikut ambil bagian. Makna partisipasi yang disadur dan disimpulkan oleh Liubana (2004) dari konsepsi menurut Chambers (1992 dan 1996), bahwa ada masyarakat asli suatu wilayah misalnya masyarakat desa dan ada pendatang (surveyor atau peneliti) yang menggunakan input teknologi untuk diterapkan. Proses partisipatif menurut Liubana (2004), mengandung makna di mana “ada interaksi saling berbagi dan saling belajar: dari, oleh dan dengan masyarakat, sehingga tidak ada guru yang menggurui tetapi saling menghargai, saling membutuhkan dan saling menghormati”. Menurut Barrios dan Trejo (2003), meningkatnya perhatian pada pengetahuan tanah lokal dalam tahun-tahun terakhir ini sebagai akibat dari hasil pengamatan terbesar
9 bahwa pengetahuan masyarakat yang berinteraksi dengan tanah-tanah mereka dalam jangka waktu yang lama bahkan dari generasi ke generasi dapat memberi banyak masukan tentang pengelolaan yang lestari (sustainable management) dari tanah-tanah tropik. Menurut Oudwater dan Marthin (2003), pengetahuan lokal merupakan salah satu sumber daya yang bernilai yang berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan memainkan peranan sentral dalam program pembangunan saat ini. Karena itu menurutnya, pengetahuan lokal sangat berguna dan perlu diintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan penelitian termasuk penelitian deskriptif yang memanfaatkan sistem klasifikasi tanah lokal dan membandingkannya dengan sistem klasifikasi keilmuan konvensional yang digunakan selama ini. Penelitian yang terintegrasi dan sifatnya partisipatoris sangat penting karena beberapa hal: (1) peneliti akan mendapat wawasan lebih luas mengenai masalah yang ada dan solusi potensial dari sudut pandang petani dan menemukan hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, (2) metode dan konsep para petani yang lebih banyak berinteraksi dengan alam. Dalam hal ini percobaan-percobaan lapangan maupun laboratorium, (3) peneliti menjadi lebih sadar mengenai perbedaan antara prioritas dan tujuan dari petani dan tujuan dari para ilmuwan yang diharapkan dapat menyesuaikan isi, rancangan dan kriteria evaluasi percobaan ilmiah, (4) peneliti semakin memahami agroekologi setempat dan kondisi sosial ekonomi serta bagaimana industri yang diperkenalkan dapat diadaptasikan dengan lebih baik kepada mereka, (5) melalui modifikasi yang dilakukan oleh petani terhadap teknologi yang diperkenalkan dan dengan mendiskusikan modifikasi tersebut dengan petani, ilmuwan dapat mengidentifikasikan komponen teknologi yang harus dipelajari lebih lanjut untuk mensahihkan hasil atau mencari alternatif yang lebih baik (Reijntjes et al., 1999). Pengetahuan Lokal dan Klasifikasi Tanah Etnopedologis Ettema (1994) mengemukakan, saat ini banyak peneliti saintis dan developer telah menemukan bahwa masyarakat lokal di banyak negara sedang berkembang memiliki pengetahuan yang kaya mengenai sumberdaya mereka. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) merujuk kepada definisi etnosains, tradisional, lokal, rakyat dan pengetahuan etnis, berhubungan dengan kepekaan terhadap pertanian sebagai akumulasi pengetahuan,
10 skil dan teknologi masyarakat lokal yang didapat langsung dari interaksi mereka dengan lingkungan alam. Bahwa informasi ini diteruskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi suatu sistem pengetahuan mengenai sumber daya alam dan proses ekologi yang relevan. Klasifikasi tanah etnopedologi ditemukan di berbagai belahan dunia dan telah didokumentasikan terutama bangsa-bangsa di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Afrika (Tabel 1). Mereka mendasarkannya pada pelaksanaan pengelolaan, seperti penentuan praktis pengawetan tanah/konservasi tanah dan lain-lain (Weinstock, 1984; Marten & Vityakon, 1986; dan Pawluk et al, 1992 dalam Ettema, 1994).
