7
TINJAUAN PUSTAKA Televisi sebagai Media Komunikasi Massa Televisi berasal dari kata, yaitu tele (bahasa Yunani) yang berarti jauh, dan visi (videra bahasa latin) yang berarti penglihatan. Kata Visi dalam bahasa Inggris diartikan dengan melihat jauh. Melihat jauh diartikan dengan gambar dan suara yang diproduksi oleh suatu tempat (studio televisi yang dapat dilihat dari tempat lain melalui sebuah perangkat penerima (televisi set). Sistem transmisi/pancaran gambar dan suara yang dihasilkan kamera elektronik, dan selanjutnya ditransmisikan melalui pemancar. Televisi bermula ditemukannya electrische teleskop oleh mahasiswa Jerman yang bernama Paul Nipkov yang dijuluki ”bapak” televisi untuk mengirim gambar melalui udara dari satu tempat ketempat lainnya. (Kuswandi, 1996). Media massa merupakan kependekan dari istilah media komunikasi massa, yang secara sederhana dapat memberikan pengertian sabagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan serentak kepada khalayak banyak yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai tempat. (Effendy, 2000) Media massa sering dibedakan menjadi media massa tampak (visual), dan media massa berbentuk dengar (radio), dan media massa berbentuk gabungan tampak dengan (audio-visual). Media massa bentuk tampak umumnya dikerjakan dengan mesin cetak, maka disebut juga media massa cetak, atau media cetak, meliputi koran, brosur, selebaran, majalah, buletin, tabloid dan buku. Media massa bentuk dengar meliputi semua alat mekanis yang menghasilkan lambang suara termasuk musik, seperti radio dan kaset. Media massa bentuk gabungan tampak dan dengar (Audio-Visual) meliputi televisi, kaset musik video dan film. Radio, televisi dan Film pada dasarnya bekerja dengan elektronik sehingga disebut media elektronik (Effendy, 1994). Teori komunikasi massa yaitu (1) teori peluru atau jarum hipodermik, mengasumsikan bahwa media massa memiliki kekuatan perkasa, dan komunikan dianggap pasif. Komponen-komponen komunikasi memiliki dominasi
yang
tinggi
dalam
mempengaruhi
komunikan,
seakan-akan
8
komunikasi disuntikan langsung ke dalam jiwa komunikan sehingga pesanpesan persuasif mengubah sistem psikologis komunikan; (2) teori arus banyak tahap, sebagian besar orang menerima efek media dari tangan kedua yaitu opinion leader (para pemuka pendapat); (3) teori proses selektif, penerima pesan media cenderung melakukan selective exposure (terpaan selektif); (4) teori pembelajaran sosial, menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang dilihat di televisi melalui proses pembelajaran hasil pengamatan; (5) teori difusi inovasi, penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru; dan (6) teori kultivasi, teori yang berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra yang tidak konsisten dengan kenyataan. (Ardianto dan Erdinaya, 2004) Televisi mempunyai fungsi untuk menyebarkan informasi, baik informatif maupun sosial, bahkan sebagai sumber inspirasi tentang bagaimana memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Hal ini sejalan dengan paradigma media massa yang menyatakan bahwa media massa berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), dalam memberikan informasi, memotivasi dan menggerakkan masyarakat, agar tidak hanya mengerti arti pembangunan, namun juga mendukung dan berpartisipasi dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu televisi hampir tidak memiliki tandingan, antara lain efektivitas penyebarannya, pesona gambar dan suaranya serta kemampuan komunikatif yang sempurna (Efendy, 1994). Selain itu, media televisi merupakan media yang memiliki kelebihan visualisasi yang menarik perhatian individu dan dapat menjangkau khalayak yang lebih banyak jika dibandingkan dengan media massa lainnya. Black dan Whitney dalam (Nuruddin, 2003) mengungkapkan bahwa fungsi komunikasi massa adalah : 1. To inform (menginformasikan) Komponen paling penting untuk mengetahui fungsi informasi adalah melalui berita-berita, baik berita yang bersifat aktual maupun hiburan. 2. To entertain (memberi hiburan) Fungsi hiburan bagi media massa khususnya televisi mendukung posisinya pada tingkat yang paling tinggi, karena didukung oleh masyarakat yang
