TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan Media Massa Pengetahuan merupakan dasar untuk menganalisa, mengevaluasi dan membedah apakah objek yang diamati tepat atau tidak tepat, baik atau tidak baik, berguna atau tidak berguna bagi kehidupan manusia. Pengetahuan sebagai kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya (Soekanto, 1970). Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui (Hatta, 1979). Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek,kelompok,atau orang (Asch, dalam Rakhmat, 2005). Sikap kritis yang dimiliki siswa SMA Depok sangat tergantung pada pengetahuan yang mereka miliki. Semakin banyak mengetahui isi media, industri media dan efek media maka semakin mampu untuk melakukan evaluasi dengan menilai sisi positif dan negatif sebuah tayangan televisi. Tayangan televisi merupakan gambaran realitas sosial yang sebenarnya tetapi tidak persis sama dengan realitas media yang ditayangkan melalui televisi. Bagaimana menganalisis media dengan sadar dan kritis (literasi media) digambarkan dalam Gambar 1. ________________________________________________________________
Media Literacy
Skill
Redumentary
Knowledge Structure
Advanced
Real World
Media World
______________________________________________________________________ Gambar 1. Struktur pengetahuan literasi media (Potter, 2001).
Struktur pengetahuan mengenai media dapat dibagi dua bagian, yaitu: pengetahuan mengenai realitas sosial dan pengetahuan mengenai realitas
9
media. Pengetahuan mengenai realitas media dikelompokkan menjadi tiga bagian,yaitu: a. Pengetahuan isi media b. Pengetahuan industri media c. Pengetahuan efek media Kognisi lebih menitikberatkan pada proses berpikir, memilih, mengambil keputusan, dan menarik kesimpulan (Mar’at,1981). Bagaimana seorang bisa memahami tayangan televisi tergantung kepada seberapa jauh pengetahuan seseorang. Dengan banyaknya informasi yang diperoleh seseorang akan bisa menghubung-hubungkan bahkan juga mampu mengabstraksikan sesuatu. Namun demikian seringkali informasi yang diterima akan menimbulkan konflik karena ada elemen kognitif yang berbeda. Elemen kognitif
menurut Mar’at
(1961) pada dasarnya disebut pengetahuan, pendapat dan keyakinan.
Pengetahuan mengenai isi media Banyak masyarakat setuju dengan media literasi karena masyarakat membutuhkan informasi yang baik. Dengan isi media masyarakat butuh untuk memahami bahwa pesan media adalah bangunan yang pasti mengikuti kaidah atau ketentuan dimana kaidah tersebut mengubah realitas yang ditayangkan. Untuk membangun pengetahuan mengenai isi media, ada tiga macam informasi, yaitu formula isi, figur tokoh, dan nilai-nilai dalam isi (Potter, 2004). Formula isi. Formula isi berkaitan dengan berita, iklan dan hiburan yang bersifat khayalan. Satu diantara formula tersebut adalah formula yang dominan. Tipe isi formula dominan dapat berubah-ubah. Pengetahuan mengenai formula yang baik memberikan seseorang mampu mengikuti isi lebih mudah. Hal ini juga menyediakan sebuah standar untuk mengerti kreativitas yang membuat pesan. Figur tokoh. Kita dapat mengalami isi dan media sebagai elemen anekdot individu, masing-masing memiliki daya cipta dan unik atau sebagai kelompok awam
khawatir
akan
mencontoh
susunan-susunan acara yang
diperankan tokoh secara langsung, yang lebih memperhatikan
gambar atau
adegan yang menonjol. Bagaimanapun beberapa topik penting mempunyai figur tokoh yang baik. Kita butuh mengetahui pigur tokoh dalam isi media untuk mengecek pola persepsi kita (Potter, 2004).
10
Nilai-nilai isi. Nilai ditanamkan dalam semua pesan media. Kita membutuhkan sensivitas. Contoh dalam tayangan hiburan, cerita-cerita tentang konflik dan bagaimana konflik tersebut dipecahkan. Konflik biasanya dipecahkan dengan pertandingan
dengan gagasan agresif, yaitu dengan kekerasan.
Karakter kekerasan dibagi dua bagian, yaitu karakter yang baik dan karakter yang jahat.
Pengetahuan industri media Sebagai industri media, masyarakat butuh untuk memahami bahwa media adalah bisnis dengan motivasi khusus. Pengetahuan mengenai industri media memahami mengapa isi diproduksi dan mengapa pelaku industri membuat keputusan
menyajikannya.
