BAB II LANDASAN TEORI
II.1.
Audit Secara Umum
II.1.1. Definisi Auditing Definisi Auditing menurut beberapa ahli: 1. Boyton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Budi, I.S., & Wibowo.H (2003), “Report of the Committee on Basic Auditing Concepts of the American Accounting Association” (Accounting Review, vol. 47) memberikan definisi auditing sebagai : “Suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaiaan antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaiaan hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan” (h.5). 2. Arens and Loebbecke (2003), pengertian auditing adalah : “Proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independent untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan” (h.1). 3. Somantri (2005), auditing adalah : “Akuntansi pemeriksaan (auditing) adalah bidang akuntansi yang berhubungan dengan kegiatan pemeriksaan terhadap catatan hasil kegiatan akuntansi keuangan. Kegiatan akuntansi pemeriksaan bersifat bebas (independent), dalam artian tidak berorientasi (berpihak) kepada kepentingan pihak-pihak tertentu sehingga hasil pemeriksaan akuntan dapat dijamin objektifitasnya” (h.20). Jadi auditing adalah suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti mengenai asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi sesuai dengan kriteria yang telah
7
ditetapkan yang dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten kemudian hasilnya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan
akuntansi
merupakan
aktifitas
mengumpulkan
dan
mengevaluasi bukti untuk menetapkan apakah laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pemeriksaan akuntansi dapat dilakukan oleh pemeriksa yang berasal dari dalam perusahaan sendiri atau pemeriksaan intern (internal audit) dan oleh pemeriksa yang berasal dari suatu kantor akuntan, yang tidak menjadi bagian dari perusahaan yang diperiksanya atau pemeriksaan eksternal (external audit).
II.1.2. Tujuan Audit Tujuan umum atas audit adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kewajaran laporan keuangan dinilai berdasarkan asersi yang terkandung dalam setiap unsur yang disajikan dalam laporan keuangan. Audit dibutuhkan dalam menilai pertanggungjawaban manajemen kepada berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Dari hasil audit dapat diketahui apakah laporan yang diberikan oleh manajemen sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi atau apakah operasi yang berjalan sesuai dengan ketentuan, peraturan, dan kebijakan yang ditetapkan perusahaan. Menurut Bayangkara (2008), apapun tujuan dilakukannya audit, setidaknya ada tiga pihak yang terlibat didalamnya yaitu: 1. Pihak pertama: auditor (auditor)
8
2. Pihak kedua: entitas yang diaudit atau diaudit (auditee), biasanya diwakili oleh manajemen dan karyawan pada perusahaan tersebut. 3. Pihak ketiga: entitas yang memerlukan pertanggungjawaban dari entitas yang diaudit, biasanya diwakili oleh dewan komisaris (pemegang saham) (h.1). Secara garis besar ada beberapa hal yang mendasari kebutuhan akan penyiapan proses auditing tersebut, yaitu: 1. Kendali saat ini ada di tangan masyarakat. Masyarakat memiliki hak berupa kebebasan untuk mengakses informasi mengenai pengelolaan sumber daya ekonomi publik. 2. Kompleksitas laporan keuangan. Semakin kompleks laporan keuangan yang dihasilkan, maka tingkat kesalahannya juga semakin tinggi. Walaupun sekarang ini masyarakat semakin mampu membaca laporan keuangan tetapi orang yang memiliki keahlian profesional dibutuhkan untuk menguji informasi dalam laporan keuangan tersebut. 3. Pihak manajemen memiliki kecendrungan untuk berhasil dan meminimalkan kesalahannya, sehingga verifikasi kebenaran laporan keuangan perlu disajikan. 4. Kontrol dan kredibilitas. Audit akan meningkatkan kontrol dan kredibilitas laporan keuangan. Untuk itu, pemeriksaan atas informasi keuangan sangat penting dilakukan guna menghindari adanya kesalahan penyajian dan pengungkapan. 5. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan. Proses audit memberikan nilai tambah bagi pemenuhan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan.
9
6. Identifikasi terhadap kelemahan sistem. Walaupun perusahaan memiliki berbagai
alat
pengendalian
internal
untuk
pengendalian
organisasi,
perusahaan juga perlu mengetahui adanya kelemahan dalam sistemnya dan auditor dibutuhkan untuk meninjau sistem tersebut.
II.1.3. Jenis Audit Menurut Boyton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Budi, I.S., & Wibowo.H (2003), terdapat tiga jenis audit yaitu: 1. Audit Laporan Keuangan Audit laporan keuangan (financial statement audit) berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan mengevaluasi bukti tentang laporan-laporan entitas dengan maksud agar dapat memberikan pendapat apakah laporan-laporan tersebut telah disajikan wajar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu prinsip-prinsip akuntansi berlaku umum (GAAP). 2. Audit Kepatuhan Audit kepatuhan (compliance audit) berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan memeriksa bukti-bukti untuk menetapkan apakah kegiatan keuangan atau operasi suatu entitas telah sesuai dengan persyaratan, ketentuan, atau peraturan tertentu. 3. Audit Operasional Audit operasional (operational audit) berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti tentang efisiensi dan efektivitas kegiatan operasi entitas dalam hubungannya dengan pencapaiaan tujuan tertentu.
