9
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa. Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri psikologis pada diri seseorang. Ciri-ciri psikologis tersebut menurut G.W.Allport (1961) diacu dalam Sarwono (2006) adalah pemekaran diri sendiri (extension of the self), kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif, dan memiliki falsafah hidup tertentu. Piaget menyatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia ketika anak tidak lagi berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, tetapi berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Secara umum, remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Menurut Bronfenbrenner (1979) diacu dalam Gunarsa (2001), kondisi lingkungan hidup, baik itu kondisi sosial atau kondisi budaya suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Menurut Richmond dan Sklansky (1984) diacu dalam Sarwono (2006), inti dari
tugas
perkembangan
seseorang
dalam
periode
remaja
adalah
memperjuangkan kebebasan. Sementara itu, menemukan bentuk kepribadian yang khas dalam periode ini belum menjadi sasaran utama. Pada usia ini juga individu mulai meningkatkan daya kreativitasnya melalui berbagai kegiatan atau penjurusan tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan, yaitu sikap teman sebaya, sikap orang tua, nilai-nilai praktis dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru-guru, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial di antara temanteman sekelas. Karakteristik Remaja Jenis Kelamin Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2008), remaja perempuan lebih banyak dilanda stres dan depresi karena pengaruh lingkungan sosial dan juga teman sebaya. Remaja perempuan juga lebih mudah meluapkan emosinya
10
daripada laki-laki. Perempuan juga ternyata lebih peka dan memiliki empati yang tinggi, sedangkan laki-laki lebih mudah beradaptasi dan mengatasi stres. Usia Santrock (2003) membagi usia remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Bertambahnya usia anak membuat anak memiliki ruang lingkup yang semakin luas terjangkau. Pada masa remaja juga lah pengaruh teman sebaya dan lingkungan di luar diri anak semakin kuat, sedangkan pengaruh lingkungan keluarga semakin berkurang. Urutan Kelahiran Urutan anak ketika dilahirkan terdiri atas anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Menurut Santrock (2003), urutan kelahiran anak ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua terhadap anak tersebut. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak sulung memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan dituntut untuk lebih dewasa serta dapat memberikan contoh bagi adikadiknya. Orang tua juga menjadi lebih mengekang atau menetapkan batas-batas tingkah laku anak. Hal tersebut tidak jarang membuat anak sulung cenderung mengalami stres bila tidak dapat memenuhi tuntutan yang diberikan. Menurut Harlock (1980) diacu dalam Yulianti (2010), kedudukan seseorang dalam keluarga akan sangat mempengaruhinya menghadapi masyarakat dan dunia. Semua anggota keluarga memaksakan pola-pola perilaku tertentu kepada anggota keluarga yang lain pada saat mereka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan cara inilah posisi dalam keluarga memberikan cap yang tidak dapat dihapuskan dari gaya hidup seseorang. Karakteristik Keluarga Usia Orangtua Berdasarkan Papalia dan Olds (2009), usia ibu dibagi menjadi tiga kategori, yakni dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), usia dapat mempengaruhi cara memperlakukan dan mendidik anak. Perlakuan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya haruslah disesuaikan dengan kematangan anak agar anak lebih siap menerima hal apa saja yang ingin
11
ditanamkan oleh orang tua. Dengan begitu, hal tersebut akan tetap tersimpan dan menjadi bagian kepribadian anak untuk kemudian membentuk konsep dirinya. Tingkat Pendidikan Orangtua Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001), pola komunikasi antar keluarga secara langsung maupun tidak langsung ditentukan oleh tingkat pendidikan orang tua. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang, dan juga persepsi terhadap suatu masalah (Sumarwan 2002). Pekerjaan Orangtua Bekerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan
dalam
jangka
waktu
tertentu
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa, maupun ide. Menurut Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang diterimanya. Pendapatan Orangtua Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai hasil dari pekerjaan yang dilakukan (Sumarwan 2002). Keluarga yang memiliki pendapatan rendah akan memiliki kegiatan keluarga yang kurang terorganisasi dibandingkan keluarga dengan pendapatan tinggi (Hurlock 1980). Besar Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dalam keadaan saling ketergantungan. Model Pembelajaran Berbagai upaya telah dilakukan dalam dunia pendidikan sebagai proses untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Munculnya inovasi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi pelaksana pendidikan itu sendiri. Salah satu bentuk inovasi dalam dunia pendidikan adalah munculnya model-model pembelajaran dengan berbagai program unggulan. Model-model ini dirancang dan
