10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1.
Teori Auditing
2.1.1.1 Pengertian Auditing Menurut Arens et al. (2010:4) auditing adalah: “ Auditing is accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independen person.“ Sedangkan menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan- pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Agoes (2012:4) berpendapat bahwa auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
10
11
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa auditing adalah suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi yang ditemukan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan untuk menentukan dan melaporkan pendapat atas kewajaran suatu laporan keuangan atas dasar derajat kesesuaian yang telah ditetapkan. 2.1.1.2 Standar Auditing Standar auditing merupakan panduan umum bagi auditor dalam memenuhi tanggung jawab profesinya untuk melakukan audit atas laporan keuangan historis. Standar ini mencakup pula pertimbangan atas kualitas profesional seperti kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan serta bukti audit. Standar auditing menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2001) dalam SA Seksi 150 berbeda dengan prosedur auditing, yaitu “prosedur” berkaitan dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan “standar” berkaitan dengan kriteria atau tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan prosedur tersebut. Standar auditing yang berbeda dengan prosedur auditing, berkaitan dengan tidak hanya kualitas profesional auditor namun juga berkaitan dengan pertimbangan yang digunakan dalam pelaksanaan auditnya dan dalam laporannya. Menurut Hery (2013:1) pedoman umum yang dimaksud adalah berupa 10 standar auditing yang berlaku umum (generally accepted auditing standard), yang dikembangkan oleh AICPA (American Institute of Certified Public Accountant). Standar- standar ini memang tidak cukup spesifik untuk memberikan pedoman yang
12
berarti bagi praktisi akuntan publik, akan tetapi menyajikan kerangka kerja atau acuan yang membuat AICPA dapat memberikan interpretasi. Standar auditing yang berlaku umum (GAAS) dapat dibagi menjadi tiga kategori berikut : 1.
Standar Umum a.
Audit harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihanpelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor.
b.
Auditor harus mempertahankan sikap mental independen dalam semua hal yang berhubungan dengan audit.
c.
Auditor
harus
menerapkan
kemahiran
profesional
dalam
melaksanakan audit dan menyusun laporan. 2.
Standar Pekerjaan Lapangan a.
Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua sistem sebagaimana mestinya.
b.
Auditor harus memperoleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menilai risiko salah saji yang material dalam laporan keuangan, karena kesalahan atau kecurangan, dan selanjutnya untuk merancang sifat, waktu, serta luas prosedur audit.
13
c.
Auditor harus memperoleh cukup bukti yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak untuk memberikan pendapat menyangkut laporan keuangan yang diaudit.
3.
Standar Pelaporan a.
Auditor dalam laporannya harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
b.
Auditor dalam laporan auditnya harus mengidentifikasi mengenai keadaan dimana prinsip akuntansi tidak secara konsisten diikuti selama periode berjalan dibandingkan dengan periode sebelumnya.
c.
Jika auditor menetapkan bahwa pengungkapan secara informatif belum memadai, auditor harus menyatakannya dalam laporan audit.
d.
Auditor dalam laporan auditnya harus menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan, atau menyatakan bahwa suatu pendapat tidak dapat diberikan. Jika auditor tidak dapat memberikan suatu pendapat, auditor harus menyebutkan alasan-alasan yang mendasari dalam laporan laporan auditor. Dalam sebuah kasus, jika nama seorang auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, auditor tersebut harus secara jelas (dalam laporan auditor) menunjukan sifat pekerjaannya, jika ada, serta tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor bersangkutan.
14
2.1.1.3 Macam-macam Auditing Menurut
Sunyoto
(2014:7)
auditing
dapat
dibedakan
berdasarkan
kelompoknya yaitu menurut pelaksanaannya, objeknya, waktu pelaksanaannya serta tujuan audit. 1.
Menurut Pelaksanaannya Dari pelaksanaannya, auditing dibagi menjadi tiga macam, yaitu internal
audit, eksternal audit, dan governmental audit. a)
Internal Audit Pengertian internal audit adalah suatu fungsi penilaian yang independen yang diterapkan dalam suatu organisasi yang berfungsi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi sebagai jasa yang diberikan kepada organisasi tersebut.
b)
Eksternal audit Eksternal audit adalah merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak luar yang bukan merupakan karyawan perusahaan yang berkedudukan bebas tidak memihak baik kepada kliennya maupun terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dengan kliennya
c)
Governmental audit Pada Departemen Keuangan terdapat instansi yang bertugas sebagai pemeriksa pengelolaan keuangan instansi pemerintah dan perusahaanperusahaan
Negara,
yaitu
Badan
Pengawas
Keuangan
dan
15
Pembangunan (BPKP) yang bertindak sebagai akuntan intern pemerintah, sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai akuntan ekstern pemerintah yang bertanggung jawab kepada DPR. 2.
