BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1
Pengertian Auditing Menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah: “Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi” Pengertian auditing juga telah dirumuskan oleh beberapa akademisi, Arens
et al. (2008:4) mendefinisikan auditing sebagai berikut: “Pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dari kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen” Sementara itu, Konrath (2002:6) melihat audit sebagai suatu proses sistematik dalam memperoleh dan mengevaluasi asersi manajemen. Konrath mengungkapkan: “Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economis astions and events to ascertain the degree of correspondence between thore assertion and established criteria and communicating the result to interests users”
8
9
Menurut Konrath dapat diuraikan 5 (lima) karakteristik dalam pengertian auditing, sebagai berikut: 1.
Informasi yang dapat diukur dari kriteria yang telah diterapkan Dalam
proses
pemeriksaan,
kriteria-kriteria
informasi
yang
diperlukan harus ditetapkan dan informasi tersebut dapat diverifikasi kebenarannya untuk dijadikan bukti audit yang kompeten. 2.
Entitas ekonomi (Economy entity) Proses pemeriksaan harus jelas dalam hal penetapan kesatuan ekonomi dan periode waktu yang diaudit. Kesatuan ekonomi ini sesuai dengan entity theory dalam Ilmu Akuntansi yang menguraikan posisi keuangan suatu perusahaan terpisah secara tegas dengan pposisi keuangan pemilik perusahaan tersebut.
3.
Aktivitas mengumpulkan dan mengevaluasi bahan bukti Auditor pelaksana selalu mencangkup aktivitas mengumpulkan dan mengevaluasi bukti yang dianggap kompeten dan relevan dengan proses pemeriksaan yang sedang dilakukan. Aktivitas tersebut diawali dari penentuan jumlah bukti yang diperlukan sampai pada proses evaluasi atau penilaian kelayakan informasi dalam pencapaian sasaran kegiatan audit.
10
4.
Independensi dan kompetensi auditor pelaksana Auditor pelaksana harus mempunyai pengetahuan audit yang cukup. Pengetahuan (knowledge) itu penting untuk dapat memahami relevansi dan keandalan informasi yang diperoleh. Selanjutnya, informasi tersebut menjadi bukti yang kompeten dalam penentuan opini audit. Agar opini publik tidak biasa, pihak auditor dituntut untuk bersikap bebas (independen) dari kepentingan mana pun. Independensi adalah syarat utama agar laporan audit objektif.
5.
Pelaporan audit Hasil aktivitas pemeriksaan adalah pelaporan pemeriksaan itu. Laporan audit berupa komunikasi dan ekspresi auditor terhadap objek yang diaudit agar laporan atau ekspresi auditor tadi dapat dimengerti. Dengan demikian, laporan itu harus mampu dipahami oleh penggunanya. Artinya, laporan ini mampu menyampaikan tingkat kesesuaian antara informasi yang diperoleh dan diperiksa dengan kriteria yang ditetapkan.
Dan menurut Mulyadi (2002:11), auditing jika ditinjau dari sudut akuntan publik adalah pemeriksaan (examination) secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.
11
2.1.2
Tinjauan Tentang Profesi Akuntan Publik Menurut Peraturan Menteri Keuangan No 17 tahun 2008, akuntan
adalah: 1.
Seseorang yang berhak menyandang gelar atau sebutan akuntan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 17 tahun 2008 pasal 40 mengenai pembinaan akuntan publik adalah: 1.
Akuntan publik dan/atau KAP bertanggung jawab atas seluruh jasa yang diberikan.
2.
Akuntan publik bertanggung jawab atas Laporan Auditor Independen dan Kertas Kerja dari Akuntan Publik yang bersangkutan selama 10 (sepuluh) tahun.
3.
Akuntan publik dan/atau KAP wajib memelihara Laporan Auditor Independen dan Kertas Kerja dari Akuntan Publik yang bersangkutan, dan dokumen pendukung lainnya yang berkaitan dengan pemberian jasa selama 10 (sepuluh) tahun.
12
4.