9
telah menjadikan televisi sebagai media hiburan. Dalam sebuah keluarga, televisi bisa sebagai perekat keintiman keluarga, maka jangan heran jika jam-jam prime time (jam 19.00 sampai 21.00) biasanya akan disajikan acara-acara hiburan seperti sinetron, kuis atau acara jenaka lainnya. 3. To persuade (membujuk) Banyak bentuk tulisan yang kalau diperhatikan sekilas hanya berupa informasi, tetapi jika diperhatikan lebih jeli ternyata terdapat fungsi persuasi. Tulisan pada tajuk rencana, artikel dan surat pembaca adalah contoh tulisan persuasi. 4. Transmission of the culture (transmisi budaya) Transmisi budaya mengambil tempat dalam dua tingkatan yaitu kontemporer dan histories. Di dalam kontemporer media memperkuat konsensus nilai masyarakat dengan selalu memperkenalkan bibit perubahan secara terus menerus. Secara historis, manusia telah dapat melewati atau menambah pengalaman baru untuk membimbingnya ke masa depan. Karakteristik Televisi Televisi merupakan paduan audio dari dua bagian yang berbeda yaitu audio segi penyiarannya (broadcast) dan video dari segi gambar bergeraknya (moving images). (Effendy, 1993), Ditinjau dari stimulasi alat indera, maka karakteristik televisi menurut Ardianto, et.al (2004) adalah sebagai berikut : 1. Audio Visual Televisi memiliki kelebihan, yakni dapat di dengar sekaligus dapat dilihat (audiovisual). Jadi, khalayak televisi dapat melihat gambar yang bergerak. Namun demikian, tidak berarti gambar lebih penting dari pada kata-kata. Keduanya harus ada kesesuaian secara harmonis. 2. Berpikir dalam Gambar Pihak yang bertanggung jawab atas kelancaran acara televisi adalah pengarah acara. Bila ia membuat naskah acara, ia harus berpikir dalam gambar (think in picture).
10
Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses berpikir dalam gambar. Pertama, adalah visualisasi (visualization), yakni menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara individual. Dalam proses visualisasi, pengarah acara harus berusaha menunjukkan obyek-obyek tertentu menjadi gambar yang jelas dan menyajikan sedemikian rupa, sehingga mengandung suatu makna. Obyek tersebut bisa manusia, benda, kegiatan dan lain sebagainya.(Effendy, 1994) Tahap kedua adalah penggambaran (picturization), yakni kegiatan merangkai
gambar-gambar
individual
sedemikian
rupa,
sehingga
kontinuitasnya mengandung makna tertentu. 3. Pengoperasian Lebih Kompleks Dibandingkan dengan radio siaran, pengoperasian televisi siaran lebih kompleks, dan lebih banyak melibatkan orang. Dalam melakukan siaran, televisi memerlukan tiga perangkat keras (hard ware) utama, yaitu studio (sarana dan prasarana penunjang), Pemancar (transmisi) dan pesawat penerima. Secara teknis proses penyiaran televisi dimulai dari penciptaan gambar proyeksi yang terbentuk melalui system lensa pada kamera. Gambar diubah menjadi gelombang electromagnet (sinyal listrik) di dalam tabung pengambil gambar (Charge Couple Devise). Selanjutnya suara (audio) pendukung gambar (visual) diubah menjadi sinyal listrik di dalam mike (microphone). Kedua jenis sinyal tersebut disalurkan dengan kawat ke pesawat televisi melalui antena. Di dalam pesawat televisi, sinyal listrik tadi diubah kembali menjadi gambar proyek dan suara. (Wahyudi, 1996), Untuk menayangkan acara siaran berita dapat melibatkan 10 orang karyawan. Mereka terdiri dari produser, pengarah acara, pengarah teknik, pengarah studio, pemadu gambar, dua atau tiga juru kamera, juru video, juru audio, juru rias, juru suara, dan lain-lain.
