17
TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pertanian Lahan Kering di Sulawesi Tenggara Pendapatan nasional dari Indonesia sebagian besar adalah berasal dari sektor pertanian, karena Indonesia terkenal subur dan mengandung potensi yang tidak kecil dalam bidang pertanian, dan kemakmuran rakyat untuk hari depan Indonesia akan banyak dipengaruhi oleh pengolahan dan penggalian kekayaan sumberdaya pertanian (Deptan RI, 2001:35). Lahan kering sebagai suatu sumberdaya, termasuk kedalam sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) apabila dikelola dengan baik, namun bersifat tidak dapat diperbaharui (non renewable) apabila fungsi lahan tersebut diterlantarkan terus menerus sehingga menjurus kearah kerusakan tanah yang dapat membahayakan kegiatan usaha pertanian dan penurunan kualitas lingkungan hidup (KEPAS, 1989:17). Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai daratan seluas 3.814.000 ha dan diperkirakan sekitar 1,5 juta atau 20 persen dari total luas daratan masih tersedia dan berpotensi untuk pengembangan lahan kering (BPS Provinsi Sultra, 2007:39). Pertanian lahan kering yang ada mempunyai kondisi agroklimat yang sangat beragam dan kondisi sosial ekonomi yang kurang mampu dan potensi sumberdaya lahan yang terbatas. Bila dilihat dari segi letaknya maka dapat digolongkan menjadi dua daerah yaitu : (1) Lahan kering dataran tinggi pada umumnya lahan kering ini berada pada daerah kemiringan > 15 persen dan mencakup lahan kering beriklim basah maupun beriklim kering dengan batasan ketinggian > 700 m dpl; (2) Lahan kering dataran rendah pada umumnya didominasi jenis tanah podzolik merah kuning (PMK), yang dicirikan dengan tingkat kesuburan yang rendah (Benamakusumah, 1999:37). Kendala utama sumberdaya tanah pada lahan kering adalah kesuburan tanah yang rendah, sehingga dikelompokkan kedalam jenis tanah marginal dengan produktivitas lahan rendah sehingga petani kurang mampu melakukan daya olah lahan dan mempengaruhi luas garapan lahan usahatani menjadi sempit dan jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan pun sangat terbatas. Permasalahan usahatani lahan kering lebih rumit terutama karena kondisinya yang beragam, yaitu kerawanan terjadinya erosi bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi
18
secara rapat, kesuburan tanah rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut, dan ketersediaan air sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan. Menurut Ginting (2002:14-15) lahan kering di Sulawesi Tenggara merupakan sumberdaya pertanian yang terbesar khususnya di Wilayah Kabupaten Konawe, namun demikian pada kenyataannya usahatani pada lahan kering sebagian besar diwarnai oleh rendahnya hasil (yield) karena rendahnya produktivitas lahan, serta terjadinya degradasi lahan (lahan kritis) di beberapa daerah karena kurang cermatnya pengelolaan lahan sehingga petani tidak mampu meningkatkan pendapatannya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa petani lahan kering adalah petani yang kurang mampu (miskin) dalam hal: (1) daya olah lahan, sehingga luas garapan usahatani sangat sempit dan jenis komoditi pertanian yang dikembangkan sangat terbatas; (2) permodalan, sehingga tidak mampu membeli dan menyediakan sarana produksi (bibit unggul, pupuk, pestisida) dan memilih jenis tanaman yang sesuai; (3) pengetahuan dan keterampilan, sehingga tidak mampu mengadaptasi teknologi usahatani lahan kering yang produktif dan berkelanjutan. Harga hasil pertanian yang sangat rendah menyebabkan petani lahan kering tidak bergairah untuk mengoptimalkan usahataninya dan hal ini diperparah oleh lahan kering yang umumnya kurang subur, kurang air (tanpa irigasi), dan erosi tanah yang terjadi sudah lanjut. Akibatnya petani hanya mengusahakan jenis tanaman untuk kebutuhan sendiri dan tidak komersial sehingga tingkat pendapatan petani tetap rendah. Melihat kondisi kerusakan dan keterbatasan dalam pengelolaan lahan kering, maka perlu dikembangkan model atau pola yang efisien dan efektif dengan usahatani konservasi terpadu antara tanaman dan ternak (crop livestock system) yang dimaksudkan untuk mempertahankan kesuburan tanah agar dapat dicapai usahatani yang berkelanjutan. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Wahyunto dkk (1994:73) menunjukkan bahwa lahan kritis terluas di Pulau Sulawesi terdapat di dua provinsi yakni Sulawesi Selatan seluas 403.800 ha dan Sulawesi Tenggara seluas 142.502 ha. Kondisi tersebut diduga karena pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lahan yang benar. Kendala biologis bagi pengembangan usaha pertanian lahan kering meliputi gangguan hama, penyakit dan gulma yang dapat menggagalkan tanaman, dan
19
gulma merupakan masalah besar pada pertanian lahan kering. Wahid dkk (1997:45) mengemukakan bahwa masalah sosial budaya yang dihadapi keluarga tani adalah tingkat kebersamaan dalam pelaksanaan usahatani relatif sulit untuk ditumbuhkembangkan, karena belum terpolanya lintas komoditas yang spesifik dan adaptif sesuai dengan zona agroekologi bagi tanaman secara terpadu. Lebih lanjut dikemukakan bahwa motivasi dalam pengelolaan usahatani lahan kering khususnya pada petani terdapat dua kelompok yaitu kelompok pertama adalah pengelola atau petani yang memiliki motivasi yang kuat dalam mengusahakan komoditas lahan kering dan kelompok ini umumnya mempunyai keyakinan yang kuat dan merupakan pelopor bagi petani lainnya. Kelompok kedua mempunyai motivasi yang tidak sekuat kelompok pertama dan hanya merupakan pengikut bagi kelompok pertama. Potensi pengembangan tanaman perkebunan pada lahan kering di Sulawesi Tenggara, memperoleh gambaran yang lebih fleksibel dengan pendekatan analisis SWOT yang banyak dilakukan oleh peneliti dengan formulasi strategi eksternal dan internal, dengan hasil analisis menunjukkan respon signifikasi positif terhadap produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering (BPTP Sulawesi Tenggara, 2004:20). Keberhasilan pengelolaan pada usahatani lahan kering dan perbedaan motivasi petani sangat mempengaruhi dalam mengadopsi teknologi baru. Dalam mengadopsi inovasi baru, sikap petani pada lahan kering juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan, kemudahan teknologi yang diterapkan, jaminan teknologi yang diterapkan, konsistensi program dan efektivitas penyuluhan. Oleh karena itu, faktor penentu kompetensi petani meliputi aspek motives (motivasi, karsa), traits (ketangkasan sikap), self concept (kepribadian, sikap mental), knowledge (pengetahuan), dan skill (keterampilan) dalam penerapan inovasi agribisnis pada usahatani lahan kering
menjadi penting dalam upaya
meningkatkan produktivitas usahatani lahan kering, guna meningkatkan keberdayaan, pendapatan dan kesejahteraan hidup masyarakat pedesaan yang sebagian besar mata pencaharian hidupnya bersumber dari usaha pertanian lahan kering di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.
20
Konsep dan Pengertian Kompetensi Petani Golongan petani merupakan komunitas terbesar dalam masyarakat pedesaan. Menurut Loekman ( 2002:4) dalam sosiologi barat, terdapat dua konsep mengenai petani yaitu peasants dan farmers. Peasants adalah petani yang memiliki lahan sempit dan memanfaatkan sebagian besar dari hasil pertanian yang diperoleh untuk kepentingan mereka sendiri. Sedangkan Farmers adalah orangorang yang hidup dari pertanian dan memanfaatkan sebagian besar hasil pertanian yang diperoleh untuk dijual. Berbeda dengan peasants, farmers lebih akrab dengan pemanfaatan teknologi pertanian modern. Menurut Mosher (1981:37) bahwa petani memegang dua peranan penting dalam pengelolaan usahatani, yaitu sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager) usahatani. Petani sebagai manajer perlu memiliki kompetensi yang meliputi kemampuan-kemampuan sebagai kapasitas diri yang dicirikan dengan adanya pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri, komitmen dan kewirausahaan (Tjitropranoto, 2005:64). Pengertian Kompetensi Petani Menurut Suparno dan Suhaenah (2001:27), kata kompetensi diartikan sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan. Kompetensi yang dalam literatur disebut competence atau competent adalah “ to do something of people having necessary ability, authority, skill, knowledge; the ability to hold or contain something, the ability to produce; experience, understand and learning something” (Hornby, 1995:115-117). Kompetensi diartikan sebagai kemampuan, kewenangan, kapasitas mental, pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan persoalan, dan atau kualitas kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut
Wibowo
(2007:86-87),
kompetensi
sebagai
kemampuan
seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, termasuk
di
antaranya
kemampuan
seseorang
untuk
mentransfer
dan
mengaplikasikan keterampian dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru dan meningkatkan manfaat yang disepakati. Kompetensi juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh
21
setiap individu yang memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional dalam pekerjaan mereka. Pengertian kompetensi menurut
Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) sesuai Surat Keputusan Mendiknas Nomor 045/U/2002 menyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat
dalam
melaksanakan tugas-tugas dibidangnya.
Lebih
lanjut
dinyatakan bahwa elemen-elemen kompetensi meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, dan (5) pemahaman kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Kompetensi sebagai kombinasi antara pengetahuan, kemampuan keterampilan dan sikap yang dimiliki seseorang sehingga mampu melakukan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya, baik untuk saat ini maupun masa mendatang. Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Spencer dan Spencer (1993:9), kompetensi merupakan karakter individu yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Unsur-unsur yang membentuk kompetensi (Spencer dan Spencer, 1993:10) yakni: (1) Motif (motive) yaitu sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau dikehendaki oleh seseorang, yang selanjutnya mengerahkan, membimbing dan memilih suatu perilaku tertentu terhadap sejumlah aksi atau tujuan. (2) Karakter pribadi (traits) yaitu karakteristik fisik dan reaksi atau respon yang dilakukan secara konsisten terhadap suatu situasi atau informasi. (3) Konsep diri (self concept) yaitu perangkat sikap, sistem nilai atau citra diri yang dimiliki seseorang. (4) Pengetahuan (knowledge) yaitu informasi yang dimiliki seseorang terhadap suatu area spesifik tertentu.
22
(5) Keterampilan (skill) yaitu kemampuan untuk mengerjakan serangkaian tugas fisik atau mental tertentu. Lebih lanjut, Spencer dan Spencer (1993:11) menggambarkan pusat dan permukaan kompetensi, di mana pengetahuan dan keterampilan relatif mudah untuk diubah dan dikembangkan melalui penyuluhan dan pelatihan (extension and training), akan tetapi motif dan karakter pribadi merupakan dasar dari gunung es kepribadian sulit untuk dinilai dan diubah, seperti model pusat kompetensi diri pada Gambar 1.
Terlihat
Keterampilan Konsep diri Karakter pribadi, motif
Keterampilan Pengetahuan
Sikap, nilai
Konsep diri, Karakter pribadi Motif
Tersembunyi
Pengetahuan
Model Gunung Es mudah diubah
sulit diubah
Gambar 1. Pusat Kompetensi Diri (Sumber : Spencer dan Spencer, 1993) Kompetensi diri menjelaskan apa yang dilakukan orang ditempat kerja pada
berbagai
tingkatan
dan
memperinci
standar
berbagai
tingkatan,
mengidentifikasi karakteristik, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh individual yang memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif sehingga mencapai standar profesional dalam bekerja, dan mencakup
semua
aspek
catatan
manajemen
kinerja,
keterampilan dan
pengetahuan tertentu, sikap, komunikasi, aplikasi, dan pengembangan diri. Menurut Davis dan Newstrom (1995:89) kompetensi merupakan salah satu motivasi yang dimiliki individu dan merupakan dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, dan inovatif.