12
disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa yang memasuki kelas tersebut. Beberapa program yang telah diselenggarakan oleh sekolah, yaitu dengan adanya program kelas unggulan, seperti kelas Akselerasi dan membentuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Kelas Akselerasi Program akselerasi merupakan proses percepatan belajar yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998. Tokoh yang pertama kali merumuskan akselerasi adalah Pressy. Pada tahun 1949, Pressy mengemukakan bahwa akselerasi adalah suatu kemajuan dalam bidang pendidikan dengan laju yang lebih cepat daripada yang berlaku pada umumnya. Semiawan (2000) diacu dalam Gunarsa (2006) mengatakan bahwa terdapat dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model pembelajaran dan yang kedua akselerasi sebagai suatu kurikulum atau disebut sebagai program akselerasi. Dengan kata lain, akselerasi juga dikatakan sebagai suatu proses memulai tingkat pendidikan pada usia yang lebih muda dari yang biasanya. Program ini diperuntukkan untuk anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa di setiap jenjang sekolah. Program ini dilakukan dengan mempercepat waktu sekolah melalui pengurangan waktu selama satu tahun dari biasanya. Menurut Southern dan Jones (1991) dalam Gunarsa (2006), terdapat dua kriteria untuk melakukan kemajuan dalam bidang pendidikan, yaitu prestasi yang telah ada dan kemampuan untuk maju dengan lebih cepat daripada norma yang telah ada. Terdapat dugaan juga bahwa seorang siswa yang superior akan mampu melaju dengan lebih cepat dibandingkan teman sebayanya dalam menjalani program pengajaran yang standar. Para ahli juga menyatakan bahwa akselerasi melaju dengan lebih cepat dari segi akademis yang mencakup penawaran kurikulum standar kepada siswa yang berusia lebih muda dan berbakat sehingga proses pembelajaran yang dilakukan akan sesuai dengan bakat dan potensi siswa. Departemen Pendidikan (2002) merumuskan akselerasi sebagai pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.
13
Kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf Internasional. Tujuan diadakannya RSBI ini adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia dengan kualitas global atau Internasional. Kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu bersaing dalam dunia global. Seorang siswa lebih berani mencoba hal-hal baru sehingga akan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model pembelajaran di dunia Internasional. Salah satu standar RSBI adalah pendidik atau guru yang mengajar harus telah melalui jenjang pendidikan S2 atau S3 dengan kemampuan berbahasa Inggris yang aktif, secara lisan maupun tulisan. Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 yang terdiri atas tiga pasal, yaitu menurut Pasal 152 Ayat 1 yang berisi satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan yang menjadi taraf Internasional melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan khusus sekolah/madrasah bertaraf Internasional yang diatur oleh menteri. Selain itu juga diatur dalam Pasal 152 Ayat 2, yaitu Pemerintah provinsi/pemerintah kabupaten kota atau masyarakat dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang bertaraf Internasional dengan persyaratan harus memenuhi standar Nasional Pendidikan (SNP) sejak sekolah/madrasah berdiri dan juga pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah bertaraf Internasional yang ditetapkan oleh menteri sejak sekolah/madrasah berdiri. Konsep Diri Menurut Hurlock 1993, konsep diri diartikan sebagai gambaran seorang individu tentang dirinya secara fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui interaksinya dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis. Citra fisik ini terbentuk pertama kali dan berkaitan dengan penampilan fisik anak, daya tarik, serta kesesuaian dengan jenis kelaminnya juga pentingnya beberapa bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri anak di mata orang lain. Citra psikologis terbentuk melalui pikiran, perasaan, dan emosi. Citra ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi
14
penyesuaian terhadap kehidupan, misalnya keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan diri, berbagai aspirasi, dan kemampuannya. Seiring dengan bertambahnya usia seorang anak, konsep diri fisik dan psikologis ini cenderung semakin menyatu dan pada akhirnya seorang anak akan menganggap diri mereka sebagai individu tunggal. Dimensi Konsep Diri Konsep diri bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi, setiap anak akan menerima sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut akan dijadikan cara untuk menilai dan memandang diri seorang anak itu jika diberikan oleh orang-orang yang penting dalam hidup anak, seperti orang tua, guru, dan juga teman sebaya. Dengan kata lain, konsep diri seseorang terbentuk dari umpan balik individu lainnya. Bila orang-orang di sekitar anak menyenangi mereka, maka akan terbentuk pula konsep diri positif dalam diri anak. Konsep diri juga memiliki dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Menurut Calhoun (1990) konsep diri memiliki tiga dimensi internal, antara lain: 1.