11
Klasifikasi dan Penggolongan Acara televisi Adanya beberapa Stasiun Penyiaran Televisi Swasta (SPTS) yang dapat diterima oleh pesawat televisi khalayak, memberikan alternatif untuk memilih acara televisi yang disukai. Ada beragam program acara yang disiarkan televisi. Dengan adanya keragaman tersebut maka ada pengklasifikasian acara siaran dan penggolongan acara siaran. Klasifikasi Acara Siaran. Dalam penjelasan pasal 39 ayat 1 UU penyiran tahun Tahun 1997 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”klasifikasi acara siaran” adalah pengelompokan acara siaran berdasarkan isi siaran yang dikaitkan dengan usia dan khalayak sasaran. Klasifikasi acara siaran dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari hal-hal negatif yang mungkin ditimbulkan oleh siaran dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memilih acara siaran. Pasal 39 ayat 2 menambahkan bahwa dalam klasifikasi acara siaran dicantumkan kode kelayakan tontonan berdasarkan tingkat kekerasan, pornografi, dan kekasatan bahasa dikaitkan dengan kelompok usia pemirsa, yang terdiri dari (1) layak untuk anak, (2) perlu didampingi orang tua, (3) umum/semua umur, (4) hanya untuk orang dewasa, dan (5) terbatas. Pengolongan Acara Siaran Dijelaskan dalam pasal 46 ayat 2 adalah pengelompokan acara siaran berdasarkan jenisnya meliputi siaran berita, informasi dan penerangan, siaran olah raga dan hiburan, siaran pendidikan dan kebudayaan, siaran iklan, serta siaran agama. Untuk setiap jenis acara siaran, dijelaskan tujuan dan maksudnya dengan mengacu kepada latar belakang kebiasaan masyarakat pada umumnya serta keperluan dan keinginan khalayak sasaran. Ayat 3 menyebutkan, waktu untuk menyiarkan suatu mata acara merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap lembaga penyiaran dengan mengacu pada kebiasaan masyarakat pendengar atau pemirsa berdasarkan umur. Sesuai dengan fungsi sosialnya, lembaga penyiaran perlu
12
memperhatikan dengan seksama keperluan lain masyarakat agar tidak mengganggu keseimbangan kehidupan mereka sehari-hari. Demikian pula mata acara untuk anak-anak perlu disiarkan pada jam-jam yang sesuai. Dalam menyiarkan mata acara siaran nasional, setiap lembaga penyiaran perlu juga memperhatikan pembagian waktu di Indonesia, terutama waktu yang bertepatan dengan kewajiban melaksanakan ibadah agama. Acara tertentu yang terpilih yang merupakan siaran langsung, penyiarannya dapat tidak terikat dengan waktu yang ditentukan dalam pola acara siaran.
Khalayak Penonton Televisi Khalayak (audience) televisi adalah masyarakat yang menggunakan media massa sebagai sumber pemenuhan kebutuhan bermedia. Karena banyaknya jumlah khalayak serta sifatnya yang anonim dan heterogen, maka sangat penting bagi media untuk memperhatikan khalayak. Berdasarkan hal tersebut, ada pesanpesan media massa yang diminati oleh seluruh khalayak, adapula yang diminati oleh sekelompok tertentu, misalnya kelompok usia (anak-anak, remaja, dewasa), kelompok agama, kelompok etnis dan sebagainya. Dengan demikian harus ditentukan strategi komunikasi dalam menyusun suatu acara dalam mencapai sasaran khalayak atau sasaran kelompok. Strategi komunikasi massa memerlukan analisis yang seksama karena banyaknya dan kompleksnya khalayak yang dituju. Proses pembagian khalayak, misalnya khalayak pemirsa televisi dapat dikategorikan dalam kelompok kecil : usia anak 6-10 tahun, kelompok ibu rumah tangga, usia 25-40 tahun atau remaja usia antara 13-18 tahun. (Ardianto, et al., 2004) McQuial (1987) dalam Testiandini (2006) membagi khalayak (audience) menjadi empat sub kategori, yaitu : 1. Kelompok atau publik : sejalan dengan suatu pengelompokkan sosial yang ada (misalnya komunitas keanggotaan minoritas politis, religius atau etnis) dan dengan karakteristik sosial bersama dari tempat, kelas sosial, politik dan budaya.