23
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Spencer dan Spencer, menurut Wibowo (2007:96) bahwa kompetensi dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan, yaitu: pertama, behavioral tools yang terdiri dari (a) knowledge merupakan informasi yang digunakan orang dalam bidang tertentu, misalnya membedakan antara akuntan senior dan yunior, dan (b) skill merupakan kemampuan orang untuk melakukan sesuatu dengan baik, misalnya mewawancarai dengan efektif, dan menerima pelamar yang baik. Kedua, image attribute yang terdiri dari (a) social role merupakan pola perilaku orang yang diperkuat oleh kelompok sosial atau organisasi, misalnya menjadi pemimpin atau pengikut, menjadi agen perubahan atau menolak perubahan, dan (b) self image merupakan pandangan orang terhadap dirinya sendiri, identitas, kepribadian, dan harga dirinya, misalnya melihat dirinya sebagai pengembang atau manajer yang berada di atas “fast traek”. Ketiga, personal characteristic yang terdiri dari (a) traits merupakan aspek tipikal berperilaku, misalnya menjadi pendengar yang baik, dan (b) motive merupakan apa yang mendorong perilaku seseorang dalam bidang tertentu (prestasi, afiliasi, kekuasaan), misalnya ingin mempengaruhi perilaku orang lain untuk kebaikan organisasi. Menurut Ruky dan Akhmad (2003:91) bahwa petani sebagai pekerja atau penggarap (cultivator) perlu memiliki kecerdasan profesional (teknis) dan kecerdasan pengelolaan (manajerial) berupa pengetahuan dan keterampilan budidaya tanaman untuk menyelenggarakan kegiatan produksi usahatani. Profesionalisme seseorang dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda, terkandung tanggungjawab untuk membuat suatu keputusan. Kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidup seseorang. Orang yang memiliki kompetensi cenderung melakukan pekerjaan dengan baik karena kepuasan bathin yang dirasakan. Rosyada (2004:239-242) menyatakan kompetensi atau kecerdasan profesional adalah kecerdasan atau kemampuan yang diperoleh melalui pendidikan, yang akan menghasilkan pengetahuan dan keterampilan teknis yang spesifik untuk melakukan pekerjaan profesional. Lebih lanjut dinyatakan secara umum, pembagian kompetensi berupa kecerdasan professional, kecerdasan personal, dan kecerdasan manajerial. Kemampuan personal yang dimaksud adalah
24
kemampuan mengenal emosi, kemampuan mengendalikan dan mengarahkan emosi (traits), kemampuan memotivasi diri, kemampuan bekerja keras, pantang menyerah, kepercayaan diri, kemampuan mengembangkan diri, kemampuan mengambil inisiatif, dan kemampuan berkreasi (berinovasi). Kemampuan sosial dapat terdiri dari; kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
berempati,
kemampuan
bergaul,
kemampuan
bekerjasama,
kemampuan berorganisasi dan kemampuan memimpin. Kemampuan professional dicirikan dengan kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan berhitung, kemampuan membuat rencana pekerjaan atau bisnis, kemampuan mengelola pekerjaan, kemampuan memantau dan mengevaluasi, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah, kemampuan member instruksi/perintah, kemampuan melatih, kemampuan mengerjakan pekerjaan teknis baik secara umum maupun khusus atau tertentu, kemampuan melihat kedepan, serta kemampuan berpikir kritis dan dialektis. Tjitropranoto (2005:63) menyebutkan bahwa kemampuan-kemampuan yang terkandung dalam kompetensi seseorang dinyatakan sebagai kapasitas diri yang dicirikan dengan adanya pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri, komitmen dan kewirausahaan. Kemampuan atau kapasitas diri akan memacu potensi kesiapan diri berupa kemajuan dan kemampuan usaha yang berlanjut pada pengenalan inovasi guna pengembangan usaha. Menurut Soesarsono (2002:69) bahwa secara umum kompetensi dapat dibagi atas; kemampuan personal (personal-competency), kemampuan sosial (social-competency), dan kemampuan professional (professional-competency). Menurut Wiles seperti dikutip Rosyada (2004:69) dan Suparno dan Suhaenah (2001:6-9) membagi kompetensi kedalam kemampuan, yakni; kemampuan kognitif, kemampuan sensorik-motorik, dan kemampuan afektif. Selanjutnya dikatakan bahwa kompetensi kognitif terdiri atas; knowledge (pengetahuan), comprehension (pemahaman), application (penerapan), analysis (menganalisis),
synthesis
(mensintesis)
dan
evaluation
(mengevaluasi).
Kompetensi afektif terdiri atas; receiving (penerimaan), responding (tanggapan), valuing
(menerima
nilai),
dan
organization
(mengorganisasikan
nilai).
25
Kompetensi psiko-motorik terdiri atas; observing (mengamati), imitating (meniru), practicing (mempraktekkan) dan adapting (menyesuaikan). Wibowo (2007:88) mengistilahkan kompetensi itu merupakan dimensi perilaku yang berada dibelakang kinerja kompeten. Sering dinamakan kompetensi perilaku karena dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana orang berperilaku ketika mereka menjalankan perannya dengan baik. Dikaitkan dengan pendapat Amstrong dkk (1998:298) menyebutkan bahwa perilaku apabila didefinisikan sebagai kompetensi dapat diklasifikasikan sebagai: (a) memahami apa yang perlu dilakukan dalam bentuk alasan kritis, kapabilitas strategik, dan pengetahuan bisnis, (b) membuat pekerjaan dilakukan melalui dorongan prestasi, pendekatan proaktif, percaya diri, kontrol, fleksibilitas, berkepentingan dengan efektifitas, persuasi dan pengaruh, dan (c) membawa serta orang dengan motivasi, keterampilan antar pribadi, berkepentingan dengan hasil, persuasi dan pengaruh. Kompetensi diri petani yang dikaitkan dengan perannya sebagai pelaku dan manajer usahatani akan memacu potensi atau kesiapan diri berupa kemajuan dan kemampuan usaha yang berlanjut pada pengenalan inovasi guna pengembangan usahatani yang lebih baik. Artinya perkembangan inovasi teknologi, harus mampu dibarengi dengan perilaku kompetensi dalam pengelolaan usahatani yang berorientasi agribisnis secara utuh (on-farm and off-farm lingkages) untuk mencapai produksi dan produktivitas yang tinggi serta kualitas hasil yang lebih baik pada usahatani lahan kering. Wibowo (2007: 103-107), mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecakapan kompetensi seseorang, yaitu: (1) keyakinan dan nilai-nilai, yakni keyakinan orang tentang dirinya maupun terhadap orang lain akan sangat mempengaruhi perilaku. Apabila orang percaya bahwa mereka tidak kreatif dan inovatif, mereka tidak akan berusaha berpikir tentang cara baru atau berbeda dalam melakukan sesuatu, (2) keterampilan memainkan peran kompetensi, yakni pengembangan keterampilan secara spesifik dapat berdampak baik pada budaya organisasi dan kompetensi individual, (3) pengalaman, yakni keahlian dari banyak kompetensi memerlukan pengalaman mengorganisasi orang, komunikasi dihadapan kelompok, menyelesaikan masalah dan sebagainya, (4) karakteristik kepribadian, yakni kepribadian termasuk faktor
26
yang sulit untuk dirubah, tetapi kepribadian bukannya sesuatu yang tidak dapat dirubah, karena kenyataannya kepribadian seseorang dapat berubah sepanjang waktu, (5) motivasi, yakni faktor kompetensi yang dapat berubah, dengan memberikan dorongan, apresiasi dan pengakuan terhadap pekerjaan, (6) isu emasional, yakni hambatan emosional dapat membatasi penguasaan kompetensi, misalnya takut membuat kesalahan dan menjadi malu cenderung membatasi motivasi dan inisiatif, (7) kemampuan intelektual, yakni kompetensi tergantung pada pemikiran kognitif, seperti pemikiran konseptual dan pemikiran analitis, (8) budaya organisasi, yakni praktik rekrutmen dan seleksi dalam organisasi, sistem penghargaan, praktik pengambilan keputusan, filosofi organisasi, kebiasaan dan prosedur memberi informasi, komitmen pada pelatihan, dan proses organisasional yang mengembangkan pemimpin. Seorang petani yang memiliki kompetensi, selain menguasai wawasan tentang usahatani yang dikelola, juga memiliki perilaku dasar yang diperlukan untuk menjadi petani yang berkompeten dan tangguh dalam menjalankan aktivitas kegiatan usahataninya. Perilaku ini mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk menjalankan usahataninya. Menurut Ruky dan Akhmad (2003:114-115) profil seorang kandidat untuk jabatan manajerial dalam suatu perusahaan pertanian adalah sebagai berikut; (a) memiliki kompetensi teknis, untuk itu kandidat manajer perlu ditetapkan tingkat pendidikan dasar terendah yang harus dimiliki; (b) mengikuti latihan-latihan, karena latihan dianggap sebagai sumber pengetahuan dan keterampilan bagi seseorang; (c) memiliki pengalaman baik pada pekerjaan yang sama ataupun dalam pekerjaan dengan bobot tanggung jawab yang lebih rendah; (d) memiliki dorongan (motive); (e) memiliki sistem nilai dan sikap, yaitu intisari budaya perusahaan; (f) memiliki kepribadian yang baik; (g) memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatan yang harus diisi, yaitu pengetahuan teknis, umum, bisnis, manajemen dan sebagainya; (h) memiliki keterampilan yang meliputi keterampilan analitis, verbal, mekanik dan sebagainya; (i) memiliki usia yang tepat untuk menduduki sebuah jabatan manajer; dan (j) memiliki kesehatan dengan kondisi fisik yang prima.
27
Berdasarkan pandangan tersebut, dimensi perilaku kompetensi sangat dipengaruhi oleh karakteristik petani dan lingkungan petani dalam pengelolaan agribisnis kakao pada usahatani lahan kering, yang perlu dibangun dalam komunitas petani lahan kering melalui pendekatan penyuluhan pembangunan sebagai suatu sistem pendidikan non formal yang bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku agribisnis perkebunan di pedesaan ke arah peningkatan kualitas diri dan kesejahteraan hidup mereka secara berkelanjutan. Hersey dkk (1990:223) memandang bahwa kompetensi merupakan kemampuan mengendalikan faktorfaktor lingkungan, baik fisik maupun sosial. Orang-orang yang memiliki motif ini tidak ingin menunggu terjadinya hal-hal secara pasif, tetapi ingin mengubah lingkungan dan berusaha mewujudkannya. Dengan mengacu pada konsep dan pengertian kompetensi yang telah dikemukakan para pakar tersebut, maka kompetensi terbentuk dari proses berpikir dan pengalaman hidup seseorang, tetapi tidak selalu permanen sehingga kompetensi perlu selalu ditingkatkan. Pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dan diperbaiki yaitu dengan cara pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan yang disebut kapasitas diri, agar seseorang mampu memiliki kecerdasan profesional (teknis), kecerdasan personal, dan kecerdasan manajerial (pengelolaan). Kompetensi Teknis Budidaya Kakao Menurut Suparno dan Suhaenah (2001:11-12), bahwa kemampuan sebagai kompetensi teknis merupakan tindakan mekanis yang setiap kali diterapkan menggunakan cara yang sama. Bila berhubungan dengan kata profesional seseorang dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda, terkandung tanggungjawab untuk membuat suatu keputusan. Kecerdasan teknis diperlukan mengingat teknologi baru senantiasa berkembang, dan kecerdasan antar pribadi berupaya untuk memperbaiki interaksi, komunikasi, dan menghargai keragaman budaya/etnik. Kecerdasan manajerial (pengelolaan) bertujuan mempertajam logika, penalaran, dan keterampilan mendefinisikan masalah, menilai sebab akibat, mengembangkan alternatif sebagai bentuk kompetensi agribisnis petani kakao yang dapat diukur dari aspek kompetensi teknis budidaya dan kompetensi pengelolaan usahatani yang dimiliki
28
petani terkristalisasi dalam wujud perilaku agribisnis kakao untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering. Kompetensi yang menyangkut teknis budidaya tanaman perkebunan seperti komoditi kakao, haruslah memenuhi persyaratan faktor-faktor ekologi (tanah dan iklim) yang sesuai dengan persyaratan sifat tumbuh tanaman yang akan dibudidayakan dan kondisi lokasi perkebunan. Lokasi yang berdekatan dengan sentra produksi umumnya daerah penyebaran perkebunan rakyat, sehingga memberi beberapa keuntungan yaitu: dapat menampung hasil perkebunan rakyat disekitarnya, dapat menjamin kontinuitas produksi yang diminta pasar, dan memperkecil biaya pengangkutan (Tim Penulis PS, 2008:25). Kompetensi teknis budidaya kakao yang perlu dimiliki petani untuk melakukan kegiatan agribisnis kakao agar memperoleh produksi yang optimal dan mutu kakao yang baik dalam usahatani lahan kering, meliputi kemampuankemampuan budidaya kakao, yaitu: (1) Kemampuan Menyiapkan Sarana Produksi Usahatani Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:999), Sarana secara harfiah diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:67) bahwa sarana usahatani meliputi; tanah atau lahan, pupuk, benih bersertifikat, alat penyemprot, bahan bangunan, mesin pertanian dan subsidi produksi. Mosher (1981:115) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus, diantaranya adalah bibit, pupuk, pestisida, makanan dan obat ternak serta perkakas. Siregar dkk (2000:63) menyatakan bahwa untuk menanam kakao diperlukan dua bentuk pengelolaan pembibitan, yaitu pembibitan pohon pelindung tetap dan pembibitan tanaman kakao itu sendiri. Pembibitan kakao akan berbeda pengelolaannya bila bahan yang dimanfaat sebagai bibit juga berbeda. Bibit yang berasal dari biji lebih ringan pengelolaannya dari pada bibit yang berupa setek atau penyusuan (grafting). Bibit okulasi umumnya dilakukan setelah batang bawah ditanam di areal pertanaman, tetapi bila pelaksanaan okulasi di polybag dibutuhkan pengelolaan khusus.