Akuntan Publik dan/atau KAP dilarang mencantumkan namanya pada dokumen atau komunikasi tertulis yang memuat laporan keuangan atau bagian-bagian dari suatu laporan keuangan kecuali Akuntan Publik dan/atau KAP yang bersangkutan telah melakukan audit atau kompilasi atau review atas laporan keuangan atau bagian-bagian dari laporan keuangan dimaksud.
Sementara menurut Mulyadi & Kanaka (1998:46) akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Sedangkan auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis, yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Bagan Hubungan antara Akuntan Publik, Auditor, Praktisi Tipe Akuntan
Tipe Akuntan Publik
Jenis Jasa
Tipe Akuntan
Auditor
Praktisi
Jasa Audit atas Laporan Keuangan Historis
Jasa Pemeriksaan, Jasa Akuntansi dan Review, Jasa Konsultasi Sumber: Mulyadi (2002:52)
13
2.1.2.1
Jasa yang Dihasilkan oleh Profesi Akuntan Publik Menurut Mulyadi (2002:5) jasa yang diberikan oleh profesi Akuntan
Publik terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1.
Jasa Assurance Jasa
assurance
meningkatkan
adalah
mutu
jasa
informasi
professional bagi
independen
pengambilan
yang
keputusan.
Pengambilan keputusan memerlukan informasi yang andal dan relevan sebagai basis untuk pengambilan keputusan. Oleh karena itu, mereka mencari jasa assurance untuk meningkatkan mutu informasi yang akan dijadikan sebagai basis keputusan yang akan mereka lakukan. Professional yang menyediakan jasa assurance harus memiliki kompetensi dan independensi berkaitan dengan informasi yang diperiksanya. 2.
Jasa Atestasi Atestasi adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan orang yang independen dan komperen tentang apakah asersi sesuai suatu entitas sesuai, dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan. Dimana asersi adalah penyataan yang dibuat oleh satu pihak yang secara implisit dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain. Jasa atestasi profesi akuntan publik dapat dibagi lebih lanjut menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
14
a) Audit Jasa audit mencangkup pemerolehan dan penilaian bukti yang mendasari laporan keuangan historis suatu entitas yang berisi asersi yang dibuat oleh manajemen entitas tersebut. b) Pemeriksaan (Examination) Pemeriksaan digunakan untuk jasa lain yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik yang berupa pernyataan suatu pendapat atas kesesuaian asersi yang dibuat oleh pihak lain dengan kriteria yang telah ditetapkan. c) Review Jasa review terutama berupa permintaan keterangan dan prosedur analitik terhadap informasi keuangan suatu entitas dengan tujuan untuk memberikan keyakinan negative atas asersi yang terkandung dalam informasi keuangan tersebut. d) Prosedur yang disepakati (Agreed upon procedures) Jasa atestasi atas asersi manajemen dapat dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan prosedur yang disepakati antara klien dengan akuntan publik.
15
3.
Jasa Nonassurance Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik
yang didalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negative, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan. Jasa konsultasi diatur dalam Standar Jasa Konsultasi. Jasa konsultasi dapat meliputi jasa-jasa sebagai berikut ini: a) Konsultasi (Consultation) Untuk jenis jasa ini, fungsi praktisi adalah memberikan konsultasi atau saran professional (professional advice) yang memerlukan respon segera, berdasarkan pada pengetahuan mengenai klien, keadaan, masalah teknis terkait, representasi klien, dan tujuan bersama berbagai pihak. b) Jasa pemberian saran professional (Advisory services) Untuk jenis ini, fungsi praktisi adalah mengembangkan temuan, simpulan, dan rekomendasi untuk dipertimbangkan dan diputuskan oleh klien. c) Jasa implementasi Untuk jenis ini, fungsi praktisi adalah mewujudkan rencana kegiatan menjadi kenyataan. Sumber daya dan personel klien digabung dengan sumber
daya
implementasi.
dan
personel
praktisi
untuk
mencapai
tujuan
16
d) Jasa transaksi Untuk jenis ini, fungsi praktisi adalah untuk menyediakan jasa yang berhubungan dengan beberapa transaksi khusus klien yang umumnya dengan pihak ketiga. e) Jasa penyediaan staf dan jasa pendukung lainnya Untuk jenis ini, fungsi praktisi adalah menyediakan staf yang memadai (dalam hal kompetensi dan jumlah) dan kemungkinan jasa pendukung lain untuk melaksanakan tugas yang ditentukan oleh klien. f)
Jasa produk Untuk jenis jasa ini, fungsi praktisi adalah untuk menyediakan bagi klien suatu produk dan jasa professional sebagai pendukung atas instalasi, penggunaan, atau pemeliharaan produk tertentu.