13
2. Kelompok kepuasaan ; terbentuk atas dasar tujuan atau kebutuhan individu tertentu yang berhubungan dengan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat yang selanjutnya akan menumbuhkan kepuasaan emosional serta respon afeksi tertentu. 3. Kelompok penggemar atau budaya cita rasa ; terbentuk atas dasar minat pada jenis isi (atau gaya) atau daya tarik tertentu akan kepribadian tertentu atau cita rasa budaya intelektual tertentu. 4. Audience medium ; khalayak jenis ini adalah khalayak yang berusaha untuk tetap berada pada salah satu sumber media televisi kemungkinan hanya sangat sedikit terjadi karena hampir setiap saluran televisi swasta mengutamakan hiburan. Teori De Fluer dan Ball-Rokeach dalam (Rakhmat, 2004) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi khalayak. Tiga faktor tersebut di antaranya adalah perspektif perbedaan individual, perspektif kategori sosial dan perspektif hubungan sosial. Perspektif perbedaan individual memandang sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli itu karena setiap orang mempunyai potensi biologis, pengalaman belajar dan lingkungan yang berbeda, sedangkan perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masyarakat tertentu terdapat kelompok-kelompok sosial yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Beberapa contoh kelompok sosial antara lain : usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan dan tempat tinggal. Perspketif hubungan sosial memandang bahwa interaksi dan komunikasi khalayak dengan orang lain seperti orang tua, saudara, teman, dan tetangga dapat mempengaruhi responnya terhadap media massa. Sinetron sebagai Acara Hiburan di Televisi Saat ini sinetron tidak lagi merupakan akronim dari sinema elektronik, melainkan sudah menjadi acara sendiri dilayar kaca karena telah dimaknai sebagai program sinetron unggulan karena waktu tayangnya pada prime time dan
14
diandalkan oleh stasiun televisi untuk meraih rating (Pratomo, 2003). Menurut (Kuswandi, 1996), sinetron banyak disukai oleh pemirsa karena : 1. Isi pesan sesuai dengan realita sosial pemirsa. 2. Isi pesannya mengandung cerminan tradisi luhur dan budaya masyarakat. 3. Isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan. Ketiga faktor di atas itulah, maka sinetron selalu mendapat sambutan hangat dari pemirsa. Kalau isi pesan sinetron tidak mencerminkan realitas sosial objektif dalam kehidupan pemirsa, maka yang tampak dalam cerita sinetron tersebut hanya gambaran semu, akibatnya pemirsa tidak mendapatkan manfaat secara khusus bagi kehidupannya, menyangkut aspek hubungan dan pergaulan sosial serta dapat membuat pemirsa jenuh untuk menonton. Sinetron merupakan satu bentuk aktualitas komunikasi dan interaksi manusia yang diolah berdasarkan alur cerita untuk mengangkat kehidupan seharihari,
salah
satunya
adalah
sinetron
religi.
Banyaknya
sinetron
yang
menggambarkan sisi-sisi sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, tentu sangat bermanfaat bagi pemirsa dalam menentukan sikap. Pesan-pesan sinetron terkadang terungkap secara simbolis dalam alur cerita. Sinetron Religius di Indonesia Bangkitnya sinetron bernuansa religius diawali oleh keberhasilan TPI dengan sinetron Rahasia Ilahi dan Takdir Ilahi-nya, sejumlah stasiun televisi berlomba-lomba untuk menyajikan sinetron Islami. SCTV menyajikan sinetron Astagfirullah dan menyusul Kuasa Ilahi. Lalu, Lativi dengan sinetron Azab Ilahi dan menyusul PadaMu Ya Rabb. Begitu juga dengan Trans TV menyajikan sinetron Taubat dan Indosiar dengan tayangan sinetron Titipan Ilahi, dan RCTI menayangkan Tuhan Ada di Mana-mana. Formatnya tidak jauh beda, yakni diangkat dari kisah nyata di media massa atau kiriman pengalaman seseorang. Bahkan jam tayangnya bersamaan. Pada awal tahun 2007 hanya Trans TV yang memproduksi sinetron religi baru yaitu sinetron Hikayat.
15