Pengetahuan tentang diri sendiri (identitas diri), dimensi ini merupakan suatu faktor dasar yang akan menentukan seseorang dalam kelompok sosial tertentu. Setiap individu juga akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial lain yang akan menambah julukan dirinya dan memberikan sejumlah informasi lain yang akan masuk dalam potret mental orang tersebut.
2.
Harapan terhadap diri sendiri (tingkah laku) Diri ideal setiap individu tidaklah sama. Harapan dan tujuan seseorang akan membangkitkan kekuatan yang mendorongnya menuju masa depan dan memandu kegiatan seumur hidupnya.
3.
Evaluasi diri (kepuasan diri) Evaluasi terhadap diri sendiri ini disebut dengan self esteem, yang akan menentukan seberapa jauh seseorang akan menyukainya. Semakin jauh perbedaan antara gambaran tentang siapa dirinya dengan gambaran seseorang
15
tentang bagaimana seharusnya ia menjadi, maka akan menimbulkan harga diri yang rendah dan sebaliknya. Hal yang termasuk ke dalam dimensi eksternal konsep diri, antara lain diri fisik, yaitu persepsi seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, penampilan diri, dan juga gerak motoriknya; diri etik moral, persepsi seseorang tentang dirinya sendiri yang ditinjau dari standar pertimbangan etik moral; diri personal, perasaan individu terhadap nilai-nilai pribadi terlepas dari fisik dan hubungannya dengan orang lain, juga sejauh mana individu merasa sebagai seorang pribadi; diri keluarga, perasaan dan harga diri seseorang sebagai bagian dari anggota keluarga, teman-teman sebaya, juga sejauh mana dirinya merasa sebagai anggota kelompok tersebut; serta diri sosial, penilaian seseorang tentang dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain dalam suatu lingkungan yang lebih luas. Ada beberapa hal yang mempengaruhi konsep diri seorang anak, antara lain peran orang tua, peran faktor sosial, dan faktor belajar. Keluarga, dalam hal ini orang tua dan saudara-saudara merupakan orang pertama yang menanggapi perilaku anak sehingga akan terbentuk konsep diri anak. Semua bentuk sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan akan menciptakan penilaian positif dalam diri anak. Lain halnya dengan cemoohan dan juga hardikan akan menyebabkan penilaian negatif dalam diri anak. Jika seseorang diterima, dihormati, dan disenangi oleh orang lain karena keadaan dirinya, maka mereka akan menghormati dan menyenangi diri mereka sendiri. Sebaliknya, saat seseorang seringkali diremehkan, disalahkan, dan ditolak, maka ia tidak akan menyenangi diri mereka sendiri. Suatu kajian menyatakan bahwa kondisi keluarga akan lebih berpengaruh pada pembentukan konsep diri anak dibandingkan kondisi sosialnya. Kondisi keluarga yang kurang baik akan menciptakan konsep diri yang rendah pada anak. Kondisi keluarga yang kurang baik ini misalnya tidak adanya pengertian antara orang tua dan anak, tidak adanya keserasian antara ayah dan ibu, orang tua yang menikah lagi, sikap ibu yang tidak puas dengan hubungan ayah dan anak, serta kurangnya sikap menerima dari orang tua terhadap anak mereka. Selain itu, tuntutan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi rendahnya konsep diri anak tersebut.