10
Pada dasarnya ketiga jenis audit diatas mempunyai sifat asersi, kriteria, dan sifat laporan yang berbeda-beda. Audit laporan keuangan sifat asersinya adalah data laporan keuangan dengan kriteria prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum dan sifat laporannya adalah pendapat atas kewajaran laporan keuangan. Pada audit kepatuhan sifat asersinya adalah klaim atau data berkenaan dengan kepatuhan kepada kebijakan, perundangan, peraturan dan sebagainya dengan kriteria kebijakan manajemen, hukum, peraturan, atau persyaratan lain pihak ketiga dan sifat laporannya adalah ringkasan temuan atau keyakinan tentang derajat kepatuhan. Sedangkan audit operasional sifat asersinya adalah data operasional atau kinerja dengan kriteria menetapkan tujuan, misalnya yang dilakukan oleh manajemen dan sifat laporannya adalah efisiensi dan efektivitas yang diamati, rekomendasi untuk peningkatan (h.6-7).
II.2.
Audit Operasional
II.2.1. Definisi Audit Operasional Menurut
Bayangkara
(2008),
lebih
lanjut
AICPA
mendefinisikan
operational auditing sebagai: ”a systematic review of an organization activities …in relation to specified objective. The purpose of the engagement may be: (a) to assess performance, (b) to identify opportunities for improvement, and (c) to develop recommendation for improvement or further action”(p.3 ). Sementara itu, Kamus Standar Akuntansi (2007) memberikan definisi sebagai berikut: ” Audit operasional adalah penilaiaan atau evaluasi terhadap kinerja manajemen dan sesuai dengan kebijakan dan anggaran” (h.408).
11
Sedangkan mengacu pada Agoes (2004), “Management audit, disebut juga operational audit, functional audit, systems audit, adalah suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif, efisien, dan ekonomis” (h.175). Audit operasional merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektivitasnya. Audit operasional dilakukan untuk menilai tingkat efisiensi dan efektifitas
dari
prosedur-prosedur
operasi
perusahaan.
Efektivitas
adalah
pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan efisien adalah perbandingan yang terbesar antara masukan dengan hasil, antara produksi dengan biaya (antara hasil dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang dicapai dengan penggunaan sumber-sumber daya tertentu. Dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan dengan apa yang harus diselesaikan. Audit operasional berbeda dengan audit internal. Pengguna utama hasil audit operasional adalah manajemen, yang setiap tinjauannya manajemen menerima laporan dari tim audit yang mengindikasikan aktivitas-aktivitas yang dilaporkan dengan baik, memberikan konklusi lain yang diperoleh dari pekerjaan dan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja.
II.2.2. Tujuan Audit Operasional Menurut Agoes (2004), tujuan umum dari operasional audit adalah:
12
1.
Untuk menilai kinerja (performance) dari manajemen dan berbagai fungsi dalam perusahaan.
2.
Untuk menilai apakah berbagai sumber daya (manusia, mesin, dana, harta lainnya) yang dimiliki perusahaan telah digunakan secara efisien dan ekonomis.
3.
Untuk menilai efektifitas perusahaan dalam mencapai tujuan (objective) yang telah ditetapkan oleh top management.
4.
Untuk dapat memberikan rekomendasi kepada top management untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penerapan pengendalian intern, sistem pengendalian manajemen, dan prosedur operasional
perusahaan,
dalam
rangka
meningkatkan
efisiensi,
keekonomisan dan efektifitas dari kegiatan operasi perusahaan (h.175). Tujuan audit operasional umumnya adalah untuk menilai efektivitas dan efisiensi bagian, aktivitas atau operasi suatu badan usaha dalam memenuhi tujuantujuan organisasi. Selain itu audit operasional ditujukan untuk mencapai perbaikan atas berbagai program atau aktivitas dalam pengelolaan perusahaan yang masih memerlukan perbaikan, sehingga auditnya dirancang untuk menemukan berbagai kelemahan dalam operasional perusahaan, menentukan penyebabnya, menganalisis akibat yang ditimbulkan, dan mencari jalan perbaikan atas kelemahan tersebut.
II.2.3. Perbedaan Audit Operasional Dan Audit Keuangan Audit operasional berbeda dengan audit keuangan. Beberapa perbedaan antara audit operasional dengan audit keuangan ialah sebagai berikut:
13
1. Tujuan audit operasional adalah menemukan berbagai kelemahan dalam operasional perusahaan, menentukan penyebabnya, menganalisis akibat yang ditimbulkan, dan mencari jalan perbaikan atas kelemahan tersebut serta rekomendasi
untuk
peningkatan
kinerja
operasi
perusahaan
dimasa
mendatang sedangkan audit keuangan adalah mendapatkan keyakinan bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan sesuai dengan prinsipprinsip akuntansi yang berlaku umum dan menyajikan yang sebenarnya kondisi keuangan perusahaan pada tanggal pelaporan dan kinerja manajemen pada periode tersebut. 2. Ruang Lingkup Audit Ruang lingkup audit operasional meliputi keseluruhan fungsi manajemen dan unit-unit terkait yang ada di dalamnya. Sedangkan audit keuangan meliputi bukti-bukti transaksi dan proses akuntansi yang diterapkan pada objek audit. 3. Penerima laporan Pemakai laporan audit operasional adalah manajemen dari perusahaan yang bersangkutan sedangkan hasil audit laporan keuangan didistribusikan kepada para pengguna dalam spektrum yang luas, seperti para pemegang saham, kreditor, kantor pemerintah dan masyarakat umum melalui laporan auditor atas laporan keuangan.
II.3.