Ada
empat
bidang
yang
penting,
yaitu:
pengembangan industri media, ekonomi, kepemilikan dan pengawasan, dan pemasaran pesan.(Potter, 2004) Pengembangan industri media. Masyarakat membutuhkan pemahaman dari mana media datang dan bagaimana berkembang. Hal ini membantu mengapresiasi kekuatan, semangat mengambil keputusan, dan pemasaran. Hal ini membantu memahami dengan baik bahwa jaman sekarang akan ditransfer pada jaman yang akan datang. Ekonomi. Tujuan utama organisasi media massa adalah memperbesar kekayaan pemegang saham. Media meningkatkan penghasilan dengan cara. mencari bermacam-macam produser dengan target sasaran tertentu, pesan khusus dan potensi interest yang tinggi. Media adalah bisnis yang diarahkan untuk memperoleh keuntungan (Potter:2004) Industri media televisi semakin hari semakin kompetitif. Televisi hidup dari biaya periklanan dimana televisi harus mengembangkan khalayaknya hingga semakin besar harga iklan yang akan dibayar oleh dunia bisnis. Bagaimana mengejar target tersebut merupakan strategi yang harus dipecahkan oleh pengelola televisi. Masing-masing berlomba-lomba membangun khalayak sebanyak-banyaknya yang berorientasi pada selera komunikan. Agar anak menyukai acara-acara yang ditayangkan maka sering dibuat tayangan yang sensasional, menarik yang dapat membangkitkan emosi sehingga penonton tetap berada pada sikap menonton acara. Kepemilikan
dan pengawasan. Banyak orang mengkritik perusahan
media terlalu banyak mempertimbangkan nilai ekonomi dalam menyajikan acara
11
televisi sehingga kurang memperhatikan fungsi pengawasan. Masyarakat yang mengkritik membutuhkan analisa, apa keuntungan atau kerugiannya bagi publik. Ketika perusahaan membuat keuntungan yang besar maka pemegang saham akan diuntungkan. Pemasaran pesan. Untuk mengetahui bagaimana mencari pesan yang diinginkan perlu mengenal masyarakat itu sendiri. Selain itu masyarakat juga butuh memahami bagamana media memasarkan menggunakan media massa yang bukan hanya
pesannya. Banyak orang massa dari media massa.
Masyarakat butuh memahami tempat pemasaran media. Mereka butuh berpikir untuk menempatkan pesan mereka dan tempat yang harus mereka hindari. Sebaiknya televisi sebagai lembaga media turut bertanggungjawab tentang dampak tayangan televisi bagi anak karena anak adalah generasi penerus bangsa. Jika mental, sikap, dan perilaku anak sudah rusak maka bangsa ini juga dalam jangka waktu yang panjang akan dipimpin oleh orangorang yang moral dan perilaku yang tidak baik.
Pengetahuan Efek Media Masyarakat butuh memahami apakah mereka mempunyai kemampuan untuk merundingkan makna pada diri mereka sendiri. Efek media massa ada lima tingkatan, yaitu : cognitive, attitudinal, emotional, physiological, behavioral, dan societal (Potter,2004). Efek ini terjadi pada individu-individu baik langsung maupun tidak langsung, jangka pendak maupun jangka panjang. Perubahan pengetahun, sikap, emosional, fisiologis ( berkaitan dengan pengetahuan sifatsifat dan proses dari pada barang hidup), perilaku dan perubahan masyarakat (societal) dapat terjadi setelah menonton televisi. Televisi sebagai salah satu media teknologi yang bersifat audiovisual sangat berpengaruh dalam membentuk sikap, pengetahuan dan perilaku penontonnya. Sehubungan dengan itu menurut teori komunikasi yang bersifat linier, pengaruh media massa seperti peluru yang siap ditembakkan
kepada
sasarannya. Teori ini sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat dimana masyarakat sudah mulai memilih tayangan yang sesuai dengan selera dan kebutuhan masing-masing.
12
Televisi Sebagai Media Massa Media massa mempunyai persamaan dan perbedaan antara satu dengan yang lain . Secara umum tujuannya sama namun secara khusus ada perbedaan baik ideologi, visi, misi, dan fisik media massa tersebut. Ciri-ciri media massa
menurut
Nurudin (2003) ada tujuh poin yang
penting, yaitu : 1. Komunikator dalam komunikasi massa melembaga 2. Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen 3. Pesannya bersifat umum 4. Komunikasinya berlangsung satu arah 5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan 6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis 7. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper. Ciri-ciri tersebut berlaku bagi semua media massa baik cetak, audio, maupun audiovisual. Media massa sering dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : media massa tampak (visual), media massa berbentuk dengar (radio), dan media massa berbentuk gabungan tampak dengan dengar (audiovisual). Media massa yang berbentuk tampak umumnya dikerjakan dengan mesin cetak dan disebut media massa cetak, meliputi koran, selebaran, majalah, bulletin, tabloid, dan buku. Media
massa bentuk dengar meliputi semua alat mekanis yang
menghasilkan lambang suara termasuk musik, seperti radio dan kaset. Media massa bentuk gabungan tampak dan dengar (audiovisual) meliputi televisi, kaset musik video dan film. Radio, televisi, dan film pada dasarnya bekerja dengan elektronik sehingga disebut media elektronik (Efendy,1994). Namun jika mengikuti perkembangan teknologi sekarang ini sudah semakin banyak ragamnya termasuk media teknologi komputer sebagai alat komunikasi (internet). Televisi merupakan paduan audio dari dua bagian yang berbeda, yaitu audio dari segi penyiarannya (broadcast) dan video dari segi gambar bergeraknya (moving images). Televisi mempunyai kelebihan, yakni dapat didengar dan dilihat sekaligus. Khalayak dapat melihat gambar yang bergerak sekaligus kata-kata dan keduanya mempunyai kesesuaian secara harmonis. Dalam hal kelancaran siaran televisi ada pihak yang bertanggungjawab, yaitu pengarah acara. Apabila pengarah acara membuat naskah, ia harus berpikir dalam gambar, yang mempunyai tahapan, yaitu :
13
1. Visualisasi, yakni menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara individual. Dalam proses visualisasi pengaruh acara harus berusaha menunjukkan objek-objek tertentu menjadi gambar yang jelas dan menyajikan sedemikian rupa sehingga mengandung suatu makna. 2. Penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya
mengandung makna
tertentu. Dalam hal pengoperasian memerlukan tiga perangkat keras (hard ware), yaitu: studio (sarana dan prasarana penunjang), pemancar (transmisi), dan pesawat penerima.