29
Kemampuan menyiapkan sarana produksi usahatani dalam agribisnis kakao, sangat ditekankan pada penyediaan bibit tanaman kakao yang unggul, di samping pupuk, pestisida, dan peralatan produksi pertanian. Petani yang kompoten harus memiliki keahlian tentang bagaimana menyiapkan bibit unggul dan berasal dari induk yang mempunyai produksi tinggi serta bebas hamapenyakit. Menurut Siregar dkk (2000: 65) bahwa bibit kakao yang berasal dari biji dibebaskan dari pulp yang melekat. Pulp menyebabkan tumbuhnya jamur dan serangan semut sehingga biji membusuk. Teknik membebaskan biji kakao dari pulp untuk dijadikan bibit adalah dilakukan dengan cara menggosok biji bercampur abu dapur, dapat juga digunakan pasir tetapi resiko rusaknya kulit biji sangat besar. Cara lain adalah dengan merendam biji selama 20 menit di dalam air kapur (25 gram per liter air), setelah itu digosok menggunakan tangan, pulp akan mudah sekali lepas. (2) Kemampuan Menerapkan Sistem Produksi Usahatani Kakao Komponen kegiatan produksi usahatani kakao pada lahan kering (on-farm) meliputi kegiatan penanaman, kegiatan pemupukan, dan kegiatan pengendalian hama dan penyakit, dengan tujuan untuk mendapatkan hasil usahatani yang optimal. (a) Penanaman Kegiatan penanaman kakao dilaksanakan setelah lebih dahulu lahan dan bibit tanaman disiapkan atau tersedia. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan penanaman adalah pengaturan jarak tanam kakao, penyiapan lubang tanam, dan cara menanam bibit kakao dipertanaman, dan waktu tanam yang tepat. Petunjuk teknis Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra (2005: 17-21) menganjurkan jarak tanam kakao ditanam dengan jarak 3 x 3 m, dengan populasi tanaman minimal 1100 pohon per hektar. Lubang tanaman dibuat dengan ukuran (T: L: P) 40 x 40 x 40 cm pada tanah berat (lahan kering) dengan pembuatan lubang tanam memisahkan sub-soil dan top-soil untuk dikembalikan dengan menambahkan pupuk dasar saat tanam. Cara menanam adalah keluarkan polybag dari bibit, kemudian masukkan dalam lubang dan tanam bibit setinggi leher
30
tanaman lalu timbun dengan tanah. Waktu tanam yang tepat adalah pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau. (b) Pemupukan Kegiatan pemupukan tanaman kakao, dilaksanakan setelah kegiatan penanaman terlebih dahulu, dengan cara memberikan pupuk (organic atau non organic) pada tanaman kakao di pertanaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan pemupukan adalah penggunaan jenis pupuk yang tepat, dosis pemupukan yang tepat, cara memupuk yang tepat, waktu memupuk yang tepat, dan tepat aplikasi yang dalam penerapannya biasa disebut “lima tepat” (tepat jenis, dosis, cara, waktu, dan aplikasi pemupukan). Tujuan pemupukan adalah menambah kandungan unsur hara dalam tanah yang digunakan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan baik dan mempertahankan daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit. Petunjuk teknis Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra (2005:30) adalah jenis pupuk yang digunakan memiliki kandungan Nitrogen (N) yang berfungsi untuk pertumbuhan vegetative tanaman (pupuk Urea), memiliki kandungan Phospor (P) yang berfungsi untuk pertumbuhan generative tanaman (pupuk TSP), dan memiliki kandungan Kalium (K) yang berfungsi untuk memperkuat jaringan tanaman (pupuk KCl). Dosis pupuk yang tepat disesuaikan dengan umur tanaman yakni tanaman belum menghasilkan (TBM) umur di bawah 2 tahun, tanaman kakao menghasilkan (TKM) umur antara 2- 25 tahun, dan tanaman tua (TT) umur diatas 25 tahun. Dosis pupuk yang dianjurkan adalah perbandingan Urea- TSP- KCl (2:1:1) dalam satu kali aplikasi. Cara pemupukan yang tepat adalah pupuk yang telah dicampur dengan dosis tertentu diberikan dengan cara “circle weeding” atau melingkar disekitar tanaman sesuai dengan ukuran tajuk daun sehingga mudah diserap oleh akar tanaman. Waktu memupuk yang tepat adalah pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau agar tanah tidak dalam keadaan masam atau tersedia air dalam tanah sehingga tidak terjadi “plasmolysa” bagi tanaman. Tepat aplikasi pemupukan adalah mengorganisir ketepatan dosis, cara, waktu, dan tempat pemupukan dalam satu kali aplikasi pemupukan tanaman.
31
(c) Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Kegiatan pengendalian hama dan penyakit tanaman kakao adalah tindakan pemeliharaan tanaman kakao agar terhindar dari serangan hama dan penyakit di pertanaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan pengendalian hama-penyakit kakao adalah system pengendalian hamapenyakit secara terpadu, dengan penekanan penggunaan pestisida sebagai cara eradikasi apabila tingkat serangan melampaui ambang ekonomi. Menurut Untung (1993:240) bahwa konsep pengendalian hama lebih menekankan pada penjagaan dan pemantapan keseimbangan ekosistem yang dapat mempertahankan populasi hama selama satu musim tanam tetap berada dibawah ambang ekonomi (AE) sehingga tidak memerlukan intervensi pestisida. Apabila ingin menerapkan dan mengembangkan pengendalian hama terpadu (PHT) untuk suatu jenis tanaman, maka harus mengembangkan tiga program utama yaitu; (a) teknologi PHT, (b) jalinan informasi, dan (c) proses pembuatan keputusan. Teknologi PHT merupakan berbagai teknik yang diterapkan untuk mengelola agro-ekosistem agar sasaran PHT tercapai dengan memperhatikan berbagai kendala yang ada diekosistem dan sistem sosial setempat. Teknologi PHT tidak hanya meliputi teknologi pengendalian hama penyakit, tetapi juga teknologi informasi, dan teknologi pengambilan keputusan. Beberapa sifat yang perlu dimiliki oleh teknologi PHT, antara lain : (a) sedapat mungkin teknologi yang digunakan merupakan teknologi lunak yang sedikit mendatangkan dampak samping terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat, dan timbulnya reaksi selekti dari hama, (b) teknologi harus dapat lebih memanfaatkan dan mendorong berfungsinya proses pengendalian alami, (c) teknologi yang digunakan merupakan perpaduan optimal berbagai teknik pengendalian, (d) teknologi yang digunakan harus dapat secara mudah dimengerti oleh petani yang memiliki sumberdaya terbatas, dan (e) teknologi PHT harus fleksibel dan menampung inovasi dan variasi sesuai dengan keadaan ekosistem yang dikelola masyarakat setempat. Teknik pengendalian hama terpadu (PHT) adalah memanfaatkan dan menggabungkan secara maksimal berbagai teknik pengendalian yang diterapkan selama ini dimasyarakat yaitu pengendalian secara ekologik, mekanik, biologik,
32
dan kimiawi. Ciri dan sifat teknologi PHT adalah suatu pengambilan keputusan pengendalian hama yang tepat dengan mengkombinasikan berbagai teknik pengendalian yang memperioritaskan pengendalian alami dan hayati, serta penggunaan pestisida secara selektif. (3) Kemampuan Menerapkan Sistem Panen dan Pengolahan Hasil Usahatani Kakao Komponen panen dan pengolahan hasil usahatani kakao pada lahan kering, dilakukan setelah kegiatan produksi. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan panen dan pengolahan hasil kakao, meliputi; waktu panen dan cara panen, serta pengolahan biji kakao dengan melalui proses fermentasi, pengeringan, sortasi, dan penyimpanan. Menurut Siregar dkk (2000:106) bahwa sejak dari fase pembuahan sampai menjadi buah dan matang kakao memerlukan waktu kurang lebih selama 5 bulan. Buah matang dicirikan oleh perubahan warna kulit buah dan biji yang melepas dari kulit bagian dalam, dan bila biji biasanya berbunyi. Buah kakao yang telah dipanen dengan cara dipetik atau dikait buahnya, kemudian dipecah dan dikeluarkan bijinya. Selanjutnya pengolahan biji kakao, meliputi; pembuangan pulp, pematian biji, pembentukan aroma, pengeringan dan kesesuaian kandungan biji serta berat keringnya sehingga siap digunakan untuk berbagai kebutuhan. Pemahaman kriteria buah matang pada kakao merupakan syarat didalam pencapaian produksi,
karena
produksi dari
segi pendekatan agronomi
berhubungan erat dengan jumlah buah yang dipanen dan nilai buah (pod value). Dengan kata lain; produksi (kg/ha) merupakan perkalian dari jumlah buah yang dipanen/ha dengan nilai buah (gram) atau rata-rata berat biji kering (gram) dikali rata-rata jumlah biji perbuah (butir). Dapat dinyatakan dengan rumus Y = P x PV, atau Y= P x (bd x N ); dimana Y adalah produksi (kg/ha), P adalah jumlah yang dipanen /ha, PV adalah nilai buah (gram), bd adalah rata-rata berat biji kering (gram), N adalah rata-rata jumlah biji perbuah (butir). (4) Kegiatan Pengolahan Biji Kakao Proses pengolahan hasil usahatani kakao dilakukan setelah panen, dengan cara pengolahan biji kakao, yakni; biji kakao yang diperoleh dari lapangan sudah dapat diolah secara manual atau diolah di pabrik. Menurut Siregar dkk (2000:111) bahwa pengolahan biji kakao biasanya mengikuti tahapan fermentasi, pencucian,
33
pengeringan, sortasi, dan penyimpanan. Tujuan utama fermentasi adalah untuk mematikan biji sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa, serta perbaikan konsistensi keping biji. Biji kakao difermentasi di dalam kotak berlubang, yang sebaiknya dibuat dengan ukuran panjang 1,83 m x lebar 0,91 m dengan kedalamam 0,15 m sehingga mempunyai kapasitas tamping sebanyak 1500 kg/kotak. Proses fermentasi biji kakao biasanya berlangsung 4- 6 hari, dan pada tiap bak fermentasi sejak hari pertama biji-biji kakao masing-masing disimpan selama 12 jam dan seterusnya, dengan ketentuan biji dibalikan pada setiap 48 jam selama fermentasi berlangsung. Setelah biji mengalami proses fermentasi dapat diolah pada tahap berikutnya. Pengeringan biji yang telah difermentasi mengalami proses pencucian (washed), tetapi adanya juga pengolahan tanpa pencucian. Biji yang lebih dulu mengalami pencucian biasanya menghasilkan kulit biji yang tipis sehingga rapuh dan mudah terkelupas, sedangkan biji tanpa pencucian memiliki rendamen yang tinggi dan kulitnya tidak rapuh, dan aroma biji tanpa pencucian juga lebih baik karena tidak ada bagian yang dibilas oleh air. Pengeringan biji, baik melalui proses pencucian maupun tanpa pencucian, dapat dilaksanakan dengan pengeringan sinar matahari atau pengering buatan (driyer). Dengan pengeringan biji basah dilapangan, biji mengalami pengurangan berat sampai 37 persen. Sortasi biji kakao yang telah dikeringkan, dilakukan atas dasar berat biji, kemurnian, warna, dan bahan ikutan serta jamur. Dalam menetapkan kualitas biji kakao, faktor-faktor yang turut diperhatikan seperti; kulit ari, kadar lemak, dan kadar air. Di Indonesia penetapan mutu biji kakao dinyatakan dengan biji per 100 gram contoh. Golongan biji kakao dibagi atas tiga kelompok yaitu greed A, B, dan C. Biji bermutu beratnya tidak kurang dari satu gram. Biji kelas A jumlahnya 90 – 100 butir setiap 100 gram contoh, biji kelas B jumlahnya 100 – 110 butir setiap 100 gram contoh, dan biji kelas C jumlahnya 110 – 120 gram contoh. Sortasi biji dilakukan secara visual, dengan membuang biji-biji yang jelek dan rendah mutunya. Sebanyak akar pangkat dua dari sejumlah
34
karung diambil (maksimum 30 karung) sebagai contoh, dan dari tiap karung diambil 500 gram untuk keperluan analisis mutu biji kakao. Komponen penetapan standar mutu biji kakao, diklasifikasikan sesuai tingkat mutu, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penentuan Standar Mutu Biji Kakao Komponen - Persen biji berjamur - Persen biji slaty (hitam) - Persen biji berserangga, hampa, dan yang berkecambah
Mutu I
Mutu II
Maksimum 3 Maksimum 3 Maksimum 3
Maksimum 4 Maksimum 8 Maksimum 6
(Sumber : Wood 1971, dalam Siregar dkk, 2000) Penyimpanan biji kakao yang sudah melalui sortasi dimasukkan ke dalam karung goni, dengan berat maksimum setiap karung 60 kg. Penyimpanan selama tiga bulan di daerah tropis masih dapat mempertahankan mutu biji, tetapi lebih dari tiga bulan biasanya telah ditumbuhi jamur dan asam lemak bebas akan meningkat sehingga dapat menurunkan kualitas biji kakao di pasaran konsumen. Gudang penyimpanan hasil sebaiknya bersih dan memiliki lubang penggantian udara. Perlakuan fumigasi dapat diberikan sebelum gudang digunakan, dan peletakan karung goni yang berisi biji kakao sebaiknya tidak langsung menyentuh lantai gudang, tetapi diberi jarak 7 cm agar sirkulasi udara lebih baik. (5) Kemampuan Melakukan Pemasaran Hasil Usahatani Kemampuan pemasaran hasil usahatani kakao pada lahan kering, dilakukan setelah kegiatan produksi dan atau kegiatan panen dan pengolahan hasil dalam bentuk produk primer maupun berupa bahan setengah jadi. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan pemasaran hasil kakao, meliputi; jalur tataniaga kakao yang efektif, dan informasi harga kakao di pasaran serta pengembangan jejaring pemasaran kakao. Beberapa klasifikasi fungsi pemasaran agribisnis kakao adalah fungsi pertukaran yang meliputi pembelian dan penjualan (transaksi jual beli) yang menyangkut jenis, mutu, volume produksi dan waktu kapan jual beli barang dilaksanakan, serta fungsi fisik pemasaran agribisnis kakao yang meliputi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan bentuk produk menjadi bentuk lain
35
sehingga harga produk lebih tinggi di pasaran. Dengan demikian, kemampuan melakukan pemasaran hasil yang perlu dikuasai petani kakao, yakni melakukan standarisasi hasil dengan cara mengelompokkan kualitas produksi yang diinginkan oleh konsumen di pasaran, dengan tujuan untuk mendapatkan proporsi harga yang lebih tinggi atau efisien. Sasaran pemasaran adalah berusaha untuk memaksimumkan kepuasan konsumen terhadap produk yang dipasarkan. Kepuasan konsumen merupakan sasaran dari semua kegiatan produk, terutama yang berkaitan dengan jumlah, kualitas dan mutu kakao yang dihasilkan oleh petani. Menurut Siregar dkk (2000:131) bahwa sistem tataniaga komoditi kakao di dalam negeri sebagian besar bergantung pada produksi kakao yang dihasilkan oleh Perkebunan Besar Negara/Swasta. Sedangkan Perkebunan Rakyat dalam negeri masih menghasilkan volume kakao dalam jumlah kecil dan kualitasnya belum mencapai standar (kualitas asalan).
Sering dijumpai beberapa pelaku
tataniaga yang memungkinkan berlangsungnya pemasaran biji kakao dari petani produsen langsung memasarkan hasil ke pabrik pengolahan biji kakao dan importer dalam negeri/luar negeri. Bentuk jalur tataniaga petani kakao lahan kering, selalu memasarkan melalui jalur pemasaran kepada pedagang pengumpul tingkat desa dan selanjutnya ke pabrik. Didalam mata rantai tersebut, sortasi dilakukan oleh pedagang interinsuler/eksportir,
sedangkan
pengeringan
dilakukan
oleh
pedagang
pengumpul (desa/kecamatan) atau petani, sesuai tingkat harga pasaran dan kualitas biji kakao. Jalur tataniaga yang kadang-kadang saja dilakukan petani kakao lahan kering melalui jalur pemasaran kepada pedagang pengumpul tingkat kecamatan atau pedagang besar di kabupaten. Dengan kata lain semakin pendek jalur tataniaga kakao dari petani produsen ke pabrik, maka semakin efektif jalur pemasaran kakao tersebut dilaksanakan dalam sistem pemasaran. Pelaku tataniaga dalam kegiatan pemasaran kakao yang dimaksud adalah pedagang pengumpul didesa, pedagang perantara di kecamatan, pedagang interinsuler/eksportir di kabupaten, dan eksportir di tingkat propinsi. Bentuk jalur tataniaga komoditi kakao yang umum dilakukan petani produsen kakao, disajikan pada Gambar 2.