Persediaan
II.3.1. Definisi Persediaan Menurut Standar Akuntansi Keuangan No. 14 (2007), persediaan adalah: “Persediaan adalah aktiva:
14
a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal; b. Dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan; atau c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa” (h.14.1). Persediaan adalah barang habis pakai yang digunakan perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional perusahaan. Persediaan pada perusahaan manufaktur adalah barang-barang yang sedang diproduksi pada perusahaan manufaktur dan terbagi atas barang jadi (finished goods), barang dalam proses (goods in process), dan bahan baku (raw material). Persediaan merupakan barang yang disimpan didalam gudang tertutup maupun terbuka, atau ditempat penyimpanan lainnya. Persediaan dapat berupa bahan baku yang akan digunakan dalam proses produksi maupun barang jadi yang akan dijual oleh perusahaan kepada konsumen. Persediaan yang baik sangatlah penting, di satu pihak suatu perusahaan dapat mengurangi biaya dengan cara menurunkan tingkat persediaan di tangan. Di pihak lain konsumen akan merasa tidak puas bila suatu produk stoknya habis. Oleh karena itu, perusahaan harus mencapai keseimbangan antara investasi persediaan dan tingkat pelayanan konsumen. Persediaan dicatat pada akhir periode akuntansi yang dihitung berdasarkan hasil inventarisasi fisik persediaan. Pengaturan persediaan pada umumnya berada di bawah wewenang bagian produksi atau pembelian. Menurut Yamit (2005), Istilah (terminology) persediaan dapat digunakan dalam beberapa perbedaan seperti: 1. Persediaan bahan baku ditangan (stock on hand) 15
2. Daftar persediaan secara fisik 3. Jumlah item ditangan 4. Nilai persediaan barang (h.3). Tujuan menyimpan persediaan adalah untuk memisahkan operasi perusahaan, artinya membuat masing-masing fungsi bisnis independen dari fungsi lain agar penundaan atau penghentian dalam satu area tidak mempengaruhi produksi dan penjualan produk akhir. Mengacu pada Tampubolon (2005), korporasi melakukan penyimpanan dengan berbagai macam alasan yaitu: 1. Penyimpana barang diperlukan agar korporasi dapat memenuhi pesanan pelanggan secara cepat dan tepat waktu. Apabila korporasi tidak memiliki persediaan barang dan tidak dapat memenuhi pesanan pelanggan pada saat yang tepat, maka kemungkinan pelanggan akan berpindah ke pemasok lainnya. 2. Untuk berjaga-jaga pada saat barang dipasar sukar diperoleh, pengecualian pada saat musim panen tiba. Apabila kondisi yang ada adalah bahwa persediaan barang sangat tergantung pada siklus musiman, maka perlu bagi korporasi untuk membuat persediaan dan menyimpannya. 3. untuk menekan harga pokok per unit barang. Korporasi sering kali melakukan proses produksi dalam jumlah yang besar untuk memanfaatkan apa yang disebut dengan economic of scale. Dengan economic of scale, biaya produksi per unit dapat ditekan, sebagai konsekuensinya adalah korporasi akan menyimpan persediaan barang dalam jumlah yang besar. Kebijaksanaan korporasi untuk menyimpan barang dalam jumlah yang besar atau dengan
16
alternatif lain dalam jumlah kecil juga memiliki trade-off. Apabila korporasi menyimpan barang dalam jumlah besar, korporasi dapat memenuhi pesanan pelanggan dan menghindarkan terjadinya kehabisan barang (stock out). Menyimpan
barang
berarti
korporasi
akan
menanggung
biaya
penyimpanannya. Apabila korporasi hanya memiliki persediaan dalam jumlah kecil, biaya penyimpanan akan relatif kecil. Sebaliknya, untuk selalu dapat memenuhi permintaan barang korporasi harus memesan barang lebih sering, yang artinya biaya pesanan akan meningkat (h.86).
II.3.2. Jenis Persediaan Perusahaan mempertahankan empat jenis persediaan yaitu : 1. Persediaan bahan mentah, telah dibeli namun belum diproses. Bahan baku adalah barang-barang yang dibeli untuk digunakan dalam proses produksi. Persediaan bahan mentah adalah item yang dibeli dari para supplier untuk digunakan sebagai input dalam proses produksi. Bahan mentah ini akan dikonversi menjadi barang akhir. 2. Persediaan barang dalam proses (Work in process – WIP), telah mengalami beberapa perubahan tetapi belum selesai. Barang dalam proses terdiri dari bahan-bahan yang telah diproses namun masih membutuhkan pengerjaan lebih lanjut sebelum dapat dijual. Persediaan barang dalam proses adalah bagian dari produk akhir tetapi masih dalam proses pengerjaan, karena masih menunggu item yang lain untuk diproses. WIP ini ada karena untuk membuat produk diperlukan waktu (disebut waktu siklus).
17
3. Persediaan Maintenance, Repairing, Overhaul (MRO) merupakan persediaan yang dikhususkan untuk perlengkapan pemeliharaan/perbaikan/operasi. MRO ini ada karena waktu dan kebutuhan untuk pemeliharaan dan perbaikan dari beberapa peralatan tidak dapat diketahui. Walaupun permintaan untuk persediaan
MRO
ini
sering
kali
merupakan
fungsi
jadwal-jadwal
pemeliharaan, permintaan MRO lainnya perlu diantisipasi. 4. Persediaan barang jadi, selesai dan menunggu untuk dikirimkan. Barang jadi adalah barang yang sudah selesai diproduksi dan menunggu untuk dijual. Persediaan barang jadi adalah persediaan produk akhir yang siap untuk dijual, didistribusikan atau disimpan. Barang jadi dimasukkan ke dalam persediaan karena permintaan konsumen untuk jangka waktu tertentu mungkin tidak diketahui.