Tayangan Sinetron Tayangan televisi dapat dibagi tiga bagian, yaitu berita, iklan dan hiburan. Fungsi
hiburan
media elektronik menduduki posisi yang paling tinggi
dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain
karena masyarakat masih
menjadikan TV sebagai media hiburan. Jam-jam prime time (pukul 19.00 sampai 21.00 Wib) akan disajikan acara-acara hiburan seperti sinetron, kuis atau acara jenaka lainnya. Sinetron termasuk dalam program siaran drama yang dapat dibagi dua yaitu sinetron cerita dan non cerita. Perbedaannya terletak pada format sinetron. Sinetron cerita terdiri dari beberapa jenis, yaitu sinetron drama modern, sinetron drama legenda, sinetron drama komedi, sinetron drama saduran, dan sinetron drama yang dikembangkan
dari cerita atau buku novel, cerita pendek dan
sejarah. Menurut Soenarto (2007) sinetron drama dapat ditempatkan pada pagi hari, sore atau malam hari, tergantung pada tema cerita dan siapa sasarannya. Ceiita drama bisa didapatkan dari produk dalam negeri atau disewa dari luar negeri. Durasinya bisa 30 menit, 60 menit, 90 menit, atau bahkan lebih. Sinetron merupakan singkatan dari sinema elektronik yang pada dasarnya sama dengan film.
Bedanya,
sinetron
merupakan cerita yang
berlanjut atau bersambung dan diambil dengan kamera video (secara elektronik). Film menurut Jarvie (1987) adalah gambar bergerak yang mempunyai makna. Film secara garis besar dibedakan menjadi dua macam, yaitu film cerita dan film non cerita. Film cerita : film drama, film horror, film perang, film sejarah, film fiksi ilmiah, film komedi, film laga, film musikal dan film koboi. Film non cerita: film dokumenter dan film faktual (Sumarno. 1996).
14
Mediasi Orangtua Situasi keluarga dan hubungan orangtua dengan anak turut menentukan sikap dan tindakan anak dalam menonton televisi. Orangtua yang sibuk bekerja setiap hari kurang memperhatikan anak dalam keluarga termasuk kegiatan menonton televisi. Orangtua selalu mengupayakan memenuhi kebutuhan hidup yang layak termasuk barang-barang elektronik untuk anak-anak mereka. Situasi ini akan berpengaruh pada
perilaku anak menonton televisi dan bagaimana
penilaian mengenai tayangan televisi. Mediasi orangtua didefinisikan dalam Encyclopedia of Communication and Information sebagai
semua kegiatan interaksi orangtua dengan anak
mengenai televisi. Usaha orangtua mengatasi efek televisi tampaknya masuk definisi mediasi orangtua (Schement, dalam
Rakhmani, 2005). Penelitian ini
menggunakan definisi orangtua dalam arti yang lebih luas, yakni orangtua yang mencakup ibu atau ayah, orangtua tiri, orangtua angkat. Parenting dalam penelitian ini dilakukan oleh orangtua tunggal maupun berpasangan. Lebih lanjut Nathanson dalam Rakhmani, (2005) mengatakan mediasi orangtua adalah tindakan nyata yang dilakukan pihak orangtua dalam membatasi efek media massa, yang dibagi tiga tipe, yaitu: 1) Mediasi aktif, yaitu percakapan yang
dilakukan antara orangtua dengan anak mengenai televisi
yang diidentifikasi menjadi tiga jenis, yaitu: a) Aktif negatif, yaitu percakapan secara umum berada dalam konteks negatif. b) Aktif positif, yaitu
orangtua
memberikan komentar-komentar positif mengenai apa yang ditonton anak di televisi. c) Aktif netral, yaitu jenis mediasi aktif yang melibatkan penyediaan informasi tambahan atau instruksi bagi anak mengenai isi televisi. 2) Mediasi restriktif, yaitu peraturan yang ditentukan orangtua mengenai pola anak menonton televisi 3) Mediasi Coviewing, yaitu orangtua yang menyaksikan televisi bersama dengan anaknya. Keluarga yang rukun dan damai serta tingkat pendapatan akan berpengaruh pada perilaku orangtua mengarahkan anaknya menonton dan menilai tayangan televisi. Berdasarkan hasil penelitian Warren (2005), orangtua yang tingkat
pendapatannya rendah cenderung menggunakan mediasi
restrictive daripada
coviewing atau instructive. Selain itu temuan penelitian
Rakhmani (2005) menunjukkan orangtua yang mempunyai
sikap negatif
terhadap tayangan televisi justru tidak memilih tipe mediasi apapun dengan