2.1.3
Standar Profesional Akuntan Publik Menurut Sunarto (2003:26), terdapat 4 (empat) macam Standar
Profesional mutu pekerjaan akuntan publik, yaitu: 1.
Standar Auditing Standar auditing merupakan pedoman audit di atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri atas 10 (sepuluh) standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA). Dengan demikian PSA merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang tercantum dalam standar auditing. PSA berisi ketentuan dan pedoman
17
utama yang harus diikuti oleh akuntan publik dalam melaksanakan penugasan audit. 2.
Standar Atestasi Standar atestasi memberikan kerangka untuk fungsi atestasi bagi jasa akuntan publik yang mencangkup tingkat keyakinan tertinggi yang diberikan dalam jasa audit atas keuangan historis maupun tingkat keyakinan yang lebih rendah dalam jasa nonaudit. Standar atestasi terdiri dari atas 11 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Atestasi (PSAT). Dengan demikian PSAT merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang terdapat dalam standar atestasi.
3.
Standar Jasa Akuntansi dan Review Standar jasa akuntansi dan review memberikan kerangka untuk fungsi nonatestasi bagi jasa akuntan publik yang mencangkup jasa akuntansi dan review. Standar jasa akuntansi dan review dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (PSAR). Termasuk dalam Pernyataan Jasa Akuntansi dan Review adalah interprestasi resmi yang dikeluarkan IAI terhadap ketentuan yang diterbitkan IAI dalam PSAR.
4.
Pedoman Audit Industri Khusus Industri memiliki operasi yang unik yang berdampak terhadap berbagai transaksi yang dicatat dalam akuntansi, maka auditor
18
memerlukan pedoman untuk melakukan audit terhadap industri tertentu, hal ini dimaksudkan agar auditor memiliki kemampuan untuk menafsirkan dengan baik informasi keuangan yang disajikan oleh perusahaan dalam lingkungan industri tertentu, sehingga auditor dapat mempertimbangkan dengan baik keunikan bisnis industry tertentu yang berdampak terhadap asersi manajemen yang terkandung dalam laporan keuangan yang diaudit. Keempat macam standar professional diatas, diklasifikasikan dan dikumpulkan dalam satu buku yaitu Standar Profesional Akuntan Publik (Sunarto, 2003:26). Standar Umum pertama yang mencantumkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor (SPAP, 2001; seksi 150 paragraf 02).
2.1.4
Tipe-tipe Audit Tipe audit menurut Mulyadi (2002:30) terdiri dari : 1.
Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit) Adalah audit yang dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
19
2.
Audit Kepatuhan (Compilance Audit) Adalah audit yang tujuannya untuk menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. Hasil dari audit ini umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang membuat kriteria.
3.
Audit Operasional (Operational Audit) Merupakan review secara sistematik atas kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Audit operasional ini juga merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektifitasnya.
2.1.4.1
Perbedaan antara Audit Laporan Keuangan, Audit Kepatuhan dan Audit Operasional Menurut Hayes et al. (2005:15), perbedaan dari audit laporan keuangan,
audit kepatuhan dan audit operasional telihat dari : 1.
Audit Laporan Keuangan, examine financial statements, determine if
they give a true and fair view or fairly presents the financial position, result, and cash flows 2.
Audit Operasional, a study of specific unit of an organization for the
purpose of measuring its performance
20
3.
Audit Kepatuhan, a review of organization’s procedures and financial
records performed to determine wether the organization is following specific procedures, rules or regulations set out by some higher authority
2.1.5
Jenis-jenis Auditor Menurut Sunarto (2003:19), jenis – jenis auditor terdiri dari : 1.