Menurut objeknya Ditinjau dari objek yang diaudit, maka auditing dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu audit laporan keuangan (financial statement audit), audit operasional (management audit), dan audit kepatuhan (compliance audit). a)
Audit laporan keuangan (financial statement audit) Audit ini dilakukan untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan secara keseluruhan yaitu informasi-informasi kuantitatif yang diaudit telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
b)
Audit operasional (management audit) Audit ini disebut juga audit manajemen, audit kinerja adalah suatu kegiatan meneliti kembali atau mengkaji ulang hasil operasi pada setiap bagian dalam suatu perusahaan dengan tujuan untuk mengevaluasi atau menilai efisiensi dan efektivitasnya.
c)
Audit kepatuhan (compliance audit) Audit ini memiliki tujuan untuk menentukan apakah perusahaan atau klien mengikuti prosedur-prosedur khusus atau peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
16
3.
Menurut waktu pelaksanaannya serta tujuan audit Audit ditinjau dari waktu pelaksanaan serta tujuan audit dibedakan menjadi
dua macam, yaitu audit terus-menerus (continous audit), dan audit periodik (periodical audit). a.
Audit terus-menerus (continous audit) Dalam audit terus-menerus, auditor mengunjungi beberapa kali dalam satu periode akuntansi dan setiap kali melakukan kunjungan mengadakan audit sejak kunjungan sebelumnya.
b.
Audit periodic (periodical audit) Jika pelaksanaan audit dilakukan secara periodik, misalnya semester, tahunan, kuartal, maka audit ini disebut audit periodik. Dalam hal ini laporan auditor yang formal hanya dibuat pada tahun akuntansi.
2.1.1.4 Jenis-jenis Auditor Menurut Arens et. al (2008:19) dalam profesi auditor digolongkan menjadi empat jenis, jenis-jenis tersebut adalah 1)
Kantor Akuntan Publik,
2)
Auditor Kantor Pemerintahan
3)
Auditor Pajak
4)
Auditor Internal
17
2.1.1.5 Tujuan audit Ikatan Akuntan Indonesia (2001) menyatakan dalam Standar Profesional Akuntan Publik SA Seksi 110, PSA No. 02 tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam hal semua yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Laporan auditor merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila keadaan mengharuskan, untuk menyatakan tidak memberikan pendapat, ia harus menyatakan apakah auditnya telah dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia mengharuskan auditor menyatakan apakah menurut pendapatnya, laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, dan jika ada, menunjukan adanya ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. 2.1.2
Pemberian opini audit Laporan audit adalah langkah terakhir dari keseluruhan proses audit. Bagian
yang terpenting yang merupakan informasi utama dari laporan audit adalah opini audit. Menurut standar profesional akuntan publik (PSA 29 SA Seksi 508), ada lima (5) jenis opini auditor, yaitu Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian, Pendapat Wajar
18
Tanpa Pengecualian Dengan Bahasa Penjelas, Pendapat Wajar dengan Pengecualian, Pendapat Tidak Wajar, dan tidak Memberikan Pendapat. 1)
Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion) Pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan auditor apabila audit telah
dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan tidak terdapat kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelas. Laporan keuangan yang wajar dihasilkan setelah melalui (SA 411 paragraf 04), apakah: a)
Prinsip akuntansi yang dipilih dan dilaksanakan telah berlaku umum.
b)
Prinsip akuntansi yang dipilih tepat untuk keadaan yang bersangkutan.
c)
Laporan keuangan beserta catatannya memberikan informasi cukup yang dapat mempengaruhi penggunaannya, pemahamannya, dan penafsirannya.
d)
Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan diklasifikasikan dan diikhtisarkan dengan semestinya, yang tidak terlalu rinci ataupun terlalu ringkas.
e)
Laporan keuangan mencerminkan peristiwa dan transaksi yang mendasarinya dalam suatu cara yang menyajikan posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas dalam batas-batas yang rasional dan praktis untuk dicapai dalam laporan keuangan.
19
2)
Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelas (Unqualified Opinion with Explanatory Language). Pendapat ini diberikan apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan
sesuai dengan standar auditing. Penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, tetapi terdapat keadaan atau kondisi tertentu yang memerlukan bahsa penjelas. Kondisi atau keadaan yang memerlukan bahasa penjelas tambahan antara lain dapat diuraikan sebagai berikut : a)
Pendapat auditor sebagian didasarkan atas laporan auditor indepanden lain. Auditor harus menjelaskan hal ini dalam paragraph untuk menegaskan pemisahan tanggung jawab dalam pelaksanaan audit.
b)
Adanya penyimpangan dari prinsip akuntansi yang ditetapkan oleh IAI. Penyimpangan tersebut adalah penyimpangan yang terpaksa dilakukan agar tidak menyesatkan pemakai laporan keuangan.
3)
Pendapat Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion) Sesuai dengan SA 508 paragraf 38 dikatakan bahwa jenis pendapat ini
diberikan apabila : a)
Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan lingkup audit yang material tetapi tidak mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan
b)
Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum yang berdampak material tetapi
20
tidak
mempengaruhi
laporan
keuangan
secara
keseluruhan.