15
anak-anak mereka mengenai efek negatif tayangan televisi. Orangtua yang bersikap positif memilih tipe mediasi yang aktif secara kuat. Ketika pro terhadap isi televisi
maka mereka akan melakukan tindakan yang menunjukkan
membenarkan atau mendukung bahwa mereka pro terhadap televisi. Ketika memiliki sikap negatif, merekapun melakukan hal yang berlawanan
guna
mendukung sikap mereka. Sikap orangtua terhadap televisi menunjukkan bagaimana orangtua melakukan mediasi. Artinya sikap yang positif akan dominan melakukan mediasi sedangkan sikap orangtua yang negatif terhadap isi televisi justru tidak melakukan mediasi apa-apa.. Bagi orangtua yang melakukan mediasi
lebih
cenderung menggunakan mediasi aktif dimana terjadi percakapan antara orangtua dan anak mereka. Percakapan yang dilakukan tentu akan memberikan kontribusi bagaimana si anak mengakses, menilai dan memutuskan
tentang
tayangan televisi. Sikap orangtua mengenai media terutama tayangan televisi akan berhubungan dengan pemberian stimulus kepada anak mereka. Rangsangan yang tepat dapat memunculkan potensi, kemampuan anak dalam lingkungan sekitarnya. Seperti yang dikemukakan Tobing (2007), bahwa rangsanganrangsangan yang tepat diharapkan dapat `memunculkan' potensi atau bakat kemampuan anak, seperti antara lain: musik, matematika, melukis, menari dan lain sebagainya.
Terpaan Media Massa Terpaan artinya serangan atau terkaman. Terpaan media adalah seberapa banyak media mengenai sasaran dalam kurun waktu tertentu. Dalam konteks ini sasaran menggunakan media yang difokuskan pada media massa baik yang bersifat cetak seperti suratkabar dan majalah, audio seperti radio, dan audiovisual seperti televisi. Media mengenai sasaran terkait dengan penggunaan media. Khalayak menggunakan media massa sudah pasti
media mengenai
sasaran. Rangsangan-rangsangan yang tepat diharapkan dapat memunculkan potensi atau bakat, dan kemampuan anak, antara lain: musik, matematika, melukis, menari dan lain sebagainya. (Tobing, 2007). Jumlah rangsangan, waktu menggunakan rangsangan, konsentrasi menggunakan rangsangan dari media
16
massa, memunculkan kemampuan kognitif, afektif, maupun konatif dalam diri pengguna stimulus. Penelitian Parwadi (2005) menunjukkan bahwa
penggunaan media
mempunyai kontribusi atau pengaruh terhadap terjadinya penyimpangan nilai dan perilaku. Penggunaan media televisi memang benar dapat mempengaruhi penontonnya.
Penyimpangan nilai dan perilaku
terjadi, seperti cenderung
semakin permisif, berani, dan tidak sungkan-sungkan melakukan hal-hal yang dianggap tabu atau dilarang agama
maupun masyarakat terutama
berusia
14 - 22 tahun (73,87 %) Usia ini adalah termasuk usia remaja atau siswa SMA. Pada dasarnya
belum ada konsep yang baku tentang batasan
penggunaan media. McQuail dan Windhal (1981),
menggunakan konsep
penggunaan media yang dijabarkan sebagai jumlah isi yang digunakan dalam berbagai media, jenis isi yang dikonsumsi, serta hubungan antara individu konsumen media dengan isi media, Aspek-aspek terpaan media yang diukur pada umumnya adalah aspek waktu yang digunakan dalam rangka mengikuti berbagai media, jenis-jenis media yang diikuti, dan berbagai hubungan antara individu yang mengkonsumsi baik dengan isi media maupun dengan media pada umumnya (Rosengren, 1974). Salah satu contoh pengukuran waktu yang digunakan dalam mengikuti media dilakukan oleh McLeod dan Backer (1974) mengajukan pertanyaan: 1. “Rata-rata satu minggu berapa jam biasanya menonton televisi setelah pukul lima petang “ 2. Bagaimanakah kekerapan anda menonton jenis-jenis acara televisi berikut ini? Acara-acara dikategorikan atas, siaran berita nasional, lokal, khusus, dokumenter. Sedangkan kekerapan dikategorikan atas : sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah.
Karakteristik Siswa SMA Murid Sekolah Menengah Umum (SMA) berumur antara 15 sampai 18 tahun yang masuk dalam kategori masa remaja. Secara sederhana, remaja dapat dinyatakan sebagai seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun.