36
Pedagang Intersuler/Eksportir (Kabupaten/Provinsi) Petani Produsen Kakao
Pedagang Pengumpul (tingkat Kecamatan)
Pabrik pengolah biji kakao
Pedagang Pengumpul (tingkat desa)
Keterangan :
Kadang-kadang Menjual Selalu Menjual Gambar 2. Skema Jalur Tataniaga Kakao dari Petani Produsen di daerah (Sumber : Siregar dkk, 2000) Pada Gambar 2, tampak bahwa jalur tataniaga yang selalu petani produsen kakao lakukan melalui pedagang pengumpul tingkat desa, kadang-kadang saja dilakukan petani kakao melalui jalur pemasaran kepada pedagang pengumpul tingkat kecamatan atau pedagang besar di kabupaten. Jalur tataniaga kakao dari petani produsen kakao ke pabrik pengolah biji kakao kurang sekali dilakukan oleh petani dalam sistem pemasaran kakao di daerah. Informasi harga kakao berfluktuasi sesuai nilai tukar dolar yang berlaku dalam negeri. Ketetapan harga jual kakao dalam masyarakat belum ada ketetapan yang jelas dari pemerintah daerah, sehingga bargaining posisi petani produsen dalam menentukan harga jual kakao sangat lemah dan biasanya harga ditentukan oleh pedagang pengumpul setempat. Nilai jual kakao biasanya ditentukan berdasarkan kadar air biji kakao, dengan patokan kadar air berkisar antara 7 -14 % yang masuk kategori baik, dan kadar air di atas 14 % masuk kategori kelas asalan atau jelek.
Perbedaan harga kakao juga biasa ditentukan dengan biji kakao
fermentasi dan non fermentasi. Dengan demikian informasi harga biji kakao yang dapat dijual dengan nilai tinggi adalah biji kakao yang mempunyai kadar air sekitar 7- 14 %, dan biji kakao yang telah difermentasi.
37
Berdasarkan pengertian beberapa ahli tersebut, mengenai kompetensi budidaya agribisnis kakao, maka kemampuan teknis budidaya kakao yang harus dikuasai petani dalam penerapan agribisnis kakao pada lahan kering, meliputi: (1) kemampuan menyiapkan sarana produksi usahatani, (2) kemampuan melakukan penanaman secara tepat, (3) kemampuan melakukan pemupukan dengan prinsip lima tepat, (4) kemampuan melakukan pengendalian hama/penyakit secara terpadu, (5) kemampuan melakukan panen yang tepat, (6) kemampuan melakukan pengolahan biji kakao yang bermutu, dan (7) kemampuan mengakses jalur pemasaran kakao yang efektif. Kompetensi Pengelolaan Usahatani Kakao Petani sebagai pengelola usahatani (manager) perlu memiliki kemampuan pengelolaan usahatani berupa kecerdasan manajemen (pengelolaan) usahatani kakao dalam melaksanakan kegiatan agribisnis kakao pada usahatani lahan kering. Kompetensi berupa kecerdasan mengelola adalah kecerdasan dalam kaitannya dengan kemampuan bekerjasama dalam mengerjakan sesuatu melalui orang lain. Menurut Rosyada (2004:250) bahwa kecerdasan manajerial/pengelolaan dapat terdiri atas kemampuan mencipta (kreatif), kemampuan membuat atau melakukan perencanaan,
kemampuan
mengorganisasi,
kemampuan
berkomunikasi,
kemampuan memberi motivasi dan kemampuan melakukan evaluasi. Pengelolaan usahatani dalam agribisnis adalah suatu rangkaian proses yang meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan fungsi pengendalian dalam rangka memberdayakan seluruh sumberdaya yang ada baik sumberdaya manusia, modal dan teknologi secara optimal untuk mencapai tujuan produksi usahatani. Hawkins dan Turla dalam Soesarsono (2002:55) menjelaskan kemampuan mengelola usaha atau agribisnis adalah kemampuan mengubah impian menjadi kenyataan dan mempersatukan impian tersebut, melalui keinginan yang kuat dengan situasi pekerjaannya. Pengelolaan agribisnis ditinjau dari perspektif pengetahuan ekonomi yaitu mempelajari
usaha-usaha
manusia
untuk
mencapai
kemakmuran
atau
kesejahteraan. Mencapai kesejahteraan berarti berusaha memenuhi kebutuhankebutuhannya, baik material maupun spiritual. Ciri utama agribisnis komersial
38
adalah menghasilkan komoditi dengan tujuan untuk dijual, baik untuk bahan baku industri maupun untuk konsumsi langsung, guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (BPLPP Deptan RI, 1993: 45). Kompetensi manajerial agribisnis yang perlu dimiliki petani kakao untuk melakukan kegiatan agribisnis kakao agar memperoleh produksi yang optimal dan mutu kakao yang baik dalam usahatani lahan kering, meliputi kemampuankemampuan manajerial yaitu: (1) Kemampuan Melakukan Perencanaan Perencanaan agribisnis adalah usaha sistematis untuk mencari alternatifalternatif baru, disertai dengan perhitungan konsekuensi finansialnya terhadap hasil dan biaya (BPLPP Deptan RI, 1993:2). Selanjutnya Kusnadi dkk (2002:180) mendefinisikan perencanaan sebagai proses perumusan dimuka tentang berbagai tindakan yang akan dilakukan dikemudian hari guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, perencanaan mempunyai dampak potensial dalam keberhasilan usahatani. Perencanaan merupakan pemikiran yang mengarah ke masa depan yang menyangkut rangkaian tindakan berdasarkan pemahaman penuh terhadap semua faktor yang terlibat dan diarahkan kepada sasaran khusus. Aspek perencanaan yang difokuskan pada definisi tersebut adalah (a) pemikiran ke masa depan yang gemilang dan bukan sekedar prediksi tetapi berorientasi tindakan, (b) serangkaian tindakan yang mengembangkan alternatif-alternatif dan metode untuk terus maju, (c) pemahaman terhadap faktor yang terlibat sebagai penghambat, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya, dan (d) pengarahan kepada sasaran khusus yang ingin dicapai pada masa depan. Titik tolak perencanaan agribisnis adalah melakukan perbandingan kuantitatif tentang luas lahan, jumlah tenaga kerja, dan modal. Berdasarkan titik tolak tersebut, maka kegiatan perencanaan agribisnis akan berlangsung sebagai berikut; (a) identifikasi kebutuhan pasar, (b) identifikasi kebutuhan industri hilir, (c) identifikasi jaringan ketersediaan agro input, (d) identifikasi jaringan ketersediaan modal usaha, (e) penyusunan pola usahatani yang memiliki keunggulan kompetitif komoditi, (f) perencanaan modal, dan (g) perencanaan tenaga kerja (BPLPP Deptan RI, 1993:3-5).
39
Kemampuan perencanaan agribisnis yang perlu dikuasai petani kakao adalah pilihan atau alternatif yang tepat dalam orientasi pengembangan usahatani, yakni; (a) mendekatkan produsen primer dengan industri sehingga dapat meminimalkan biaya transportasi, (b) menciptakan peluang dan kesempatan kerja baru di perdesaan, (c) membentuk dan mendorong timbulnya nilai baru dalam keseluruhan rangkaian proses agribisnis, dan (d) memberikan nilai tambah (aided value) pada produk primer. (2) Kemampuan Melakukan Pengorganisasian Menurut Rosyada (2004:251) bahwa kemampuan mengorganisasi, meliputi: kegiatan mendistribusikan tugas dan tanggungjawab yang adil, membuat putusan secara cepat, selalu berada dimuka saat pertanggungjawaban, selalu bersikap tenang menghadapi kesulitan, mengenali pekerjaan itu setelah selesai dan sempurna dikerjakan. Fungsi pengorganisasian meliputi; (a) menyusun struktur organisasi, (b) menentukan pekerjaan yang harus dikerjakan, (c) memilih, menempatkan dan mengembangkan tenaga kerja/karyawan, (d) merumuskan garis kegiatan perusahaan, dan (e) membentuk sejumlah hubungan dalam organisasi dan kemudian menunjukkan stafnya. Dengan demikian, kemampuan melakukan pengorganisasian yang perlu dikuasai petani kakao, yakni; (a) menentukan pekerjaan yang harus dikerjakan dalam usahataninya, (b) mendistribusikan kegiatan usahatani kepada tenaga kerja yang ada, dan (c) menyeleseikan pekerjaan usahatani dengan sempurna. (3) Kemampuan Melaksanakan Kemitraan Bisnis Usahatani Menurut Pranadji (2003:485-487) kemitraan bisnis usahatani atau kerjasama merupakan kemampuan yang perlu dimiliki usahawan atau manajer usahatani, dan paling tidak terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang pada kegiatan agribisnis, yaitu; (a) kemitraan tradisional, (b) kemitraan dengan pemerintah, dan (c) kemitraan dengan pasar. Kemitraan tradisional mengikuti pola hubungan patron-client, yakni pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis, dan yang berperan sebagai client adalah petani kakao atau pekerja kebun. Pada pola patron-client seperti ini, kemitraan agribisnis yang berkembang lebih bersifat horizontal, yaitu agribisnis yang bergerak dibidang produksi usahatani. Kemitraan yang bersifat vertikal
40
umumnya diwarnai oleh hubungan hutang (panjar, modal) antara pedagang (pemberi hutang) dan petani produsen (penerima hutang). Pola kemitraan tradisional ini, interdepedensi antara patron dan client bersifat sangat asimetris dan secara terselubung terjadi eksploitasi berkelanjutan dari “sang kuat” (patron) terhadap “yang lemah” (client). Pola ini hampir tidak dijumpai adanya kompetisi ekonomi yang bersifat terbuka, sehingga kreatifitas usaha pelaku agribisnis menjadi sukar ditumbuhkan secara sehat. Pola ini juga kurang kondusif untuk pengapdosian hasil inovasi dibidang iptek, permodalan, dan kelembagaan ekonomi produktif. Pola kemitraan program pemerintah cenderung pada pengembangan kemitraan secara vertikal, dimana model umum yang dianut adalah hubungan “bapak-anak angkat”, yakni perkembangan agribisnis yang dikenal sebagai pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-BUN). Pola kemitraan ini, masih kuat diwarnai adanya interdependensi yang bersifat asimetris antara “sang kuat” (pemilik modal) sebagai bapak angkat dengan “yang lemah” (petani pekerja) sebagai anak angkat. Dilihat dari kemampuannya mengadopsi iptek, permodalan dan kelembagaan ekonomi produktif, pola kemitraan ini dapat dinilai sedikit lebih maju dibanding pola patron-client. Apabila dilihat dari begitu kuatnya posisi tukar “sang bapak angkat” dan memberi peluang terjadinya eksploitasi legal dari sang bapak terhadap anak angkatnya. Pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya peradaban ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usahatani perkebunan yang dibidik oleh pola ini adalah usaha yang menghasilkan komoditas perkebunan bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini berkembang dengan melibatkan petani sebagai pemilik asset tenaga kerja, peralatan produksi, dan pemilik modal besar yang bergerak dibidang industri pengolahan dan pemasaran hasil. Dua pelaku ekonomi yakni petani pekebun dan pemilik modal menggalang saling kerjasama (kemitraan) karena adanya kepentingan untuk berbagai manfaat ekonomi. Dilihat dari segi pengadopsian atas hasil inovasi dibidang iptek, dan kelembagaan ekonomi modern, pola ini mempunyai kehandalan yang lebih tinggi dibanding dengan dua pola terdahulu.
41
Bentuk akhir dari kemitraan agribisnis masa depan dicirikan oleh beberapa hal berikut ini: (a) petani produsen haruslah menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis, sehingga petani secara kolektif adalah pengusaha agribisnis atau penguasa modal, (b) keorganisasian petani harus tidak dibatasi hanya pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada keseluruhan jaringan struktur organisasi agribisnis, karena petani yang secara kolektif membangun organisasi pasar bersama, termasuk unit prosesingnya, (c) out-put usahatani perkebunan bukanlah bahan mentah yang tidak stabil, melainkan komoditas olahan akhir yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi, berciri spesifik, serta berstandar mutu tinggi, dan (d) hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis harus mempunyai muatan rasionalitas ekonomi, dan spesialisasi pembagian kerja secara organik. Dengan demikian, kemampuan manajerial melaksanakan kemitraan bisnis usahatani yang perlu dikuasai petani kakao adalah pola kemitraan usahatani yang didasarkan oleh adanya kerjasama dengan pihak lain dengan kepentingan untuk berbagi manfaat ekonomi dengan prinsip saling asah, asih dan asuh dalam menghasilkan komoditas kakao yang bermutu dan bernilai ekonomi tinggi. Artinya kemampuan petani untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain selalu didasarkan dengan pola kemitraan yang setara dan saling menguntungkan secara adil dan berkelanjutan. (4) Kemampuan Melakukan Evaluasi dan Pengendalian Usahatani Pengertian evaluasi adalah melakukan penilaian terhadap pelaksanaan produksi dan pencapaian hasil untuk mengkaji kelemahan-kelemahan atau keberhasilan pencapaian output yang direncanakan. Menurut Rosyada (2004:252) bahwa kemampuan melakukan evaluasi adalah mampu membandingkan antara hasil yang dicapai dengan tujuan, mampu melakukan evaluasi diri, mampu melakukan evaluasi terhadap pekerjaan orang lain, serta mampu melakukan tindakan pembenaran saat diperlukan. Sementara pengertian pengendalian adalah kegiatan yang lebih menekankan pada upaya memberi umpan balik terutama jika dalam pengawasan didapatkan suatu penyimpangan atau keterpaksaan untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan dalam pengelolaan usahatani.