Auditor Pemerintah Auditor Pemerintah adalah audit atas keuangan Negara pada Instansi pemerintah. Di Indonesia audit ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dibentuk sebagai perwujudan dari Pasal 23 ayat 5 Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: a)
Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan pemeriksa Keuangan yang pengaturannya ditetapkan undang-undang.
b)
Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan yang tidak tunduk kepada Pemerintah sehingga diharapkan dapat melakukan audit secara independen, namun demikian badan ini bukanlah badan yang berdiri di atas Pemerintah. Hasil audit yang dilakukan BPK disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai alat control atas pelaksanaan keuangan Negara.
c)
Banyak informasi keuangan yang dibuat oleh berbagai instansi pemerintah harus diaudit lebih dahulu. Oleh karena kewenangan
21
untuk melakukan pengeluaran dan penerimaan pada instansiinstansi pemerintah telah dirumuskan dalam undang-undang, maka audit yang dilakukan kebanyakan merupakan audit kesesuaian. 2.
Auditor Intern Auditor Intern adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut.
3.
Auditor Independen Tanggung jawab utama akuntan publik adalah melakukan fungsi pengendalian atas laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan terbuka yaitu perusahaan yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal, perusahaan besar, dan juga pada perusahaan kecil, serta organisasi yang tidak bertujuan mencari laba. Dengan semakin banyaknya perusahaan, yang harus diaudit laporan keuangannya, dan kalangan bisnis, serta banyak pihak lainnya semakin mengenal laporan ini, maka orang awan sering mengartikan istilah auditor sama dengan akuntan publik.
22
Adapula jenis-jenis auditor menurut Arens et al. (2008:19), antara lain: 1. Kantor Akuntan Publik Kantor akuntan publik bertanggung jawab mengaudit laporan keuangan historis yang dipublikasikan oleh semua perusahaan terbuka, kebanyakan perusahaan lain yang cukup besar, dan banyak perusahaan serta organisasi nonkomersial yang lebih kecil. 2. Auditor Badan Akuntabilitas Adalah auditor yang bekerja untuk Government Accountability (GAO) A.S sebuah badan nonpartisipan dalam cabang legislative pemerintah federal. 3. Agen Penerimaan Negara Bertanggung jawab untuk memberlakukan peraturan pajak federal sebagaimana yang didefinisikan oleh Kongres dan diinterpretasikan oleh pengadilan. Salah satu tanggung jawab utamanya adalah mengauudit SPT pajak wajib pajak untuk menentukan apakah SPT itu sudah mematuhi peraturan pajak yang berlaku. 4. Auditor Internal Dipekerjakan oleh perusahaan untuk meelakukan audit bagi manajemen sama seperti GAO mengaudit untuk kongres. Tanggung jawab auditor internal sangat beragam, tergantung pada si pemberi kerja.
23
2.1.6
Tipe-tipe Pendapat Auditor Menurut Mulyadi (2002:19), tipe-tipe pendapat yang diberikan auditor
terbagi menjadi 5 (lima) jenis, antara lain: 1.
Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified opinion report) Diberikan oleh auditor jika tidak terjadi pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai kewajaran penerapan prinsip akuntansi berterima umum dalam penyusunan laporan keuangan, konsistensi penerapan, prinsip akuntansi berterima umum tersebut, serta pengungkapan memadai dalam laporan keuangan.
2.
Pendapat wajar
tanpa
pengecualian
dengan
bahasa penjelasan
(Unqualified opinion report with explanatory language) Jika terdapat hal yang memerlukan pendapat bahasa penjelasan, namun laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan klien, auditor dapat menerbitkan laporan ini. 3.
Pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified opinion report) Jika auditor menjumpai kondisi-kondisi berikut ini, maka auditor memberikan pendapat wajar dengan pengecualian: a)
Lingkup audit dibatasi oleh klien
b) Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien maupun auditor
24
c)
Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum
d) Prinsip akuntansi berterima umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak diterapkan secara konsisten 4.
Pendapat tidak wajar (Adverse opinion) Auditor yakin bahwa laporan keuangan secaea keseluruhan mengandung salah saji yang material/menyesatkan sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan/operasi dan arus kas sesuai prinsip akuntansi berlaku umum.
5.
Menolak memberikan pendapat (Disclaimer of opinion) Auditor tidak dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar.