Tahapan
remaja
perkembangan
kejiwaan
dan
tingkat
usianya
dapat
diklasifikasikan menjadi (a) remaja dini (12-15 tahun), (b) remaja penuh (15-17) tahun, dan (c) dewasa muda (17-21) tahun (Hadisuprapto dalam Efefendi AW, 2006). Gejala lain yang timbul dalam tahap remaja penuh adalah bangkitnya
17
dorongan seks (Sarwono, 2004). Namun tidak semua remaja mengalami pendidikan sampai pada tingkat SMA. Secara umum yang dimaksud masa remaja adalah saat anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat tercapainya kedewasaan pertumbuhan fisik, serta kesanggupan bertingkah laku yang dikuasai rasio dan pengendalian emosi. Dengan tercapainya kematangan fisik yang berkaitan dengan kematangan alat genetika bagian dalam maka berakhirlah masa pubertas, disaat inilah seseorang mulai menginjak masa remaja. Selain ciri-ciri fisik, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) biasanya sedang mencari jati diri dengan aktif mengikuti berbagai macam kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler baik di sekolah maupun diluar sekolah. Kegiatan tersebut banyak membentuk penilaian terhadap objek-objek yang menerpa mereka. Misalnya: kegiatan pramuka, kegiatan olehahraga dan seni, mengikuti seminarseminar ilmiah, ikut berkecimpung dalam
keorganisasian, dan sebagainya.
Pengalaman berorganisasi baik formal maupun informal merupakan pengalaman yang
melekat pada
diri siswa
SMA. Pengalaman
merupakan sumber
pengetahuan yang dapat memberikan bekal dalam menilai segala stimulus yang menerpa diri manusia termasuk tayangan televisi, internet dan lain sebagainya. Masa SMA adalah masa remaja usia 15 s/d 18 tahun
yang paling
menarik dan menantang dalam kehidupan anak remaja dan orang tua. Seorang remaja akan mulai matang secara fisik, emosi dan intelektual. Mereka haus akan pengalaman yang terbebas dari orang tua. Ikatan-ikatan dengan keluarga tidak terlalu diperketat lagi, tetapi tetap tidak menghilangkan peranan pengawasan orangtua. Kehidupan remaja sangatlah rumit, sehingga mereka membutuhkan kebebasan sekaligus arahan pada waktu yang bersamaan. Walaupun siswa SMA homogen dari segi usia namun perbedaan karakteristik tetap ada karena kepribadian manusia berbeda-beda. Menurut Malik (1994), kepribadian manusia memiliki empat determinan pokok, yaitu: (1) biologi atau
keturunan,
(2)
keanggotaan
dalam
kelompok,
khususnya
dalam
lingkungannya, (3) peran atau termasuk usia, status sosial, kelas, dan warna kulit seseorang, (4) situasi, semua kejadian yang mempengaruhi yang memungkinkan dua orang bersaudara
dalam lingkungan yang sama
menjadi benar-benar
berbeda.
18
Perbedaan
karakteristik
kepribadian
individu
dapat
menyebabkan
bervariasinya efek pesan. Setiap orang mengakumulasi predisposisi berpikir dan bertindak dengan cara tertentu pada berbagai tempat dan sumber. Struktur sangat
biologis manusia-genetika, sistim syaraf dan sistim hormonal
mempengaruhi
perilaku
mempengaruhi kecerdasan,
manusia.
Struktur
kemampuan sensasi,
genetik
misalnya
dan emosi. Sistim saraf
mengatur pekerjaan otak dan proses pengolahan informasi dalam jiwa manusia. Sistim hormonal bukan saja mempengaruhi mekanisme biologi tetapi juga proses psikologi (Rakhmat, 2005). Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dikatakan bahwa karakteristik manusia berhubungan dengan kecerdasan, proses pengolahan informasi, termasuk dalam sikap dan berperilaku. Sikap kritis juga didasari
atas
kecerdasan dan kemampuan mengolah informasi yang menghasilkan sikap yang kritis dalam menonton tayangan televisi. Laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan dari segi genetika yang berkaitan dengan proses berpikir. Jenis kelamin dapat merujuk pada pengertian pembuatan klasifikasi yang didasarkan pada kedudukan atau fungsi, sifat seperti laki-laki dan wanita. (Pearson, 1985) Wanita lebih terpengaruh oleh informasi efektif (informasi yang menyangkut perasaan orang mengenai keragaman suatu topik) dibanding pria. Menurut
Schidel beberapa studi menunjukkan bahwa wanita lebih mudah