Sinetron Astaghfirullah juga berasal dari kisah nyata yang dimuat Majalah Ghoib. Skenario dibuat Misbach Yusa Biran. Menurut Sutradaranya yaitu Chaerul Umam, kisah-kisah nyata seri ini memperlihatkan betapa bukti-bukti kebesaran Allah tiada batas adanya dan diharapkan dapat menjadi sinetron yang akan memberi tauladan pada pemirsa. Sinetron lainnya yaitu Azab Ilahi hadir di layar kaca Lativi, sangat digemari juga dan merupakan salah satu program yang mampu mendongkrak stasiun televisi ini ke posisi lima besar. Menurut manajer humas Lativi Raldy Doy, Sinetron tersebut concern pada program bernilai pendidikan. Peluncuran sinetron itu awal April 2005. Booming-nya sinetron Islami, menurut Ustadz Jeffry Al Bukhari, harus disambut baik karena mencontoh yang berdampak kebaikan justru dianjurkan. Nurdiansyah, (http://www.republika.co.id) Sinetron Rahasia Ilahi yang muncul pada bulan Ramadan 2004. Sinetron ini merupakan hasil kerja sama produksi Kusuma Esa Permata Media dengan majalah Hidayah, yakni tentang bagaimana Allah SWT memberi contoh kepada manusia tentang azab yang diturunkannya. Kisah-kisah religius berbalut mistik di majalah ini divisualkan ke layar kaca. Pada bagian akhir, dimunculkan Ustadz Arifin Ilham dengan pesan-pesan religiusnya. Ketika TPI meraih sukses menyajikan sinetron Rahasia Ilahi. Sejak pertengahan Maret hingga April 2005, Rahasia Ilahi ditonton 40%-50% pemirsa. Rating-nya 14-15 menggeser tayangan sinetron di televisi lain. Pada saat Rahasia Ilahi berada di puncak, TPI kemudian meluncurkan Takdir Ilahi. Baru dua bulan tayang, sinetron ini melesat pula padahal format tayangan keduanya hampir sama. Di bagian akhir ada filter yang diisi seorang ustad untuk menunjukkan hikmah cerita sinetron. Bedanya, kisah di Takdir Ilahi digali dari hadis-hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang ditulis oleh Muhammad Amin Al-Jundi Al-Muttaqin dalam buku Miah Qishshah wa Qishshah fi Anis Ash-Shalihin wa Samir Al-Muttaqin dan kitab Madarijus Salikin karangan Ibnu Qayyim Al-Jauziah. Sinetron berdurasi enam puluh menit menampilkan seorang ahli hadist, KH Ali Mustafa Yaqub MA, pada akhir episode. KH Ali memberikan gambaran yang dapat diambil hikmahnya bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan
16
ikhlas, sabar dan hanya mengharapkan ridhlo Allah, akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Sinetron Rahasia Ilahi dan Takdir Ilahi mampu menjadi kontributor terbesar mendongkrak posisi TPI dari tujuh besar ke posisi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan survei AC Nielsen, dari 15 Maret sampai 15 April 2005, TPI dengan share 15,8 persen berada di urutan pertama, disusul SCTV (15,2 %), RCTI (14,9 %), Indosiar (12,4 %), Lativi (11,2 %), Trans TV (share 10,7%), TV7 (share 6,2%), ANTV (share 6,2%), Global TV (share 2,8%00), Metro TV (share 2,5%) dan TVRI Pusat (share 1,7%). Survei AC Nielsen menunjukkan sinetron Rahasia Ilahi berhasil meraih rating 14,9 dan share 40,29 persen, sinetron Takdir Ilahi (9,8/22,8%) dan KDI-2 (9,4/28,3 %). AC Nielsen juga menempatkan sinetron Rahasia Ilahi sebagai tayangan dengan rating pertama untuk semua program di semua stasiun televisi. Sedangkan sinetron Takdir Ilahi meraih peringkat ketiga dalam daftar Top 50 Program Televisi di Indonesia. Tidak hanya TPI yang mendapat berkah dari sinetron Islami. Sinetron Astagfirullah di SCTV dan Azab Ilahi di Lativi juga mampu mendongkrak rating kedua stasiun televisi tersebut. Begitu juga awal tahun 2006 sinetron religi masih menduduki urutan paling atas untuk segmen remaja yaitu pintu hidayah 10, 9% disusul Maha kasih 10,4%. Nurdiansyah, (http://www.republika.co.id) Khalayak Sinetron Religius Program acara yang ditayangkan televisi yang umumnya dianggap sebagai media keluarga dan hiburan menyebabkan televisi menarik perhatian bagi orangorang yang paling sering berada di rumah, salah satunya adalah kaum wanita (McQuail, 1996). Melalui sinetron, mereka menemukan kesenangan karena tema cerita biasanya sesuai dengan kehidupan sehari-hari dan dijadikan sebagai bahan pembicaraan mereka dengan sesama teman wanita sehingga mempererat persahabatan di antara mereka. Herzos dalam (Rivers et al., 1993) menegaskan bahwa menonton opera/drama bisa mengurangi beban emosional dan dapat menjadi nasihat serta rujukan bagi permasalahan sehari-hari karena cerita dalam opera sabun adalah kisah yang diangkat dari kehidupan sehari-hari.