Penyimpangan tersebut dapar berupa pengungkapan yang tidak memadai, maupun perubahan dalam prinsip akuntansi Bentuk dari penyimpangan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum yaitu menyangkut resiko atau ketidakpastian dan pertimbangan materialitas. Penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia yang menyangkut resiko atau ketidakpastian umumnya dikelompokkan kedalam satu diantara tiga golongan: a)
Pengungkapan yang tidak memadai, jika auditor berkesimpulan bahwa hal yang berkaitan dengan resiko atau ketidakpastian tidak diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, auditor harus menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar.
b)
Ketidaktepatan prinsip akuntansi, Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berkaitan dengan kontijensi atau estimasi hasil peristiwa masa dan tipe tertentu menjelaskan situasi yang didalamnya terdapat ketidakmampuan untuk membuat estimasi yang dapat menimbulkan pertanyaan tentang ketepatan prinsip akuntansi yang digunakan, dan jika auditor berkesimpulan bahwa prinsip akuntansi yang digunakan menyebabkan laporan keuangan salah disajikan secara material, ia
21
harus menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar. 4)
Pendapat tidak Wajar (Adverse Opinion) Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara
wajar posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Auditor harus menjelaskan alasan pendukung pendapat tidak wajar, dan dampak utama dari hal yang menyebabkan pendapat diberikan terhadap laporan keuangan. Penjelasan tersebut harus dinyatakan dalam paragraf terpisah sebelum paragraf pendapat. 5)
Pernyataan tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion or No Opinion) Pernyataan auditor tidak memberiakan pendapat ini layak diberikan apabila: a)
Ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun karena kondisi tertentu.
b)
Auditor tidak independen terhadap klien.
Institut Akuntan Publik Indonesia (2013) menyatakan dalam SA Seksi 700 bahwa
auditor
harus
menyatakan
opini
tanpa
modifikasian
bila
auditor
menyimpulkan bahwa laporan keuangan disusun dalam hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan yang berlaku. Dan jika auditor:
22
a)
Menyimpulkan bahwa, berdasarkan bukti audit yang diperoleh laporan keuangan secara keseluruhan tidak bebas dari kesalahan material atau;
b)
Tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup
tepat untuk
menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari kesalahan penyajian material. Dalam SA Seksi 705 ditetapkan tiga tipe opini modifikasian, yaitu opini wajar dengan pengecualian, opini tidak wajar, dan opini tidak memberikan pendapat keputusan tentang penggunaan tiga opini modifikasian bergantung pada: a)
Sifat dari hal-hal yang menyebabkan dilakukannya modifikasi, yaitu apakah laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material atau dalam hal ketidakmampuan untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, kemungkinan mengandung kesalahan penyajian material dan;
b)
Pertimbangan auditor tentang seberapa pervasifnya dampak atau kemungkinan dampak hal-hal tersebut pada laporan keuangan.
1)
Opini wajar dengan pengecualian Auditor harus menyatakan opini wajar dengan pengecualian ketika: a)
Auditor, setelah memperoleh bukti yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa kesalahan penyajian baik secara individual maupun secara
23
agregasi, adalah material, tetapi tidak pervasif, terhadap laporan keuangan atau; b)
Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang mendasari opini, tetapi auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan dampak kesalahan yang tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika ada, dapat bersifat material, tetapi tidak pervasif.
2)
Opini tidak wajar Auditor harus menyatakan suatu opini tidak wajar ketika auditor, setelah
memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa kesalahan penyajian, baik secara individual maupun agregasi, adalah material dan pervasif terhadap laporan keuangan. 3)
Opini tidak memberikan pendapat Auditor tidak boleh menyatakan pendapat ketika, auditor tidak dapat
memperoleh bukti yang cukup dan tepat yang mendasari opini, dan auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan dampak kesalahan penyajian yang tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika ada, dapat bersifat pervasif. Auditor tidak boleh menyatakan pendapat ketika, dalam kondisi yang sangat jarang yang melibatkan banyak ketidakpastian, auditor menyimpulkan bahwa, meskipun telah memperoleh bukti audit yang cukup dan pendapat tentang setiap ketidakpastian tersebut, auditor tidak dapat merumuskan suatu opini atas laporan keuangan karena
24
interaksi yang potensial dari ketidakpastian tersebut dan kemungkinan dampak kumulatif dari ketidakpastian tersebut terhadap laporan keuangan. 2.1.3
Profesionalisme Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2001) dalam PSA No.4 SA Seksi 230