42
Manusia atau seseorang yang berwawasan agribisnis adalah orang yang mampu mengembangkan kegiatan member nilai tambah terhadap produk atau jasa yang dihasilkan melalui transformasi, kreatifitas, inovasi, dan kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga produk atau jasa tersebut lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat penggunanya. Pambudy dkk (1999:124) menyatakan bahwa pada era globalisasi, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus dihadapi, maka sumberdaya manusia Indonesia harus memiliki minimal tiga karakteristik pokok yaitu; produktif sebagai angkatan kerja, kecerdasan pikiran, dan kreatif. Pada sisi lain sumberdaya manusia agribisnis masih menunjukkan etos kerja rendah, strata pendidikan kurang menunjang, wawasan kepemimpinan yang rendah dan wawasan kemandirian yang sempit. Dengan demikian, kemampuan evaluasi dan pengendalian usahatani, yang perlu dikuasai petani adalah mampu membandingkan antara hasil yang dicapai dengan tujuan agribisnis yang direncanakan, meningkatkan mutu produk sesuai dengan permintaan pasar, dan menjamin keteraturan suplai produk kakao di pasaran konsumen baik yang berlaku pada konsumen domestik maupun konsumen dalam dan luar negeri. (5) Kemampuan dalam Pengambilan Keputusan Menurut Meredith dkk (2000:56-57) semakin berpengalaman seseorang dalam mengambil keputusan, semakin besar kepercayaan dirinya untuk melakukan tindakan. Kemampuan itu diperoleh dari pengalaman dalam membuat keputusan-keputusan penting selama bertahun-tahun dalam situasi yang semakin ruwet. Kemampuan seseorang dalam pengambilan keputusan dapat dilihat dari faktor-faktor, sebagai berikut; (a) kepercayaan diri pada saat pengambilan keputusan penting, (b) kemampuan mengambil keputusan pada masa sebelumnya, (c) kreatifitas atau intuisi dalam mengambil keputusan, (d) hikmah yang diambil dari kesalahan pada pengambilan keputusan sebelumnya, (e) cara-cara menangguhkan dan menunda keputusan sebelumnya, (f) tindakan yang biasa diambil pada saat mengambil keputusan, (g) cara memimpin sehingga tercapai suatu hasil yang diinginkan, (h) cara menggunakan sumberdaya pada saat mengambil keputusan, dan kemampuan memanfaatkan kontak professional dan pribadi guna memperoleh informasi yang dapat membantu mengambil keputusan.
43
Soesarsono (2002:62-65) menyatakan percaya diri adalah yakin pada kekuatan diri, yakin Tuhan selalu membantu dalam kesulitan, berusaha selalu sukses, melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya, menyelesaikan pekerjaan sulit secara bertahap, selalu berikhtiar, selalu jadikan kegagalan sebagai guru, dan selalu bergairah dalam bekerja. Kemampuan dalam pengambilan keputusan, yang perlu dikuasai petani adalah memiliki rasa percaya diri dalam pengambilan keputusan, memanfaatkan kontak profesional dan pribadi guna memperoleh informasi yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan, serta mampu mengambil hikmah dari keputusan yang telah diambil. Artinya keputusan untuk pengelolaan usahatani kakao, selalu mempertimbangkan resiko kegagalan yang seminimal mungkin yang diterima oleh petani kakao. Berdasarkan pengertian beberapa ahli tersebut, mengenai kompetensi manajerial agribisnis, maka aspek kemampuan pengelolaan usahatani yang harus dikuasai petani kakao sebagai pengelola (manajer) dalam melakukan kegiatan agribisnis kakao pada lahan kering, meliputi; (1) Kemampuan melakukan perencanaan agribisnis secara sistematis dengan pilihan alternatif yang dapat memberi keuntungan usahatani, (2) Kemampuan melakukan pengorganisasi sumberdaya secara produktif, (3) Kemampuan melaksanakan kemitraan bisnis usahatani dengan pola kerjasama yang saling menguntungkan, (4) Kemampuan melakukan evaluasi dan pengendalian secara bertahap dan dinamis, dan (5) Kemampuan mengambil keputusan terhadap resiko usahatani dengan rasa percaya diri yang tinggi.
Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Konsep produktivitas dan pendapatan merupakan dua pengertian berbeda. Peningkatan produktivitas mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara pencapaian produksi, sedangkan peningkatan pendapatan menunjukkan penerimaan nilai hasil produktivitas yang diperoleh melalui selisih jumlah nilai penerimaan total dan jumlah biaya keseluruhan yang dikeluarkan terhadap cara pencapaian produksi usahatani.
44
Produktivitas Menurut Wibowo (2007:241), secara konseptual, produktivitas adalah hubungan antara keluaran atau hasil kinerja individu/tim/organisasi dengan masukan yang diperlukan. Produktivitas dapat dikuantifikasi dengan membagi keluaran dengan masukan. Menaikkan produktivitas dapat dilakukan dengan memperbaiki rasio produktivitas, dengan menghasilkan lebih banyak keluaran atau output yang lebih baik dengan tingkat masukan sumberdaya tertentu (Belcher dan John, 1987:101). Artinya apabila produktivitas tinggi atau bertambah, dinyatakan berhasil, dan sebaliknya apabila produktivitas lebih rendah dari standar atau semakin menurun, dikatakan kurang sukses atau tidak berhasil. Definisi lain dikemukakan oleh Mali dan Paul (1978:6) produktivitas adalah suatu kegiatan dalam organisasi yang memanfaatkan sumberdaya yang tersedia
dan
memanfaatkannya
untuk
menghasilkan
produk
atau
menyempurnakan produk. Produktivitas merupakan hasil tindakan yang menghasilkan kualitas dan kuantitas kinerja tenaga kerja dengan betul-betul memanfaatkan sumberdaya yang ada. Produktivitas merupakan representasi kombinasi semua faktor produksi, dan ini dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan motivasi kerja. Pada hakekatnya esensi dari peningkatan produktivitas adalah bekerja dengan lebih cerdik, bukan bekerja dengan lebih keras. Beberapa hasil penelitian menunjukkan peningkatan produktivitas kerja dibatasi oleh kemampuan kerja seseorang sehingga perlu melakukan kerja dengan cerdik. Render
dan
Heizer
(2004:17)
menyatakan
bahwa
produktivitas
(productivity) adalah perbandingan antara output (barang dan jasa) dibagi dengan input (sumber daya, seperti tenaga kerja dan modal). Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan dua cara : (a) pengurangan input saat output konstan, (b) peningkatan output disaat input konstan. Handoko dan Hani (1999:210) menyatakan bahwa produktivitas dapat didefinisikan sebagai hubungan antara masukan-masukan dan keluaran-keluaran sistem produktif. Dalam teori, untuk mengukur hubungan ini sebagai rasio keluaran dibagi masukan. Bila lebih banyak keluaran diproduksi dengan jumlah masukan sama, produktivitas naik. Begitu juga, bila lebih sedikit masukan digunakan untuk sejumlah keluaran yang sama, produktivitas juga naik.
45
Menurut Sinungan (2005:17) bahwa definisi secara umum produktivitas adalah suatu konsep yang bersifat universal yang bertujuan untuk menyediakan lebih banyak barang dan jasa untuk lebih banyak manusia, dengan menggunakan sumber-sumber riil yang semakin sedikit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa secara umum pengukuran produktivitas berarti perbandingan, paling sedikit ada 2 (dua) jenis tingkat perbandingan yang berbeda, yakni produktivitas total dan produktivitas parsial. Perbandingan ini dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : Produktivitas total
Hasil total = ------------------- dan, Masukan total
Hasil total Produktivitas parsial = --------------------Masukan parsial Mulyadi dkk (2001:378) menyatakan konsep produktivitas berkaitan dengan seberapa jauh suatu proses menghasilkan keluaran dengan mengkonsumsi masukan tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa produktivitas merupakan suatu ukuran seberapa produktif suatu proses menghasilkan keluaran. Produktivitas kerja merupakan ukuran kinerja termasuk efektivitas dan efisiensi. Pengukuran produktivitas menurut sistem pemasukan fisik perorangan atau per jam kerja orang diterima secara luas, namun dari sudut pandangan pengawasan harian, pengukuran tersebut pada umumnya tidak memuaskan, dikarenakan adanya variasi dalam jumlah yang berbeda. Oleh karena itu digunakan metode pengukuran waktu karyawan (jam). Menurut Sinungan (2005:24 – 25) bahwa produktivitas karyawan merupakan perbandingan antara hasil dalam jam-jam standar dengan jumlah karyawan. Menurut Ravianto (1985:4), bahwa produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan tenaga kerja maupun faktor-faktor lain, seperti: pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, sarana produksi, manajemen, kesempatan kerja dan kesempatan berprestasi. Pengukuran produktivitas dilakukan untuk mengukur hasil guna atau efisiensi kerja, misalnya dengan membandingkan suatu norma yang dipakai
46
sebagai patokan. Produktivitas seseorang dipengaruhi oleh besarnya pendapatan, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan, sikap, disiplin, kinerja, motivasi, kesehatan, lingkungan dan iklim kerja, hubungan insani, kepuasan, teknologi, dan kebijakan pemerintah. Upaya meningkatkan produktivitas perlu dijaga melalui hubungan harmonis antara manajemen dengan pekerja melalui serikat pekerja, dan innovation menyangkut penemuan baru dalam bidang teknologi. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa produktivitas adalah suatu konsep kemampuan kerja atau usaha yang berhubungan antara keluaran (output) yang dihasilkan dengan masukan (input) yang digunakan untuk mengukur faktor kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering. Output lebih besar dari input menandakan proses produksi termasuk produktif dan efisien. Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah nilai selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dikeluarkan selama satu siklus produksi atau panen. Menurut Soekartawi (2006:54) bahwa pada analisis pendapatan usahatani, data tentang penerimaan, biaya dan harga komoditi usahatani perlu diketahui. Cara analisis terhadap tiga indikator dari variabel tersebut, sering disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis). Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut: TR i = Y i . Py i di mana: TR = total penerimaan Y = produksi yang diperoleh suatu usahatani (i) Py = harga komoditi (i) (Sumber : Soekartawi, 2006:56). Dalam menghitung penerimaan usahatani, beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu; (1) hati-hati dalam menghitung produksi pertanian, karena tidak semua produksi pertanian itu dapat dipanen secara serentak, (2) hati-hati dalam menghitung penerimaan, karena produksi mungkin dijual beberapa kali sehingga diperlukan data frekuensi penjualan; atau produksi mungkin dijual beberapa kali pada harga jual yang berbeda-beda sehingga perlu diketahui juga harga jual pada masing-masing penjualan, (3) pemilihan waktu setahun terakhir
47
dalam proses penjualan komoditi pertanian biasanya sering dipakai untuk memudahkan perhitungan penerimaan usahatani. Biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu; (a) biaya tetap (fixed cost), dan (b) biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap ini umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Artinya besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi (contohnya; pajak, sewa tanah, dan iuran irigasi). Biaya tidak tetap biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi (contohnya; biaya untuk sarana produksi). Artinya kalau menginginkan produksi yang tinggi, maka tenaga kerja perlu ditambah, pupuk juga perlu ditambah dan sebagainya, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah tergantung dari besar kecilnya produksi yang diinginkan. Total biaya usahatani adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC), dan pernyataan ini ditulis sebagai berikut: TC = FC + VC di mana: TC = total biaya FC = biaya tetap (fixed cost) VC = biaya tidak tetap (variable cost) (Sumber : Soekartawi, 2006:57). Dengan demikian, pendapatan bersih usahatani dapat diukur nilainya dengan cara menghitung selisih total penerimaan dan total biaya dalam jangka waktu satu tahun atau setiap siklus produksi usahatani kakao. Pernyataan ini dapat ditulis sebagai berikut: Pd = TR - TC di mana: Pd = pendapatan usahatani TR = total penerimaan TC = total biaya (Sumber : Soekartawi, 2006:58). Dalam kajian penelitian ini, hubungan antara tingkat produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering sangat terkait dalam mengukur tingkat kompetensi agribisnis petani kakao berdasarkan aspek penguasaan kemampuan teknis dan manajerial agribisnis petani dalam pengelolaan usahatani kakao.