16
Konsep diri tinggi akan terbentuk dalam diri anak jika terdapat kondisi keluarga yang penuh dengan integritas dan tenggang rasa. Dengan begitu, anak akan memandang orang tua sebagai seorang figur yang berhasil dan dapat dipercaya. Anak juga akan merasa mendapatkan dukungan yang besar dari kedua orang tuanya saat menghadapi suatu masalah sehingga ia tumbuh menjadi anak yang tegas dan efektif dalam memecahkan masalah, rendahnya kecemasan dalam diri mereka, lebih positif serta realistis dalam memandang diri dan lingkungannya. Kecerdasan Emosional Definisi Kecerdasan Emosi Menurut Santrock (2007), emosi adalah perasaan yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting olehnya. Emosi dapat dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman masa lalu. Menurut Salovey dan Mayer dalam Hariwijaya (2005), kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan emosi sendiri dan orang lain serta menggunakan emosi tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional dimiliki seseorang sejak ia dilahirkan. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti keluarga, sekolah, lingkungan bermain, dan lain sebagainya, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosional. Goleman (2007) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam keadaan frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Kecerdasan emosional remaja juga akan mengarahkan remaja untuk membangun potensi dirinya. Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional dibagi menjadi lima dimensi utama, yaitu: Mengenali emosi diri Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri, memiliki tolak ukur
17
realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran emosi menurut Goleman (2007) juga dapat berupa kemampuan mengenali kekuatan serta kelemahan dan melihat diri sendiri dalam sisi yang positif namun tetap realistis. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Mengelola emosi Menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup untuk menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Menurut Gottman dan DeClaire (2007), pengelolaan emosi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menanggapi emosi dan pulih dari keadaan stres. Mengelola emosi juga merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan, amarah, dan kesedihan melalui kemampuan untuk menyadari sesuatu yang ada di balik sebuah perasaan. Memotivasi diri sendiri Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntut seseorang menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis, dan keyakinan diri. Kemampuan memotivasi diri memiliki ciri-ciri seperti memiliki banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang tinggi ketika menghadapi masalah yang sulit, serta memiliki keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi suatu hal yang mudah diselesaikan (Goleman 2007). Shapiro (1998) menyatakan bahwa orang yang termotivasi memiliki keinginan dan kemauan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan. Selain itu, motivasi diri juga dapat membuat seseorang bekerja keras untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan sehingga tercapai keberhasilan dan kepuasan diri.
18
Mengenali emosi orang lain (empati) Menurut Goleman (2007), individu yang memiliki kemampuan empati akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan hal yang dibutuhkan orang lain sehingga ia mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan dapat lebih mendengarkan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal akan lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Seorang ahli psikologi juga menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seni membina hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman 2007). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Seseorang dapat berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orangorang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2007). Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Keluarga adalah tempat pertama seseorang dalam mempelajari emosi, menentukan kehidupan emosi, dan juga pembentukan kepribadian seseorang. Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional lebih utama dibandingkan kecerdasan kognitif. Apabila seseorang mengalami gangguan emosi, hal tersebut akan menyebabkan kesulitan untuk berpikir jernih, mengingat, terganggunya konsentrasi belajar, dan kapasitas intelektualnya. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mempunyai prestasi yang baik pula, lebih original, lebih ulet, juga lebih termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi. Anak ini juga akan mempunyai penyesuaian sosial yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik.