17
Mulyana dalam Khudori et al (2005), pengamat komunikasi dari Universitas Padjadjaran Bandung, menilai bahwa meskipun ada unsur pendidikannya, sinetron religius lebih menonjolkan sisi hiburannya. Ia menunjuk eksploitasi berlebihan hal-hal klenik, seperti sosok makhluk berpocong yang bangkit dari kuburan. Mulyana tidak menyangkal hal yang gaib itu ada. Tapi, karena miskin kreativitas, eksploitasi klenik itu jadi biasa-biasa saja. Layaknya acara hiburan, sinetron ini juga terikat hukum ekonomi dan hukum pasar yang tidak lepas dari rating. Apa yang terjadi sekarang sifatnya sesaat, sinetron tersebut suatu ketika akan ditinggalkan pemirsa karena hukum pasar terjadi. Membanjirnya sinetron religius membuat pemirsa televisi tersebar. Jumlah penonton di setiap stasiun televisi pun melorot. Hal ini terekam dari survei AGB Nielsen Media Research. Semula sinetron ini ditonton 4.242 pemirsa, kini tinggal 2.269 penonton. Bukan mustahil, jumlah penonton makin menipis manakala sinetron mulai kehilangan alur cerita, teknik, dan topik. Setidaknya program sejenis disaksikan oleh 2.000-4.000 pemirsa dari 13.300 pemirsa yang disurvai oleh AGB Nielsen Media Research. Awal kemunculannya hanya ada empat judul, namun hingga Mei 2005 sudah mencapai 35 macam program. Semakin beragamnya judul-judul sinetron bernuansa religi dan televisi yang menayangkan, diikuti pemirsa yang semakin tersebar. Jadi, meningkatnya jumlah program sinetron bernuansa religi setiap bulan diikuti penurunan jumlah penonton pada setiap stasiun televisi. Seperti diketahui sinetron bernuansa religi juga ditayangkan di Trans TV, Lativi, SCTV, dan RCTI selain TPI. Merujuk pada hasil survey AGB Nielsen Media Research disebutkan pada Februari 2005 ada empat program sinetron bernuansa religi. Pada bulan-bulan berikutnya (hingga 21 Mei 2005) terus bertambah menjadi 10, 27, dan 35. Nilai-nilai Agama Etika dan nilai-nilai diperlukan dalam mengatur bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia mejadi baik. Salah satu nilai yang diperlukan manusia sebagai pegangan dalam menjalankan kehidupan adalah nilai-nilai agama. Konsep nilai-nilai agama terdiri dari dua kata masing-masing memiliki arti. Konsep nilai
18
sendiri menurut (Sulaiman, 1998) adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subyek, menyangkut sebagai segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat. Kluckhon dikutip oleh (Sulaiman, 1998) mengatakan bahwa definisi nilai yang diterima sebagai konsep yang diinginkan dalam literatur ilmu sosial adalah hasil pengaruh seleksi perilaku. Pengertian agama berdasarkan sudut pandang bahasa Indonesia adalah kata yang berasal dari bahasa sansakerta yang artinya ”tidak kacau”. Agama diambil dari dua suku kata, yaitu a yang berarti ”tidak” dan gama yang berarti ”kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut (Kahmad, 2000) dalam bahasa arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata Al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia dapat diartikan al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-”izz (kejayaan), aldzull(kehinaan), al-ikrah(pemaksaan), al-ihsan(kebijakan), al-adat(kebiasaan), alibadat(pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), altadzallul wa al khudhu (tunduk dan patuh), al-tha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dab mengesakan Tuhan). Dalam Islam terdapat nilai-nilai yang harus diamalkan untuk mewujudkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai tersebut adalah A). Akidah (keyakinan), yaitu 1. Meyakini Allah sebagai Pencipta (Khaliq), 2. Meyakini agama sebagai pedoman hidup, 3. Meyakini bahwa Allah maha melihat terhadap semua perbuatan (gerak-gerik) manusia, 4. Meyakini Qada dan Qadar Allah, 5. Meyakini bahwa Allah Maha Penyayang dan Pengampun. B). Akhlakul Karimah, adalah keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa/melalui pertimbangan dan pikiran. Keadaan itu terbagi dua yaitu berasal dari tabiat asli, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan-tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan dulu, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu akhlak dan bakat. (Tahdzib Al-akhlaq Wa Tahhir Al A’raq, dalam Jauhari, 2006). Akhlakul Karimah diantaranya yaitu 1. Bertanggung jawab atas
19
setiap perbuatan, 2. Bersyukur ketika mendapat nikmat, dan bersabar pada saat mendapatkan musibah, 3.Memelihara kebersihan diri dan lingkunganan, 4. Memiliki etos belajar yang tinggi, 5. Menjalin silaturahmi dengan saudara atau orang lain. C). Ibadah, yaitu 1. Melaksanakan ibadah sholat, 2. Ibadah puasa, 3. Berdo’a, 4. Membayar Zakat, 5. Membaca kitab suci dan mendalami isinya. Setiap pribadi yang beragama (beriman dan bertakwa) diwajibkan mengamalkan nilai-nilai agama tersebut, sehingga individu diharapkan dapat mengembangkan potensi takwa kepada-Nya dan mampu mengendalikan bentukbentuk perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang tertanam di dalam dirinya.