dipersuasi dibanding pria (Pearson, 1985). Kartono (1986), mengatakan “ betapapun baik dan cemerlangnya intelegensi wanita namun pada intinya wanita hampir tidak pernah interes menyeluruh pada soal-soal teoritis seperti kaum laki-laki. Hal ini karena struktur otaknya dan misi hidupnya lebih tertarik pada hal-hal praktis”. Menurut Pearson (1985), jenis kelamin akan sangat berperan dalam mengefektifkan proses komunikasi yang berlangsung, Wanita lebih mudah terpengaruh oleh informasi. Wanita lebih banyak berbicara dengan perasaan. Menurut Heymans dalam Kartono (1986), pada diri kaum wanita fungsi sekunderitasnya tidak terletak di bidang intelek akan tetapi pada perasaan. Oleh karena itu nilai perasaan dan pengalamannya lebih mempengaruhi struktur kepribadiannya dibanding laki-laki. Status sosial dikaitkan dengan ketersediaan media massa dan jumlah uang saku yang diberikan orangtua kepada anaknya. Kedua hal ini
relevan
dijaring karena siswa masih dalam tanggungan orangtua yang secara nominal
19
tidak mengetahui berapa jumlah pendapatan orangtua mereka masing-masing.. Semakin banyak
media massa yang tersedia di tempat tinggal siswa maka
semakin banyak peluang mengakses informasi. Informasi yang diperoleh tersebut
berkontribusi pada kemampuan menganalisa,
menilai objek, dan
mengambil keputusan, termasuk tayangan televisi. Karakteristik siswa SMA dalam penelitian ini dikaitkan dengan jenis kelamin,
ketersediaan
media massa, jumlah organisasi yang diikuti, lama
mengikuti organisasi, peran siswa dalam organisasi, dan jumlah uang saku yang diberikan orangtua pada anaknya. Keenam faktor tersebut
berhubungan
dengan sejauhmana kemampuan mengakses, menilai, dan memutuskan apakah tayangan sinetron di televisi dapat ditonton secara kontinyu.
Khalayak Penonton Televisi Sasaran atau khalayak penonton televisi adalah masyarakat yang jumlahnya banyak, sifatnya beragam dan anonim serta heterogen. Sesuai dengan UU Penyiran tahun
2002,
masyarakat penonton diklasifikasikan
berdasarkan kelompok tertentu, misalnya usia (anak-anak, remaja, dewasa, kelompok agama, kelompok etnis, dan sebagainya). Dalam strategi komunikasi agar tujuan komunikasi tercapai perlu mengenal khalayak sasaran secara tepat. Pengelompokan khalayak pemirsa televisi dapat dijategorikan dalam kelompok kecil usia antara 5-10 tahun, kelompok ibu rumah tangga, usia 25-40 tahun atau remaja usia antara 13-18 tahun (Ardianto, 2004). Proses mengenal khalayak sebenarnya lebih dominan bagaimana media massa mempengaruhi sasaran komunikasi yang pasif. Karz dalam Jahi (1988) mengatakan sudah terjadi perubahan teoritis dari satu khalayak yang pasif ke suatu khalayak aktif. Efek media yang langsung sudah tidak tepat untuk semua masyarakat.
Apa
yang
dilakukan
media
terhadap
masyarakat
dimana
masyarakat dianggap pasif, siap dikenai stimulus, siap dibentuk oleh pesan yang disampaikan ternyata tidak selalu demikian. Apa yang dilakukan masyarakat terhadap media merupakan ciri masyarakat yang aktif. Sasaran selektif dan memilih diantara pesan melalui media sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Media massa tidak dapat memaksa sasaran untuk mengikuti pesan-pesan yang disampaikan.
20
Khalayak menggunakan media massa untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan harapan individu terhadap isi media mempengaruhi individu apakah akan menggunkan media atau tidak. Dengan demikian karakteristik dan tipologi media merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Salah satu model yang memperhatikan khalayak aktif adalah uses and gratification, yang menekankan perspektif khalayak selektif dalam meggunakan media massa. Selain khalayak aktif juga memiliki kebutuhan tertentu dimana tersedia beberapa alternatif
dan secara sadar khalayak
memilih saluran
komunikasi dan pesan-pesan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Sehubungan dengan pengelompokan khalayak tersebut maka sasaran penelitian ini adalah remaja atau siswa SMA Depok
yang
usianya berkisar
antara 14 – 18 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat labil dimana remaja mencari dan membentuk identitasnya sehingga acara-acara televisi sebagai salah satu bentuk interaksi mereka dengan media massa cukup berpengaruh baik yang bersifat positif maupun negatif. Kebutuhan siswa juga berbeda-beda. Ada yang membutuhkan informasi, hiburan dan iklan. Harapan siswa menggunakan media televisi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk itu banyak variasi siswa dalam memilih dan menentukan tayangan mana yang ditonton, kapan
waktu menonton dan
bersama siapa mereka menonton.