48
Konsep Pengelolaan Agribisnis Kakao Secara harfiah pengelolaan agribisnis kakao diartikan sebagai proses melakukan kegiatan agribisnis dengan menggerakkan sumberdaya yang dimiliki dalam usahatani kakao, sedangkan agribisnis didefinisikan sebagai “the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies; production operations on the farm, processing and distribution of farm commodities and item made from them” (David dan Goldberg, 1957, dalam Saragih, 2001:1-2). Agribisnis adalah kegiatan menyeluruh dalam suatu usaha pertanian yang dimulai dari pengadaan agroinput, proses produksi usahatani, prosesing dan pengolahan hasil usahatani, serta distribusi dan pemasaran produk yang dihasilkan dalam usahatani. Membangun agribisnis berarti mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri dan jasa. Pengelolaan agribisnis kakao merupakan suatu bentuk dari keterkaitan kegiatan proses produksi usahatani (on-farm) dan prosesing, pengolahan dan distribusi serta pemasaran hasil usahatani (off-farm) komoditi kakao dengan mengembangkan 4 (empat) subsistem agribisnis secara simultan dan harmonis. Keempat subsistem agribisnis yang dimaksud adalah subsistem agribisnis hulu seperti pembibitan tanaman kakao dan usaha penyediaan sarana produksi usahatani; subsistem usaha budidaya kakao; subsistem agribisnis hilir yakni industri pengolahan komoditas kakao dan perdagangannya; dan subsistem jasa penunjang agribisnis seperti penelitian dan pengembangan, penelitian dan pelatihan, perkreditan, transportasi, kebijakan ekonomi, dan lainnya (Saragih, 2001:8). Menurut Pambudy dkk (1999:4-10), bahwa keunggulan bersaing sektor Agribisnis dicapai bila hanya subsektor saja yang berkembang sementara subsektor lainnya tidak berkembang. Agribisnis adalah konsep baru dalam cara melihat sektor pertanian, karena menempatkan agroindustri ke dalam agribisnis yang diabaikan dalam konsep tradisional. Konsep pertanian tradisional hanya menekankan pada perilaku sistem produksi dan usahatani, sehingga berimplikasi kerugian bagi pembangunan pertanian secara keseluruhan (terutama pedesaan). Kerugian tersebut, terlihat bahwa pertanian dan pedesaan hanya sebagai sumber produksi primer yang berasal dari tumbuhan dan hewan, tanpa menyadari potensi
49
bisnis yang sangat besar yang berbasis pada produk-produk primer tersebut. Tuntutan pembangunan yang telah dan sedang berjalan, hendaknya dilaksanakan melalui tiga evolusi pendekatan yaitu pendekatan teknis, pendekatan terpadu, dan pendekatan agribisnis. Dalam usahatani modern, pengembangan sistem dan usaha agribisnis menjadi sangat penting dan strategis. Pembangunan sistem agribisnis merupakan suatu upaya membangun daya saing agribisnis melalui transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing pada produk kakao pada lahan kering. Keputusan yang diambil oleh setiap petani selaku pengelola antara lain mencakup; menentukan pilihan dari berbagai tanaman yang mungkin ditanam pada sebidang tanah, menentukan komoditas yang sebaiknya diusahakan, dan menentukan cara membagi waktu kerja diantara berbagai pekerjaan, terutama pada saat-saat berbagai pekerjaan itu dilakukan secara serentak (Mosher, 1981:35). Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2004:27) menegaskan bahwa pengelolaan komoditas unggulan perkebunan sebagai pendekatan pembangunan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu : (a) dimensi ruang sebagai suatu kawasan atau wilayah yang terukur dari segi fisik, ekonomi, dan sosial yang merupakan tempat berlangsungnya sistem dan usaha agribisnis berbasis perkebunan yang didukung oleh komponen-komponen fisik berupa areal budidaya perkebunan dan potensi untuk pengembangannya, masyarakat setempat dan pelaku usaha perkebunan yang sebagian besar atau seluruhnya memperoleh pendapatan utama dari usaha perkebunan, sarana dan prasarana pendukung, dan adanya hubungan kegiatan antara komponen; (b) dimensi waktu sebagai suatu proses kegiatan sub-sub sistem yang saling bersinergi dari suatu sistem dan usaha agribisnis di suatu wilayah yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan pelaku usaha perkebunan untuk mencapai kondisi yang diharapkan melalui tahapan pengembangan yang direncanakan dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang; (c) dimensi manajemen sebagai suatu tatanan penyelenggaraan sistem dan usaha agribisnis berbasis perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan pelaku usaha perkebunan dalam kawasan tertentu dengan menerapkan prinsip manajemen dan kebersamaan ekonomi untuk mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat yang selaras, berkeadilan dan
50
berkesinambungan. Tujuan pengelolaan agribisnis kakao pada lahan kering adalah membangun masyarakat perkebunan yang berbudaya industri dengan landasan efisiensi, produktif dan berkelanjutan. Kakao sebagai komoditi unggulan yang akan dikembangkan memenuhi parameter antara lain: mampu dikelola (manageable), orientasi pasar (market oriented), ketersediaan sarana dan prasarana (infrastructure capacity), keterkaitan masyarakat (community relationship), keterpaduan sistem dan usaha agribisnis (on-farm and off-farm). Pengelolaan sektor agribisnis kakao yang utama dalam penelitian ini adalah kemampuan menyeluruh yang dimiliki petani dalam melakukan sistem dan usaha agribisnis kakao pada usahatani lahan kering, yang meliputi; kemampuan menyiapkan sarana produksi usahatani, kemampuan melakukan proses produksi usahatani, kemampuan melakukan pengolahan biji kakao yang bermutu, kemampuan memilih jalur pemasaran yang efektif, dan kemampuan mengambil keputusan dengan rasa percaya diri yang tinggi, sehingga petani kakao mampu mengintegrasikan kegiatan agribisnis secara utuh sebagai wujud perilaku agribisnis.
Faktor Internal Petani Motivasi dan karakteristik kepribadian, sebagaimana yang dinyatakan Michael Zwell dalam Wibowo (2007:104), merupakan faktor –faktor yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki kompetensi yang menghambat pada diri seseorang. Selanjutnya motivasi dan karakteristik kepribadiaan sebagai elemen pembentuk kompetensi diri dapat termodifikasi atau berubah oleh kekuatankekuatan yang berasal dari dalam (faktor internal) petani sebagai pelaku kegiatan agribisnis kakao. Motivasi Diri Menurut Steers (1996:11) kata motivasi berasal dari bahasa latin ”movere” yang serupa dengan kata ”to move” dalam bahasa inggris, yang berarti bergerak atau berpindah. Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha, sehingga motivasi dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan (Padmowihardjo, 1994:155). Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan antara sikap,
51
kebutuhan, persepsi, dan keputusan
yang
terjadi pada diri seseorang
(Wahjosumidjo, 1984:174). Motivasi dapat dibedakan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri, contohnya; seseorang bekerja keras karena senang melakukan pekerjaan itu dan mengalami kepuasan kerja, sedangkan motif ekstrinsik adalah rangsangan yang datang dari luar diri seseorang, contohnya seseorang bekerja keras jika diberi hadiah atau insentif untuk bekerja baik (Ravianto, 1985:23-24). Menurut
Handayaningrat
(1989:54)
motivasi
dimaksudkan
untuk
memberikan dorongan dan usaha untuk mencapai pemuasan keinginan atau sasaran dengan kata lain motivasi menyangkut dorongan untuk mencapai hasil. Motivasi menyangkut reaksi berantai yang dimulai dari kebutuhan yang dirasakan (need), lalu timbul keinginan atau sasaran yang hendak dicapai (want), kemudian menyebabkan usaha-usaha mencapai sasaran/tujuan, yang berakhir dengan pemuasan (satisfaction). Sumanto (2006:67) menjelaskan bahwa motivasi pada diri seseorang tidak dapat kita ketahui secara langsung, namun kita dapat menginterpretasikannya melalui tingkah laku. Terdapat dua cara untuk mengukur motivasi, yaitu; (1) mengukur faktor-faktor luar tertentu, yang diduga menimbulkan dorongan dalam diri seseorang, dan (2) mengukur aspek tingkah laku tertentu yang mungkin menjadi ungkapan dari motif tertentu. Motivasi dalam diri seseorang dapat juga dilihat dari beberapa aspek tingkah lakunya, antara lain: (1) kekuatan tenaga yang dikeluarkannya atau usahanya, (2) kecepatan reaksinya, dan (3) sesuatu yang menjadi perhatiannya. Menurut Suparno dan Suhaenah (2001:100) motivasi adalah keadaan internal seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Motivasi berkaitan dengan keseimbangan atau ”equilibrium” yaitu upaya untuk membuat dirinya memadai dalam menjalani hidup. Kusnadi dkk (2002: 341-350) menjelaskan bahwa motivasi adalah semua upaya untuk memunculkan semangat dalam diri, atau bagi orang lain (bawahan atau staf) agar mau bekerja guna mencapai tujuan yang diinginkan melalui pemberian atau pemuasan kebutuhan mereka. Ditinjau dari sudut psikologi, motivasi dapat berupa motivasi intrinsik yakni motivasi yang berkaitan dengan kebutuhan internal diri, dan motivasi ektrinsik yang berkaitan dengan dorongan dari tekanan ekternal diri terhadap
52
lingkungannya. Artinya seseorang dengan dorongan yang kuat terhadap internal dirinya dapat mempunyai kemampuan dapat tumbuh dan berkembang melalui semangat yang muncul dalam dirinya guna mencapai tujuan dan keinginannya. Stoner dkk (1986:19), mengemukakan bahwa teori tentang kepuasan motivasi berfokus pada kebutuhan batiniah yang memotivasi perilaku. Sebuah upaya untuk mengurangi dan memuaskan suatu kebutuhan mereka, membuat orang akan bertindak dengan cara-cara tertentu. Orang-orang merasa tidak puas dengan pekerjaannya, maka mereka risau akan lingkungan tempat mereka bekerja, hal ini disebut faktor iklim kondusif (hygiene), sebaliknya apabila orang-orang merasa puas (senang) akan pekerjaan mereka, maka hal ini berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, disebut motivator (Dharma, 1996:21). Faktor-faktor iklim kondusif melukiskan lingkungan orang-orang dan melaksanakan fungsi utama untuk mencegah timbulnya ketidak puasan dalam pekerjaan. Sedangkan motivator merupakan kebutuhan yang cendrung efektif memotivasi orang untuk berprestasi tinggi. Faktor-faktor motivasi kondusif dalam bagian berikut : (1) faktor-faktor motivasi internal merupakan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan yang terdapat dalam diri individu, dan kekuatan ini mempengaruhi pikiran-pikiran yang selanjutnya membimbing perilaku kedalam situasi tertentu, dan (2) faktor-faktor motivasi eksternal yang mengandung kekuatan-kekuatan, baik yang terdapat dalam individu lain maupun faktor-faktor yang dikendalikan pimpinan, termasuk masalah-masalah hubungan kerja seperti gaji, kondisi kerja, kebijaksanaan perusahaan, dan masalah-masalah isi pekerjaan seperti penghargaan, promosi, dan tanggungjawab. Selanjutnya Winardi (2002:47) menyimpulkan hasil-hasil penelitian tentang faktor-faktor motivational yang mencakup kebutuhan-kebutuhan peribadi, tujuan-tujuan dan persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan, dan dengan cara apa kebutuhan-kebutuhan dan tujuan tersebut dapat direalisasi. Motivasi merupakan kebutuhan, keinginan dan daya gerak dalam diri individu yang mendorongnya untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pola motivasi berusahatani mencerminkan lingkungan budaya tempat tinggal seperti keluarga, sekolah,
53
agama dan buku-buku yang dibaca (Davis dan Newstrom, 1995:87). Menurut Ganguli dalam Zainun (2004:32), motivasi tidak mengubah kemampuan kerja, tetapi menentukan meninggi dan merendahnya usaha. Dengan mengadopsi berbagai pemikiran para ahli, maka motivasi petani (faktor internal) dalam pengelolaan agribisnis kakao pada lahan kering adalah dorongan yang ditimbulkan dari dalam diri melalui motif intrinsik dan motif ekstrinsik, yang dicirikan dengan kebutuhan, keinginan, dan daya gerak berupa semangat kerja, kerajinan, percaya diri, insentif, kreatifitas dan pengembangan diri untuk berprilaku melakukan tindakan penerapan keseluruhan subsistem agribisnis kakao dalam komunitas petani lahan kering. Karakteristik Petani Kakao Karakteristik berasal dari kata karakter diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:506). Karakteristik petani kakao adalah sifat-sifat atau ciri yang dimiliki petani yang berhubungan dengan semua aspek berusahatani kakao dan lingkungannya. Karakteristik individu yang perlu diperhatikan untuk menerangkan komunikasi seseorang adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama, dan lain-lain. Lionberger dan Gwin (1982:96-97) menyebutkan bahwa karakteristik individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan ialah umur, pendidikan dan karakteristik psikologis. Dengan pengertian tersebut, dalam hal pengembangan kompetensi agribisnis petani, karakteristik psikologis termasuk rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatism, orientasi usahatani sebagai bisnis dan kemudahan menerima inovasi. Menurut Slamet (1978:12), perbedaan-perbedaan individual yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi individu adalah (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial, (4) kekosmopolitan, (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan, (7) motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalism, dan (10) diagnotisme. Dalam penelitian ini, karakteristik petani kakao yang perlu diperhatikan untuk membentuk kompetensi petani kakao beragribisnis dalam pengelolaan usahatani lahan kering, meliputi; umur, pendidikan formal, pendidikan non
54
formal, kekosmopolitan, luas lahan, pendapatan keluarga, dan keterikatan etnik/budaya petani.
Faktor Eksternal Petani Dari sudut pandang teori, kompetensi dapat dibentuk oleh faktor atau kekuatan-kekuatan yang berasal dari dalam diri maupun kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar diri (faktor eksternal) individu. Hal ini sejalan dengan pendapat Dharma (1996:15), yang mengemukakan bahwa faktor iklim kondusif melukiskan lingkungan orang-orang dan melaksanakan fungsi utama untuk mencegah timbulnya ketidakpuasan dalam pekerjaan. Sedangkan motivator merupakan kebutuhan yang cenderung efektif memotivasi orang untuk berprestasi tinggi. Motivasi kondusif dalam faktor motivasi internal dan faktor motivasi eksternal yang mengandung kekuatan-kekuatan, baik yang terdapat dari individu lain maupun faktor yang dikendalikan pimpinan. Kompetensi agribisnis petani dapat berubah melalui proses belajar yang umumnya dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Sejalan dengan pendapat Bandura (1977:26) menyatakan bahwa pembelajaran sosial (social learning) merupakan interaksi dari tiga faktor yaitu perilaku, individu, dan lingkungan. Dengan demikian, dalam penelitian ini faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kompetensi petani kakao beragribisnis berasal dari luar diri petani melalui kegiatan penyuluhan, intervensi pemberdayaan dan lingkungannya. Kegiatan Penyuluhan Menurut Mardikanto (1993:12), kegiatan penyuluhan diartikan sebagai proses kegiatan penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusahatani demi tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang diupayakan melalui kegiatan pembangunan pertanian. Dalam perkembangannya makna dan istilah tentang “penyuluhan” (extension) bervariasi menurut bidang terapannya, dimana penyuluhan pada masa lalu hanya banyak digunakan dalam kegiatan sektor pertanian saja, dan pada masa sekarang ini penyuluhan secara kontekstual telah berkembang digunakan pada berbagai sektor pembangunan lainnya.