Dampak Siaran Televisi Terhadap Perilaku Khalayak Televisi mempunyai peranan dalam perubahan sosial. Program-program siaran televisi menurut (Rusadi, 1990), selain memberikan pengaruh yang sesuai dengan fungsinya yaitu yang sejalan dengan tujuan dari program yang dibuat (fungsional) dan juga dapat memberikan pengaruh menyimpang dari fungsi program yang ditayangkan (disfungsional). Siaran televisi dapat pula berperan hanya sekedar memperlancar perubahan, mencegah perubahan atau bahkan tidak menimbulkan perubahan sama sekali, penyelenggara siaran harus tetap berusaha selalu berorientasi kepada keinginan dan kebutuhan khalayak. (McQuail, 1996) Terjadinya perubahan sosial pada khalayak karena televisi menimbulkan dampak terhadap penjadwalan kembali, penyaluran perasaan dan menimbulkan perasaan tertentu. Dalam kaitan ini khalayak menyesuaikan kegiatan sehari-hari dengan jam tayangan televisi sehingga dapat menimbulkan pergeseran kebiasaan penggunaan waktu di masyarakat. Khalayak juga sering menonton televisi tanpa memperdulikan isi pesan tetapi hanya untuk memuaskan kebutuhan psikologis, misalnya menghilangkan resah maupun rasa jenuh. Selain itu jangka waktu tertentu televisi dapat “mengambil alih” fungsi sarana hiburan antara orang tua dan anak-anak. (Rakhmat, 1994)
20
Berdasarkan hal itulah maka timbul pendapat pro dan kontra terhadap dampak acara televisi (effek) yaitu : 1. Acara televisi dapat mengancam nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. 2. Acara televisi dapat menguatkan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. 3. Acara televisi akan membentuk nilai-nilai sosial baru dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan pendapat tentang dampak acara televisi disebabkan karena media televisi dalam operasionalnya berhubungan dengan institusi sosial lain yang ada di masyarakat, serta adanya perbedaan sudut pandang dari khalayak sasaran. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Penyampaian informasi merupakan tugas pokok media massa, membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. (Kuswandi, 1996) Menurut (Rakhmat, 2004), pengaruh media televisi dibatasi oleh rumusan tiga instink khalayak terhadap pesan yang disampaikan oleh media tersebut, yaitu : 1. Instink selective attention, di mana khalayak atau penonton akan secara sendiri-sendiri menyeleksi acara yang disukai. 2. Instink selective perseption, di mana khalayak atau penonton akan membuat persepsi mengenai pesan-pesan yang disampaikan menurut norma, nilai dan logika yang dipahami. 3. Instink selective retention, di mana khalayak atau penonton akan mengingat hal-hal yang berdasarkan pada kemampuan ingatannya dan perlu diingat oleh dirinya. Menurut (McQuil, 1996), siaran televisi dapat menimbulkan dampak terhadap khalayak, baik yang bersifat kognisi (berkaitan dengan pengetahuan dan opini), atau afeksi (berkaitan dengan sikap dan perasaan) maupun tindakan atau perubahan perilaku. Menurut (Rakhmat, 2004) bahwa dampak kognisi adalah bagaimana televisi dapat membuat khalayak menjadi mengerti tentang
21
sesuatu. Dampak afeksi adalah mencakup pembentukan atau perubahan sikap, rangsangan emosional dan rangsangan seksual. Sedangkan menurut (Muller, 1986) menyatakan bahwa sikap adalah : (1) pengaruh atau penolakan, (2) penilaian, (3) suka atau tidak suka, atau (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis. Dampak siaran televisi terhadap perubahan perilaku dipengaruhi antara lain oleh frekuensi penayangan, konsekuensi yang akan muncul dan dorongan dari dalam diri khalayak (Mc Quail, 1996). Dampak televisi terhadap perilaku tidak terjadi secara langsung. Media tersebut terlebih dahulu mempengaruhi pengorganisasian citra khalayak tentang lingkungan mereka. Citra merupakan gambaran tentang realitas tetapi tidak selalu sesuai dengan realitas. Citra inilah yang mempengaruhi khalayak dalam berperilaku (Rakhmat, 2004) Pada kenyataannya, apa yang telah diungkapkan di atas hanya bersifat teori. Sementara dalam prakteknya terjadi kesenjangan. Banyak paket-paket acara televisi yang dikonsumsikan bagi orang dewasa ternyata ditonton oleh anak-anak atau sebaliknya. Munculnya media televisi otomatis membawa dampak bagi masyarakat, terlepas apakah itu dampak negatif atau positif. Ketakutan akan dampak negatif televisi adalah bahwa acara-acaranya selalu diasumsikan dapat mengikis pola hidup dan kebiasaan masyarakat kita. Dengan kata lain, kita akan dibentuk media televisi menjadi masyarakat baru (social news) serta meninggalkan identitas diri kita yang utuh. (Kuswandi, 1996) Muncul pernyataan sumbang dari para ahli tentang dampak negatif televisi, bahwa hal tersebut hanya terfokus kepada aspek kehidupan praktis yang masih berlaku sekarang. Persoalan yang mesti diwaspadai saat ini adalah jangan sampai televisi menjadi sarana looking for the truth (mencari kebenaran), karena manusia akan menjadikan televisi sebagai life justice dalam memecahkan persoalan kehidupan. (Kuswandi, 1996) Di lain pihak, dampak positif televisi adalah dapat memberikan Pengetahuan tentang informasi di belahan dunia lain. Masyarakat secara tidak sadar akan saling berkompetisi dalam menguasai informasi dan menuju kepada kehidupan modernitas dengan menambah apresiasi pola pikir masyarakat.