Sikap Kritis Menonton Sinetron Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa, menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi bukan hanya sekedar rekaman masa lalu, tetapi menentukan apakah seseorang pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan, diinginkan, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan apa yang harus dihindari (Sherif dan Sherif dalam Rakhmat, 2005). Sikap mengandung aspek evaluatif, yaitu mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar (Rakhmat, 2005). Sikap sebagai kecenderungan berpikir termasuk berpikir kritis merupakan berpikir evaluatif yang menghasilkan makna sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya (Rakhmat, 2005). Berpikir juga melibatkan penggunaan lambang visual atau grafis dengan tujuan untuk memahami realitas dalam rangka
21
mengambil keputusan, memecahkan persoalan, dan menghasilkan yang baru. Memahami realitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal (Taylor dalam Rakhmat, 2005). . Berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons. Komunikasi intrapersonal yang dilakukan siswa SMA dalam menonton tayangan sinetron merupakan salah satu proses berpikir setelah menerima stimulus dari televisi. Proses ini adalah proses komunikasi dalam diri komunikan dan berkaitan dengan efek media massa. Berbicara mengenai efek media, elaboration likelihood model of persuation membagi dua proses berpikir, yaitu berpikir menggunakan rasionalitas yang disebut dengan Central Route dan berpikir menggunakan emosi yang disebut Peripheral Route (Bryant dan Zillmann, 2002). Central Route merupakan proses yang penuh dengan usaha aktivitas kognitif dengan jalan
menggambar terlebih dahulu
urutan pengalaman dan
pengetahuan dalam memeriksa secara teliti semua informasi yang relevan dan bermanfaat. Pesan yang diterima memerlukan proses berpikir secara aktif yang hasilnya dapat menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam merespons komunikasi persuasi. Ketika orang dimotivasi dan mampu berpikir dengan jalan central route mereka mengapresiasi secara hati-hati mengenai informasi yang dikomunikasikan. Peripheral Route, sama sekali berbeda dengan central route dimana perubahan sikap tidak selalu memerlukan upaya penuh dalam mengevaluasi informasi yang dihadirkan oleh media massa atau sumber-sumber lain. Pada saat semangat atau kemampuan relevan rendah maka proses
untuk memproses issu dan informasi yang
penyesuaian diri sungguh-sungguh mendesak
upaya mental dalam berpikir. Proses berpikir dalam hal ini lebih menekankan emosional dalam melakukan penilaian. Menurut Ruch berpikir kritis adalah berpikir evaluatif, yaitu menilai baik buruk, tepat tidak tepat suatu gagasan. Berpikir evaluatif berpikir dengan cara tidak menambah atau mengurangi gagasan tetapi kita menilai menurut kriteria tertentu (Rakhmat, 2005). Sikap kritis berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap kritis merupakan efek komunikasi kognitif, afektif yang memerlukan usaha aktivitas kognitif yang penuh dengan jalan menggambar pengalaman dan pengetahuan sebelumnya dengan memeriksa secara teliti semua informasi yang
22
relevan, menilai baik buruk, tepat tidak tepat suatu gagasan yang hasilnya berupa respons yang menyenangkan atau tidak menyenangkan melalui jalan rasionalitas dan emosionalitas. Sikap kritis dalam perkembangannya sangat ditentukan oleh stimulusstimulus yang menerpa setiap hari. Menurut Piaget dalam Mulyana dan Ibrahim (1997),
mulai usia 7-8 tahun anak mulai kritis terhadap lingkungannya (life
space)
dan membutuhkan penjelasan kongkrit dan masuk akal. Ketika
memasuki usia belasan tahun anak mulai dapat berpikir abstrak (symbolic) dan pandai memberikan respon dan jawaban alternatif terhadap stimulus. Dari segi usia, siswa SMA seharusnya sudah dapat berpikir secara kritis dalam menonton tayangan televisi, namun perlu diingat bahwa stimulus-stimulus yang menerpa mereka baik secara langsung (kontak) maupun secara tidak langsung (melalui media) banyak yang kurang membangun pola pikir yang kritis. Bagaimanapun dengan usia 13-18 tahun sudah banyak pengalaman dan pengetahuan mengenai isi tayangan televisi, bagaimana industri media harus bertahan dan berkompetisi dalam mencari nilai jual tayangan, dan efek media televisi yang dapat bersifat positif dan negatif. Selama usia manusia, proses belajar dilakukan terus menerus melalui proses interpretasi pesan, yaitu proses pemberian arti dan pemahaman terhadap pengalaman. Bagaimana pengertian itu berkaitan dengan pemikiran dan perilaku, tradisi belajar klasik mengajarkan bahwa belajar adalah sebuah proses
pengembangan
asosiasi
internal
dan
eksternal
baru,
terhadap
rangsangan. Teori belajar dimulai dengan asumsi bahwa individu memberi respons terhadap rangsangan di dalam lingkungan sehingga membentuk sebuah hubungan
stimulus
respons
(S-R)
yang
bertanggungjawab
terhadap
pembentukan arti yang merupakan respons mental internal terhadap sebuah rangsangan (Osgood dalam Littlejohn. 1996). Apa yang digambarkan