menyatakan bahwa standar ketiga yaitu, dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Standar tersebut menuntut auditor independen untuk merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya dengan menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Penggunaan kemahiran profesional dengan kecermatan dan keseksamaan menekankan tanggung jawab setiap professional yang bekerja dalam organisasi auditor independen untuk mengamati standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menyangkut apa yang dikerjakan auditor dan bagaimana kesempurnaan pekerjaannya tersebut. Seorang auditor harus memiliki tingkat keterampilan yang umumnya dimiliki oleh auditor pada umumnya dan harus menggunakan keterampilan tersebut dengan kecermatan dan keseksamaan yang wajar. Para auditor harus ditugasi dan disupervisi sesuai dengan tingkat pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengevaluasi bukti audit yang mereka periksa. Auditor dengan tanggung jawab akhir untuk suatu perikatan harus mengetahui, pada tingkat yang minimum, standar akuntansi dan auditing yang relevan dan harus memiliki
25
pengetahuan tentang kliennya. Auditor dengan tanggung jawab akhir bertanggung jawab atas penetapan tugas dan pelaksanaan supervisi asisten. Arens et al. (2008:43) mengatakan dalam standar umum yang ketiga menyangkut kecermatan dalam melakukan aspek auditing. Secara sederhana, ini berarti bahwa auditor adalah profesional yang bertanggung jawab melaksanakan tugasnya dengan tekun dan seksama. Kecermatan mencakup pertimbangan mengenai kelengkapan dokumentasi audit, kecukupan bukti audit, serta ketepatan laporan audit. Sebagai profesional, auditor tidak boleh bertindak ceroboh atau dengan niat buruk, tetapi mereka tidak juga diharapkan selalu sempurna. Istilah profesional berarti tanggungjawab untuk berperilaku yang lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi undang-undang dan peraturan masyarakat. Sebagai profesional, akuntan publik mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk perilaku yang terhormat, sekalipun ini berarti pengorbanan pribadi. Profesionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari seorang profesional. Hall (1968) dalam Wahyudi dan Mardiyah (2006) mengembangkan konsep profesionalisme dari level individual yang digunakan untuk profesionalisme eksternal auditor, meliputi lima dimensi:
26
1.
Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekadar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi, dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohaniah dan kemudian kepuasan material.
2.
Kewajiban sosial (Sosial obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya peran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat ataupun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
3.
Kemandirian (autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak yang lain.
4.
Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
5.
Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan.
27
2.1.4
Materialitas Ikatan Akuntan Indonesia (2001) menyatakan dalam Standar Profesional
Akuntan Publik SA Seksi 312, PSA No. 29 bahwa: “Pernyataan pendapat atas unsur tertentu dalam tingkat materialitas laporan keuangan (pendapat tidak penuh), itu tidak boleh dinyatakan jika auditor menyatakan tidak memberikan pendapat atau ia juga menyatakan pendapat tidak wajar atas tingkat materialitas laporan keuangan secara keseluruhan, karena pernyataan pendapat tidak penuh dalam hal ini cenderung akan mengaburkan arti antara pernyataan tidak memberikan pendapat dan pendapat tidak wajar terhadap tingkat materialitas laporan keuangan secara keseluruhan tersebut”. Menurut FASB Statement of Financial Accounting Concepts No.2 (SFAC No.2) dalam Guy, Alderman dan Winters (2002:159): “Materialitas (materiality) merupakan besarnya penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dalam menyoroti keadaan sekitar, dapat menyebabkan pertimbangan seseorang yang mengandalkan informasi tersebut berubah atau dipengaruhi oleh penghilangan atau salah saji tersebut.” Institut Akuntan Publik Indonesia (2013) menyatakan dalam SA 320 bahwa konsep materialitas diterapkan oleh auditor baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan audit, serta dalam pengevaluasian dampak salah saji yang belum dikoreksi terhadap laporan keuangan. Pada umumnya salah saji (termasuk penghilangan) dipandang material jika, baik secara individual maupun secara agregasi, salah saji tersebut diperkirakan akan memengaruhi keputusan ekonomi pengguna laporan keuangan. Pertimbangan atas materialitas ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi yang melingkupinya, dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan informasi keuangan dari pemakai laporan keuangan, serta
28
oleh ukuran atau sifat salah saji, atau kombinasi keduanya. Oleh karena opini auditor hanya terkait dengan laporan keuangan sebagai suatu keseluruhan, maka auditor tidak bertanggung jawab untuk mendeteksi salah saji yang tidak material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan. Pada saat menetapkan strategi audit secara keseluruhan, auditor harus menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. Jika dalam kondisi spesifik entitas, terdapat satu atau lebih golongan transaksi , saldo akun atau pengungkapan tertentu yang mengandung salah saji yang jumlahnya lebih rendah daripada materialitas pada laporan keuangan secara keseluruhan diperkirakan masuk akal akan mempengaruhi keputusan ekonomi yang dibuat oleh para pemakai berdasarkan laporan keuangan tersebut, maka auditor harus menetapkan materialitas yang akan diterapkan terhadap golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu tersebut. Auditor harus menetapkan materialitas pelaksanaan untuk menilai resiko salah saji material dan menentukan sifat, saat dan luas prosedur audit selanjutnya. Menurut Agoes (2012;149), pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakan kepercayaan
terhadap
laporan
keuangan.