II.3.3. Fungsi Persediaan. Menurut Render dan Heizer (2001), Persediaan (inventory) dapat memiliki berbagai fungsi penting yang menambah fleksibilitas dari operasi suatu perusahaan. Ada enam penggunaan persediaan, yaitu: 1. Untuk memberikan suatu stok barang-barang agar dapat memenuhi permintaan yang diantisipasi akan timbul dari konsumen. 2. Untuk memasangkan produksi dengan distribusi. Misalnya, bila permintaan produknya tinggi hanya pada musim panas, suatu perusahaan dapat membentuk stok selama musim dingin, sehingga biaya kekurangan stok dan kehabisan stok dapat dihindari. Demikian pula, bila pasokan suatu perusahaan
18
berfluktuasi, persediaan bahan baku ekstra mungkin diperlukan untuk ”memasangkan” proses produksinya. 3. Untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah, karena pembelian dalam jumlah besar dapat secara substansial menurunkan biaya produk. 4. Untuk melakukan hedging terhadap inflasi dan perubahan harga. 5. Untuk menghindari dari kekurangan stok yang dapat terjadi karena cuaca, kekurangan pasokan, masalah mutu, atau pengiriman yang tidak tepat. ”stok pengaman” misalnya barang ditangan ekstra, dapat mengurangi risiko kehabisan stok. 6. Untuk menjaga agar operasi dapat berlangsung dengan baik dengan menggunakan ”barang dalam proses” dalam persediannya. Hal ini karena perlu
waktu
untuk
memproduksi
barang
dan
karena
sepanjang
berlangsungnya proses, terkumpul persediaan-persediaan (h.314). Persediaan timbul karena tidak sinkronnya permintaan dengan penyediaan dan waktu yang digunakan dalam memproses bahan baku, oleh karena itu untuk menyeimbangkannya diperlukan empat faktor yang dijadikan sebagai fungsi persediaan, yaitu: 1. Faktor waktu, menyangkut lamanya proses produksi dan distribusi sebelum barang jadi sampai kepada konsumen.Waktu diperlukan untuk membuat skedul produksi, memotong bahan baku, pengiriman bahan baku, pengawasan bahan baku, produksi dan pengiriman barang jadi ke pedagang besar atau konsumen.
19
2. Faktor ketidakpastian waktu datang dari supplier, menyebabkan perusahaan memerlukan persediaan agar tidak menghambat proses produksi maupun keterlambatan pengiriman kepada konsumen. 3. Faktor ketidakpastian penggunaan dalam pabrik, disebabkan oleh kesalahan dalam peramalan permintaan, kerusakan mesin, keterlambatan operasi, bahan cacat, dan berbagai kondisis lainnya. 4. Faktor ekonomis, adalah adanya keinginan perusahaan untuk mendapatkan alternatif biaya rendah dalam memproduksi atau membeli item dengan menentukan jumlah yang paling ekonomis. Berdasarkan faktor fungsi diatas maka, persediaan dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu : 1. Persediaan pengaman (safety stock), sering disebut juga buffer stock yaitu persediaan yang dilakukan untuk mengantisipasi unsur ketidakpastiaan permintaan dan penyediaan. Apabila persediaan pengaman tidak mampu mengantisipasi ketidakpastiaan tersebut, akan terjadi kekurangan persediaan (stockout). 2. Persediaan antisipasi (anticipation stock), sering disebut sebagai stabilization stock yaitu persediaan yang dilakukan untuk menhadapi fluktuasi permintaan yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. 3. Persediaan dalam pengiriman (stock on transit), sering disebut sebagai Work in process stock yaitu persediaan yang masih dalam pengiriman atau transit. Terdapat dua jenis persediaan dalam pengiriman, yaitu eksternal transit stok (persediaan masih berada dalam truk, kapal, dan kereta api) dan internal transit stok (persediaan yang menunggu untuk diproses).
20
II.3.4. Faktor Persediaan Menentukan kebijaksanaan tingkat persediaan barang secara optimal perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Tampubolon (2005), faktor-faktor tersebut adalah: 1. Biaya persediaan barang (inventory cost) Biaya berkaitan dengan pemilikan barang dapat dibedakan ke dalam: 1. Holding cost (carrying cost), merupakan biaya yang dikeluarkan karena memelihara barang atau opportunity costs sebagai akibat melakukan investasi dalam barang dan bukan pada investasi lainnya; 2. Ordering costs, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memesan barang dari supplier untuk mengganti barang yang telah terjual; 3. Stock-out costs, merupakan biaya yang timbul karena kehabisan barang pada saat diperlukan. 2. Seberapa besar permintaan barang oleh pelanggan dapat diketahui? Apabila permintaan barang dapat diketahui, maka korporasi dapat menentukan barang dalam suatu periode. Kebutuhan barang dalam periode ini harus dapat dipenuhi oleh perusahaan. 3. Lama penyerahan barang antara saat dipesan dengan barang tiba atau disebut sebagai lead time atau delivery time. 4. Terdapat atau tidak ada kemungkinan untuk menunda pemenuhan pesanan dari pembeli atau disebut sebagai backlogging. 5. Kemungkinan diperolehnya diskon atas pembelian dalam jumlah yang besar sehingga total biaya persediaan barang berkurang (h.86-87).