Tabel 1. Masyarakat yang klasifikasi tanah lokalnya telah dilaporkan serta pentingnya tekstur dan warna dalam klasifikasi ini (Ettema, 1994) Sumber
Masyarakat (dari)
Bellon dan Taylor, 1993 Williams dan Ortiz-Solorio, 1981 Carter, 1969 Furbee, 1989, Guillet, 1992 Behrens, 1989 Stacishin de Queiroz dan Norton, 1992 Posey, 1989 Zimmerer, 1994 Knapp, 1991 Ollier et al., 1971 Conklin, cited in Marten&Vityakon, 1986 Marten&Vityakon, 1986 Marten&Vityakon, 1986 Malinowski, dalam Weinstock, 1984 Weinstock, 1984 Taylor-Powell et al., 1991 Osunade, 1989, 1992ab Dialla, 1993 Malcolm, dalam Weinstock, 1984 Arntzen, dalam Reijntjes et al., 1992
Chiapas, S. Mexico Tepetlaozoc, E. Mexico Masyarakat Kekchi, Guatemala Masyarakat Lari di Peru Masyarakat Shipibo, Peru Wilayah Caatinga, Brazil Masyarakat Mebengokre, Brazil Cochabamba, Bolivia Andes, Ecuador Masyarakat Baruya, New Guinea Masyarakat Hanunoo, Phillipines Jawa, Indonesia Thailand Kepulauan Trobriand, Melanesia Malaysia Hamdallaye, Niger Masyarakat Yoruba, Nigeria Masyarakat Mossi, Burkina Faso Masyarakat Sukuma, Tanzania Gabarone, Botswana
Dasar Klasifikasi* Tekstur Warna 2 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 ? ? 2 1 1 2 1 2 1 1 1 ?
*1= primer, klasifikasi terpenting, 2= klasifikasi sekunder, dapat disimpulkan dari informasi yang tersedia. Jika dua ‘1’s yang diberikan, berarti tidak dapat dibedakan ordernya di antara dua kelas.
Dibandingkan dengan etnobiologi (pengetahuan lokal mengenai tanaman dan hewan), maka studi mengenai klasifikasi etnopedologi belum banyak yang dapat menerima
sebagai suatu pendekatan yang terstruktur.
Walaupun Etnobiologi tidak
secara tepat didasarkan atas pemanfaatan atau kebutuhan keilmuan tetapi sesuatu yang dapat diterima dengan akal sehat dan tidak dapat dihilangkan serta secara tidak sadar
11 telah meluas dan terstruktur berdasarkan realitas yang ada di alam sesuai pemahaman masyarakat (Berlin’s,1992 dalam Ettema, 1994). Sebagaimana hubungan yang ditemukan dalam Klasifikasi Etnobiologi, demikian juga Klasifikasi Tanah Lokal, dapat dianalogkan dengan pemahaman ini (Weinstock’s, 1984 dalam Ettema, 1994), di mana pendekatan praktikal dipakai untuk memahami antara dimensi fisik (physical dimension) dan dimensi persepsi (perceptual dimension) dari klasifikasi. Dimensi fisik memperhatikan kriteria yang dapat dilihat yang digunakan para petani untuk membedakan tanah mereka, memanfaatkan terminologi yang dapat dilihat, dirasa, diuji atau dicium baunya dan lainlain (Osunade, 1992b dan Berlin’s, 1992
dalam Ettema, 1994) untuk menamakan
karakteristik tanah secara alami. Umumnya terdapat dua karakteristik fisik tanah yang biasanya dipakai sebagai dasar dari Klasifikasi Tanah Lokal di seluruh dunia yaitu tekstur dan warna (Tabel 1). Kriteria dimensi persepsi tidak dapat dilihat secara fisik seperti dimensi fisik namun dapat dipahami melalui kepekaan sebagai karakteristik tanah. Sebagai contoh, kelas kesesuaian untuk beberapa tanaman, kelas sensitifitas terhadap masalah pertanian dan kelas-kelas non pertanian didasarkan pada penggunaan tanah sebagai penahan bangunan dan material lainnya. Umumnya hal-hal ini jelas merefleksikan dan diprioritaskan secara relevan oleh pencipta sistem (Pawluk et al, 1992 dan Stacishin de Queiros & Norton, 1992 dalam Ettema, 1994) dan pendekatan manfaat dari Posey (1984 dalam Ettema, 1994).