Menurut
Mulyadi
(2002:159)
pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan oleh auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif.
29
Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Sedangkan pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut. Menurut Mulyadi (2002:159) menerangkan ada empat indikator dalam menentukan pertimbangan tingkat materialitas, yaitu: (1)
Pertimbangan awal materialitas
(2)
Materialitas pada tingkat laporan keuangan
(3)
Materialitas pada tingkat rekening
(4)
Alokasi materialitas laporan keuangan ke rekening
Keempat hal di atas menjadi indikator dari variabel tingkat materialitas. 2.1.4.1 Pertimbangan awal tentang materialitas Menurut Mulyadi (2002:159), dalam melakukan perencanaan auditnya auditor harus melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas. Penentuan materialitas ini seringkali disebut dengan materialitas perencanaan, dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena:
Keadaan yang melingkupi berubah
Informasi
tambahan tentang klien dapat diperoleh selama
berlangsungnya audit
30
Suatu pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor dalam mempertimbangkan materialitas. a.
b.
Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti: 1.
Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan;
2.
Total aktiva dalam neraca;
3.
Total aktiva lancar dalam neraca;
4.
Total ekuitas pemegang saham dalam neraca;
Faktor kualitatif seperti: 1.
Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum;
2.
Kemungkinan terjadinya kecurangan;
3.
Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan pada tingkat minimum tertentu;
4.
Adanya gangguan dalam trend laba;
5.
Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan.
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini: 1. Tingkat laporan keuangan, karena pendapatan auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan.
31
2. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh datas kewajaran laporan keuangan. 2.1.4.2 Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan Menurut Mulyadi (2002:160), auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas: 1.
Auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit.
2.
Pada saaat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit.
Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tersebut seuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntasi yang diterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau penghilangan informasi yang diperlukan. Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitann dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat
32
materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham. Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Untuk tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena: 1.
Laporan keuangan saling berhubungan satu dengan lainnya.
2.
Banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dati satu laporan keuangan. Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam
sampai dengan Sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri. Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:
33
a)
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba setelah pajak.
b)
Laporan keangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1/2 % sampai 1% dari total aktiva.
c)
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva.
d)
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1/2 % sampai 1% dari pendapatan bruto.
2.1.4.3 Materialitas pada Tingkat Saldo Akun Meskipun auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan, namun ia harus melakukan audit terhadap akun-akun secara individual dalam mengumpulkan bukti audit yang dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan audit. Oleh karena itu, taksiran materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus dibagi ke akun-akun laporan keuangan secara individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang dialokasikan ke akun-akun secara individual ini dikenal dengan sebutan salah saji yang dapat diterima (tolerable misstatement) untuk akun tertentu. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampur adukan dengan istilah saldo akun material.
34
Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai resiko salah saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurangan saji (understatement) yang melampaui materialitasnya. Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus
mempertimbangkan
hubungan
antara
materialitas
tersebut
dengan
materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji kemungkinan tidak material secara individual, namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan. 2.1.4.4 Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun
35
akun laba-rugi. Namun, karena hampir semua salah saji laporan laba rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi atas dasar akun neraca. Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut. Contohnya, salah saji (overstatement) kemungkinan lebih besar terdapat dalam akun persediaan dibandingkan dengan aktiva tetap dan umumnya biaya untuk mengaudit persediaan lebih malah dibandingkan dengan biaya mengaudit aktiva tetap. 2.2
Penelitian Terdahulu Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai
topik yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.1:
36
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
NO 1
PENELITIAN TERDAHULU Wahyudi dan Mardiyah (2006)