Adapula menurut Arens et al. (2008:70) jenis-jenis pendapat auditor terdiri dari: 1. Laporan pendapat wajar dengan pengecualian Dapat diterbitkan akibat pembatasan ruang lingkup audit atau kelalaian untuk mematuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Pendapat tidak wajar Digunakan hanya apabila auditor yakin bahwa laporan keuangan secara keseluruhan mengandung salah saji yang material atau menyesatkan
25
sehingga tidak menyajikan secara wajar posisis keuangan atau hasil operasi dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. 3. Menolak memberikan pendapata Diterbitkan apabila auditor tidak dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar.
2.1.7
Materialitas
2.1.7.1
Pengertian Materialitas Menurut Mulyadi (2002:158), materialitas adalah: “Besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu” Definisi dari materialitas dalam kaitannya dengan akuntansi dan pelaporan
audit menurut Arens et al. (2008:318) adalah pertimbangan utama dalam menentukan ketepatan laporan audit yang harus dikeluarkan. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa materialitas adalah besarnya salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi dan pertimbangan seseorang yang meletakkan kepercayaan terhadap salah saji tersebut.
26
2.1.7.2
Menentukan Pertimbangan Awal tingkat Materialitas Pertimbangan awal mengenai materialitas adalah jumlah maksimum yang
membuat auditor yakin bahwa laporan keuangan akan salah saji tetapi tidak mempengaruhi keputusan para pemakai yang bijaksana (Arens et al. 2008:320). Pertimbangan materialitas mencangkup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut (Mulyadi, 2002:159). Tujuan pertimbangan awal tenatng materialitas ini adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang tepat. Semakin rendah nilai uang pertimbangan awal ini, semakin banyak bukti yang dibutuhkan (Arens et al. 2008:320). 2.1.7.3
Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas. Pertama,
auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan (Mulyadi, 2002:160).
27
Laporan keuangan mengandung salah saji yang material jika laporan keuangan tersebut berisi kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah panyajian secara wajar laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (Mulyadi, 2002:161). Salah saji dalam jumlah tertentu mungkin saja material bagi perusahaan kecil, tetapi dapat saja tidak material bagi perusahaan besar (Arens et al. 2008:321). Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja atau modal saham. Sampai saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik audit (Mulyadi, 2003:162): 1.
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak.
2.
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva.
3.
Laporan keuangan dipandanng mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva.
28
4.
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto.
2.1.7.4
Konsep Materialitas Konsep
materialitas
menggunakan
tiga
tingkatan
dalam
mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat, antara lain (Arens et al. 2008:72): 1.
Jumlah yang tidak material. Jika terdapat salah saji laporan keuangan tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material.
2.
Jumlahnya material, tetapi tidak memperburuk laporan keuangan secara keseluruhan. Tingkat materialitas ini terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar sehingga tetap berguna.
3.
Jumlahnya sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan. Tingkat tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan.
Selain itu menurut Arens et al. (2008:74) keputusan yang dikeluarkan oleh auditor terdiri dari 3 jenis, anatar lain:
29
1.
Tidak material, jika keputusan pemakai cenderung tidak dipengaruhi
2.
Material, jika keputusan pemakai cenderung dipengaruhi hanya jika
informasi yang dipertanyakan penting untuk keputusan spesifik yang akan diambil. Laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan dengan wajar 3.
Sangat material, jika sebagian atau seluruh keputusan pemakai yang
didasarkan pada laporan keuangan kemungkinan besar akan terpengaruh. Dalam SPAP (Standar Profesional Akuntan Publik), 2001 Seksi 150 Paragraf 3 dinyatakan bahwa standar-standar yang terdiri dari Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan merupakan standar yang saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain. Keadaan yang berhubungan erat dengan penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga pada standar lain. Materialitas melandasi penerapan semua standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. 2.1.8
Profesionalisme Auditor
2.1.8.1
Pengertian Menurut Badudu dan Zain (1994) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
profesi adalah pekerjaan yang dikuasai karena pendidikan keahlian. Sedangkan yang dimaksud profesionalisme adalah sifat memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan.