Dimensi Pengetahuan Tanah Secara Etnopedologi Dimensi Fisik Banyak ciri tanah yang dapat dimasukkan dalam determinasi pengetahuan lokal yang dapat dilihat dengan mata (Osunade, 1989 dalam Ettema, 1994). Salah satu ciri yang terkenal adalah warna tanah, yang dapat digunakan dalam banyak kegiatan deskripsi tanah (Tabel 1). Satu klasifikasi elaborasi yang sangat terkenal didasarkan pada warna tanah yang digunakan masyarkat Wonenera, New Guinea. Masyarakat ini menggunakan tanah sebagai suatu sumber pigmen dalam perayaan mereka dan dibedakan secara jelas 9 warna untuk pigmen yang menghasilkan tanah-tanah dan 6 warna lainnya untuk tanah pertanian (Ollier et al, 1971). Aspek lain dari tanah adalah dapat dilihat secara visual untuk membedakannya dan digunakan dalam klasifikasi yaitu bahan
12 organik, kondisi kelembaban, dan cacing tanah (Osunade, 1989 dalam Ettema, 1994). Secara umum tanah berwarna gelap lebih subur dari pada tanah berwarna terang, yang diasosiasikan dengan kandungan bahan organik. Para petani di Nigeria membedakan tiga kelas warna dan ini dihubungkan dengan degradasi lahan yaitu tanah hitam (labu biri = istilah menurut bahasa mereka), yang lebih subur dan secara relative mengandung lebih banyak bahan organik, berubah ke tanah putih (labu kware) jika telah diolah dan erosi menyebabkan unsur-unsur hara telah hilang. Degradasi selanjutnya menghasilkan tanah merah atau abu kirey (Taylor-Powell et al., 1991 dalam Ettema, 1994). Pendapat berikutnya adalah dengan meraba yang merujuk kepada penetapan tekstur tanah. Orang Yoruba di Nigeria menaruh tanah di antara dua jari dan dapat menceriterakan mana yang dikatakan yanrin (tanah berpasir), bole (tanah berliat) atau alaadun (tanah lempung), atau tekstur di antara seperti bole alaadun (lempung berliat). Masyarakat Lari di Peru mengelompokkan tanah
ke dalam delapan kelas terutama
didasarkan atas tekstur tanah (Furbee, 1989, Guillet, 1992 dalam Ettema, 1994). Rasa digunakan untuk menetapkan kemasaman dan kegaraman. Sebagai contoh, para petani di Malaysia mengelompokkan tanah basa (tanah payau) atas dasar rasa manis, netral untuk tanah yang tawar rasanya, masam untuk tanah yang bereaksi masam yang relative sama dengan konsep Barat tentang pH tanah (Weinstock, 1986 dalam Ettema, 1994). Suatu kasus yang menarik ditemukan dalam masyarakat Lari di Peru, yang memiliki suatu takson tanah yang terpisah yang dapat dimakan (sepertinya berlawanan dengan pertanian). Beberapa tanah di daerah tundra yang tinggi, tanah sangat kaya dengan garam dan dapat dimakan sebagai rempah-rempah, atau diberikan sebagai penambah nafsu makan bagi makanan hewan peliharaan mereka (Furbee, 1989 dalam Ettema, 1994). Dimensi Perseptual Kriteria dari dimensi perseptual atau dimensi persepsi secara mendasar termasuk kenampakkan lain yang lebih dari karakteristik fisik tanah secara murni dan merupakan refleksi penting dari lingkungan lokal, kejelasan dan prioritas. Sebagai contoh, masyarakat Kepulauan Tabriand, Melanesia, memberi nama tanah setelah mereka menanam ubi jalar dan talas pada tanah yang sesuai untuk pertumbuhan kedua tanaman ini, di mana bentuk makanan utama mereka adalah dumya (tanah baik untuk musim ubi
13 jalar dan tidak akan cocok untuk keladi atau talas), butuma (tanah sangat baik untuk talas, tidak cocok untuk ubi jalar). Malala (tanah tidak cocok untuk ubi jalar tetapi baik untuk keladi), sawewo (tanah cocok untuk talas besar), galaluwa (tanah mungkin cocok untuk semua tanaman budidaya) dan kwala (tanah sangat subur, baik untuk semua tanaman) (Weinstock, 1984 dalam Ettema, 1994). Selanjutnya Carter (1969) dalam Ettema (1994) mengemukakan bahwa orang-orang Lekchi dari Guatemala membentuk klasifikasi tanah mereka terutama untuk sistem usahatani mereka yang dikenal dengan istilah milpa (suatu campuran usahatani terdiri dari jagung, kedelai, dan labu yang mereka lakukan dalam bentuk perladangan berpindah-pindah) menggunakan warna, tekstur, drainase, dan kandungan akar sebagai kriteria sesuai tidaknya tanah.