JUDUL
VARIABEL
INDIKATOR
Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan
profesionalisme auditor
1. Pengabdian pada profesi (dedication) 2. Kewajiban sosial (Sosial obligation Kemandirian (autonomy demands) 3. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in selfregulation) 4. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation). Pengetahuan tentang materialitas dan pertimbangan awal tingkat materialitas
Tingkat Materialitas
HASIL PENELITIAN Ada 4 variabel dari indikator yang ada dalam variable profesionalisme yang secara signifikan berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas yaitu pengabdian terhadap profesi, kemandirian, kepercayaan profesi dab hubungan antara sesame rekan profesi
PERSAMAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU 1. Salah satu Variabel independen adalah profesionalisme auditor 2. Teknik pengumulan data menggunakan kuesioner 3. Subyek penelitian adalah Auditor di KAP
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU 1. Lokasi penelitian adalah KAP Suprihadi dan Rekan di kota Malang 2. Sampel yang diambil hanya karyawan dari satu KAP 3. Variabel Dependen adalah tingkat materialitas
37
NO
PENELITIAN TERDAHULU
JUDUL
VARIABEL
2
Gusti dan Ali (2008)
Hubungan Skeptisme Skeptisme Profesional profesional Auditor dan auditor Situasi Audit, Etika,Pengala man Serta Keahlian Audit Dengan Ketepatan Faktor situasi Pemberian audit Opini Auditor Oleh Akuntan Publik Faktor Etika
INDIKATOR
Tingkat keraguan auditor terhadap bukti audit, banyaknya pemeriksaan tambahan dan konfirmasi langsung
Sama dengan skeptisme profesional auditor
pertanyaan terhadap responden dengan pengukuran Skala likert 5 poin
HASIL PENELITIAN skeptisme profesional auditor mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit Situasi Audit mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit Faktor etika tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit
PERSAMAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU Variabel dependennya adalah ketepatan opini audit
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU 1. Variabel independennya adalah skeptisme prodesional audit, faktor situasi audit, faktor etika, pengalaman, dan keahlian audit. 2. Menguji hubungan bukan pengaruh
38
Pengalaman
Banyaknya penugasan
Keahlian Audit
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki serta tingkat sertifikasi pendidikan
Ketepatan opini Audit
Kriteria pemberian opini audit
Pengalaman tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit Keahlian audit tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit skeptisme profesional auditor dan situasi audit mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketepatan opini audit
39 PENELITIAN NO TERDAHULU 3
Febriyanti (2012)
JUDUL
VARIABEL
INDIKATOR
1. Pengabdian pada profesi (dedication) 2. Kewajiban sosial (Sosial obligation Kemandirian (autonomy demands) profesionalisme 3. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief auditor in self-regulation) 4. Hubungan dengan Pengaruh sesama profesi Profesionalisme (Professional Auditor community affiliation). Terhadap Pertimbangan 1.Pertimbangan Awal Tingkat Materialitas Materialitas 2. Materialitas Pada Audit Atas Tingkat Laporan Laporan Keuangan Keuangan 3. Materialitas Pada Pertimbangan Tingkat Saldo Rekening Tingkat 4. Alokasi Materialitas Materialitas laporan Keuangan Audit kerekening
HASIL PENELITIAN Profesionalisme Auditor mempunyai pengaruh secara simultan dan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
PERSAMAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU indikator profesionalisme dan Tingkat materialitasnya sama , Variabel independennya Profesionalisme Auditor
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU Variabel dependen adalah Pertimbangan tingkat materialitas audit, Lokasi penelitian KAP di Sumatera Selatan
40
NO
PENELITIAN TERDAHULU
JUDUL
VARIABEL
4
Ida Suraida (2005)
Etika Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit, dan Resiko Audit Terhadap Kompetensi Skeptisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Audit Pengalaman Audit
INDIKATOR
HASIL PENELITIAN
Etika, kompetensi, pengalaman audit dan Locus control of risiko audit External, Locus berpengaruh terhadap Control Of Internal, skeptisisme Kesadaran Etis, dan kepedulian Pada etika profesional auditor baik secara parsial Profesi maupun secara simultan. Banyaka Secara parsial ijazah/sertifikat yang pengaruh etika, dimiliki,Keikutsertaan kompetensi, dalam pelatihan, pengalaman audit dan Simposium dalam risiko audit negeri, Simposiun terhadap skeptisisme luar negeri, profesional auditor lamanya Pengalaman kecil, namun secara simultan di bidang audit, pengaruhnya cukup Banyaknya besar. assignment yang ditandatangani
PERSAMAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU
Salah satu variabel dependennya adalah ketepatan opini audit
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU
Variabel Independennya adalah Etika,Kompetensi,Pe ngalaman Audit, dan Resiko Audit. Memakai 2 (dua) variabel dependen yaitu Ketepatan Opini Audit dan Skeptisme Profesional Auditor
41
Resiko Audit
Situasi audit yang Digambarkan dalam kasus
Skeptisme Profesional
Tingkat keraguan auditor terhadap bukti audit, banyaknya pemeriksaan tambahan dan konfirmasi langsung
Ketepatan Pemberian Opini Audit
Kriteria pemberian opini audit