21
II.3.5. Sistem Pencatatan Dan Metode Penilaiaan Persediaan Menurut Somatri (2005), pada dasarnya ada dua sistem pencatatan sediaan barang dagangan, yaitu sistem Inventarisasi Fisik (Physical System) dan sistem Perpetual (Perpetual System). a. Pencatatan Sistem Inventarisasi Fisik Pencatatan sistem fisik disebut juga pencatatan sistem Periodik (Periodical System). Sistem ini terutama digunakan oleh perusahaan yang menjual barang yang jenisnya banyak, harga satuan tiap jenis barang relatif murah sehingga secara teknis harga pokok penjualan untuk tiap jenis barang sulit dihitung. Oleh karena itu dalam penerapan sistem pencatatan fisik, harga pokok penjualan dihitung tiap akhir periode, setelah sisa barang dihitung secara fisik. Prosedur pencatatan sediaan sistem inventarisasi fisik ialah: 1. Faktur pembelian dicatat dalam buku jurnal pembelian dengan mendebet akun pembelian, kredit akun hutang dagang. Transaksi yang bersangkutan dicatat juga dalam kartu sediaan. 2. Memo kredit yang diterima dari kreditor sebagai bukti transaksi pembelian retur, dicatat dalam buku jurnal umum atau jurnal pembelian retur dengan mendebet akun hutang dan kredit akun retur pembelian. 3. Faktur penjualan dicatat dalam buku jurnal penjualan dengan mendebet akun piutang dagang, kredit akun hasil penjualan. Untuk barang-barang yang scara teknis harga pokok penjualannya sulit dihitung misalnya
22
barang-barang yang jenisnya banyak dan harga satuannya relatif kecil, transaksi penjualan tidak dicatat dalam kartu sediaan. 4. Memo kredit yang dikirimkan kepada debitor sebagai bukti transaksi penjualan retur, dicatat dalam buku jurnal umum atau jurnal penjualan retur dengan mendebet akun retur penjualan dan kredit akun piutang dagang. b. Pencatatan Sistem Perpetual Pencatatan sistem perpetual atau metode pencatatan terus menerus (kontinu), disebut juga dengan metode balance permanent. Sistem ini lebih cocok digunakan untuk pencatatan sediaan barang yang jenisnya tidak terlalu banyak dan harga satuan tiap jenis barang relatif tinggi. Prosedur pencatatan sediaan sistem perpetual ialah: 1. Faktur pembelian dicatat dalam buku jurnal pembelian dengan mendebet akun sediaan, kredit akun hutang dagang. Transaksi yang bersangkutan dicatat juga dalam kartu sediaan. 2. Memo kredit yang diterima dari kreditor sebagai bukti transaksi pembelian retur. a. Dicatat dalam buku jurnal umum atau jurnal pembelian retur dengan mendebet akun hutang dan kredit akun sediaan. b. Dicatat dalam kartu sediaan barang yang bersangkutan sebagai pengeluaran sebesar harga beli barang yang dikembalikan kepada kreditor. 3. Faktur penjualan sebagai bukti transaksi penjualan kredit.
23
a. Dicatat dalam buku jurnal penjualan dengan mendebet akun piutang dagang, kredit akun hasil penjualan. b. Harga pokok barang yang dijual (harga pokok penjualan) dicatat debet akun harga pokok penjualan, kredit akun sediaan. c. Harga pokok barang yang dijual dicatat dalam kartu sediaan barang yang bersangkutan sebagai pengeluaran (mutasi keluar) 4. Memo kredit yang dikirimkan kepada debitor sebagai bukti transaksi penjualan retur. a. Dicatat dalam buku jurnal umum atau jurnal penjualan retur dengan mendebet akun retur penjualan dan kredit akun piutang dagang. b. Harga pokok barang yang diterima kembali dicatat debet akun sediaan, kredit akun harga pokok penjualan. c. Harga pokok barang yang diterima kembali dicatat dalam kartu sediaan barang yang bersangkutan sebagai pemasukan (mutasi masuk) (h.186-187). Berdasarkan penjelesan diatas dapat disimpulkan bahwa pada prosedur sistem pencatatan periodik, penentuan harga pokok produk (persediaan barang dagangan) baru dapat diketahui setelah adanya prosedur perhitungan fisik persediaan barang dagangan (stock opname) secara periodik. Sedangkan sistem pencatatan perpetual selalu membuat catatan setiap terjadinya mutasi persediaan (pembelian, penjualan, ataupun retur). Metode perpetual merupakan metode pengelolaan persediaan, dimana arus masuk dan arus keluar persediaan dicatat
24
secara detail. Dalam metode ini setiap jenis persediaan dibuatkan kartu stok yang mencatat secara rinci keluar masuknya barang di gudang beserta harganya. Menurut Somatri (2005), ada beberapa metode penilaian sediaan barang dagangan yang dapat digunakan baik dalam pencatatan sistem fisik, maupun dalam pencatatan sistem perpetual. Berikut ini dibahas beberapa metode penilaian sediaan: a. Penilaian Sediaan Dalam Pencatatan Sistem Fisik (Sistem Periodik) Metode penilaian sediaan yang dapat digunakan dalam pencatatan sistem fisik, antara lain metode: 1. Metode Tanda Pengenal Khusus (Specific Identification Method) Dengan metode ini, setiap barang yang masuk (dibeli) diberi tanda pengenal yang menunjukkan harga satuan sesuai dengan faktur yang diterima. 2. Metode Rata-rata (Average Method) a. Metode Rata-rata Sederhana Dengan metode ini, harga rata-rata per satuan barang dihitung dengan cara membagi total harga per satuan setiap transaksi pembelian dengan jumlah transaksi pembelian termasuk sediaan awal periode. b. Metode Rata-rata Tertimbang Dengan metode ini, harga pokok rata-rata per satuan barang dihitung dengan cara membagi jumlah harga pembelian barang yang
disediakan
untuk
dijual,
dengan
jumlah
satuannya
25