dalam teori belajar bahwa individu dikenai
stimulus dari televisi dan akan memberi arti sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka. Proses tersebut akan membentuk pengetahuan baru dan akan menjadi modal untuk memberi arti pada stimulus berikutnya. Hal ini berproses secara terus menerus dan tidak pernah berhenti. Jika penilaian berbeda dengan kenyataan maka terbentuk interpretasi yang salah tapi diyakini benar. Pengetahuan yang terbentuk juga akan menyimpang dari apa yang sebenarnya. Dengan pola menonton tekevisi yang
23
melebihi empat jam perhari maka apa yang ditonton siswa SMA akan masuk ke dalam pemikiran secara terus menerus sehingga
terbentuk pengetahuan
sebagai bekal dalam membentuk sikap kritis terhadap objek sikap berikutnya. Hasil penelitian Gabner dalam Jahi (1988), menunjukkan, mereka yang menonton televisi lebih dari 4 jam perhari cenderung menyatakan
bahwa
kemungkinan terjadinya tindak kekerasan dalam masyarakat akan lebih besar. Penelitian yang kedua menghasilkan bahwa hubungan menonton televisi dan kecenderungan untuk membesar-besarkan timbulnya kekerasan dapat terjadi bersama-sama. Howkins dan Pingre dalam Jahi (1988), mengatakan bahwa menonton televisi hanyalah awal pengaruh televisi pada realitas sosial. Ada kondisi lain yang mempengaruhi seperti: kapasitas memory, strategi pemusatan, ketrampilan melibatkan diri dan berpikir, struktur sosial seperti keluarga dan teman
dan
informasi pelengkap dari pengalaman-pengalaman yang lain. Jadi pengaruh televisi bersifat kondisional. Apa yang telah diuraikan semakin jelas
bahwa sikap krtis muncul
memerlukan proses belajar secara terus menerus dan berusaha memahami, menilai, memutuskan apakah suatu tayangan memiliki manfaat yang positif. Terpaan media massa, mediasi orangtua, juga termasuk proses belajar yang berhubungan dengan sikap kritis menonton tayangan televisi. Sikap kritis masuk dalam konsep efek komunikasi yang masih ada dalam proses komunikasi dalam diri penerima stimulus yang memerlukan usaha aktivitas kognitif dengan jalan menggambar pengalaman dan pengetahuan sebelumnya dalam memeriksa secara teliti semua informasi yang relevan yang hasilnya berupa respons yang menyenangkan atau tidak menyenangkan melalui jalan rasionalitas dan emosionalitas. Memunculkan sikap kritis anak dalam menilai tayangan televisi (Literasi Media) menurut Scribner dan Cole (dalam Potter, 2001) cenderung pada media cetak, tetapi Goodwin dan Whindel (dalam Potter, 2001) mengatakan, literasi visual yang berkaitan dengan media lain seperti film dan televisi. Semua media ini tentu berbeda. Melek baca, melek visual, melek komputer tidaklah sama namun melek baca akan
berpengaruh pada melek media cetak dan melek
visual. Melek media merupakan sebuah perspektif yang secara aktif kita gunakan mengekspose diri kita sendiri untuk media dalam menginterpretasikan
24
struktur makna yang kita counter. Kita membangun melek media dari struktur pengetahuan yang memerlukan alat yaitu kemampuan kita. Kita harus membangun struktur pengetahuan baik pada isi media, industri media, dan efek media (Potter, 2001). Melek
media
adalah
kemampuan
mengakses,
menganalisis,
mengevaluasi dan menciptakan media dalam berbagai macam bentuk. Definisi ini pertama sekali dinyatakan di Aspen Media Literacy Leadership Institute tahun 1992. Sementara itu the National telemedia Counsil mendefinisikan melek media sebagai kemampuan memilih, memahami dalam konteks isi, bentuk atau gaya, dampak industri dan produk demi mempertanyakan, mengevaluasi, menciptakan, ataupun memproduksi dan menanggapi dengan sadar media yang dikonsumsi: menonton dengan berpikir dan menilai dengan baik (Rakhmani, 2005). Media massa menyampaikan informasi yaitu unsur yang esensial dalam struktur pengetahuan namun tidak semua informasi bermanfaat membangun struktur pengetahuan. Informasi yang dangkal seperti mempertunjukkan nama televisi, musik popular (Potter, 2001) tidak mempunyai kekuatan membentuk pengetahuan yang lengkap. Sikap kritis merupakan kemampuan mengakses informasi melalui televisi. Kemampuan tersebut membuat penonton mampu menganalisis, mengevaluasi dan memilih, memahami dalam konteks isi, bentuk atau gaya, dampak industri dan produk demi mempertanyakan, mengevaluasi, menciptakan, ataupun memproduksi dan menanggapi dengan sadar media yang dikonsumsi. Menurut Silverblatt (2001), melek media menekankan elemen: 1. Kesadaran akan dampak media massa pada individu dan masyarakat. 2. Pemahaman terhadap proses komunikasi massa. 3. Pengembangan strategis untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media. 4. Kesadaran isi media sebagai teks yang memberikan masukan bagi budaya kontemporer dan diri kita. 5. Pengolahan rasa senang kepada media, pemahaman dan penghargaan akan isi media. Sikap kritis siswa SMA Depok berkaitan dengan kemampuan mengakses, menganalisa, mengambil kesimpulan, memahami, menyadari dampak media massa pada individu maupun masyarakat. Sikap kritis tidak muncul dengan sendirinya tetapi memerlukan proses.
25