19
Stres Stres merupakan gejala penyakit yang berkaitan dengan kemajuan yang pesat dan perubahan yang menuntut seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan dengan kecepatan yang sama pesatnya. Usaha, kesulitan, kesusahan, dan kegagalan dalam mengikuti kemajuan dan perubahan dapat menimbulkan berbagai keluhan. Menurut McElroy dan Townsend (1985), stres merupakan proses yang terjadi saat seseorang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang jarang dialaminya. Stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan sebagai hal yang dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut disebut stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa yang dialami disebut dengan respons stres. Lazarus (1976) diacu dalam Sussman dan Steinmetz (1988) membagi sumber stres ke dalam dua tipe berdasarkan sifatnya, yaitu sumber stres bersifat fisik dan sumber stres yang bersifat psikososial. Sumber stres fisik merupakan stres biologis yang dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan emosi. Berbeda dengan stres psikososial, yaitu stres yang didasarkan pada kondisi lingkungan sosial tertentu. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik orang yang mengalami stres. Stres psikologis ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain, krisis, frustasi, konflik, dan tekanan. Menurut Higgins (1982) diacu dalam Astuti (2007) faktor-faktor yang berperan dalam stres merupakan kombinasi antara faktor internal (individual) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor-faktor tersebut, yaitu: 1. Faktor Internal (individual), seperti rasa percaya diri, motivasi, keyakinan individu secara umum tentang kehidupan sekitarnya, dan kemampuan beradaptasi. 2. Faktor Eksternal (lingkungan) a. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti peran dan tanggung jawab yang berlebihan, rutinitas, dan juga tuntutan pekerjaan. b. Faktor non pekerjaan, seperti keluarga, teman, keuangan, hobi, kegiatan sosial, kondisi fisik, lingkungan fisik, dan lain-lain. c. Perubahan dalam kehidupan, seperti kematian, menikah, dan mengubah kebiasaan.
20
Reaksi terhadap stres Reaksi terhadap stres terbagi menjadi dua, yaitu reaksi fisik dan reaksi psikologis. Reaksi fisik berupa bagian tubuh yang bereaksi terhadap stresor dengan memulai seurutan kompleks respon bawaan terhadap ancaman yang dihayati. Jika ancaman yang muncul dapat diatasi dengan segera, respon darurat tersebut akan menghilang dan keadaan fisik individu akan kembali normal. Namun, jika kondisi stres terus menerus terjadi, maka akan muncul respon internal yang lain pada saat individu berusaha untuk beradaptasi dengan stresor kronis. Respon individu secara fisik ini ditandai dengan respon melawan atau melarikan diri karena kondisi ini memerlukan energi atau aksi segera. Akan tetapi, ternyata respon ini sangat tidak adaptif dalam menghadapi banyak sumber stres dalam kehidupan yang cukup modern. Menurut Dienstbier (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), stres intermiten (pemaparan kadangkadang dengan periode pemulihan) dapat memberikan manfaat dalam bentuk kekuatan fisiologis dan akan menyebabkan toleransi stres selanjutnya. Kondisi
stres
dapat
menghasilkan reaksi
emosional
mulai
dari
kegembiraan sampai dengan emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan, dan depresi. Jika kondisi stres terus menerus terjadi, emosi seorang individu akan berpindah-pindah di antara emosi-emosi tersebut tergantung pada keberhasilan individu dalam menyelesaikannya. Hal ini terkait dengan reaksi psikologis terhadap stres. Emosi-emosi yang dihasilkan antara lain kecemasan, kemarahan, apati, dan gangguan kognitif. Strategi Koping Emosi dan juga berbagai reaksi yang ditimbulkannya (fisik dan psikologis) akan menimbulkan ketidaknyamanan dan hal ini akan memotivasi individu yang mengalami stres untuk melakukan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Koping atau kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan suatu proses yang digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang dapat menimbulkan stres. Upaya koping biasanya dilakukan dengan mengenali dan menyadari sumber-sumber stres atau stresor. Tujuannya adalah agar sikap-sikap negatif seperti memberontak terhadap keadaan, apatis, dan mudah marah dapat dihindari karena sikap-sikap tersebut akan menimbulkan masalah baru (Handayani 2000).