(kuantitas). Nilai sediaan akhir periode adalah hasil kali kuantitas sediaan dengan harga rata-rata per satuan. 3. Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP) Menurut metode MPKP atau FIFO (First-In First-Out), barang yang lebih dulu masuk (dibeli) dianggap barang yang lebih dulu keluar. 4. Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP) Menurut metode MTKP atau LIFO (Last-In First-Out), barang yang terakhir masuk dianggap barang yang lebih dulu keluar. b. Penilaian Sediaan Dalam Pencatatan Sistem Perpetual Metode penilaian sediaan yang dapat digunakan dalam pencatatan sistem perpetual, antara lain metode: 1. Penerapan Metode Masuk Pertama Keluar Pertama Menurut Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP), harga pokok barang yang dijual dihitung dengan anggapan bahwa barang yang pertama masuk adalah barang yang dijual lebih dulu. Kekurangannya diambil dari barang yang masuk berikutnya. 2. Penerapan Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama Menurut metode Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP), harga pokok barang yang dijual dihitung dengan anggapan bahwa barang yang terakhir masuk adalah barang yang dijual lebih dulu. Kekurangannya diambil dari barang yang masuk sebelumnya. 3. Penerapan Metode Rata-rata Penerapan metode Rata-rata dalam sistem pencatatan perpetual, disebut metode Rata-rata Bergerak (Moving Average Method). Disebut
26
demikian, karena tiap terjadi transaksi pembelian, harga rata-rata per satuan barang harus dihitung, sehingga harga rata-rata per satuan akan berubah-ubah. Harga pokok rata-rata per satuan barang yang dijual adalah harga pokok rata-rata per satuan yang berlaku pada saat terjadi transaksi penjualan (h.190-194). Metode akuntansi harus konsisten dari tahun ke tahun agar laporan keuangan dapat diperbandingkan. Manajer dalam menetapkan kebijakan metode akuntansi perusahaan seharusnya memilih metode yang tepat dan sesuai dengan perusahaannya karena terdapat beberapa metode akuntansi antara lain untuk menentukan nilai asset perusahaan. Situasi berbeda antara perusahaan satu dengan yang lain, dan keputusannya akan didasarkan pada analisis dari keempat faktor ini: a. Pengaruh pajak penghasilan b. Biaya pembukuan c. Dampak pada laporan keuangan d. Perbandingan industri Menurut Somantri (2005), dokumen transaksi dan bukti pendukung yang terkait dengan pencatatan mutasi sediaan barang dagangan ialah sebagai berikut: 1. Surat permintaan pembelian. 2. Surat order pembelian. 3. Laporan penerimaan barang. 4. Faktur pembelian. 5. Surat order pengiriman barang. 6. Faktur penjualan. 7. Memo kredit (h.185).
27
II.4.
Sistem Pengendalian Intern
II.4.1. Definisi Sistem Pengendalian Intern Menurut Hasibuan (2006) yang di kutip dari buku manajemen (dasar, pengertian, dan masalah), Definisi pengendalian (controlling) oleh beberapa penulis adalah sebagai berikut: 1. Earl P. Strong “Controlling is the process of regulating the various in an enterprise according to the requirement of its plans.” Artinya: “Pengendalian adalah proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu perusahaan, agar pelaksanaan sesuai dengan ketepatan-ketepatan dalam rencana.” 2. Harold Koontz “Control is the measurement and correction of the performance of subordinates in order to make sure that enterprise objectives and the olans devised to attain then are accomplished.” Artinya: “Pengendalian adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan kerja bawahan, agar rencana-rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan dapat terselenggara.” 3. G.R. Terry “Controlling can be defined as the process of determining what is to be accomplished, that is the standart; what is being accomplished, that is the performance, evaluating the performance and if necessary applying corrective
28
measure so that performance takes place according to plans, that is, in conformity with the standard.” Artinya: “Pengendalian dapat didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.” Tujuan pengendalian adalah 1. Supaya proses pelaksanaan dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari rencana. 2. Melakukan tindakan perbaikan (corrective), jika terdapat penyimpanganpenyimpangan (deviasi). 3. Supaya tujuan yang dihasilkan sesuai dengan rencananya (h.241-242). Pengendalian
berusaha
menghindari
terjadinya
kesalahan
dan
memperbaikinya jika terdapat kesalahan-kesalahan. Pengendalian dilakukan sebelum, saat, dan setelah proses hingga hasil akhir diketahui. Menurut Boyton, Johnson, dan Kell (2003), Laporan COSO mendefinisikan pengendalian intern sebagai berikut: “Pengendalian intern (Internal control) adalah suatu proses yang dilaksanakan oleh dewan, direksi, manajemen, dan personel lainnya dalam suatu entitas, yang dirancang untuk menyediakan keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaiaan tujuan dalam kategori berikut: 1. Keandalan pelaporan keuangan 2. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku 3. Efektivitas dan efisiensi operasi (h.373)”. 29