30
Arens et al. (2008:105) mendefinisikan profesionalisme sebagai tanggung jawab individu untuk berperilaku yang lebih baik dari sekedar mematuhi undangundang dan peraturan masyarakat yang ada. 2.1.8.2
Konsep Profesionalisme Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hastuti dkk (2003)
dalam Arleen dan Yulius (2009) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hastuti dkk (2003) terdapat lima konsep profesionalisme, yaitu : 1.
Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani baru kemudian materi.
2.
Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun professional karena adanya pekerjaan tersebut.
31
3.
Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara professional.
4.
Keyakinan terhadap peraturan profesi Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan professional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
5.
Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para professional membangun kesadaran professional.
2.1.8.3
Cara Auditor Mewujudkan Perilaku Profesional Mulyadi (2002) menyatakan bahwa pencapaian kompetensi professional
akan memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan uji professional dalam subyek-subyek (tugas) yang relevan dan juga adanya pengalaman kerja.
32
Selain itu, auditor diharapkan menetapkan prinsip-prinsip sebagai berikut (Arens et al. 2008:108) : 1.
Tanggung Jawab. Dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai professional para
anggota harus melaksanakan pertimbangan professional dan moral yang sensitive dalam semua aktifitas mereka. 2.
Kepentingan Publik Para anggota harus menerima kewajiban untuk bertindak sedemikian
rupa agar dapat melayani kepentingan publik, menghargai kepercayaan publik, serta menunjukan komitmennya pada profesionalisme. 3.
Integritas Untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik, para
anggota harus melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat integritas tinggi. 4.
Objektifitas dan Independensi Anggota harus nenpertahankan objektivitas dan bebas dari konflik
kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya. Anggota yang berpraktik bagi publik harus independen baik dalam fakta maupun dalam penampilan ketika menyediakan jasa audit atau jasa atestasi lainnya.
33
5.
Keseksamaan Anggota harus memperhatikan standar teknis dan etis profesi terus
berusaha keras meningkatkan kompetensi dan mutu jasa yang diberikannya, serta melaksanakan tanggung jawab professional. 6.
Ruang Lingkup dan Sifat Jasa Anggota yang berpraktik bagi publik harus memperhatikan prinsip-
prinsip Kode Perilaku Profesional dalam menentukan perilaku sifat jasa yang akan disediakannya.
2.1.9
Etika Profesi
2.1.9.1
Pengertian Etika Dalam Arens et al. (2008:98), etika secara umum didefinisikan sebagai
serangkaian prinsip atau nilai moral. Menurut Badudu dan Zain (1994), etika adalah: “Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak yang dianut oleh masyarakat luas atau ukuran nilai mengenai yang salah dan yang benar sesuai dengan anggapan umum (panutan) masyarakat”.
Konrath (2002:35), mengungkapkan bahwa: “Ethics may be defined as moral principles and concern such characteristics as honesty and integrity, reability and accountability, as well as all other aspects of right versus behavior wrong”.
34
Hayes et al. (2005:75), mengungkapkan bahwa: “Ethics represent a set of moral principles, rules of conduct, or values. Ethics apply when an individual has to make a decision from various alternative regarding moral principles. All individuals and societies possess a sense of ethics in that they have some sort of agreement as to what right and wrong are” Dalam penelitiannya Arleen dan Yulius (2009) yang dikutip dari Murtanto dan Marini (2003), menyatakan bahwa etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya.
2.1.9.2
Prinsip-prinsip Etika Berikut merupakan Kode Etik yang diputuskan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia dalam Kongres VIII tahun 1998, (Mulyadi, 2002:54): 1.
Tanggung Jawab Profesi Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan dan professional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2.
Kepentingan Publik Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atau profesionalisme.
35
3.
Integritas Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
4.
Objektivitas Setiap anggota harus menjaga objetivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehatihatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan professional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa professional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
6.
Kerahasiaan Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi diperoleh selama melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban professional atau hokum untuk mengungkapkannya.
36
7.
Perilaku Profesional Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8.
Standar Teknis Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar professional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini itu dapat dipakai sebagai interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya Aturan dan Interpretasi baru untuk menggantikannya.