21
Koping itu sendiri memiliki dua bentuk utama. Individu dapat lebih fokus pada masalah atau situasi spesifik yang terjadi sambil mencoba menemukan cara untuk mengubah atau menghindarinya di kemudian hari. Hal ini disebut dengan strategi terfokus masalah. Individu juga dapat berfokus untuk menghilangkan emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasi sendiri tidak dapat diubah. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), proses yang kedua ini dinamakan strategi terfokus emosi. Kedua jenis koping ini mencakup beberapa hal, seperti perencanaan dan pengorganisasian waktu, pengembangan rasa humor, pencarian lingkungan yang memberikan kenyamanan, dan juga pengembangan tingkah laku positif. Strategi Terfokus Masalah (Problem-focused Coping) Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), strategi yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah misalnya dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang alternatif yang berkaitan dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu di antaranya, dan kemudian mengimplementasikan alternatif yang telah dipilih. Strategi terfokus masalah juga dapat diarahkan ke dalam orang yang dapat mengubah sesuatu pada dirinya sendiri dan bukan mengubah lingkungan. Contoh dari strategi ini antara lain mengubah tingkat aspirasi, menemukan sumber pemuasan alternatif, dan mempelajari kecakapan baru. Kecakapan individu dalam menerapkan strategi ini tergantung dari pengalaman dan kapasitasnya untuk mengendalikan diri. Menurut Nezu, Nezu, dan Peri (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), terapi yang mengajarkan orang depresi untuk menggunakan strategi terfokus masalah akan lebih efektif dalam membantu mengatasi depresinya dan dapat beradaptasi secara lebih adaptif terhadap stresor. Menurut Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu (1998), strategi berfokus masalah terdiri atas empat dimensi, yaitu perilaku aktif mengatasi stres, perencanaan, penekanan kegiatan lain, dan pengendalian perilaku dalam mengatasi stres. Strategi Terfokus Emosi (Emotion-focused Coping) Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), orang menggunakan strategi terfokus emosi dengan tujuan untuk mencegah emosi negatif yang dapat
22
menguasai dirinya dan melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya. Strategi ini juga digunakan pada saat terdapat masalah yang tidak dapat dikendalikan. Menurut Moos (1988) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), sebagian peneliti membagi cara mengatasi emosi negatif menjadi dua, yaitu strategi perilaku dan strategi kognitif. Strategi perilaku dilakukan dengan melakukan latihan fisik untuk mengalihkan pikiran dari sumber masalah, menggunakan alkohol atau obat, menyalurkan kemarahan, atau mencari dukungan emosional dari teman. Strategi kognitif dilakukan dengan cara menyingkirkan sementara pikiran tentang masalah yang dihadapi dan menurunkan ancaman dengan mengubah makna situasi. Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu (1998) mengklasifikasikan strategi terfokus emosi ke dalam lima dimensi, yaitu mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, interpretasi kembali secara positif dan pendewasaan diri, penyangkalan (denial), penerimaan, dan berpaling pada agama. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian mengenai konsep diri yang dikemukakan Hadley (2008) dalam Rahmaisya (2010) menyatakan bahwa konsep diri remaja bersifat dinamis, kausal, dan rumit. Suatu masalah dan kesulitan dapat menurunkan konsep diri dan konsep diri yang rendah pun dapat menimbulkan suatu masalah. Dalam hal kecerdasan emosional, penelitian Saputri (2010) menyatakan bahwa gaya pengasuhan orang tua berhubungan negatif dengan kecerdasan emosional. Hal ini berarti orang tua yang cenderung menerapkan gaya pengasuhan mengabaikan akan membuat anak memiliki motivasi dan kecerdasan emosional yang kurang baik. Selain itu, kepribadian seseorang juga berpengaruh signifikan terhadap tingkat stres yang dirasakan (Muharrifah 2009). Schneider (1964) dalam Helmi (2002) menyatakan bahwa bentuk penyesuaian diri seorang individu terhadap hal yang dialami akan berbeda pada setiap tahapan perkembangannya. Karakteristik individu juga berhubungan dengan perkembangan kognitif, emosional, dan psikososial yang dapat mendukung penyesuaian diri dan stabilitas mental seseorang.