Sedangkan menurut Sutabri (2004), pengawasan intern (internal control) definisikan sebagai berikut: “Pengawasan yang meliputi struktur organisasi dan semua cara serta alat-alat yang dikoordinasikan dan digunakan dalam perusahaan dengan tujuan menjaga keamanan harta milik perusahaan, memeriksa ketelitian dan kebenaran data akuntansi, memajukan efisiensi didalam usaha, dan membantu mendorong dipatuhinya kebijaksanan manajemen yang telah ditetapkan lebih dahulu” (h.33). Internal control, adalah pengendalian yang dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahannya. Cakupan dari pengendalian ini meliputi hal-hal yang cukup luas baik pelaksanaan tugas, prosedur kerja, kedisiplinan karyawan, dan lainlainnya. Pengendalian inventaris (inventory control) ditujukan untuk mengetahui, apakah inventaris perusahaan masih ada semuanya atau ada yang hilang. Semua organisasi mempunyai beberapa jenis sistem perencanaan dan pengendalian persediaan. Menurut Bastian (2007), ciri-ciri sistem pengendalian yang baik adalah: 1. Independen dalam prosedur pemrosesan. 2. Hanya dapat dimanipulasi dengan kolusi. 3. Terdapat personel dengan senioritas yang memadai. 4. Dilakukan secara tepat waktu (h.10)
II.4.2. Tujuan Sistem Pengendalian Intern Menurut Sutabri (2004), suatu sistem pengawasan intern yang baik akan berguna untuk: 1. Menjaga keamanan harta milik suatu organisasi, 2. Memeriksa ketelitian dan kebenaran data akuntansi, 30
3. Memajukan efisiensi dalam operasi, 4. Membantu menjaga agar tidak ada yang menyimpang dari kebijaksanaan manajemen yang telah ditetapkan lebih dahulu. Sedangkan mengacu pada Bayangkara (2008), terdapat empat tujuan penting yang ingin dicapai melalui pengendalian internal yang dilakukan perusahaan yaitu: a. Dapat dipercayanya data-data akuntansi yang disajikan perusahaan b. Terjaganya keamanan asset yang dimiliki perusahaan c. Berjalannya operasi secara efisien d. Ditaatinya semua ketentuan, peraturan, dan kebijakan yang ditetapkan perusahaan (h.1) Berdasarkan tujuannya sistem pengendalian intern dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: 1. Pengendalian intern akuntansi (internal accounting control), merupakan bagian dari sistem pengendalian intern, meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan terutama untuk menjaga kekayaan organisasi dan mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi. 2. Pengendalian intern administrative (internal administrative control), meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan terutama untuk mendorong efisiensi dan dipatuhinya kebijakan manajemen.
II.4.3. Jenis Pengendalian Intern Menurut Bastian (2007), Berikut ini adalah penjelasan jenis-jenis pengendalian internal:
31
1. Organisasi Penyerahan wewenang dan tanggung jawab, termasuk jalur pelaporan untuk semua aspek operasi, dan pengendaliannya seharusnya disebutkan secara rinci dan jelas. 2. Pemisahan Tugas Salah satu fungsi utama pengendalian adalah pemisahan tugas dan tanggung jawab. Apabila kedua hal tersebut digabungkan, maka seseorang mampu melakukan pencatatan dan memproses sebuah transaksi secara lengkap. Dengan kata lain, pemisahan tugas dapat mengurangi resiko terjadinya manipulasi maupun kesalahan yang disengaja. 3. Fisik Pengendalian ini berhubungan dengan supervisi aktiva. Prosedur keamanan yang memadai dirancang untuk memberi keyakinan bahwa akses-terhadap aktiva, baik langsung maupun tidak langsung lewat dokumentasi- terbatas pada personel yang berwenang. 4. Persetujuan dan Otorisasi Seluruh transaksi seharusnya diotorosasi ataupun disetujui oleh orang yang tepat. Batas wewenang juga harus dijelaskan. 5. Akuntansi Pengecekan akurasi catatan, perhitungan jumlah total, rekonsiliasi, pemakaian nomor rekening, jurnal-jurnal, dan akuntansi untuk dokumen. 6. Personel Keberadaan prosedur menjamin bahwa penempatan personel sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawabnya.
32
7. Supervisi Setiap sistem pengendalian internal seharusnya mencakup supervisi oleh atasan yang bertanggung jawab atas transaksi dan pencatatannya sehari-hari. 8. Manajemen Ini adalah pengendalian yang dilakukan oleh manajemen diluar tugas rutinnya. Hal ini meliputi pengendalian secara keseluruhan, fungsi pengendalian internal, dan prosedur tinjauan khusus lainnya (h.7-8).
II.4.4. Unsur Sistem Pengendalian Intern Terdapat beberapa elemen pokok yang merupakan karakteristik dari suatu sistem pengendalian intern untuk memenuhi tujuan-tujuan diatas, yaitu sebagai berikut: 1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas. Dengan adanya pemisahan tanggung jawab fungsional , maka terdapat internal check dalam pelaksanaan suatu transaksi di antara unit organisasi pelaksana. 2. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang memberikan perlindungan yang cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan dan biaya. Prosedur pencatatan yang baik akan menjamin data yang direkam dalam formulir dicatat dalam catatan akuntansi dengan tingkat ketelitian dan keandalannya (reliability) yang tinggi, dan akan menghasilkan informasi yang teliti serta dapat dipercaya mengenai kekayaan, utang, pendapatan, dan biaya suatu organisasi.
33
3. Pabrik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit organisasi. Pembagian tanggung jawab fungsional dan sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang telah ditetapkan tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak diciptakan cara-cara untuk menjamin praktek yang sehat dalam pelaksanaanya. 4. Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya. Unsur ini merupakan unsur yang paling penting karena jika perusahaan mempunyai karyawan yang kompeten dan jujur maka unsur pengendalian yang lain dapat dikurangi sampai batas minimum, dan perusahaan tetap mampu menghasilkan pertanggung jawaban keuangan yang dapat diandalkan.