55
Sistem Penyuluhan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 (Bab.I, Pasal.1), telah mengamanatkan bahwa sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Selanjutnya dalam (Bab.IV, Pasal.6), juga dinyatakan bahwa kebijakan dan strategi penyuluhan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan sistem penyuluhan. Penyuluhan
merupakan
keterlibatan
seseorang
untuk
melakukan
komunikasi informasi secara sadar, dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Selanjutnya van den Ban dan Hawkins (1999:314), menyatakan bahwa penyuluhan pertanian mempunyai peranan membantu petani membentuk pendapat yang sehat dan membuat keputusan yang baik dengan cara berkomunikasi dan memberikan informasi serta dapat mempromosikan dan melengkapi proses belajar mereka. Menurut Slamet (2003:18), penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (nonformal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Saragih (2001:52) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan nonformal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik sehingga pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai. Penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu sistem pendidikan yang bersifat nonformal di luar sistem sekolah yang biasa, dan menurut Carter dalam Lucie (2005:2) menyatakan bahwa pendidikan bagi masyarakat sendiri adalah proses perkembangan pribadi, proses sosial, proses pengembangan keterampilan sesuai profesi, serta kegiatan bersama dalam memahami ilmu pengetahuan yang tersusun dan dikembangkan dari masa ke masa oleh setiap generasi bangsa.
56
Mardikanto
(1993:248)
menyatakan
batasan
kegiatan
penyuluhan
pertanian adalah suatu kegiatan yang mempunyai tujuan yang jelas dan harus dicapai. Setiap pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu dilandasi oleh strategi kerja tertentu demi keberhasilannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Strategi penyuluhan perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) pemetaan wilayah penyuluhan yang akan dilayani, khususnya pemetaan wilayah berdasarkan keragaman keadaan ekologi pertaniannya, (2) upaya melibatkan seluruh lapisan masyarakat,
baik
yang
berkaitan
dengan
kategori
petani
berdasarkan
keinovatifannya, kemampuannya menyediakan sumberdaya, jenis kelamin dan umurnya dalam kegiatan penyuluhan pertanian, dan (3) pengembangan rekomendasi teknologi yang tepat guna. Penyuluhan dikenal secara luas dan diterima oleh mereka yang bekerja dalam organisasi pemberi jasa penyuluhan, tetapi tidak demikian halnya dengan masyarakat luas, sehingga diperlukan kesamaan pandangan para ahli untuk memberikan pengertian istilah penyuluhan, guna mencegah dampak yang ditimbulkan sehubungan dengan aktivitas kerja penyuluhan pada berbagai sektor pembangunan. Dengan demikian, strategi penyuluhan pembangunan sasarannya lebih luas lagi, sesuai pendapat yang dikemukakan Slamet (2003:2), bahwa penyuluhan pembangunan selalu menitik beratkan pada berbagai upaya untuk mewujudkan perbaikan kualitas kehidupan manusia, baik secara moril maupun materil, melalui peningkatan motivasi, keberdayaan, kepemimpinan dan kualitas perilaku sumberdaya manusia. Pendekatan pembangunan menurut konsep penyuluhan pembangunan adalah pengembangan sumberdaya manusia (people centered development) dalam rangka pembangunan sosial, yaitu pendekatan yang bersifat menghargai harkat dan martabat manusia (humanistic), seiring dengan pembangunan ekonomi. Pada prinsipnya fungsi penyuluhan adalah menjembatani kesenjangan antara praktek yang biasa dijalankan oleh para petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang menjadi kebutuhan para petani. Karena itu fungsi penyuluhan dapat dianggap sebagai penyampai dan penyesuai program nasional dan regional agar dapat diikuti dan dilaksanakan oleh petani, sehingga program–program masyarakat petani yang disusun dengan itikad baik akan
57
berhasil
dan
mendapat
partisipasi
masyarakat.
Mardikanto
(1993:197),
menyatakan bahwa fungsi penyuluhan adalah edukasi, desiminasi, inovasi vasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan dan evaluasi. Menurut Asngari (2003:83) penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku kelayan sesuai dengan yang direncanakan atau dikehendaki yakni orang makin modern. Salah satu strategi penyuluhan adalah memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha. Artinya akses kegiatan penyuluhan pembangunan harus mengandung unsur-unsur; pendidikan, pemberdayaan, partisipasi dan kebenaran terhadap apa yang disuluhkan atau diajarkan dan diinformasikan oleh penyuluh kepada sasaran penyuluhan. Penyuluh adalah orang yang mengemban tugas memberikan dorongan kepada para petani, agar mau mengubah cara berpikir, cara bekerja dan cara hidup yang lama dengan cara-cara baru yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman dan perkembangan teknologi pertanian yang lebih maju. Lippitt (1958:104-105) mengemukakan bahwa peranan agen pembaharu (penyuluh) yang akan memberikan kontribusi terhadap proses perubahan adalah (1) menjembatani dan merangsang relasi baru dalam sistem klien, (2) menceritakan pengalamannya dalam menyampaikan teknik-teknik baru, (3) menimbulkan kekuatan dari dalam, (4) menciptakan lingkungan yang khusus, dan (5) memberikan dukungan selama proses perubahan berlangsung terhadap diri klien. Dalam strategi penyuluhan peran penyuluh sebagai agen pembaharu mencakup kegiatan-kegiatan antara lain: (a) pencairan diri dengan masyarakat sasaran, (b) menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan, dan (c) pemantapan hubungan dengan masyarakat sasaran ( Mardikanto, 1993:46). Rogers dan Shoemaker (1971:99-101) menyatakan ada tujuh peranan penyuluh sebagai agen pembaharu, yaitu: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, yakni seorang penyuluh perlu membantu kliennya agar menyadari adanya kebutuhan untuk mengubah perilakunya, dapat dilakukan secara konsultatif dan persuasif, (2) membina suatu hubungan untuk perubahan, yakni hubungan ini dapat dilakukan dengan cara menciptakan kesan yang dapat dipercayai (kredibilitas), dan empati dengan kebutuhan dan masalah mereka, (3) mendiagnosa masalah dan menganalisis masalah klien serta memandang masalah
58
itu secara empati dari perspektif kliennya, (4) menimbulkan keinginan klien untuk berubah, yakni menimbulkan perubahan dengan berbagai jalan yang mungkin ditempuh kliennya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara membangkitkan motivasi untuk melakukan perubahan, (5) mengubah keinginan menjadi suatu perilaku, yakni mampu menimbulkan kepatuhan kliennya terhadap program yang telah direncanakan, (6) menstabilkan dan memelihara perubahan, yakni perilaku baru dapat distabilkan secara efektif dengan cara menyampaikan pesan-pesan yang mampu merangsang kliennya untuk mempertahankan perilaku tersebut, dan (7) mencapai hubungan terminal, yakni tujuan akhir pembentukan perilaku baru dan mendorong klien untuk mengembangkannya sendiri. Penyuluh
sebagai
seorang
profesional
mempengaruhi
keputusan-
keputusan inovasi dalam arah yang dikehendaki lembaga penyuluhan, menurut Vitayala dkk (1995:33), profesionalisme penyuluh perlu didukung kualitas penyuluhan, kualitas dalam pengertian mampu menggerakkan dan menggairahkan mekanisme sosial masyarakat yang sedang membangun. Profesionalisme penyuluh ditandai tiga hal pokok yaitu; keahlian, tanggung jawab, dan pengejawantahan. Seorang penyuluh harus tahu benar tentang hal-hal yang akan disuluhkan kepada masyarakat. Menurut Levis dan Leta (1996:59) bahwa penyuluh harus memiliki etos kerja positif yakni motivasi untuk maju, bekerja dengan baik, dan penuh pengabdian, serta menyadari dirinya adalah penentu keberhasilan program yang sedang dikerjakan saat itu, penuh disiplin, berdedikasi tinggi. Selanjutnya dinyatakan bahwa penyuluh yang professional memenuhi enam kcriteria pokok, yaitu: (1) mengikuti perkembangan hasil penelitian terbaru serta kecendrungan pembangunan yang dilaksanakan; (2) memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang sasaran dan sistem sosial sasaran penyuluhan; (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang proses produksi pertanian; (4) mengakui aspek bio-fisik dan lingkungan alam dalam kegiatan produksi pertanian; (5) memiliki pengetahuan tentang manajemen dan ekonomi pertanian; dan (6) memiliki pengetahuan serta memahami hubungan atau jaringan produksi pertanian dan pendapatan usahatani sebagai ukuran evaluasi (Levis dan Leta,1996:158-159).
59
Perubahan paradigma penyuluhan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan pertanian, baik pada tingkat individu petani, secara lokal, daerah, regional, nasional maupun internasional, maka diperlukan paradigma baru prinsipprinsip penyuluhan (Slamet, 2003:60-67), yaitu: (1) Jasa Informasi, yakni profesi sebagai petani memerlukan informasi baru yang berkaitan dengan usahataninya, seperti: teknologi budidaya pertanian, sarana dan prasarana produksi, permintaan pasar, harga pasar, cuaca, serangan dan ancaman hama penyakit, alternatif usahatani lainnya dan sebagainya. Konsekuensinya; penyuluh harus mampu menyiapkan, menyediakan, dan menyajikan segala informasi yang diperlukan oleh petani. (2) Lokalitas, yakni adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, menyebabkan kegiatan penyuluhan lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerja masing-masing. Informasiinformasi yang disediakan harus sesuai dengan kondisi daerah, teknologi yang dianjurkan sudah dicoba dan berhasil baik di daerah yang bersangkutan. Konsekuensinya; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan lembaga sejenisnya lebih difungsi-aktifkan dan dikembangkan kegiatannya, tidak hanya berkaitan dengan teknologi tetapi juga aspek sosial ekonominya. (3) Berorientasi Agribisnis, yakni usahatani adalah kegiatan bisnis, karenanya petani melakukan usahatani dengan motif mendapatkan keuntungan. Untuk mendapatkan keuntungan maka petani perlu mengadopsi prinsip-prinsip agribisnis. Konsekuensinya; penyuluh harus mereorientasi dirinya kearah agribisnis. Prinsip-prinsip dan teknologi-teknologi yang berkaitan dengan agribisnis harus dikembangkan dan dipelajari, meliputi aspek ekonomi, teknologi pasca panen, teknologi pengolahan, pengemasan, pengawetan, pengangkutan dan pemasaran. (4) Pendekatan Kelompok, yakni materi-materi penyuluhan disajikan melalui pendekatan kelompok tidak dengan pendekatan individual kecuali pada kasuskasus tertentu yang memang memerlukan pendekatan individual. Terjadinya interaksi dalam kelompok merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput, dengan melalui forum-forum itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian
60
petani. Konsekuensinya; penyuluh perlu membina dan mengembangkan kepemimpinan kelompok agar kelompok tumbuh menjadi kelompok dinamis. (5) Fokus pada kepentingan petani, yakni kepentingan petani harus menjadi titik pusat perhatian kegiatan penyuluhan. Kepentingan petani sebenarnya sederhana yaitu mendapatkan imbalan yang wajar dari jerih payah dan pengorbanan lainnya dalam berusahatani, dan mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan dirinya sehingga mampu menyejajarkan dirinya dengan unsur masyarakat lainnya. Konsekuensinya; penyuluh lebih mendekatkan dirinya dengan petani dan lebih menghayati kepentingan-kepentingan petani. (6) Pendekatan Humanistik-Egaliter, yakni kegiatan penyuluhan harus disajikan kepada petani dengan menempatkan petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya, dan diperlakukan secara humanistik. Pendekatan humanistik-egaliter menumbuhkan sikap saling menghargai antara penyuluh dengan petani, kepentingan petani mendapatkan perhatian utama dari penyuluh,
sebaliknya
petani
menghargai
usaha-usaha
penyuluh.
Konsekuensinya; penyuluh perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan komunikasi sosial, psikologi sosial dan lainnya, agar mampu memerankan penyuluh humanistik-egaliter. (7) Profesionalisme, yakni penyuluhan di masa depan harus dapat dilaksanakan secara profesionalme, artinya penyuluhan harus tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya, dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan, dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan yang baik pula. Konsekuensinya; perlu dipersiapkan generasi penyuluh yang professional, dan kerjasama dengan perguruan tinggi perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan potensi-potensi SDM yang ada di dalamnya. (8) Akuntabilitas, yakni pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Sistem pertanggungjawaban harus ada dan mengandung konsekuensi tertentu bagi penyuluh yang bersangkutan, berupa konsekuensi positif (penghargaan) dan atau konsekuensi negatif (hukuman). Prinsip akuntabilitas diperlukan sebagai
penyeimbang
otonomi
penyuluhan
yang
sudah
disarankan
61
sebelumnya.