Produktivitas Tanah Kemampuan
tanah
untuk
menghasilkan
produksi
pertanian
mulanya
dikembangkan di Cina pada tahun 4000-5000 SM merupakan pengetahuan tertua dalam mengelompokkan tanah yang dikenal dengan klasifikasi tanah tertua. Penduduk yang semakin bertambah semakin membutuhkan akan pentingnya peranan tanah dalam memproduksi hasil tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup. Pairunan dkk., (1985) berpendapat bahwa salah satu aspek yang paling kritis dalam penggunaan dan pengelolaan tanah adalah meningkatkan dan mempertahankan kapasitas tanah untuk menghasilkan tanaman sebagai sumber bahan makanan, kayu dan serat. Kapasitas tanah dimaksudkan sebagai produktivitas tanah yang dapat dinyatakan dalam produksi tanaman dan merupakan fungsi semua faktor pertumbuhan tanaman yaitu cahaya, tunjangan mekanik, udara, suhu, air dan unsur hara. Selanjutnya dikatakan bahwa produktivitas tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh negatif seperti penyakit, hama, kegaraman dan berbagai bahan beracun serta kondisi iklim setempat. Tanah yang subur tidak dapat dianggap sebagai tanah yang produktif karena status kesuburan tanah tidak memberikan indikasi tentang kecukupan hara faktor pertumbuhan lainnya. Bangsa Yunani dan Romawi kuno telah mengetahui kemampuan tanah atau hubungan berbagai sifat tanah dengan usaha pertanian dan mengembangkan cara-cara praktis pengelolaan tanah tanpa menyebabkan degradasi lingkungan (Pairunan dkk.,
14 1985) yang hingga saat ini masih sangat relevan untuk diterapkan mengingat kerusakan lingkungan akibat praktek usahatani yang hanya mengutamakan produktifitas tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Usahatani Pola Dusung dan Manfaatnya Usahatani pola dusung yang diterapkan masyarakat desa Allang, Kecamatan Leihitu pulau Ambon dan sekitarnya secara turun temurun sebenarnya merupakan bentuk agroforestry yang pola penerapannya begitu teratur dan sangat bermanfaat baik secara ekonomis maupun secara ekologis. Manfaat ini tidak hanya dinikmati penanamnya saja, karena kalau ditinjau dari segi usia tanaman-tanaman tahunan yang berdiameter lebih dari dua sampai tiga meter bahkan lebih, maka itu berarti telah berumur lebih dari 3-4 generasi.