II.4.5. Komponen Sistem Pengendalian Intern Menurut Boyton, Johnson, dan Kell (2003), Laporan COSO dan AU 319, Consideration of Internal control in the Financial Statement Audit (SAS 78) mengidentifikasikan lima komponen pengendalian intern yang saling berhubungan sebagai berikut: 1. Lingkungan pengendalian (control environment), menetapkan suasana dari suatu organisasi yang mempengaruhi kesadaran akan pengendalian dari orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan pondasi dari semua komponen pengendalian intern lainnya yang menyediakan disiplin dan struktur. (AU 319.25). 2. Penilaiaan resiko (risk assessment), untuk tujuan pelaporan keuangan adalah identifikasi, analisis, dan pengelolaan resiko suatu entitas yang relevan
34
dengan penyusunan laporan keuangan yang disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. (AU 319.28). 3. Informasi dan komunikasi (Information and communication), sistem informasi dan komunikasi yang relevan dengan tujuan pelaporan keuangan, yang memasukkan sistem akuntansi, terdiri dari metode-metode dan catatancatatan
yang
diciptakan
untuk
mengidentifikasi,
mengumpulkan,
menganalisis, mengklasifikasi, mencatat, dan melaporkan transaksi-transaksi entitas (dan juga kejadian-kejadian serta kondisi-kondisi) dan untuk memelihara akuntabilitas dari aktiva-aktiva dan kewajiban-kewajiban yang berhubungan. Komunikasi melibatkan penyediaan suatu pemahaman yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab individu berkenaan dengan pengendalian intern atas pelaporan keuangan (AU 319.34). 4. Aktivitas pengendalian (control activities), merupakan kebijakan dan prosedur yang membantu memastikan bahwa perintah manajemen telah dilaksanakan. Aktivitas pengendalian membantu memastikan bahwa tindakan yang diperlukan berkenaan dengan resiko telah diambil untuk pencapaiaan tujuan entitas. Aktivitas pengendalian memiliki berbagai tujuan dan diaplikasikan pada berbagai tingkatan organisasional dan fungsional (AU 319.32). 5. Pemantauan (monitoring), adalah suatu proses yang menilai kualitas kinerja pengendalian intern pada suatu waktu. Pemantauan melibatkan penilaian rancangan dan pengoperasian pengendalian dengan dasar waktu dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan (AU 319.38) (h.379-400).
35
II.4.6. Keterbatasan Sistem Pengendalian Intern Menurut Boyton, Johnson, dan Kell (2003), AU 319.16-18, Consideration of Internal control in the Financial Statement Audit, mengidentifikasi keterbatasan yang melekat (inherent limitations) berikut yang menjelaskan mengapa pengendalian intern, sebaik apapun ia dirancang dan dioperasikan, hanya dapat menyediakan keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan pengendalian suatu entitas. 1. Kesalahan dalam pertimbangan, terkadang manajemen dan personel lainnya dapat melakukan pertimbangan buruk dalam membuat keputusan bisnis karena informasi yang tidak mencukupi, keterbatasan waktu, atau prosedur lainnya. 2. Kemacetan, ini terjadi ketika personel salah memahami instruksi, kekeliruan akibat kecerobohan. 3. Kolusi,
individu
yang
bertindak
bersama,
seperti
karyawan
yang
melaksanakan suatu pengendalian penting bertindak bersama dengan karyawan lain, konsumen atau pemasok dapat melakukan sekaligus menutupi kecurangan sehingga tidak dapat dideteksi oleh pengendalian intern. 4. Penolakan manajemen, manajemen dapat mengesampingkan kebijakan untuk tujuan tidak sah seperti keuntungan pribadi . 5. Biaya versus manfaat, biaya pengendalian suatu entitas seharusnya tidak melebihi manfaat yang diharapkan untuk diperoleh (h.375-376). Bagaimanapun, tidak ada sistem pengendalian internal yang dengan sendirinya dapat menjamin adanya administrasi yang efisien serta kelengkapan dan
36
akurasi pencatatan. Menurut Bastian (2007), keterbatasan tersebut disebabkan antara lain karena: 1. Pengendalian intern yang bergantung pada pemisahan tugas dapat dimanipulasi dengan kolusi. 2. Otorisasi dapat diabaikan oleh seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu atau oleh manajemen. 3. Personel keliru dalam memahami perintah sebagai akibat dari kelalaian, tidak perhatian, maupun kelelahan (h.10).
II.5.
Tujuan Audit Operasional Atas Fungsi Pengelolaan Persediaan Menurut Astuti (2004), Tujuan dari pengelolaan persediaan adalah
menyediakan persediaan yang dibutuhkan untuk mendukung operasional perusahaan dengan biaya minimum (h.181). Audit persediaan merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor untuk mencocokkan persediaan secara fisik dengan persediaan menurut catatan pembukuan perusahaan. Audit operasional atas fungsi pengelolaan persediaan merupakan aspek yang penting didalam perusahaan, karena Audit operasional atas persediaan memberikan keyakinan bahwa pengendalian persediaan akan mendukung keuntungan yang optimal dengan tersedianya barang yang berkualitas tepat pada waktunya dan memberikan saran perbaikan serta rekomendasi peningkatan kinerja operasi perusahaan di masa mendatang. Dengan audit operasional terhadap pengelolaan persediaan, perusahaan diharapkan mampu meningkatkan laba atas penjualan
37