Konsekuensinya;
harus diciptakan
sistem evaluasi dan
akuntabilitas yang dapat dioperasikan secara tepat dan akurat. Setiap kegiatan penyuluhan harus jelas dan terukur tujuannya, biaya harus dipertimbangkan dengan hasil dan dampak penyuluhan. Indikator keberhasilan penyuluhan jangka pendek yang digunakan sebagai pertanggungjawaban kegiatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh. (9) Memuaskan petani, yakni petani merasa puas bila kegiatan penyuluhan memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan dan harapan petani, sehingga kegiatan penyuluhan harus direncanakan untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan petani. Kepuasan petani terpenuhi tidak hanya apabila materi penyuluhan sesuai dengan kebutuhan, tetapi cara penyampaiannya juga mempengaruhi kepuasan petani. Konsekuensinya; pendidikan dan pelatihan serta keteladanan yang tepat, dapat menghasilkan tenaga-tenaga penyuluh yang mampu menyuluh dengan sepenuh hati. Fasilitas yang memadai di lembaga-lembaga penyuluhan, seperti perpustakaan, internet, jaringan kerjasama dengan instansi-instansi terkait membantu penyuluh untuk dapat memberikan pelayanan penyuluhan yang sepenuh hati. Hal-hal tersebut, merupakan tugas dan misi penyuluhan di masa kini dan masa depan yang penuh dengan tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia ke arah kemandirian bangsa yang bermartabat. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, disebutkan pada Bab.IV Pasal 6 dan Pasal 7, mengenai kebijakan dan strategi penyuluhan, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Pada Bab.IV, Pasal 6, dinyatakan bahwa; (1) Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan sistem penyuluhan. (2) Penetapan kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan ketentuan ketentuan sebagai berikut: (a) penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem
pembangunan
pertanian,
perikanan
dan
kehutanan,
(b)
penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan atau
62
warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi
dengan
programa
pada
tiap-tiap
tingkat
administrasi
pemerintahan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota. Selanjutnya pada Bab.IV, Pasal 7, dinyatakan bahwa; (1) Startegi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang dewasa, penyuluhan sebagai gerakan masyarakat, penumbuhkembangan dinamika organisasi dan kepemimpinan, keadilan dan kesetaraan gender, dan peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional. (2) Dalam menyususn strategi penyuluhan, pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan kebijakan penyuluhan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dengan melibatkan pemangku kepentingan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai strategi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota. Dalam penelitian ini, peran sistem penyuluhan yang terkait dengan hambatan kompetensi petani kakao dalam berperilaku agribisnis terhadap pengelolaan usahatani lahan kering adalah akses penyuluhan dalam hal informasi teknologi tepat guna, dan intensitas kegiatan penyuluhan dan pelatihan petani kakao dalam masyarakat perkebunan. Intervensi Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa-sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran post-modernisme, yang menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan (Voght dan Murrel, 1990:7). Munculnya konsep pemberdayaan (empowerment) merupakan akibat dari reaksi terhadap
63
alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya yang berkembang disuatu negara (Prijono dkk, 1996:27). Kata empowerment yang diindonesiakan menjadi ”pemberdayaan” berasal dari kata dasar ”empower” yang berarti ” to invest with power, especially legal power or officially authority ”, atau ” to equip or supply with an ability ” (Syahyuti, 2006:209). Pemberdayaan adalah proses dimana
orang
memperoleh
pengetahuan,
keterampilan
dan
keinginan
(willingness) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang mereka hadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Menurut Chamber (1983:23) salah satu upaya penting dalam strategi pemberdayaan adalah pendidikan, baik yang bersifat formal maupun non formal. Jadi pada masa mendatang, upaya pemberdayaan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Konsep pemberdayaan masyarakat harus mencerminkan paradigma baru pembangunan, dari konsep need atau production oriented kepada people centered, partcipatory, empowering and sustainable. Ife (1995:15) mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Ada tiga tahapan pemberdayaan, yakni (1) tahapan politik, yaitu pemberdayaan secara berlahan melekat sebagai mekanisme bantuan diri untuk manusia lain, (2) tahapan organisasi, yaitu konsep modern yang mendorong organisasi, seperti banyak faktor pemberdayaan dan ketidakberdayaan tergantung pada nilai-nilai, perilaku, sistem, prosedur, dan budaya organisasi, (3) tahapan sumberdaya manusia individual, yakni perubahan dari sumberdaya manusia yang sebelumnya kurang percaya diri selalu penurut dan patuh serta dikendalikan oleh kekuasaan, keterampilan, status dan bayangan peribadi, meningkat kepada hal-hal pribadi dan imbalan yang lebih besar. Menurut Soetomo (2004:7) bahwa sumber awal masalah kemiskinan adalah kondisi ketidakberdayaan,sehingga diasumsikan terjadinya kemiskinan membawa implikasi pada faktor faktor pendukung kemiskinan yang lain. Lebih lanjut dinyatakan ketidakberdayaan masyarakat dapat meliputi berbagai dimensi baik ekonomi, politik, sosial, kultural maupun psikologis. Ketidakberdayaan ekonomi
64
ditandaioleh terbatasnya aset khususnya faktor produksi, rendahnya tingkat upah, posisi tawar yang rendah, kemampuan yang rendah dalam merespon peluang ekonomi, dan rentan terhadap kebutuhan yang mendesak. Ketidakberdayaan politik dapat dilihat dari adanya indikasi kecilnya akses dalam proses pengambilan keputusan, membela hak politik, dan perlakuan yang deskriminatif. Ketidakberdayaan sosial ditandai dengan rendahnya akses terhadap informasi dan pelayanan sosial, lemahnya jaringan interaksi sosial dan kondisi terpinggirkan dari sistem sosialnya. Ketidaberdayaan kultural ditandai dari lemahnya daya dukung dan daya dorong nilai-nilai kultural terhadap peningkatan kondisi kehidupan. Ketidakberdayaan psikologis tergambar dari sikap dan perasaan rendah diri. Pemberdayaan
merupakan
upaya
peningkatan
harkat
dan
pribadi
sumberdaya manusia seutuhnya, dengan daya upaya mendorong, memotivasi, meningkatkan kesadaran akan potensinya, menciptakan iklim kerja untuk berkembang memperkuat daya, potensi seseorang yang dimiliki dengan langkah positif mengembangkannya, penyediaan berbagai masukan, dan membuka kepeluang, peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, akses terhadap modal, teknologi tepat guna, informasi, lapangan kerja dan pasar dengan kelengkapan sarana dan prasarana. Artinya dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlu diketahui potensi kekuatan yang dapat membantu proses perubahan agar dapat lebih cepat dan terarah, sebab tanpa adanya potensi atau kekuatan dari yang berasal dari masyarakat itu sendiri maka seseorang, kelompok, organisasi, atau masyarakat akan sulit bergerak untuk melakukan perubahan (Lucie, 2005:7). Jenis-jenis kekuatan dimasyarakat adalah beragam dan dapat dikelompokkan kedalam:
kekuatan
pendorong
(motivational
forces),
kekuatan
bertahan
(resistence forces), dan kekuatan pengganggu (inteference forces). Secara konservatif, pengertian pemberdayaan dibatasi oleh situasi mandiri (Payne, 1997:29). Menurut pandangan ini, pemberdayaan memerlukan partisipasi aktif yang menyangkut identifikasi kebutuhan, identifikasi pilihan, keputusan atau pilihan tindakan, mobilisasi sumber-sumber, dan tindakan itu sendiri. Masyarakat miskin memiliki kemampuan yang relatif baik untuk memperoleh sumber melalui kesempatan yang ada, kendatipun bantuan luar kadang-kadang digunakan tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan masyarakat bergantung pada dukungan dari luar.
65
Hal yang terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan, karena pola itu sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pribadi, diantara banyak pilihan yang ada di masyarakat. Pada kenyataannya
seluruhnya
dikerjakan
oleh
para
profesional
atas
nama
”pemberdayaan”, dengan perkataan lain bahwa pemberdayaan hanyalah retorika yang menyelimuti jasa-jasa pelayanan sosial. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, karena dalam proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat (Hikmat, 2004:19). Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi sumberdaya ekonomi, tetapi juga meningkatkan harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga diri. Prinsip pembangunan yang partisipatif menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama (subyek) dalam pembangunan. Selain itu, pemberdayaan juga selalu berhubungan dengan faktor kekuasaan, dan melibatkan aspek kognitif, psikologis, ekonomi dan politik. Hubungan pemberdayaan dengan kekuasaan yakni; (a) power over, yaitu kekuasaan untuk mengatur seseorang atau sesuatu, (b) power to, yaitu kekuasaan yang bersifat generatif atau produktif yang menciptakan peluang dan aksi tanpa dominasi, (c) power with, yaitu kekuasaan menimbulkan suatu perasaan bahwa keseluruhan itu lebih besar dari sejumlah individu yang ada dan aksi kelompok lebih efektif, dan (d) power from within, yaitu suatu perasaan adanya kekuatan dalam setiap orang. Ditinjau dari aspek pembangunan masyarakat perdesaan adalah menggarap pengembangan
perekonomian
penduduk
secara
keseluruhan,
dan
pusat
perhatiannya terutama pada ketidakadilan dan kemiskinan, sedangkan obyek garapannya adalah mengurangi ketidakadilan dalam mendapatkan pekerjaan, distribusi pendapatan, memperbesar akses penduduk pedesaan pada penyediaan barang dan pelayanan umum, serta pembangunan dengan kebutuhan yang didasarkan atas keterlibatan masyarakat dalam memperoleh sumber informasi agar menjadi mandiri (Rejeki,1998:21). Memberdayakan masyarakat berarti menempatkan masyarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek dalam pembangunan masyarakat. Kaitannya dengan pemberdayaan petani lahan kering,
66
pendekatan pengembangan masyarakat yang dilaksanakan adalah penguatan kelembagaan masyarakat sebagai suatu organisasi yang menggambarkan bentuk interaksi petani dalam melakukan aktivitas kegiatan usahatani perkebunan. Beberapa faktor atau realitas sosial yang mungkin menjadi sebab timbulnya mengenai masalah ketidakberdayaan masyarakat, antara lain: sistem bertani yang masih terbelakang, paradigma pembangunan yang sentralistik, lemahnya kelembagaan ekonomi desa. Shardlow dalam Adi (2003:54) mengemukakan bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri
dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Kartasasmita (1996:33) menyatakan
bahwa
beberapa
hal
yang
perlu
dilakukan dalam upaya
pemberdayaan masyarakat adalah harus terarah dalam arti ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi tergantung pada program-program pemberian (charity), tetapi tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Lingkungan Lingkungan secara harfiah diartikan sebagai daerah (kawasan) yang termasuk di dalamnya; golongan, kalangan, kelembagaan, masyarakat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan seseorang atau individu berada. Jadi lingkungan luar (eksternal) petani adalah daerah atau kawasan dimana kondisi petani tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Menurut Soekanto (2002:232), bahwa lingkungan sosial terdiri dari orang-orang baik individu maupun kelompok yang berada di sekitar manusia. Pendapat lain mengenai lingkungan sosial budaya adalah segala kondisi sosial budaya yang berada di sekitar lingkungan organisasi yang dapat mempengaruhi perilaku anggota organisasi sebagai hasil interaksi antara organisasi dengan lingkungan sosialnya (Slamet,2003:66). Hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan,
antara kelompok-kelompok
manusia,
maupun
antara orang
perorangan dengan kelompok manusia. Kelompoktani merupakan sistem sosial,
67
yang terdiri dari kumpulan petani yang bersifat non formal, memiliki pandangan dan kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama dimana hubungan satu sama lain bersifat luwes, wajar dan kekeluargaan. Masyarakat yang berada pada kondisi kemiskinan dalam jangka waktu yang panjang sering menampakkan berbagai akses dalamkehidupan sosialnya. Beberapa diantaranya adalah sikap yang apatis, pasif atau fatalistis, terarah kedalam ingroup orientation. Sikap fatalistik merupakan kondisi yang sangat tidak mendukung adanya achivement motivation yang sebetulnya dibutuhkan untuk terjadinya peningkatan kondisi kehidupan yang berasal dari dinamika internal (Soetomo,2004:8). Berbagai perilaku dan gaya hidup yang pada umumnya dijumpai dalam masyarakat miskin disebut sebagai budaya miskin, yang masih menjadi kontraversi ilmuwan sosial. Ada yang mengatakan masyarakat menjadi miskin karena memiliki unsur budaya yang kurang kondusif bagi usaha penciptaan kondisi kehidupan yang lebih baik, dan sebagian menyatakan bahwa perilakudan gaya hidup miskin dalam masyarakat merupakan hasil penyusuaian atau adaptasi masyarakat terhadap kondisi kemiskinan yang cukup lama melilitnya. Dalam suatu kelompok sosial seperti halnya petani anggota kelompoktani, selalu mempunyai external structure atau socio group dan internal structure atau psycho group. External group dalam kelompoktani adalah dinamika kelompok yakni aktivitas untuk menanggapi tugas yang timbul karena adanya tantangan lingkungan
dan
tantangan
kebutuhan,
termasuk
tuntutan
meningkatkan
produktivitas usahatani. Internal group adalah norma atau pranata yang mengatur hubungan antara anggota kelompok sehingga dapat menunjukkan kedudukan, peranan dan kewajibannya dalam mencapai prestasi kelompok. Soemardjo (1999:169) menyatakan bahwa kecenderungan perilaku kelompoktani menjadi kurang efektif apabila keberadaannya cenderung artificial atau formalitas, kurang efektif mengembangkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sehingga kualitas petani anggota cenderung lokalit, dan kurang memiliki kompetensi berorganisasi. Faktor lingkungan luar petani (eksternal) selain menyangkut lingkungan sosial petani, juga berkaitan dengan lingkungan fisik berupa sumberdaya tanah pada lahan kering adalah kesuburan tanah yang rendah, sehingga dikelompokkan
68
ke dalam jenis tanah marginal dengan produktivitas lahan rendah sehingga petani kurang mampu melakukan daya olah lahan dan mempengaruhi luas garapan lahan usahatani menjadi sempit dan jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan sangat terbatas (Ginting, 2002:13). Motivasi dalam pengelolaan usahatani lahan kering kepada petani terdapat dua kelompok yaitu kelompok pertama adalah pengelola atau petani yang memiliki motivasi yang kuat dalam mengusahakan komoditas lahan kering dan kelompok ini umumnya mempunyai keyakinan yang kuat dan merupakan pelopor bagi petani lainnya. Kelompok kedua mempunyai motivasi yang tidak sekuat kelompok pertama dan hanya merupakan pengikut bagi kelompok pertama. Usahatani kakao pada lahan kering terus berkembang ke masa depan, dan memerlukan kompetensi petani yang memadai, sehingga penguatan petani kakao dilakukan dengan cara memperkenalkan petani tentang cara berorganisasi. Menurut Pranadji (2003:138) asosiasi petani ditingkat desa, seperti; kelompoktani umumnya mempunyai pengaruh kedalam, tetapi dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan atau peraturan daerah masih sangat kecil atau nyaris tidak ada. Dengan demikian faktor lingkungan petani yang terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial masyarakat petani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering. Hal tersebut, dilihat dari lingkungan sosial petani yang terdiri dari lingkungan ekologis petani yakni kondisi lahan usahatani, produktivitas lahan, dan agroklimat, serta interaksi sosial petani dalam masyarakat perkebunan sesuai lokalitasnya.