Etika, kompetensi, pengalaman audit, risiko audit dan skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap ketepatan pemberian opini akuntan publik baik secara parsial maupun secara simultan. Secara parsial pengaruhnya kecil namun secara simultan pengaruhnya terhadap ketepatan pemberian opini akuntan publik
42
NO
PENELITIAN TERDAHULU
JUDUL
VARIABEL
Profesionalisme
Kesadaran etis dan kepedulian terhadap profesi Pengetahuan, kemampuan dan Pengalaman auditor; Imbalan dari pihak lain; seorang auditor.organisasi yang menaunginya. Sudah Berapa Lama Seorang Auditor bekerja
Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik
Kriteria pemberian opini audit
Etika
5
Zailia Yulfa (2013)
INDIKATOR
Pengaruh Etika, Profesionalisme, dan Pengalaman Audit Terhadap Ketepatan Pemberian Pengalaman Opini Akuntan Audit Publik
HASIL PENELITIAN variabel etika tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini audit profesionalisme berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap ketepatan pemberian opini audit pengalaman audit berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap ketepatan pemberian opini audit Profesionalisme dan Pengalaman Audit berpengaruh signifikan terhadap ketepatan Pemberian opini Audit
PERSAMAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU
Salah satu variabel independennya adalah Profesionalisme Auditor, variabel dependennya adalah ketepatan opini Audit
Indikator penelitian untuk variabel profesionalisme tidak menggunakan konsep Hall Richard. Lokasi Penelitian adalah KAP yang berada di Wilayah Jakarta
43
NO
PENELITIAN TERDAHULU
6
Maruti D.R (2013)
JUDUL
VARIABEL
INDIKATOR
Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan
profesionalisme auditor
1. Pengabdian pada profesi (dedication) 2. Kewajiban sosial (Sosial obligation Kemandirian (autonomy demands) 3. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in selfregulation) 4. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation). Pengetahuan tentang materialitas dan pertimbangan awal tingkat materialitas
Tingkat Materialitas
HASIL PENELITIAN Profesionalisme berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan
PERSAMAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU 1. Salah satu Variabel independen adalah profesionalisme auditor 2. Teknik pengumulan data menggunakan kuesioner 3. Subyek penelitian adalah Auditor di KAP
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU 1Sampel yang di. ambil tidak semua karyawan di KAP hanya tingkatan tertentu 2. Variabel Dependen adalah tingkat materialitas 3. Variabel tingkat materialitas berada di variabel independen
44
NO
PENELITIAN TERDAHULU
7
Suwargana RA (2014)
JUDUL
VARIABEL
INDIKATOR
Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan
profesionalisme auditor
1. Pengabdian pada profesi (dedication) 2. Kewajiban sosial (Sosial obligation Kemandirian (autonomy demands) 3. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in selfregulation) 4. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation). Pengetahuan tentang materialitas dan pertimbangan awal tingkat materialitas
Tingkat Materialitas
HASIL PENELITIAN Ada 4 variabel dari indikator yang ada dalam variable profesionalisme yang secara signifikan berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas yaitu pengabdian terhadap profesi, kemandirian, kepercayaan profesi dab hubungan antara sesame rekan profesi
PERSAMAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU 1. Salah satu Variabel independen adalah profesionalisme auditor 2. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner 3. Subyek penelitian adalah Auditor di KAP
PERBEDAAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU 1. Auditor yang dijadikan responden tidak spesifik 2. Jumlah KAP yang di ambil lebih sedikit 3. Variabel Dependen adalah tingkat materialitas
45
2.3 Kerangka Pemikiran Berkembangnya kegiatan perekonomian global menyebabkan semakin banyaknya perusahaan yang tumbuh berkembang. Guna meningkatkan persaingan dengan kompetitor, perusahaan berusaha untuk mengembangkan bisnisnya sebesar mungkin dengan menarik para investor. Untuk meyakinkan para investor atas kehandalan laporan keuangan maka dilakukanlah proses audit. Arens et al. (2008:4) mendefinisikan auditing adalah pengumpulan informasi dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Standar auditing merupakan pedoman umum untuk membantu auditor memenuhi tanggung jawab profesionalnya dalam audit atas laporan keuangan historis. Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas profesional seperti kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bukti. Standar auditing yang berlaku umum dibagi menjadi tiga kategori: 1.
Standar umum
2.
Standar pekerjaan lapangan
3.
Standar pelaporan
46
Penyusunan laporan audit adalah langkah terakhir dari seluruh proses auditing, sebagai dasar untuk mempelajari cara mengumpulkan bukti-bukti pemeriksaan (Sunyoto, 2014:23). SAS I (AU 110) dalam Arens et al (2008) menyatakan tujuan dari audit biasa atas laporan keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, semua hal yang material, posisi keuangan, hasil operasi serta arus kas sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Institut Akuntan Publik Indonesia (2013) menyatakan dalam SA Seksi 700 dan 705, ada empat jenis pendapat akuntan yaitu: 1.
Opini wajar tanpa modifikasian
2.
Opini wajar dengan pengecualian
3.
Opini tidak wajar
4.