2.2
Kerangka Pikir
2.2.1
Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat
Materialitas Standar umum pertama yang
mencantumkan bahwa audit harus
dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor (SPAP, 2001, seksi 150 paragraf 02). Profesionalisme merupakan sifat memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang
37
bekerja sebagai auditor eksternal. Auditor eksternal yang memiliki pandangan profesionalisme yang tinggi akan memberikan kontribusi yang dapat dipercaya oleh para pengambil keputusan. Kepercayaan yang besar inilah yang akhirnya mengharuskan auditor memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Untuk dapat mencapai mutu dan kualitas yang baik tentunya salah satu hal yang dipertimbangkan adalah tingkat materialitas (Milka, 2010). Pemeriksaan atas laporan keuangan oleh pihak luar diperlukan khususnya untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang dikelola oleh manajemen professional yang ditunjuk oleh para pemegang saham (Hendro, 2006). Gambaran terhadap seseorang yang professional dalam profesi eksternal auditor oleh Hall (1068) dalam Wahyudi dan Mardiyah (2006) dicerminkan oleh lima hal yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi (Milka, 2010). Berdasarkan penelitian Febrianty (2012) kebijakan materialitas dibuat dalam kaitannya dengan kegiatan sekelilingnya dan melibatkan pertimbangan kualitatif dan kuantitatif, selain itu faktor pertimbangan selalanjutnya yaitu pengalaman sehari-hari, terutama yang berhubungan dengan menghadapi lingkungan yang penuh tuntutan, menjalani hidup hari demi hari, menghasilkan uang, pembenaran terhadap tindakan, merespon terhadap motivasi dari kantor tempat bekerja dan belajar dari feedback atau tidak belajar dari kesalahan. Sehingga dapat
38
disimpulkan bahwa semakin professional seorang auditor maka semakin baik auditor tersebut dalam mengambil pertimbangan atas tingkat materialitas. Adapula Desiana (2012) menyatakan bahwa, pertimbangan materialitas bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena standar audit tidak mengatur secara rinci tentang nilai materialitas yang harus ditentukan oleh auditor. Penggunaan kemahiran professional dengan cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji yang material. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme menjadi syarat utama bagi seseorang yang bekerja dalam kantor akuntan publik, sehingga semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya. Hal senada dinyatakan oleh Arleen dan Yulius (2009) bahwa semakin tinggi tingkat profesionalisme seorang auditor maka semakin tepat auditor tersebut dalam menentukan tingkat materialitas dalam laporan keuangan. 2.2.2
Pengaruh Etika Profesi terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Menurut Badudu dan Zain (1994) etika adalah ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak yang dianut oleh masyarakat luas atau ukuran nilai mengenai yang salah dan yang benar sesuai dengan anggapan umum (panutan) masyarakat.
39
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik, yang merupakan seperangkap prinsip-prinsip moral yang mengatur tentang perilaku professional (Halim, 2008:9). Tanpa etika profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntan adalah sebagai penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis (Desiana, 2012). Etika professional lebih luas dari prinsip-prinsip moral. Etika tersebut mencangkup prinsip perilaku untuk orang-orang professional yang dirancang baik untuk tujuan idealistis. Etika professional ditetapkan organisasi profesi bagi para anggotanya yang secara suka rela menerima prinsip perilaku professional lebih keras daripada yang diminta oleh undang-undang (Sunarto, 2003:63). Berdasarkan penelitian Desiana (2012), tanpa etika, profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntan adalah sebagai penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis.etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi mengatur tingkah laku para anggotanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin akuntan publik menaati kode etik semakin baik dalam menentukan pertimbangan tingkat materialitas. Hal serupa diungkapkan oleh penelitian Arleen dan Yulius (2012), bahwa etika profesi berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses pemeriksaan laporan keuangan.
40
2.3
Paradigma Penelitian
Profesionalisme Auditor Etika Profesi
2.4
Pertimbangan Tingkat Materialitas
Hipotesis Penelitian H1 : Profesionalisme auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas H2
: Etika
H3
:
profesi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Profesionaliesme dan Etika profesi berpengaruh secara simultan
terhadap pertimbangan tingkat materialitas.