Pemilikan dusung diatur sedemikian rupa sehingga anak cucupun dapat
menikmati hasil dusung disamping itu mereka juga mengembangkan usahatani tanaman umur pendek (sayur-sayuran dan tanaman obat lainnya) sebagai tanaman sela di antara pohon buah-buahan di dalam suatu pola dusung. Pertimbangan utama usahatani pola dusung antara lain karakteristik tanah dan potensi produktivitasnya, sistem pengelolaan tanah yang mendukung produktivitas dan kelestarian, jenis tanaman yang dapat diusahakan, batasan luasan yang dapat dikelola serta faktor lingkungan lainnya yang menunjang pertumbuhan dan produktivitas tanaman yang diusahakan. Pengelolaan lahan yang baik dan berguna adalah bila berdasarkan pemahaman yang tepat atas ekologi, lingkungan dan ekonomi dari pengelolaan lahan tersebut. Rumusan tersebut di atas sering menjadi pertimbangan petani dalam pengembangan dan pengelolaan lahan ke arah peningkatan produktivitas yang tinggi (Sabarnurdin, 2002). Dalam usahatani pola dusung terdapat berbagai jenis pohon yang sangat bervariasi dari yang bernilai ekonomis tinggi seperti cengkeh, pala, kopi, kakao, kelapa, nangka, melinjo, petai dan mahoni, hingga yang bernilai ekonomis rendah seperti dadap, lamtoro, kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Ciri utama usahatani pola dusung adalah kenampakkan fisik dan
15 dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan sekunder yang karenanya disebut sebagai agroforest. Usahatani pola dusung atau dusong memberikan hasil yang telah terbukti bertahun-tahun dinikmati oleh masyarakat desa Allang dan sekitarnya sekaligus dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan lestari karena di dalamnya tumbuh berbagai jenis tanaman baik tahunan maupun setahun sehingga kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem tetap terpelihara, serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Dusung tanaman buah bisa saja terdiri dari beberapa tanaman misalnya durian, gandaria, langsat, manggis, dukuh, jambu yang telah diyakini dapat bertumbuh, berkembang dan berproduksi baik di atas tanah yang dijadikan dusung tersebut. Pola ini disesuaikan dengan kebutuhan yang terdiri dari berbagai jenis tanaman yang dikehendaki berdasarkan nilai ekonomis dan nilai ekologis bagi masyarakat setempat. Manfaat usahatani pola dusung menurut Wattimena (2007) antara lain secara (1) ekonomi, (2) ekologi dan (3) secara adil dan manusiawi. (1) Secara ekonomi berarti petani bisa dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup dari dusung tersebut. Fungsi dusung mirip dengan fungsi pekarangan di mana seluruh kebutuhan hidup mulai dari pangan, bahan bangunan serta uang cash berasal dari dusung. Di dalam pola dusung diatur sehingga ada tanaman yang menghasilkan sepanjang tahun seperti kelapa, coklat, pala, kenari dan ada pula yang menghasilkan musiman seperti cengkeh, pala, durian, dukuh, gandaria dsb. Dari dusung juga didapatkan kebutuhan daging seperti kusu, burung dan kalong. Burung-burung nuri, kasturi, kakatua, perkici dan kring-kring memiliki harga yang cukup tinggi sebagai penghasil uang cash. (2) Secara ekologi; dusung dapat mempertahankan kualitas sumberdaya alam dan agroekosistem secara keseluruhan dari hewan, tanaman dan jasad renik. Tanamantanaman dari dusung mempunyai beragam kedalaman akar, ketinggian tajuk, dan kejarangan tajuk. Kebutuhan yang berbeda terhadap suhu, intensitas cahaya, kelembaban tanah, kelembaban udara dan kualiatas lahan. Keragaman dalam fungsi tersebut
menyebabkan
terjadi
sinergisme
antara
komponen
yang
saling
menguntungkan. Dalam agroekosistem dusung terjadi sinergisme yang langsung melengkapi dan menguntungkan misalnya:
16 -
Tanaman menciptakan makanan dan breeding place bagi burung-burung dan mamalia yang mendiami dusung tersebut.
-
Iklim mikro terciptakan dan cocok bagi masing-masing komponen (strata).
-
Menghasilkan senyawa kimia yang mendorong perkembangan dan pertumbuhan tanaman atau senyawa kimia yang menghambat pertumbuhan gulma (alelopati).
-
Mengendalikan populasi hama, penyakit dan gulma jauh di bawah ambang ekonomis (contoh: cacao moth pada coklat).
-
Mobilisasi unsur hara di dalam ekosistem tersebut.
-
Mengkonservasi air dan mengoptimalkan pemakaiaannya.
-
Mengkonservasi berbagai keragaman genetik dengan fungsi yang berbeda dalam menstabilkan ekosistem tersebut.
(3) Secara adil dan manusiawi; hasil dusung dapat dimanfaatkan juga oleh bagi orang yang tidak memiliki dan martabat dasar semua makluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) dihormati. Peraturan mengenai usu (memungut yang jatuh) dan sasi (peraturan pemungutan hasil) mengandung unsur-unsur keadilan dan manusiawi di dalamnya.