Opini tidak memberikan pendapat Ikatan Akuntan Indonesia (2001) menyatakan dalam Standar Profesi Akuntan
Publik SA Seksi 200 PSA No. 04, dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang profesional dalam bidang akuntansi dan bidang auditing. Profesionalisme sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari seorang profesional. Menurut teori tersebut dapat di hubungkan bahwa profesionalisme dari seorang auditor sangat mempengaruhi keputusan auditor untuk menyatakan pendapat
47
dimana pendapat tersebut haruslah tepat seuai dengan kondisi dari laporan keuangan tersebut. Terdapat lima indikator dari profesionalisme menurut konsep dari Hall (1989) dalam Wahyudi dan Mardiyah (2006) yaitu, pengabdian terhadap profesi, kewajiban social, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan juga hubungan sesame profesi. Kelima indikator tersebut telah dibuktikan berdasarkan penelitian Zailia (2013) dimana profesionalisme beserta indikatornya berpengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini audit. Ikatan Akuntan Indonesia (2001) menyatakan dalam Standar Profesional Akuntan Publik SA Seksi 312, PSA No. 29 bahwa: “Pernyataan pendapat atas unsur tertentu dalam tingkat materialitas laporan keuangan (pendapat tidak penuh), itu tidak boleh dinyatakan jika auditor menyatakan tidak memberikan pendapat atau ia juga menyatakan pendapat tidak wajar atas tingkat materialitas laporan keuangan secara keseluruhan, karena pernyataan pendapat tidak penuh dalam hal ini cenderung akan mengaburkan arti antara pernyataan tidak memberikan pendapat dan pendapat tidak wajar terhadap tingkat materialitas laporan keuangan secara keseluruhan tersebut”. Menurut Sunyoto (2014:141) materialitas merupakan pertimbangan utama dalam menentukan laporan audit yang tepat untuk diterbitkan. Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas, yaitu besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji tersebut. Menurut Hery (2013) materialitas
48
merupakan hal penting untuk dipertimbangakan, dalam menentukan secara tepat laporan yang akan diterbitkan pada situasi tertentu. Berdasarkan teori diatas dapat diambil hubungan dimana tingkat materialitas merupakan salah satu faktor dari tepat atau tidaknya opini yang diberikan oleh auditor. Terdapat empat indikator dari tingkat materialitas sendiri yaitu, pertimbangan awal materialitas, materialitas pada tingkat laporan keuangan, materialitas pada tingkat saldo akun dan alokasi materialitas laporan keuangan ke akun. Jika keempat indikator tersebut tidak dapat dipenuhi oleh auditor dalam pelaksanaan auditnya maka laporan keuangan yang diaudit tidak dapat diketahui terdapat kesalahan material atau tidak. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keputusan auditor untuk memberikan opini. Sebagaimana penelitian Febrianty (2012) dikatakan bahwa profesionalisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas. Dengan kata lain semakin tinggi profesionalisme yang dimiliki seorang auditor semakin tinggi pula pertimbangan tingkat materialitasnya. Dan semakin tinggi profesionalisme seorang auditor semakin tepat opini yang diberikannya.
49
Gambar 2.1 Model Penelitian
PROFESIONALISME Model Penelitian AUDITOR (X1) (Febriyanti (2012), Tjandrawinata dan Pudjolaksono (2013) KETEPATAN OPINI AUDIT (Y) (Gusti dan Ali (2008))
TINGKAT MATERIALITAS (X2) (Febriyanti (2012), Tjandrawinata dan Pudjolaksono (2013)
50
2.4
Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Ketepatan Opini Audit Profesionalisme adalah sikap dari seorang yang profesional dalam menjalankan profesinya. Dalam menjalankan audit auditor harusnya professional dan independen. Menurut penelitian Zaila (2013) profesionalisme auditor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketepatan opini audit. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat profesionalisme yang dimiliki oleh auditor semakin tepat opini yang akan diberikan, maka hipotesis yang dibangun adalah: H1: Profesionalisme auditor memiliki pengaruh signifikan terhadap ketepatan opini audit. 2.4.2
Pengaruh Tingkat Materialitas Terhadap Ketepatan Opini Audit Tingkat materialitas adalah besarnya salah saji atau kesalahan informasi yang
terdapat laporan keuangan yang dapat mempengaruhi keputusan para pengguna laporan keuangan. Tingkat materialitas merupakan pertimbangan yang sangat penting sebelum auditor mengeluarkan opininya untuk laporan keuangan yang diaudit. Menurut penelitian Febrianty (2012) dikatakan bahwa profesionalisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas. Dengan kata lain semakin tinggi profesionalisme yang dimiliki seorang auditor semakin tepat pula pertimbangan tingkat materialitasnya, maka hipotesis yang dibangun adalah:
51
H2: Tingkat materialitas berpengaruh signifikan terhadap ketepatan opini audit 2.4.3
Pengaruh Profesionalisme Auditor dan Tingkat Materialitas Terhadap Ketepatan Opini Audit Tujuan dari audit sendiri adalah memberikan keyakinan yang memadai bahwa
laporan laporan keuangan bebas dari salah saji yang material. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan pendapat profesional auditor dalam laporan auditnya. Menurut penelitian Gusti dan Ali (2008) dinyatakan bahwa skeptisme profesional dan faktor situasi audit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketepatan opini audit. Dengan kata lain semakin tinggi skeptisme dan semakin baik faktor situasi audit semakin tepat pula opini audit yang dikeluarkan oleh auditor. Berdasarkan penjelasan tersebut hipotesis yang dibangun adalah: H3: Profesionalisme auditor dan tingkat materialitas berpengaruh signifikan terhadap ketepatan opini audit.