22
Sampai sejauh mana pengaruh tayangan televisi terhadap perubahan perilaku pemirsanya?. Pendapat pakar dan hasil penelitian berikut ini mencoba menjawabnya. 1. Dwyer menyimpulkan, sebagai media audio visual, TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga.TV mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar TV walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV setelah tiga jam kemudian dan 65 % setelah tiga hari kemudian (Dwyer, 1988). 2. Televisi adalah media komunikasi, sedangkan komunikasi adalah suatu bisnis yang besar. Sebagai layaknya setiap bisnis, motivasi dan kebutuhannya adalah untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakan secara keseluruhan (Croos, 1983). 3. Arif Sadiman dalam tulisannya yang berjudul "Pengaruh televisi pada perubahan perilaku" (jurnal teknodik No. 7/IV/Teknodik/Oktober 1999) mengutip Laporan UNESCO, 1994 yang menyatakan bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil polling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang terlibat tindak kekerasan. Hasil polling tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka yang melakukan tindak kekerasan suka menikmati film-film kekerasan di TV. Cukup banyak pula hasil-hasil penelitian yang menemukan pengaruh dari tayangan TV. Hal ini terjadi apabila fungsi TV didudukkan secara proporsional, di samping sebagai media hiburan juga sekaligus membawa misi pendidikan. Apabila TV terjebak ke dalam nuansa hiburan semata, dikhawatirkan justru sisi negatifnya yang akan menonjol. (Hermansyah, 2006) Menurut Brown, sejak lahir hingga meninggal seseorang secara langsung atau tidak akan mempengarahi dan dipengaruhi oleh tingkah laku orang lain atau benda serta peristiwa di sekitarnya. Hanya lewat interaksi seseorang (anak) akan
23
menjadi dewasa dan mendapatkan kepribadiannya. Perilaku laku bukan karaktersitik yang kekal sifatnya tetapi dapat berubah, diubah dan berkembang sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan bersifat positif dan negatif. Sifat perubahan yang terjadi ditentukan oleh diri individu yang bersangkutan dan lingkungannya. Proses perubahan tingkah laku bukanlah proses yang sekali jadi tetapi memerlukan waktu yang relatif sifatnya. Perilaku laku bukan pula bawaan atau keturunan tetapi merupakan proses belajar, yang mencakup kawasan-kawasan kognitif, afektif, dan psikomotorik. (Sadiman, 1999) Frekuensi dan intensitas informasi yang diperoleh akan menentukan perilaku kita terpengaruh informasi tersebut (Thorndike, law of Repetition). Informasi yang sama, senada atau serupa yang masuk berulang-ulang ke dalam diri seseorang akan memberi pengaruh yang berbeda apabila informasi tersebut hanya diterima sekali. Informasi tersebut terinternalisasi dalam bentuk perilaku tertentu tanpa disadari. Bahkan tanpa disadari informasi yang salah karena berulang-ulang disampaikan akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Menurut Lazerson (dalam Sadiman, 1999) bahwa pola tingkah laku kita diperoleh dengan jalan mengamati tingkah laku orang lain dan melihat akibatakibat dari tingkah tersebut, tanpa harus ada ganjaran maupun hukuman secara eksplisit. Perilaku atau tindakan yang mendatangkan efek yang positif dan menyenangkan cenderung untuk dilakukan kembali ke masa datang. Sebaliknya, perilaku atau tindakan yang memberikan efek negatif cenderung untuk tidak diulangi lagi. Acara sinetron memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pemirsa yang menontonnya. Seperti diungkapkan oleh Labib (2002) bahwa cerita sinetron tidak hanya sekedar menjadi sajian menarik di layar kaca, tetapi juga telah menjadi bahan diskusi di antara para Ibu dalam kelompoknya, antar anggota keluarga, bahkan tidak jarang nilai-nilai sosial di dalamnya hadir sebagai rujukan perilaku para penggemarnya.